• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1.1 Kondisi Geografis dan Wilayah Administrasi

Kota Tangerang Selatan merupakan Daerah Otonom Baru (DOB) yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten. Tujuan pembentukan wilayah yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang ini adalah meningkatkan pelayanan secara optimal kepada masyarakat dalam semua bidang, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing daerah dalam upaya pemanfaatan potensi daerah.

Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten, yaitu pada titik koordinat 106˚38’-106˚47’ Bujur Timur dan 06˚13’30”-06˚22’30” Lintang Selatan. Secara administratif, wilayah Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 49 (empat puluh sembilan) kelurahan dan 5 (lima) desa dengan luas wilayah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan adalah seluas 147.19 km2 atau 14,719 hektar. Namun berdasarkan hasil digitasi atas peta rupa bumi bakosurtanal, luas wilayah adalah 16,506.80 hektar.

Batas administrasi wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut :

 Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang.

 Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok.

 Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.

Wilayah Kota Tangerang Selatan dilintasi oleh Kali Angke, Kali Pasanggrahan dan Sungai Cisadane sebagai batas administrasi kota di sebelah barat. Letak geografis Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pada Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, wilayah ini juga menjadi daerah perlintasan yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat.

Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 kecamatan yang dahulunya bagian dari Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari :

1) Kecamatan Setu.

2) Kecamatan Serpong.

3) Kecamatan Serpong Utara.

4) Kecamatan Pondok Aren.

5) Kecamatan Pamulang.

6) Kecamatan Ciputat.

7) Kecamatan Ciputat Timur.

Kecamatan dengan wilayah paling besar di Kota Tangerang Selatan terdapat di Kecamatan Pondok Aren dengan luas 2,993 hektar atau 20.30% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan, sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil adalah Kecamatan Setu dengan luas 1,696.90 hektar atau 10.06% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah masing-masing kecamatan di Kota Tangerang Selatan secara lengkap disajikan pada Tabel 2 dan untuk kondisi wilayah administrasi Kota Tangerang Selatan disajikan pada Gambar 5.

(2)

Tabel 2. Luas wilayah Kota Tangerang Selatan

No Kecamatan

Luas Wilayah (hektar) (UU 51/2008)

Luas Daerah (hektar) (Digitasi Peta

RTRW)

Deviasi Luas (hektar)

Deviasi Luas (%)

1. Serpong 2,404 2,836.90 432.90 15.30

2. Serpong Utara 1,784 2,228.60 444.60 19.90

3. Ciputat 1,838 2,106.00 268.00 12.70

4. Ciputat Timur 1,543 1,775.80 232.80 13.10

5. Pamulang 2,682 2,869.10 187.10 6.50

6. Pondok Aren 2,988 2,993.50 5.50 0.20

7. Setu 1,480 1,696.90 216.90 12.80

Jumlah 14,719 16,506.80 1,787.80 10.80

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2010

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

Gambar 5. Peta administrasi Kota Tangerang Selatan

4.1.2 Topografi Wilayah

Berdasarkan peta topografi wilayah Kota Tangerang Selatan yang disajikan pada Gambar 6, rata-rata topografi wilayah berada pada ketinggian 10 meter hingga 60 meter di atas permukaan laut dan berbentuk dataran rendah. Hampir semua jenis tanaman bisa tumbuh di daerah ini. Wilayah selatan umumnya mempunyai elevasi diatas 35 mdpl dan menurun ke wilayah utara Kota Tangerang Selatan. Kecamatan yang mempunyai elevasi tersebut antara

(3)

lain Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat, dan Kecamatan Serpong, sedangkan bagian utara relatif lebih landai, yaitu Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Serpong Utara.

Kemiringan tanah di wilayah Kota Tangerang Selatan relatif datar dengan rata-rata kemiringan 0% hingga 3% menurun ke utara, kondisi topografi selengkapnya disajikam pada Gambar 6. Kemiringan wilayah secara garis besar terbagi atas 2 (dua) bagian, yaitu :

1) Kemiringan antara 0% hingga 3% meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Serpong dan Kecamatan Serpong Utara.

2) Kemiringan antara 3% hingga 8% meliputi Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Setu.

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

Gambar 6

.

Peta topografi Kota Tangerang Selatan

4.1.3 Geomorfologi Wilayah

Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 maka Kota Tangerang Selatan termasuk satuan morfologi dataran pantai dan kipas gunung api Bogor. Dataran pantai yang dicirikan oleh permukaannya yang nisbi datar dengan ketinggian antara 0 m hingga 15 m di atas permukaan laut. Dataran ini termasuk dataran rendah Jakarta, sedangkan kipas gunung api Bogor yang menyebar dari selatan ke utara dengan Bogor sebagai puncaknya. Satuan ini ditempati oleh rempah-rempah gunung api berupa tuf, konglomerat dan breksi yang sebagian telah mengalami pelapukan kuat dan berwarna merah kecoklatan.

4.1.4 Geologi Wilayah

Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Departemen Pertambangan dan Energi, kondisi geologi Kota Tangerang Selatan pada umumnya terbentuk oleh dua formasi batuan, yaitu batuan aluvium dan batuan gunung api muda yang secara jelas dijelaskan sebagai berikut :

(4)

1) Batuan Aluvium (Qa) yang terdiri dari aluvial sungai dan rawa yang berbentuk pasir, lempung, lanau, kerikil, kerakal dan sisa tumbuhan. Jenis tanah ini pada dasarnya merupakan lapisan yang subur bagi tanaman pertanian.

2) Batuan Gunung Api yang berupa material lepas yang terdiri dari lava andesit, desit, breksi tuf dan tuf. Secara fisik lava andesit berwarna kelabu hitam dengan ukuran sangat halus, afanitik dan menunjukkan struktur aliran serta breksi tuf dan tuf yang pada umumnya telah lapuk, mengandung komponen andesit dan desit. Pada umumnya tanah jenis ini digunakan sebagai kebun campuran, permukiman dan tegalan.

Berdasarkan Peta Geologi Kota Tangerang Selatan, kondisi geologi Kota Tangerang Selatan tersusun atas 6 (enam) formasi geologi, yaitu :

1. Qa = Aluvium : lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah (23.23%).

2. Qav = Kipas aluvium : tuf halus berlapis, tuf pasiran bersilingan dengan tuf konglomerat (61.36%).

3. Qv = Batuan gunung api muda : breksi, lahar, tuf breksi, tuf batu apung (0.20%).

4. QTvb = Tuf Banten : tuf, tuf batu apung, batu pasir tufan (12.10%).

5. Tmb = Formasi Bojongmanik : perselingan batu pasir dan batu lempung dengan sisipan batu gamping (1.09%).

6. Tpss = Formasi Serpong : perselingan konglomerat, batu pasir, batu lanau, batu lempung dengan sisa tanaman, konglomerat batu apung dan tuf batu apung (1.51%).

Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan umumnya adalah batuan aluvium, yang terdiri dari batuan lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Berdasarkan klasifikasi dari United Soil Classification System, batuan ini mempunyai workability yang baik hingga sedang dan mempunyai unsur ketahanan terhadap erosi cukup baik oleh karena itu, wilayah Kota Tangerang Selatan masih cukup layak untuk kegiatan perkotaan. Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan secara lengkap disajikan pada Gambar 7.

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

Gambar 7. Peta geologi Kota Tangerang Selatan

(5)

4.1.5 Hidrogeologi Wilayah

Berdasarkan peta hidrogeologi yang disajikan pada Gambar 8, Kota Tangerang Selatan mempunyai jenis akuifer dengan aliran ruang antar butir, setempat melalui rekahan, umumnya terdapat batuan sedimen kuarter terdiri dari beberapa akuifer batu pasir dengan ketebalan 3 m hingga 18 m, keterusan 125 m2/hari hingga 260 m2/hari, kapasitas jenis 0.50 liter/det/m hingga 1.50 liter/det/m dan muka airtanah statis 3 m hingga 21 m.

 Jenis aliran dan produktifitas akuifer di Kota Tangerang Selatan terdiri dari : 1. Akuifer produktif, penyebaran luas.

2. Akuifer produktif sedang, penyebaran luas.

3. Akuifer setempat, produktif sedang.

4. Daerah airtanah langka.

 Muka airtanah bebas di Kota Tangerang Selatan terdiri dari :

1. kedalaman 0.5 m-4 m bawah permukaan dengan luas 3,952.79 ha.

2. kedalaman 2 m-5 m bawah permukaan dengan luas 171.59 ha.

3. kedalaman >5 m bawah permukaan dengan luas 8,222.19 ha.

4. kedalaman >5 m bawah permukaan dengan luas 3,552.49 ha.

5. kedalaman >5 m bawah permukaan dengan luas 421.74 ha.

Tipologi akuifer di wilayah studi merupakan sistem akuifer endapan aluvial atau endapan permukaan dan endapan sedimen dengan sistem aliran air tanah pada akuifer ini adalah melalui ruang antar butir, aliran air tanah dangkal mengikuti bentuk umum topografi, yaitu mengalir ke arah utara. Sistem akuifer endapan permukaan didasarkan pada telaah penyebaran aluvial sungai, kipas aluvial dan ketebalan endapan permukaan yang diperoleh dari pengamatan pada sumur gali dengan kedalaman mencapai sekitar 15 m. Pada umumnya sistem akuifer endapan permukaan dijumpai pada endapan kuarter dan di beberapa bagian dijumpai di daerah pelapukan batuan tersier.

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

Gambar 8. Peta hidrogeologi Kota Tangerang Selatan

(6)

4.1.6 Jenis Tanah

Secara umum penyebaran dan sifat-sifat tanah berkaitan erat dengan keadaan landform.

Hal ini terjadi karena hubungannya dengan proses genetis dan sifat batuan atau bahan induk serta pengaruh sifat fisik lingkungan. Landform sebagai komponen lahan dan tanah sebagai elemennya sangat tergantung pada faktor-faktor tersebut.

Dilihat dari data jenis tanah berdasarkan keadaan geologi wilayah, Kota Tangerang Selatan sebagian besar terdiri dari batuan endapan hasil gunung api muda dengan jenis batuan kipas aluvium dan aluvium/aluvial, sedangkan dilihat dari sebaran jenis tanah, pada umumnya di Kota Tangerang Selatan berupa asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan. Oleh karena itu secara umum lahan di wilayah tersebut cocok untuk pertanian atau perkebunan.

Jenis tanah yang sangat sesuai dengan kegiatan pertanian tersebut semakin lama semakin berubah penggunaannya seperti kegiatan yang lain yang bersifat non-pertanian, sedangkan untuk sebagian wilayah seperti di Kecamatan Serpong dan Kecamatan Setu, jenis tanahnya mengandung pasir khususnya untuk daerah yang dekat dengan Sungai Cisadane.

4.1.7 Tata Guna Lahan

Berdasarkan peta penggunaan lahan, Kota Tangerang Selatan terdiri dari 8 (delapan) tipe penggunaan lahan, yaitu gedung, pemukiman, sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun atau perkebunan, rumput atau tanah kering, tegalan atau ladang dan belukar atau semak. Dilihat dari penggunaan lahan tersebut, Kota Tangerang Selatan didominasi oleh pemukiman penduduk hampir di semua kecamatan. Kecamatan yang didominasi oleh pemukiman terdapat di Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur. Tata guna lahan Kota Tangerang Selatan disajikan pada Gambar 9.

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

Gambar 9. Peta penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan

(7)

4.1.8 Penduduk Kota Tangerang Selatan

1. Jumlah penduduk

Berdasarkan data hasil sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2010 berjumlah 1,303,509 jiwa dengan komposisi 658,701 laki-laki dan 644,868 perempuan dengan rasio penduduk mencapai 102.15. Penduduk paling banyak berada di Kecamatan Pondok Aren sebesar 307,104 jiwa dengan rasio 103.08, sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Setu dengan jumlah penduduk 64,985 jiwa dan rasio sebesar 104.84. Jumlah penduduk Kota Tangerang selatan secara jelas disajikan pada Tabel 3.

Dilihat dari tren yang ada, maka angka pertumbuhan penduduk mencapai 4.60% pertahun.

Angka pertumbuhan pada tiap kecamatan disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Pertumbuhan penduduk Kota Tangerang Selatan 2. Kepadatan penduduk

Dengan wilayah seluas 147.19 km2, kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2010 mencapai 8,856 orang/km2. Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Ciputat Timur (11,881 orang/km2) dan kepadatan terendah berada di Kecamatan Setu (4,391 orang/km2). Kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kota Tangerang Selatan 2010

No Kecamatan Jumlah Penduduk (orang)

Luas Wilayah (km2)

Kepadatan (orang/km2)

1. Serpong 137,398 24.04 5,715

2. Serpong Utara 126,291 17.84 7,079

3. Ciputat 195,900 18.38 10,658

4. Ciputat Timur 183,330 15.43 11,881

5. Pamulang 288,511 26.82 10,757

6. Pondok Aren 307,154 29.88 10,280

7. Setu 64,985 14.80 4,391

Jumlah 1,303,569 147.19 8,856

Sumber : Sensus Penduduk Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 8.7%

6.2%

4.1% 4.8%

3.6%

4.8%

6.6%

4.6%

0.0%

1.0%

2.0%

3.0%

4.0%

5.0%

6.0%

7.0%

8.0%

9.0%

10.0%

Angka Pertumbuhan (%)

Kecamatan

(8)

4.2 DATA HASIL PENGUKURAN DAN ANALISIS

Data yang dihasilkan dari pengukuran dan analisis terdiri dari data muka airtanah sumur dangkal, muka airtanah sumur dalam, Daya Hantar Listrik sumur dangkal, Daya Hantar Listrik sumur dalam, Padatan Terlarut Total sumur dangkal, Padatan Terlarut Total sumur dalam, topografi Kota Tangerang Selatan dan penurunan muka airtanah akibat adanya pemanfaatan airtanah. Nilai H1 dan Hs didapatkan dari hasil pengukuran menggunakan multimeter sedangkan nilai H diperoleh dari hasil pengurangan nilai H1 dengan Hs dan untuk ketinggian wilayah atau topografi diperoleh dari hasil analisis pada peta topografi Kota Tangerang Selatan. Nilai Z atau jarak muka airtanah dari topografi wilayah diperoleh dari hasil pengurangan nilai topografi masing-masing wilayah dengan nilai H. Hasil pengukuran dan analisis lebih jelas disajikan pada Lampiran 3 hingga Lampiran 6.

4.3 IDENTIFIKASI DAN EVALUASI KUALITAS AIRTANAH

Kualitas air secara umum tergantung pada banyaknya konsentrasi endapan, unsur-unsur kimia dan mikroba yang terdapat di dalamnya (Djijono, 2002). Evaluasi mengenai kualitas air ini sangat penting bagi peruntukannya. Kualitas airtanah dapat dijadikan parameter terjadi kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah berdasarkan kualitas airtanah dan pemanfaatan airtanah tersebut.

Perubahan kualitas airtanah dapat terjadi akibat proses alami dan akibat kegiatan manusia.

Pemanfaatan sumberdaya alam secara intensif dan produksi limbah yang cenderung meningkat, menyebabkan menurunnya mutu airtanah. Disamping itu kegiatan pengambilan airtanah secara besar- besaran akan menyebabkan turunnya permukaan airtanah secara drastis. Hal ini terutama berlangsung di daerah pantai yang cenderung menyebabkan terjadinya penyusupan air laut.

Kriteria terjadi kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah dapat dilihat dari tingkat kegaraman airtanah berdasarkan Daya Hantar Listrik (DHL) dan Padatan Terlarut Total (TDS) airtanah serta dari fenomena penurunan muka airtanah akibat adanya pemanfaatan airtanah. Daya Hantar Listrik (DHL) menunjukan kemampuan air untuk menghantarkan aliran listrik. Konduktivitas air tergantung dari konsentrasi ion dan suhu air, oleh karena itu kenaikan Padatan Terlarut Total (TDS) akan mempengaruhi kenaikan DHL. Dari data sampel pada Lampiran 4 dan Lampiran 6 yang diukur dan dianalisis dapat dilihat bahwa kualitas airtanah pada sumur dangkal maupun sumur dalam di Kota Tangerang Selatan beragam tergantung pada lokasi dan lingkungan setempat.

Sumur dangkal atau akuifer bebas di Kecamatan Setu mempunyai nilai DHL berkisar antara 125 mhos/cm-155 mhos/cm dan TDS 60 mg/l-74 mg/l, Kecamatan Serpong nilai DHL berkisar antara 111 mhos/cm-309 mhos/cm dan TDS 52 mg/l-148 mg/l, Kecamatan Serpong Utara nilai DHL berkisar antara 74 mhos/cm-207 mhos/cm dan TDS 34 mg/l-100 mg/l, Kecamatan Pamulang nilai DHL berkisar antara 45 mhos/cm-260 mhos/cm dan TDS 22 mg/l-124 mg/l, Kecamatan Ciputat Timur nilai DHL berkisar antara 115 mhos/cm-363 mhos/cm dan TDS 54 mg/l-174 mg/l, Kecamatan Pondok Aren nilai DHL berkisar antara 166 mhos/cm-228 mhos/cm danTDS 78 mg/l- 110 mg/l dan Kecamatan Ciputat nilai DHL berkisar antara 44 mhos/cm-530 mhos/cm dan TDS 20mg/l-256 mg/l.

Sumur dalam atau akuifer terkekang di Kecamatan Setu mempunyai nilai DHL sebesar 159

mhos/cm dan TDS 76 mg/l, Kecamatan Serpong nilai DHL berkisar antara 123 mhos/cm-187

mhos/cm dan TDS 58 mg/l-90 mg/l, Kecamatan Serpong Utara nilai DHL berkisar antara 229

mhos/cm-809 mhos/cm dan TDS 110 mg/l-396 mg/l, Kecamatan Pamulang nilai DHL berkisar antara 436 mhos/cm-450 mhos/cm dan TDS 210 mg/l-218 mg/l, Kecamatan Ciputat Timur nilai DHL sebesar 229 mhos/cm dan TDS 110 mg/l, Kecamatan Pondok Aren nilai DHL berkisar antara 39 mhos/cm-112 mhos/cm dan TDS 18 mg/l-54 mg/l dan Kecamatan Ciputat nilai DHL sebesar

(9)

330 mhos/cm dan TDS 160 mg/l. Nilai DHL dan TDS terbesar untuk sumur dangkal terdapat di Kecamatan Ciputat, sedangkan nilai DHL dan TDS terbesar untuk sumur dalam terdapat di Kecamatan Serpong Utara.

Dalam penelitian ini, klasifikasi zona airtanah berpedoman pada Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.

Jika ditinjau dari kualitas airtanah, yaitu berdasarkan parameter DHL dan TDS dilokasi titik sampel, maka kondisi dan lingkungan airtanah di Kota Tangerang dikategorikan sebagai zona aman, yaitu wilayah yang memenuhi salah satu kriteria terjadi penurunan kualitas airtanah yang ditandai dengan kenaikan zat padat terlarut total (TDS) kurang dari 1,000 mg/l atau DHL kurang dari 1,000 µmhos/cm. Kecenderungan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan alih fungsi lahan dari tahun ke tahun serta tidak adanya pembatasan penggunaan bahan yang dapat menjadi sumber pencemar akan mempengaruhi kualitas airtanah.

4.4 KONDISI DAN LINGKUNGAN AIRTANAH BERDASARKAN KUALITAS AIRTANAH

4.4.1 TDS dan DHL Airtanah Dangkal dan Dalam

Dari hasil Sebaran Padatan Terlarut Total atau Total Dissolved Solid (TDS) airtanah dangkal di Kota Tangerang Selatan berkisar antara 20 mg/l hingga 256 mg/l. Secara umum nilai ini masih dibawah standar baku mutu yang diizinkan berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah, yaitu sebesar 1,000 mg/l untuk kategori zona aman. Total Dissolved Solid (TDS) tertinggi terdapat terdapat di titik pengukuran Ciputat 2 dan yang terkecil terdapat pada Ciputat 1. Jika ditinjau dari nilai TDS sumur dangkal, Kota Tangerang Selatan dikategorikan sebagai zona aman. Penggambaran sebaran TDS untuk sumur dangkal disajikan pada Gambar 11.

Penyebaran TDS di dalam tanah akan dipengaruhi oleh kontur muka airtanah dan arah aliran airtanah. Kedua faktor ini akan tergantung pada topografi dan akuifer.

Gambar 11. Kontur 3 dimensi hasil analisis TDS sumur dangkal di Tangerang Selatan

U

Skala: 1 : 100,000 Kontur TDS sumur dangkal :

(mg/l)

(10)

Dari hasil Sebaran Padatan Terlarut Total atau Total Dissolved Solid (TDS) airtanah dalam di Kota Tangerang Selatan berkisara antara 18 mg/l hingga 396 mg/l. Secara umum nilai ini masih dibawah standar baku mutu yang diizinkan berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah, yaitu sebesar 1,000 mg/l untuk kategori zona aman.. TDS tertinggi terdapat terdapat di titik pengukuran Kecamatan Serpong Utara dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan Pondok Aren. Penyebaran TDS di dalam tanah akan dipengaruhi oleh kontur muka air tanah dan arah aliran air tanah. Kedua faktor ini akan tergantung pada topografi dan akuifer. Sebaran TDS airtanah dalam secara lengkap disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Kontur 3 dimensi hasil analisis TDS sumur dalam di Tangerang Selatan Berdasarkan hasil pengukuran dan analisa di laboratorium Prolink IPB, didapatkan besarnya Daya Hantar Listrik (DHL) airtanah dangkal di wilayah Kota Tangerang Selatan sebesar 44 µmhos/cm hingga 530 µmhos/cm. Hasil ini didapatkan masih kecil dari ambang batas berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah, yaitu sebesar 1,000 µmhos/cm untuk kategori zona aman.

Daya Hantar Listrik airtanah dangkal paling besar terdapat pada titik pengukuran Ciputat 2 (Kecamata Ciputat), dan yang terkecil adalah di titik pengukuran Serpong Utara 2 (Kecamatan Serpong Utara). Hal ini di sebabkan karena Kecamatan Ciputat dipengaruhi faktor lingkungan non-fisik daerah Ciputat yang padat penduduk (10,658 orang/km). Kepadatan penduduk yang semakin tinggi, maka aktivitas pemanfaatan airtanah semakin tinggi juga. Oleh karena itu, tinggi atau rendahnya nilai DHL dipengaruhi oleh jumlah dan aktivitas penduduk di wilayah tersebut. Pengambaran zonasi sebaran Daya Hantar Listrik untuk akuifer dangkal disajikan pada Gambar 13.

Skala: 1 : 100,000 Kontur TDS sumur dalam :

U

(mg/l)

(11)

Gambar 13. Kontur 3 dimensi hasil analisis DHL sumur dangkal di Tangerang Selatan

Berdasarkan hasil pengukuran dan analisa di laboratorium Prolink IPB, didapatkan besarnya Daya Hantar Listrik (DHL) airtanah dalam di wilayah Kota Tangerang Selatan sebesar 39 µmhos/cm hingga 809 µmhos/cm. Hasil ini didapatkan masih kecil dari ambang batas berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah, yaitu sebesar 1,000 µmhos/cm untuk kategori zona aman. Pengambaran zonasi sebaran Daya Hantar Listrik untuk akuifer dalam secara lengkap disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Kontur 3 dimensi hasil analisis DHL sumur dalam di Tangerang Selatan

U

Skala: 1 : 100,000 Kontur DHL sumur dangkal :

Kontur DHL sumur dalam :

U

(μmhos/cm)

Skala: 1 : 100,000 (μmhos/cm)

(12)

Daya Hantar Listrik airtanah dalam paling besar terdapat pada titik pengukuran Kecamatan Serpong Utara dan yang terkecil adalah di titik pengukuran Kecamatan Pondok Aren. Hal ini di sebabkan oleh di Kecamatan Serpong Utara mempunyai topografi lebih rendah dari daerah lain dan merupakan arah aliran airtanah, sehingga pencemar diduga akan terakumulasi di lokasi pengukuran. Jika ditinjau dari nilai Daya Hantar Listrik sumur dangkal maupun sumur dalam, maka Kota Tangerang Selatan dikategorikan sebagai zona aman.

4.4.2 Sebaran Kualitas Airtanah Dangkal dan Dalam

Pemanfaatan dan pengambilan airtanah yang tak terkendali dalam arti pengambilan jumlah airtanah yang berlebihan tanpa diimbangi jumlah pengisian airtanah akan merugikan manusia itu sendiri. Pengolahan airtanah dapat menentukan kualitas air. Pada lapisan tanah dangkal kualitas dan kuantitas airtanah lebih bersifat fluktuatif bila dibandingkan airtanah dalam. Lingkungan fisik merupakan faktor utama yang mempengaruhi pengisian dan pengambilan airtanah. lapisan airtanah dangkal merupakan lapisan airtanah yang lebih mudah terpengaruh oleh kondisi lingkungan di daerah tersebut, sedangkan untuk lapisan akuifer dalam, pengaruh lingkungan fisik pada wilayah tersebut tidak terlalu besar.

Kualitas airtanah tergantung pada perpaduan antara air yang masuk ke dalam tanah, batuan yang dilewati dan pada akhirnya mencapai lapisan airtanah yang ada dalam akuifer.

Kualitas airtanah ditentukan oleh lingkungan yang mempengaruhi selama dalam perjalanan.

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi tersebut adalah faktor iklim, litologi tanah dan batuan, kandungan karbon dioksida dan waktu tinggal (residence time) air.

Kualitas airtanah berbeda pada dimensi dan waktu dimana airtanah tersebut berada. Pada lingkungan perkotaan yang padat penduduk, pada lingkungan industri dan pada daerah pegunungan yang tidak tercemar lindi air limbah akan mempunyai kualitas air yang tidak sama. Musim hujan dan musim kemarau dapat mempengaruhi tingkat konsentrasi unsur-unsur tertentu yang terlarut dalam air, bahkan dalam waktu singkat dapat terjadi perubahan tingkat konsentrasi unsur-unsur tertentu.

Kondisi dan lingkungan airtanah dapat dilihat dari kualitas airtanah dan pemanfaatan airtanah. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis kualitas airtanah yang merujuk pada Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah, Kota Tangerang Selatan dikategorikan sebagai zona aman.

Zona aman adalah wilayah yang penurunan kualitas airtanahnya ditandai dengan kenaikan zat padat terlarut kurang dari 1,000 mg/l atau Daya Hantar Listrik kurang dari 1,000 mhos/cm.

Ditinjau dari kualitas airtanah yang berdasarkan parameter Padatan Terlarut Total dan Daya Hantar Listrik akuifer dangkal maupun akuifer tertekan, Kota Tengerang dikategorikan sebagai zona aman dan atau dapat dikategorikan sebagai wilayah yang tidak terjadi kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah. Namun pada masa yang akan datang kemungkinan dampak yang ditimbulkan dari pertumbuhan dan perkembangan sektor jasa dan perdagangan di Kota Tangerang Selatan yang ditandai dengan tingginya aktifitas penduduk dari tahun ke tahun dapat menimbulkan dampak yang serius terhadap kualitas airtanah sebagai parameter untuk menentukan tingkat atau kategori kondisi dan lingkungan airtanah.

Kota Tangerang Selatan dikategorikan sebagi zona aman kondisi dan lingkungan airtanah dengan sebaran zonasi kondisi dan lingkungan airtanah berdasarkan kualitas airtanah (DHL dan TDS) disajikan pada Gambar 15 hingga Gambar 18. Pada peta-peta tersebut dapat dilihat wilayah-wilayah dengan nilai Padatan Terlarut Total dan Daya Hantar Listrik tertentu dengan nilai sebarannya diberi interval nilai 100 agar mudah dalam penyampaian informasi.

(13)

33

(mg/l) (mg/l) (mg/l)

(14)

Gambar 16. Peta zonasi TDS airtanah dalam Kota Tangerang Selatan

34

(mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)

(15)

Gambar 17. Peta zonasi DHL airtanah dangkal Kota Tangerang Selatan

35

(μmhos/cm) (μmhos/cm) (μmhos/cm) (μmhos/cm) (μmhos/cm) (μmhos/cm)

(16)

Gambar 18. Peta zonasi DHL airtanah dalam Kota Tangerang Selatan

36

(μmhos/cm) (μmhos/cm) (μmhos/cm) (μmhos/cm)

(μmhos/cm) (μmhos/cm) (μmhos/cm)

(μmhos/cm)

(17)

4.5 KONDISI DAN LINGKUNGAN AIRTANAH BERDASARKAN PENURUNAN MUKA AIRTANAH

4.5.1 Muka Airtanah Dangkal dan Dalam

Muka airtanah bebas di Kota Tangerang Selatan berkisar antara 1.0 meter hingga 2.0 meter dari permukaan tanah setempat atau berkisar antar 0 m dpl hingga 70 m dpl . Muka airtanah dangkal semakin turun dari arah selatan ke utara. Hal ini disebabkan keadaan topografi Kota Tangerang Selatan yang semakin landai ke bagian selatan. Muka airtanah dangkal selengkapnya disajikan pada Gambar 19 dan Gambar 20.

Gambar 19. Kontur muka airtanah dangkal Kota Tangerang Selatan secara 2 dimensi

Gambar 20. Kontur muka airtanah dangkal Kota Tangerang Selatan secara 3 dimensi 1 : 100,000 Kontur M.a.t.

dangkal :

U

Kontur M.a.t.

dangkal :

1 : 100,000

U

BT

LS (m dpl) (mdpl) LS

BT

(18)

Muka airtanah dalam di Kota Tangerang Selatan berdasarkan hasil identifikasi dan analisis penampang melintang akuifer Kota Tangerang Selatan hasil pengukuran geolistrik yang disajikan pada Lampiran 11 dan Lampiran 12, muka airtanah dalam berkisar antara 45 meter hingga lebih dari 80 meter dari permukaan tanah setempat dengan muka airtanah dari arah selatan ke utara semakin dangkal. Muka airtanah selengkapnya disajikan pada Gambar21 dan Gambar 22.

Gambar 21. Kontur muka airtanah dalam Kota Tangerang Selatan secara 2 dimensi

Gambar 22. Kontur muka airtanah dalam Kota Tangerang Selatan secara 3 dimensi 1 : 100,000 Kontur M.a.t.

dalam :

U

1 : 100,000 Kontur M.a.t.

dalam :

U

LS

BT (mdpl)

(dpl)

(19)

4.5.2 Tipikal Struktur Sumur

Tingkat kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah akibat pemanfaatan airtanah berpedoman pada Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Tingkat kerusakan tersebut dianalisis berdasarkan penurunan muka airtanah akibat adanya pemanfaatan. Oleh karena itu harus diketahui ketebalan akuifer, muka airtanah pada kondisi normal dan kondisi muka airtanah pada saat terjadi penurunan. Konsep analisis penurunan muka airtanah secara lengkap disajikan pada Gambar 23. Tahap selanjutnya setelah analisis penurunan muka airtanah adalah pembuatan peta zonasi penurunan muka airtanah di Kota Tangerang Selatan dengan analisis menggunakan perangkat lunak Surfer 9 dan Arcview GIS 3.2.

Gambar 23. Gambaran zonasi airtanah berdasarkan struktur sumur

4.5.3 Zonasi Penurunan Muka Airtanah

Pemanfaatan dan pengambilan airtanah di suatu cekungan airtanah yang tidak terkendali dalam arti pengambilan jumlah airtanah melebihi jumlah pengisian airtanah atau secara keseluruhan output sistem air lebih besar daripada input akan menyebabkan terjadinya penurunan muka airtanah secara terus-menerus. Meningkatnya kebutuhan air, baik untuk

Satuan : meter Skala : 1: 100

(20)

keperluan industri, pertanian dan kebutuhan rumah tangga, pengambilan airtanah juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong besarnya pemanfaatan airtanah.

Pengambilan airtanah dapat dilakukan dengan berbagai cara dan sumber air yang dipergunakan dapat berupa akuifer terkekang dan akuifer bebas. Pembuatan sumber sebagai upaya pengambilan airtanah sudah lama dipergunakan orang. Pembutan sumur ini adalah pembuatan lubang dari permukaan tanah menembus lapisan-lapisan tanah sampai mencapai lapisan akuifer, menampung untuk sementara waktu air yang terkumpul dari akuifer ke dalam lubang yang dibuat dan kemudian mengambilnya dengan timba atau pompa.

Pada penelitian ini, analisis penurunan muka airtanah di Kota Tangerang Selatan dibatasi hanya untuk akuifer bebas karena ketidak jelasan batas ketebalan akuifer terkekang, hal tersebut terjadi karena pengaruh permukaan piezometrik airtanah. Ketebalan akuifer ditentukan berdasarkan penampang melintang hasil pengukuran geolistrik yang disajikan pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. Berdasarkan identifikasi dan analisis ketebalan akuifer untuk sumur dangkal atau akuifer bebas, di Kota Tangerang Selatan rata-rata tinggi batas atas akuifer bebas atau muka airtanah kondisi normal 1 m hingga 2 m dari topografi wilayah dan batas bawah akuifer bebas 15 m hingga 40 m dari topografi wilayah. Untuk akuifer dalam, muka airtanah kondisi normal 45 m hingga lebih besar 80 m dari topografi wilayah, sedangkan batas bawah akuifer dalam 120 m hingga batas yang tidak diketahui.

Metode untuk analisis penurunan muka airtanah berdasarkan pada Gambar 23 dan untuk menentukan ketebalan akuifer yang sesuai dengan titik pengukuran muka airtanah, dipilih titik pengukuran geolistrik yang berdekatan dengan titik pengukuran muka airtanah. Hasil analisis penurunan muka airtanah akuifer bebas secara lengkap disajikan pada Lampiran 13. Data persentase penurunan muka airtanah kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak Surfer 9 dengan metode sebaran menggunakan metode Kriging untuk mendapatkan sebaran nilai penurunan muka airtanah yang terjadi di setiap wilayah di Kota Tangerang Selatan, analisis tersebut mengacu pada Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.

Sebaran nilai penurunan muka airtanah akibat adanya pemanfaatan airtanah di Kota Tangerang Selatan menunjukan kategori wilayah tersebut. Kota Tangerang selatan umumnya dikategorikan sebagai zona aman, yaitu wilayah yang terjadi penurunan muka airtanah kurang dari 40 %. Sebagian Kota Tangerang Selatan dikategorikan zona rawan dan zona kritis. Zona rawan terdapat di Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur dan Kecamatan Pamulang serta zona kritis di Kecamatan Pamulang.

Zona aman menunjukan bahwa jumlah pengambilan airtanah diwilayah tersebut masi kurang dari jumlah pengisian airtanah secara alami. Zona rawan dan zona kritis yang terdapat di Kota Tangerang Selatan menunjukan bahwa jumlah pengambilan airtanah di wilayah tersebut melebihi jumlah pengisian airtanah secara alami sehingga dapat mengakibatkan penurunan airtanah secara terus menerus. Penurunan airtanah ini disebabkan juga oleh tingkat kepadatan penduduk, tingkat kepadatan penduduk semakin tinggi pemanfaatan airtanah pun akan semakin tinggi. Wilayah yang terdapat zona rawan dan kritis rata-rata tingkat kepadatan penduduknya lebih dari 10,000 orang/km2 (disajikan pada Tabel 3). Penggambaran zonasi kondisi dan lingkungan airtanah di Kota Tangerang Selatan berdasarkan tingkat pemanfaatan airtanah secara lengkap disajikan pada Gambar 24.

(21)

Gambar 24. Peta zonasi penurunan muka airtanah Kota Tangerang Selatan

41

(22)

4.6 PREDIKSI INTRUSI AIR LAUT

Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa intrusi air laut merupakan masuknya air asin kedalam airtanah. Fenomena tersebut menyebabkan gangguan kualitas airtanah atau terjadi perubahan kualitas airtanah dari tawar menjadi payau atau asin. Selain kualitas airtanah yang dijadikan parameter terjadinya intrusi air laut, jenis batuan penyusun pun dapat dijadikan pendekatan untuk menentukan terjadinya intrusi air laut. Jenis batuan penyusun dapat diketahui dengan menginterpretasi hasil nilai tahanan jenis. Secara teoritis setiap batuan mempunyai daya hantar listrik dan nilai tahanan jenis yang spesifik sesuai kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. Untuk nilai kisaran tahanan jenis terhadap berbagai jenis batuan disajikan pada Lampiran 10.

Secara teoritis air laut memiliki nilai TDS yang tinggi karena mengandung banyak senyawa kimia yang mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Oleh karena itu untuk memprediksi suatu daerah terintrusi air laut dapat dilihat dari pola penyebaran hubungan nilai DHL dan TDS terhadap jarak dari garis pantai. Semakin jauh dari garis pantai secara teoritis nilai DHL dan TDS semakin kecil. Nilai DHL dan TDS dilokasi penelitian mempunyai sebaran yang bervariasi terhadap jarak. Untuk hasil analisis tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Hasil analisis nilai DHL dan TDS sumur dangkal terhadap jarak garis pantai

No Titik Pengukuran Jarak (km)

Parameter

DHL(mhos/cm) TDS (mg/l)

1 Setu 1 39.44 155 74

Setu 2 39.10 125 60

2

Serpong 1 36.21 111 52

Serpong 2 35.02 148 70

Serpong 3 34.68 309 148

3

Serpong Utara 1 27.03 207 100

Serpong Utara 2 28.56 74 34

Serpong Utara 3 26.35 149 72

4

Pamulang 1 40.80 108 52

Pamulang 2 39.61 45 22

Pamulang 3 37.23 260 124

Pamulang 4 38.25 111 52

5 Ciputat Timur 1 34.34 363 174

Ciputat Timur 2 31.28 115 54

6 Pondok Aren 1 25.67 228 110

Pondok Aren 2 28.90 166 78

7

Ciputat 1 32.81 44 20

Ciputat 2 31.11 530 256

Ciputat 3 30.43 255 122

Keterangan : Jarak (km) = Jarak titik sampel dari garis pantai dihitung dengan rumus , dimana Jp adalah jarak pada peta, Js adalah jarak sebenarnya dan Sk adalah skala

(23)

Tabel 5. Hasil analisis nilai DHL dan TDS sumur dalam terhadap jarak garis pantai

No Titik Pengukuran Jarak (km)

Parameter DHL(mhos/cm) TDS

(mg/l)

1 Pamulang 1 39.10 436 210

Pamulang 2 39.13 450 218

2 Serpong Utara 1 23.46 809 396

Serpong Utara 2 26.52 229 110

3 Serpong 1 31.28 123 58

Serpong 2 30.60 187 90

4 Ciputat Timur 1 34.68 229 110

5 Ciputat 32.13 330 160

6 Pondok Aren 1 29.89 39 18

Pondok Aren 2 29.07 112 54

7 Setu 39.41 159 76

Keterangan : Jarak (km) = Jarak titik sampel dari garis pantai dihitung dengan rumus , dimana Jp adalah jarak pada peta, Js adalah jarak sebenarnya dan Sk adalah skala

Dari data DHL dan TDS pada Tabel 4 dan Tabel 5 dapat diketahui pola penyebaran DHL dan TDS terhadap jarak dari garis pantai yang secara jelas dan lengkap disajikan pada Gambar 25 hingga Gambar 28. Kurva pola penyebaran DHL dan TDS yang disajikan menggunakan metode regresi polynomial karena metode regresi tersebut mempunyai nilai koefisien determinan atau R2 tertinggi yang mendekati nilai 1 (satu) dibandingkin dengan metode regresi yang lain. Hasil analisis hubungan DHL dan TDS terhadap jarak dengan metode regresi selengkapnya disajikan pada Lampiran 14 hingga Lampiran 16.

Gambar 25. Pola penyebaran DHL sumur dangkal terhadap jarak dari garis pantai y = 1.15x2 - 82.72x + 1,593

R² = 0.860

0 50 100 150 200 250

25 30 35 40

DHL (μmhos/cm)

Jarak (km)

DHL Poly. (DHL)

(24)

Gambar 26. Pola penyebaran TDS sumur dangkal terhadap jarak dari garis pantai

Gambar 27. Pola penyebaran DHL sumur dalam terhadap jarak dari garis pantai

Gambar 28. Pola penyebaran TDS sumur dalam terhadap jarak dari garis pantai y = 0.594x2 - 42.29x + 806.57

R² = 0.865

0 20 40 60 80 100 120

25 30 35 40

TDS (mg/l)

Jarak (km)

TDS Poly. (TDS)

y = 7.21x2 - 473.30x + 7,844 R² = 0.722

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

23 28 33 38

DHL (μmhos/cm)

Jarak (km)

DHL Poly. (DHL)

y = 3.53x2 - 232.20x + 3,847 R² = 0.724

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

23 28 33 38

TDS (mg/l)

Jarak (km)

TDS Poly. (TDS)

(25)

Suatu daerah terintrusi air laut dapat diprediksi dengan menghubungkan nilai DHL dan TDS terhadap jarak dari garis pantai. Jika diamati dari kurva diatas maka nilai DHL dan TDS menurun seiring dengan semakin jauh daerahnya dari pantai dan kemudian nilai DHL dan TDS naik kembali pada jarak lebih dari 40 km. Hal tersebut berbeda dengan secara teoritis. Maka untuk persamaan regresi polynomial pada Gambar 25 hingga Gambar 28 bisa digunakan atau berlaku dengan syarat jarak tidak lebih dari 40 km.

Dari kurva diatas dapat diprediksi sebaran nilai DHL dan TDS dengan suatu persamaan regresi polynomial. Pola penyebaran nilai DHL dan TDS sumur dangkal berdasarkan jarak dari garis pantai diperoleh persamaan regresinya yaitu y = 1.15x2 – 82.72x + 1,593 dengan R² = 0.860 untuk DHL dan y = 0.59x2 – 42.29x + 806.57 dengan R² = 0.865 untuk TDS. Pola penyebaran intrusi untuk sumur dalam diperoleh persamaan y = 7.21x2 – 473.30x + 7,844 dengan R2= 0.722 untuk DHL dan y = 3.53x2 - 232.20x + 3,847 dengan R2 = 0.724 untuk TDS. Dari kurva diatas trend persamaannya masih sesuai menurut Draper dan Smith (1981) dimana R2 yang sesuai untuk analisis regresi harus diatas 67.50%.

Nilai DHL dan TDS yang semakin meningkat pada jarak lebih dari 40 km dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan daerah tersebut dan jenis formasi batuan yang ada. Batuan formasi yang sama belum tentu mempunyai nilai tahanan jenis yang sama dan demikian sebaliknya, sehingga didapatkan nilai DHL dan TDS yang bervariasi dari jarak garis pantainya. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi antara lain komposisi litologi dan kondisi batuan, komposisi mineral yang dikandung, kandungan benda cair dan faktor eksternal lainnya.

Kondisi tersebut menyebabkan bahwa semakin dekat letak suatu daerah dari pantai maka kemungkinan airtanah dangkalnya terintrusi air laut semakin besar. Tetapi hal tersebut harus dikaitkan dengan faktor-faktor lingkungan lainnya seperti faktor ketinggian, baik tinggi muka airtanah maupun tinggi permukaan, sifat fisik tanah dan batuannya serta pemanfaatan airtanah. Hal ini terbukti pada tujuh kecamatan yang ada di Kota Tangerang Selatan, walaupun aktivitas pemanfaatan airtanahnya tinggi karena banyaknya pemukiman dan tingginya jumlah penduduk tetapi karena sifat fisik tanah dan batuannya baik maka berdasarkan kualitas airtanahnya wilayah tersebut dikategorikan zona aman.

Gambar

Tabel  2. Luas wilayah Kota Tangerang Selatan  No  Kecamatan  Luas Wilayah (hektar)  (UU 51/2008)  Luas Daerah (hektar)   (Digitasi Peta  RTRW)  Deviasi Luas (hektar)  Deviasi Luas  (%)  1
Gambar 6 .  Peta topografi Kota Tangerang Selatan
Gambar 7. Peta geologi Kota Tangerang Selatan
Gambar 8. Peta hidrogeologi Kota Tangerang Selatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor determinan yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di Kota Semarang tahun 2009 adalah keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, dimana model ini bermakna

Mahasiswa yang menjadi responden adalah seluruh mahasiswa Universitas Sumatera Utara, baik yang aktif dalam organisasi Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) maupun tidak

Gambar senyawa golongan flavonoid yang berhasil diisolasi dari daun genus Calophyllum yang berasal dari Malaysia, Sri Lanka dan Papua New Guinea ditunjukkan pada

Aksi adalah aktifitas berupa pengulangan fisik atau manipulasi mental dengan mentransformasikan objek matematika melalui beberapa cara atau aktifitas yang mendasarkan

Puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Hubungan antara Tingkat Kehadiran Ibu di Kelas Ibu Hamil dengan

Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung: Uneversitas Pendidikan Indonesia, 2003. Sukardi, Metodologi

[r]

Dengan teridentifikasinya kembali bentuk-bentuk permainan tradisional Indonesia dan dikembangkan menjadi bahan ajar mata pelajaran seni budaya, khususnya seni tari maka