• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi dan Tata Cara Pelaksanaan Pid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Eksistensi dan Tata Cara Pelaksanaan Pid"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak untuk hidup merupakan suatu hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu. Mengenai hak untuk hidup ini diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alamiah,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property). Pemikiran mengenai hak alamiah ini kemudian menjadi pendorong diakuinya hak asasi manusia di dunia Internasional. Hal itu dapat dilihat dari lahirnya Konvensi Internasional Universal Declaration of Human Right 1948, yang mana dalam article 3 disebutkan: “every one has the right of life, liberty and security of person”, artinya: setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Di Indonesia sendiri, mengenai hak asasi manusia diatur dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945, dan hak atas hidup yang dianggap sebagai hak yang mendasar bagi manusia, dimuat dalam Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945.

Setiap individu adalah bagian dari masyarakat, dan sebaliknya masyarakat terdiri dari individu-individu yang mempunyai hak asasi. Pengakuan terhadap hak asasi manusia secara langsung mempengaruhi cara pandang terhadap keabsahan pengurangan atau pembatasan hak asasi manusia tersebut, khususnya hak untuk hidup. Hal ini terlihat dari banyaknya pro dan kontra yang timbul dari berbagai lapisan masyarakat. Perihal pidana mati menjadi salah satu topik yang masih saja menjadi polemik di seluruh dunia. Beberapa negara telah menghapus pidana mati

(abolisionists), tetapi beberapa negara masih mempertahankannya

(retentionists).1 Sampai saat ini ada 68 negara yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk Indonesia, 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara

(2)

melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan penghapusan terhadap hukuman mati.2

Eksistensi pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang masih diakui dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, seringkali dihubungkan dengan teori absolut dalam pemidanaan. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh Pelaku dipandang sangat jahat, mengganggu keamanan masyarakat, mengancam keselamatan orang banyak, maupun lainnya yang dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), atau kejahatan yang dilakukan dengan cara yang sadis atau dipandang sangat buruk oleh hakim maupun oleh masyarakat. Penjatuhan pidana mati ini dimaksudkan sebagai pembalasan atas perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh Pelaku. Di masyarakat Indonesia sendiri, tidak ada yang melakukan penolakan sebelum dan pasca pelaksanaan eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu dari faktor kesejarahan, hukuman mati telah eksis atau diterapkan di bumi Nusantara sejak sebelum kemerdekaan Indonesia untuk kasus kejahatan yang dapat merusak tatanan sosial dan keseimbangan masyarakat.3

Ancaman pidana mati merupakan ranah Hukum Pidana Materiil, sementara pelaksanaannya merupakan Hukum Pidana Formil, yang keduanya termasuk dalam Sistem Hukum Pidana Objektif (ius poenali) di Indonesia. Hukum Pidana Materiil di sini termasuk pula Hukum Pidana Militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), yang mengatur mengenai tindak pidana militer yang dalam penulisan ini akan difokuskan pada tindak pidana militer yang diancam dengan pidana mati. Pemisahan yang dilakukan atas Hukum Pidana Materiil yang berlaku bagi masyarakat secara umum dengan yang berlaku secara khusus bagi militer atau yang dipersamakan dengan hal itu, membawa Penulis untuk mencari tahu mengenai eksistensi dan perbedaan pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan atas tindak pidana militer di Indonesia.

2 Elmar I Lubis, Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia, Opinio Juris Volume 04, 2012, Hlm.33

3 Hukum Pedia, Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia, diakses pada tanggal 29 Maret 2016 Pukul

(3)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, Penulis mengurutkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana eksistensi pidana mati dalam tindak pidana militer? 2. Bagaimana tata cara eksekusi pidana mati terhadap Terpidana mati

atas tindak pidana militer?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan mengenai pidana mati dalam tindak pidana militer ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui eksistensi pidana mati dalam tindak pidana militer.

2. Untuk mengetahui tata cara eksekusi pidana mati terhadap Terpidana mati atas tindak pidana militer.

D. Manfaat Penulisan a. Bagi Penulis

Karya tulis ini memiliki manfaat untuk penulis dalam hal pemenuhan tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah Hukum Pelaksanaan Pidana, serta sebagai dokumen pribadi untuk keperluan akademis ke depannya.

b. Bagi Pembaca

Karya tulis ini dapat pula memberi manfaat kepada pembaca untuk menambah wawasan mengenai eksistensi dan tata cara eksekusi pidana mati terhadap Terpidana mati atas tindak pidana militer.

BAB II PEMBAHASAN

(4)

Bertolak dari alur pemikiran mengenai dasar patut dipidananya suatu perbuatan, maka tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara material. Mengenai batasan yuridis tentang tindak pidana itu sendiri tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalam KUHP hanya ada asas legalitas (Pasal 1) yang menjadi landasan yuridis untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana

(strafbaarfeit).4 Sehingga selalu diartikan bahwa “tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang”.5

Perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana dibedakan antara lain tindak pidana umum (commune delicta) yang dapat dilakukan oleh setiap orang, yang merupakan lawan dari tindak pidana khusus

(delicta propria) yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja, dan dalam hal ini oleh seorang militer. Persona yang dimaksud sebagai ‘militer’ antara lain:

a. Militer, yang terdiri atas Militer Sukarela, Militer Wajib, Sukarelawan lainnya, Militer Sukarela yang dilarang melakukan jabatan, diberhentikan sementara dari jabatan atau dinyatakan non aktif dari jabatan.

b. Yang Dipersamakan dengan Militer, yakni seseorang yang dipersamakan dengan militer (Militer Wajib di luar dinas, Militer Sukarela yang non aktif dari dinas militer, Bekas Militer, Bekas Militer yang diberhentikan dengan tidak hormat, Anggota Cadangan Nasional yang dipandang dalam dinas militer, Seseorang yang menurut kenyataannya bekerja pada Angkatan Perang, Bekas/Pensiunan Militer yang dipekerjakan (lagi) dalam dinas militer, Komisaris Wajib Militer, Pensiunan Perwira Anggota Peradilan

4 Perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP yang mengandung asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Ucapan ini berasal dari Von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang.

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

Lihat : Buku Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Barda Nawawi

Dan http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html diakses pada 27 Maret 2016 Pukul 17.00.

(5)

Militer, Seseorang yang berpangkat Tituler, dan Militer Asing) dan seorang anggota dari suatu badan/organisasi yang dipersamakan dengan (bagian/satuan dari) Angkatan Perang.6

Dalam Hukum Pidana Militer, tindak pidana militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan dibedakan atas dua bagian, yaitu Tindak Pidana Militer Murni (zuiver militaire delict) dan Tindak Pidana Militer Campuran (gemengde militaire delict):7

1. Tindak Pidana Militer Murni

Tindak Pidana Militer Murni merupakan tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus militer. Contoh dari tindak pidana militer murni diatur dalam Bab II Pasal 73 KUHPM mengenai kejahatan dalam melaksanakan kewajiban perang, tanpa bermaksud untuk memberi bantuan kepada musuh atau merugikan negara untuk kepentingan musuh; kejahatan desersi; dan meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM.8

2. Tindak Pidana Militer Campuran

Tindak Pidana Militer Campuran adalah suatu perbuatan yang terlarang dan sebenarnya sudah ada peraturannya, hanya peraturan itu berada pada perundang-undangan yang lain. Sedangkan ancaman hukumannya dirasakan terlalu ringan apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang militer. Oleh karena itu perbuatan yang telah diatur perundang-undangan lain yang jenisnya sama, diatur kembali dalam KUHPM disertai ancaman hukuman yang lebih berat, disesuaikan dengan kekhasan militer. Contohnya perkosaan yang dilakukan oleh seorang militer pada waktu perang.9

Pidana mati merupakan salah satu jenis pidana pokok (strafsoort)

yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan merupakan pidana utama ke-1

6 SR Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Alumni AHAEM, Jakarta, 1985, Hlm. 28-42.

7 Moch. Faisal Salim, Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1996,

Hlm. 27

(6)

dalam Pasal 6 KUHPM. Penempatan pidana mati pada urutan teratas secara implisit mengindikasikan bahwa hukuman mati merupakan pidana terberat, merupakan pidana puncak dari seluruh sanksi pidana. Jenis pidana ini mengakhiri kehidupan seseorang secara hierarkis dan substantif. Pidana mati ini dapat dilaksanakan apabila segala upaya hukum telah selesai dilakukan, dan biasanya diakhiri dengan dikeluarkannya grasi.10

Kontroversi pidana mati di Indonesia menggunakan berbagai pembenaran yang dihubungkan dengan teori-teori pemidanaan untuk mendalilkan pro kontra penerapan pidana mati ini.11 Sesuai teori pembalasan, pidana mati masih diharapkan masyarakat dan menjadi jalan keluar agar tidak terjadi main hakim sendiri. Bilamana dihubungkan dengan tujuan pemidanaan, pidana mati bersumber dari teori retributif yang melegitimasi pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan.12 Dalam teori retributif, setiap manusia bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, sehingga seorang pelaku tindak pidana mutlak harus dipidana.13

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, pidana mati digunakan sebagai ancaman atas tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 12 Drt Tahun 1951 tentang Senjata Api, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan, Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

10 PUSLITBANG Hukum dan Peradilan – Badan Litbang Diklat Kumdil, Penafsiran Hakim

Dalam Penerapan Pidana Mati di Indonesia (Asas, Nama, dan Praktek Penerapannya), Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2014, Hlm. 37.

11Ibid. Hlm. 57-58 12Ibid. Hlm. 60, 68.

(7)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 31 PNPS 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom, Penpres Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).14

KUHPM diberlakukan bagi militer/tentara Indonesia.15 KUHPM memuat peraturan-peraturan yang menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam Hukum Pidana Umum, dan ketentuan yang menyimpang tersebut berlaku bagi golongan khusus (militer) atau orang-orang karena peraturan perundang-undangan ditundukkan padanya.16 Militer sebagai subjek hukum, secara bersamaan menjadi subjek tindak pidana dalam sistem peradilan pidana. Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab Tinjauan Pustaka, tindak pidana yang dilakukan oleh subjek tindak pidana dapat berupa tindak pidana umum (commune delicta) maupun tindak pidana khusus (delicta propria) yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja, dan dalam hal ini oleh seorang militer. Tindak pidana yang dilakukan oleh militer tersebut dalam hal terjadi tindak pidana militer campuran, maka secara bersamaan ia menjadi subjek tindak pidana umum dan tindak pidana khusus (militer) tersebut. Mengenai ketentuan yang diberlakukan terhadap militer, diatur dalam Pasal 63 KUHP yang menentukan secara khusus bahwa ketentuan pidana yang diterapkan ialah ketentuan pidana pokok yang lebih berat (ayat pertama), atau penerapan ketentuan pidana yang khusus (ayat kedua).17

Ketentuan pidana yang khusus bagi militer diatur dalam Pasal 6 hingga Pasal 31 Bab II Buku I KUHPM. Berbeda dengan ketentuan

14 Portal Hukuman Mati Indonesia, Ketentuan dan Proses Pelaksanaan Hukuman Mati di

Indonesia, diakses pada tanggal 27 Maret 2016 Pukul 17.10 WIB [http://hukumanmati.web.id/ketentuan-dan-pelaksanaan-hukuman-mati-di-indonesia/]

15 Lihat Pasal 46, Pasal 47 ayat (1), Pasal 49 ayat (2), Pasal 50, Pasal 68, dan Pasal 69 KUHPM.

16Op. Cit. SR Sianturi. Hlm. 30.

(8)

mengenai hukuman-hukuman dalam Pasal 10 KUHP, dalam KUHPM terdapat perbedaan sebagai berikut:

1. Pada hukuman pokok dalam KUHP terdapat hukuman denda, sedangkan dalam KUHPM tidak mengenal adanya pidana pokok denda terhadap tindak pidana militer.

2. Pada Hukuman Tambahan, hukuman tambahan yang dijatuhkan khusus sebegaimana tersebut dalam Pasal 6 KUHPM, merupakan ketentuan yang khas militer (zijn van zuiver militair).

3. Hakim militer lebih bebas untuk mempertimbangkan dalam menjatuhkan hukuman, tergantung kepentingan yang ditinjau dari sudut militer.18

Pidana-pidana yang diatur dalam Pasal 6 KUHPM terbagi atas Pidana Utama dan Pidana Tambahan. Perihal ‘hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan tanpa hukuman pokok’ juga diterapkan sepenuhnya dalam Hukum Pidana Militer. Adapun jenis pidana utama dalam KUHPM antara lain pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana tutupan. Sedangkan yang termasuk Pidana Tambahan ialah pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata, penurunan pangkat, dan pencabutan hak-hak yang disebut pada Pasal 35 ayat (1) angka 1,2, dan 3 KUHP. Dalam penulisan ini, yang menjadi fokus Penulis ialah pidana utama berupa pidana mati.

Banyak negara yang tidak lagi menerapkan pidana mati, namun di Indonesia sendiri pidana mati tidak dihapuskan karena secara historis ketentuan terkait pidana ini dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda, dan Indonesia sebagai negara jajahannya dikhawatirkan akan mengganggu kepentingan penjajah. Sehingga perlu diancam hukuman yang berat atas pihak yang mengganggu kepentingan tersebut.19 Hingga saat ini, ketentuan mengenai pidana mati masih banyak menuai pro dan kontra dari berbagai pihak dengan latar belakang akademis maupun ekspertisi yang berbeda.

18Op. Cit., Moch. Faisal Salim, Hlm. 60.

(9)

Secara ideologis, Indonesia berdasar kepada Pancasila, sehingga mengenai eksistensi pidana mati ini banyak argumentasi yang mendasarkan pemikiran mereka pada Pancasila. Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Menariknya hak yang mendasar ini disebutkan dalam Pasal 28I ayat (1) sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun hal ini tidak dapat dimaknai sampai pada dua ketentuan tersebut

an sich, karena konsekuensinya ialah bahwa semua produk hukum yang mengandung ancaman pasal-pasal hukuman mati haruslah dihapuskan. Sehingga, hukuman mati yang lahir sebelum UUD NRI Tahun 1945 harus secara tegas dicabut dan dinyatakan tidak berkekuatan hukum, tidak boleh lagi ada produk perundangan yang mencantumkan hukuman mati.20 Berbeda halnya jika ditinjau dari penafsiran sistematis, adanya pembatasan hak asasi yang dinyatakan dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945, bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan seta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Hal mengenai konstitusionalitas pidana mati ini menurut Mahkamah Konstitusi (MK) tidaklah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 maupun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Menurut MK, Pasal 28A dan Pasal 28I haruslah tunduk pada pembatasan hak yang diatur Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945. Sampai saat ini dari aspek yuridis, Indonesia merupakan negara retensionist berkaitan dengan pidana mati. Namun demikian, untuk menjaga keseimbangan perasaan pihak pro maupun kontra terkait eksistensi pidana mati, maka ditinjau dari optik interpretasi futuristis, dalam Pasal 66 RUU KUHP disebutkan bahwa

(10)

pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.21 Sehingga dalam praktek, hakim harus memberikan pertimbangan yang sungguh-sungguh apabila hendak menjatuhkan pidana mati.22

Dalam lingkup Peradilan Militer di Indonesia, ancaman pidana mati sebagai salah satu pidana utama dan merupakan pidana utama terberat, masih diakui dalam KUHPM. Adapun tindak pidana militer yang diancam dengan pidana mati ialah sebagai berikut:

Pengkhianatan Militer (Pasal 64), Pemberontakan Militer (Pasal 65), Pemata-mataan/Spionase (Pasal 67), Tawanan perang yang melarikn diri (Pasal 68), Kejahatan-Kejahatan dalam Melaksanakan Kewajiban Perang Tanpa Maksud untuk Memberi Bantuan kepada Musuh atau Merugikan Negara Terhadap Musuh (Pasal 73hatan Ke -1,Ke-2, Ke-3 dan Ke4), Menyerahkan diri Memperdayakan Masyarakat Militer (Pasal 74 Ke-1 dan Ke2), Menggagalkan suatu Operasi Militer (Pasal 76 ayat (1)), Merusak Suatu Perjanjian (Pasal 82), Desersi Istimewa (Pasal 89 Ke-1 dan 2), Insubordinasi dan Muiterij dalam Keadaan Khusus (Pasal 109 Ke-1dan Ke-2), Pengacauan Militer (Pasal 114 ayat (1)), Wajib Lapor tentang Kejahatan Tertentu (Pasal 133 ayat (1) dan (2)), Menghasut Militer untuk Melakukan Kejahatan (Pasal 135 ayat (1) ke1 dan ke2, ayat (2)), Kejahatan Berat oleh Militer (Pasal 137 ayat (1) dan(2)), Melakukan Kekerasan Terhadap Korban Perang (Pasal 138 ayat (1) dan (2)), dan Perampokan yang dilakukan secara berserikat (Pasal 142 ayat (2)).

Berdasarkan pencarian data yang dilakukan oleh Penulis, diperoleh beberapa data yang menunjukkan eksistensi pidana mati dalam Tindak Pidana Militer. Persona yang merupakan militer dan dijatuhi pidana mati oleh Hakim Militer antara lain sebagai berikut:

1. Prada Mart Azzanul Ikhwan

21Ibid., Hlm. 106.

22 Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, YUSTISIA Edisi 84, FH UNS,

(11)

Prada Mart Azzanul Ikhwan terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap kekasihnya Shinta Mustika (18) yang tengah hamil 8 bulan dan ibu kekasihnya, Opon (39), dalam waktu bersamaan. Atas perbuatan sadisnya itu, Majelis hakim Pengadilan Militer II-09 Bandung akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada oknum anggota TNI Prada Mart Azzanul Ikhwan.23

2. SUUD Rusli dan Syam Ahmad

Kopral Dua (Kopda) Marinir SUUD Rusli bekerjasama dengan anggota Marinir lainnya, Syam Ahmad (tertembak mati pada 17 Agustus 2007) kasus pembunuhan Dirut PT Asaba, Budyharto Angsono.24

3. Kolonel Irfan Jumroni

Hakim Pengadilan Tinggi Militer III Surabaya menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Irfan, sekaligus mencabut dari jabatannya sebagai anggota TNI AL. Ia dianggap terbukti telah melakukan pembunuhan berencana terhadap dua orang korban. Masing-masing Achmad Taufik, hakim Pengadilan Agama Sidoarjo, dan mantan istri Irfan, Eka Suhartini.25

Penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana militer, selain berdasarkan pertimbangan hakim mengenai tindak pidana yang dilakukan, biasanya selalu dihubungkan dengan penghianatan terhadap sapta marga sebagai berikut:26

1. Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila.

23 VOA Islam, Baru Kali Ini Oknum TNI Divonis Mati Dalam Pengadilan Militer, diakses pada

tanggal 28 Maret 2016 Pukul 18.00 WIB [http://www.voa- islam.com/read/indonesiana/2013/04/25/24184/baru-kali-ini-oknum-tni-divonis-mati-dalam-pengadilan-militer/]

24 Tribun Nasional, Grasi Ditolak Presiden, Boyamin Yakin Kliennya Punya Kedudukan Hukum di

MK, diakses pada tanggal 27 Maret 2016 pukul 18.00 WIB [http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/22/grasi-ditolak-presiden-boyamin-yakin-kliennya-punya-kedudukan-hukum-di-mk?page=2]

25Tabloid Nova, Usai Pak Kolonel Divonis Mati, diakses pada tanggal 28 Maret 2016 pukul 18.15

WIB [http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=11087]

26 Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat, Sapta Marga, diakses pada tanggal 29 Maret pukul

(12)

2. Kami Patriot Indonesia pendukung serta pembela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.

3. Kami Ksatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran kebenaran dan keadilan.

4. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia.

5. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia memegang teguh disiplin, patuh, dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit.

6. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia mengutamakan Keperwiraan di dalam melaksanakan tugas serta senantiasa siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa.

7. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia setia dan menepati janji serta sumpah prajurit.

B. Tata Cara Eksekusi Pidana Mati terhadap Terpidana Mati atas Tindak Pidana Militer

(13)

pengadilan ketentaraan sebagai pedoman. Dalam Pasal 270-276 diatur bahwa terdapat lembaga Hakim Pengawas dan pengamat yang diterapkan di lingkungan peradilan militer karena tugasnya secara melembaga sudah ada pada fungsi Kepala Mahkamah Militer.27

Setelah selesai proses persidangan, hakim mengambil keputusan yang diucapkan pada sidang yang terbuka untuk umum. Apabila keputusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka keputusan tersebut harus dilaksanakan, yang mana pelaksanaannya disebut juga eksekusi.28 Maksudnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah suatu Putusan Pengadilan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk dibatalkan dengan upaya hukum verzet, banding atau kasasi. Pengertian eksekusi juga dapat kita temukan dalam Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).29

Dalam lingkup Peradilan Militer, eksekusi putusan pengadilan dilakukan oleh Oditur Militer (Ormil). Setelah Ormil menerima kutipan putusan inkracht, maka ia membuat laporan kepada Perwira Penyerah Perkara (PAPERA) maupun kepada Atasan yang berhak menghukum (ANKUM), dengan melampirkan ikhtisar putusan. Selanjutnya Ormil yang bersangkutan menyerahkan Terpidana kepada INREHAB/Lembaga Pemasyarakatan atau tempat lain yang ditunjuk. Namun, dalam hal pelaksanaan pidana bersyarat, Terpidana diserahkan kepada ANKUM-nya untuk pengawasan. Dalam penyerahan Terpidana tersebut, Ormil membuat berita acaranya.30

Putusan pengadilan oleh hakim pada pengadilan militer dikirimkan oleh Panitera kepada Ormil untuk dilaksanakan. Dalam hal pidana yang dijatuhkan adalah pidana mati, sedikit berbeda dengan penjatuhan pidana lainnya. Sekalipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, bahkan menerima pidana tersebut, namun belum dapat dieksekusi sebelum

27 Op. Cit. Moch. Faisal Salim, Hlm. 47.

28Ibid.. Hlm. 208.

29 Pasal 270 KUHAP berbunyi : “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa/ormil yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan padanya.”

(14)

turun keputusan Presiden mengenai pelaksanaannya.31 Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kesalahan yang mungkin terjadi, melalui prosedur yang ketat masih dianggap perlu untuk menerima keputusan Presiden. Presiden tidak boleh mencampuri urusan pengadilan, oleh karena itu kesempatan Presiden untuk berperan adalah melalui upaya hukum yang khas menjadi wewenang Presiden dalam bentuk pemberian grasi (pengampunan). 32 Namun, dalam hal keputusan Presiden tidak merubah pidana mati yang telah dijatuhkan, maka pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Pnps 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer, yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Untuk yustisiabel peradilan sipil diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16, dan untuk yustisiabel peradilan militer diatur dalam Pasal 17.

Beberapa ketentuan tentang cara pelaksanaan pidana mati untuk yustisiabel peradilan militer adalah sebagai berikut:

1. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri/Panglima

Angkatan yang bersangkutan di daerah mahkamah yang menjatuhkan putusan tersebut, kecuali ditentukan lain.

2. Panglima/Komandan Daerah Militer bertanggungjawab mengenai

pelaksanaannya setelah mendengar saran dari Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi yang bersangkutan dan menentukan hari/tanggal pelaksanaan tersebut.

3. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh satu regu militer.

4. Apabila terpidana sedang hamil, pelaksanaan pidana mati harus ditunda sampai anak yang dikandungnya lahir.

5. Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, ormil/ormilti yang bersangkutan harus memberitahukan tentang pelaksanaan tersebut kepada terpidana dan apabila terpidana

31 Pasal 2 dan 3 UNDANG-UNDANG Grasi Nomor 3 Tahun 1950.

(15)

mengemukakan sesuatu , maka pesan itu harus diterima oleh ormil/ormilti yang bersangkutan.

6. Ormil/Ormilti yang bersangkutan dan Panglima Daerah atau yang ditunjuknya harus menghadiri pelaksanaan tersebut, sedangkan pembela terpidana atas permintaan sendiri dapat menghadirinya.

7. Pelaksanaan pidana mati tidak boleh dilakukan di muka umum.

8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga/sahabat-sahabat terpidana dan harus dicegah pelaksanaan penguburan yang demonstratif. Dalam hal ini ada kekecualian, yaitu apabila Ormil/Ormilti berpendapat bahwa penguburan itu harus diselenggarakan oleh negara demi kepentingan umum/militer dengan mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh Terpidana.

9. Setelah selesai pelaksanaan pidana mati, Ormil/Ormilti harus

membuat berita acara pelaksanaan pidana mati, yang kemudian isi berita acara tersebut harus disalinkan untuk putusan mahkamah yang bersangkutan.33

10. Dalam pelaksanaannya, terpidana dapat menjalaninya secara

berdiri, duduk, atau berlutut. Jika dipandang perlu, Ormil/Ormilti dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

11. Setelah terpidana siap untuk ditembak, Regu Penembak dengan

senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan, dengan Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

12. Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi

(16)

perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

13. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian Penulis dalam Bab Pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

(17)

yang ada, meskipun jarang, pidana mati dijatuhkan terhadap anggota militer.

2. Tata cara pelaksanaan pidana mati dalam lingkup peradilan militer tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pidana mati dalam lingkup peradilan umum yang dilaksanakan terhadap warga sipil. Perbedaannya terletak pada eksekutornya. Dalam pelaksanaan pidana mati atas tindak pidana militer, dilakukan oleh satu regu militer, serta Panglima/Komandan Daerah Militer yang bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya setelah mendengar saran dari Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi yang bertindak sebagai eksekutor putusan pengadilan yang bersangkutan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, Penulis mengajukan saran berikut:

1. Sebaiknya mengenai penjatuhan pidana mati atas tindak pidana militer di Indonesia, tetap memperhatikan pertimbangan yang ada dalam penjatuhan pidana mati terhadap warga sipil, sehingga tidak terkesan sebagai suatu pembalasan atas perbuatan pelaku yang merupakan anggota militer (meskipun memang harus dipandang berbeda dari sisi kepentingan dan kewibawaannya sebagai anggota militer), padahal perbuatannya tidak serta merta berdampak terhadap masyarakat luas sehingga ada urgensi untuk dijatuhi pidana mati terhadapnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Nawawi Arief, Barda. 2014. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana-Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

PUSLITBANG Hukum dan Peradilan – Badan Litbang Diklat Kumdil. 2014.

(18)

Salim, Moch. Faisal. 1996. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Salim, Moch. Faisal. 2006. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Sianturi, SR. 1985. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta: Alumni AHAEM.

Tongat. 2004. Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia.

Malang: UMM Press.

Jurnal dan Majalah

Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. YUSTISIA Edisi 84. 2012. Surakarta: FH UNS.

Lubis, Elmar I. 2012. Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia. Opinio Juris Volume 04.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).

Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 2 Pnps 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer, yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

(19)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950 tentang Grasi.

Website

http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/04/25/24184/baru-kali-ini-oknum-tni-divonis-mati-dalam-pengadilan-militer/

http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/22/grasi-ditolak-presiden-boyamin-yakin-kliennya-punya-kedudukan-hukum-di-mk?page=2

http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=11087

http://www.tniad.mil.id/index.php/sample-page-2/kode-etik/sapta-marga/

http://hukumanmati.web.id/ketentuan-dan-pelaksanaan-hukuman-mati-di-indonesia/

http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html

Referensi

Dokumen terkait

Apabila seseorang dilarang meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi, maka secara rasional lebih baik ia meminjamkannya kepada kalangan menengah dan

Akhlaq merupakan aspek ajaran Islam yang berhubungan dengan tata perilaku manusia sebagai hamba Allah, anggotamasyarakat, dan bagian dari alam sekitarnya. Kata akhlaq

Sehingga perlunya suatu bentuk kegiatan pendampingan masyarakat untuk lebih memasyarakatkan tanaman obat keluraga (TOGA) ini sebagai suatu bentuk kemandirian

Ketidakmampuan perusahaan dalam menghadapi dan mengantisipasi perkembangan global harus berujung pada kebangkrutan karena mengalami financial distress.Penelitian

Dalam mencipta tubuh, Allah telah memberikan lebih banyak penghormatan kepada bahagian yang kurang memilikinya, 25 supaya tidak ada perpecahan dalam tubuh, tetapi semua

Berdasarkan hasil analisis pada kelompok eksperimen maka dapat disimpulkan ada penurunan tingkat stres secara signifikan, dimana pada saat sebelum pelatihan

Communication Objective Dari riset penyelenggara pasca event yang dilakukan melalui 60 responden yang mengetahui Klub sepatu roda kota Semarang, sebanyak 43, yang berminat gabung

Viskositas Mooney karet alam SIR 20CV dengan berbagai perlakuan bahan pemantap dan karet blanko disajikan pada Gambar 6.. Viskositas Mooney karet