• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI

1. Lansia a. Definisi

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998 yang dimaksud lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Kemenkes RI, 2014). Masa tua merupakan masa yang berkelanjutan dan dikatakan sebagai akhir fase perkembangan manusia. Pada periode ini, seseorang akan mengalami perubahan, seperti fisik, psikologis, dan sosial yang membuatnya lebih sulit dalam beradaptasi dan rentan mengalami depresi (Rahman, 2016). Pada masa ini, perlahan terjadi perubahan kerja jaringan dalam memperbaiki dan mempertahankan fungsi normal tubuh, yang membuat lansia lebih rentan mengalami infeksi dan penyakit. Sedangkan, kriteria dalam proses penuaan yang baik dapat dilihat dari kesehatan fisik dan mental lansia, fungsi kognitif, dan psikososial yang ada (Longadi, 2019).

b. Batasan Umur Lansia

Usia seseorang dikatakan memasuki fase lanjut terkadang berbeda-beda, umunya antara 60-65 tahun. Menurut WHO ada empat tahap batasan umur pada lansia (Nurhidayah, 2012):

1) Usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun.

2) Lanjut usia (elderly) antara 60-74 tahun.

3) Lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun.

4) Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

Menurut (Depkes RI, 2013) kelompok umur lansia dibagi menjadi:

1) Pra lansia (prasenilis) : berusia antara 45-59 tahun.

2) Lansia (lanjut usia) : berusia antara 60 tahun atau lebih.

3) Lansia berisiko tinggi : berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

4) Lansia potensial : lansia yang mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa.

(2)

5) Lansia tidak potensial : lansia yang tidak bedaya mencari nafkah dan hidupnya bergantung orang lain.

c. Teori-Teori Proses Penuaan

Setiap orang pasti akan mengalami proses menua, di mana dalam fase ini ditandai dengan kemunduran struktur dan fungsi organ yang perlahan terjadi seiring dengan pertambahan usia (Sari, 2015). Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat beberapa teori penuaan, di antaranya:

1) Teori wear and tear

Teori ini menyatakan jika kerusakan dan kemunduran yang dialami oleh sel-sel tubuh karena sering digunakan atau disalahgunakan (overuse and abuse). Selain itu, kerusakan sel juga disebabkan oleh jaringan yang sudah tua dan tidak beregenerasi (Sari, 2015).

Organ-organ tubuh, seperti lambung, jantung, hati, ginjal, dan lainnya akan mengalami penurunan dikarenakan toksin yang terkandung pada makanan dan lingkungan. konsumsi berlebih lemak, gula, kefein, alkohol, nikotin, terkena sinar ultraviolet berlebih dan stress fisik yang terjadi juga menjadi faktor penyebab penurunan fungsi yang tidak hanya pada organ, namun juga tingkat sel (Ardi, 2011).

2) Teori neuroendokrin

Berkaitan dengan hormon yang dihasilkan tubuh, di mana produksi hormon oleh hipothalamus otak akan semakin sedikit seiring dengan bertambahnya usia yang akhirnya akan mengganggu kerja sistem tubuh (Sari, 2015).

Ketidakmampuan produksi hormon disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan tubuh dalam menjalankan fungsinya yang tidak dapat diiringi dengan produksi hormon yang sesuai. Meskipun mekanisme umpan balik mulai dari hipotalamus, hipofise, dan organ sasaran masih berkeja, namun karena kerjanya berlebih sehingga produksi hormon tidak seimbang dan terjadi proses penuaan (Nisa, 2016).

3) Teori radikal bebas

(3)

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organ menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dalam sel.

Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki reaktivitas tinggi terhadap molekul lain karena dapat mengubah suatu molekul menjadi radikal dengan mengambil atau menambah satu elektron pada molekul tersebut. Suatu molekul yang telah dirusak oleh radikal bebas akan menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel.

DNA, protein, dan lemak merupakan molekul-molekul utama yang dirusak radikal bebas. Pertambahan usia yang terjadi akan menambah akumulasi kerusakan molekul oleh radikal bebas dalam tubuh. Hal tersebut akan mengganggu proses metabolisme tubuh, merangsang mutasi sel, dan menyebabkan kanker hingga kematian. Radikal bebas juga akan merusak zat kolagen dan elastin pada kulit yang menyebabkan rusaknya karingan kulit sehingga menimbulkan kerutan dan lekukan pada kuit (Ardi, 2011 & Sari 2015).

Pajanan radikal bebas sejak awal kehidupan ditambah dengan reaksi metabolik pada usia dewasa hingga lanjut usia akan menyebabkan penyakit terkait usia lanjut, seperti kardiovaskuler, kanker, dan neurodegeneratif. Radikal bebas diduga berperan dalam proses patologi oklusi vaskuler yang menyebabkan penyakit kardiovaskuler. Selain itu, radikal bebas menyebabkan perubahan transpor elektron mitokondria selama iskemi dan reperfusi yang menyebabkan stress oksidatif (Lisnawati, 2016).

Adapun radikal bebas yang sering ditemukan di lingkungan, seperti: Asap kendaraan bermotor, asap rokok, zat pengawet makanan, radiasi, dan sinar UV yang menyebabkan perubahan pigmen kulit dan kolagen (Saputri, 2019).

4) Teori kontrol genetika

Penuaan merupakan proses fisiologis yang terjadi secara turun-temurun dan diwariskan (genetik) sehingga proses perubahan sel dan jaringan

(4)

tubuh akan terjadi secara alami (Sari, 2015). Teori ini berfokus pada kode genetik yang terbentuk pada tiap individu manusia, yang tersusun secara unik satu sama lain dan mempengaruhi fungsi fisik dan mental tertentu.

Penurunan genetik itulah yang akan menentukan seberapa cepat proses penuaan dan berapa lama seseorang hidup (Ardi, 2011).

5) Teori menua akibat metabolisme

Pada teori ini menjelaskan jika metabolisme dapat mempengaruhi proses penuaan. Penurunan asupan kalori dapat memperpanjang umur dan peningkatan asupan kalori akan memperpendek umur (Saputri, 2019). Hal tersebut didasarkan pada penelitian rodentia muda yang menunjukkan perpanjangan umur saat diberi asupan kalori yang lebih rendah. Pemberian kalori rendah akan menyebabkan penurunan pengeluaran hormon yang merangsang proliferasi sel. Selain itu, modifikasi aktivitas hidup untuk lebih banyak bergerak juga akan berdampak memperpanjang umur (Darmojo 2011).

6) Teori rantai silang (cross link theory)

Teori ini menjelaskan jika reaksi lemak, protein, dan asam nukleat (kolagen) dengan zat kimia atau radiasi akan menyebabkan perubahan jaringan, terutama membran plasma (Handayani, 2018). Hal tersebut akan meyebabkan ikatan jaringan kaku, kurang elastis, dan hilang fungsi (Darmojo, 2011). Terdapat beberapa contoh perubahan, seperti pembuluh darah yang cenderung menyempit dan kehilangan elastisitas sehingga distribusi darah akan menurun (Handayani, 2018).

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penuaan

Setiap manusia pasti akan mengalami proses penuaan yang merupakan fase akhir perkembangan. Dalam prosesnya, penuaan dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor yang terjadi. Menurut (Kemenkes RI, 2016) terdapat beberapa faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya proses penuaan, di antaranya:

1) Hereditas atau ketuaan genetik

(5)

Kromosom x merupakan pembawa unsur kehidupan, sehingga perempuan cenderung berumur lebih panjang dibanding laki-laki karena kromosom x yang lebih banyak (Muhith, 2016).

2) Nutrisi atau makanan

Kadar intake nutrisi yang berlebih atau kekurangan akan mengganggu keseimbangan reaksi kekebalan (Muhith, 2016).

3) Pengalaman hidup

a) Paparan sinar matahari: sinar matahari yang mengenai kulit secara berlebih akan membuah kulit mudah kusam, berkerut, dan ternoda oleh flek.

b) Olahraga: kurangnya olahraga akan membuat terganggunya pembentukan otot dan sirkulasi darah kurang lancar.

c) Konsumsi alkohol: Alkohol dapat memperbesar diameter pembuluh darah kecil pada kulit yang menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah (Muhith, 2016).

4) Lingkungan

Proses penuaan merupakan suatu hal yang terjadi secara alami dan tidak dapat dihindari. Namun, proses penuaan seharusnya tetap dapat dipertahankan dalam status sehat pada tiap individu (Muhith, 2016).

5) Stres

Tekanan yang terjadi dalam kehidupan setiap individu baik dalam lingkungan dan gaya hidup yang dianut sangat berpengaruh pada proses penuaan (Muhith, 2016).

e. Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lansia

Seiring dengan bertambahnya usia pada manusia, maka seseorang akan mengalami berbagai perubahan-perubahan pada dirinya. Perubahan tersebut terjadi pada berbagai aspek, tidak hanya perubahan fisik, namun juga perubahan kognitif perasaan, sosial, dan seksual (Kemenkes RI, 2016). Menua bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu proses yang akan dilalui oleh setiap manusia dan suatu tahap lanjut yang disertai dengan penurunan daya tahan tubuh dalam

(6)

menghadapi segala rangsangan (Muhith, 2016). Pada fase tersebut, tubuh akan mengalami perubahan hingga ke sistem organ, seperti sistem pernapasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal, genitalial urinaria, endokrin, dan integumen (Bandiyah, 2009).

1) Sistem pernapasan

a) Kekakuan dan hilangnya kekuatan pada otot pernapasan yang menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dangkal karena volume inspirasi berkurang.

b) Penurunan aktivitas pada silia yang menyebabkan penurunan reaksi batuk sehingga berpotensi terjadinya penumpukan sekret.

c) Aktivitas paru yang menurun, menyebabkan jumlah udara insiprasi menurun.

d) Terganggunya proses difusi karena pelebaran alveoli dan jumlahnya yang berkurang.

e) Penurunan oksigen (O2) arteri menjadi 75 mmHg menyebabkan terganggunya proses oksigenasi dari hemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua ke jaringan.

2) Sistem persarafan

a) Cepat menurunkan hubungan persarafan.

b) Lambat dalam merespon dan waktu untuk berpikir.

c) Mengecilnya syaraf pancaindera.

d) Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman, dan perasaan lebih sensitif pada perubahan suhu disertai rendahnya ketahanan tubuh terhadap dingin.

3) Penglihatan

a) Kornea menjadi lebih sferis.

b) Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.

c) Lensa menjadi keruh.

d) Daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan lebih sulit melihat dalam cahaya gelap.

(7)

4) Kardiovaskuler

a) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% per tahun sesudah usia 20 tahun, yang menyebabkan penurunan kontraksi dan volumenya.

b) Kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri) dapat menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg yang berakibat pusing mendadak.

c) Tekanan darah meningkat berakibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (normal ± 170/95 mmHg). (Bandiyah, 2009) & (Muhith, 2016).

Perubahan pada sistem kardiovaskuler menyebabkan penurunan fungsi pada lansia. Pada fase ini, katup jantung akan menjadi lebih tebal dan kaku, otot jantung dan arteri menjadi kurang elastis, dan rentan terjadinya penumpukan kalsium dan lemak pada dinding pembuluh darah (Arifin, 2016).

Kondisi tersebut akan menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler dan menyebabkan terjadinya hipertensi karena peningkatan tekanan sistolik dan penurunan perfusi jaringan. Hal tersebut diperparah dengan penurunan respon vasokonstriksi dalam mencegahan terjadinya penggumpalan darah. Selain itu, penurunan sensitivitas baroreseptor menyebabkan lansia mudah mengalami hipotensi ortostatik saat melakukan pergantian posisi (Pudjiastuti & Utomo, 2003).

5) Muskuloskeletal

a) Tulang rapuh dan kehilangan kepadatan (density).

b) Risiko terjadinya fraktur dan pada wanita risiko lebih besar.

c) Persendian besar dan menjadi kaku.

d) Pinggang, lutut, dan jari pergelangan tangan terbatas dalam bergerak.

(Bandiyah, 2009) & (Muhith, 2016).

Pada saat mengalami fase penuaan, salah satu perubahan yang terjadi berupa penurunan elastisitas pembuluh darah. Salah satunya, kekakuan aorta yang menyebabkan peningkatan tekanan sistolik dan penurunan tekanan diastolik (peningkatan tekanan diastolik hanya sampai usia 55 tahun) yang

(8)

juga menandakan bahwa hipertensi sistolik lebih sering terjadi pada lansia.

Kekakuan pembuluh darah juga akan berefek pada kerusakan jantung, ginjal, dan otak karena suplai darah yang tidak sesuai dengan kebutuhan organ (Rahmatikha, 2009). Selain itu, penurunan suplai darah pada lansia sering kali menyebabkan terjadinya kondisi hipotensi ortostatik terutama saat pergantian posisi dari duduk atau berbaring ke berdiri yang tak jarang membuat lansia ling-lung hingga pingsan. Di sisi lain, kondisi hipotensi ortostatik pada lansia dapat tercipta dari pemberian antihipertensi sehingga perlu perhatian khusus dalam hal ini, karena dapat meningkatkan terjadinya jatuh (fall) pada lansia (Raya, 2018).

2. Hipertensi a. Definisi

Pada usia lansia banyak sekali kemunduran yang dialami sehingga lebih rentan mengalami penyakit, salah satunya hipertensi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hipertensi merupakan kondisi tekanan darah atau denyut jantung yang lebih tinggi dari kondisi normal karena penyempitan pembuluh darah atau gangguan lainnya. Hipertensi atau sering disebut sebagai penyakit darah tinggi adalah kondisi peningkatan tekanan darah baik secara lambat maupun mendadak.

Seseorang dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistol menetap pada 140 mmHg atau lebih (Aagoes, 2011).

b. Klasifikasi Hipertensi

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah umur > 18 tahun menurut JNC VII, (Tuty, 2006).

JNC 7 kategori tekanan

Tekanan darah sistolik

Dan/atau Tekanan darah diastolik

Normal <120 Dan <80

Pra-hipertensi 120-139 Atau 80-89 Hipertensi

Tahap 1 140-159 Atau 90-99

Tahap 2 >/=160 Atau >/=100

(9)

Hipertensi menurut JNC VIII, (James, 2013).

1) Usia > 60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunka tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik > 150 mmHg atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg.

2) Usia < 60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg.

c. Patofisiologi

Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan berbagai mekanisme dalam prosesnya, seperti: mekanisme neural (stres, aktivitas simpatis, variasi dineural), mekanisme renal (asupan natrium tinggi dengan retensi cairan), mekanisme vaskuler (disfungsi endotel, radikal bebas, remodeling pembuluh darah), mekanisme hormonal (sistem renin, angiotensin, aldosteron) (Tanto, 2014).

Vasomotor dan medula otak adalah pengontrol pembuluh darah. Jalur saraf simpatis akan berjalan dari pusat vasomotor menuju ganglia simpatik di dada dan perut melalui sum-sum belakang. Pada fase itu, neuron preganglionik akan melepaskan asetilkolin yang menstimulasi serabut saraf postganglionik yang akan menghasilkan NE dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah (Iswahyuni, 2017).

Baik tekanan darah sistolik maupun diastolik akan mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, TDS akan meningkat progresif pada usia 70-80 tahun, dan TDD pada 50-60 tahun. Terkait dengan sistem kardiovaskuler, penebalan dinding aorta dan pembuluh darah besar akan meningkat sedangkan elastisitasnya akan menurun. Perubahan tersebut akan menyebabkan peningkatan TDS dan resistensi pada vaskuler perifer. Selain itu, sensitivitas baroreseptor juga akan mengalami penurunan yang akan menyebabkan kegagalan refleks postural sehingga hipertensi pada lansia seringkali dibarengi dengan kondisi hipotensi ortostatik (Tuty, 2006).

Selain itu, sistem renin-angiotensin juga berperan dalam kontrol tekanan darah. Renin berperan dalam pembentukan angiotensinogen menjadi angiotensin I

(10)

yang nantinya akan menjadiangiotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat.

Kemudian, peningkatan pelepasan aldosteron dari kelenjar adrenal akan menyebabkan peningkatan tekanan darah lebih lanjut diikuti dengan retensi natrium dan air (Yonata, 2016).

d. Faktor Risiko Hipertensi

Terjadinya hipertensi pada lansia tentu diikuti oleh beberapa faktor yang berperan, di antaranya:

1) Merokok

Rokok mengandung zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri yang berdampak aterosklerosis dan hipertensi. Nikotin yang terhisap akan menyebar ke pembuluh darah hingga ke otak, kemudian akan merangsang otak untuk mengaktifkan epinefrin yang berperan dalam penyempitan pembuluh darah. Merokok dua batang saja akan meningkatkan TDS dan TDD hingga 10 mmHg (Sugiharto, 2007).

2) Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol menyebabkan peningkatan kadar kortisol, peningkatan volume sel darah merah dan juga kekentalan darah yang meningkatkan tekanan darah. Selain itu, konsumsi alkohol akan merusak fungsi organ- organ tubuh seperti jantung yang tentu akan mempengaruhi distribusi darah dan tekanan darah (Sugiharto, 2007).

3) Obesitas

Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas lebih tinggi dibanding orang normal. Pada obesitas aktivitas saraf simpatis akan meningkat, selain itu pada obesitas akan meningkatkan frekuensi denyut jantung dan insulin darah. Peningkatan insulin akan menyebabkan retensi natrium dan air (Sugiharto, 2007).

4) Stres

Stres akan merangsang pelepasan hormon adrenalin dan memicu jantung berdenyut lebih cepat sehingga akan berdampak tekanan darah meningkat.

Stres juga membuat aktivitas saraf simpatis meningkat dan menyebabkan

(11)

peningkatan tekanan darah dan jika terus menerus terjadi, maka peningkatan tekanan darah akan bersifat menetap (Sugiharto, 2007).

e. Komplikasi Hipertensi

Hipertensi meyebabkan kerusakan berbagai fungsi organ, di mana kerusakan organ tersebut dapat merupakan akibat langsung dari peningkatan tekanan darah atau efek tidak langsung. Dalam beberapa penelitian, penderita hipertensi sangat rentan untuk mengalami komplikasi, bahkan di RS Kediri ditemukan hingga 62 % pasien hipertensi yang mengalami komplikasi (Titis, 2012). Komplikasi hipertensi berdasar target organnya, di antaranya:

1) Otak

Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak akibat hipertensi.

Penebalan arteri-arteri yang mengaliri otak akan menyebabkan kondisi stroke karena otak akan mengalami kekurangan distribusi darah. Selain itu, kondisi enselofati dapat terjadi karena tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan cairan masuk ke ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat (Kartikasari, 2012). Timbulnya trombus pada saluran darah otak juga dapat menyebabkan infark serebri (Noerhadi, 2008).

2) Kardiovaskuler

Kondisi hipertensi akan menyebabkan aterosklerosis ataupun pembentukan trombus pada pembuluh darah yang akan menyebabkan suplai oksigen ke miokard tidak cukup sehingga akan menyebabkan kondisi infark miokard (Kartikasari, 2012). Selain itu, kerja jantung dalam memompa darah meningkat dan akan menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri sedangkan pasokan oksigen tetap yang akhirnya menyebabkan kondisi iskemik, jika terjadi terus-menerus dan akhirnya jantung akan menurunkan daya konraksinya dan ventrikel kiri akan dilatasi sehingga akan mengalami dekompensasi jantung dan jantung koroner yang merupakan komplikasi primer dari hipertensi (Noerhadi, 2008).

3) Ginjal

(12)

Hipertensi kerusakan glomerulus yang menyebabkan berkurangnya jumlah nefron yang berfungsi baik dan hipoksia pada ginjal. Sebagian nefron yang masih aktif akan bekerja lebih keras dalam menjalankan fungsinya yang pada akhirnya menimbulkan ketidakmampuan fungsi dan menyebabkan insufisiensi dan gagal ginjal kronis. Kerusakan glomerulus menyebabkan protein keluar bersama urin karena tidak dapat direabsorbsi dengan baik (Titis, 2012) & (Noerhadi, 2008).

3. Hipotensi Ortostatik a. Definisi

Menurut (Aristantyo, 2013) Hipotensi ortostatik merupakan kondisi penurunan tekanan darah sistolik minimal 20 mmHg atau kondisi penurunan tekanan diastolik minimal 10 mmHg dalam waktu tiga menit saat posisi berdiri.

Hipotensi ortostatik merupakan masalah kesehatan yang sering ditemukan pada lansia dengan prevalensi mencapai 4% hingga 33%. Kondisi ini menjadi faktor risiko terjadinya jatuh, sinkop dan iskemia organ. Pada kondisi normal, pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi sebagai respon terhadap gravitasi saat perpindahan posisi, namun pada hipotensi ortostatik pembuluh darah tidak mampu mensuplai kecukupan aliran darah tubuh saat perpindahan posisi terutama ke berdiri sehingga terjadi penurunan tekanan darah (Nurullita, 2015).

b. Etiologi Hipotensi Ortostatik

Hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti penggunaan obat yang menyebabkan perubahan tekanan postural, seperti antihipertensi yang digunakan secara berlebihan pada lansia (Arga, 2016).

Hipotensi ortostatik juga dapat terjadi karena kondisi DM, di mana prevalensi hipotensi ortostatik pada pasien DM mencapai 8,2% sampai 43%.

Selain itu, penyebab terjadinya hipotensi ortostatik dapat dibedakan berdasar lama waktunya, yaitu akut dan kronis. Di mana, akut terdiri dari aritmia, bradikardi, krisis adrenal, infark miokard, sepsis, dan dehidrasi. Kondisi dehidrasi akan menyebabkan penurunan tekanan darah dan ditandai dengan peningkatan denyut jantung saat berganti posisi ke berdiri. Sedangkan kronis dapat berupa gangguan

(13)

psikologi seperti stres dan patologi, seperti parkinson, mielopati, dan lesi batang otak (Hidayati, 2019) & (Hapsari, 2014).

c. Diagnosis Hipotensi Ortostatik

Secara umum, dalam mendiagnosis kondisi hipotensi ortostatik diperlukan pemeriksaan terkait dengan gejala-gejala yang muncul. Gejala awal hipotensi ortostatik dapat berupa dizziness, pusing, gangguan visual dan pendengaran, fungsi kognisi melambat, sinkop yang semua itu disebabkan oleh hipoperfusi pada serebral dan retina saat melakukan pergantian posisi (Hidayati, 2019).

Kemudian kondisi hipotensi ortostatik juga dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan, di mana akan terjadi perubahan tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg dan diastolik lebih dari 10 mmHg saat pasien melakukan perubahan posisi (Budyono, 2016).

Hipotensi ortostatik dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok (Arga, 2016), di antaranya:

1) Kelompok 1 : hipotensi ortostatik positif tanpa ada gejala lainnya.

2) Kelompok 2 : hipotensi ortostatik positif disertai dengan pusing.

3) Kelompok 3 : hipotensi ortostatik positif disertai pingsan.

4) Kelompok 4 :adanya kelumpuhan karena riwayat pingsan berulang dari penderita hipotensi ortostatik.

d. Patofisiologi

Saat berdiri, kontraksi otot rangka ekstremitas bawah berperan dalam mencegah supaya aliran balik ke jantung tidak terlalu tinggi. Sedangkan pada hipotensi ortostatik, terjadi penurunan drastis curah jantung dan kontraksi otot jantung dalam menstabilkan tekanan darah yang tidak memadai (Agra, 2016).

Pada lansia terjadi penurunan sensitivitas baroreseptor dan penurunan kekuatan serta elastisitas otot-otot ekstremitas. Selain itu, pembuluh darah yang tidak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan posisi saat berdiri menyebabkan penurunan tekanan darah. Hal tersebut terjadi karena perubahan pembuluh darah dan penurunan curah jantung akibat pengumpulan darah di ekstremitas bawah saat berdiri akan mengurangi aliran darah ke otak dan menciptakan kondisi hipotensi ortostatik dengan manifestasi pusing hingga sinkop (Nurullita, 2015).

(14)

Gambar 2.1 patofisiologi hipotensi ortostatik

4. Jatuh

a. Definisi

Menurut (KBBI, 2014), jatuh adalah turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi. Jatuh merupakan kejadian tanpa sadar, di mana seseorang bergerak atau terduduk dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah yang bisa disebabkan oleh kesadaran, stroke, atau kekuatan yang berkurang (Junior, 2017). Jatuh merupakan kegagalan manusia dalam mempertahankan keseimbangan tubunya ketika berdiri (Tjokroprawiro, 2015).

b. Faktor Risiko

Terdapat beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko jatuh pada lansia, di antaranya:

1) Usia

Semakin bertambahnya usia, maka manusia akan mengalami proses degenerasi dan penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari- hari. Hal tersebut akan menyebabkan fleksibilitas mengalami penurunan yang akan meningkatkan risiko jatuh (Deniro, et al, 2017).

2) Alat bantu jalan

+ 700 ml cairan turun ke anggota tubuh bagian bawah

Aktivasi reseptor tekanan rendah & tinggi Desinhibisi central nervus system & serebrovaskuler

Penurunan aliran balik vena dan cardiac output

Peningkatan tonus simpatik

Restorasi parsial dan stroke volume, peningkatan detak Tekanan darah maintenance

(15)

Alat bantu jalan yang digunakan dalam jangka waktu lama ataupun dalam penggunaan yang tidak tepat akan menyebabkan terganggunya keseimbangan dan meningkatkan risiko terjadinya jatuh (CDC, 2014).

Pemilihan alat bantu yang tidak tepat akan memperburuk koordinasi gerak tubuh dan gaya berjalan sehingga akan meingkatkan risiko jatuh pada lansia (Darmojo, 2011).

3) Obat-obatan

Konsumsi obat-obatan tertentu, seperti diuretik akan menyebabkan seseorang lebih sering buang air kecil dan meningkatkan efek ngantuk pada penggunanya. Hal tersebut akan menurunkan kewaspadaan dalam berjalan dan memungkinkan menjadi salah satu penyebab jatuh pada lansia (Setiati, 2014).

4) Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit kronis yang diderita pasien dalam jangka waktu lama, seperti PPOK, gagal jantung, hipertensi, dan infark miokard akan menyebabkan lansia menjadi lebih mudah jatuh (Darmojo, 2009). Selain itu, sekitar 10 sampai 20 % lansia dengan riwayat hipotensi ortostatik akan memicu timbulnya risiko jatuh (Setiati, 2014).

5. Timed Up and Go Test a. Definisi

Tes Timed Up and Go (TUGT) merupakan tes keseimbangan yang umum digunakan untuk memeriksa tingkat keseimbangan pada kelompok lansia (70-84 tahun) (Sudaryanto, 2018).

TUGT merupakan tes yang digunakan untuk menilai keseimbangan statik maupun dinamik pada pasien. TUGT merupakan salah satu metode uji keseimbangan yang sering dipakai, keuntungan dari metode ini adalah alat yang dibutuhkan sederhana (kursi dan stopwatch) serta dapat secara efektif menilai tingkat keseimbangan pasien dengan menlihat mimik wajah yang ditunjukkan pasien saat tes berjalan (Farabi, 2007). Kemudian, TUGT juga dinilai sebagai salah satu metode dengan akurasi tinggi dalam menilai tingkat keseimbangan seseorang. Dalam mekanismenya, tes ini juga membagi tingkat keseimbangan

(16)

menjadi beberapa kelas sesuai keparahannya yang membuatnya menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Namun, salah satu kekurangan tes ini adalah tidak dapat menentukan lama waktu dalam setiap posisnya, seperti lama waktu duduk atau berdirinya, melainkan hanya total waktu dari awal hingga akhir pergerakan yang membuat upaya pencegahan dan pengobatan pasien menjadi kurang terfokus (Wall, 2000).

b. Komponen Penilaian

Komponen-komponen yang menjadi aspek penilaian pada tes TUG terdiri dari kempuan bangkit dari duduk, berjalan hingga jarak yang ditentukan (3 meter), kemampuan berbalik, hingga kembali ke posisi semula (duduk) yang keseluruhan komponen tersebut dihitung untuk menentukan tingkat keseimbangan yang dimiliki (Sudaryanto, 2018). Beberapa penelitian menunjukkan fase dengan tingkat jatuh tertinggi adalah saat peranjakan gerak dari duduk ke berdiri di mana biasanya pada lansia perlu adaptasi lebih bagi sirkulasi darah untuk mengalirkan cukup darah ke otak. Oleh karena itu, dalam fase tersebut diperlukan kecermatan lebih dalam mengamati mimik wajah pasien (CDC, 2017) & (Kartika, 2017).

c. Mekanisme Penilaian

Menurut (Wall, 2000) penilaian tes TUG dilakukan dengan menghitung waktu yang diperlukan pasien dari awal posisi duduk ke berdiri hingga kembali duduk lagi. Sedangkan mekanisme penilaiannya adalah, diawali dengan bangkit dari kursi dengan sandaran lengan dan punggung, berjalan hingga 3 meter dari jarak kursi (lurus ke depan), berbalik arah dan kembali menuju kursi hingga duduk kembali.

(17)

Gambar 2.2 Mekanisme TUG (Wall, 2000)

Berdasar gambar 2.1, Wall membagi tes TUG menjadi 6 bagian dengan tujuan untuk dapat mengetahui penyebab terjadinya gangguan keseimbangan yang terjadi. Enam bagian tersebut meliputi:

1) Lap 1. Duduk ke berdiri (Sit to Stand) 2) Lap 2. Persiapan berjalan (Gait Initiation) 3) Lap 3. Jalan bagian1 (Walk 1)

4) Lap 4. Berbalik arah (Turn Around) 5) Lap 5. Jalan bagian 2 (Walk 2)

6) Lap 6. Melambat, berhenti, duduk kembali (Slow down, stop, and sit down)

Sedangkan instrumen diluar tes yang diperlukan adalah lembar penilaian TUG sebagai interpretasi hasil tes dan kuisioner yang perlu diisi sebelum pelaksanaan tes TUG (Sudaryono, 2018). Terdapat beberapa kategori dalam tes TUG, di antaranya:

Tabel 2.2 Interpretasi TUG berdasar waktu (Sudaryanto, 2018)

Skor (detik) Interpretasi

< 10 Kemandirian penuh

10,1 – 29 Kemandirian dengan atau tanpa alat bantu berjalan

>30 Memerlukan bantuan sepenuhnya, ketergantungan sebagian besar aktivitas

Sedangkan menurut waktu tempuh normal yang diperlukan berdasar usia dan jenis kelamin menurut Jacob & Fox adalah:

Tabel 2.3 Waktu normal TUG (Jacob & Fox, 2008) Usia Jenis Kelamin Nilai Rata-

rata (detik)

Nilai Normal (detik)

60-69 Laki-laki 8 4-12

60-69 Perempuan 8 4-12

(18)

70-79 Laki-laki 9 3-15

70-79 Perempuan 9 5-13

80-89 Laki-laki 10 8-12

80-89 Perempuan 11 5-17

(19)

6. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran 7. Hipotesis

Hipertensi dan hipotensi ortostatik berhubungan terhadap timed up and go test pada lansia.

Teori Penuaan Faktor Penuaan:

1. Genetik 2. Nutrisi

3. Status kesehatan 4. Lingkungan 5. Pengalaman hidup 6. Stres

Lansia > 60 tahun

Perubahan & penurunan fungsi organ

Hipertensi Hipotensi ortostatik

Faktor Risiko

Gangguan Keseimbangan

Timed Up and Go Test Menilai tingkat

keseimbangan Risiko Jatuh

 Gangguan kardiovaskuler

 Memicu hipotensi ortostatik

 Gangguan mobiltas

 Komplikasi organ

Meningkatkan risiko jatuh

Pusing

Sinkop saat perubahan posisi

Hipoperfusi serebral & retina

Gambar

Gambar 2.1 patofisiologi hipotensi ortostatik
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran  7.  Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara faktor perbedaan kontruksi bubu dan jenis umpan terhadap hasil tangkapan kepiting bakau, dapat dikatakan bahwa

Refleksi adalah upaya untuk mengkaji hal yang telah terjadi yang berhasil ataupun Perencanaan Pelaksanaan Pengamatan Refleksi Perencanaan Pelaksanaan Pengamatan

Hasil penelitian menyimpukan (1) pemahaman guru tentang bencana gempabumi relatif baik dengan jawaban yang cendrung mengarah pada jawaban sangat sesuai atau dengan

Sistem Pendukung Keputusan adalah suatu sistem informasi bebasis komputer yang menghasilkan berbagai alternatif keputusan untuk membantu manajemen dalam menangani

Menurut Diana dalam Rosi, dkk (2012) konsumen yang tidak puas biasanya memiliki kecenderungan untuk berpindah ke merek lain yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Jika

Berdasarkan hal tersebut maka dapat di- simpulkan bahwa Komite Sekolah SD Negeri Sukomarto dalam peran dan fungsinya sebagai badan penghubung di SD Negeri Sukomarto,

Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Boyolali, 2015 Population Aged 15 Years and Over Who Worked During the Previous Week by