Proceedings
Seminar Nasional 2019
Kerjasama Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana
dan Asosiasi Psikologi Kristiani
“Merajut Keragaman
Untuk Mencapai
Kesejahteraan Psikologis
Dalam Konteks Masyarakat 5.0”
Hotel Grand Wahid Salatiga, 2 Agustus 2019
Satya Wacana University Press 2019
Proceedings
Seminar Nasional
“Merajut Keragaman
Untuk Mencapai
Kesejahteraan Psikologis
Dalam Konteks Masyarakat 5.0”
Hotel Grand Wahid Salatiga, 2 Agustus 2019
Satya Wacana University Press 2019
ii
PROCEEDINGS
SEMINAR NASIONAL
“MERAJUT KERAGAMAN UNTUK MENCAPAI
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS
DALAM KONTEKS MASYARAKAT 5.0”
Hotel Grand Wahid Salatiga, 2 Agustus 2019
Reviewer
Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, MS.
Dr. Susana Prapunoto, Ma-Psy. Krismi Diah Ambarwati, M.Psi., Psikolog
Editor
Dr. Susana Prapunoto, MA-Psy.
Steering Committee
Prof. Dr. Marthen Pali, M.Psi Dr. Suryasatriya Trihandaru, M.Sc.nat
Committee
Pelindung : Neil Semuel Rupidara, SE., M.Sc.,Ph.D.
Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Penanggungjawab : Berta Esti Ari Praseya, S.Psi., MA.
Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Penasihat : Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
Dr. Susana Prapunoto, Ma-Psy. Ketua Panitia : Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, MS. Sekretaris : Yohanes Krismono, SE.
Bendahara : Krismi Diah Ambarwati, M.Psi., Psikolog. Cover : Timotius Iwan Susanto, S.Psi.
Cetakan Pertama: 2019
Isi dari masing-masing artikel proceedings merupakan tanggung jawab masing-masing penulis
All right reversed. Save exception stated by the law, no part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system of any nature, or transmitted in any form by any mean electronic, mechanical, photocopying, recording or otherwhise, included a complete or partial transcription, without the prior written permission of the author, application for which should be addressed to author.
Satya Wacana University Press Universitas Satya Wacana Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga
Telp. (0298) 321212 Ext. 1229, Fax. (0298) 311995 Email: satyawacanapress@adm.uksw.edu
iii
KATA SAMBUTAN PENYELENGGARA
Salam Sejahtera bagi kita sekalian, Shalom.
Seminar nasional dan call papers bertajuk “Merajut Keragaman Untuk Mencapai
Kesejahteraan Psikologis dalam Konteks Society 5.0” kita selenggarakan dengan kerjasama antara Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan Asosiasi Psikologi Kristiani – (APK) Indonesia, dalam rangka menyambut Dies Natalis Fakultas Psikologi ke 20th. Fakultas Psikologi UKSW pertama kali berdiri pada tanggal 23 Juni 1999;
dan hingga saat ini telah memiliki 2 program studi yaitu S1 dan S2. Usaha yang berkelanjutan dari tahun ke tahun oleh seluruh pihak di fakultas dan program studi, telah memampukan Program S1 terakreditasi dengan peringkat A. Sebagai bagian dari semangat untuk terus berkontribusi bagi kemajuan perkembangan psikologi di Indonesia, Fakultas Psikologi mengundang para ilmuan di Indonesia untuk membagikan hasil-hasil riset dan pemikiran terbaik mereka melalui seminar ini. Demi tercatatnya kajian-kajian ilmiah yang ada, proceeding ini diterbitkan agar pemikiran-pemikiran maupun hasil riset yang telah disampaikan dalam seminar dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas.
Tema ini secara spesifik diangkat, dengan melihat kenyataan bahwa Indonesia memiliki kekayaan keragaman baik dari segi budaya, bahasa, agama, serta latar belakang kehidupan yang lain. Keberagaman ini bagaikan memiliki dua sisi mata uang, yang bila bisa dimanfaatkan dengan maksimal akan memperkaya kekayaan pengalaman kehidupan individu, mendorong individu untuk belajar lebih fleksibel terhadap perubahan dan perbedaan serta mengembangkan pribadi yang kuat mental dan kaya pengalaman. Namun sebaliknya, keberagaman juga dapat menjadi ancaman apabila individu gagal mensikapinya dengan positif dan tepat; menimbulkan kesalahpahaman, syak wasangka bahkan perpecahan. Sementara itu, perkembangan peradaban manusia telah sampai pada titik saat kemajuan teknologi, utamanya teknologi informasi yang berintegrasi dengan internet, memunculkan teknologi digital, wireless, bigdata yang memunculkan berbagai exponential techology seperti: a) artificial intelligence, augmented
reality 3D printing dan robotics, b) biotechnology c) nano technology, material baru, an fabrikasi digital, d) networks & computing systems (cloud, big data, IoT) (Diamandis, 2012).
iv
Semua kemajuan ini menimbulkan disrupsi baru, memaksa masyarakat harus siap dengan sistem-sistem baru, pola komunikasi dan interaksi yang baru, sistem-sistem bertransaksi yang baru yang berubah dengan pesat, yang mempengaruhi berbagai macam aspek kehidupan di masyarakat, yang saat ini dikenal dengan konteks masyarakat 5.0. Semua hal ini perlu dikaji dari berbagai sisinya, agar kita bisa mengantisipasi dan menyikapi dengan bijak sehingga dapat tercapai kesejahteraan psikologis setiap individu di Indonesia.
Seminar dan Call papers ini diikuti oleh 132 peserta, terdiri dari guru, dosen, utusan gereja, mahasiswa, peneliti, maupun praktisi, yang berasal dari berbagai daerah antara lain: Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Makasar, Kupang, Manado, Surabaya dan lainnya. Harapan kami apa yang kita diskusikan dalam seminar ini dapat meningkatkan pengetahuan kita, dan pada akhirnya dapat bermanfaat bagi setiap orang yang kita layani.
Secara khusus ucapan terimakasih disampaikan kepda APK dan HIMPSI yang telah menjadi mitra kami dalam menyelenggarakan kegiatan ini serta kepada UKSW yang telah mendukung sepenuhnya terhadap kegiatan ini. Ucapan terimakasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada segenap panitia di bawah koordinasi dari Ibu Dr. Christiana Hari Soethjiningsih, MS dan Ibu Dr. Susana Prapunoto, M-Psy; didukung oleh Ibu Krismi Ambarwati M.Psi maupun Bapak Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA beserta para dosen, karyawan, maupun para mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW yang telah bekerjakeras mewujudkan terselenggaranya kegiatan ini.
Akhir kata, semoga Proceedings ini bermanfaat dan apabila ada kesalahan-kesalahan tertentu yang tidak kami sengaja dalam penerbitan proceeding ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya. Tuhan memberkati kita sekalian. Amin.
Hormat kami,
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., M.A. Dekan Fakultas Psikologi UKSW
v
KATA PENGANTAR
Keragaman, Kemajemukan adalah keistimewaan yang Tuhan berikan kepada bangsa Indonesia. Sekitar 250 juta jiwa, 17.000 pulau, 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa lokal, Indonesia termasuk urutan ke empat Negara dengan jumlah populasi terbesar di dunia. Kondisi ini tentu membawa implikasi pada kemungkinan terjadinya pergesekan terkait persoalan budaya, suku, agama, bahasa, sosial-ekonomi, maupun persoalan lain terkait dengan persoalan hukum, dsb. Hal ini telah disadari oleh pujangga kita, Mpu Tantular yang kemudian menuliskan konsepnya dalam buku Sutasoma yaitu “Bhineka Tunggal Ika”.
Kehadiran revolusi industri 4.0 semakin meningkatkan tantangan kesatuan. Kebersamaan membangun persatuan di tengah keragaman, bukan sesuatu yang otomatis terjadi. Hal ini menuntut masyarakat 5.0 menyikapi keragaman ini dengan merajut keragaman untuk mewujudkan kasih, antara lain untuk mencapai kesejahteraan psikologis. Dengan demikian perbedaan, keragaman bukan sebagai pemisah melainkan sebagai kekayaan bangsa yang tiada nilainya. Prosiding ini merupakan sumbangan pemikiran dari 49 Penulis Artikel yang telah hadir dan berperan serta mempresentasikan gagasan terbaiknya.
Saya mengucapkan terimakasih kepada Ibu Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi, MA (Dekan Fakultas Psikologi – UKSW), Bapak Prof. Dr. Marthen Pali, M.Psi., (Ketua Asosiasi Psikologi Kristiani), Bapak Yusak Novanto, SPsi, MSi. (Sekretaris Asosiasi Psikologi Kristiani) yang telah memfasilitasi dan mendukung penuh penyelenggaraan Seminar & Call for Papers Jumat, 2 Agustus 2019. Ucapan terimakasih tidak terhingga kami haturkan kepada Prof. Virgo Handojo, Ph.D, CFLE. (dari California Baptist University), dan Ibu Eunike Sri Tyas Suci, PhD, Psikolog (Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan – HIMPSI) yang telah menghantar Seminar dan Call for
Papers Nasional “ Merajut Keragaman untuk Mencapai Kesejahteraan Psikologis dalam Konteks
Masyarakat 5.0.”.
Terimakasih atas kesediaan para Reviewers Call for Papers Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, M.Si, Bapak Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA, Ibu Krismi Ambarwati, M.Psi meluangkan waktu dan pikiran agar Proceedings ini dapat terbit. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Bapak Timotius Iwan Susanto, S.Psi. yang telah mendukung desain Cover buku Proceeding. Terimakasih juga kepada sdri. Hanny Yuliana Agnes Sesa, S.Psi., Claudya S.Soulisa, S.Pd., Indah Lestari, S.Kep. dan Joanne Marrijda Rugebregt, S.Psi. yang telah banyak
vi
mendukung proses editing teknis buku Proceedings ini. Kiranya buku ini dapat bermanfaat bagi perjalanan bangsa Indonesia mengarungi Era Digital. Tuhan memberkati.
Salam sejahtera,
Dr. Susana Prapunoto, MA-Psy Editor
vii
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN PENYELENGGARA iii
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
I. KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KARAKTER 1
Peran Kurikulum dan Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran
Nurjadid 2
Hubungan Grit dengan Subjective Well-Being pada Siswa SMA Masehi 2 PSAK Semarang
Petra Wijayanti, Christiana Hari Soetjiningsih 11
Optimalisasi Superego dalam Teori Psikoanalisis Sigmund Freud untuk Pendidikan Karakter
Hengki Wijaya, I Putu Ayub Darmawan 21
Strategi Kurikulum Tersembunyi bagi Pendidikan Karakter Generasi Milenial dalam
Society 5.0
Mariani Harmadi 30
Gerakan Sayang Anak Indonesia: Sebuah Pendekatan Pendidikan Karakter Dalam Memasuki Konteks Society 5.0
Monica Muryawati 39
Pendidikan Karakter yang Berkelanjutan
Priscilla Titis Indiarti, Anton Sukontjo 50
Konsep dan Pengukuran Work Engagement dan Student Engagement: Kajian Literatur Mengenai Engagement dalam Bidang Pendidikan
Yosika Pramangara Admadeli 61
II. Identitas Sosial dan Budaya 71
Mendedah Kebertahanan dan Peran Pendidikan serta Interaksi Sosial-Budaya Kelindan Rumah Pengasingan
viii
Mendedah Penghayatan Religiusitas dan Psychological Well-Being Perempuan dalam Kelindan Pengasingan di Pulau Seram.
Foty Isabela Otemusu, Susana Prapunoto, A. Ign. Kristijanto 84
Hubungan antara Perceived Discrimination dan Kualitas Hubungan Romantis pada Pasangan Etnis Tionghoa-Indonesia dan Indonesia Asli
Revina Dewanti, Julia Suleeman 95
Studi Fenomenologi Kepala Sekolah Perempuan Single Parents
Fony Sanjaya, Mary Philia Elizabeth 105
Perbedaan Perilaku Prososial Ditinjau dari Jenis Kelamin
Jeanetha A. E. Lomboan, Christiana Hari Soetjiningsih 116
Hubungan antara Frekuensi Menonton TayanganTelevisi yang Mengandung Unsur Kekerasan dengan Perilaku Agresif Remaja
LaelaZulfia, Christiana Hari Soetjiningsih 127
Orientasi Masa Depan Pada Narapidana dengan Kasus Kejahatan Pelecehan Perempuan yang Menjalani Masa Hukuman Penjara di Atas Lima Tahun
Mareinata Nazareth Christy Irala, Margaretta Erna Setianingrum 136
Peran Hukum dan Psikologi dalam Meminimalkan Ujaran Kebencian Perusak Demokrasi
Wisnu Sapto Nugroho 147
III. CINTA KASIH DAN SPIRITUALITAS 158
Pengaruh Religiusitas dan Parent Adolescent Relationship terhadap Psychological Well
Being Remaja di SMP Negeri 1 Kupang
Marleni Rambu Riada 159
Pertumbuhan Spiritual Keluarga yang Memiliki Anak Penyandang Autisme
Maria Laksmi Anantasari 171
Religious Coping pada Penyintas Perkosaan
Julia Suleeman 187
Spiritual Kristiani di Tengah Laju Peradaban Digital
ix Eksistensi Perempuan Kristiani (Studi pada Perguruan Tinggi di Sulawesi Utara)
Shanti Natalia C. Ruata, Merci K. Waney, Yunita Sumakul 210
IV. KESEJAHTERAAN DAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA 222
Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Harga diri pada Atlet Renang Remaja Klub Paswind Surakarta
Rizkiana Ika Raharjo, Christiana Hari Soetjiningsih 223
Hubungan antara Kelekatan Aman Ibu-Anak dengan Kematangan Sosial pada Anak yang Ibunya Bekerja
Yudea Sabdo Anggoro, Krismi Diah Ambarwati 233
Dukungan Keluarga sebagai Prediktor Keberfungsian Sosial Pasien Skizofrenia Rawat Jalan
Glaudia Anastacia, Krismi Diah Ambarwati 245
Hubungan antara Keharmonisan Keluarga dengan Perilaku Agresif pada Remaja Tegalsari
Cynthia Sinta Dewi, Ratriana Yuliastuti Endang Kusumawati 256
Gambaran Psychological Well-Being pada Remaja yang Memiliki Anak Sebelum Menikah
Ayu Wasti Kurniawati, Krismi Diah Ambarwati 267
Studi Deskriptif Internet Parenting Style pada orang Tua dengan Anak Remaja
Enjang Wahyuningrum 278
V.
PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
292Job Crafting dan Employee Well-Being pada Karyawan Generasi Y di Indonesia
Fandy Jusuf E. Lumentut, Krismi Diah Ambarwati 293
Sistem Pengendalian Manajemen Kontemporer Berdasar Aspek Spiritual
Anton Sukontjo, Maria Andriyani Wulandari 307
Faktor Demografis di Seputar Kepuasan Hidup Guru Sekolah X di Sidoarjo
Yusak Novanto, Maria Rayna Kartika Winata 320
Emotional Intelligence and Job Satisfaction of Teachers in Senior High School in
Kupang
x
Hubungan antara Motivasi Kerjadengan Kepuasan Kerja Karyawan di PT. Argo Manunggal Triasta
Septiana Indah Permata Surya, Sutarto Wijono 348
Budaya Organisasi dan Kinerja pada Fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan Universitas (LKU) UKSW
Siswani Inesda Batara, Sutarto Wijono 358 VI. KESEHATAN MENTAL SEPANJANG RENTANG KEHIDUPAN 367
Hubungan Negatif antara Sexual Self-Esteem dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Akhir
Arina Zuhriyah, Christiana Hari Soetjiningsih 368
Membaca Dinamika Psikologis Lewat Kekuatan Narasi
Emmanuel SatyoYuwono 378
Strategi Regulasi Emosi Anggota Penyidik Kasus Pembunuhan di Wilayah Hukum Polres Salatiga
Maximianus Ambrosius Nggai, Wahyuni Kristianawati 389
Hubungan Resiliensi dan Kepuasan Hidup pada Dewasa Muda
Dewa Fajar Bintamur 402
Pelecehan Seksual pada Biduanita Orkes Dangdut
Evita Cynthia Damayanti, Christiana Hari Soetjiningsih 413
Hubungan antara Self-Esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja Putus Sekolah
Yosefine Permatasari, Ratriana Yuliastuti Endang Kusumawati 425
Korelasi Kontrol Diri dengan Perilaku Agresif pada Remaja Laki-Laki Peminum Miras (Studi Kontekstual pada Remaja Jemaat GPM Imanuel OSM-Ambon)
Salomina Patty, Prisca Diantra Sampe, Sutarto Wijono 436
VII. AGING 448
Successful Aging : Gaya Hidup Lansia di Era Digital
WinangPrananda, Christiana Hari Soetjiningsih, David Samiyono 449
Successful Aging : Voice-Tech Paduan Suara Religi
xi Perbedaan Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lansia Ditinjau dari Jenis Kelamin
Tri Utami Noviyanti, Ratriana Y. E. Kusumiati 478
Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Hidup di Rumah dan di Panti Wreda
M. Erna Setianingrum, Ratriana Y. E., Kusumiati 487
VIII. PERILAKU ENTREPRENEURSHIP DI ERA MILENIAL 496
Dukungan Semarang Kota Cerdas terhadap Minat Wirausaha: Studi Kasus Mahasiswa Jurusan Manajemen.
Martin Flemming Panggabean 497
Adaptabilitas Karir di Era Industri 4.0
Doddy Hendro Wibowo 506
Hubungan antara Rejection Sensitivity dengan Impulsive Buying Produk Fashion (Studi pada Mahasiswi Fakultas Psikologi Angkatan 2015 UKSW).
Hanggraini Puspitaningrum, Berta Esti Ari Prasetya 519
Pengaruh Karakteristik Psikologis pada Selebgram Entrepreuner.
367
SUB TEMA 6:
KESEHATAN MENTAL SEPANJANG RENTANG
KEHIDUPAN
389
Strategi Regulasi Emosi Anggota Penyidik Kasus Pembunuhan di Wilayah Hukum Polres Salatiga
Maximianus Ambrosius Nggai Wahyuni Kristinawati
Fakultas Psikologi - Universitas Kristen Satya Wacana
Email: 802014146@student.uksw.edu Email: yuni.kristi@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi regulasi emosi anggota penyidik kasus pembunuhan di wilayah hukum Polres Salatiga. Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah tiga orang anggota aktif penyidik kasus pembunuhan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Salatiga yang berjenis kelamin pria, masing-masing berusia 40 tahun, 38 tahun dan 31 tahun dengan masa bakti dalam organisasi Kepolisian Republik Indonesia yang bervariasi. Pengumpulan data menggunakan metode kualitatif dengan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek mengembangkan strategi regulasi emosi Cognitive
Reappraisal. Ketiganya juga melakukan Expressive Suppression yang disesuaikan dengan
kondisi stressful yang dihadapi oleh petugas kepolisian khususnya fungsi reskrim, baik dalam menjalankan tugas maupun dalam menjalani rutinitas harian. Kemampuan untuk mengenali emosi dan mengembangkan strategi regulasi emosi merupakan keterampilan yang penting untuk dimiliki dan dikembangkan anggota kepolisian serta dapat memberikan performa terbaik dalam menyelesaikan tugas dan mengatasi situasi stressful baik dalam kehidupan sebagai anggota Polri maupun dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
390
Pendahuluan
Kasus pembunuhan adalah tindakan kriminal yang tergolong dalam kategori berat. Berdasar data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) (2017), pada tahun 2016 tercatat 33 kasus pembunuhan di Jawa Tengah. Kota Salatiga, sebagai salah satu kota yang terhitung jarang terjadi kasus kriminal, selama rentang waktu lima tahun yaitu sejak 2013 hingga 2018 telah tercatat sebanyak delapan kasus pembunuhan. Di balik seluruh kasus-kasus tersebut, adalah Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Salatiga yang memegang peranan penting dalam setiap pemecahannya. Contoh beberapa kasus yang diselesaikan oleh Satreskrim Polres Salatiga adalah pembunuhan pemilik studio musik dan pembunuhan pengunjung karaoke di bulan Juli 2018 dan beberapa kasus lainnya. Reskrim adalah divisi khusus dari Polri yang menangani kasus tindak pidana kejahatan, salah satunya adalah kasus pembunuhan. Dalam kesehariannya, kasus pembunuhan ditangani oleh tim penyidik yang bertugas untuk mengatasi tindak pidana pencurian, penganiayaan hingga pembunuhan yang seluruhnya adalah kasus yang tidak mudah. Maka dari itu, diperlukan ketahanan kerja yang prima dari seorang anggota penyidik.
Ketahanan seorang penyidik meliputi ketahanan fisik dan kemampuan pengelolaan emosi. Seorang penyidik, selain menghadapi kasus, juga menghadapi masalah sehari-harinya sebagai manusia dan makhluk sosial. Emosi yang dialami anggota penyidik dapat berupa emosi positif maupun emosi negatif. Kesulitan-kesulitan dan permasalahan yang dihadapi oleh anggota Sat Reskrim meningkatkan stres dan emosi negatif seperti marah, sedih, takut, yang ternyata mempengaruhi kinerja mereka. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jayanegara (2007), menghasilkan temuan bahwa tingkat stres kerja polisi secara keseluruhan berada pada tingkat tinggi. Hal serupa juga dipaparkan dalam hasil riset dari Mabes Polri (2015). Bahkan dalam kasus tertentu, polisi dapat melakukan hal yang tidak senonoh dan membunuh orang lain (Kusuma, 2015). Oleh karena itu, anggota Sat Reskrim perlu memiliki kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik.
Secara sederhana, strategi regulasi emosi adalah sebuah keterampilan dalam mengelola emosi. Gross dan Thompson (dalam Kusumaningrum, 2012) mengemukakan regulasi emosi adalah sekumpulan berbagai proses tempat emosi diatur. Regulasi emosi melibatkan perubahan dalam dinamika emosi, atau waktu munculnya, besarnya, lamanya dan mengimbangi respon perilaku, pengalaman atau fisiologis. Regulasi dapat mempengaruhi perilaku dan pengalaman seseorang. Hasil dari regulasi dapat berupa perilaku yang ditingkatkan, dikurangi atau dihambat
391 dalam ekspresinya. Menurut penelitian Ghom (dalam Kusumaningrum, 2012), seseorang yang dapat mengenali emosinya dan dapat mengelola emosi tersebut akan dapat menghindarkan individu dalam keadaan distress psikologis.
Dalam menerapkan regulasi emosi, menurut Gross dan Thompson (2013) ada dua strategi yang dapat digunakan :
Cognitive Reappraisal (Accidental-Focused)
Reappraisal adalah bagaimana individu membuat suatu penilaian kembali terhadap sebuah
peristiwa yang menjelaskan bagaimana pengaruh atribusi yang berdampak pada emosi (Gross, 2007). Dengan mengubah cara berpikir tentang kejadian yang berpotensi memunculkan emosi, individu dapat memaknai ulang sebuah situasi dan mengarahkan dampak emosionalnya menjadi lebih sehat.
Lazarus dan Alfred (Gross, 2003) menguraikan bahwa cognitive reappraisal adalah suatu strategi perubahan kognitif yang melibatkan tindakan menguraikan atau mengevaluasi situasi yang berpotensi memicu munculnya emosi, dengan suatu cara yang dapat mengubah dampak emosional. Gross dan John (2003) menambahkan, strategi cognitive reappraisal merupakan strategi regulasi emosi yang efektif untuk mengurangi pengalaman dan perilaku emosi negatif.
Expressive Suppression (Response-Focused)
Expressive Suppression merupakan suatu bentuk pengendalian emosi yang melibatkan
modulasi respon terhadap kejadian yang memunculkan emosi dan usaha untuk menutupi, menghambat atau mengurangi ekspresi emosional.
Suppression adalah strategi yang berfokus pada respon yang muncul relatif belakangan pada proses yang membangkitkan emosi. Strategi ini efektif untuk mengurangi ekspresi emosi negatif. Expressive suppression berpotensi menimbulkan berbagai dampak secara afektif, sosial dan mempengaruhi psychological well-being individu. Strategi expressive suppression juga efektif untuk mengurangi perilaku ekspresi negatif, namun memiliki efek samping mengurangi kemampuan individu mengekspresikan emosi positif dan berpotensi menimbulkan akumulasi kondisi emosi negatif (Gross & John, 2003).
Menurut Dantzer (Schaible & Six, 2016), karena pengorganisasian dan tuntutan pekerjaan polisi yang unik, profesi polisi dianggap berada dalam deretan pekerjaan dengan tingkat stres
392
yang tinggi. Akibat dari stres yang muncul pada anggota kepolisian ini rupanya berdampak buruk. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka pembunuhan, perceraian, penyalahgunaan zat-zat terlarang hingga terjadinya kekerasan di antara polisi-polisi tersebut (Schaible & Six, 2016). Dalam penelitian Lutfiyah (2011) disebutkan bahwa polisi mengalami stres kerja yang cukup tinggi, mayoritas disebabkan oleh variabel beban kerja yang cukup tinggi selain variabel lain yaitu konflik peran, pengembangan karir dan iklim organisasi. Hal tersebut bisa mengganggu polisi dalam menjalankan tugas.
Selain beberapa temuan dan berita yang menunjukkan bahwa kondisi stressful dalam pekerjaan polisi mempengaruhi kehidupan sehari-hari anggotanya, Lane(2012) menambahkan bahwa cara anggota polisi menghadapi situasi stressful dalam kehidupan sehari-hari menjadi suatu prediktor kemampuannya meregulasi emosi dalam menjalankan tugas mereka. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan suatu strategi regulasi emosi baik dalam lingkup penugasan penyelidikan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Yunis dan Rahardjo (2011) menunjukkan bahwa ada korelasi yang sangat signifikan antara regulasi emosi dengan sikap terhadap efektivitas kerja, dimana semakin tinggi regulasi emosi semakin baik pula sikap terhadap efektivitas kerjanya. Menurut Pusvitasari dkk, (2016), pelatihan regulasi emosi efektif dalam menurunkan stres kerja pada anggota reskrim.
Metode
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dan peneliti sebagai instrumen kunci dalam penelitian tersebut (Sugiono, 2010). Bentuk studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus deskriptif (descriptive case-study) yang dilakukan ketika penelitian mengangkat sebuah teori yang melandasi riset yang dilakukan untuk mengacu kepada pendekatan teori tersebut.
Subjek penelitian ini adalah anggota penyidik yang pernah menangani kasus pembunuhan selama bertugas di wilayah hukum Polres Salatiga. Subjek sejumlah tiga orang yaitu Iptu P1 (40 tahun) yang telah menjalani delapan tahun sebagai penyidik reskrim Polres Salatiga. Berlatar belakang pendidikan S2, status berkeluarga dengan tiga anak, Iptu P1 dipercaya menjadi Kepala Unit (Kanit) Reskrim Polres Salatiga. Beberapa kasus yang telah ditangani antara lain kasus pembunuhan pengunjung karaoke, penganiayaan dan pembunuhan di daerah “K”. Tugas
sehari-393 hari P1 adalah sebagai penyidik. Partisipan kedua adalah Aiptu P2 (38 tahun), sudah enam tahun mengabdi sebagai penyidik reskrim Polres Salatiga. Telah menikah dan memiliki dua orang anak dan telah menyelesaikan pendidikan S1. P2 menjabat sebagai Bintara Unit (Banit) Reskrim Polres Salatiga. Partisipan terakhir adalah Brigadir P3 (31 tahun). Belum berkeluarga dan telah menempuh pendidikan S2. Dalam kesehariannya, P3 bertugas sebagai penyidik dan menjabat sebagai Bintara Unit (Banit) Reskrim Polres Salatiga.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi, sesuai dengan rujukan Rahmat (2009). Pada wawancara dalam penelitian ini, peneliti membangun rapport dengan subjek agar subjek merasa nyaman selama proses wawancara. Jenis wawancara yang digunakan yaitu autoanamnesa (wawancara dilakukan dengan subjek atau responden). Dalam proses penyusunan pertanyaan, peneliti juga dibebaskan dalam melakukan eksplorasi dengan tetap berkaitan dengan kerangka atau dimensi teori atau konstruk yang diteliti. Peneliti juga melakukan observasi dengan mengamati secara langsung selama wawancara berlangsung. Jenis observasi yang digunakan adalah semi-partisipan, yakni peneliti melakukan pengamatan dari dua sisi yang berbeda, satu waktu ia ikut larut dalam aktivitas subjek penelitian, tetapi di waktu lainnya ia melakukan pengamatan dari luar atau tidak ikut terlibat aktif bersama subjek. Seluruh prosedur pengumpulan data dilakukan oleh peneliti di Polres Salatiga sejak tanggal 18 April 2018 sampai dengan 20 Oktober 2018.
Proses analisis data menurut Milles dan Huberman (Sugiyono, 2013) adalah (1) reduksi data, (2) display data (3) dan verifikasi data. Dalam penelitian ini, pengujian kredibilitas (keabsahan) data dilakukan dengan melakukan triangulasi, yaitu pengecekan data dengan berbagai sumber sebagai pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2006). Triangulasi yang digunakan adalah dengan mewawancarai dua orang rekan satu unit dari ketiga subjek dengan inisial Aipda A dan Brigadir H.
Hasil
P1 selalu terlibat dalam penanganan kasus-kasus pembunuhan di wilayah hukum Polres Salatiga sejak bergabung dengan unit Reserse. Pengalaman penyidikan kasus pembunuhan sadis yang cukup membekas pada P1 adalah kasus pembunuhan di salah satu lokasi karaoke, kemudian di sebuah perumahan di kota Salatiga dan di sebuah salon kecantikan di Salatiga. Kemudian P2 cukup sering terlibat dalam kasus besar yang tergolong kategori kasus berat seperti
394
pembunuhan dan tindak pidana korupsi (tipikor). Dalam pengalaman penyidikan, P2 memiliki pengalaman yang berkesan, antara lain: kasus pembunuhan pemilik salon, kasus pembunuhan pemilik studio musik, kasus penikaman salah satu mahasiswa perguruan tinggi swasta di Salatiga, dan kasus pembunuhan seorang guru di salah satu perumahan di Salatiga. Partisipan terakhir atau P3, yang telah ditugaskan dalam menangani antara lain kasus penikaman pengunjung di salah satu karaoke dan kasus pembunuhan pemilik studio musik.
Tabel 1. Deskripsi Strategi Regulasi Emosi Partisipan
Partisipan Perilaku
P1 Cognitive Reappraisal
● selalu berusaha untuk profesional dalam menjalankan tugas
● tetap berpikir positif dalam keadaan tertekan yang berpotensi memunculkan emosi
Expressive Suppression
● ekspresi emosi dikendalikan karena ada SOP penyidik ● merasa tidak nyaman ketika ada hambatan dalam penyidikan ● mengapresiasi anggotanya jika berhasil dalam tugas
P2 Cognitive Reappraisal
● lebih hati-hati dalam mengambil tindakan supaya tidak terjadi gesekan
● berpola pikir bahwa ia adalah orang yang terlatih, sehingga siap dalam menangani tugas apapun
Expressive Suppression
● ketika sudah menyelesaikan satu kasus, biasanya mencari tempat yang lebih santai untuk membahas kasus lainnya, seperti nongkrong di kafe, dan saat karaoke
● merasa gelisah bila ada kasus yang belum selesai atau pelaku belum tertangkap P3 Cognitive Reappraisal
● berpikir bahwa beban kerja serta pelayanan merupakan tanggung jawabnya kepada atasan dan Sang Pencipta, jika ada masalah ia selalu berdoa untuk menenangkan dirinya
Expressive Suppression
● berusaha untuk menutupi situasi atau emosi yang dialami
● tidak sembarangan menceritakan permasalahan kepada orang lain termasuk emosi atau situasi yang sedang dia rasakan
● ketika banyak tugas lebih memilih untuk membahasnya di luar kantor seperti di kafe dan rumah makan agar lebih santai
395 Regulasi emosi juga merujuk pada ruminasi, dimana perilaku dan pikiran dari satu gejala depresi. Nolen-Hoeksema memaparkan Gross (2013) pada contoh yang termasuk dengan permasalahan-permasalahan di tempat kerja, fokus pada perasaan lelah atau sakit fisik dan kecemasan mengenai kualitas tidur. Hal ini tidak terjadi pada seluruh partisipan, namun partisipan tetap saja terkadang merasa kelelahan. Represi tidak ditemukan secara mencolok pada ketiga partisipan karena partisipan adalah orang yang terlatih dan sudah berpengalaman di bidangnya. Menurut Bonano dan Singer (Gross, 2013) represi muncul menjadi perasaan perlindungan secara defensif melawan stimuli yang tidak mengenakkan. Formasi defensif yang dilakukan ketiga partisipan adalah bentuk kewaspadaan tetapi tidak sampai mencurigai sembarang orang.
Ketiga subjek menjelaskan bahwa ketiganya mampu berusaha untuk berpikir positif dalam setiap kesempatan penugasan, khususnya penyidikan kasus pembunuhan. Namun, ketiga subjek memiliki pandangan dan cara berpikir berbeda-beda dalam membangun pikiran positifnya masing-masing ketika dihadapkan dalam situasi tertentu. P1 dapat berpikir positif dalam keadaan tertentu sekalipun ada tuntutan dari masyarakat maupun dari pimpinan yang bersifat mendesak untuk mempercepat penyidikan kasus. P2 dan P3 berpola pikir bahwa ia adalah orang yang terlatih dan terdidik dalam menghadapi kasus. Ia bisa berpikir positif dan menguasai keadaan, namun bagi P2 apabila pelaku sebuah kasus sudah ditangkap, maka ia dapat bersikap santai dan pikirannya menjadi jauh lebih tenang dan berkeyakinan bahwa setiap masalah memiliki titik terang atau penyelesaiannya, termasuk setiap kasus yang ia tangani.
Dalam proses memunculkan sugesti positif untuk diri sendiri, partisipan selalu mengalami kejenuhan. P1 merasa jenuh ketika tugas menumpuk, namun ia menyalurkannya lewat kegiatan santai dan rekreasi seperti karaoke bersama keluarga atau sekadar bersosialisasi dengan rekan kerja di kafe. Dalam membangun emosi positif dengan tersangka dan keluarga tersangka, P1 dan P2 lebih cenderung memberi pelayanan dan memberi wejangan untuk membangkitkan empati, serta memberi pemahaman posisinya sebagai penegak hukum meskipun mereka tidak berhubungan keluarga dengan tersangka maupun keluarga tersangka.
Ketika P2 merasakan kejenuhan, maka ia melakukan kegiatan rekreasi bersama keluarga khususnya bersama kedua putrinya di saat ia tidak bertugas. P3 dapat mempengaruhi diri sendiri ketika dihadapkan dengan tuntutan tugas yang menumpuk. Ia selalu mengambil istirahat sejenak di sela-sela pekerjaan dan sama dengan P1-P2 saat sedang jenuh maka P3 juga melakukan
396
kegiatan rekreasi berupa jalan-jalan atau bermain game bersama teman-temannya. Ketika P3 dihadapkan dengan tersangka yang ia kenal sebelumnya, P3 lebih memberi pemahaman tentang posisi terkait tugas pokok dan fungsinya sebagai seorang anggota Polri yang tidak pandang bulu dalam menyelesaikan kasus.
Ketiga partisipan dapat mengubah cara berpikir mereka untuk menilai situasi yang dihadapi. Ketika menghadapi permasalahan, P1 dan P2 melakuan tukar pikiran dengan rekan kerja dan tidak membawa beban pekerjaan ke rumah. P2 lebih komunikatif kepada istri mengenai masalah keluarga tanpa melibatkan anak. Dalam mencapai ketenangan batin, P2 dan P3 melaksanakan ibadah sesuai agama masing-masing agar setiap kegiatan ia selalu dilindungi dan berkeyakinan bahwa setiap masalah memiliki jalan keluar serta keputusan-keputusan yang tepat. P3 cenderung sama dengan P2 namun ia lebih tertutup dibanding P2. P3 juga tidak melibatkan keluarga dalam urusan dinas dan sebaliknya, karena ia tidak ingin membebani orang lain.
Ketiga subyek dapat mengekspresikan emosi mereka dengan baik. P1 selalu berusaha lebih santai dalam membawa diri ketika tersangka yang ditanganinya tidak kooperatif, maka ekspresi yang dilontarkan adalah dengan membentak terkadang sampai memukul meja untuk menggertak mental tersangka guna mempermudah penggalian alibi dari tersangka. P2 cenderung tetap tenang dalam menghadapi permasalahan dan apabila tersangka tidak mengaku, maka ia menggunakan teknik interogasi tertentu milik Polri guna menguji kejujuran tersangka tanpa meninggikan nada suara. P3 tidak terlalu menampakkan ekspresi emosinya pada orang lain dan dalam menangani tersangka, P3 lebih cenderung membujuk dibanding membentak karena P3 mengingatkan kepada tersangka bahwa segala bentuk keterangan akan menentukan posisi tersangka di peradilan, sama dengan P2. P3 memiliki cara tersendiri dalam metode penyidikan untuk mengungkap alibi dari tersangka.
Ketiga partisipan cenderung tidak terlalu jujur kepada lingkungan mengenai bentuk emosi yang sedang mereka rasakan. P1 terkadang jujur kepada lingkungan, terkadang tidak. P1 lebih mempertimbangkan situasi dan kondisi agar ia dapat mengekspresikan emosinya disaat yang tepat. P2 dan P3 cenderung tidak jujur terhadap lingkungan kerja karena prinsipnya yang bangga akan statusnya sebagai anggota Polri. P2 berpendapat bahwa menjadi polisi adalah sebuah tanggung jawab dan apabila ia hanya mengeluh tidak akan memberi kepuasan terhadap dirinya. Ketiganya tidak pernah berburuk sangka pada orang lain, namun sebagai anggota Polri ketiganya memiliki naluri untuk terus waspada pada segala kemungkinan bahaya yang terjadi di lapangan.
397
Diskusi
P1 adalah tipe orang yang kurang dapat mengendalikan emosi dengan baik saat menghadapi pelaku seperti lebih mudah marah saat menghadapi pelaku yang kurang kooperatif, terlebih saat P1 mendapat tekanan dari luar dan cenderung ekspresif, tidak seperti P2 dan P3 yang cenderung lebih dapat mengontrol emosi positif maupun negatif yang sedang dia rasakan. Bagi P2 dan P3, Stressor berupa tingkah laku tersangka yang mungkin tidak kooperatif tidak merugikan mereka karena P2 dan P3 hanya sebagai orang yang memproses hukum hal tersebut. Hal kedua yang dipaparkan Gross dan Thompson (2007) dari aspek regulasi emosi adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi sadar, mudah dan otomatis. P1 dan P2 lebih cenderung menggunakan Cognitive Reappraisal, dimana kedua partisipan sesuai dengan paparan Gross (2007) yaitu mengubah cara berpikir tentang kejadian yang berpotensi memunculkan emosi serta mengubah dampak emosional. P3 adalah tipe orang yang cenderung menggunakan strategi regulasi emosi Expressive Suppression, dimana P3 lebih mampu untuk mengubah respon atau perilaku terhadap kejadian yang memunculkan emosi. Menurut Gross (2007), supresi berfokus terhadap respon dan munculnya belakangan pada proses yang membangkitkan emosi. Strategi ini berpeluang untuk menekan perilaku ekspresi negatif.
Kelebihan P1 dalam menghadapi situasi adalah ia lebih sadar akan keadaan sekitar sehingga P1 lebih mudah mengekspresikan emosinya secara tepat sehingga ia dapat mengatur perasaannya. P2 dan P3 juga memenuhi aspek ini, namun P2 lebih cenderung mengendalikan emosi negatifnya daripada emosi positifnya. Sebagai contoh, P2 banyak tertawa dan bersemangat ketika ia sedang merasakan emosi positif. Akan tetapi, apabila P2 sedang dalam emosi negatif maka ia akan lebih banyak bersabar dan mengendalikan dirinya. P3 cenderung lebih tertutup dan tidak sesering P1 dan P2 dalam mengekspresikan emosinya namun ia tetap mengendalikan perasaan dan apa yang ia pikirkan. Ketiga partisipan sendiri sudah dapat menguasai stres yang terjadi di kehidupannya masing-masing. Untuk P1 dan P2 adalah orang yang sudah berkeluarga, sehingga kemungkinan masalahnya tentu lebih banyak dibanding P3. Urusan rumah tangga adalah salah satu sumber tekanan selain dari urusan pekerjaan. Hal ini dialami oleh ketiga partisipan. Dalam hal ini, P1 dan P2 dapat menguasai emosi dan stres sehingga tetap dapat bekerja dengan profesional. Begitu pula dengan P3 yang tidak mencampurkan urusan pekerjaan dengan urusan lain. Keterangan yang dihimpun dari Aipda A dan Brigadir H menyatakan pula
398
bahwa seluruh subjek lebih mampu menguasai emosi dan stres sehingga lebih profesional dan tidak mencampurkan urusan pribadi dengan permasalahan pekerjaan.
Menurut paparan Greenberg (2002), terdapat tiga indikator regulasi emosi. Indikator yang pertama adalah keterampilan mengenal emosi. P1 dan P2 mampu mengidentifikasi perasaan positif dan negatif dan menjelaskan alasan mengapa mereka dapat bersikap demikian, serta memberi arahan-arahan terhadap tersangka yang P1 dan P2 hadapi selama proses penyidikan berlangsung. Sementara itu, P3 lebih berkemampuan dalam mengidentifikasi dan menjelaskan apa yang ia alami. Indikator yang kedua adalah keterampilan mengekspresikan emosi. Ketiga partisipan mampu mengungkapkan perasaan atau emosinya kepada orang lain baik emosi positif maupun negatif dengan mengobrol atau bercerita dengan rekan yang bisa mereka percaya. Dalam mengapresiasi kinerja anggota, P1 memberikan reward kepada anggota yang berprestasi. P2 dan P3 merasa lega jika telah berhasil mengamankan atau sudah berhasil menangkap tersangka. Indikator yang ketiga adalah keterampilan mengubah emosi negatif menjadi emosi positif. Ketiga partisipan mampu menilai dan bertanggungjawab terhadap ekspresi emosi yang mereka rasakan.
Dalam strategi regulasi emosi, dikenal dua macam strategi regulasi emosi yang dipaparkan oleh Gross dan Thompson (2013). Tipe pertama adalah Cognitive Reappraisal
(Accidental-Focused). Ketiga partisipan melakukan serangkaian strategi regulasi emosi dan mencapai tujuan
mereka masing-masing, dalam indikator berpikir positif P1 berusaha untuk selalu profesional dalam melayani masyarakat, sedangkan P2 dan P3 berpola pikir bahwa ia adalah orang yang terlatih dalam menghadapi kasus, sehingga mereka meyakini bahwa setiap masalah memiliki titik terang atau penyelesaiannya. Lazarus dan Alfert (1964) dalam Gross (2003) menguraikan bahwa Cognitive Reappraisal adalah suatu strategi perubahan kognitif yang melibatkan tindakan menguraikan atau mengevaluasi situasi yang berpotensi memicu munculnya emosi dengan suatu cara yang dapat mengubah dampak emosional. Ketiga partisipan pernah mengalami titik kejenuhan. P1 merasa jenuh ketika tugas bertumpuk, namun ia menyalurkan lewat kegiatan yang bersifat santai. Hal serupa dilakukan juga oleh P3 dan P2 ketika sudah jenuh, mereka melakukan rekreasi berupa jalan-jalan atau bermain game bersama rekan kerja lainnya. Gross dan John (2003) menambahkan, strategi Cognitive Reappraisal merupakan strategi regulasi emosi yang efektif untuk mengurangi pengalaman dan perilaku emosi negatif, ketiga partisipan dapat mengubah cara berpikir untuk mengurang pengalaman dan perilaku emosi negatif yang dihadapi,
399 dalam indikator mengubah cara berpikir masing individu tidak mencampurkan urusan dinas dengan urusan keluarga.
Strategi regulasi emosi menurut Gross dan Thompson (2013). Tipe kedua adalah
Expressive Suppression (Response-Focused). Expressive Suppression merupakan suatu bentuk
modulasi respon yang melibatkan hambatan perilaku ekspresif emosi terus menerus. Suppression adalah strategi yang berfokus pada respon, munculnya relatif belakangan pada proses yang membangkitkan emosi. Strategi ini efektif untuk mengurangi ekspresi emosi negatif. Ketiga subjek dapat mengekspresikan emosi mereka dengan baik, P1 berusaha untuk lebih santai dalam membawa diri, dan selalu berpikir positif dalam melakukan tugas-tugasnya, jika tersangka tidak kooperatif maka ekspresi yang dilontarkan adalah memukul meja bahkan membentak dengan tujuan untuk menegangkan suasana dan dapat menggali lebih dalam terkait informasi dari tersangka. P2 dan P3 memilih strategi khusus dalam metode penyelidikan agar tidak menghambat berlangsungnya interogasi atau menggali informasi dari tersangka. Strategi ini efektif untuk mengurangi ekspresi emosi negatif. Expressive Suppression berpotensi menimbulkan berbagai dampak secara afektif, sosial, dan Mempengaruhi Psychological
Well-Being individu, dalam indikator tingkat kejujuran ketiga partisipan cenderung tidak terlalu jujur
kepada lingkungan terkait bentuk emosi yang sedang mereka rasakan. P1 lebih melihat situasi dan kondisi untuk mengekspresikan emosinya, sedangkan P2 dan P3 cenderung tidak jujur terhadap lingkungan kerja, mereka memiliki prinsip bahwa menjadi polisi adalah sebuah tanggung jawab dan apabila mereka hanya mengeluh tidak akan memberi kepuasan. Dalam indikator terakhir yaitu perasaan negatif, dari ketiga partisipan masing-masing pernah berburuk sangka pada orang lain disekitar mereka berada, namun sebagai anggota reserse yang sudah terlatih harus memiliki naluri dan insting untuk terus waspada, strategi Expressive Suppression efektif untuk mengurangi perilaku ekspresi negatif namun memiliki efek samping mengurangi kemampuan individu mengekspresikan emosi positif dan berpotensi menimbulkan akumulasi kondisi emosi negatif (Gross & John, 2003).
Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ketiga partisipan pada dasarnya memiliki cara regulasi emosi yang baik, namun disampaikan dengan cara dan gaya penyampaian masing-masing partisipan. Seluruh partisipan pada dasarnya memiliki cara yang sama dalam meregulasi
400
emosi mereka, yaitu mereka mampu menekan stressor yang ada dengan baik. Ketiganya mampu untuk membentuk persepsi-persepsi positif, serta mampu mensugesti dan mengubah cara berpikir diri sendiri secara positif untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Ketiga partisipan memang cenderung berbeda-beda. Meskipun demikian, ketiga partisipan adalah orang-orang yang terlatih dan terdidik secara kepolisian, dimana ketiganya tidak pernah berprasangka buruk pada orang lain, namun tetap waspada di setiap kesempatan.
Dalam dunia kepolisian, permasalahan pekerjaan seorang polisi sangat beresiko dan penuh stressor, oleh karenanya dibutuhkan pemahaman mengenai regulasi emosi yang baik. Hal ini tidak hanya berimbas bagi dunia pekerjaannya, namun juga berimbas pada kehidupan sosial dari anggota Polri, baik dengan interaksi lingkungan maupun dengan keluarga serta kondisi kejiwaannya.
Pengembangan tentang pengetahuan mengenai regulasi emosi tentunya akan sangat bermanfaat apabila diaplikasikan kepada lingkungan Kepolisian dan keluarganya, dan eksplorasi mengenai regulasi emosi, salah satunya mengenai variabel Self-Efficacy menjadi salah satu pilihan pengembangan penelitian di masa mendatang.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2017). Statistika kriminal 2017. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Greenberg, L. S. (2002). Emotion-focused therapy : Coaching clients to work through
their feelings. Washington DC : American Psychological Association.
Gross, J. J. & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation process : implication for effect, relationship, and well-being. Journal of Personality and Social Psychology. 85: 348 – 362
Gross, J. J., (2007). Handbook of emotion regulation. New York : Guilford Press.
Gross, J. J. (2013). Emotion regulation : taking stock and moving forward. Emotion. 13 (3) : 359 – 365.
Gross, J. J. & Thompson, R. A. (2007). Emotion regulation conceptual foundation. In J. J. Gross (Ed.).Handbook of emotion regulation. New York: Guilford Press.
Jayanegara. (2007). Stres kerja dan coping pada polisi Indonesia Thesis. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
401 Kusuma, E. F. (2015). Mabes Polri PunyaData Mengejutkan: 80% Reserse dan Polantas
Stres. Diakses dari https://news.detik.com/berita3059808/mabes-polri-punya-data mengejutkan-80-reserse-danpolantasstres.
Kusumaningrum, O. D., (2012). Regulasiemosi istri yang memiliki suami stroke.Journal of Empathy, l 1(1).
Lane, A. M., Bucknall, G., Davis, P. A., & Beedie, C. J. (2012). Emotion and emotion, regulation among novice military parachutists.Journal ofMilitary Psychology, 24,
331-345.
Lutfiyah. (2011). Analisis faktor-faktoryang mempengaruhi stres kerjapada polisi lalu lintas.
Skripsi. Jakarta: Universitas Islam SyarifHidayatullah.
Moleong, L. J., (2006). Metodologikualitatif edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Pusvitasari, P., Wahyuningsih, H. & Astuti, Y. U., (2016). Efektivitaspelatihan regulasiemosi
untukmenurunkan stres kerja pada anggota Reskrim. Jurnal Intervensi Psikologi, 6
(1), 127 – 145.
Rahmat, P. F. (2009). Penelitian kualitatif. Journal of Equilibrium, 5 (9), 1 – 9.
Schaible, L. M., Michelle, S. (2016). Emotional strategies ofpolice and their varying consequences for burnout. Police Quarterly, 19(1), 3-31.
Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan (PendekatanKuantitatif, Kualitatif, danR&D). Bandung : Alfabeta.
Yunis, A. N., Rahardjo, P., (2011). Hubungan Antara Regulasi Emosidengan Sikap anggota Polisi Sektor Polres Purbalingga terhadap Efektivitas Kerja. Journal of Psycho Idea, l