• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ciri khas dari UU KIP adalah mensyaratkan kepada setiap badan publik dan institusi negara untuk mempersiapkan segala kebutuhan terkait penyediaan akses informasi publik. Oleh karenaitu, UU ini memberikan peluang yang besar bagi publik dan khususnya masyarakat sipil dalammengakses informasi yang dipandang penting baginya. Secara spesifik UU ini menjadi salahsatu instrumen terkuat untuk mengukur bekerjanya sistem akuntabilitas di Indonesia. Ukuran ini dapat dilihat dari seberapa jauh badan publik dan institusi negara siap dalam menyediakankebutuhan informasi dan dokumentasi, tentu saja yang diselaraskan dengan prinsip-prinsipketerbukaan informasi publik yang diatur dalam UU KIP.

Di Institusi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), mekanisme KeterbukaanInformasi Publik berguna untuk memastikan access to justice bisa dinikmati masyarakat luas. Polri merupakan bagian dari badan publik sipil yang memiliki fungsi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari semangat akuntabilitas institusional. Polri dapat diakui sebagai salah satu institusi negara progresif dalam mengimplementasikan Undang-Undang Keterbukaaan Informasi Publik. Lembaga ini telah mempersiapkan seperangkat aturan internal untuk mengelola informasi publik, antara lain: Peraturan Kapolri Nomor 24 Tahun 2011, perubahan atas Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelayanan Informasi Publik di lingkungan Polri. Peraturan utama tersebut bahkan diikuti dengan sejumlah Peraturan Divisi Humas Polri dalam agenda Keterbukaan Informasi Publik.

Dengan adanya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Polri telah berbenah(Puri Kencana Putri, 2011), pertama: penataan regulasi sebagai pedoman bagi Polri untuk memberikan informasi kepada publik. Sejalan dengan itu lahirlah pejabat-pejabat baru sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas pemberian informasi kepada publik. Kedua, penataan organisasi. Dari penataan ini

(2)

2

akan muncul pejabat Humas di tingkat Polres yang selama ini tidak ada. Tingkat Polsek juga akan ada pejabat yang bertanggung-jawab untuk memberikan informasi kepada publik. Pejabat itu disebut Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Ketiga, penataan instrumen dan sistem. Polri akan membuat Standard Operasional Procedure (SOP) untuk pemberian informasi kepada publik.

SOP ini akan berbeda di tingkat Polsek, Polres, Polda, dan Mabes Polri. Selain mengatur standar pemberian informasi kepada publik, SOP ini juga akan mengatur mengenaimekanisme penyampaian informasi dari tingkat Polsek, Polres, Polda sampai Mabes Polri. Mengingat kebutuhan penyaluran informasi ini merasa perlu adanya penataan instrumen atau perangkat yang menunjang, seperti peralatan-peralatan. Perlu adanya peralatan yang bisa menunjang penyampaian informasi secepat mungkin sampai ke Mabes Polri. Keempat, penataan Sumber Daya Manusia. Penataan SDM dengan dilatih bagaimana berkomunikasi, berbicara efektif, bagaimana merumuskan informasi yang bisa di informasikan dan mana yang dikecualikan

Bagian humas Polres Bantul berdasarkan Perkap 21 tahun 2010 bertugas menyediakan informasi berupa data atau dokumentasi yang berkaitan dengan kinerja Polri kepada pemohon informasi publik.Dalam melaksanakan tugas tersebut, bagian humas berfungsi sebagai Penyedia informasi di lingkungan Polres Bantul untuk kepentingan publik. Penghimpun data/dokumentasi dari pengemban PPID satuan kerja yang lain. Penyedia Informasi berupa data atau dokumentasi yang berkaitan dengan kinerja Polri kepada pemohon informasi. Pemberian pelayanan informasi dan dokumentasi kepada pemohon informasi sesuai permintaan dan Penyaji dan penyalur informasi Kamtibmas kepada pimpinan dan masyarakat yang membutuhkan.

Bagian humas juga melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui sosial media antara lain Media cetak, Radio, Blogger, facebook, Twitter dan You Tube sebagai sarana Publikasi dan Counter Opini untuk meningkatkan Citra Polri.

Selain itu juga melakukan tatap muka langsung dengan masyarakat dan menyebarkan brosur- brosur ke masyarakat dalam menyebarkan informasi tersebut. Adapun alamat sosial media yang digunakan Bagian Humas untuk

(3)

3

mempublikasi informasi adalah Blog : http://humaspolresbantul.blogspot.com/, Facebook:https://www.facebook.com/humas.polresbantul dan Twitter :https://twitter.com/HumasPolresBantul. Pemanfaatan Sosial Media ini dipilih karena selain murah juga sebagai sarana Publikasi kinerja Polri, sebagai sarana Sosialisasi peraturan Polri dan Sebagai Sarana Counter Opini Pemberitaan Negatif Polri.

Dalam kurun waktu 2010-2015 Sub Bag Humas Polres Bantul telah menorehkan beberapa prestasi, yaitu pada tahun 2012 Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PID) Humas Polres Bantul dinilai terbaik se-Indonesia. PID Humas Polres Bantul dapat penghargaan terbaik oleh tim Supervisi Mabes Polri dari sisi pengelolaan, tampilan, kemasan informasi sehingga menarik dan banyak diakses masyarakat. Beralamat di www.humaspolresbantul.blogspot.co.id, halaman ini aktif sejak Mei 2012 dengan posting berkisar antara 24 buah sampai 47 buah/bulan.(Solo Pos, 28 Desember 2012). Dan di tahun 2014 berhasil meraih penghargaan dari Kapolri dengan menempati peringkat ke-3 nasional. Prestasi tersebut dinilai berdasarkan keaktifan mengelola pemberitaan kegiatan polri sebagai pendukung program keterbukaan informasi publik.(Kedaulatan Rakyat, 4 Pebruari 2014).

Meskipun telah menorehkan prestasi dalam mengelola pemberitaan kegiatan Polri sebagai pendukung program keterbukaan informasi publik, beberapa hal yang menjadi inti dari UU KIP tersebut masih belum sepenuhnya diimplementasikan oleh Sub Bag Humas Polres Bantul, seperti ketersediaan informasi berkala yang wajib disediakan dan diumumkan dengan cepat, sederhana, dan murah. Selain itu, masifnya informasi publik yang diumumkan tanpa kualitas dan nilai kegunaan yang jelas juga menjadi permasalahan lain Dan juga tidak maksimalnya situs resmi dari Sub bag Humas Polres Bantul dalam mengumumkan informasi publik membuat implementasi UU KIP masih jauh dari yang diharapkan

Seperti disebutkan dalam Pasal 4 perkap no 16 tahun 2010, ada beberapa kriteria Informasi publik di Polri yaitu. informasi yang dikecualikan untuk dipublikasikan; informasi yang bukan dikecualikan; informasi yang wajib

(4)

4

diumumkan secara serta merta;. informasi yang wajib tersedia setiap saat;

daninformasi yang wajib disampaikan secara berkala

Berkaitan dengan hal itu,dari seluruh informasi publik yang disediakan oleh Sub Bag Humas Polres Bantul,informasi yang wajib disediakan secara berkala menjadi informasi yang paling tidak lengkap. Hal ini karena daftar informasi yang wajib disediakan secara berkala melalui Perkap 16/2010 dan Perkap 24/2011 sangat berbeda dari yang diamanatkan oleh UU KIP dan peraturan pelaksananya. Seperti contoh, Perkap 16/2010 dan Perkap 24/2011 tidak mengklasifikasikan informasi mengenai laporan harta kekayaan pejabat badan publik, laporan keuangan, laporan akses informasi publik, peraturan dan kebijakan, dan informasi penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran oleh badan publik, sebagai informasi yang wajib diumumkan secara berkala. Selain tidak sejalan dengan UU KIP, situs http://humaspolresbantul.blogspot.co.id, juga tidak sepenuhnya menyediakan informasi yang wajib disediakan secara berkala seperti yang diatur dalam Perkap 16/2010 dan Perkap 24/2011 Dalam hal ini, informasi yang dimaksud adalah informasi tentang laporan rencana kerja kesatuan Polri tahunan, data statistik gangguan kamtibmas setiap 3(tiga) bulanan, 6(enam) bulanan, dan tahunan. Juga informasi tentang seleksi penerimaan calon anggota Polri (Akpol), Perwira Polisi Sumber Sarjana(PPSS), Brigadir Polri dan Seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (PNS) pada Polri Selain itu juga informasi yang wajib tersedia setiap saat seperti yang diatur dalam Perkap 16/2010 dan Perkap 24/2011 juga tidak diinformasikan secara detail dan lengkap, seperti contohnya pada informasi prosedur pelayananSTNK,TNKB dan BPKB,persyaratan perijinan.

Selain mengenai informasi publik yang tersedia, tidak maksimalnya kinerja PPID juga merupakan penghalang implementasi UU KIP pada Sub Bag Humas Polres Bantul. Pada prakteknya, konsep dan struktur PPID yang diatur pada Perkap 16/2010 tidak cukup efektif dalam merespon pelayanan informasi publik Karena PPID hanya badan yang menempel pada organisasi yang sudah ada tanpa struktur yang jelas. Tidak jelasnya posisi PPID pada Polres bantul,

(5)

5

mengakibatkan Sub Bag Humas Polres Bantul kesulitan dalam berkoordinasi untuk meminta informasi dari unit kerja-unit kerja yang ada.

Selama 5 (lima) tahun pelaksanaan UU KIP berjalan di Polres Bantul, ada beberapa hal yang berkaitan dengan keterbukaan informasi justru menjadi masalah tersendiri diantaranya adalah ketika ada pemohon informasi yang berkaitan dengan masalah anggaran (DIPA) di Polres Bantul, Pihak Humas Polres Bantul selaku pengemban PID tidak mau atau menolak untuk memberikan informasi itu dengan alasan Kapolres tidak mengijinkan karena hal itumerupakan masalah intern yang tidak boleh dipublikasikan. Selain itu masalah dokumentasi atau data tentang jumlah permintaan dan penolakan informasi oleh pemohon informasi setiap tahun juga menjadi masalah tersendiri di Polres Bantul. Dengan alasan karena kurangnya personil di sub Bag Humas Polres Bantul ini, menyebabkan masalah ini menjadi terabaikan. Padahal hal ini merupakan salah satu SOP yang harus dijalankan oleh Polres Bantul dalam pelayanan informasi sebagai pendukung keterbukaan informasi publik.

Selain itu juga ada beberapa kendala yang dihadapi oleh sub bag humas polres bantul yang turut serta mempengaruhi pelaksanaan keterbukaan informasi publik diantaranya adalah kurangnya SDM, Sub bagian Humas Kepolisian Resort Bantul idealnya minimal beranggotakan 6 orang, yaitu 1 orang sebagai Kepala Sub Bagian Humas, 1 orang sebagai Perwira Urusan Sub Bagian Humas, 3 orang anggota Sub Bagian Humas dan seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) Polri sebagai pengelola administrasi keluar masuk surat. Kondisi di Kantor Kepolsian Resort Bantul saat ini Sub Bagian Humas hanya ada 4 orang yang aktif, yaitu Kepala Sub Bagian humas dan 2 orang anggota dan Perwira Urusan Sub Bagian Humas. Sementara PNS sebagai pengelola administrasi keluar masuk surat tidak ada. Akibatnya proses administrasi menjadi tidak tertib, laporan jumlah pemohon informasi juga tidak ada, arsip dokumen juga tidak tersimpan dengan baik. Selain itu juga karena kurangnya jumlah anggota di sub bag ini, membuat kinerja dari personil di bagian Sub bag Humas Polres Bantul menjadi kurang maksimal karena harus merangkap mengerjakan pekerjaan yang seharusnya bukan menjadi tupoksinya. Ditambah lagi dengan minimnya anggaran untuk operasional yang

(6)

6

tersedia , serta sarana dan prasarana yang kurang memadai seperti seringnya gangguan koneksi internet yang membuat layanan informasi menjadi tersendat.

Demikianlah permasalahan yang mengiringi upaya pengimplementasian UU KIP di Sub Bag Humas Polres Bantul. Nantinya, dari temuan-temuan di lapangan diharapkan diperoleh jalan keluar yang sistematis dan berdampak secara jangka panjang bagi keberhasilan implementasi undang-undang keterbukan informasi publik di Sub Bag Polres Bantul.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah disebutkan di atas maka rumusan masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Sub bagian Humas Kantor Kepolisian Resort Bantul Tahun 2010- 2015?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui gambaran implementasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP oleh Sub Bag Humas Polres Bantul selama tahun 2010-2015.

2. Mengidentifikasi hambatan dan kendala yang dihadapi oleh Sub Bag Humas Polres Bantul selaku pelaksana UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi dan juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya terkait Keterbukaan Informasi Publik. Dalam konteks yang lebih spesifik yakni, memperoleh gambaran pengetahuan tentang bagaimana kebijakan keterbukaan informasi publik ini diimplementasikan khususnya di Sub Bagian Humas Polres Bantul sejak 2010 hingga tahun 2015.

(7)

7 2. Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Polres dan stakeholder terkait dalam melaksanakan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik guna mewujudkan Reformasi Birokrasi POLRI menuju tata pemerintahan yang baik (good governance) di Polres Bantul.

E. Obyek Penelitian

Obyek dalam penelitian ini adalah Polres Bantul, sub bagian Humas Polres Bantul. Penelitian ini ingin melihat implementasi UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik di Sub Bagian Humas Polres Bantul selama tahun 2010-2015 dengan melihat berbagai capaian, kendala, keterbatasan, serta peta masalah penyelenggaraan keterbukaan informasi publik yang terjadi sehingga menyebabkan keterbukaan informasi publik berhasil atau gagal diimplementasikan secara optimal.

F. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan tentang penelitian-penelitian terdahulu, ditemukan tema yang serupa dengan penelitian yang sedang dilakukan saat ini yaitupenelitian yang dilakukan oleh Meisayu Lisa Hertina, (2015). Dalam Penelitiannya, Meisayu mendeskripsikan bagaimana implementasi UU KIP di Polres Klaten. Penelitiannya tersebut menemukan sebuah temuan berupa realita dimana Polres Klaten masih belum optimal dalam mengimplementasikan UU KIP. Sub Bag Humas yang menjadi objek fokus dari penelitian ini, disimpulkan belum atau tidak secara maksimal menjalankan perannya sebagai bagian dari implementor UU KIP.

Meisayu menggunakan teori implementasi kebijakan Donald S. van Meter dan Carl E. van Horn (1975). Teori ini memiliki lima variabel penting yang dianggap mempengaruhi implementasi kebijakan yakni, (1) standar dan tujuan kebijakan; (2) sumber daya; (3) aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi, dan politik.

(8)

8

Dalam penelitian yang dilakukan Meisayu Lisa Hertina, hanya membahas tentang kebijakan publik dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik di Polres Klaten. Variabel yang dijadikan dalam konsep penelitian terdiri atas (1) standar dan tujuan kebijakan; (2) sumber daya; (3) aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Sementara pembahasan mengenai layanan informasi seperti yang tercantum dalam Perkap No 16 tahun 2010 di Polres Klaten sebagai salah satu bentuk implementasi kebijakan keterbukaan informasi publik tidak ada. Untuk itu, penelitian ini berfungsi untuk menambah kekurangan yang ada pada penelitian Meisayu tersebut.

Penelitian ini pada dasarnya memiliki kesamaan dengan penelitian tersebut diatas. Kesamaan itu diantaranya terletak pada fokus berupa implementasi Undang- Undang KIP di Polres. Akan tetapi perbedaannya adalah dalam penelitian ini, Selain menggunakan variabel komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi yang merupakan model implementasi Edward III, peneliti juga menambahkan variabel diseminasi informasi sebagai salah satu variabel dalam konsep penelitian. Diseminasi informasi disini berkaitan dengan tata cara layanan informasi sesuai perkap No 16 Tahun 2010 dan juga berkaitan dengan media serta jenis informasi yang di desiminasikan. Sedangkan Model Edward III dipakai untuk menganalisa tentang faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

G. Kerangka Pemikiran

G.1. Keterbukaan Informasi

UU KIP sebagai undang-undang keterbukaan informasi tentu saja dimaksudkan untuk mengatur tentang pemenuhan hak publik atas informasi yang transparan dari badan publik. Tujuan keterbukaan informasi adalah memastikan bahwa lembaga publik akan lebih akuntabel dan transparan dalam menyediakan informasi. Mendel (2004) menyatakan bahwa membuka akses informasi merupakan kewajiban bagi pemerintah dan badan publik. Secara fundamental, sebuah informasi adalah milik publik, bukan milik pemerintah atau badan publik.

(9)

9

Akan tetapi pemerintah memang harus menjaga keseimbangan antara menutup informasi dan kepentingan publik. Namun, bagaimanapun, kepentingan publik tetap harus didahulukan.

Landasan konstitusional mengenai keterbukaan informasi publik telah tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28 F yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orangberhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkanpribadi dan lingkungan sosialnya...”. Selain itu, PBB juga telah mengatur hak atasinformasi dalam Resolusi 59 Ayat 1 Tahun 1946 dan menegaskannya kembalidalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB Pasal 19 yang menyatakanbahwa hak atas informasi merupakan hak asasi dan hak konstitusional sehinggawajib dilindungi oleh negara.

Pentingnya keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat ditemui dalam banyak aspek. Misalnya, hubungan antara keterbukaaninformasi dan partisipasi masyarakat. Pemaparan terkait hal tersebut pernahdiungkapkan oleh Samuel Huntington dalam bukunya, Gelombang DemokratisasiKetiga. Dalam buku tersebut Huntington menyatakan (dalam Maulani, 1996: 32),untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif dibutuhkan dua syaratpenting, salah satunya adalah adanya kebebasan untuk memperoleh akses kepadainformasi, menyampaikan pendapat, dan berorganisasi.

Partisipasi masyarakat disini dapat berwujud kontrol masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan unit-unitkerjanya, pengawalan proses pembuatan kebijakan, dll.

Selain untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat, keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga merupakan salah satu wujud komitmenpemerintah dalam melaksanakan salah satu prinsip tata kelola pemerintahan yangbaik (good governance), yaitu transparansi. Menurut buku Pedoman PenguatanPengamanan Program Pembangunan Daerah yang dikeluarkan oleh Bappenas(2002), yang dimaksud dengan transparansi adalah prinsip yang menjamin aksesatau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.

Dibalik dampak positif yang dihasilkan, keterbukaan informasi pada sektorpublik

(10)

10

juga membawa konsekuensi tertentu. Oleh karenanya, pemerintah dirasaperlu menghadirkan suatu regulasi yang dapat menjamin keamanan informasiyang dimiliki suatu badan publik, sekaligus dapat mengakomodasi keinginanmasyarakat untuk mengakses informasi publik yang diinginkan.

Instrumen perundangan yang mengatur masalah keterbukaan informasi publik di Indonesia adalah Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008). UU ini merupakan salahsatu upaya dalam perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan konsep pemerintahan terbuka (open government) di Indonesia.Karena, konsep pemerintahan yang terbuka mensyaratkan beberapa jaminan hakpublik, salah satunya adalah hak publik untuk mendapatkan dan mengaksesinformasi.

Dengan hadirnya UU No. 14 Tahun 2008, maka setiap badan publik wajib untuk menunaikan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik yang tertuangdalam undang-undang tersebut. Merujuk pada Justive Initiative (Warta Bakohumas, 2011), yang dimaksud dengan prinsip keterbukaan informasi publikadalah standar internasional yang memuat 10 prinsip tentang akses informasi,yaitu:

a. Akses informasi merupakan hak setiap individu yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan

b. Akses informasi merupakan kelaziman, sementara kerahasiaan merupakan kekecualian (mengacu pada prinsip maximum access limited exemption)

c. Hak akses informasi berlaku terhadap semua badan publik

d. Permintaan informasi harus dibuat cepat, sederhana, dan bebas biaya e. Pejabat pengelola informasi dan dokumentasi wajib membantu

pemohon informasi

f. Penolakan pemberian informasi harus dengan alasan yag dibenarkan Kepentingan publik harus diletakkan di atas kepentingan merahasiakan informasi

h. Setiap orang punya hak mengajukan permohonan banding atas keputusan yang merugikannya

(11)

11

i. Badan publik harus proaktif memberikan informasi

j. Hak memperoleh informasi harus dijamin oleh suatu badan yang independen (dalam konteks indonesia oleh Komisi Informasi Pusat).

Mayoritas pembahasan dalam UU No. 14 Tahun 2008 berbicara mengenaikewajiban badan publik dalam menjalankan praktik keterbukaan informasi.Erdiyanto, Aryani, dan Karanikolas menyatakan bahwa terdapat sembilan butirkewajiban badan publik yang terkandung dalam UU No. 14 Tahun 2008 dalamkonteks standar internasional (2012: 21-30), yaitu:

a. Menentukan Kemampuan

Setiap badan publik perlu menelaah apakah mereka subyek undang-undang yang baru atau tidak. Karena, undang-undang ini berlaku terhadap lembaga hukum yang luas dan segala bentuk informasi yang tercatat dalam lembaga-lembaga tersebut. Baik lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial, juga seluruh perusahaan milik negara, badan konstitusi, sertabadan publik lain yang berhubungan

b. Dokumen Panduan Kunci

Badan publik harus membuat dokumen kunci sebagai panduan upaya mereka dalam melaksanakan UU No. 14 Tahun 2008. Misalnya seperti dokumen standar operasional prosedur mengenai pemberlakuan undang-undang,rencana strategis (renstra) pelaksanaan undang-undang, dsb

c. Petugas Informasi

Salah satu langkah awal yang perlu dilakukan badan publik dalam menjalankan UU No. 14 Tahun 2008 adalah mengangkat Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), serta pejabat fungsionalnya jika diperlukan, sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 13 (1) (a).Pengangkatan PPID juga harus dibarengi dengan pembuatan term of reference (TOR) sehingga tanggung jawab dan kekuasaan mereka menjadi jelas.

d. Pelatihan

PPID dan staff-staff pendukungnya memegang peran kunci dalam implementasi UU No. 14 Tahun 2008 di badan publik. Maka dari itu, petugas-petugas ini perlu mendapat pelatihan mengenai hak untuk mendapat informasi dan kewajiban mereka berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008.

(12)

12 e. Pengelolaan Catatan

Badan publik harus membuat sistem pengelolaan informasi atau pencatatan yang benar. Hal ini merupakan salah satu amanah yang terdapat dalam Pasal 7 (3) dan Pasal 8 UU No. 14 Tahun 2008.

f. Keterbukaan yang Proaktif

UU No. 14 Tahun 2008 menetapkan beberapa kategori informasi yang harus diberikan secara proaktif oleh badan publik. Proaktif disini berarti badan publik secara aktif membuka informasi publik yang dimilikinya tanpa menunggu permohonan permintaan informasi dari masyarakat. Hal ini dilakukan bukan hanya karena menjalankan prinsip keterbukaan, tetapi juga untuk menghemat waktu dan tenaga para pejabat dalam merespon permintaan akses informasi.

g. Menerima dan Menjawab Permintaan

Salah satu kewajiban penting dari badan publik dalam implementasi UU No. 14 Tahun 2008 adalah melayani permintaan informasi yang diajukan oleh masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar bagi badan publik untuk melayani permintaan informasi publik adalah cepat, tepat waktu, dan biaya ringan.

Mengenai mekanismenya, UU No. 14 Tahun 2008 menjelaskannya dalam Pasal 21 dan Pasal 22 tentang mekanisme memperoleh informasi.

h. Keberatan dan Sengketa Informasi

Apabila pemohon informasi merasa bahwa permintaannya tidak terpenuhi sesuai dengan standar undang-undang, maka pemohon tersebut dapat mengajukan surat keberatan. Pasal 35 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 2008 memaparkan butir-butir alasan yang dapat menjadi dasar bagi pemohon informasi untuk mengajukan keberatan. Penyelesaian keberatan tersebut dapat diselesaikan pada tataran badan publik sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 35 Ayat (2) dan Pasal 36. Apabila pemohon informasi tidak puas dengan hasil penyelesaian keberatan tersebut, pemohon informasi dapat mengajukan upaya penyelesaian kepada Komisi Informasi Pusat dan/atau Komisi Informasi yang ada di daerahnya, seperti yang telah dipaparkan dalam Pasal 37 dan Pasal 38.

i. Aktivitas Lain (laporan berkala pelayanan informasi)

(13)

13

Mengacu pada Pasal 12 UU No. 14 Tahun 2008, seluruh badan publik wajib melaporkan secara berkala mengenai langkah-langkah yang telah diambil dalam melaksanakan undang-undang. Misalnya, informasi mengenai proses pelayanan permohonan informasi, pengelolaan informasi, publikasi informasi proaktif, dll.

G.2 Kebijakan Keterbukaan Informasi

Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam mewujudkan Good Governance, yaitu untuk tericptanya transparansi informasi, meningkatkan partisipasi masyarakat serta meningkatkan akuntabilitas badan publik. Keterbukaan informasi dapat dimaknai sebagai kondisi yang memungkinkan sektor komunikasi yang bersifat massal menyentuh hampir semua bidang kehidupan masyarakat (Amal dan Armawi, 1996: xii).

Ketika keterbukaan informasi tersebut disandingkan dengan konteks informasi sektor publik, pembahasannya akan mengerucut pada informasi yang dihasilkan dan/atau dikelola oleh lembaga atau badan publik.

G.3 Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik

Menurut Lester dan Stewart dalam Kusumanegara (2010; 97), implementasi adalah sebuah tahapan yang di lakukan setelah aturan hukumditetapkan melalui proses politik. Kalimat tersebut seolah-olah menunjukkanbahwa implementasi lebih bermakna non politik, yaitu administratif.

Implementasi sebagai kegiatan administrasi memiliki konsekuensi dalam pelaksanaannya dan memiliki dampak terhadap aktor-aktor yang terlibat dalamimplementasi kebijakan tersebut.

Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2012; 135) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan - tindakan yang dilakukan oleh individ- uindividu(alat kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan – keputusankebijakan sebelumnya, tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalamkurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha

(14)

14

untukmencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusankebijakan.

Ditegaskan oleh Merilee S. Grindle (1980; 8-10), dalam analisis implementasi kebijakan, setidaknya ada dua aspek penting yang seyogyanya dilihat, yaitu : Pertama, isi kebijakan. Isi kebijakan berpengaruh bagi implementasi karena menentukan hal-hal apa saja yang akan diimplementasikan serta siapa yang akan melakukannya. Kedua, konteks kebijakan. Kondisi sosial politik serta office politics dalam tubuh birokrasi akan menentukan bagaimana kebijakan akan diimplementasikan.Dalam implementasi kebijakan, berkenaan dengan pencapaian implementasi undang-undang dapat dipilahkan secara sederhana menjadi dua : (1) pengembangan kelembagaan, dan (2) pencapaian substantif.

Dalam kajian implementasi kebijakan keterbukaan informasi, Pratikno dkk (2012; 5-6), melihat aspek pengembangan kelembagaan dari dua indikator, yakni (a) pembentukan bagian humas, (b) penetapan Pejabat Pengelola Informasi danDokumentasi (PPID), dan (c) peraturan dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan keterbukaan informasi di daerah. Adapun pencapaian substansif berkaitan dengan produksi informasi publik yang wajib disediakan oleh Instansi Polri kepada khalayak di wilayahnya masing-masing. Aspek substantif ini tersusun atas tiga indikator, yakni (a) ketersediaan media penyampai, (b) produk dan jenis informasi yang sudah dipublikkan, dan (c) kemudahan akses bagi publik untuk mendapatkan informasi tersebut.

G.3.1Model Implementasi Kebijakan Publik

Dalam mengimplementasikan kebijakan, ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, baik bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Apalagi jika kebijakan tersebut bersifat makro yang melibatkan berbagai aktor dalam implementasinya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh B. Ripley dan Grace A. Franklin (1986), mereka menuliskan sebagai berikut:

(15)

15

Implementation process involve many important actors holding diffuse and competing goals and expectations who work within a contexts of an increasingly large and complex mix of government programs that require participation from numeros layers and unit of government and who are affected by powerful factors beyond their control. (Ripley dan Franklin, 1986:11)

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain

Ada beberapa model yang dapat dielaborasikan untuk melihat variabel apa saja yang terlibat dalam implementasi yang cukup relevan dalam penelitian ini.

Berikut akan dijelaskan model implementasi kebijakan tersebut.

a. Model George C. Edwards III (1980)

Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.

Sebagaimana yang digambarkan dalam bagan berikut ini Gb. 1.1 Model Implementasi George C. Edwards III (1980)

Komunikasi

Sumberdaya

Implementasi Disposisi

Struktur Birokrasi

Keempat variabel yang digambarkan di atas bisa diuraikan sebagai berikut : 1. Komunikasi

(16)

16

Menurut Edwards, komunikasi harus ditransmisikan kepada personel yang tepat, dan harus jelas, akurat serta konsisten.

a) Transmisi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi (Subarsono, 2005 ; 90) b) Kejelasan.

Instruksi-instruksi yang diberikan kepada para pelaksana kebijakan harus jelas sehingga tidak mengaburkan pesan awal dari kebijakan tersebut. Selain itu kurangnya kejelasaan dapat menimbulkan perubahan kebijakan yang tidak diharapkan (Winarno, 2008; 177). Dalam mengimplementasikan kebijakan, setiap instruksi yang diberikan harus diinformasikan dengan jelas.

c) Konsistensi.

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah- perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas (Winarno, 2008; 177).

Ketidakkonsistenan dapat menyebabkan tujuan dari kebijakan tersebut tidak akan tercapai.

2. Sumber daya

Sumber daya berkaitan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan secara efektif (Nugroho, 2012;693). Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Sumber daya meliputi sumber aya manusia (staf) yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas (Winarno, 2008; 181).

3. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitment, kejujuran, sifat demokratis (Subarsono, 2005; 91). Dengan kata lain, disposisi merupakan kesediaan dari pelaksana kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Disposisi yang baik dari implementator akan

(17)

17

menghasilkan pelaksanaan kebijakan yang baik pula. Namun bila implementator memiliki sikap atau perspekstif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan menjadi tidak efektif.

4. Struktur birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya. Tetapi dalam pelaksanaannya mungkin mereka masih di hambat oleh struktur-struktur organisasi di mana mereka menjalankan kegiatan tersebut

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakniprosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi :

1) Standar Operasional Prosedur (SOP)

Salah satu dari aspek-aspek struktual paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya Standard Operating Procedures (SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia.

2) Fragmentasi

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam melaksanakan kebijakan adalah fragmentasi organisasi. Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan lain.

b. Model Van Meter dan Van Horn

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari

(18)

18

keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Kedua tokoh ini menyampaikan 6 variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik. Enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn ini diuraikan sebagai berikut :

1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas danterukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

2. Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia (non-human resourse).

3. Aktifivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan intansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubunganyang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untu melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

(19)

19

Enam variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn yang diuraikan di atas digambarkan dalam skema sebagai berikut :

gambar 1.2 Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975)

Sumber : Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005; 100) Untuk menggambarkan implementasi sebuah kebijakan di lembaga pemerintah, baik model Edwards III maupun model Van Meter dan Van Horn in masih relevan, mengingat arah kebijakan yang berjalan linear dari atas ke bawah yaitu dari pembuat kebijakan, pelaksana, ke publik. Bila kita kaji lebih dalam,sebenarnya kedua model yang dikemukakan di atas memiliki variabel yang hampir sama satu sama lain.

Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan olehEdwards III, maka variabel dalam model Van Meter dan Van Horn bisadimasukkan ke dalam variabel Edwards III sebagai berikut : variabel (1) standardan sasaran kebijakan

Komunikasi Antar Ogranisasi dan

Kegiatan Pelaksanaan

Ukuran dan Tujuan

Kebijakan

Karakteristik Badan Pelaksana

Disposisi Pelaksana

Kinerja Kebijakan

Publik

Sumber Daya

Lingkungan Ekonomi,

Sosial dan Politik

(20)

20

dapat kita masukkan dalam variabel “komunikasi”. Hal inikarena dari penjelasan yang ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya standar dan sasaran kebijakan yang jelas sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi maupun konflik.

Variabel (2) sumber daya sejalan dengan variabel “sumber daya”, yaitu mencakup SDM dan non-SDM. Variabel (3) hubungan antar organisasi dapat kita masukkan dalam variabel “struktur birokrasi” karena mengarah pada proses koordinasi di dalam struktur organisasi. Variabel (4) karakteristik agen pelaksana dapat kita masukkan pada variabel “struktur organisasi”. Sedang variabel (6) disposisi implementor, dapat kita masukkan pada variabel “disposisi”.

Dari keenam variabel yang dikemukakan oleh Van Metter dan Van Horn, yang agak berbeda adalah variabel (5) kondisi sosial, politik, dan ekonomi, yang tidak terdapat dalam model Edwards III. Pada variabel (5) ini terlihat bahwa model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga mempertimbangkan faktor eksternal.

H. Konsep Penelitian

Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kajian implementasi kebijakan keterbukaan informasi dari Pratikno dkk(2012; 5-6) yaitu aspekcapaian implementasi kebijakan yang meliputi capaian kelembagaan dan capaiansubstantif. Sedangkan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhiimplementasi, penelitian ini menggunakan gabungan dari variabel model EdwardsIII dan variabel dari model Van Meter dan Van Horn, sehingga bisa saling melengkapi satu sama lain. Namun tidak semua halyang disampaikan oleh Edwards III serta Van Meter dan Van Horn akandigunakan, melainkan dipilih sesuai kebutuhan penelitian. Untuk mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi, konsep yang akan digunakan adalah komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi, lingkungan sosial politik dan diseminasi informasi.

Model Kompilasi dari konsep Merille S. Grindle yang dipakai oleh Pratikno dkk serta konsep dari Edward III dan Konsep Van Metter dan Van Horn, dapat digambarkan sebagai berikut:

(21)

21

Gb 1.3 Model Kompilasi Implementasi kebijakan Publik di Polres Bantul.

Adapun Konsep penelitian dapat dilihat dari tabel dibawah ini : Tabel 1

Konsep Capaian Implementasi Kebijakan

No Konsep Makna Indikator

1. Capaian Kelembagaan Bagaimana pengembangan kelembagaan oleh POLRI sesuai dengan amanat UU KIP

Penetapan PPID Adanya peraturan dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan

keterbukaan informasi di POLRI

2. Capaian Substantif Berkaitan dengan produksi informasi publik yang wajib disediakan oleh POLRI

Tersedianya media penyampai.

Produk dan jenis informasi yang sudah dipublikkan sesuai dengan apa yang diamanatkan UU KIP.

Kemudahan akses bagi publik untuk mendapatkan

informasi.

Implementasi KIP

komunikasi

sumberdaya

disposisi

struktur birokrasi diseminasi

informasi lingkungan sosial politik

(22)

22 Tabel 2

Konsep Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

No Variabel Makna Indikator

1. Komunikasi Adanya sosialisasi UU

KIP dan aturan terkait lainnya kepada humas Polres Bantul

Informasi

yangdisosialisasikantertransmisikan

denganbaik, konsisten, danmemiliki kejelasansehingga

dapat dipahamihumas 2. Sumber Daya Tercukupinya

kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh humas untuk

melaksanakan UU KIP

Ketercukupan dukungan sumber daya manusia, anggaran, dan

ketersediaan fasilitas lembaga

3. Disposisi Bagaimana definisi dan persepsi/sikap Polres Bantul

dalam melihat UU KIP

Pemahaman, penerimaan atau penolakan, dan

komitmen Polres Bantul terhadap UU KIP

4. Struktur Birokrasi

Bagaimana struktur birokrasi, norma norma,dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi UU KIP.

Pendelegasianwewenang dalam pembentukan humas

Adanya SOP

Adanya koordinasi yang baik dalam pelayanan informasi

5. Lingkungan Sosial dan Politik

Sejauh mana kelompok- kelompok kepentingan memberikan dukungan

bagi implementasi kebijakan.

Adanya dukungan

Stick holder, pelaku media,dan publik terhadappelaksanaan UU KIP

(23)

23 H. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif ditujukan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentangfakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Fokus penelitian deskriptif ada pada pertanyaan mendasar “bagaimana” dengan berusaha mendapatkan dan menyampaikan banyak detail. Oleh karenanya, selain untukmenggambarkankarakteristik dari suatu gejala atau masalah yang diteliti, penelitian deskriptif juga ingin mengungkapkan bagaimana hal itu terjadi.

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan kemudian dianalisis untuk menghasilkan sebuah kesimpulan.

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah studi kasus. Metode kajian menggunakan studi kasus untuk mendapatkan uraian dan penjelasan komprehesif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu komunitas, atau suatu situasi sosial.

Dalam penelitian dengan metode studi kasus ini, segala aspek dari kasus mendapat perhatian sepenuhnya dari peneliti, termasuk segala sesuatu yang mempunyai arti dalam riwayat kasus, misalnya peristiwa terjadinya, perkembangannya, dan perubahannya. Keuntungan dari studi kasus ini adalah peneliti dapat mencermati suatu fenomena secara mendalam dan menyeluruh.

Oleh karenanya metode ini diharapkan dapat membantu peneliti untuk memaparkan pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Polres Bantul

6. Diseminasi Informasi

Bagaimana cara badan

publik dalam menyebar luaskan data-data atau dokumen-dokumen yang dimilikinya kepada publik

Relevansi antara media

yang digunakan, serta produk dan jenis informasi yang disebarluaskan oleh badanpublik dengan amanahyang digariskan oleh UUKIP

(24)

24

Dalam kajian kebijakan, studi kasus bisa digunakan untuk melihat daya guna suatu kebijakan. Studi kasus juga dapat digunakan untuk memahami fenomena dalam implementasi kebijakan. Penggunaan metode ini sesuai dengan kebutuhan peneliti untuk mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah diajukan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pengamatan langsung atau observasi, wawancara mendalam dan studi pustakaan.

Observasi dilakukan dengan cara mendatangi lokasi pelayanan publik dan mengamati prosedur pelayanan. Data yang dikumpulkan dan dicatat berupa perilaku pelayanan, kondisi bangunan, dukungan sarana dan prasarana serta jaringan infrastruktur yang digunakan dalam melayani publik. Observasi juga dilakukan untuk mengamati website www.humaspolresbantul.blogspot.com yang merupakan website resmi humas Polres Bantul yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab Sub Bag Humas Polres Bantul.

Wawancara mendalam dilakukan secara langsung dengan key person yang dijadikan narasumberyang memahami substansi persoalan yang dibahas dalam tesis penelitian ini.Key person yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini berasal dari

(1) Kabag ops Polres Bantul( Kompol Luthfi, SIK) (2) Kasubbag Humas Polres bantul(AKP Paimun,SH)

(3) Paur Sub Bag Humas Polres Bantul(Aiptu Agus Suryanto) (4) Bamin Sub Bag Humas Polres Bantul(Brigpol Maryono,SH)

Sedangkan data kepustakaan yang dikumpulkan terdiri dari buku, jurnal, makalah, artikel surat kabar, dan artikel dari internet terkait UU KIP

4. Teknik Pengolahan Data

Ada beberapa tahapan yang sudah dilewati dalam proses pengolahan data penelitian ini. Data yang telah selesai dikumpulkan diolah melalui dua tahap.

Pertama, reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

(25)

25

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Oleh karenanya, data yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi dokumen/literatur, telah dipilih dan kemudian dapat memberikan data siap pakai. Proses reduksi ini dilakukan untuk menilai relevansi data yang telah dikumpulkan, dan membuang data-data yang tidak relevan dengan pertanyaan penelitian.

Selanjutnya, setelah proses tersebut selesai, maka dilakukan tahap yang kedua,yakni kategorisasi data. Data-data yang telah dikumpulkan dijabarkan dalam bentuk tema-tema atau kategori-kategori agar mempermudah proses verifikasi sehingga diperoleh sketsa kumpulan data kualitatif yang siap dianalisis.

Adapun kategorisasi data tersebut ditentukan berdasarkan variabel-variabel atau indikator-indikator yang terdapat pada konsep penelitian untuk menjawab pertanyaan pokok penelitian ini.

5. Teknik Penyajian Data

Dalam penelitian ini, data-data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti selanjutnya diolah dalam proses pemilihan dengan memusatkan perhatian pada kumpulan data dan memilah data yang diperlukan dalam penelitian. Selanjutnya hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk rangkaian tulisan atau teks. Selain menyajikan data-data yang berupa kata-kata, dalam penelitian ini, penyajian data juga dilakukan dalam bentuk tabel dan gambar sebagai data pendukung

6. Teknik Analisis Data

Analisis data dilaksanakan hampir bersamaan dengan proses pengumpulandata. Analisis induktif dilakukan berangkat dari data kasar yang diperoleh darilapangan. Dalam konteks penelitian ini, data kasar tersebut diambil melaluiwawancara terhadap key person yang dijadikan narasumber seperti Kabag Ops Polres Bantul, Kasubbag Humas Polres Bantul, Paur Sub bag Humas Polres Bantul, Bamin Sub bag Humas Polres Bantul. Proses pengolahandata melibatkan identifikasi tema-tema yang muncul dan pola-pola setelah dilakukanpenyortiran, klasifikasi, dan analisa data. Tema-tema tersebut tentunya meliputiseputar

(26)

26

bagaimana implementasi UU KIP di Polres Bantul berlangsung.

Setelahmengkategorisasi transkrip wawancara, dilakukan kodifikasi poin-poin pentingtermasuk kata-kata atau kalimat-kalimat kunci yang dapat menjawab rumusan masalah dari penelitian ini. Setelah itu, peneliti melakukan penarikan kesimpulan dan memaparkan hasil laporan penelitian secara narasi deskriptif disertai penilaian yang mengacu pada konsep penelitian yang sudah ada.

7. Limitasi Penelitian

Penelitian ini terbatashanya melihat bagaimana implementasi keterbukaan informasi publik di Sub Bag Humas Polres Bantul dengan mengacu pada dasar hukum yang digunakan yaitu UU No 14 Tahun 2008. Dengan memperhatikan pola peraturan-peraturan pendukung terkait, peneliti juga menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dengan memakai model Edward III ditambah salah satu variabel dari model Van Metter Van Hornyaitu lingkungan sosial dan poiltik serta menambahkan variabel diseminasi informasi dalam konsep penelitian. Diseminasi Informasi berkaitan dengan penyampain informasi publik dengan melihat jenis informasi yang disampaikan dan media yang digunakan oleh Sub Bag Humas Polres Bantul.

8. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian; Kemudian tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang berisikan fokus penelitian dengan satu konsep dimana mengkaji aspek/dimensi/komponen/bentuk/gejala yang akan dijadikan indikator dari konsep penelitian; Metodologi Penelitian yang elemennya berupa metode penelitian, teknik pengumpulan data, pengolahan data, dan limitasi penelitian;

2. BAB II Konteks Data, meliputi situasi Sub Bag Humas yang merupakantempat dimana data-data primer dalam penelitian ini diperoleh;

(27)

27

3. BAB III merupakan hasil penelitian dan analisa tentang implementasi UU KIP di Polres Bantul

4. BAB IV merupakan kesimpulan dari seluruh proses penelitian beserta saran sebagai tawaran solusi bagi keberhasilan implementasi UU KIP di Polres Bantul

Gambar

gambar 1.2 Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 19 sasaran strategis yang ingin dicapai dengan prioritas sasaran adalah: meningkatkan penerimaan Fakultas (bobot 10%),

Perbedaan pengaturan hak kesehatan buruh yang diselenggarakan oleh Jamsostek dan BPJS Kesehatan adalah dari segi asas dan prinsip penyelenggaraan; sifat kepesertaan; subjek

Key ​ ​berbentuk​ ​hardcode​ ​di​ ​aplikasi​ ​sehingga​ ​dengan​ ​mudah​ ​di​ ​lihat​ ​menggunakan tehnik ​ ​reverse​

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

Berdasarkan pengamatan kemampuan berbahasa siswa pada siklus 1 telah mengalami peningkatan dari pratindakan walaupun belum mencapai persentase KKM yang telah ditentukan.

infestans asal Banjarnegara, Pangalengan dan Garut yang menunjukkan bahwa klon kentang hasil persilangan lebih tahan dan berbeda nyata dibandingkan tetua

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk