MUTASI GEN GAP JUNCTION BETA 2 DAN MYOSIN 7A
PADA TULI KONGENITAL NON SINDROMIK DI INDONESIA
RINGKASAN DISERTASI
Devira Zahara NIM 098102005
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2016
MUTASI GEN GAP JUNCTION BETA 2 DAN MYOSIN 7A
PADA TULI KONGENITAL NON SINDROMIK DI INDONESIA
RINGKASAN DISERTASI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Ujian Terbuka Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan
Oleh
DEVIRA ZAHARA NIM 098102005
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2016
PROMOTOR
Prof.Dr.dr.Jenny Bashiruddin, Sp.T.H.T.K.L (K)
Guru Besar Tetap Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala leher
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
KO-PROMOTOR
dr. Gino Tann, Sp.PK, Ph.D.(Lond), F.I.S.H
Doktor/Konsultan Senior Patologi Klinik, Hemato-Onkologi dan Immunologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
KO-PROMOTOR
Prof.Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L (K)
Guru Besar Tetap Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
Telah diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 29 Juli 2015
TIM PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof.Dr.dr.Jenny Bashiruddin, Sp.T.H.T.K.L(K) Anggota : dr. Gino Tann, Sp.PK, Ph.D
Prof.Dr.dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L(K) Dr.dr. Nyilo Purnami, Sp.T.H.T.K.L(K) Dr.dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L(K) Dr.dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK Prof.Dr.Ir. Harmein Nasution, MSIE
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahirrahmanirrahim
Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan penelitian hingga promosi doktor pada hari ini. Semoga karunia yang saya peroleh mendapat ridho Allah SWT dan membawa manfaat bagi saya dan keluarga, masyarakat dan almamater saya, Universitas Sumatera Utara.
Dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof.Drs.Subhilhar MA. PhD (Prof.Ir.
Zulkifli Nasution, M.Sc, PhD, wakil rektor 1 universitas sumatera utara) yang telah berkenan memimpin sidang pada hari ini.
Kepada Prof.dr.Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, saya mengucapkan terima kasihserta penghormatan, atas kesempatan, bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada saya selama menjalani pendidikan di Program Doktor.
Kepada Ketua Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), Sekretaris Program Studi S-3 Prof.Dr.dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L(K) saya mengucapkan terima kasih atas keizinan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ucapan terima kasih dan salam hormat saya sampaikan kepada Promotor dan Ko promotor : Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin, Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Gino Tann, Sp.PK, Ph.D dan Prof.Dr.dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L(K) atas kesediaan guru-guru saya meluangkan waktu
membimbing, mendorong dan memberikan nasehat dan perbaikan demi penyempurnaan disertasi ini.
Selanjutnya saya juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada guru-guru tim penguji disertasi ini : Dr.dr.Nyilo Purnami, Sp.T.H.T.K.L(K), Dr.dr.Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L(K), Dr. dr.
Rosita Juwita Sembiring,Sp.PK , Prof.Dr.Ir.Harmein Nasution, MSIE yang telah memberi penilaian, koreksi dan masukan selama proses persiapan penelitian hingga penulisan disertasi ini selesai. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan segala rahmat dan berkah, kesehatan dan kesejahteraan kepada guru-guru saya
Ucapan terima kasih dan salam hormat juga saya sampaikan kepada seluruh staf pengajar di lingkungan Program S-3 Kedokteran FK USU atas ilmu pengetahuan, bimbingan dan diskusi selama saya mengikuti Program Studi S-3.
Terima kasih saya ucapkan kepada Direktur Utama RSUP. H.
Adam Malik Medan dan ketua Departemen THT-KL FK-USU yang telah memberi izin kepada saya untuk bisa mengikuti pendidikan Program Studi S-3 Kedokteran ini.
Saya ucapkan terima kasih kepada ketua Departemen THT-KL serta seluruh staf Departemen THT-KL FK-USU dan PPDS yang telah membantu dalam kelancaran pendidikan saya.
Rasa hormat dan kasih sayang yang tiada terhingga saya ucapkan kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai, Ayahanda Prof.Dr.dr.
Abdul Rachman Saragih, Sp.T.H.T.K.L(K) dan ibunda drg.Cut Nurliza, M.Kes yang telah membesarkan, mendidik dan berdoa dengan penuh kasih sayang dan selalu memberikan nasehat dan semangat, agar tetap berjuang di jalan yang di ridhoi Allah SWT. Dan kepada mertua saya yang tercinta drg.Eddy Anwar Ketaren dan drg. Dewi Anggraini, saya ucapkan terima kasih yang tiada terhingga atas doa, kasih sayang dan dukungan yang diberikan selama ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan, umur yang panjang dan berkah, keselamatan, kebahagiaan
dunia akhirat dan kemurahan rezeki kepada ayahanda dan ibunda. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Ucapan terima kasih disertai ungkapan kasih sayang tak terhingga saya sampaikan kepada suamiku dr. Andre Pasha Ketaren, Sp.JP(K), FIHA, anak-anak yang kusayangi, Aisyah Anindya Pasha Ketaren dan Annisa Salsabila Pasha Ketaren, yang telah bersedia mendampingi saya dalam suka dan duka, memberi kesempatan, kepercayaan, dukungan moril dan menjadi pendorong terbesar saya untuk melewati perjalanan panjang selama mengikuti pendidikan ini
Terima kasih yang sedalam-dalamnya buat adik-adik dan adik-adik ipar serta seluruh keluarga yang telah memberi semangat, dorongan dan do’a kepada keluarga kami.
Akhirnya, sekali lagi kepada seluruh nama yang tersebut di atas maupun yang tidak disebutkan yang telah banyak membantu saya secara langsung maupun tidak langsung, dari hati nurani yang paling dalam saya haturkan dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Saya berharap disertasi ini dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan dunia ilmu kedokteran serta peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita, mengangkat kita dengan derajat yang lebih tinggi, membuka pintu berkah yang seluas-luasnya dan pahala yang tiada henti melalui ilmu yang bermanfaat. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS
1. Nama : dr. Devira
Zahara,M.Ked,Sp.T.H.T.K.L,
2. Tempat / tanggal lahir : Medan, 7 Desember 1978
3. Agama : Islam
4. NIP : 197812072008012013
5. Pangkat/golongan : Penata Tk.1 / III d
6. Pekerjaan : Staf Departemen THT-KL FK USU/RSUP.HAM Medan 7. Alamat : Jl. Kenanga no 14-16 Medan
20151
8. Telepon : 08126030849
9. E-mail : [email protected]
II. KELUARGA
1. Suami : dr.Andre Pasha Ketaren, Sp.JP(K), FIHA Pekerjaan : Staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler
FK USU
2. Anak : 1. Aisyah Anindya Pasha Ketaren 2. Annisa Salsabila Pasha Ketaren
III. PENDIDIKAN
1990 : Lulus SD Kemala Bhayangkari 1 Medan 1993 : Lulus SMP Negeri 1 Medan
1996 : Lulus SMA Negeri 1 Medan
2002 : Lulus Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2008 : Lulus /mendapatkan Sertifikat Spesialis THT-KL dari FK USU
2012 : Magister (S2) Kesehatan Klinis FK-USU
IV. RIWAYAT PEKERJAAN
2008 – sekarang : Staf Departemen THT-KL FK USU/RSUP.HAM Medan
V. KEGIATAN AKADEMIK
1. Membimbing mahasiswa FKU – USU (S1)
2. Memimpin jurnal, refarat, dan laporan kasus untuk residen THT
3. Membimbing residen dalam bidang diagnostik dan terapi terutama kasus otologi dan neurotologi
4. Membimbing Penelitian Peserta Program Dokter Spesialis THT-KL
5. Membimbing Peserta Program Dokter Spesialis THT-KL dalam diskusi kasus/laporan kasus ruangan.
6. Membimbing Peserta Program Dokter Spesialis THT-KL dalam diskusi dan melakukan tindakan di kamar bedah 7. Fasilitator dalam tutorial mahasiswa S1.
8. Fasilitator skill lab mahasiswa S1.
9. Membimbing bedside teaching mahasiswa S1.
VI. PUBLIKASI ILMIAH
1. Fistula Labirin Sebagai Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Bahaya, 2010
2. Profil Otomikosis di RSUP.H.Adam Malik Medan, 2011
3. Osteoradionecrosis Of External Audiotory Canal In Nasopharyngeal Carcinoma Patients In Adam Malik Hospital, 2012
4. Value Based Medicine, 2012
5. Ototoxic Onset Rates From Chemotherapeutic And Antituberculous Agents, 2012
6. Osteoradionecrosis and Cholestoma Of External Audiotory Canal in Post Radiotherapy Nasopharyngeal Carcinoma Patient, 2013
7. Operasi Implan Koklea Sebagai Tatalaksana Anak – Anak Dengan Ketulian Prelingual di Medan, 2013
8. Pewarisan Mutasi Gen GJB 2 Pada Tuli Pre-Lingual di Indonesia, 2014
9. Diagnosis & Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran, 2015
10. Inheritance GJB2 (connexin 26) gene mutations in Indonesian Patients with Non Syndromic Hereditary Hearing Loss, 2015
11. Vestibular Symptom after Bilateral Cochlear Implantation Surgery, 2015
VII. WORKSHOP DAN PELATIHAN YANG PERNAH DI IKUTI
1. Pelatihan Translation From Basic Science to Clinical Aplication Medan, 2010
2. Tutor Training for Staff di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, 2010
3. Workshop Masking di Bidang Audiologi di Bukit Tinggi, 2011 4. Pelatihan 28th Temporal Bone Dissection Course Advance-
Class Programme di Jakarta, 2011
5. Workshop Open Structured Rhinoplasty di Sydney, 2011 6. Pelatihan Refreshing Course On Research Design di RSUP.
Haji Adam Malik Medan, 2011
7. 7th Jakarta International FESS Course – Workshop Indonesian Rhinology Conference di Jakarta, 2011
8. Pelatihan Peranan Timpanometri Dalam Mendeteksi Masalah Telinga Tengah di Jakarta, 2012
9. 8th Jakarta International FESS Course – Workshop di Jakarta, 2012
10. 7th Semarang Basic FESS Course – Workshop di Jakarta, 2012
11. Pelatihan Pembelajaran Bioetika, Humaniora dan Hukum Kedokteran di Medan, 2012
12. Pelatihan The 3rd MED – EL Asia Pacific Surgical Training Academy di Korea Selatan, 2012
13. Pelatihan & Workshop Evidence Based Medicine di Medan, 2012
14. Advanced Temporal Bone Dissection Course Changi Hospital Singapura, 2012
15. Pelatihan Peranan Tes Pendengaran Objektif di Bidang Diagnostik Neurotologi : Aplikasi Klinis, Metodologi, Dan Interpretasi di Jakarta, 2012
16. Temporal Bone Dissection Workshop di Medan, 2013
17. Pelatihan Pemeriksaan Audiometri Nada Murni, Tutur dan Masking, Elektroakustik Imitans dan Penatalaksanaan Saraf Fasialis : Tip dan Trick Metode Pemeriksaan dan Analisa Hasil di Jakarta, 2013
18. 30th Temporal Bone Dissection Course And Workshop For Advanced With Cadaver di Jakarta, 2013
19. Pelatihan Kursus Biologi Molekuler & Imunologi di Yogyakarta, 2013
20. Workshop Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Pada Lansia (Presbikusis) di Jakarta, 2013
21. Workshop dan Pelatihan Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran & Perkembangan Berbicara Pada Anak di Jakarta, 2014
22. Pelatihan Basic Surgical Skill di Jakarta, 2014
23. Pelatihan Tatalaksana Komprehensif Mikrotia dan Gangguan Pendengaran di Jakarta, 2014
24. Workshop Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran SNHL Perifer s/d Sentral Tinitus dan Hiperakusis : Diagnosis dan Penatalaksanaan di Jakarta, 2015
VIII. SYMPOSIUM YANG PERNAH DI IKUTI
1. 2nd Ent Head & Neck Surgery Conference And 3rd Annual Otology Meeting di Jakarta 2008
2. New Paradigm in Pathobiology of Human Disease and Management di Medan, 2008
3. Pertemuan Ilmiah Tahunan VII di Jakarta, 2008
4. Upaya Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring di Sumatera Utara, 2009
5. On Present And Future Of Middle Ear Diseases And Hearing Impairments di Medan, 2010
6. Combined 5th Otology Annual Scientific Meeting (PITO-5) and The 3rd Asean Academy of Neurotology, Otology &
Audiology (AANOA-3) Congress di Yogyakarta, 2010
7. Current Challenges Management or Infections di Medan, 2011
8. Pertemuan Ilmiah Tahunan Otologi (PITO – 6) di Bukit Tinggi, 2011
9. Cholesteatoma and Ear Surgery di Jepang, 2012
10. 3rd Asia Pacific – Singapore Otology Neurotology & Skull Base (Apsons) Congress di Singapura, 2012
11. Pertemuan Ilmiah Tahunan Otologi (PITO) VII di Semarang, 2012
12. Tinnitus Update Medan, 2012
13. Paediatric Cochlear Implantation di Turkey, 2013
14. AAO – HNSFAnnual Meeting & Oto Expo di Vancouver Canada, 2013
15. Recent Updates in Ear Diseases : From Basic to Advance di Jakarta, 2013
16. 9th Jakarta International Functional Endoscopic Sinus Surgery di Jakarta, 2013
17. AAO – HNSFAnnual Meeting & Oto Expo di Orlando Amerika Serikat, 2014
18. 16th National Congress of Perhati-KL di Medan, 2013
19. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma di Medan, 2013
20. Pertemuan Ilmiah Penelitian Karsinoma Nasofaring di Indonesia, 2013
21. 9th Annual Scientific Otology Meeting di Bandung, 2014 22. Tatalaksana Vertigo Sehari – Hari di Medan, 2014
23. Penanganan Terkini Gastro Esofageal Reflux Disease (GERD) dan Laringo Pharyngeal Reflux (LPR) di Medan, 2014
24. 10th Asia Pacific Symposium on Cochlear Implants and Related Sciences (APSCI) di China, 2015
IX. ORGANISASI PROFESI
2002-2014 : Anggota Ikatan Dokter Indonesia 2002-2015 : Anggota PERHATI-KL
X. PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT
1. Seminar awam: Penanganan Gangguan Pendengaran di RS Columbia Asia di Medan, 2012
2. Partisipasi Acara Jalan Sehat BCA – Gratis Konsultasi THT di Lapangan Benteng Medan, 2012
3. Narasumber dalam program acara Star Kongkow di Radio 102.6 STARNEWS FM Medan, 2012
4. Partisipasi pada Acara Bakti Sosial Pemeriksaan Kesehatan
& Pengobatan Gratis Medan, 2013
5. The Invaluable services and cooperation in social activity with Lions Club Indonesia District-307 A2 di Nias,2015
6. Edukasi Kesehatan Dokter Kita, TVRI, 2015
PERNYATAAN ORISINALITAS
MUTASI GEN GAP JUNCTION BETA 2 DAN MYOSIN 7A PADA TULI KONGENITAL NON SINDROMIK DI INDONESIA
Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi akademik dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 6 Desember 2015
Devira Zahara
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL... i
LEMBAR PRASYARAT GELAR... ii
LEMBAR PROMOTOR DAN KO-PROMOTOR... iii
LEMBAR PERSETUJUAN... iv
LEMBAR PENGUJI... v
UCAPAN TERIMA KASIH... vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... x
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... xv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI... xvi
RINGKASAN... xvii
SUMMARY... xix
ABSTRAK... xxi
ABSTRACT... xxiii
DAFTAR ISI... xxv
DAFTAR TABEL... xxix
DAFTAR GAMBAR ... xxx
DAFTAR SINGKATAN ... xxxii
DAFTAR LAMPIRAN... xxxiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Pertanyaan Penelitian ... 8
1.3. Hipotesis ... 8
1.4. Tujuan Penelitian ... 9
1.4.1. Tujuan umum ... 9
1.4.2. Tujuan khusus ... 9
1.5. Manfaat Penelitian ... 10
1.5.1. Manfaat teoritis ... 10
1.5.2. Manfaat praktis (Terapan) ... 10
1.6. Orisinalitas ... 11
1.7. Hak Atas Kekayaan Intelektual ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Tuli Kongenital …... 13
2.2. Epidemiologi Tuli Kongenital ………... 14
2.3. Etiologi Tuli Kongenital ... 14
2.3.1. Genetik ………... 14
2.3.2. Non genetik ………... 16
2.4. Klasifikasi Tuli Kongenital ... 17
2.5. Gambaran Klinis Tuli Kongenital …... 18
2.6. Diagnosis Tuli Kongenital ... 19
2.6.1. Emisi otoakustik …... 20
2.6.2. Brainstem evoked response audiometry.... 26
2.6.3. Pemeriksaan tambahan ……... 30
2.7. Embriologi, Anatomi, Histologi dan Fisiologi... 32
2.7.1. Embriologi telinga………. 32
2.7.2. Anatomi telinga………... 40
2.7.3. Fisiologi pendengaran ………. 52
2.8. Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir ... 54
2.9. Klasifikasi gangguan pendengaran………... 56
2.10 Mutasi Genetik ... 58
2.11. Ketulian dan Genetik ….………. 61
2.12. Jenis-jenis Ketulian Genetik ………….………… 63
2.12.1. Pewarisan autosomal resesif ………….... 63
2.12.2. Pewarisan autosomal dominan …….…... 66
2.12.3. Pewarisan mutasi resesif X-linked……… 68
2.12.4. Pewarisan mutasi mitokondria .…………. 70
2.13. Gen Gap Junction Beta 2 (GJB2……….. 71
2.14. Gen Myosin 7A (MYO7A) ………... 75
2.15. Pemeriksaan Genetik…..……… 78
2.16. Manfaat Pemeriksaan Genetik ………. 80
2.17. Sekuensing DNA ……….……….. 81
2.17.1. Sekuensing Maxam-Gilbert ... 82
2.17.2. Sekuensing Sanger ….………... 82
2.18. Restriction Fragment Length Polimorphism (RFLP) ………...…... 83
2.19 Implikasi Klinis Pemeriksaan Genetik ……... 85
2.20. Terapi untuk Penderita Tuli Kongenital ... 87
2.20.1. Alat bantu dengar ... 87
2.20.2. Implan koklea ... 88
2.20.3. Terapi genetik ... 89
2.21. Kerangka Teori ……….. 92
2.22. Kerangka Konsep ………. 93
BAB III METODE PENELITIAN ... 94
3.1. Rancangan Penelitian ... 94
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 94
3.3. Subjek Penelitian ... 95
3.3.1. Kriteria inklusi ... 95
3.3.2. Kriteria eksklusi ... 95
3.4. Teknik Pengambilan Sampel ... 96
3.5. Besar Sampel ... 96
3.6. Variabel Penelitian ... 97
3.7. Alur Kerja ... 97
3.7.1. Diagnosis dan pengambilan darah penderita tuli kongenital ... 97
3.7.2.Tahapan pemeriksaan mutasi genetik ... 98
3.8. Analisis Data ... 106
3.9. Etika Penelitian ... 106
3.10.Definisi Operasional ... 107
BAB IV HASIL PENELITIAN ……… 113
BAB V PEMBAHASAN ……… 135
5.1. Hasil Pemeriksaan Genetik GJB2 ………. 139
5.2. Hasil Pemeriksaan Genetik Myosin 7A (MYO7A) 146 5.3. Keterbatasan Penelitian ... 150
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 151
Kesimpulan ... 151
Saran ... 152
DAFTAR PUSTAKA ... 153
LAMPIRAN ... 167
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi gangguan pendengaran ………. 56
Tabel 2.2 Sindroma yang sering menyebabkan ketulian …... 62
Tabel 2.3 Kriteria sindroma branchiootorenal……….……. 67
Tabel 3.1 Pembuatan master mix... 101
Tabel 3.2 Urutan primer gen GJB2... 102
Tabel 3.3 Urutan primer gen MYO7A... 102
Tabel 3.4 Komposisi reaksi... 103
Tabel 3.5 Letak lokus dan primer gen GJB2 dan MYO7A... 110
Tabel 4.1 Karakteristik penderita tuli kongenital ... 114
Tabel 4.2 Karakteristik ayah penderita tuli kongenital ……….. 115
Tabel 4.3 Karakteristik ibu penderita tuli kongenital …………. 117
Tabel 4.4 Distribusi mutasi genetik pada penderita tuli kongenital, ayah dan ibu ………... 118
Tabel 4.5 Distribusi mutasi genetik pada saudara kandung… 119 Tabel 4.6 Distribusi pewarisan mutasi genetik GJB2 …. 119 Tabel 4.7 Distribusi pewarisan mutasi genetik MYO7A.. 119
Tabel 4.8 Distribusi variasi mutasi gen GJB2 dan perubahan protein yang dibentuk pada penderita tuli kongenital 120 Tabel 4.9 Distribusi variasi mutasi gen GJB2 dan protein yang dibentuk pada ayah ……… 121
Tabel 4.10 Distribusi variasi mutasi gen GJB2 dan protein yang dibentuk pada ibu ……….. 122
Tabel 4.11 Hubungan mutasi genetik GJB2 pada ayah dengan mutasi genetik pada penderita tuli kongenital ... 126
Tabel 4.12 Hubungan mutasi genetik GJB2 pada ibu dengan mutasi genetik pada penderita tuli congenital ……. 126
Tabel 4.13 Hubungan mutasi genetik MYO7A pada ayah dan penderita tuli kongenital ... 127
Tabel 4.14 Hubungan mutasi genetik MYO7A pada ibu dengan mutasi genetik penderita tuli kongenital ... 127
Tabel 4.15 Pewarisan mutasi gen GJB2 dalam keluarga ……… 129
Tabel 4.16 Pewarisan mutasi gen MYO7A dalam keluarga …… 134
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
Gambar 2.1 Contoh hasil pemeriksaan OAE ... 26
Gambar 2.2 Gelombang BERA normal………... 28
Gambar 2.3. Perkembangan dini dari telinga dalam pada minggu ke-3 dan ke-4 masa gestasi... 35
Gambar 2.4. Perkembangan labirin bagian tulang …... 38
Gambar 2.5. Koklea dan potongan melintang koklea ... 41
Gambar 2.6. Komposisi cairan koklea ... 43
Gambar 2.7. Lebar membran basilaris dari basal ke apeks ... 43
Gambar 2.8. Sel rambut, organ korti dan sel rambut luar dan dalam dilihat dengan mikroskop elektron ………. 45
Gambar 2.9. Tip link………. ... 45
Gambar 2.10 Lokasi ekspresi GJB2 …... 46
Gambar 2.11 Peran GJB2 dalam regulasi kalium …………... 46
Gambar 2.12 Jalur auditori …... 51
Gambar 2.13 Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara resesif ... 64
Gambar 2.14 Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara dominan... 67
Gambar 2.15 Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara resesif x-linked... 69
Gambar 2.16 Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara pewarisan mutasi mitokondria... 70
Gambar 2.17 Regulasi kalium dalam organ Corti... 73
Gambar 2.18 Gambar kromosom 13 dan lokus gen penyebab ketulian ………... 74
Gambar 2.19 Gap junction 2... 75
Gambar 2.20 Gambar kromosom 11 dan lokus gen penyebab ketulian... 77
Gambar 2.21 Gen Myosin 7A... 78
Gambar 2.22 Analisis dan pewarisan alel fragmen RFLP ……. 85
Gambar 2.23 Alat bantu dengar ………. 88
Gambar 2.24 Implan koklea ………. 88
Gambar 2.25 Skema kerangka teori... 92
Gambar 2.26 Skema kerangka konsep... 93
Gambar 3.1 Skema diagnosis dan pengambilan darah ... 97
Gambar 3.2 Skema pemeriksaan genetik 98 Gambar 4.1 Inversi 455-456 GC-CG (p.S86T) ... 123
Gambar 4.2 Missense 439 CT (CTGTTG, p.L145L) ... 123
Gambar 4.3 Missense 430 GA (GCCACC, p.A78T) ... 123
Gambar 4.4 Missense 636 CA (TTCTTA, p.F146L) ... 124
Gambar 4.5 Missense 672 CA (TACTAA, p.Y158X) ... 124
Gambar 4.6 Missense 626 GA (CGGCAG, p.R143Q) ... 124
Gambar 4.7 Missense 634 TA (TTCATC, p.F146I) ... 125
Gambar 4.8 Missense 694 CT (CTGTTG, p.L232L) ... 125
Gambar 4.9 Missense 501 GA (GAGGAA, p.E167E) ... 125 Gambar 4.10 Polimorfisme 605 A/C (TACTCC, Y202S) ... 126 Gambar 4.11 Pemeriksaan RFLP untuk gen MYO7A ... 128
DAFTAR SINGKATAN
ADNSHL = Autosomal Dominant Non Syndromic Hearing Loss ARNSHL = Autosomal Recessive Non Syndromic Hearing Loss BBLR = Berat badan lahir rendah
BERA = Brainstem Evoked Response Audiometry BOR = Branchio-oto-renal
DFNA = Non syndromic deafness, autosomal dominant DFNB = Non syndromic deafness, autosomal recessive DFN = Mutasi resesif X-linked
DNA = Deoxyribo Nucleic Acid
DPOAEs = Distortion Product Otoacoustic Emission GJB = Gap junction Beta
MYO = Myosin
NSHHL = Non-syndromic hereditary hearing loss SFOAEs = Sustained-Frequency Otoacoustic Emission SOAEs = Spontaneous Otoacoustic Emission
TOAEs = Transient Otoacoustic Emission
UNHS = Universal Newborn Hearing Screening
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
Lampiran I Etika penelitian... 167 Lampiran II Hasil PCR GJB2... 169
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendengaran adalah suatu proses yang kompleks, sehingga bila terjadi gangguan pendengaran atau ketulian maka penyebabnya bisa bermacam-macam pula. Hilangnya pendengaran dapat diakibatkan oleh kerusakan organ telinga, baik itu telinga bagian dalam, telinga bagian tengah ataupun telinga bagian luar. Ketulian pada bayi sejak lahir biasanya disebabkan karena kerusakan telinga dalam. Seorang bayi dapat terinfeksi virus sejak dalam kandungan. Penyebab lain adalah genetik dimana perubahan genetik berperan dalam proses pembentukan struktur telinga yang menentukan kualitas pendengaran (Rehm et al.
2008).
Pendengaran merupakan faktor penting dalam kemampuan berbicara dan berkomunikasi verbal. Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi dan audiologi (Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007; Nugroho, Zulfikar &
Muyassaroh 2012).
Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi yang disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Tuli kongenital dapat berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik pada anak dan masalah makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini (Soetjipto
2007; McPherson, Law & Wong 2010; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012). Ketulian pada bayi dan anak kadang-kadang disertai keterbelakangan mental, gangguan emosional, maupun afasia perkembangan. Umumnya seorang bayi yang mengalami ketulian lebih dulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara (Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007). Prevalensi tuli kongenital di seluruh dunia dilaporkan berkisar antara 1–3 kejadian dari 1000 kelahiran (Gurtler 2008; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012; Zhang et al. 2013 ).
Data dari program pemeriksaan pendengaran pada bayi baru lahir di Texas, Colorado, dan Rhode Island menunjukkan bayi baru lahir yang mengalami tuli bilateral sebanyak 1-3 per 1000 bayi sehat dan 2-4 per 1000 bayi yang dirawat secara intensif (Delaney 2012).
Di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan di 7 propinsi pada tahun 1994 -1996 didapati angka tuli sejak lahir yaitu sebesar 0,1% dari 19.375 sampel yang diperiksa (Hendarmin 2006). Sedangkan berdasarkan Profil Kesehatan tahun 2005, tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 orang. Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22% (Soetjipto 2007).
Masih banyak kendala dalam penemuan kasus gangguan pendengaran di Indonesia dan negara berkembang lainnya yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, informasi, perhatian dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menemukan kasus gangguan
pendengaran sejak dini (Bashiruddin 2010). Sangat penting untuk mendeteksi ketulian sedini mungkin, sehingga seorang anak dapat segera dihabilitasi dan dapat membangun kemampuan komunikasi serta belajarnya (Li et al. 2012; Zhang et al. 2012). Untuk alasan ini satu hari setelah lahir seorang bayi dapat diskrining dengan pemeriksaan yang sederhana, tanpa rasa nyeri dan dapat mendeteksi seorang bayi apakah dapat mendengar atau tidak. Tanpa skrining pendengaran sejak dini, ketulian kemungkinan terabaikan oleh orang tua, guru atau dokter sampai anak mulai kesulitan dalam berbicara dan belajar pada usia 2 atau 3 tahun. Bashiruddin (2009) melakukan skrining pendengaran pada bayi- bayi baru lahir di enam rumah sakit di jakarta mendapatkan 297 dari 12,757 bayi (23%) disangka menderita ketulian.
Dua pertiga tuli kongenital disebabkan oleh faktor genetik dan selebihnya adalah karena faktor lingkungan dan faktor genetik yang tidak teridentifikasi (Sivakumaran et al. 2013). Terdapat dua bentuk ketulian, yaitu sindromik dan nonsindromik (Locher et al. 2015). Sekitar 70 % tuli genetik adalah nonsindromik dan 30 % adalah sindromik. Ketulian sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga mempunyai masalah di bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal, mata, tiroid ataupun organ lain. Mengetahui penyebab genetik pada pasien ini dapat membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan kelainan di sistem lain selain ketulian (Cynthia et al. 2006 ; Antonio 2012; De Castro et al. 2013).
Deklerck dan kawan-kawan (2014) di Belgia melakukan penelitian studi
populasi tuli kongenital mendapatkan etiologi terbanyak pada populasi ini adalah genetik (65.4%).
Pengetahuan mengenai penyebab genetik pada ketulian sangat penting. Pengetahuan ini tidak hanya dibutuhkan oleh dokter untuk menginformasikan kepada keluarga tentang peluang anaknya menjadi tuli tetapi juga mempengaruhi pengobatan terhadap ketulian. Apakah ketulian akan memburuk kadang-kadang dapat diprediksi bila penyebab spesifiknya diketahui. Kita dapat mencurigai seorang anak dengan ketulian genetik bila ada anggota keluarganya yang juga menderita ketulian. Tetapi sering juga terjadi pada anak yang orang tuanya memiliki pendengaran normal. Ketulian ini juga dapat diturunkan pada generasi berikutnya. Meskipun riwayat keluarga dapat membantu menemukan penyebab genetik, tetapi walaupun tidak ada riwayat keluarga tidaklah berarti ketulian bukan genetik. Hal ini artinya ketulian genetik terlihat pertama kali pada anak yang orang tua dan keluarganya tidak tuli.
Sebanyak 80% ketulian diturunkan secara autosomal resesif, 20%
autosomal dominan, mutasi resesif x-linked dan mitokondria 1-2% (De Castro et al. 2013; Sivakumaran et al. 2013). Karena itu pentingnya mengkombinasi informasi dari pemeriksaan fisik, tes klinik, riwayat keluarga dan tes genetik untuk mengidentifikasi penyebab ketulian. Hal ini dapat membantu pengobatan dan pengelolaan ketulian serta dapat memprediksi kemungkinan ketulian akan diturunkan pada generasi berikutnya (Eisen & Ryugo 2008; Gravina et al. 2010;Han et al. 2011).
Tuli genetik mempengaruhi berbagai proses molekuler, termasuk mutasi gen yang mengganggu fungsi faktor transkripsi, saluran kalium dan klorida, connexin, dan stereocilia. Dengan uji genetik, identifikasi terjadinya mutasi dapat menghasilkan prognosis yang akurat untuk perkembangan terhadap ketulian. Pengetahuan ini sangat membantu mengarahkan pengobatan. Sebagai contoh, mutasi dari gen GJB2 berarti ketulian bukan disebabkan kelainan neurologis. Anak ini merupakan kandidat untuk implantasi koklea yang baik (Eisen & Ryugo 2008).
Penelitian Zhu dan kawan-kawan dengan melakukan teknik knockout gen, mereka melakukan knockout pada ekspresi gen GJB2 setelah kelahiran hari ke-5 pada tikus. Terjadi penurunan pendengaran yang progresif pada frekuensi tinggi diikuti frekuensi tengah dan rendah.Potensial endokoklear menurun tetapi tidak progresif. Penelitian ini menunjukkan mutasi gen GJB2 menyebabkan kerusakan amplifikasi di koklea (Zhu et al. 2014)
Banyak gen yang ditemukan dapat menyebabkan ketulian sindromik dan non sindromik, dimana perbedaan manifestasi kliniknya terjadi bila mutasi gen menyebabkan perubahan asam amino sehingga membentuk protein yang berbeda (Astuto et al. 2002). Penelitian Deklerck, Acke, Janssens, De Leenheer (2015) di Belgia dari 191 pasien yang dianalisis , 65.4% disebabkan karena faktor genetik dan mutasi gen GJB2 merupakan penyebab utama. Penelitian Nishio dan Usami (2015) di Jepang dari 1389 sampel (dari 1120 pasien tuli non sindromik) didapatkan 8376 varian mutasi gen, mutasi yang terbanyak adalah GJB2, diikuti dengan CDH23, SLC26A4, MYO15A, COL11A2, MYO7A, and OTOF.
Gen gap junction beta 2 (GJB2), yang menghasilkan protein yang disebut connexin 26 berperan dalam menyebabkan ketulian kongenital (Mohamed et al. 2010; Wonkam 2015). Gen ini sering dikaitkan dengan tuli non sindromik di populasi barat. Connexin 26 adalah komponen dari protein gap junction yang berfungsi sebagai channel interseluler. Channel ini dapat menyebabkan molekul berat rendah dapat berpindah dari sel ke sel. Jaringan penunjang dari organ Corti mengekspresikan banyak protein gap junction, termasuk connexin 26. Mutasi pada gen ini mengganggu daur ulang kalium setelah depolarisasi sel rambut koklea, sehingga menyebabkan akumulasi kalium di ruang ekstraselular yang mengelilingi sel-sel rambut dan sel-sel penunjang dan akhirnya terjadi kematian sel sehingga menyebabkan ketulian (Bailey, Jonas & Shawn 2006; Gandia et al. 2013).
Sekitar 50% mutasi GJB2 diturunkan secara autosomal resesif (De Castro et al. 2013). Mutasi GJB2 diturunkan dalam populasi melalui karier yang prevalensinya adalah 1 dari 33 pasien (Sujata, Archbold & Clarke 2007). Lebih dari 101 mutasi GJB2 didapatkan pada ketulian. Prevalensi mutasi GJB2 berbeda pada setiap etnis. Mutasi GJB2 ditemukan pada banyak pasien dengan latar belakang etnis yang beragam, misalnya delesi basa guanin pada nukleotida posisi 35 (35delG) sering ditemui pada bangsa Eropa (Dzhemileva et al. 2011). Delesi timin pada posisi 167 (167delT) sering ditemukan pada populasi kaum Yahudi Ashkenazi dan mutasi 235delC sering pada Jepang atau bangsa Asia pada umumnya (Bailey, Jonas & Shawn 2006; Abe et al. 2000 ; De Castro et al. 2013).
Pada warga kulit putih di Amerika Serikat ditemukan 1 dari 40 orang adalah carrier mutasi GJB2. Tingginya frekuensi mutasi ini membuat tes skrining genetik dan molekuler layak untuk dilakukan (Eisen & Ryugo 2008).
Myosin 7A berperan dalam perkembangan dan pemeliharaan sel- sel rambut yang disebut dengan stereosilia di telinga daIam. Stereosilia kaya dengan aktin. Myosin7A berperan dalam pergerakan stereosilia sebagai respon dari gelombang suara. Gerakan ini mengubah energi mekanik menjadi energi listrik yang disampaikan ke saraf pendengaran(Eisen & Ryugo 2008).
Penelitian Shahzad dan kawan-kawan di Pakistan (2013) dari 34 penderita tuli kongenital prelingual di Pakistan didapatkan 11 mutasi gen MYO7A yang terdiri atas 7 substitusi missense, 1 nonsense, 1 frameshift, dan 2 splice site. Terdapat pula mutasi gen CDH23 pada 1 pasien, dan mutasi gen SLC26A4 pada 1 pasien. Mutasi gen MYO7A dapat terjadi pada ketulian autosomal resesif dan dominan.
Kecendrungan banyaknya ditemukan kejadian tuli kongenital di Indonesia, yang sebagian besar adalah ketulian non sindromik dengan orang tua yang mempunyai pendengaran normal dan belum adanya penelitian mengenai hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia menyebabkan peneliti ingin melakukan penelitian ini. Apakah memang
terdapat mutasi genetik pada orang tua yang dapat diturunkan kepada anak-anaknya sehingga terdapat anaknya yang menderita ketulian.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan maka dapat dirumuskan permasalahan yang dituangkan sebagai pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.2.1. Apakah terdapat hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia
1.2.2. Apakah terdapat pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia
1.2.3. Berapa besar risiko kejadian tuli kongenital pada orang tua yang memiliki mutasi genetik dan orang tua yang tidak memiliki mutasi genetik.
1.3. Hipotesis
1.3.1. Terdapat hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia
1.3.2. Terdapat pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia
1.3.3. Risiko kejadian tuli kongenital lebih tinggi pada orang tua yang memiliki mutasi genetik daripada orangtua yang tidak memiliki mutasi genetik
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum
1. Mengetahui hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia
1.4.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia
2. Mengetahui risiko kejadian tuli kongenital pada penderita yang memiliki orang tua dengan mutasi genetik dan orang tua yang tidak memiliki mutasi genetik
3. Mengetahui mutasi genetik pada saudara kandung penderita tuli kongenital.
4. Mengetahui variasi mutasi gen GJB2
5. Mengetahui prediksi perubahan protein yang terjadi akibat mutasi genetik GJB2 terhadap gangguan pendengaran akibat kerusakan koklea.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat teoritis
1. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan data dan informasi tentang mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia.
2. Mendapatkan bahwa mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A merupakan salah satu faktor kerentanan terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia.
3. Sebagai dasar untuk pengembangan teori terkait terapi genetik
1.5.2. Manfaat praktis (Terapan)
1. Pemeriksaan genetik dapat digunakan sebagai standar pemeriksaan pada bayi-bayi baru lahir untuk melihat kemungkinan tuli kongenital di kemudian hari.
2. Dengan mengetahui risiko adanya mutasi genetik pada orangtua penderita tuli kongenital sehingga dapat diketahui adanya kemungkinan mereka memiliki keturunan yang lahir tuli sehingga pemeriksaan ini dapat dijadikan konseling pra–menikah pada setiap pasangan yang ingin menikah dan membantu mereka untuk membuat keputusan tentang memiliki anak atau mempersiapkan diri untuk memiliki anak lahir tuli.
3. Pentingnya informasi genetik pada gangguan pendengaran karena kerusakan koklea, sehingga dapat memprediksi keberhasilan penatalaksanaan dengan penggunaan implan koklea dan terapi genetik.
1.6. Orisinalitas
Penelitian mutasi genetik pada beberapa daerah di Indonesia belum pernah dilakukan. Juga belum pernah dilaporkan risiko terjadinya tuli kongenital pada orang tua yang memiliki mutasi genetik di Indonesia.
Oleh sebab itu penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan sebuah hak atas kekayaan intelektual berupa penemuan informasi baru yang menyajikan adanya pengaruh mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia dan didapatkan adanya pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang tua kepada penderita tuli kongenital di Indonesia. Peneliti juga belum pernah mendapatkan berapa besar risiko mutasi genetik yang diturunkan dari orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia.
1.7. Hak Atas Kekayaan Intelektual
1. Ditemukan risiko kejadian tuli kongenital pada penderita dengan orang tua yang memiliki mutasi gen GJB2 dan yang tidak memiliki mutasi genetik.
2. Ditemukan mutasi genetik resesif pada saudara kandung penderita tuli kongenital yang tidak lahir tuli yang lahir dari orang tua yang memiliki mutasi genetik.
3. Pemeriksaan genetik digunakan sebagai standar skrining pemeriksaan pada bayi-bayi baru lahir di Indonesia untuk melihat kemungkinan tuli kongenital di kemudian hari.
4. Pemeriksaan ini dapat dijadikan konseling pra–menikah pada setiap pasangan yang ingin menikah dan membantu mereka untuk membuat keputusan tentang memiliki anak atau mempersiapkan diri untuk memiliki anak lahir tuli.
5. Pemeriksaan ini dapat dijadikan skrining pemeriksaan sebelum dilakukan implan koklea sehingga dapat memprediksi gangguan di koklea sehingga dapat memprediksi keberhasilan implan koklea.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuli Kongenital
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir (Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012). Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor- faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir (Steer, Bolton & Golding 2015). Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Tuli kongenital dibagi menjadi genetik herediter (faktor keturunan) dan non genetik (Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel 2002).
Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli sensorineural derajat berat sampai sangat berat , pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui
respons anak terhadap suara di lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata (Gurtler 2008).
2.2. Epidemiologi Tuli Kongenital
Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus mengenai 6-8% dari populasi di negara berkembang dan sebagian merupakan defek yang didapatkan sejak lahir. Berdasarkan universal newborn hearing screening (UNHS) angka kekerapan yang didapatkan akan jauh lebih tinggi lagi.Kurang lebih 1,64 dari 1000 anak lahir hidup mengalami tuli kongenital.
1 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli bilateral, dan 0,64 dari1000 kelahiran hidup mengalami tuli unilateral. Di Negara maju angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup (Gurtler 2008;
Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012;
Kamiya 2015). Sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 7 propinsi pada tahun 1994 - 1996 yaitu sebesar 0,1 % (Hendarmin 2006).
2.3. Etiologi Tuli Kongenital 2.3.1. Genetik
Ketulian berdasarkan kelainan genetik dapat m e m i l i k i e t i o l o g i y a n g b e r b e d a - b e d a d a n d i p e r k i r a k a n s e k i t a r 1 %
d a r i seluruh gen manusia terlibat dalam proses pendengaran. Secara garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik terbagi menjadi ketulian non sindromik dan ketulian sindromik.
P e r u b a h a n g e n e t i k y a n g t e r j a d i d a p a t b e r u p a m u t a s i p a d a g e n t u n g g a l a t a u merupakan kombinasi mutasi pada gen yang berbeda dan faktor lingkungan. Sekitar 50% kasus merupakan kelainan pendengaran bentuk mutasi gen. Mutasi gen ini dapat diturunkan kepada keturunannya (Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel 2002; Steer, Bolton & Golding 2015).
Penelitian Coco dan kawan-kawan yang melakukan amniocentesis untuk pemeriksaan genetik GJB3 35delG dan M34Tpada ibu dengan kehamilan trimester dua mendapatkan dari 12.395 cairan amnion yang dianalisis ditemukan 2 kasus mutasi homozigot 35delG dan 352 kasus karier heterozigot, yang terdiri dari 42 mutasi M34T, 298 dengan mutasi 35delG dan 12 kasus heterozigot ganda M34T/35delG (Coco et al. 2013)
Ketulian non sindromik merupakan gangguan pendengaran tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan kelinan fisik lainnya. Ketulian non sindromik mengenai sekitar 1 dari 4000 orang. Ketulian non sindromik lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural.
Sekitar 70 % tuli genetik adalah non sindromik dan 30 % adalah sindromik (Cynthia et al. 2006; Antonio 2012).
2.3.2. Non genetik
2.3.2.1 Masa kehamilan (Prenatal)
Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya ketulian. Infeksi yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis), selain campak dan parotitis (Guerina 1994; Adler & Marshall 2007).
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina, gentamisin, streptomisin dll mempunyai potensi menyebabkan terjadinya gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput (koklea). Gangguan struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan terjadinya ketulian antara lain aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk), displasia Mondini dan atresia liang telinga (Mudd 2012).
2.3.2.2 Saat lahir (Perinatal)
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat badan lahir rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak langsung menangis), dan hipoksia otak bila nilai Apgar < 5 pada 5 menit pertama (Gomella 2004; Okhravi et al. 2015).
Menurut Academy American Joint committee on infant Hearing Statement (2007) pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor berikut ini harus dicurigai karena merupakan kemungkinan penyebab
terjadinya gangguan pendengaran (Joint Committee on Infant Hearing 2007) :
1. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir 2. Infeksi prenatal; TORCHS
3. Kelainan anatomi pada kepala dan leher
4. Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital 5. Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram ) 6. Meningitis bakterialis
7. Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar 8. Asfiksia berat
9. Pemberian obat ototoksik
10. Menggunakan alat bantu pernapasan / ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU).
2.4. Klasifikasi Tuli Kongenital
Terdapat dua bentuk ketulian, yaitu sindromik dan nonsindromik.
Ketulian sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga mempunyai masalah di bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal, mata, tiroid ataupun organ lain. Mengetahui penyebab genetik pada pasien ini dapat membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan kelainan di sistem lain selain ketulian. Ketulian non sindromik adalah penderita hanya mempunyai masalah pada ketulian dan tidak pada bagian tubuh yang lain (Rehm et al. 2008).
2.5. Gambaran Klinis Tuli Kongenital
Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering memberikan gejala berupa keterlambatan bicara (speech delay).Tidak berkembangnya kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan tanda yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran dan perlu dievaluasi (Oller et al. 1999).
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai apabila (Oller et al. 1999):
Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti
Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata
2.5.1. Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain (Soetjipto 2007) :
Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat reflex. Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks auropalpebral maupun refleks Moro.
Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan
otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat ke arah sumber suara.
Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.
Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk mencari sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat.
Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu memperkirakan sumber suara.
2.6. Diagnosis Tuli Kongenital
Perkembangan pendengaran dimulai saat masih dalam kandungan, bayi dipersiapkan untuk merespon suara pada saat lahir. Proses yang kompleks meliputi mengenali suara ibunya dan membedakan suara dan bunyi dapat kita lihat pada bayi baru lahir. Respon inisial bayi terhadap suara adalah bersifat refleks (behavioral responses) seperti refleks auropalpebral (mengejapkan mata), denyut jantung meningkat, eye widening (melebarkan mata), cessation (berhenti menyusu) dan mengerutkan wajah atau grimacing (Carlson & Reeh 2006; HTA Indonesia 2010).
Saat ini emisi otoakustik dan brainstem evoked response audiometry (BERA) merupakan teknik pemeriksaan baku emas (gold
standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dengan sensitifitas mendekati 100% (Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel 2002).
2.6.1. Emisi otoakustik
Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang diproduksi oleh sel rambut luar koklea dan direkam pada meatus akustikus eksternus baik dengan tidak adanya stimulasi akustik (emisi spontan) atau sebagai respon terhadap stimulasi akustik (akustik-menimbulkan emisi) atau rangsangan listrik (elektrik menimbulkan emisi). Suara yang ditangkap oleh koklea sangat kecil berkisar pada 30 dB, namun berpotensi untuk didengar. Emisi otoakustik timbul secara spontan karena suara yang sudah ada di koklea secara terus menerus bersirkulasi, tetapi pada umumnya emisi otoakustik didahului adanya stimulasi. Emisi otoakustik dihasilkan hanya bila organ Corti dalam keadaan mendekati normal, dan telinga tengah berfungsi dengan baik (Donovalova 2006; Hall III &
Antonelli 2006; Berg et al. 2011).
Emisi otoakustik ini pertama sekali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 dan diperkenalkan oleh David Kemp pada tahun 1978 (Prieve &
Fitzgerald 2002). Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi tertentu diberikan melalui loudspeaker mini yang terletak dalam sumbat telinga (insert probe) yang bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip).
Mikrofon digunakan untuk mendeteksi emisi otoakustik, kemudian diubah