BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keterampilan berbicara adalah kemampuan untuk mengekspresikan, menyatakan, dan menyampaikan ide, pikiran, gagasan, atau isi hati kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan yang dapat dipahami oleh orang lain. Berbicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan, atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule, 1983). Menurut Tarigan (1981:15), berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantis, dan linguistik yang sangat intensif. Tarigan (2008:17) mengemukakan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata yang bertujuan untuk mengekspresikan, menyatakan, dan menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan orang tersebut.
digunakan sebagai alat ukur dalam mengetahui keterampilan berbicara seseorang, yakni intonasi (intonation), pelafalan (pronunciation), kosakata (vocabulary), tata bahasa (grammar), dan kelancaran berbicara (fluency).
Penelitian yang dilakukan ini hanya menekankan hanya dua aspek yaitu pelafalan (pronunciation) dan kelancaran berbicara (fluency). Hal itu sesuai dengan tujuan penelitian yang hanya memfokuskan pada pelafalan dan kelancaran berbicara. Pelafalan dipilih karena masih terjadi penyimpangan dalam pengucapannya oleh peserta didik kelas XI SMA Budi Utama. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kemampuan pelafalan bunyi bahasa Inggris peserta didik kelas XI di SMA Budi Utama sangat kurang dan perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, penelitian ini hanya akan menekankan pada pelafalan bunyi bahasa Inggris dan kelancaran berbicara. Kemampuan dalam melafalkan bunyi terkait erat dengan bahasa, artinya bahasa memiliki sistem bunyi yang berbeda. Hornby (1995:662) menyatakan bahwa “Language is the system of sounds and words used by humans to express their thoughts and feelings” bila
diartikan bahasa merupakan sistem bunyi dan kata yang digunakan manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
bahasa ibunya. Sebagai contoh kata thin [θɪn] dilafalkan [tɪn], vision [vɪʒn] dilafalkan [vɪsɪən], shoe [ʃu:] dilafalkan [sʊ], chain [ʧeɪn] dilafalkan [ceɪn], jam [ʤæm] dilafalkan [jəm], this [ðɪs] dilafalkan [dɪs]. Kekeliruan dalam melafalkan kata bahasa Inggris dapat mengakibatkan perbedaan makna bagi pendengarnya. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan agar peserta didik dapat melafalkan bunyi bahasa Inggris dengan benar sehingga kekeliruan tersebut dapat diminimalkan. Namun, yang ditekankan dalam penelitian ini tidak mengenai makna, tetapi menekankan pada pelafalan bunyi saja.
Fenomena di atas telah mendasari pemikiran penelitian yang dilakukan ini dengan mencari salah satu cara pemecahannya, yaitu dengan menerapkan metode audiolingual dalam proses pembelajaran. Untuk meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik kelas XI SMA Budi Utama, dilakukan dengan menerapkan metode audiolingual. Artinya, menggunakan kamus elektronik Chambridge Advanced Dictionary 3-rd Edition yang kemudian diterapkan dalam
praktik-praktik dan latihan-latihan dalam berbahasa sehingga peserta didik mampu berbicara sesuai dengan pelafalan yang benar dan tepat.
Metode audiolingual ini diharapkan mampu meningkatkan pelafalan bunyi bahasa Inggris peserta didik kelas XI SMA Budi Utama dengan menggunakan media utama kamus elektronik Chambridge Advanced Dictionary 3-rd Edition yang dikombinasikan melalui teknik latihan (drill).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimanakah permasalahan pelafalan dalam percakapan bahasa Inggris peserta didik kelas XI SMA Budi Utama Kuta Utara sebelum metode audiolingual diterapkan?
2) Bagaimanakah penerapan metode audiolingual dalam meningkatkan pelafalan dalam percakapan bahasa Inggris peserta didik kelas XI SMA Budi Utama?
3) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan pelafalan dalam percakapan bahasa Inggris peserta didik kelas XI SMA Budi Utama, Kuta Utara?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
kurikulum yang baik, maka tujuan pembelajaran akan dapat dicapai secara maksimal.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitan ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui permasalahan pelafalan dalam percakapan bahasa Inggris peserta didik kelas XI SMA Budi Utama Kuta Utara sebelum metode audiolingual diterapkan?
2) Mendeskripsikan penerapan metode audiolingual dalam meningkatkan pelafalan dalam percakapan bahasa Inggris peserta didik kelas XI SMA Budi Utama?
3) Menganalisis faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya penyimpangan pelafalan dalam percakapan bahasa Inggris peserta didik kelas XI SMA Budi Utama Kuta Utara?
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ide khususnya bagi tenaga kependidikan yang berkecimpung dalam bidang penelitian dan pendidikan kebahasaan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dalam pengembangan linguistik dalam pembelajaran bahasa, khususnya linguistik terapan. Melalui penelitian ini, diharapkan bunyi-bunyi yang sering keliru dilafalkan dan penyebab kesalahan tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk mengatasi masalah pelafalan pada peserta didik. Penelitian ini diharapkan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi linguistik terapan dalam meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris dengan menerapkan metode yang relevan dalam proses pembelajaran. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah temuan-temuan baru dalam bidang pembelajaran kebahasaan sehingga tercipta metode dan teknik mengajar yang kreatif.
1.4.2 Manfaat Praktis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini ada lima tesis yang digunakan untuk mendukung topik yang sedang dibahas agar dapat membantu melengkapi penelitian ini. Kajian tesis ini digunakan untuk membandingkan penelitian sebelumnya dan penelitian yang dilakukan sehingga dapat dilihat posisi penelitian ini. Adapun tesis yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, “Keterampilan Berbicara
Bahasa Inggris dengan Menggunakan Teknik Bermain Peran pada Mahasiswa
Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO” oleh Ni Luh Komang Julyanti Paramita
Sari (2013). Penelitian itu mengkaji keterampilan berbicara dengan menggunakan teknik bermain peran yang diterapkan kepada peserta didik.
mengajar berlangsung. Subjek dalam penelitian itu adalah mahasiswa Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Komang Julyanti Paramita Sari berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Perbedaan tersebut, antara lain judul dan topik berbeda, objek penelitian berbeda, teknik yang digunakan berbeda, serta aspek linguistik yang diteliti adalah tindak tutur, sedangkan persamaannya terletak pada keterampilan berbicara. Jadi, menurut penulis penelitian itu cukup relevan dalam keterampilan berbicara yang penulis lakukan.
Tesis kedua berjudul “Peningkatan Penguasaan Kosakata Siswa Melalui Penerapan Metode Pembelajaran Audiolingual pada Lembaga Kursus KUMON English as A Foreign Language Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris” oleh Desak Made Dewi Prabayanthi (2011). Penelitian itu mengkaji
Prabayanthi memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu unsur linguistik terapan yang diteliti mengenai keterampilan berbicara dan metode audiolingual yang digunakan. Namun, yang membedakan penelitian itu dengan penelitian yang penulis lakukan adalah pada unsur linguistiknya yang menekankan pada penguasaan kosakata, sedangkan penelitian penulis menekankan pada unsur fonetik.
Tesis ketiga berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Langsung dalam Pengajaran Bahasa Inggris di Lembaga Kursus English Center”
oleh I Gusti Bagus Wahyu Nugraha Putra (2012). Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penggunaan metode langsung dan tindak tutur guru dalam meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris peserta kursus pada level/tingkat pemula di lembaga kursus English Center. Unsur linguistik terapan yang dikaji adalah keterampilan berbicara dengan menggunakan metode langsung, sedangkan unsur linguistik yang dikaji adalah tindak tutur. Hasil penelitian itu menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan keterampilan berbicara setelah metode langsung diterapkan. Peserta kursus mampu berbicara dalam konteks percakapan sederhana. Mereka mampu menggunakan ungkapan-ungkapan dan kosakata tertentu secara komunikatif.
Penelitian I Gusti Bagus Wahyu Nugraha Putra cukup relevan karena terdapat persamaan dengan penelitian penulis yaitu topik sama mengenai keterampilan berbicara, metode penelitian berupa penelitian tindakan kelas (PTK), sedangkan yang membedakan dengan penelitian penulis adalah metodenya berbeda dan unsur linguistik yang dikaji dalam penelitian penulis adalah fonetik.
Tesis keempat berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Metode Debat Plus dalam Proses Pembelajaran Bahasa Inggris pada Siswa Kelas XI IPA SMA Pariwisata Kertha Wisata Denpasar” oleh Ida Ayu Ekayudha Pratiwi (2012).
Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penggunaan metode debat plus mampu meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa kelas sebelas di SMA Pariwisata Kertha Wisata Denpasar tahun ajaran 2010/2011. Unsur linguistik terapan yang dikaji dalam penelitian itu adalah keterampilan berbicara dan metode debat plus, sedangkan unsur linguistiknya adalah pelafalan, tata bahasa, dan diksi. Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan dalam metode pengajaran yang digunakan. Akan tetapi menurut penulis penelitian itu sangat relevan dengan penelitian yang penulis lakukan karena mengandung unsur fonetik dalam pelafalan serta subjek yang diteliti sama sama kelas XI tetapi objek dan tempat penelitian berbeda.
Kemudian tesis yang terakhir berjudul “ The Role of Articulatory Phonetics in Improving Listening for the First-Year Students of English at STIBA Saraswati
Denpasar” oleh Denok Lestari (2011). Penelitian itu bertujuan untuk
linguistik terapan yang diteliti adalah tentang keterampilan menyimak, sedangkan unsur linguistiknya adalah fonetik artikulatoris. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan dalam linguistik terapan. Denok mengkaji keterampilan menyimak, sedangkan penelitian penulis mengkaji keterampilan berbicara, tetapi penelitian tersebut sangat relevan dengan penelitian penulis karena mengandung unsur fonetik artikulatoris yang memberikan kontribusi dalam penelitian ini.
Secara keseluruhan dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa objek penelitiannya berbeda dengan penelitian ini serta metode yang diterapkan juga berbeda. Sebaliknya, yang sama adalah mengkaji keterampilan berbicara, namun penelitian ini hanya berfokus pada pelafalan dalam percakapan bahasa Inggris.
2.2 Konsep
Penelitian ini menggunakan beberapa konsep yakni peningkatan, pelafalan bunyi, percakapan, dan metode audiolingual. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
2.2.1 Peningkatan
2.2.2 Pelafalan Bunyi
Lafal adalah cara mengucapkan bunyi bahasa. (Educational Top Studies, 2014). Lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa. (KBBI, 2014). Dalam sistem bunyi bahasa Inggris terdapat banyak cara pengucapan pada setiap individu yang disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti daerah asal, pengaruh-pengaruh awal, dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, banyak ahli bahasa Inggris yang mengemukakan deskripsi rinci tentang satu bentuk pelafalan bahasa Inggris, yang setidaknya dapat dengan mudah dipahami oleh lingkungan pengguna bahasa Inggris, walaupun tidak standar.
Pada kenyataan yang sebenarnya, terdapat sejumlah alternatif pelafalan untuk ribuan kata dalam bahasa Inggris, yang seluruhnya bisa disebut benar. Bagi yang bukan penutur bahasa Inggris, cara pelafalan yang paling cocok untuk dipelajari dikenal sebagai “Slower Colloquial”, cara pelafalan di antara bentuk formal dengan pelafalan yang digunakan dalam perbincangan antarorang yang telah akrab. Cara tersebut merupakan cara yang dapat digunakan sepanjang waktu. dikutip dari yusti-arini.blogspot.co.id (2/11/2015).
pembelajar bahasa, misalnya bunyi yang mana yang harus digunakan pada suatu kata atau frasa, dan dalam rangka apa mempergunakan bunyi tersebut. (Arini, 2014)
2.2.3 Percakapan
Menurut Tarigan (1987: 106) percakapan adalah dialog antara dua orang atau lebih dalam membangun komunikasi. Berdasarkan sifatnya percakapan dibagi menjadi tiga yaitu;
1) Percakapan yang bersifat interaktif membutuhkan kontribusi percakapan yakni respon reaksi terhadap apa yang sebelumnya telah dikatakan.
2) Percakapan yang bersifat spontan merupakan percakapan yang biasa tanpa aturan tetapi dilakukan sampai batas tertentu, dan dalam beberapa cara, tak terduga. Namun, terdapat ruang lingkup spontanitas yang mengharuskan mengikuti aturan demi tujuan kebijaksanaan, misalnya talk show atau perdebatan.
2.2.4 Metode Audiolingual
Istilah “Audiolingualisme” diciptakan oleh Prof. Nelson Brooks pada
tahun 1964, yang menuntut perubahan pengajaran dari suatu seni menjadi suatu ilmu. Menurut Lado (1964) dalam bukunya yang berjudul Language Teaching: A Scientific Approach ada lima hukum empiris yang mendasari MAL (Metode Audiolingual) yaitu: hukum dasar hubungan, hukum latihan, hukum intensitas, hukum asimilasi, dan hukum pengaruh.
Hukum dasar hubungan yang menyatakan bahwa apabila dua pengalaman terjadi bersama-sama, kemunculan yang satu akan mengingatkan kita kembali kepada yang satu lagi. Hukum latihan yang mengemukakan dengan tegas bahwa semakin sering suatu response dipraktikkan, semakin baik pula hal itu dipelajari dan semakin lama diingat. Hukum intensitas yang menyatakan bahwa semakin intensif suatu respon dipraktikkan, semakin mantap hal itu dipelajari dan semakin lama pula akan diingat. Untuk meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik kelas XI SMA Budi Utama, dilakukan dengan menerapkan metode audiolingual. Artinya, menggunakan kamus elektronik Chambridge Advanced Dictionary 3-rd Edition yang kemudian diterapkan dalam praktik-praktik dan latihan-latihan
dalam berbahasa sehingga peserta didik mampu berbicara sesuai dengan pelafalan yang benar dan tepat.
2.3 Landasan Teori
Sejumlah pandangan para ahli digunakan dalam penelitian ini sebagai landasan teori yakni: (1) teori belajar behavioristik; (2) teori fonetik; (3) keterampilan berbicara; (4) penelitian tindakan kelas.
2.3.1 Teori belajar behavioristik
Teori belajar behavioristik mendefinisikan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang baru) sebagai hasil belajar (Winataputra, 2007: 2.4).
behavioristik, untuk mencapai hasil yang maksimal metode audiolingual harus didukung oleh teori belajar behavioristik.
Jika materi yang disampaikan oleh guru menarik dan menyenangkan maka peserta didik cenderung untuk mengulangi melakukan hal yang sama, tetapi jika sebaliknya peserta didik tidak akan mengulangi sesuatu yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu respon yang benar, menarik dan menyenangkan serta dengan latihan yang berulang-ulang (drill and practice) akan sangat membantu peserta didik dalam mencapai hasil yang diinginkan.
2.3.2 Teori Fonetik
(dikutip dari academia, 2014). Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan berusaha merumuskan secara teratur tentang hal ikhwal bunyi bahasa. ( Marsono, 1999:1). Fonetik artikulatoris adalah ilmu fonetik yang mempelajari tentang bagaimana bunyi bahasa diucapkan dan dibuat, serta bagaimana bunyi bahasa diklaifikasikan berdasarkan artikulasinya. ( Marsono, 1999:2).
Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda maknanya atau tidak (Abdul Chaer, 1994:102). Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia (Keraf, 1984: 30). Fonetik adalah bidang kajian ilmu pengetahuan (science) yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa
dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi bahasa yang dikeluarkan, dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk dianalisis oleh otak manusia (Ladefoged, 1982:1).
2.3.2.1 Bunyi Vokal bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
Tabel 2.3 Bunyi Vokal secara Umum
Posisi Lidah
Depan Tengah Belakang
Striktur tak
bulat
tak
bulat bulat netral
Tinggi i u Tertutup
Madya e ə o Semi-tertutup
ɛ ɔ Semi-terbuka
Rendah a ɑ Terbuka
(Marsono, 1999:35)
Berdasarkan tabel di atas bunyi vokal secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, striktur, dan bentuk bibir. (Marsono, 1999:29-34)
1) Tinggi rendahnya lidah
a) Vokal tinggi, misalnya: [i, u].
b) Vokal madya, misalnya: [e, ɛ, ə, o, ɔ]. c) Vokal rendah, misalnya: [a, ɑ]. 2) Bagian lidah yang bergerak
a) Vokal depan, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian depan; misalnya; [i, e, ɛ, a].
b) Vokal tengah, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan lidah bagian tengah; misalnya; [ə].
c) Vokal belakang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian belakang (pangkal lidah); misalnya; [u, o, ɔ, ɑ].
vokal ditentukan oleh jarak lidah dengan langit-langit. Menurut strikturnya maka vokal dapat dibedakan atas:
a) Vokal tertutup (close vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal. Vokal tertutup ini dapat digambarkan terletak pada garis yang menghubungkan antara [i] dengan [u]. Jadi vokal [i] dan [u] menurut strikturnya merupakan vokal tertutup.
b) Vokal semi-tertutup (half-close), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau dua pertiga di atas vokal yang paling rendah, terletak pada garis yang menghubungkan antara vokal [e] dengan [o]. Dengan demikian vokal [e] dan [o] adalah semi tertutup.
c) Vokal semi-terbuka (half-open), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling rendah atau dua pertiga di bawah vokal tertutup. Letaknya pada garis yang menghubungkan vokal [ɛ] dengan [ɔ], dan dengan demikian kedua vokal itu adalah semi-terbuka menurut strikturnya.
d) Vokal terbuka (open vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah dalam posisi serendah mungkin, kira-kira pada garis yang menghubungkan antara vokal [a] dengan [ɑ], dan dengan demikian kedua vokal itu termasuk vokal terbuka.
a. Vokal bulat (rounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat. Bentuk bibir bulat bisa terbuka atau tertutup. Jika terbuka maka vokal itu diucapkan dengan posisi bibir terbuka bulat (open rounded) yakni pada vokal [ɔ]. Jika tertutup maka vokal itu diucapkan dengan posisi bentuk bibir tertutup bulat, misalnya untuk vokal [o,u].
b. Vokal netral (neutral vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir dalam posisi netral, dalam arti tidak bulat tetapi juga tidak terbentang lebar. Misalnya, seperti vokal [ɑ]
c. Vokal tak bulat (unrounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir tidak bulat atau terbentang lebar. Misalnya, vokal [i, e, ə, ɛ, a]. (Marsono, 1999:29-34)
Tabel 2.4 Bunyi Vokal Bahasa Indonesia
No Vokal
1 2 3 4 5
Tinggi rendah lidah Gerak lidah bagian
Striktur Bentuk bibir
Contoh kata
1 [i:] tinggi
atas
depan tertutup tak bulat ini, ibu, kita, cari,
lari
2 [I] tinggi
bawah
depan semi-tertutup tak bulat pinggir, kerikil, kelingking
3 [e] madya
atas
depan semi-tertutup tak bulat ekor, eja, enak
4 [ɛ] madya
bawah
depan semi-terbuka tak bulat nenek, leher, geleng, dendeng
5 [a] rendah
bawah
depan terbuka tak bulat ada, apa, pada 6 [ə] madya tengah semi-terbuka tak bulat emas,
elang, sela, iseng
7 [ɔ] madya
bawah
belakang semi-terbuka bulat otot, tokoh, dorong,
roti
8 [o] madya
atas
belakang semi-tertutup bulat oto, took, kado, prangko
9 [U] tinggi
bawah
belakang semi-tertutup bulat ukur, urus, turun
10 [u] tinggi
atas
Tabel 2.5 Bunyi Vokal Bahasa Inggris
No Vokal
1 2 3 4 5
Tinggi rendah lidah Gerak lidah bagian
Striktur Bentuk bibir
Contoh kata
1 [i:] tinggi
atas
depan tertutup tak bulat see, feel, bead,
ream
2 [I] tinggi
bawah
depan semi-tertutup tak bulat it, lid, fill, rich
3 [ɛ] madya depan
semi-tertutup/terbuka
tak bulat fell, get, led 4 [ӕ] rendah depan hampir terbuka netral bad,
cat,bat 5 [ə:] madya
atas
tengah semi-tertutup tak bulat bird, burn, heard
6 [ə] madya
bawah
tengah semi-terbuka netral ago, colour, perhaps 7 [ᴧ] rendah tengah hampir terbuka netral up, cup,
luck
8 [ɑ:] rendah
bawah
belakang terbuka netral card, dark, hard
9 [ɔ] rendah
bawah
belakang terbuka bulat box, hot, lock 10 [ɔ:] rendah
atas
belakang semi-terbuka bulat cord, law, saw
11 [u] tinggi
bawah
belakang semi-tertutup bulat put, pull, look 12 [u:] tinggi
atas
belakang tertutup bulat pool, too, shoed (Marsono, 1999:47)
2.3.2.2 Bunyi Konsonan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
1) Cara dihambat (cara artikulasi). 2) Tempat hambatan (tempat artikulasi).
3) Hubungan posisional antara penghambat-penghambatnya atau hubungan antara artikulator aktif dengan pasif (striktur).
4) Bergetar tidaknya pita suara.
Untuk lebih jelas dijabarkan pada penjelasan di bawah ini. 1) Konsonan Hambat Letup (Stops, Plosives)
Konsonan hambat letup ialah konsonan yang terjadi dengan hambatan penuh arus udara kemudian hambatan ini dilepaskan secara tiba-tiba. Jadi strikturnya rapat kemudian dilepaskan tiba-tiba. Striktur rapat yang pertama disebut hambatan, sedangkan striktur pelepasan yang kedua disebut letupan Marsono, (1999:60). Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan dapat dibedakan menjadi:
1) Konsonan hambat letup bilabial
2) Konsonan hambat letup apiko-dental
Konsonan hambat letup apiko-dental terjadi bila penghambat artikulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang dihasilkan ialah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menekan rapat pada gigi atas bagian dalam, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang menekan rapat gigi atas itu kemudian secara tiba-tiba dilepaskan. Terjadilah letupan udara keluar dari rongga mulut. Bunyi dental [t] adalah konsonan keras bersuara, sedangkan [d] adalah lunak bersuara dan hambatannya lebih pendek daripada [t]. (Marsono, 1999:63-64)
3) Konsonan hambat letup apiko-alveolar
4) Konsonan hambat letup apiko-palatal
Konsonan hambat letup apiko-palatal terjadi bila artikulasi aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya langit-langit keras. Bunyi yang terjadi ialah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menekan rapat pada langit-langit keras, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang menekan rapat pada langit-langit keras. Bunyi yang terjadi adalah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menekan rapat pada langit-langit keras, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang menekan rapat pada langit-langit keras itu kemudian secara tiba-tiba dilepaskan. Terjadilah letupan udara keluar dari rongga mulut. Perbedaan di antara kedua bunyi itu ialah [t] konsonan keras tak bersuara, sedangkan [d] adalah lunak bersuara. (Marsono, 1999:66-67)
5) Konsonan hambat letup medio-palatal
6) Konsonan hambat letup dorso-velar
Konsonan hambat letup dorso-velar terjadi bila articulator aktifnya ialah pangkal lidah dan artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan ialah [k,g]. Pangkal lidah menekan rapat pada langit-langit lunak. Langit-langit lunak beserta ank tekaknya dinaikkan, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Secara tiba-tiba pangkal lidah yang menekan rapat itu kemudian dilepaskan, terjadilah letupan sehingga udara keluar dari rongga mulut. Perbedaan antara [k] dengan [g] ialah [k] sebagai konsonan keras tak bersuara, sedangkan [g] adalah konsonan lunak bersuara. (Marsono, 1999:70-71)
7) Konsonan hamzah (glottal plosive, glottal stop)
Konsonan hamzah terjadi dengan menekan rapat yang satu terhadap yang lain pada seluruh panjangnya pita suara, langit-langit lunak beserta anak tekaknya dikeataskan, sehingga arus udara terhambat untuk beberapa saat. Dengan merapatnya sepasang pita suara maka glotis dalam keadaan tertutup rapat. Secara tiba-tiba kedua selaput pita suara itu dipisahkan, terjadilah letupan udara keluar, dan terdengarlah bunyi [?].(Marsono, 1999:72)
2) Konsonan Nasal (Nasals)
1) Konsonan nasal bilabial
Konsonan nasal bilabial terjadi bila penghambat artikulator aktifnya ialah bibir bawah dan artikulator pasifnya ialah bibir atas. Nasal yang terjadi ialah [m]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan. Bibir bawah menekan rapat pada bibir atas sehingga jalannya udara dari paru-paru melalui rongga mulut terhambat dan keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suar ikut bergetar maka nasal [m] termasuk konsoan bersuara. (Marsono, 1999:74)
2) Konsonan nasal apiko-alveolar
Konsonan nasal apiko-alveolar terjadi bila penghambat artikulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gusi. Nasal yang terjadi ialah [n]. langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan. Bersama dengan itu lidah ditekankan rapat pada gusi sehingga jalannya udara melalui rongga mulut terhambat dan keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut bergetar maka nasal [n] adalah konsonan bersuara. (Marsono, 1999:75-76)
3) Konsonan nasal medio-palatal
4) Konsonan nasal dorso-velar
Konsonan dorso-velar terjadi bila proses penghambat artikulator aktifnya pangkal lidah dan artikulator pasifnya ialah langit-langit lunak. Nasal yang dihasilkan ialah [ŋ]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan.
Bersama dengan itu pangkal lidah dinaikkan ditekankan rapat pada langit-langit lunak. Oleh karena itu, maka jalannya udara melalui rongga mulut terhambat dan keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut bergetar maka [ŋ] juga termasuk konsonan bersuara. Seperti pada kata: ngarai,
langit, dan senang. (Marsono, 1999:77-78) 3) Konsonan Paduan (Affricates)
paduan lunak bersuara dan hambatannya lebih pendek seperti pada kata chin, riches, dan rich. (Marsono, 1999:79-80)
4) Konsonan Sampingan (Laterals)
Konsonan sampingan dibentu dengan menutup arus udara di tengah rongga mulut sehingga udara keluar melalui kedua samping atau sebuah samping saja. Latera dlam bahasa Latin berarti „samping-samping‟. Jadi strikturnya adalah renggang lebar. Tempat artikulasinya ujung lidah dengan gusi. Bunyi yang dihasilkan disebut sampingan apiko alveolar. Bunyi itu adalah [l]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menyentuh rapat pada gusi, sehingga arus udara melalui tengah mulut terhalang. Karena udara melalui tenah mulut terhalang maka udara yang dihembuskan dari paru-paru keluar melalui kedua (salah satu) sisi lidah yang tidak bersentuhan dengan langit-langit. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut bergetar maka [l] adalah konsonan bersuara. Seperti pada kata: lama, pula, asal, look, holiday, oil. (Marsono, 1999:80-81)
5) Konsonan Geseran atau Frikatif (Frikatives, Frictions)
1) Konsonan geseran labio-dental
Konsonan geseran labio-dental terjadi bila artikulator aktifnya ialah bibir bawah dan artikulator pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang terjadi ialah [f,v]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan, udara tidak keluar melalui rongga hidung dan terpaksa keluar lewat mulut. Bibir bawah ditekankan pada gigi depan atas, dengan demikian penyempitan jalan arus udara terjadi. Karena jalannya arus udara disempitkan maka udara keluar secara bergeser melalui sela-sela bibir dengan gigi dan melalui lubang-lubang di antara gigi. Perbedaan di antara kedua bunyi geseran itu ialah [f] sebagai konsonan keras bersuara, sedangkan [v] adalah konsoan lunak bersuara. Seperti pada kata: fajar, nafas, taraf, valuta, devisa, fan, sofa, life, van, cover, live (Marsono, 1999:82-83)
2) Konsonan geseran apiko-dental
Konsonan geseran apiko-dental terjadi bila artikulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang dihasilkan ialah [θ,ð].
Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dikeataskan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut. Ujung lidah ditekankan pada gigi depan atas, sehingga penyempitan jalan udara terjadi. Karena jalannya arus udara disempitkan maka udara keluar dengan bergeser melalui sela-sela ujung lidah dan gigi. Perbedaan di antara kedua bunyi itu ialah [θ] sebagai konsonan keras tak bersuara hambatannya lebih panjang, sedangkan
3) Konsonan geseran apiko-palatal
Konsonan geseran apiko-palatal terjadi bila articulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan ialah [r]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut. Lidah membentuk lengkungan dengan ujung lidah mengarah pada langit-langit tetapi ada sela-sela sempit yang menyebabkan jalannya udara bergeser. Bibir agak dibulatkan, khususnya jika [r] itu ada pada awal kata. Pita suara ikut bergetar sehingga [r] termasuk konsonan bersuara. (Marsono, 1999:85-86)
4) Konsonan geseran lamino-alveolar
5) Konsonan geseran apiko-prepalatal
Konsonan geseran apiko-prepalatal terjadi bila artikulator aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gusi bagian belakang atau langit-langit keras depan (prepalatal). Bunyi yang terjadi ialah [ʃ, ʒ]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut. Ujung lidah atau beserta daun lidah ditekankan pada gusi bagian belakang (langit-langit keras depan). Ruangan jalannya udara antara ujung lidah dengan gusi bagian belakang sempit sekali yang menyebabkan keluarnya udara bergeser. Ruangan di antara ujung lidah dengan gusi itu jika dibandingkan dengan [s] lebih besar], sebaliknya jalan udara di antara bagian utama lidah dengan langit-langit lebih sempit. Lidah depan lebih tinggi daripada untuk [s,z]. Bibir bulat ramping. Gigi atas dengan gigi bawah sangat berdekatan. Perbedaan di antara kedua geseran apiko-prepalatal itu ialah [ʃ] sebagai bunyi geseran apiko-prepalatal keras tak bersuara lebih panjang hambatannya, sedangkan [ʒ] adalah lunak bersuara lebih pendek hambatannya. Seperti pada kata: shop, nation, wash. (Marsono, 1999:88-89)
6) Konsonan geseran dorso-velar
maka udara keluar dengan bergeser. Pita suara tidak ikut bergetar maka bunyi [x] tidak bersuara. (Marsono, 1999:90-91)
7) Konsonan geseran laringal
Konsonan geseran laringal atau geseran glottal terjadi bila artikulatornya adalah sepasang pita suara. Udara yang dihembuskan dari paru-paru pada waktu melewati glottis digeserkan. Glotis dalam posisi terbuka. Posisi terbuka ini lebih sempit daripada posisi terbuka. Posisi terbuka ini lebih sempit daripada posisi glottis terbuka lebar dalam bernafas normal. Terjadilah bunyi [h], karena pita suara tidak ikut bergetar maka [h] adalah konsonan tidak bersuara. (Marsono, 1999:92)
6) Konsonan Getar (Trills, Vibrants)
Konsonan getar atau geletar ialah konsonan yang dibentuk dengan menghambat jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru secara berulang-ulang dan cepat. Jadi strikturnya rapat renggang, yaitu dirapatkan kemudian direnggangkan atau dilepaskan (dihambat-dilepskan) berkali-kali dengan cepat. (Marsono, 1999:93) Menurut tempat artikulasinya konsonan getar ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Konsonan getar apiko-alveolar
merenggang (melepas) secara berkali-kali pada gusi belakang sehingga menyebabkan jalannya udara bergetar. (Marsono, 1999:93)
2) Konsonan getar uvular
Konsonan getar uvular terjadi bila artikulator aktif yang menyebabkan bergetarnya udara itu ialah pangkal lidah (lidah belakang) dan artikulator pasifnya ialah anak tekak. Bunyi yang terjadi ialah [R]. Langit-langit luank terangkat ke atas menutup jalannya udara melalui rongga hidung. Udara keluar melalui rongga mulut. Pangkal lidah merapat kemudian merenggang (melepas) secara berkali-kali pada anak tekak sehingga menyebabkan jalannya udara bergetar. (Marsono, 1999:94-95)
7) Konsonan Sentuhan (Tap)
Konsonan sentuhan ialah konsonan yang pembentukkannya hampir sama dengan getar tetap proses bergetar itu hanya terjadi satu kali. Penghalangan udara terjadi menyentuhkan artikulator aktif pada artikulator pasif satu kali. Jadi strikturnya rapat renggang pendek sekali. Tempat artikulasinya ialah ujung lidah dengan gusi belakang atau langit-langit. Bunyi yang dihasilkan disebut sentuhan (tap) apiko-alveolar, dilambangkan dengan [r]. (Marsono, 1999:95)
8) Konsonan Sentuhan Kuat (Flap)
konsonan sentuhan (tap), yaitu ujung lidah dengan gusi belakang atau langit-langit. Ujung lidah sebagai artikulator aktif disentuhkan kuat-kuat pada gusi belakang atau langit-langit sehingga menyebabkan arus udara terhambat dan bergetar satu kali. Bunyi yang dihasilkan disebut sentuhan kuat apiko-aveolar dilambangkan dengan [r].
9) Semi-vokal
Bunyi semi vokal secara praktis termasuk konsonan tetapi karena waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi-bunyi itu disebut semi-vokal. Hubungan posisional antar penghambat (artikulator) dalam mengucapkan semi-vokal adalah renggang terbentang atau renggang lebar. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) ada dua jenis semi-vokal, yaitu:
1) Semi-vokal bilabial dan labio-dental
2) Semi-vokal medio-palatal
[image:38.595.112.537.437.688.2]Semi-vokal medio-palatal terjadi bila artikulator aktifnya ialah tengah lidah dan artikulator pasifnya ialah langit-langit keras. Bunyi yang terjadi ialah [y]. langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi keluar melalui rongga mulut. Tengah lidah menaik mendekati langit-langit keras, tetapi tidak sampai rapat. Ketinggian lidah ini, jika dibandingkan dengan [i], [y] sedikit lebih tinggi, tetapi lebih rendah daripada [j]. Oleh karena itu, maka udara yang keluar dari paru-paru sedikit terhambat. Pita-pita suara ikut bergetar maka bunyi [y] termasuk bunyi bersuara. (Marsono, 1999:99) Untuk lebih jelasnya bunyi konsonan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.6 Bunyi Konsonan Bahasa Indonesia
Hubungan posisional antar penghambat (striktur) Cara dihambat (cara artikulasi) B er sua ra da n tak be rs ua ra
Tempat hambatan (tempat artikulasi)
B il abial L abio -de ntal Apiko-de ntal Apiko-al ve olar
Apiko prepa
lata l Apiko-pa lata l L ami no -alveola r L ami no -pa tala l M edio -pa lata l Dor so -ve la r Uvula r L ar in ga l Glotal ha mza h Rapat lepas
tiba-tiba Hambat letup
T p p- t t- c k k- ?
B b d j g
Rapat lepas
tiba-tiba Nasal (sengau)
B m n n ŋ
T
Rapat lepas pelan-pelan
Paduan
(afrikat) B
Renggang lebar
Sampingan
(lateral) B l
Renggang Geseran
(frikatif)
T f s ʃ x
h
B v z
Rapat
renggang Getar (tril) r
Renggang
lebar Semi-vokal B w y
(Marsono, 1999:101) Keterangan:
Tabel 2.7 Bunyi Konsonan Bahasa Inggris Hubungan posisional antar penghambat (striktur) Cara dihambat (cara artikulasi) B er sua ra da n tak be rs ua ra
Tempat hambatan (tempat artikulasi)
B il abial L abio -de ntal Apiko-de ntal Apiko-alveola r Apiko pr epa lata l Apiko-pa lata l L ami no -a lveola r L ami no -pa tala l M edio -pa lata l Dor so -ve lar Uvula r L ar ingal Glotal ha mza h
Rapat lepas tiba-tiba
Hambat letup T
p
ph t th k kh
?
B b d g
Rapat lepas
tiba-tiba Nasal (sengau) B m n ŋ
Rapat lepas pelan-pelan
Paduan (afrikat)
T tʃ
B dʒ
Renggang lebar
Sampingan
(lateral) B l
Renggang Geseran
(frikatif)
T f θ ʃ s x
h
B v ð ʒ r z
Rapat renggang Getar (tril) R*)
Rapat renggsng 1 x Sentuhan (tap) B r*)
Rapat renggsng 1 x kuat
Sentuhan kuat
(flap) r*)
Renggang lebar Semi vokal B w y
(Marsono, 1999:106) Keterangan:
T = Tidah bersuara B= Bersuara *)= Tidak ada dalam bahasa Indonesia Bunyi Segmental
Bunyi segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh pernafasan, alat ucap dan pita suara. Bunyi Segmental ada empat macam yaitu:
1) Konsonan
Konsonan adalah bunyi yang terhambat oleh alat ucap. 2) Vokal
Vokal adalah bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap. 3) Diftong
4) Kluster
Kluster adalah dua konsonan yang dibaca satu bunyi.
2.3.3 Keterampilan berbicara
Berbicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule, 1983). Menurut Tarigan (1981:15), berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantis dan linguistik yang sangat intensif. Lebih lanjut, Tarigan (2008:17) mengemukakan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata yang bertujuan untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan orang tersebut.
Berbicara sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa memiliki keterkaitan erat dengan aspek keterampilan berbahasa lainnya, yaitu antara berbicara dengan menyimak, berbicara dengan menulis, dan berbicara dengan membaca.
1) Hubungan Berbicara dengan Menyimak
tidak ada gunanya orang berbicara bila tidak ada orang yang menyimak. Tidak mungkin orang menyimak bila tidak ada orang yang berbicara. Melalui kegiatan menyimak siswa mengenal ucapan kata, struktur kata, dan struktur kalimat.
2) Hubungan Berbicara dengan Membaca
Berbicara dan membaca berbeda dalam sifat, sarana, dan fungsi. Berbicara bersifat produktif, ekspresif melalui sarana bahasa lisan dan berfungsi sebagai penyebar informasi. Membaca bersifat reseptif melalui sarana bahasa tulis dan berfungsi sebagai penerima informasi.
Bahan pembicaraan sebagian besar didapat melalui kegiatan membaca. Semakin sering orang membaca semakin banyak informasi yang diperolehnya. Pembelajaran berbicara mempunyai sejumlah komponen yang pembahasannya diarahkan pada segi metode pengajaran. Guru harus dapat mengajarkan keterampilan berbicara dengan menarik dan bervariasi. Menurut Tarigan (1987: 106) ada empat kemampuan berbicara yaitu sebagai berikut:
1) Percakapan
Percakapan adalah pertukaran pikiran atau pendapat mengenai suatu topik tertentu antara dua atau lebih pembaca. Tarigan (1987: 106). Percakapan selalu terjadi dua proses yakni proses menyimak dan berbicara secara simultan. Percakapan biasanya dalam suasana akrab dan peserta merasa dekat satu sama lain dan spontanlitas. Percakapan merupakan dasar keterampilan berbicara baik bagi anak-anak maupun orang dewasa.
Menurut Tarigan (1987: 124) telepon sebagai alat komunikasi yang sudah meluas sekali pemakaianya. Keterampilan menggunakan telepon bisnis, menyampaikan berita atau pesan. Penggunaan telepon menuntut syarat-syarat tertentu antara lain: berbicara dengan bahasa yang jelas, singkat dan lugas. Metode bertelepon dapat digunakan sebagai metode pengajaran berbicara. Melalui metode bertelepon diharapkan siswa didik berbicara jelas, singkat dan lugas. Siswa harus dapat menggunakan waktu seefisien mungkin.
3) Wawancara
Menurut Tarigan (1987: 126) wawancara atau interview sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya wartawan mewawancarai para menteri, pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat mengenai isu penting. Wawancara dapat digunakan sebagai metode pengajaran berbicara, pada hakekatnya wawancara adalah bentuk kelanjutan dari percakapan atau tanya jawab. Percakapan dan tanya jawab sudah biasa digunakan sebagai metode pengajaran berbicara.
4) Diskusi
Diskusi sering digunakan sebagai kegiatan dalam kelas. Metode diskusi sangat berguna bagi siswa dalam melatih dan mengembangkan keterampilan berbicara dan siswa juga turut memikirkan masalah yang didiskusikan. Berbicara adalah suatu kegiatan komunikasi antara 2 orang atau lebih menggunakan bahasa lisan. Menurut Maidar dan Mukti (1993: 18) dalam berbicara ada sejumlah faktor yang menunjang keefektifan berbicara. Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Ketepatan ucapan, pengucapan bunyi-bunyian harus tepat, begitu juga dengan penempatan tekanan, durasi, dan nada yang sesuai.
2) Pemilihan kata atau diksi, harus jelas, tepat dan bervariasi sehingga dapat memancing kepahaman dari pendengar.
3) Ketepatan sasaran pembicara, pemakaian kalimat atau keefektivan kalimat memudahkan pendengar untuk menangkap isi pembicaraan.
Faktor non-kebahasaan 1) Sikap yang tidak kaku;
2) Kesediaan menghargai pendapat; 3) Pandangan ke pendengar;
4) Gerak-gerik atau mimik tepat; 5) Kenyaringan suara;
6) Kelancaran berbicara; 7) Penguasaan topik.
2.3.4 Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan kelas (PTK) atau disebut juga Classroom Action Research (CAR) adalah penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. (Burns, 2009:6). Adapun tujuan PTK adalah (1) meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah, (2) membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran, (3) meningkatkan sikap profesional guru dan tenaga kependidikan, (4) menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan. (Burns, 2009:8).
Keunggulan yang dimiliki PTK yakni:
1) guru tidak perlu meninggalkan kelas atau pekerjaannya;
2) tidak memerlukan biaya yang tinggi dan dapat dilakukan kapan saja; 3) hasil penelitiannya yang direncanakan dapat dirasakan;
4) bila tindakan (treatment) dilakukan kepada responden, mereka dapat merasakan hasilnya.
Gambar 2.3 Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (1) Perencanaan (5) Tindakan berikutnya
(4) Refleksi (2) Tindakan
(3) Observasi
(Suparno, 2008:11)
Bagan di atas menggambarkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah sebuah siklus yang dilakukan secara berulang. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1) Perencanaan
Peranan dalam fase ini sangat penting karena rencana tindakan dikembangkan berdasarkan permasalahan yang ada di lapangan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan yang lebih khusus. (Burns, 2009:8)
2) Tindakan
Tindakan yang dilakukan harus melalui perencanaan yang baik dengan mempertimbangkan situasi dan batasan waktu yang ditentukan.
3) Observasi
Pada fase ini mencakup pengamatan secara sistematis yang merupakan
mencatat/mendokumentasikan konteks, kegiatan, dan pendapat dari semua yang ikut terlibat di dalamnya.
4) Refleksi
Pada fase ini guru menganalisis kembali kegiatan yang telah dilakukan dengan menggambarkan, mengevaluasi, dan mendeskripsikan dampak dari tindakan yang dilakukan dengan tujuan memberikan penjelasan yang rasional dan memahami permasalahan yang telah dikaji lebih jelas. (Burns, 2009:8)
5) Tindakan berikutnya
Pelafalan Bunyi pada Percakapan Bahasa Inggris Peserta Didik Kelas XI SMA Budi Utama Melalui Metode Audiolingual
2.3.5 Model Penelitian
Pratindakan Siklus 1 dan 2
Faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan
pelafalan
Metode Audiolingual
Tujuan Penelitian
Hasil penelitian ANALISIS
Kualitatif dan Kuantitatif menggunakan teori fonetik
ANALISIS Kualitatif dan Kuantitatif menggunakan Teori : - Teori belajar
behavioristik - Teori Fonetik - Teori Keterampilan
berbicara
Penjelasan bagan :
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa penulis ikut berpartisipasi dalam proses pembelajaran sebagai guru dan juga pengamat (observer). Penelitian ini menganalisis tiga masalah yang berkaitan dengan
pelafalan peserta didik, masalah pertama ditemukan pada tahap pratindakan, masalah kedua ditemukan pada siklus 1 dan 2, kemudian masalah 3 ditemukan ketika masalah pertama dan kedua ditemukan.
Masalah pertama yang masih menggunakan metode ceramah pada tahap pratindakan dianalisis menggunakan teori fonetik yang ditampilkan secara kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui pelafalan peserta didik sebelum menggunakan metode audiolingual. Selanjutnya masalah kedua yang telah menggunakan metode audiolingual pada siklus 1 dan siklus 2 dianalisis menggunakan teori belajar behavioristik, teori keterampilan berbicara, teori fonetik untuk mengetahui peningkatan pelafalan peserta didik yang ditampilkan secara kualitatif dan kuantitatif. Setelah hasil analisis masalah pertama dan kedua ditemukan dilanjutkan dengan menganalisis masalah ketiga menggunakan teori fonetik untuk mengetahui faktor penyebab kekeliruan pelafalan peserta didik yang ditampilkan secara kualitatif.