• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mutasi Gen Gap Junction Beta 2 Dan Myosin 7a Pada Tuli Kongenital Non Sindromik Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mutasi Gen Gap Junction Beta 2 Dan Myosin 7a Pada Tuli Kongenital Non Sindromik Di Indonesia"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendengaran adalah suatu proses yang kompleks, sehingga bila

terjadi gangguan pendengaran atau ketulian maka penyebabnya bisa

bermacam-macam pula. Hilangnya pendengaran dapat diakibatkan oleh

kerusakan organ telinga, baik itu telinga bagian dalam, telinga bagian

tengah ataupun telinga bagian luar. Ketulian pada bayi sejak lahir

biasanya disebabkan karena kerusakan telinga dalam. Seorang bayi

dapat terinfeksi virus sejak dalam kandungan. Penyebab lain adalah

genetik dimana perubahan genetik berperan dalam proses pembentukan

struktur telinga yang menentukan kualitas pendengaran (Rehm et al.

2008).

Pendengaran merupakan faktor penting dalam kemampuan

berbicara dan berkomunikasi verbal. Proses belajar mendengar bagi bayi

dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek

tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi

dan audiologi (Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007; Nugroho, Zulfikar &

Muyassaroh 2012).

Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi

yang disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun

pada saat lahir. Tuli kongenital dapat berdampak pada perkembangan

bicara, sosial, kognitif dan akademik pada anak dan masalah makin

(2)

2007; McPherson, Law & Wong 2010; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh

2012). Ketulian pada bayi dan anak kadang-kadang disertai

keterbelakangan mental, gangguan emosional, maupun afasia

perkembangan. Umumnya seorang bayi yang mengalami ketulian lebih

dulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara

(Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007). Prevalensi tuli kongenital di

seluruh dunia dilaporkan berkisar antara 1–3 kejadian dari 1000 kelahiran

(Gurtler 2008; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012; Zhang et al. 2013 ).

Data dari program pemeriksaan pendengaran pada bayi baru lahir

di Texas, Colorado, dan Rhode Island menunjukkan bayi baru lahir yang

mengalami tuli bilateral sebanyak 1-3 per 1000 bayi sehat dan 2-4 per

1000 bayi yang dirawat secara intensif (Delaney 2012).

Di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan di 7 propinsi pada

tahun 1994 -1996 didapati angka tuli sejak lahir yaitu sebesar 0,1% dari

19.375 sampel yang diperiksa (Hendarmin 2006). Sedangkan

berdasarkan Profil Kesehatan tahun 2005, tuli kongenital di Indonesia

diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar

214.100.000 orang. Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan

adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar

0,22% (Soetjipto 2007).

Masih banyak kendala dalam penemuan kasus gangguan

pendengaran di Indonesia dan negara berkembang lainnya yang

disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, informasi, perhatian dan

(3)

pendengaran sejak dini (Bashiruddin 2010). Sangat penting untuk

mendeteksi ketulian sedini mungkin, sehingga seorang anak dapat segera

dihabilitasi dan dapat membangun kemampuan komunikasi serta

belajarnya (Li et al. 2012; Zhang et al. 2012). Untuk alasan ini satu hari

setelah lahir seorang bayi dapat diskrining dengan pemeriksaan yang

sederhana, tanpa rasa nyeri dan dapat mendeteksi seorang bayi apakah

dapat mendengar atau tidak. Tanpa skrining pendengaran sejak dini,

ketulian kemungkinan terabaikan oleh orang tua, guru atau dokter sampai

anak mulai kesulitan dalam berbicara dan belajar pada usia 2 atau 3

tahun. Bashiruddin (2009) melakukan skrining pendengaran pada

bayi-bayi baru lahir di enam rumah sakit di jakarta mendapatkan 297 dari

12,757 bayi (23%) disangka menderita ketulian.

Dua pertiga tuli kongenital disebabkan oleh faktor genetik dan

selebihnya adalah karena faktor lingkungan dan faktor genetik yang tidak

teridentifikasi (Sivakumaran et al. 2013). Terdapat dua bentuk ketulian,

yaitu sindromik dan nonsindromik Sekitar 70 % tuli

genetik adalah nonsindromik dan 30 % adalah sindromik. Ketulian

sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga mempunyai

masalah di bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal, mata, tiroid

ataupun organ lain. Mengetahui penyebab genetik pada pasien ini dapat

membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan kelainan di sistem lain

selain ketulian (Cynthia et al. 2006 ; Antonio 2012; De Castro et al. 2013).

(4)

populasi tuli kongenital mendapatkan etiologi terbanyak pada populasi ini

adalah genetik (65.4%).

Pengetahuan mengenai penyebab genetik pada ketulian sangat

penting. Pengetahuan ini tidak hanya dibutuhkan oleh dokter untuk

menginformasikan kepada keluarga tentang peluang anaknya menjadi tuli

tetapi juga mempengaruhi pengobatan terhadap ketulian. Apakah ketulian

akan memburuk kadang-kadang dapat diprediksi bila penyebab

spesifiknya diketahui. Kita dapat mencurigai seorang anak dengan

ketulian genetik bila ada anggota keluarganya yang juga menderita

ketulian. Tetapi sering juga terjadi pada anak yang orang tuanya memiliki

pendengaran normal. Ketulian ini juga dapat diturunkan pada generasi

berikutnya. Meskipun riwayat keluarga dapat membantu menemukan

penyebab genetik, tetapi walaupun tidak ada riwayat keluarga tidaklah

berarti ketulian bukan genetik. Hal ini artinya ketulian genetik terlihat

pertama kali pada anak yang orang tua dan keluarganya tidak tuli.

Sebanyak 80% ketulian diturunkan secara autosomal resesif, 20%

autosomal dominan, mutasi resesif x-linked dan mitokondria 1-2% (De

Castro et al. 2013; Sivakumaran et al. 2013). Karena itu pentingnya

mengkombinasi informasi dari pemeriksaan fisik, tes klinik, riwayat

keluarga dan tes genetik untuk mengidentifikasi penyebab ketulian. Hal ini

dapat membantu pengobatan dan pengelolaan ketulian serta dapat

memprediksi kemungkinan ketulian akan diturunkan pada generasi

(5)

Tuli genetik mempengaruhi berbagai proses molekuler, termasuk

mutasi gen yang mengganggu fungsi faktor transkripsi, saluran kalium dan

klorida, connexin, dan stereocilia. Dengan uji genetik, identifikasi

terjadinya mutasi dapat menghasilkan prognosis yang akurat untuk

perkembangan terhadap ketulian. Pengetahuan ini sangat membantu

mengarahkan pengobatan. Sebagai contoh, mutasi dari gen GJB2 berarti

ketulian bukan disebabkan kelainan neurologis. Anak ini merupakan

kandidat untuk implantasi koklea yang baik (Eisen & Ryugo 2008).

Penelitian Zhu dan kawan-kawan dengan melakukan teknik knockout gen,

mereka melakukan knockout pada ekspresi gen GJB2 setelah kelahiran

hari ke-5 pada tikus. Terjadi penurunan pendengaran yang progresif pada

frekuensi tinggi diikuti frekuensi tengah dan rendah.Potensial endokoklear

menurun tetapi tidak progresif. Penelitian ini menunjukkan mutasi gen

GJB2 menyebabkan kerusakan amplifikasi di koklea (Zhu et al. 2014)

Banyak gen yang ditemukan dapat menyebabkan ketulian

sindromik dan non sindromik, dimana perbedaan manifestasi kliniknya

terjadi bila mutasi gen menyebabkan perubahan asam amino sehingga

membentuk protein yang berbeda (Astuto et al. 2002). Penelitian Deklerck,

Acke, Janssens, De Leenheer (2015) di Belgia dari 191 pasien yang

dianalisis , 65.4% disebabkan karena faktor genetik dan mutasi gen GJB2

merupakan penyebab utama. Penelitian Nishio dan Usami (2015) di

Jepang dari 1389 sampel (dari 1120 pasien tuli non sindromik) didapatkan

8376 varian mutasi gen, mutasi yang terbanyak adalah GJB2, diikuti

(6)

Gen gap junction beta 2 (GJB2), yang menghasilkan protein yang

disebut connexin 26 berperan dalam menyebabkan ketulian kongenital

(Mohamed et al. 2010; Wonkam 2015). Gen ini sering dikaitkan dengan

tuli non sindromik di populasi barat. Connexin 26 adalah komponen dari

protein gap junction yang berfungsi sebagai channel interseluler. Channel

ini dapat menyebabkan molekul berat rendah dapat berpindah dari sel ke

sel. Jaringan penunjang dari organ Corti mengekspresikan banyak protein

gap junction, termasuk connexin 26. Mutasi pada gen ini mengganggu

daur ulang kalium setelah depolarisasi sel rambut koklea, sehingga

menyebabkan akumulasi kalium di ruang ekstraselular yang mengelilingi sel-sel rambut dan sel-sel penunjang dan akhirnya terjadi kematian sel

sehingga menyebabkan ketulian (Bailey, Jonas & Shawn 2006; Gandia et

al. 2013).

Sekitar 50% mutasi GJB2 diturunkan secara autosomal resesif (De

Castro et al. 2013). Mutasi GJB2 diturunkan dalam populasi melalui karier

yang prevalensinya adalah 1 dari 33 pasien (Sujata, Archbold & Clarke

2007). Lebih dari 101 mutasi GJB2 didapatkan pada ketulian. Prevalensi

mutasi GJB2 berbeda pada setiap etnis. Mutasi GJB2 ditemukan pada

banyak pasien dengan latar belakang etnis yang beragam, misalnya

delesi basa guanin pada nukleotida posisi 35 (35delG) sering ditemui

pada bangsa Eropa (Dzhemileva et al. 2011). Delesi timin pada posisi 167

(167delT) sering ditemukan pada populasi kaum Yahudi Ashkenazi dan

mutasi 235delC sering pada Jepang atau bangsa Asia pada umumnya

(7)

Pada warga kulit putih di Amerika Serikat ditemukan 1 dari 40 orang

adalah carrier mutasi GJB2. Tingginya frekuensi mutasi ini membuat tes

skrining genetik dan molekuler layak untuk dilakukan (Eisen & Ryugo

2008).

Myosin 7A berperan dalam perkembangan dan pemeliharaan

sel-sel rambut yang disebut dengan stereosilia di telinga daIam. Stereosilia

kaya dengan aktin. Myosin7A berperan dalam pergerakan stereosilia

sebagai respon dari gelombang suara. Gerakan ini mengubah energi

mekanik menjadi energi listrik yang disampaikan ke saraf

pendengaran(Eisen & Ryugo 2008).

Penelitian Shahzad dan kawan-kawan di Pakistan (2013) dari 34

penderita tuli kongenital prelingual di Pakistan didapatkan 11 mutasi gen

MYO7A yang terdiri atas 7 substitusi missense, 1 nonsense, 1 frameshift,

dan 2 splice site. Terdapat pula mutasi gen CDH23 pada 1 pasien, dan

mutasi gen SLC26A4 pada 1 pasien. Mutasi gen MYO7A dapat terjadi

pada ketulian autosomal resesif dan dominan.

Kecendrungan banyaknya ditemukan kejadian tuli kongenital di

Indonesia, yang sebagian besar adalah ketulian non sindromik dengan

orang tua yang mempunyai pendengaran normal dan belum adanya

penelitian mengenai hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A

terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia

(8)

terdapat mutasi genetik pada orang tua yang dapat diturunkan kepada

anak-anaknya sehingga terdapat anaknya yang menderita ketulian.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan maka

dapat dirumuskan permasalahan yang dituangkan sebagai pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1.2.1. Apakah terdapat hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A

terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia

1.2.2. Apakah terdapat pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari

orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di

Indonesia

1.2.3. Berapa besar risiko kejadian tuli kongenital pada orang tua yang

memiliki mutasi genetik dan orang tua yang tidak memiliki mutasi

genetik.

1.3. Hipotesis

1.3.1. Terdapat hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap

kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia

1.3.2. Terdapat pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang

(9)

1.3.3. Risiko kejadian tuli kongenital lebih tinggi pada orang tua yang

memiliki mutasi genetik daripada orangtua yang tidak memiliki

mutasi genetik

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum

1. Mengetahui hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap

kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia

1.4.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang

tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia

2. Mengetahui risiko kejadian tuli kongenital pada penderita yang

memiliki orang tua dengan mutasi genetik dan orang tua yang tidak

memiliki mutasi genetik

3. Mengetahui mutasi genetik pada saudara kandung penderita tuli

kongenital.

4. Mengetahui variasi mutasi gen GJB2

5. Mengetahui prediksi perubahan protein yang terjadi akibat mutasi

genetik GJB2 terhadap gangguan pendengaran akibat kerusakan

(10)

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat teoritis

1. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan data dan informasi

tentang mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli

kongenital non sindromik di Indonesia.

2. Mendapatkan bahwa mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A merupakan

salah satu faktor kerentanan terhadap kejadian tuli kongenital non

sindromik di Indonesia.

3. Sebagai dasar untuk pengembangan teori terkait terapi genetik

1.5.2. Manfaat praktis (Terapan)

1. Pemeriksaan genetik dapat digunakan sebagai standar pemeriksaan

pada bayi-bayi baru lahir untuk melihat kemungkinan tuli kongenital di

kemudian hari.

2. Dengan mengetahui risiko adanya mutasi genetik pada orangtua

penderita tuli kongenital sehingga dapat diketahui adanya

kemungkinan mereka memiliki keturunan yang lahir tuli sehingga

pemeriksaan ini dapat dijadikan konseling pra–menikah pada setiap

pasangan yang ingin menikah dan membantu mereka untuk membuat

keputusan tentang memiliki anak atau mempersiapkan diri untuk

(11)

3. Pentingnya informasi genetik pada gangguan pendengaran karena

kerusakan koklea, sehingga dapat memprediksi keberhasilan

penatalaksanaan dengan penggunaan implan koklea dan terapi

genetik.

1.6. Orisinalitas

Penelitian mutasi genetik pada beberapa daerah di Indonesia

belum pernah dilakukan. Juga belum pernah dilaporkan risiko terjadinya

tuli kongenital pada orang tua yang memiliki mutasi genetik di Indonesia.

Oleh sebab itu penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan sebuah

hak atas kekayaan intelektual berupa penemuan informasi baru yang

menyajikan adanya pengaruh mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap

kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia dan didapatkan adanya

pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang tua kepada

penderita tuli kongenital di Indonesia. Peneliti juga belum pernah

mendapatkan berapa besar risiko mutasi genetik yang diturunkan dari

orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia.

1.7. Hak Atas Kekayaan Intelektual

1. Ditemukan risiko kejadian tuli kongenital pada penderita dengan orang

tua yang memiliki mutasi gen GJB2 dan yang tidak memiliki mutasi

(12)

2. Ditemukan mutasi genetik resesif pada saudara kandung penderita tuli

kongenital yang tidak lahir tuli yang lahir dari orang tua yang memiliki

mutasi genetik.

3. Pemeriksaan genetik digunakan sebagai standar skrining

pemeriksaan pada bayi-bayi baru lahir di Indonesia untuk melihat

kemungkinan tuli kongenital di kemudian hari.

4. Pemeriksaan ini dapat dijadikan konseling pra–menikah pada setiap

pasangan yang ingin menikah dan membantu mereka untuk membuat

keputusan tentang memiliki anak atau mempersiapkan diri untuk

memiliki anak lahir tuli.

5. Pemeriksaan ini dapat dijadikan skrining pemeriksaan sebelum

dilakukan implan koklea sehingga dapat memprediksi gangguan di

Referensi

Dokumen terkait

Usaha ini adalah bertujuan melahirkan rakyat Malaysia yang berilmu pengetahuan, berketrampilan, berakhlak mulia, bertanggungjawab dan berkeupayaan mencapai kesejahteraan diri

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset berbasis komunitas berkala sejak tahun 2007 yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan yang merepresentasikan

Dampak dari Model Pembelajaran Konvensional yaitu tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan sehingga siswa kurang tertarik dalam mengikuti

Manfaat yang diperoleh pada penelitian ini adalah mengetahui model yang lebih baik dalam melakukan prediksi besarnya nilai transaksi jual beli saham, sekaligus

Pada penelitian ini telah dihasilkan sebuah perangkat lunak Sistem Evakuasi Tsunami untuk kota Palu (SET-KP) yang dapat digunakan untuk menentukan jalur terpendek

Hasil perlakuan iradiasi in vitro dan in vivo, menunjukkan bahwa dosis lethal yang dapat membunuh larva secara umum ditunjukkan dengan nilai LD 50 , berturut-turut

(2) Dalam ha1 ternak majir bukan karena kesalahan penggaduh dan ternak yang harus dipotong paksa, maka penggaduh wajib menyerahkan ternak tersebut kepada P3T L I ~ ~

Vulkanisme adalah semua peristiwa yang berhubungan dengan magma yang keluar mencapai permukaan bumi melalui retakan dalam kerak bumi atau melalui sebuah pita sentral yang