• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

15 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Brahman Cross

Sapi Brahman berasal dari India yang merupakan keturunan dari sapi Zebu (Bos Indicus). Sapi Brahman Cross merupakan sapi hasil persilangan antara sapi Brahman (Bos Indicus) dengan sapi Shorthorn dan Hereford yang merupakan bangsa sapi British (Bos Taurus). Komposisi darah sapi Brahman Cross terdiri atas 50% darah Brahman dan 25% darah Shorthorn dan 25% darah Hereford (Turner, 1977). Sapi Brahman Cross yang diimpor ke Indonesia berasal dari Australia. Sapi-sapi impor ini memiliki kelebihan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia, memiliki pertambahan bobot badan yang tinggi dengan waktu yang singkat dan produktivitas karkas yang tinggi (Hafid, 1998).

Pertumbuhan Ternak

Definisi pertumbuhan yang paling sederhana adalah perubahan ukuran yang meliputi berat hidup, bentuk, dimensi, linier dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu pada karkas. Pertumbuhan seekor ternak merupakan kumpulan dari pertumbuhan bagian-bagian komponennya. Pertumbuhan komponen-komponen tersebut berlangsung dengan kadar laju yang berbeda, sehingga perubahan ukuran komponen menghasilkan diferensiasi atau pembedaan karakteristik individual sel dan organ. Diferensiasi menghasilkan perbedaan morfologis atau kimiawi, misalnya perubahan sel-sel embrio menjadi sel-sel otot, tulang, hati, jantung, ginjal, otak, saluran pencernaan, organ reproduksi dan alat pernapasan (Soeparno, 2005).

Pertumbuhan dan distribusi komponen-komponen tubuh seperti tulang, otot dan lemak berlangsung secara gradual yaitu tulang meningkat pada laju pertumbuhan maksimal awal, kemudian diikuti oleh otot dan terakhir oleh lemak yang meningkat dengan pesat (Swatland, 1984). Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon dan kastrasi, lingkungan dan manajemen (Aberle et al., 2001). Pertumbuhan ternak pada jenis kelamin yang berbeda, laju pertumbuhannya juga berbeda. Pertumbuhan pada ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat dan pada umur yang sama mempunyai bobot badan lebih berat dibandingkan dengan ternak betina (Hammond et al., 1984).

(2)

16 Sapi Dara

Usaha pembesaran sapi dara di tingkat peternakan rakyat masih belum banyak dilakukan karena dipandang belum menguntungkan. Pemeliharaan sapi dara merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan sapi pedaging karena merupakan calon penghasil bakalan. Peningkatan efisiensi usaha dalam pemeliharaan sapi pedaging dara perlu dilakukan melalui efisiensi biaya pakan (Ditjennak, 2007). Kuswandi et al. (2003) menyatakan bahwa bobot badan sapi dara minimal 250 kg pada waktu kawin pertama jarang tercapai pada umur 15 bulan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya potensi pertumbuhan calon induk atau kurang terpenuhinya pakan.

Umiyasih et al. (2003) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang optimal untuk sapi dara yaitu 0,5 kg/hari dapat tercapai apabila jumlah pemberian bahan kering (BK) pakan pada sapi dara adalah 3% dari bobot badan. Kearl (1982) menambahkan, bahwa pertumbuhan ideal untuk sapi dara dengan PBBH 0,5 kg/hari membutuhkan protein kasar sekitar 291 g dan energi metabolis sebesar 5,99 Mcal bila bobot badannya 100 kg. Perlakuan flushing (2% konsentrat per bobot badan) pada sapi dara turunan Brahman dapat meningkatkan produktivitas pertambahan bobot badan harian dan diikuti oleh perbaikan performans reproduksi (Thalib et al., 2001).

Pakan Ternak

Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak (Tillman et al., 1998). Bahan pakan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu konsentrat dan bahan berserat. Konsentrat (biji-bijian) dan bahan berserat (jerami atau rumput) merupakan komponen atau penyusun ransum (Blakely dan Bade, 1991).

Konsentrat

Konsentrat atau bahan pakan penguat adalah pakan berkonsentrasi tinggi yang mengandung protein kasar dan energi yang cukup dengan kadar serat kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat meliputi bahan pakan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir, hasil ikutan pertanian atau pabrik seperti dedak, bekatul, bungkil kelapa sawit, tetes dan berbagai umbi-umbian. Fungsi konsentrat adalah meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan

(3)

17 lain yang nilai gizinya rendah (Church, 1991). Penggunaan konsentrat (terutama yang banyak mengandung biji-bijian) yang lebih tinggi akan mempercepat pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan lebih baik. Penentuan jumlah konsentrat yang tepat merupakan salah satu cara optimasi kapasitas pencernaan untuk mendapatkan efisiensi pemanfaatan pakan yang lebih baik (Purbowati, 2001). Hijauan

Hijauan merupakan kebutuhan pokok bagi pakan ternak ruminansia, adapun ketersediaannya sepanjang tahun tidak selalu mudah didapat. Pada musim kemarau ketersediaannya tidak mencukupi kebutuhan ternak, sedangkan di musim penghujan sangat mudah didapat dan bahkan berlebih. Pemenuhan kebutuhan akan hijauan sepanjang tahun, maka kelebihan produksi di musim penghujan seyogyanya dilakukan penyimpanan dan pengawetan. Hijauan merupakan bahan pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi. Hijauan memiliki kandungan serat kasar lebih dari 18% dalam bahan kering. Serat kasar merupakan komponen utama dari dinding sel hijauan (Field, 2007).

Rumput gajah merupakan keluarga rumput-rumputan (graminae) yang telah dikenal manfaatnya sebagai pakan ternak pemamah biak (ruminansia) yang alamiah di Asia Tenggara. Rumput ini biasanya dipanen dengan cara memotong seluruh pohonnya lalu diberikan langsung sebagai pakan hijauan untuk kerbau dan sapi, atau dapat juga dijadikan persediaan pakan melalui proses pengawetan pakan hijauan dengan cara silase dan hay (Manglayang, 2005). Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) atau disebut juga rumput napier, merupakan salah satu jenis hijauan pakan ternak yang berkualitas dan disukai ternak. Rumput gajah dapat hidup di berbagai tempat 0-3000 dpl (Sutanmuda, 2008). Produksi rumput gajah yang tinggi dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi kesenjangan produksi hijauan pakan pada musim hujan dan musim kemarau dan untuk memanfaatkan kelebihan produksi tersebut pada fase pertumbuhan yang terbaik, maka dapat diawetkan dalam bentuk silase, karena rumput gajah merupakan bahan pakan hijauan yang baik untuk dibuat silase (Sutardi, 1991).

Kualitas Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

(4)

18 gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Lawrie (2003) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan, sering pula diperluas dengan memasukkan organ-organ seperti hati dan ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging.

Karakteristik fisik daging segar sangat berpengaruh terhadap daya tarik konsumen untuk membeli daging (Aberle et al., 2001). Pengujian kualitas fisik daging secara objektif dapat dilakukan dengan cara mengetahui daya putus Warner-Bratzler (WB), kekuatan tarik dan kompresi, kehilangan berat selama pemasakan (susut masak), pH, daya ikat air dan keempukan juga merupakan komponen kualitas daging yang diuji (Soeparno, 2005).

Nilai pH Daging

Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah antara 5,4-5,8. Stres sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging (Soeparno, 2005). Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al., 2007).

Buckle et al. (1987) nilai pH akhir yang tercapai mempunyai pengaruh yang berarti dalam mutu daging. Nilai pH rendah menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka sehingga sangat baik untuk pengasinan, berwarna merah muda cerah sehingga disukai oleh konsumen, mempunyai flavor yang lebih disukai dan mempunyai stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan oleh mikroorganisme. Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak. Ditambahkan oleh Aberle et al. (2001) perubahan nilai pH tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan, bila jumlah glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup atau terlalu banyak akan menghasilkan daging yang kurang berkualitas.

(5)

19 Keempukan

Keempukan dan tekstur daging merupakan penentu kualitas daging sapi segar. Komponen utama yang menentukan keempukan adalah jaringan ikat dan lemak yang berhubungan dengan otot (Aberle et al., 2001). Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik termasuk bangsa, spesies, fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin dan stres. Faktor postmortem yang diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan dan metode pengolahan, termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan empuk (Soeparno, 2005). Derajat keempukan dapat dihubungkan dengan tiga kategori protein dalam urat daging yaitu dari tenunan pengikat (kolagen elastis, retikulum, mukopolisakarida dari matriks) dari miofibril aktin, miosin, tropomiosin dan yang sarkoplasma (Lawrie, 2003). Keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan, jaringan ikat pada otot hewan muda banyak mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hewan tua (Epley, 2008).

Pemasakan daging dalam oven 135oC sampai suhu dalam 50oC atau 60oC tidak mempengaruhi nilai daya putus Warner Bratzler (Lawrie, 2003). Perbedaan suhu dalam daging saat pemasakan (60oC, 70oC dan 80oC) akan mempengaruhi keempukan daging, semakin tinggi suhu akhir pemasakan akan menghasilkan daging yang lebih empuk. Suhu akhir (60oC, 70oC dan 80oC) secara akurat dapat digunakan sebagai alat untuk klasifikasi keempukan daging, tetapi pada suhu yang rendah (<60oC) perbedaan suhu dalam daging tidak dapat dijadikan patokan yang akurat untuk klasifikasi keempukan daging karena dipengaruhi oleh waktu pemasakan, jumlah perubahan jaringan dan rendahnya nilai klasifikasi keempukan daging (Wheeler et al., 1999). Fiems et al. (2000) menambahkan bahwa nilai keempukan daging sangat dipengaruhi oleh faktor penanganan ternak sebelum pemotongan, pakan ternak, pH dan perlemakan.

Susut Masak

Susut masak merupakan salah satu indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara serabut otot. Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan.

(6)

20 Semakin tinggi temperatur pemasakan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2005). Besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur simpan daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air (Shanks et al., 2002). Lawrie (2003) menyatakan bahwa jumlah cairan yang diperoleh dalam pemanasan akan meningkat lebih lanjut pada suhu antara 107oC dan 155oC. Hal ini mungkin menggambarkan beberapa kerusakan protein, dengan kerusakan asam-asam amino yang akan terjadi dalam kisaran suhu tersebut.

Daya Mengikat Air

Daya mengikat air oleh protein daging atau water holding capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan absorbsi air atau kapasitas (kemampuan) daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno, 2005). Bailey et al. (2008) efek peningkatan konsentrasi protein kasar terhadap pertumbuhan karkas dan kualitas daging sapi memberikan hasil terhadap kapasitas daging dalam menyerap air pada sapi heifer lebih rendah dibandingkan dengan sapi steer.

Lawrie (2003) menyatakan bahwa daya mengikat air daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin tinggi daya mengikat air atau nilai mgH2O rendah. Tingkat penurunan pH postmortem berpengaruh terhadap daya

mengikat air. Penurunan pH yang semakin cepat, terjadi karena semakin banyaknya protein sarkoplasmik yang terdenaturasi dan selanjutnya akan meningkatkan aktomiosin untuk berkontraksi, sehingga akan memeras cairan keluar dari protein daging. Daya mengikat air pada daging selain dipengaruhi oleh pH, juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air diantara otot, misalnya spesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban, penyimpanan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler (Soeparno, 2005).

(7)

21 Daya mengikat air daging pada pH titik isoelektrik protein-protein daging berkisar antara 5,0-5,1. Protein daging ini tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkatnya atau menurunnya pH daging dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas daya mengikat air dengan cara menciptakan ketidakseimbangan muatan (Knipe et al., 1992). Hubungan daya mengikat air dengan nilai pH disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan Daya Mengikat Air dengan Nilai pH Daging (a) ekses muatan positif pada miofilamen, (b) muatan positif dam negative seimbang, dan (c) ekses muatan negatif pada miofilamen (Wismer-Pederson, 1971). Marbling

Lemak marbling atau yang biasa disebut lemak intramuskuler terdapat di dalam jaringan ikat perimiseal diantara fasikuli atau ikatan serabut otot. Lemak marbling merupakan jaringan lemak yang tumbuh paling akhir setelah deposisi lemak visceral, lemak penyelubung ginjal dan lemak subkutan sudah terbentuk. Lemak marbling termasuk faktor yang ikut menentukan kualitas karkas dan mempengaruhi warna daging (hue) menjadi lebih terang, tetapi tidak mempengaruhi mioglobin atau hemoglobin (Soeparno, 2005). Bolink et al. (1999) secara umum nilai marbling pada sapi Limousin jantan berbeda dengan nilai marbling sapi dara Limousin. Diwyanto dan Putu (1995) sapi jantan dan betina Brahman Cross

(8)

22 mempunyai tingkat penyebaran lemak di dalam daging yang hampir sama, hal ini dipengaruhi oleh jenis pakan, waktu penggemukan, breed dan umur.

Kondisi perlemakan karkas disesuaikan dengan keinginan konsumen. Berbeda dengan konsumen pasar khusus, konsumen pasar tradisional lebih banyak memilih daging dengan perlemakan rendah, sedangkan konsumen pasar khusus lebih memilih daging dengan perlemakan tinggi, khususnya lemak marbling. Hal ini terjadi karena konsumen-konsumen pasar khusus lebih memperhatikan kualitas daging untuk menghasilkan suatu hasil akhir yang baik setelah daging dimasak (Halomoan, 2000).

Warna Daging

Warna daging adalah kesan total yang terlihat oleh mata dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ketika memandang. Warna daging merupakan kombinasi beberapa faktor yang dideteksi oleh mata (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen (Soeparno, 2005). Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging, yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin. Tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging. Penampilan permukaan daging bagi konsumen bukan hanya tergantung pada kualitas mioglobin yang ada, tetapi juga pada tipe molekul mioglobin (Lawrie, 2003). Kandungan pigmen dalam daging sapi muda lebih rendah sehingga warna daging lebih pucat. Pada umumnya makin bertambah umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat walaupun tidak konstan. Bertambahnya tingkat kedewasaan pada sapi akan menyebabkan perubahan warna daging dari merah muda menjadi merah gelap (Aberle et al., 2001).

Gambar

Gambar 1. Hubungan Daya Mengikat Air dengan Nilai pH Daging (a) ekses muatan  positif pada miofilamen, (b) muatan positif dam negative seimbang, dan  (c) ekses muatan negatif pada miofilamen (Wismer-Pederson, 1971)

Referensi

Dokumen terkait

Informasi tentaNg sistem yang sedang berjalan sangant penting sekali dalam proses pengembangan sistem informasi karena dari informasi tersebut dapat diketahui sejauh mana

Gambar 3.2 Tahapan Modifikasi speed-up robust feature dengan histogram of oriented gradient pada skema bag of visual word untuk klassifikasi citra blur .... Gambar 3.3

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti

Pemisahan yang dilakukan atas Hukum Pidana Materiil yang berlaku bagi masyarakat secara umum dengan yang berlaku secara khusus bagi militer atau yang dipersamakan dengan hal itu,

Daripada menulis buku, pengarang dapat memanfaatkan waktunya untuk memberikan jasa.. konsultasi ke perusahaan bisnis, imbalan jasa konsultasi ini disebut

Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pembentukan,

Berdasarkan hasil analisis rasio keuangan variabel kebijakan hutang pada sub sektor perdagangan besar yang terdaftar di bursa efek Indonesia periode 2010-2014 yang

However, in recent years, real alternatives to classical systems and methods are presented by the large number of digital cameras on the market, which can be