• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. Keputusan International Court of Justice, Temple of Preah Vihear (Cambodia v Thailand),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. Keputusan International Court of Justice, Temple of Preah Vihear (Cambodia v Thailand),"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pada tahun 1967, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) resmi didirikan oleh negara-negara Asia Tenggara sebagai organisasi untuk memfasiliasi kerjasama regional dengan semangat kesetaraan dan persahabatan serta berkontribusi terhadap perdamaian, pembangunan, serta kesejahteraan pada wilayah ini.1 Akan tetapi, dalam perkembangannya, sengketa antar negara anggota ASEAN masih kerap terjadi. Salah satu konflik yang sering terjadi dan belum terselesaikan, adalah masalah sengketa perbatasan. Salah satu contoh sengketa perbatasan yang belum selesai adalah sengketa Preah Vihear antara Kamboja dengan Thailand. Sengketa tersebut, meskipun telah diselesaikan dengan putusan oleh International Court of Justice (ICJ) pada tahun 1962 yang menyatakan bahwa Candi Preah Vihear merupakan milik Kamboja,2 sengketa tersebut kembali ter-eskalasi ketika Kamboja akan mendaftarkan situs budaya tersebut pada Cagar Budaya Dunia United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizations (UNESCO) pada tahun 2008.3 Berbagai aktor dengan kepetingannya masing-masing juga menjadikan sengketa ini semakin sulit untuk diselesaikan hanya dengan alur yang sederhana dan waktu yang terbatas. Tereskalasinya sengketa ini hingga terjadinya kontak senjata dan tindakan kekerasan lainnya yang menyebabkan delapan korban jiwa pada Februari 2011 menjadikan sengketa ini harus segera diselesaikan sebelum terjadi konflik yang lebih besar.

Meskipun beberapa protokol penyelesaian sengketa di ASEAN telah disetujui dan dijalankan, perdebatan mengenai efektivitas dan kekuatan mekanisme penyelesaian sengketa tersebut masih banyak dibicarakan. Beberapa kritik yang menyatakan kelemahan mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN mendasarkan argumen mereka pada kelemahan institusionalisme di ASEAN,4 perbedaan kekuatan ekonomi dan militer diantara negara-negara anggota di ASEAN,5 hingga ketiadaan pengadilan sebagai instrumen penyelesaian sengketa.6 Pada penelitian ini, penulis akan melihat sistem penyelesaian sengketa di ASEAN yang

1 Tercantum pada pembukaan dokumen The ASEAN Declaration, 1967

2 Keputusan International Court of Justice, Temple of Preah Vihear (Cambodia v Thailand), 1962

3 International Crisis Group, Waging Peace: ASEAN and the Thai-Cambodian Border Conflict, 2011, hal. 3 4 Akiko Hirano, Legal aspects of the institutionalization of APEC, 1996, hal. 12

5 Michael Mazza dan Gary Schmitt, Weakness of the ASEAN Way, Juni 2011, diakses dari

http://thediplomat.com/2011/06/weakness-of-the-asean-way/ pada September 2015

(2)

2 tercantum pada protokol-protokol penyelesaian sengketa menggunakan sudut pandang yang berbeda dengan kritik-kritik sebelumnya.

Dalam Treaty of Amity and Cooperations in Southeast Asia (TAC) dan Piagam ASEAN, ASEAN sangat menekankan prinsip non-intervensi terhadap urusan dalam negeri sebuah negara. Hal ini terkait dengan sejarah yang telah dilalui oleh negara-negara anggota ASEAN serta menjadi prinsip dasar dari konsep ASEAN Way. Pada pelaksanaannya, prinsip ini justru dapat menghalangi tindakan ASEAN untuk terlibat dalam proses penyelesaian sengketa yang dialami oleh negara-negara anggotanya karena sengketa yang terjadi dapat dianggap sebagai permasalahan dalam negeri masing-masing negara yang bersengketa. Hal ini menjadikan ASEAN tidak dapat langsung mengambil kebijakan dan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi secara aktif dan harus menekankan pada tindakan proaktif negara-negara anggota ASEAN yang bersengketa.

Dengan mempertimbangkan perbedaan sejarah, tingkat ekonomi, dan kekuatan penegakan hukum pada tiap negara anggota ASEAN, organisasi ini memiliki cara penyelesaian sengketanya sendiri. Pada penelitian ini, penulis akan menjelaskan bagaimana sistem penyelesaian sengketa dengan cara ASEAN dilaksanakan pada sengketa ini. Beberapa aspek tersebut kemudian dapat dikembangkan untuk menjelaskan mengapa ASEAN memiliki cara penyelesaian sengketanya sendiri dan bagaimana pola pemikiran para aktor yang terlibat, serta mengapa prinsip non-intervensi serta prinsip-prinsip lain yang membentuk konsep ASEAN Way perlu untuk menjadi bahan pertimbangan utama dalam pembuatan dan pelaksanaan mekanisme penyelesaian sengketa. Penjelasan tersebut diharapkan dapat digunakan untuk memahami rasionalitas ASEAN tidak membentuk pengadilan maupun badan khusus penyelesaian sengketa yang terinstitusionalisasi sebagai bagian dari organisasi ini.

Penelitian ini menjadi penting untuk dilaksanakan karena adanya kritik-kritik negatif mengenai pemaknaan konsep ASEAN Way yang kemudian berpengaruh pada tindakan-tindakan yang diambil oleh ASEAN serta keberhasilan mekanisme penyelesaian sengketanya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada wilayah ini. Beberapa penulis menyebut frase ‘ASEAN Way’ sebagai kedok untuk tidak mengambil tindakan serta tidak efektifnya tindakan yang diambil. Sebagaimana yang diutarakan oleh Peter Hartcher dalam Sydney Morning Heralds,

“… Two of the key members of the Association of South-East Asian Nations, neighbours Thailand and Cambodia, cut diplomatic relations last Thursday. … For 32 years, ASEAN nations have boasted of a special spirit of harmony.

(3)

3

It was "the ASEAN way" of doing things. In truth, "the ASEAN way" is an Orwellian cover for inaction and ineffectiveness, for tolerating bad policy and worse politics. When a crisis strikes, whether it's the 1997-98 Asian economic crisis, the trauma of the 2004 tsunami, or the permanent stain of the military dictatorship in Burma, ASEAN specialises in standing by uselessly. No matter the nature of the problem - economic, seismic or political - the "ASEAN way" is consistent in its utter failure to take effective action.”7

Sementara itu, Cohen dalam Goldstein dan Mansfield menyatakan bahwa

“...They like to boast of the ASEAN Way ... The ASEAN way (or Asian way), it is said, combines cooperation with deference, allowing states sufficient autonomy to safeguard domestic priorities … But could this just be another way of avoiding real commitment? It is hard not to see celebration of the ASEAN way as simply an excuse for inaction.”8

Kedua pendapat diatas menyatakan kelemahan prinsip ASEAN Way yang sering digunakan sebagai samaran untuk menutupi keterbatasan kemampuan ASEAN dalam bertindak sebagai sebuah organisasi. Konsep ASEAN Way juga digunakan untuk menghindari komitmen nyata yang dapat timbul dari keanggotaan negara-negara dalam berorganisasi. The Economist (2010) juga mengkritik tindakan negara anggota ASEAN dalam menghindari tanggung jawab dengan argumen “Yet even here, the projectors concede the weakness of regionalism's institutions. Prickly nation-states are loth to cede sovereignty to any regional body. The flip side of Asia's famous taste for consensus is an allergy to enforceable rules and obligations.”9 Kritik negatif tersebut kemudian dapat menimbulkan pertanyaan mengenai keberadaan ASEAN sebagai organisasi regional di wilayah Asia Tenggara. Penelitian ini akan berusaha untuk menjelaskan bahwa terdapat kasus-kasus yang lebih tepat untuk diselesaikan melalui cara tersebut serta untuk menunjukkan kemampuan mekanisme ini dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di antara negara anggota ASEAN. Penelitian ini juga dilaksanakan untuk menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN ternyata dapat mendeeskalasi konflik antara Thailand dan Kamboja dan faktanya negara anggota ASEAN masih bertahan dalam kerangka kerjasama organisasi ini. Sengketa Candi Preah Vihear juga merupakan sengketa pertama di Asia Tenggara yang secara terbuka didorong oleh Dewan Keamanan PBB untuk diselesaikan

7 Peter Hartcher, Sydney Morning Heralds, 'ASEAN way' just means standing by uselessly, 10 November 2009,

dipetik dari http://www.smh.com.au/federal-politics/political-opinion/asean-way-just-means-standing-by-uselessly-20091109-i58r.html pada Agustus 2016.

8 Benjamin J. Cohen, Finance and Security in East Asia, dalam Avery Goldstein dan Edward D. Mansfield (ed),

The Nexus of Economics, Security, and International Relations in East Asia, Standford Security Studies, 2012

9 The Economist, Asia’s never-closer union, 4 Februari 2010, dipetik dari

(4)

4 menggunakan kerangka penyelesaian sengketa yang berlaku di ASEAN.10 Fakta ini kemudian menjadi penggerak untuk dilaksanakannya penelitian mengenai keberhasilan organisasi tersebut dalam mendeeskalasi sengketa yang terjadi, sekaligus untuk lebih mendalami bagaimana mekanisme yang telah tertuang ke dalam perjanjian-perjanjian yang menjadi instrumen ASEAN dijalankan dan membuktikan pentingnya keberadaan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional di wilayah Asia Tenggara.

I.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasar uraian yang menjadi latar belakang penelitian ini, penulis akan berusaha menjelaskan jawaban atas pertanyaan "Bagaimana penyelesaian sengketa dengan prinsip ASEAN Way tercermin dalam proses penyelesaian sengketa Candi Preah Vihear?"

I.3. Landasan Konseptual

Untuk menjawab pertanyaan yang menjadi fokus penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa konsep untuk membantu menjelaskan argumen penulis. Konsep-konsep tersebut antara lain:

I.3.1. ASEAN Way

Pada beberapa pembahasan mengenai ASEAN, klausa “ASEAN Way” digunakan untuk menjelaskan sikap ASEAN dalam menghadapi gejolak yang terjadi di dalamnya, termasuk proses pengambilan keputusan dan sifat ASEAN sebagai organisasi yang menghindari konfrontasi langsung terhadap sengketa-sengketa yang terjadi baik di dalam negara anggotanya maupun antara negara-negara anggotanya. Lebih lanjut, Woon menyatakan bahwa terdapat tiga aspek dasar pada konsep ASEAN Way. Aspek-aspek tersebut antara lain (1) keinginan untuk tidak kehilangan wajah di depan publik atau membuat anggota lain kehilangan wajahnya; (2) preferensi atas konsensus dibanding konfrontasi; serta (3) penolakan atas pendapat bahwa negara memiliki hak untuk mempengaruhi tanpa izin pada urusan internal negara lain.7 Noordin Sopiee dalam Ayoob telah mengidentifikasi norma-norma dasar yang menjadi karakter dari ASEAN Way. Karakter-karakter tersebut antara lain11

1. System-wide acceptance of the principle of the pacific settlement of disputes

10 Dalam artikel yang diterbitkan oleh ASEAN Secretariat News pada 21 Februari 2011 disebutkan “The United

Nations Security Council (UNSC) has, for the first time, called upon ASEAN to ensure an effective dialogue in search of a lasting solution to the border dispute between two Member States.” Dalam Historic Firsts: ASEAN Efforts on Cambodian-Thai Conflict Endorsed by UNSC, dipetik dari http://asean.org/historic-firsts-asean-efforts-on-cambodian-thai-conflict-endorsed-by-unsc/ pada 10 Oktober 2016.

11 Noordin Sopiee, “ASEAN and Regional Security,” pada Regional Security in the Third World, diedit oleh

(5)

5 2. Noninterference and non-intervention in the domestic affairs of member states 3. Respect for each other’s territorial integrity and independence

4. The principle of not inviting external intervention on one’s behalf in the pursuit of disputes

Lebih lanjut, Gillian Goh mengelaborasi lebih lanjut bahwa norma-norma tersebut terkait dengan beberapa prinsip yang dipegang oleh ASEAN dalam melaksanakan hubungan antarnegara. Prinsip-prinsip tersebut antara lain “...the principle of seeking agreement and harmony, the principle of sensitivity, politeness, non-confrontation and agreeability, the principle of quiet, private and elitist diplomacy versus public washing of dirty linen, and the principle of being non-Cartesian, non-legalistic.”12 Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar yang secara formal dianut oleh ASEAN. Dalam proses penyelenggaraan kehidupan berorganisasi, ASEAN memegang beberapa prinsip dasar sesuai dengan yang tercantum dalam Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Menurut pasal kedua TAC, prinsip-prinsip tersebut antara lain:6

1. Mutual respect for the independence, sovereignty, equality, territorial integrity and national identity of all nations;

2. The right of every State to lead its national existence free from external interference, subversion or coercion;

3. Non-interference in the internal affairs of one another; 4. Settlement of differences or disputes by peaceful means; 5. Renunciation of the threat or use of force;

6. Effective cooperation among themselves.

Prinsip-prinsip tersebut kemudian mempengaruhi proses pengambilan kebijakan yang berjalan di ASEAN, serta mempengaruhi tindakan-tindakan yang dilakukan ASEAN sebagai sebuah institusi.

Konsep ini akan digunakan untuk menjelaskan cara penyelesaian sengketa ASEAN yang tidak menggunakan instrumen legal formal maupun badan khusus penyelesaian sengketa. Selain itu, konsep ini juga akan digunakan untuk menjelaskan pertimbangan ASEAN untuk menyelesaikan sengketa menggunakan bentuk penyelesaian sengketa alternatif alih-alih membentuk sebuah badan penyelesaian sengketa.

12 Gillian Goh, The ‘ASEAN Way’: Non-Intervention and ASEAN’s Role in Conflict Management, Stanford

(6)

6

I.3.2. Konsep Penyelesaian Sengketa Alternatif

Dalam penyelesaian sengketa, sering kali kedua pihak yang bersengketa kesulitan untuk mengakhiri konflik yang terjadi dikarenakan terdapat pihak yang belum puas terhadap hasil penyelesaian sengketa yang telah diputuskan. Oleh karena itu, dibuatlah cara-cara penyelesaian sengketa alternatif yang ditujukan untuk meningkatkan kepuasan pihak-pihak yang bersengketa terhadap keputusan yang diambil terhadap sengketa tersebut. Penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan proses penyelesaian sengketa yang merupakan bentuk alternatif dari proses penyelesaian sengketa melalui pengadian secara penuh.13 Bentuk dari penyelesaian sengketa alternatif sangat beragam, mulai dari negosiasi yang difasilitasi dimana pihak-pihak bersengketa didorong untuk melakukan negosiasi secara langsung hingga sistem arbitrase yang mirip dengan proses pengadilan. Meskipun memiliki bentuk yang beragam, jalur-jalur penyelesaian sengketa alternatif memiliki kesamaan karakteristik. Menurut Brown et al, kesamaan karakteristik tersebut meliputi (1) informalitas; (2) penerapan asas kesetaraan (application of equity); serta (3) partisipasi dan komunikasi langsung diantara partisipan.

Bentuk-bentuk dasar dari penyelesaian sengketa alternatif antara lain14:

a. Negosiasi, yaitu proses dimana pihak-pihak bersengketa secara sukarela mencari perjanjian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketanya bersama.

b. Konsiliasi, yaitu proses dimana pihak ketiga bertemu dengan para pihak yang bersengketa secara terpisah sebagai usaha untuk membentuk kesamaan pemahaman atas penyebab yang mendasari sengketa tersebut dan menawarkan penyelesaian yang ramah dan cara yang tidak antagonis. c. Mediasi, yaitu proses informal dan sukarela dimana pihak-pihak yang

bersengketa memilih pihak lain yang netral untuk membantu mereka mencapai penyelesaian yang dapat diterima bersama. Tidak seperti hakim atau arbitrator, mediator tidak mempunyai kekuatan untuk memberikan solusi kepada pihak-pihak yang bersengketa, namun mediator dapat membantu mereka membentuk solusi yang dapat mempertemukan keinginan pihak-pihak yang bersengketa.

13 Brown et al., Alternative Dispute Resolution: Practitioners Guide, USAID, 1998, hal. 12 14 Ibid., Appendix A.

(7)

7 d. Arbitrase, merupakan proses penyelesaian sengketa yang diselesaikan menggunakan adjudicator ataupun pemutus sengketa, dimana satu atau lebih arbitrator mengeluarkan putusan yang dihargai dan dapat bersifat mengikat setelah sebuah proses hearing dimana pihak-pihak yang bersengketa memaparkan argumen-argumen dan bukti yang dimilikinya. Secara prosedur, arbitrase lebih sederhana dibanding keputusan pengadilan.

Selain keempat bentuk dasar dari ADR tersebut, terdapat beberapa variasi terhadap bentuk-bentuk ADR, seperti Appellate ADR, Early Neutral Evaluation, serta Pencarian Fakta. Namun pelaksanaan terhadap bentuk variasi atas ADR didasarkan atas kebutuhan dan kesesuaian terhadap isu yang dihadapi maupun aktor yang terlibat.

Jika diamati, prinsip penyelesaian sengketa yang dianut oleh ASEAN selaras dengan proses penyelesaian sengketa alternatif. Konsep inilah kemudian yang akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana ASEAN membentuk proses penyelesaian sengketanya, jalur penyelesaian sengketa yang diambil, beserta penjelasan bagaimana sistem penyelesaian sengketa yang digunakan oleh ASEAN sudah sesuai dengan prinsip ASEAN Way.

I.3.3. Deeskalasi Konflik

Pada sebuah sengketa, sering kali intensitas maupun keparahan sengketa tersebut mengalami kenaikan dan penurunan seiring dengan berjalannya waktu dan tindakan-tindakan yang diambil oleh pihak-pihak yang terkait dengan sengketa tersebut. Konsep de-eskalasi konflik merujuk kepada pengurangan keparahan atas penggunaan tindakan-tindakan koersif dan pada jumlah pihak-pihak yang terlibat pada perjuangan atas hal yang menjadi tujuan dari pihak-pihak yang bersengketa.15 Terdapat pengurangan intensitas pada dimensi-dimensi konflik tersebut dan ukuran konflik tersebut kemudian mulai mengecil. Deeskalasi sengketa dapat memiliki bentuk yang beragam, mulai dari permintaan salah satu pihak kepada pihak lain yang bersengketa untuk mengalah pada isu yang disengketakan, hingga tekanan dari aktor diluar pihak-pihak bersengketa yang lebih kuat. Tidak jarang deeskalasi konflik datang dari desakan pihak manajemen sengketa yang lebih terinstitusionalisasi, seperti pengadilan, agen pengatur, maupun badan penegak hukum.

15 Hal ini diungkapkan oleh Louis Kriesberg dan Bruce W. Dayton pada bukunya, Constructive Conflicts: From

(8)

8 Deeskalasi dapat menjauhkan pihak-pihak yang bersengketa dari peningkatan ketegangan-ketegangan yang dapat terjadi, hingga mengarahkan pihak-pihak tersebut kepada peningkatan kerjasama diantara mereka. Meskipun begitu, transformasi sengketa dari eskalasi menjadi deeskalasi tidak dapat dilaksanakan dalam sebuah kejadian besar. Diperlukan serangkaian proses setahap demi setahap yang dapat diolah dari tekanan-tekanan yang terus terbentuk seiring dengan berjalannya waktu untuk menghantarkan sebuah sengketa pada tahap deeskalasi sengketa.

Terjadinya deeskalasi konflik merupakan pertanda bahwa sebuah konflik sedang mengarah pada perdamaian, sehingga konsep ini dapat menunjukkan apakah dinamika yang terjadi pada sebuah sengketa memberikan dampak positif terkait proses pembentukan perdamaian (Peace-building). Deeskalasi konflik dapat dilihat melalui adanya kesepakatan-kesepakatan positif antara kedua negara seperti kesepakatan-kesepakatan gencatan senjata, kesediaan untuk duduk bersama dan membahas penyelesaian sengketa melalui jalur-jalur nirkekerasan, serta tindakan yang lebih nyata seperti penarikan pasukan bersenjata dari wilayah sengketa. Jika langkah-langkah penyelesaian sengketa telah diambil dan dilaksanakan secara tepat, maka deeskalasi sengketa akan terjadi dan konflik yang terjadi juga akan berkurang intensitasnya. Hal ini menjadikan deeskalasi konflik sebagai indikator yang tepat untuk menunjukkan efektivitas proses penyelesaian sengketa.

I.4. Argumentasi Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengajukan beberapa argumen terkait prinsip ASEAN Way dalam proses penyelesaian sengketa di ASEAN. Pada proses penyelesaian sengketa di ASEAN, prinsip ASEAN Way tercermin dalam bentuk:

1. Menghindari adanya intervensi dari pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam sengketa pada proses penyelesaian sengketa;

2. Penyelesaian yang mengutamakan bentuk penyelesaian alternatif; 3. Menghindari terjadinya sebuah konflik (conflict aversion)

4. Kehormatan sebuah negara dalam bentuk kedaulatan merupakan sebuah hal yang utama

5. Prinsip diplomasi yang tenang, rahasia, serta elitis

6. Masing-masing pihak berusaha untuk tidak kehilangan wajah di muka umum.

Selain beberapa prinsip tersebut, penulis juga mengajukan argumen bahwa terdapat beberapa kasus yang lebih memungkinkan untuk diselesaikan menggunakan prinsip

(9)

9 penyelesaian sengketa sesuai dengan konsep ASEAN Way. Hal ini disebabkan karena latar belakang negara anggota ASEAN yang sebagian besar merupakan bekas negara jajahan pada masa kolonial serta cara pandang terhadap kedaulatan yang menyebabkan negara-negara di Asia Tenggara menjadi sensitif terhadap intervensi negara lain.

I.5. Metode Penelitian

Metode yang akan penulis gunakan untuk meneliti kasus ini adalah Instrumental Case Study. Menurut Stake (1995), metode ini menggunakan studi kasus sebagai pendukung dari proses pemahaman mengenai sebuah kejadian. Dengan metode ini, kasus yang dipelajari dilihat secara mendalam, konteks-konteks yang ada diamati secara teliti, dan aktivitas-aktivitas yang terlihat biasa dijelaskan secara detail untuk membantu memahami hal lain, dalam penelitian ini yaitu mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN.

Penelitian ini akan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi literatur mengenai dokumen-dokumen terkait penyelesaian sengketa di ASEAN, sejarah konflik Preah Vihear, serta publikasi dalam bentuk jurnal maupun berita terkait dengan perkembangan, eskalasi, hingga penyelesaian sengketa Preah Vihear.

I.6. Organisasi Penulisan

Karya ini akan terdiri dari empat bab. Pada bab pertama, penulis akan menyajikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, landasan konseptual, serta hipotesis. Kemudian pada bab kedua, penulis akan menjelaskan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa yang telah disetujui dan dijalankan di ASEAN dilanjutkan dengan penjelasan atas kritik negatif terhadap mekanisme yang berlaku. Pada bab ketiga, penulis akan memberikan analisis terhadap mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN, yang dimulai dengan menjelaskan sengketa Preah Vihear beserta proses penyelesaiannya dan bagaimana peran ASEAN sebagai institusi dan aktor-aktor lain pada sengketa tersebut. Analisis kemudian dilanjutkan dengan analisis bagaimana konsep ASEAN Way tercermin pada dinamika sengketa ini dan bagaimana konsep tersebut mempengaruhi tindakan para aktor yang terlibat.

Terakhir, pada bab keempat, penulis akan memberikan kesimpulan serta saran yang dapat ditarik dari hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti meminta pada responden untuk menunjuk skala nyeri yang dirasakannya sebelum diberi aromaterapi ( pretest ).. Memberikan aromaterapi lavender

Bu Rus gazetesinin iddia ettiğine göre: "Şayet vâdedilen bütün ıslahat yapılacak olursa, Türk- ler-Ruslarda en halis ve samimî

Företag 1 jobbar med sitt miljöansvar genom att de köper in i stort sett allt, bortsett från kryddor, korvskinn och plast, från lokala producenter vilket leder till korta

Dari penulis pada latar belakang ada beberapa problem yang di tangani oleh fisioterapi antara lain: nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi, kelemahan otot, serta

Gambar 5.12 Grafik kelas kurtosis detrital sedimen pada zona gumuk pasir. yang didominasi oleh kelas

Aturan yang dipakai adalah, bahwa suatu batuan akan tersingkap sebagai titik, dimana titik tersebut merupakan perpotongan antara ketinggian (dalam hal ini dapat

Setelah mahasiswa/I melakukan proses pembimbingan, usulan skripsi atau proposal skripsi yang telah disetujui oleh tim pembimbing skripsi wajib diseminarkan du tingkat

Depresi cenderung meningkatkan risiko atau kemungkinan tidak terjadinya perbaikan infeksi ulkus kaki diabetik, walaupun setelah dilakukan penyesuaian terhadap