viii ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah “MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU : 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT KARYA ROB VAN KESSEL”. Judul ini dipilih oleh penulis bertitik tolak dari pantauan di lapangan bahwa masih banyak para pemuka jemaat kita yang kurang memahami secara utuh dari alur organisasi, hak dan tugas dalam melayani umat. Dengan kurangnya memahami hal tersebut maka pendampingan dan pelayanan terhadap umat juga menjadi kurang maksimal.
Isi dari buku ini mau membantu kita para pemuka jemaat baik itu katekis, prodiakon, serta perangkat pendukung lainnya untuk semakin memahami tugas dalam pendampingan dan pelayanan terhadap umat, baik itu didalam komunitas, kelompok kecil dan pribadi sekalipun. Di dalamnya disajikan enam butir pokok bahasan tentang pembangunan jemaat. Dasarnya adalah mukjizat Yesus yang pertama pada pesta perkawinan di Kana, ketika Ia mengubah air menjadi anggur dalam enam tempayan. Kita sebagai jemaat Allah hanya mampu menyediakan tempayan dan air, sementara yang mampu mengubah menjadi anggur adalah rahmat Allah. Keenam butir berikut melambangkan keenam tempayan itu: Keberadaan manusia dan identitas kristiani; Kehidupan dan kematian dengan penekanan pada arti pelayanan kepada kehidupan; Pertemuan dengan Allah sebagai dasar hidup manusia menjadi masalah bagi manusia dewasa ini; Tindak komunikatif: semua orang terlibat secara bebas dan sederajat; Arti Gereja dan hubungan Gereja dengan negara (Gereja orang miskin dan hak orang miskin); Kegiatan pokok jemaat paroki sebagai perwujudan gereja universal.
ix ABSTRACT
This thesis entitled “FATHOMING COMMUNITY BUILDING FROM THE BOOK: 6 JARS OF WATER CORES OF COMMUNITY BUILDING BY ROB VAN KESSEL”. This title is chosen by the author based on the observation on the field that there are still many of our leaders who less understand the purpose of organizing, also rights and duties in serving people. With of the lack of understanding that the guidance and services to the people become less maximum.
This book’s contents is helping for the leaders, which are catechists, prodeacons, and also any other leaders to be more understanding the duties in guiding and serving people, which in a community, a small group, and personally. This book contains six subject points of community building. It is based on Jesus’ first deed at wedding party in Cana, while He transforming water into wine in 6 jars. We are, as the people of God only be able to provide the jars and water, meanwhile Grace of God is the one which be able to change it into wine. These six points symbolize those six jars: Human existance and christian identity; Life and death with emphasis in the meaning of services for life; Meeting with God as the life principal of human beings become problem on this day; Communicative act: everyone involved equal and free; The meaning of the Church and its relationship with the nations (The Church of the poor and the rights of the poor); Main activity of the parishian as a manifestation of universal church.
MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU:
" 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT " KARYA ROB VAN KESSEL
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Nyabang Sudaryanto NIM: 101124037
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU:
" 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT " KARYA ROB VAN KESSEL
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Nyabang Sudaryanto NIM: 101124037
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
ii SKRIPSI
MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU :
" 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT ", KARYA ROB VAN KESSEL
Oleh :
Nyabang Sudaryanto
Nim : 101124037
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing
iii SKRIPSI
MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU :
" 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT ", KARYA ROB VAN KESSEL
Dipersiapkan dan ditulis oleh
Nyabang Sudaryanto
Nim : 101124037
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
Pada tanggal 23 September 2016
dan dinyatakan memenuhi syarat
SUSUNAN PANITIA PENGUJI
Nama Tanda tangan
Ketua : Drs. F. X. Heryatno Wono Wulung, SJ, M.Ed. . . .
Sekretaris : Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd. . . .
Anggota : 1. Dr. C. Putranto, SJ. . . .
2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ. . . .
3. Drs. F. X. Heryatno Wono Wulung, SJ, M.Ed. . . .
Yogyakarta, 23 September 2016
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada
Tuhan Yesus Kristus, Sang Juru Selamatku
Kedua orang tuaku tercinta : Bapak Ambrosius Nyurung
dan Alm. Ibu Indah Ruminingsih S.Ag
Saudaraku : Agita Ajeng Puspa Ningrum
Tanteku : Dwi Conny Setya S.Ag
sahabatku : De'Kill dan Angkatan 2010
Kalian adalah alasanku untuk tetap bertahan dan terus berjuang sampai saai ini.
teman-teman seperjuanganku, para pewarta kabar gembira, dan semua pihak yang
telah ikut membantu, dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk
berkembang selama menjalani proses pendidikan hingga selesai di Program Studi
Pendidikan Agama Katolik
Universitas Sanata Dharma
v MOTTO
" Tidak perlu baik untuk sesuatu yang baik, karena sesuatu yang baik tidak harus
berasal dari sesuatu yang baik "
( Dheva )
" Kasih sayang tanpa kekuatan adalah kelemahan, kekuatan tanpa kasih sayang
adalah kezaliman "
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 Agustus 2016
Penulis
vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Sanata Dharma :
Nama : Nyabang sudaryanto
Nomor Mahasiswa : 101124037
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan
Unuversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
“MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU : 6 TEMPAYAN
AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT KARYA ROB VAN
KESSEL”, beserta perangkat yang diperlukan.
Demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak
untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam
bentuk perangkat data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di
internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari
saya maupun memberikan royalti selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 24 Agustus 2016
Yang menyatakan
viii ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah “MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU : 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT KARYA ROB VAN KESSEL”. Judul ini dipilih oleh penulis bertitik tolak dari pantauan di lapangan bahwa masih banyak para pemuka jemaat kita yang kurang memahami secara utuh dari alur organisasi, hak dan tugas dalam melayani umat. Dengan kurangnya memahami hal tersebut maka pendampingan dan pelayanan terhadap umat juga menjadi kurang maksimal.
Isi dari buku ini mau membantu kita para pemuka jemaat baik itu katekis, prodiakon, serta perangkat pendukung lainnya untuk semakin memahami tugas dalam pendampingan dan pelayanan terhadap umat, baik itu didalam komunitas, kelompok kecil dan pribadi sekalipun. Di dalamnya disajikan enam butir pokok bahasan tentang pembangunan jemaat. Dasarnya adalah mukjizat Yesus yang pertama pada pesta perkawinan di Kana, ketika Ia mengubah air menjadi anggur dalam enam tempayan. Kita sebagai jemaat Allah hanya mampu menyediakan tempayan dan air, sementara yang mampu mengubah menjadi anggur adalah rahmat Allah. Keenam butir berikut melambangkan keenam tempayan itu: Keberadaan manusia dan identitas kristiani; Kehidupan dan kematian dengan penekanan pada arti pelayanan kepada kehidupan; Pertemuan dengan Allah sebagai dasar hidup manusia menjadi masalah bagi manusia dewasa ini; Tindak komunikatif: semua orang terlibat secara bebas dan sederajat; Arti Gereja dan hubungan Gereja dengan negara (Gereja orang miskin dan hak orang miskin); Kegiatan pokok jemaat paroki sebagai perwujudan gereja universal.
ix ABSTRACT
This thesis entitled “FATHOMING COMMUNITY BUILDING FROM THE BOOK: 6 JARS OF WATER CORES OF COMMUNITY BUILDING BY ROB VAN KESSEL”. This title is chosen by the author based on the observation on the field that there are still many of our leaders who less understand the purpose of organizing, also rights and duties in serving people. With of the lack of understanding that the guidance and services to the people become less maximum.
This book‟s contents is helping for the leaders, which are catechists, prodeacons, and also any other leaders to be more understanding the duties in guiding and serving people, which in a community, a small group, and personally. This book contains six subject points of community building. It is based on Jesus‟ first deed at wedding party in Cana, while He transforming water into wine in 6 jars. We are, as the people of God only be able to provide the jars and water, meanwhile Grace of God is the one which be able to change it into wine. These six points symbolize those six jars: Human existance and christian identity; Life and death with emphasis in the meaning of services for life; Meeting with God as the life principal of human beings become problem on this day; Communicative act: everyone involved equal and free; The meaning of the Church and its relationship with the nations (The Church of the poor and the rights of the poor); Main activity of the parishian as a manifestation of universal church.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah karena kasih karunia dan bimbingan-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun dalam
rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Studi Ilmu
Pendidikan Kekhusan Pendidikan Agama Katolik.
Adapun judul skripsi ini adalah MENDALAMI PEMBANGUNAN
JEMAAT DARI BUKU : 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT KARYA ROB VAN KESSEL. Diwarnai dengan berbagai macam hal baik itu yang menghambat maupun yang memperlancar, serta
dorongan dari berabagai pihak secara langsung maupun tidak, dengan semua
proses ini akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu atas kerjasama yang baik hingga terselesaikannya
penuisan skripsi ini, dengan rendah hati penulis menghaturkan terima kasih
kepada :
1. Segenap staf Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan PAK-USD,
yang telah mendidik dan mendampingi selama proses belajar, khususnya
dalam penyusunan skripsi ini.
2. Dr. C. Putranto, SJ sebagai Pembimbing Akademik dan Dosen
Pembimbing Skripsi yang telah mendampingi dan membimbing dengan
penuh kesabaran dan ketekunan dalam penuliusan skripsi ini.
3. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, sebagai dosen penguji II yang telah
memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan dalam penulisan skripsi
ini. Serta selalu membantu dalam berbagai kesulitan yang dihadapi oleh
penulis.
4. Drs. FX. Heryatno Wonowulung SJ,. M.Ed., sebagai dosen penguji III
yang telah memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan selama
penulisan skripsi ini. Serta memberikan berbagai kemudahan dalam proses
xi
5. Bapak, Alm. Ibu, adikku yag setia dan penuh cinta mendampingi serta
memberikan semangat dalam menyelesaikan studi di PAK-USD ini.
6. Veronica Demitia Sandhy Parestu yang selalu mendampingi dan menjadi
penyemangat bagi penulis selama penyelesaian skripsi ini.
7. Anselma Fidelia Aji Susanti Windarwanti yang menjadi penyemangat dan
motovasi bagi penulis selama penyelesaian skripsi ini.
8. Teman-teman De‟Kill 2010 yang selalu menjadi motivasi bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Teman-teman 2010 yang menjadi keluarga besar bagi penulis dan selalu
menjadi penyemangat bagi penulis.
10.Teman-teman Club Petarung Bebas Yogyakarta yang selalu menjadi
motivasi dan penyemangat bagi penulis dalam menyelsaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih cukup jauh dari sempurna
sehingga masih memerlukan banyak kritik dan saran yang membangun dimasa
depan guna perbaikan yang lebih baik bagi skripsi ini. Akhirnya penulis berharap
agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pelayan umat dimana pun berada karena
kontribusinya sebagai pewarta kabar gembira dan menjadi teladan bagi umat
dalam kehidupan sehari-hari.
Yogyakarta, 24 Agustus 2016
Penulis
xii DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penulisan ... 1
B. Upaya Menanggulangi ... 6
BAB II. PENGHAYATAN KENYATAAN, PENEBUSAN DAN PEMBEBASAN ... 9
A. Penghayatan Kenyataan ... 9
1. Cara Keberadaan Kita ... 9
2. Proses Sekularisasi ... 10
3. Teologi ... 12
a. Komponen yang Pertama adalah Teologi Dialektis ... 12
b. Komponen yang Kedua adalah Personalitas yang berasal dari Filsafat Eksistensi ... 13
c. Komponen yang Ketiga adalah Teologi Harapan ... 13
4. Etik ... 14
5. Pembangunan Jemaat ... 18
B. Penebusan dan Pembebasan ... 19
1. Hidup dan Kematian ... 19
xiii
3. Ibadat Liturgi ... 22
4. Pelayan Pemeliharaan, Perjuangan, Pengampunan ... 23
5. Pembangunan Jemaat ... 25
BAB III. ALLAH, PEWAHYUAN DAN KOMUNIKASI IMAN ... 27
A. ALLAH ... 27
1. Gambaran-gambaran Allah ... 27
2. Analisis Penelitian ... 29
3. Dilema ... 29
4. Perjumpaan dengan Allah ... 31
5. Pembangunan Jemaat ... 32
B. Pewahyuan dan Komunikasi Iman ... 33
1. Bertindak Strategis dan Bertindak Komunikatif ... 33
2. Tiga Alur Komunikasi ... 34
3. Iman di Alur Kebenaran ... 37
4. Iman di Alur Etik ... 37
5. Iman di Alur Kesungguhan ... 39
6. Pembangunan Jemaat ... 43
BAB IV. GEREJA DAN MASYARAKAT, FUNGSI DAN JABATAN ... 47
A. Gereja dan Masyarakat ... 47
1. Eklesiologi ... 47
2. Kerajaan Allah dan Umat Allah ... 47
3. Gereja dalam Proses Sekularisasi ... 50
4. Gereja dan Masyarakat Pasar ... 52
5. Gereja Orang Miskin ... 55
B. FUNGSI DAN JABATAN ... 56
1. Kehadiran Kristus ... 56
2. Fungsi dan Jabatan ... 58
3. Motif ... 62
BAB V. USULAN PROGRAM ... 64
A. Pemikiran Dasar Pendampingan ... 64
xiv
2. Alasan diadakannya Pendampingan ... 65
3. Tujuan Pendampingan ... 66
4. Pemilihan Materi dan Pertimbangannya ... 66
B. Program Pendampingan Prodiakon ... 67
1. Pemikiran Dasar Program ... 67
2. Program Pendampingan Prodiakon ... 69
C. Kumpulan Satuan Pendampingan ... 73
1. Satuan Pendampingan I ... 73
2. Satuan Pendampingan II ... 86
3. Satuan Pendampingan III ... 94
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 109
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 109
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Dalam kehidupan Gereja dan dalam Teologi Praktis istilah Pembangunan
Jemaat merupakan pengertian yang isinya padat. Isi itu sendiri berasal dari
harapan-harapan jemaat sendiri. Umat Kristiani dewasa ini ditantang serta
diancam oleh proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat, seperti
modrenisasi dan sekularisasi. Umat kristiani ditantang untuk berpartisipasi kreatif
dalam perkembangan zaman, tetapi umat juga mengalami efek-efek negatifnya.
Pembangunan Jemaat menawarkan berbagai macam-macam usaha yang
diharapkan dapat menanggani proses tersebut dengan tepat. Pembangunan Jemaat
ingin menyediakan program yang menginspirasikan sebuah harapan. Tujuan
sentral yang digambarkan dalam penjelasan tentang Pembangunan Jemaat disebut
vitalisasi karena fokusnya pada kehidupan yang baru, pemancaran yang baru, dan
daya tarik yang baru. Pembangunan Jemaat mau ikut membangun Gereja dimana
orang dengan semangat yang baru mau berdiam dan bekerja.
Harapan-harapan itu mempunyai dasar yang dalam. Banyak orang
mengalami transisi yang terjadi dalam Gereja dan masyarakat. Mereka merasa
gelisah dan kurang aman. Di satu pihak, semakin banyak orang beriman
menyadari kesulitan gereja-gereja yang berada dalam situasi di mana rupanya
bahwa Gereja tidak perlu sebagai institusi, bahwa cukuplah apabila manusia
berpedoman pada iman, harapan dan cinta kasih sebagai anugrah dari Allah.
Tugas dari Pembanguan Jemaat tidak hanya dipegang oleh para klerus,
melainkan juga dipegang oleh semua warga Gereja. Warga Gereja merupakan
bagian tidak terpisahkan dari keanggotaan gereja. Dimana warga Gereja memiliki
ciri, sifat, perkembangan, dan mengalami langsung semua proses yang terjadi
sebagai anggota dari warga Gereja. Di mana ada keyakinan bahwa ke depan
Gereja dengan anugrah Allah yang terletak pada tangan kita, manusia, dan bahwa
Pembanguna Gereja tergantung pada tanggung jawab dan jerih payah kita.
Warga Gereja termasuk di Paroki Santa Perawan Maria diangkat ke Surga
Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi pada saat ini sedang masuk kedalam taraf
pembenahan dan pendewasaan. Di mana sebagai anggota Gereja yang luas
terkadang mengalami krisis atau persoalan-persoalan yang cukup berat. Krisis
yang seperti ini biasa terjadi karena adanya sebab akibat yang tentunya fatal bagi
warga Gereja itu sendiri.
Warga Gereja di Paroki Santa Perawan Maria dingkat ke Surga juga
mengalami banyak krisis dalam pertumbuhan dan perkembangannya sebagai
anggota Gereja. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi, antara lain kurangnya
perhatian dari Gereja, Pastor Paroki, dan juga masyarakat sekitar. Sedangkan
persoalan yang menuntut perhatian lebih saat ini adalah pola berpikir yang masih
kaku, pembedaan perlakuan, keinginan untuk mendapatkan yang terbaik, yang
terbaik yang dimaksud misalnya, pendapat yang harus didengar, berusaha
mendapatkan peluang-peluang dan posisi-posisi yang strategis didalam
manakala anggota Gereja sendiri belum memiliki kesadaran untuk berperan secara
penuh dalam melaksanakan perannya seebagai anggota Gereja.
Berbagai kegiatan keagamaan yang ada di paroki dan diikuti hanya
sebagai tameng dan penunjang aktivitas yang tentunya menjadi kebutuhan
sekunder. Dalam berkegiatan juga tidak jarang orang berpikir untuk
mempertimbangkan jarak, waktu dan estimasi biaya yang dikeluarkan. hal ini
yang sering kali menjadi penghambat dari pembangunan jemaat itu sendiri.
Seperti di Paroki Santa Perawan Maria di Angkat ke Surga, masih sedikit
sekali pemahaman akan keanggotaanya dalam Gereja. Bisa dilihat dalam kegiatan
yang ada. Misalnya dalam koor, di mana ini menjadi tanggung jawab dari seluruh
jemaat stasi, wilayah, ataupun lingkungan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
masih banyak jemaat yang tidak ambil bagian didalamnya. Contoh lainnya adalah
kegiatan doa lingkungan, dimana hanya sebagian kecil jemaat yang ambil bagian
didalamnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini, biasanya adalah
tempat dimana kegiatan doa ini dilaksanakan, konsumsi apa yang akan diberikan,
hal mendasar seperti ini yang bisanya terjadi.
Hal lain yang mungkin lebih serius adalah bagaimana perhatian dari pastor
di Paroki yang bersangkutan. Terkadang perhatian yang diberikan oleh para klerus
dirasakan kurang merasa terhadap seluruh anggota jemaatnya di tempat itu.
Membuat jemaat terkadang merasa malas dalam berperan dan ambil bagian dalam
berbagai kegiatan yang ada di paroki tersebut. Juga adanya berbagai kesibukan
yang dilakukan oleh jemaat membuat hubungan antara jemaat dan para klerus
kebutuhan ekonomi yang cukup tinggi membuat sisi kehidupan rohani jemaat
terabaikan.
Dalam sebuah proses memang demikian adanya, hal yang harus diingat
dan harus selalu diingat adalah mereka harapan. Harapan Gereja di masa sekarang
dan masa depan. Mereka tulang punggung Gereja dan masyarakat, oleh karena itu
sangat diperlukan pendampingan terhadap mereka, siapa saja. Pendampingan juga
harus sungguh-sungguh agar tercapai suatu pendewasaan iman sehingga mampu
bertanggung jawab penuh dalam tugas-tugas dan perutusan Gereja. Salah satu
yang bisa ditempuh adalah dengan pendampingan iman yang nantinya akan
bermuara pada Pembangunan jemaat yang baik dan berhasil. Pendampingan iman
merupakan salah satu bentuk pelayanan bagi perkembangan iman Kristiani,
sebagai salah satu usaha untuk menemani orang lain atau kelompok agar iman
akan Kristus sungguh-sungguh akan tumbuh. Tidak hanya tumbuh tetapi juga
dapat berkembang guna wujud nyata perbuatan dalam rangka menyongsong masa
depan. Jemaat harus didampingi dengan cara peningkatan pendampingan,
misalnya melalui katekese. Dengan ketekese diharapkan dapat memberikan
pengaruh lebih besar kepada jemaat, juga melalui kegiatan katekese semua orang
beriman baik secara pribadi maupun bersama dapat menghayati iman dalam
situasi konkret. Dan jemaat bisa berkembang menajadi manusia kristiani.
Bertolak dari hal ini penulis ingin mengajukan suatu sumbangan
pemikiran bagi usaha peningkatan pendampingan jemaat, yang bertujuan untuk
Pembangunan Jemaat. Sebagai upaya menanggulagi saya meringkas sebuah buku
dengan maksud mecari inspirasi agar bisa melakukan pendampingan
Pembangunan Jemaat” karangan karya Rob Van Kessel, demikian buku ini
seterusnya menjadi acuan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis mengambil dan menjadikan buku ini menjadi acuan penulis
dikarenakan Prof. Dr. Rob Van Kessel adalah orang yang ahli dibidangnya. Prof.
Dr. Rob Van Kessel lahir 1929 di Jakarta, menjadi profesor dalam teologi Praktis
di Universitas Utrecht. Beliau menuliskan refleksi teologis yang cukup
fundamental bagi Pembangunan Jemaat. Sudah ada banyak literatur mengenai
iman dan gereja yang juga mengenai problem-problem pastoral. Pembangunan
Jemaat pun lama-kelamaan tidak asing lagi sebagai vak yang membekali para
petugas pastoral, baik imam, pendeta, maupun awam.
Rob Van Kessel ingin bertolak dari teologi modern dan makin lama
mengkhususkan diri pada Pembangunan Jemaat. Beliau mencoba membangun
kader serta memberikan perspektif teologis normatif bagi Pembangunan Jemaat
dalam konteks masyarakat masa kini. Tidak disangkal lagi bahwa konteks
masyarakat di banyak negara dunia ketiga terkena oleh modernitas sebagai kultur
baru. Di Indonesia kesadaran akan hal itu semakin kuat.
Mungkin upaya Rob Van Kessel ini bagi kalangan pembaca tertentu
terkesan terlalu idealistis, terlalu radikal, atau terlalu abstrak. Namun, Rob Van
Kessel mengharapkan supaya buku ini dapat memberi inspirasi untuk bertolak
dari iman yang mendalam dan berkerja demi gereja yang vital dan yang
betul-betul bersifat kristiani. Demikian sedikit tentang biografi Prof. Dr. Rob Van
Kessel yang memang dalam hidupnya mendedikasikan diri untuk pembangunan
Jemaat. Oleh dasar itulah penulis menjadikan buku karya Rob Van Kessel ini
B. Upaya Menanggulagi
Saya meringkas sebuah buku dengan maksud mecari inspirasi agar bisa
melakukan pendampingan pembangunan jemaat dari buku berjudul " 6 Tempayan
Air Pokok-pokok Pembangunan Jemaat ”.
Buku Rob Van Kessel menunjukkan kepada kita bahwa Pembangunan
Jemaat masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Buku ini ditulis khusus
bagi para Pembangun Jemaat. Dengan menunjukan dan menjelaskan butir yang
penting bagi pembangunan Jemaat.
Pembangunan Jemaat salah satu kunci sukses untuk bisa menyatukan
seluruh warga Gereja. Adanya pembanguan jemaat bisa membantu kinerja dari
semua pihak, ini juga akan berjalan dengan baik apabila ada dukungan dari semua
unsur Gereja yang ada. Pembangunan Jemaat adalah suatu proses dimana ini masa
yang menentukan perkembangan hidup manusia dalam berbagai aspek yaitu fisik,
intelektual, emosional, sosial dan juga spiritual. Aspek ini harus dikembangkan
dengan baik demi terwujudnya Pembangunan Jemaat yang baik.
Berkaitan dengan kehidupan Gereja yang kita bicarakan adalah
keberadaan manusia dan menanyakan dimanakah letak identitas kristiani kita
didalamnya. Apakah manusia mengalami kehadiran Allah dalam keadaan dunia
yang harus diterima saja atau dalam kebebasan yang tentunya bertanggung jawab
atas dunia ini. Apakah kita akan akan beranjak dari tanggung jawab itu dan
membiarkannya menjadi mati. Buku ini mengajak dan menunjukkan bahwa kita
bisa memilih untuk hidup dengan bertanggung jawab penuh atasnya.
Berbagai alasan sering muncul mengapa anggota gereja sekarang ini
saya melihat adanya budaya sungkan yang berlebihan dari semua anggota Gereja,
dimana orang menjadi tidak peduli karena alasan yang sangat mendasar yaitu
tidak enak. Di sisi lain juga ada yang bertabrakan dengan waktu, masih ada
pekerjaan, dan masih banyak yang lainnya. Padahal hidup sebagai anggota gereja
berarti bisa dan harus ambil bagian didalamnya. Maka dengan demikian baru akan
tampaklah iman di dalam kehidupan sehari-hari yang diwujudkan kepada sesama
yang berada di sekitar kita.
Melihat banyaknya masalah yang belum terpecahkan dan teratsi maka Rob
Van Kessel lewat buku ini berusaha memberikan solusi kepada jemaat dan
seluruh anggota Gereja, khususnya para Pembangun Jemaat untuk bisa melakukan
pendampingan kepada seluruh anggota Gereja guna terwujudnya Pembangunan
Jemaat yang baik. Secara khusus ini terlihat bagaimana maju dan mundurnya
Gereja tidak akan terlepas dari kreatifitas dan tanggung jawab warga Gereja
BAB II
PENGHAYATAN KENYATAAN, PENEBUSAN DAN PEMBEBASAN
A. Penghayatan Kenyataan 1. Cara Keberadaan Kita
Segala yang hidup ditempatkan dan menempatkan diri dalam ruang dan
waktu. Manusia di dalam menempatkan diri terjadi dengan kesadaran, secara
berbeda-beda dan dalam hubungan timbal-balik antara pengalaman dan pilihan;
antara pengamatan dan penentuan diri. Dengan pasti kita selalu akan ditempatkan,
berulang-ulang di tengah-tengah yang sudah ada dan yang tidak kita pilih. Fakta
tidak bisa kita lawan dengan berbagai macam cara. Lingkungan yang di dalamnya
terdapat fakta yang menentukan kita dan yang tidak kita pilih.
Kita dapat memilih sesuka hati kita, tetapi dengan kebebasan dan
kebebasan itu pun bersyarat karena kemungkinan untuk kita memilih juga terbatas
dan yang kita pilih itu tidaklah sempurna. Ada batasan yang kita kenal sebagai
ruang dan waktu. Ruang mempunyai bermacam-macam wujud. Contoh dari ruang
adalah alam, dunia, situasi. Ruang adalah kesatuan dalam keanekaragaman. Dan
ruang sendiri mempunyai mempunyai berbagai macam fakta yang saling
berkaitan. Semuanya itu kita kenal sebagai hukum dan struktur.
Dimensi ruang sendiri dilintasi oleh dimensi waktu. Waktu ialah aliran
perubahan yang terus-menerus terjadi dalam ruang, dari masa lalu melewati masa
kini dan akan berjalan menuju masa depan. Fakta selalu berulang di setiap waktu.
yaitu siang dan malam, musim hujan dan musim kering, dan yang paling utama
kelahiran, kedewasaan dan kematian. Meskipun demikian, struktur dalam ruang
dan siklus itu tidak bersifat mutlak dan memungkinkan untuk mempengaruhi,
dengan cara mengubahnya. Kalau manusia memperoleh pengertian mengenai
ruang dan waktu maka ia dapat mengendalikan proses tersebut ke arah tujuan
yang ditentukannya. Dengan kata lain manusia membuat dunia kita, situasi kita,
dan sejarah diri sendiri. Dan kita juga bertanggungjawab atas perbuatan kita yang
baik dan buruk.
Kenyataan oleh orang Kristiani disebut Allah. Dalam pengalaman dan
pendapat tentang pengalaman itu, orang beriman berkaitan juga dengan Gereja
dan dimotivasikan untuk berpartisipasi dalam kehidupan Gereja.
KEHARUSAN KEBEBASAN
RUANG Tata & tatanan (yang sudah
ada/ ditentukan)
Struktur (yang dapat diubah)
WAKTU Perputaran/ siklus (menurut tata
alam)
Proses (yang dapat
dikendalikan)
Dapat dikatakan bahwa orang yang mengalami bahwa keberadaan mereka
akhirnya dikendalikan oleh keharusan, oleh nasib, oleh fakta yang sudah
ditentukanterlebih dahulu akan mengalami ruang serta waktu sebagai peraturan/
tatanan dan perputaran/siklus. Sedangkan mereka akhirnya menyadari diri sebagai
manusia dalam kebebasan serta tanggungjawab akan memahami ruang serta
waktu tertutama sebagai struktur dan proses.
Dalam kesepakatan biblis kristiani menganai perjanjian, pembebasan, dan
harapan akan kedatangan Kerajaan Allah, maka dalam bidang pengalaman kedua
(pembebasan) secara tuntas menerangkan siapakah Allah Abraham, Ishak dan
Yakub. Di dalam Kitab Suci pengakuan Allah sebagai pencipta tidak primer.
Yang primer adalah pengalaman dengan Allah yang mengasihi manusia dan Allah
yang membebaskan dan menyelamatkan. Dalam misteri Kristus, kematian
dikalahkan. Jika demikian, makan bukan nasib, bukan pengalaman alamiah,
bukan pengalaman perbatasan, serta pengalaman tentang jalan hidup manusialah
yang terutama berbicara tentang Allah, melainkan pengalaman tentang harapan
dan kasih yang membebaskan.
Tidak mungkin meringkas refleksi dan argumentasi teologis di sini. Tetapi
yang mempunyai mata, telinga, dan hati terhadap apa yang dikatakan orang
tentang Keterakhiran, mereka akan memahami dan mengenali perbedaan antara
keharusan dan kebebasan di dalam banyak pendapat dan pengungkapan yang
kadang-kadang sangat nyata. Dalam iman banyak umat, pola keharusan sangat
menonjol, namum pola itu ternyata sering disilangkan oleh unsur-unsur dari pola
pembebasan. Keterkaitan Allah dengan hati dan suara batin, yaitu dengan
kebebasan manusia, sangat berakar dalam tradisi kristiani umat beriman. Menurut
Rob Van Kessel proses sekularisasi adalah proses dimana manusia semakin tepat
untuk memahami dunia ruang dan waktu mereka sebagai tempat yang ditentukan
terlebih dahulu untuk diciptakan kembali. Proses ini sudah dimulai jauh sebelum
perhitungan tahun masehi ketika manusia mulai menguasi dunia melalui
pertanian, pertukangan dan pembangunan kota. Juga beberapa abad sebelum
Akan tetapi terdapat banyak ambiguitas (dua pengertian). Ambiguitas ini
terdapat dalam tradisi pewartaan gerejawi dan dalam teologi. Khususnya tampak
dalam pewartaan dan teologi mencari makna dan arah kebebasan dan tanggung
jawab dan juga sekaligus atas nama Allah untuk mencari makna kejahatan konkret
yang tidak dapat dikalahkan dan tidak dapat dihindari. Dalam proses sekularisasi,
manusia semakin tetap mulai memahami dunia ruang dan waktu mereka sebagai
tempat yang ditentukan terlebih dahulu untuk diciptakan kembali. Ini dapat
diartikan kembali, bumi ini sebagai tenpat yang kacau oleh manusia ditata
kembali untuk dijadikan alam semesta yang tertata. Maka manusia harus
mengubahnya menjadi dunia yang bermakna dan dapat dijadikan tempat tinggal.
Proses ini dimulai sejak zaman purba, manusia mulai menguasai dunia melalui
pertanian, pertukangan dan sekarang adalah pembangunan kota. Hal ini
diwariskan kepada kita, seperti yang terdapat di dalam Kitab Perjanjian
Lamatentang manusia sebagai Citra Allah yang dipanggil untuk menaklukkan
alam dan membawa kepada tujuan yang diimpikan manusia. Kesadaran ini terus
bertumbuh dalam teologi Kristiani abad pertengahan dan merambat ke Renaisans,
Humanisme, dan Pencerahan. Namun, manusia tidak mengambil peran utama
dalam penghayatan diri, sehingga ambiguitas tetap ada dalam sejarah. Proses
sekularisasi dalam arti positif seolah-olah menjadi barang mewah bagi kalangan
budayawan yang merupakan golongan orang atas. Tetapi bagi orang yang
tertawan oleh perjuangan demi mencari uang untuk hidup sehari-hari. Proses
sekularisasi ini membatasi diri pada orang yang mempunyai kuasa untuk
mewujudkan masyarakat lewat kepemimpinan, ekonomi, sosial dan politik.
memanggil kita untuk mengembangkan diri sesuai dengan identitas kita, yaitu
sebagai manusia yang bebas dan bertanggungjawab atas hidup dalam ruang dan
waktu.
3. Teologi
Kesadaran akan identitas ini menjadi ciri teologi modern, yaitu Allah mau
dipahami sebagai Yang imanen (berada dalam kesadaran atau dalam akal budi).
Allahlah yang mewajibkan kita secara mutlak dan tanpa syarat untuk memilihi
pembebasan dan tanggung jawab atas dunia dan sejarah. Di dalam teologi politis,
orang berpikir tentang Allah kita tetapi dengan berbagai macam tekanan. Orang
berbicara tentang Allah kita dalam berbagai macam bentuk teologi kemerdekaan.
Dalam hal ini pembangunan jemaat mau dilihat dalam konteks teologi yang
memerdekakan, dimana orang tidak lagi ingin merasa berada dalam tekanan tetapi
merasakan suatu kebebasan.
Komponen-komponen Historisnya ada dua, sebagai berikut:
a. Komponen yang pertama adalah teologi dialektis.
Disebut demikian karena mempertemukan antara religi dan agama yang
akan diolah. Di dalamnya mempertentangkan pendapat antara ilahi-sakral
mengenai fakta-fakta yang seakan-anak ditentukan terlebih dahulu secara alamiah,
dengan pengabdian kepada Allah, sebagaimana allah telah mewahyukan diri
dalam diri Yesus Kristus. Muncullah peperangan Allah yang benar yang
mengasihi manusia melawan ilah-ilah yang membelenggu manusia. Dalam
konteks ini, Gereja yang vital adalah Gereja yang dapat menemukan ilah-ilah di
b. Komponen yang kedua adalah personalitas yang berasal dari filsafat eksistensi.
Ini merupakan jiwa pembaruan Gereja Katolik sebelum, selama, dan
sesudah konsili Vatikan II. Teologi ini lebih menekankan pada arti unik setiap
manusia sebagai subjek di hadapan Allah dan dalam relasinya dengan sesama
manusia. Menjadi manusia berarti mewujudkan diri sambil memilih yaitu memilih
orang yang mengajak dan menantang kita serta mengembalikan kita kepada diri
kita sendiri dalam paguyuban, perjanjian, dialog, pertanggungjawaban dan kasih.
Gereja yang vital dalam konteks ini adalah jemaat beriman yang terdapat orang,
berdasarkan hubungan yang sama dengan Allah yaitu saling memberi diri dan
saling menerima. Komunikasi itu terjadi dalam kesetimbalan yang terus-menerus
antara kata dan jawaban, antara pelayanan dan balasan.
c. Komponen yang ketiga adalah teologi harapan.
Teologi ini lahir di tahun enam puluhan, ketika orang sadar akan
ketidakhadiran Allah dalam kesenangan kesengsaraan di Dunia Ketiga yang
semakin bertambah, di dalam ancaman perang, dan pengrusakan lingkungan.
Teologi ini mencari jawaban atas hilangnya makna hidup di tengah-tengah
keadaan dunia moderan yang tidak jelas. Gereja yang vital adalah jemaat beriman
yang dalam masa yang gelap dewasa ini memelihara dan melestarikan makna
hidup serta impian kebebasan lewat usaha untuk mewujudkan kemanusiaan yang
benar di dunia ini sekarang.
Dapat dikatakan bahwa ketiga pembaruan spiritual yang terjadi dalam
teologi pembebasan. Ketiganya merupakan aliran yang mengkritik kenyataan
moderen secara tajam, namun dalam prinsipnya menyetujui inti pokok proses
sekularisasi sebagai kristiani. Teologi masa kini cenderung mencoba mengolah
kritik itu di dalam pandangan-pandangan tindak-tanduk. Politik di sini berarti
bahwa ruang dan waktu, dunia serta sejarah dimengerti sebagai totalitas yang
terdiri atas struktur-struktur dan proses yang harus dan dapat diubah secara
berulang-ulang menuju janji Allah dan maksud Allah dengan manusia. Gereja
yang vital menurut konteks ini adalah, jemaat beriman yang melihat secara nyata,
dengan berani, dan dengan memahami kenyataan, tanpa pamrih mengikuti Yesus.
Kemudian secara nyata berusaha dan berjuang demi keadilan, demi perdamaian,
demi kehidupan manusia dan juga berguna bagi manusia yang lain. Gereja seperti
ini dalam berbagai hal dan secara berulang-ulang akan melihat dengan
membandingkan dengan slogan murahan dan dengan nilai serta norma yang
berlaku dalam bidang ekonomi, politik, dan ideologi masyarakat yang modren.
4. Etik
Yang dimaksud model etis adalah keseluruhan yang konsisten yang terdiri
dari norma-norma kelakuan yang oleh masyarakat dijadikan keharusan bagi
anggotanya agar mereka sebagai persekutuan bisa bertahan dan berkembang. Pada
kenyataannya pewartaan moral Gereja tidak pernah sama maka ada beberapa
model pendapat yang pernah diakui. Penyebanya adalah karena Gereja-gereja
merupakan bagian dari masyarakat tertentu dan juga selalu juga dalam
adanya beberapa model etis yang berlaku bersamaan, kita juga menemukan
kembali ambiguitas tentang Keterakhiran bagi manusia.
Model pertama, model ini yang paling tua. Alamlah yang dianggap
sebagai keseluruhan yang lebih besar. Dalam model ini, alam atau seluruh
kenyataan jagad raya ini yang terdiri dari makhluk hidup dan yang tidak hidup
dengan keteraturannya dalam ruang dan waktu dianggap sebagai hal yang diatur
dengan baik dan diciptakan serta dikehendaki oleh Allah. Dalam model ini, tugas
para penguasa dan pemimpin gerejawi ialah untuk menghormati hukum alam
sebagai Sabda Allah Pencipta dalam undang-undang.
Model ke dua, yang menjadi pokok adalah bangsa yang menjadi
keseluruhan yang besar dan kudus. Manusia hanya berarti sedikit saja.
Keseluruhan bangsa itu dianggap mempunyai asal usul ilahi. Lapisan-lapisan
masyarakat yang ada di dalamnya dianggap pula sebagai yang dikehendaki oleh
Allah. Sentral dalam model etis ini adalah norma. Manusia harus mengerti
tempatnya dan mengabdikan tenaganya kepada kepentingan keseluruhan. Gereja
yang menggunakan model ini termasuk Gereja Katolik yang diatur secara
Hierarkis. Ada juga Gereja nasional yang memberikan legitimasi religius kepada
raja dan perundangan dalam negara yang menggunakan model ini. Di dalam
sejarah hal ini dikenal sebagai persekutuan antara tahta dan mezbah.
Dapat diambil kesimpulan bahwa kedua model ini telah kehilangan
legitimasinya bagi manusia modern. Model pertama, karena semakin tidak
dimutlakkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan alam, medis, dan teknik yang
berusaha semakin mengalahkan penderitaan dan kemiskinan manusia melalui
terhadap manusia serta penugasannya untuk berjuang demi keberadaan manusia
yang wajar. Untuk model yang ke dua, karena pengalaman yang berabad-abad
lamanya dengan peperangan antar bangsa, negara dan agama, dengan kediktatoran
dan penindasan bangsa, golongan, suku dan jenis kelamin.
Model ke tiga, ini berpola dua karena di satu pihak, bertolak dari hak dasar
bagi setiap individu untuk bertindak sebagai subjek dengan kebebasan penuh. Di
lain pihak model itu menekankan kesederajatan semua orang dalam satu
kemanusiaan yang universal. Untuk itu umat manusia diwakili oleh pemimpinnya
mempunyai kewajiban untuk memungkinkan kebebasan dan kesamaan bagi
semua orang lewat mewujudkan hidup manusiawi yang layak. Kekurangan model
ketiga yang sesungguhnya ialah ambiguitas mengenai cita-cita kebebasan karena
di satu pihak, kebebasan terlalu dimengerti sebagai ruang untuk mengejar
kepentingan individual, dan di pihak lain, kebebasan kurang bersifat pribadi dan
terlalu bergantung pada struktur sosial ekonomis.
Model keempat, yang menjadi pusat adalah hak orang lemah. Dalam
model ini manusia yang menderita mempunyai hak etis akan pembebasan oleh
orang lain. Di dalamnya juga ada kenyakinan bahwa dalam ketaatan kepada apel
yang datang dari manusia yang menderita terletak jalan kepada kebebasan dan
pembebasan yang benar. Ini memberikan bentuk bagi tradisi belas kasihan
manusiawi yang mengagumkan. Legitimitas model ini berulang kali dibantah
dengan berbagai argumen yaitu bahwa model ini melawan alam, bersifat
adikodrati, melarikan diri dari dunia, tidak efisien, tidak sehat, lemah, dan
Yang tersalib adalah Tuhan dunia ini memang merupakan batu sandungan bagi
yang kuat dan yang bijak.
Dibawah ini apakah yang termasuk dalam terang
pertimbangan-pertimbangan disebut Gereja yang vital? Pada model yang pertama dan ke dua,
Gereja vital ialah Gereja dalam nama para anggotanya harus berpegang teguh
pada ketentuan moral yang dirumuskan oleh kuasa ajaran Gereja tentang tindakan
alamiah dan tindakan yang melawan alam. Di dalamnya juga terdapat ketentuan
tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota
gereja agar disebut Kristiani. Jika diperlukan kesalehan di mana orang mencari
kekuatan pada Allah untuk dapat menanggung nasibnya dan untuk memenuhi
kewajiban tugasnya seperti yang digariskan oleh moral tersebut.
Pada model ke tiga, Gereja adalah vital jika memperjuangkan hak-hak
asasi manusia di bidang ekonomi, sosial-politik, dan kultur. Perjuangan ini dapat
dilakukan lewat kegiatan-kegiatan yang sangat sekuler. Akan tetapi, diperlukan
kesalehan fundamental di mana hormat terhadap setiap manusia sebagai citra
Allah menjadi sentral.
Model ke empat, Gereja adalah vital dan mempunyai identitas kalau
anggota dan pemimpin membuka mata, telinga, dan hati terhadap penderitaan di
sekelilingnya, konkret dekat dan lebih jauh, dan kalau dalam keikutsertaan pada
Nabi mencurahkan kekuatannya untuk membebaskan manusia dari penderitaan.
Fokusnya pada pemeliharaan dan perjuangan demi orang yang tidak diberi tempat
dan waktu dalam tatanan yang ada. Kesalehan yang diperlukan adalah kesalehan
yang melihat, merasakan, dan mengerti kehadiran Allah dalam orang yang
menderita mempunyai keberanian dan harga diri untuk tetap mau hidup secara
manusiawi. Itulah kesalehan yang mengabdikan dirinya kepada manusia yang
tersalib.
5. Pembangunan Jemaat
Pembangunan Jemaat menjalankan dan memprogramkan
tindakan-tindakan macam itu mengandaikan pengakuan iman yang tidak ambigu atau
mengandung makna lebih dari satu tentang kebebasan dan pembebasan.
Pembangunan jemaat bertitik tolak dari tanggung jawab semua orang yang
bersangkutan terhadap keberadaan dan pembentukan jemaat kristiani dalam
situasi ruang dan waktu mereka. Program ini muncul dari pandangan
politis-tologis atas Gereja di dunia masa kini. Dengan demikian, program itu
berpartisipasi dalam usaha kebebasan dan kesamaan yang merupakan inti proses
sekularisasi. Kiranya sikap berpegang pada cara berpikir teologis dan etis yang
tidak lagi dapat dipertahankan dalam Gereja terancam jatuh pada pinggiran dan di
luar ruang zaman modern. Mereka yang mengusahakan pembangunan jemaat
dapat terbentur pada ketidakpahaman dan penentangan di dalam Gereja-gereja.
Tujuan paling penting dari pembangunan jemaat adalah bagaimana
struktur, perubahan struktur, dan perwujudannya dilalui dengan berbagai macam
proses. Dimana tentu pembanguan jemaat bertitik tolak dari tanggung jawab
semua orang yang bersangkutan terhadap keberadaan dan pembentukan jemaat
kristiani dalam situasi ruang dan waktu mereka.
Pembangunan jemaat harus bekerja dengan nilai dan norma model ketiga,
hak untuk ikut berbicara, hak-hak sosial, kesederajatan laki-laki dan wanita,
ekumene, dan hormat bagi keyakinan masing-masing orang dalam kebebasan
yang pluriformuntuk memiliki pandangan hidupnya sendiri. Namun, legitimitas
model ketiga oleh banyak orang kristiani modern dianggap sebagai hal yang
begitu biasa sehingga pembangunan jemaat terlalu mudah mencari mitranya.
Betapa pun benarnya usaha pembangunan jemaat untuk memperkenalkan
nilai-nilai model ketiga, namun bagi pembangunan jemaat, spiritualitas kristiani
menurut model keempat perlu, karena merupakan dasar latar belakang. Kalau
terlalu mudah mengidentifikasikan dirinya dengan model ketiga maka
pembangunan Jemaat dapat terjerat dalam ketegangan antara cara berpikir
liberalistis dan sosialistis yang nyata, tanpa kemungkinan untuk
memprofilasikandi dalam identitas etis sendiri. Oleh karena itu, kiranya perlu
memberikan perhatian mendalam kepada model etis ke empat.
B. Penebusan Dan Pembebasan 1. Hidup dan Kematian
Kata penebusan berasal dari tradisi kristiani, kata ini dianggap sama saja
dengan dengan istilahseperti dosa dan rahmat, keselamatan, pertobatan,
pengampunan, perdamaian, dan kebangkitan dari antara orang yang mati. Dalam
riwayat terjadinya Alkitab, sedikit-sedikit berkembanglah pengertian ganda
tentang hidup. Ada paham hidup dalam arti biologis dan psikologis, yaitu hidup
alamiah di bumi dengan bentuk serta relasinya. Hidup itu akn berakhir pada
menentukan hidupnya di akhirat maka tidak ada yang lebih berharga dan suci bagi
manusia daripada keberadaannya sebagai makhluk hidup.
Arti hidup ini cocok dengan model etis pertama yaitu hidup ini keramat,
tidak boleh disentuh, manusia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang
bertentangan dengan alam. Maka kelestarian dan pertumbuhan hidup alamiah
merupakan nilai dasar dan persekutuan dasar dari setiap bangsa. Dalam kerangka
berpikir itu, kelahiran, kedewasaan, dalam mana perkawinan mengatur kesuburan
secara kodrati merupakan puncak. Kematian dianggap suci karena berbicara
tentang Allah yang memberikan dan mengambil hidup.
Dalam etik ini diteguhkan hakdasar setiap manusia atas hidup, atas
integritas fisik dan psikis, juga atas kesehatan dan pemeliharaan akan kesehatan.
Akan tetapi, titik tolaknya tidak lagi kesucian hidup itu sendiri, melainkan respek
atau rasa hormat terhadap syarat-syarat yang mutlak perlu bagi manusia agar
dapat mengembangkan diri sebagai pribadi bebas. Tanpa hati dan suara batin,
manusia bisa hidup namun dalam kenyataan ia mati dan membuat mati. Tanpa
hati dan suara hati manusia bisa berada, namun kenyataannya ia bukan manusia.
Manusia baru benar-benar menjadi manusia jika dalam dirinya telah berkembang
hidup yang lain.
Hidup menurut citra Yahwe yang melihat kesusahan manusia dan
mendengar keluhan mereka. Untuk benar-benar menjadi manusia diperlukan
kehidupan kembali akan hidup dimana mata benar melihat, telinga
benar-benar mendengar, Kelahiran kembali yang mampu berbicara dan bertindak demi
pembebasan. Tradisi gerejawi kemudian mengisi paham hidup itu dengan kata
dalam Roh. Dalam tradisi ini, kebangkitan berarti kelahiran kembali menjadi
manusia yang benar dan Paskah merupakan pesta besar yang merayakan keluaran
menuju kehidupan yang benar dalam kebebasan dan kasih.
2. Proses Penebusan
Betapapun hidup dalam kebebasan dan kasih mempunyai nilai lebih yang
ilahi, namun hidup itu mengekpresikan diri dan membenarkan diri terhadap
kepribadian terhadap hidup alamiah dan wajar bagi semua orang secara bersama
dan perorangan. dalam keseluruhan proses pembebasan manusia memang dapat
dan harus dibeda-bedakan macam-macam dimensi, namun tidak boleh dipisahkan
yang satu dari yang lainnya.
Dalam proses pembebasan manusia, kelompok, bangsa dan seluruh umat
manusia, teologi pembebasan membedakan tiga dimensi. Pertama, pembebasan
dari kemiskinan menurut segala segi, ekonomis, sosial, politik, fisik, dan
psikologis. singkatnya pembebasan dari hal yang tidak pantas. Kedua,
pembebasan dalam arti eksistensial, pembebasan dari perbudakan batiniah,
penyadaran akan harkat manusia dan keberanian untuk menentukan nasibnya
sendiri. Ketiga, pembebasan manusia untuk saling berbagi hidup dalam hubungan
solider sambil mewujudkan persekutuan menurut hukum roh.
Bisa terjadi bahwa manusia mengembangkan arah pemikiran atau strategi
mulai dengan dimensi pertama (kemiskinan) melalui dimensi kedua (perbudakan
batiniah) ke dimensi ketiga (pembebasan yang satu untuk yang lain). Arah ini
terpengaruh oleh pengalaman bahwa kesejahteraan minimal merupakan syarat
cenderung menyepelekan dimensi pembebasan ketiga yaitu hidup berbagi dalam
pesekutuan yang solider. Kelompok basis itu kaya akan kelompok ketiga,
keterkaitan solider, sedangkan orang kaya justru miskin dalam dimensi ini.
Berhubungan dengan vitalitas gerejawi, pertimbangan di atas tampaknya
membenarkan tiga kesimpulan. Kesimpulan pertama, dimensi pembebasan serta
hidup yang wajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berarti bahwa perpisahan
antara gereja dan masyarakat atau negara dunia tidak dapat dipikirkan dengan
sederhana. Gereja yang hidup tidak boleh menutup mata dan telinga serta matanya
akan penindasan sesama manusia. Karena orang miskin adalah orang yang
pertama masuk surga (Mat. 5:3). Kesimpulan ke dua, gereja tanpa kultur
pembebasan adalah gereja yang tidak memiliki kredibilitas. Dalam hal ini ada
ketergantungan dari dari orang yang tertindas terhadap sesuatu hal yang lebih
kuat, disini yang lebih kuat adalah gereja. Dalam pengertian sebagai umat Allah
ketergantungan adalah ketergantungan dalam kasih dimana yang kuat
mengulurkan tanggan kepada yang lemah. Kesimpulan ketiga, Gereja menjadi
sumber hidup dan pelayanan terhadap hidup. Setiap proses pembebasan dimulai
dengan pembentukan persekutuan yang solider, kelompok manusia yang saling
bertemu dalam arti yang benar, dan bersedia untuk berkorban demi kepentingan
bersama. Hal ini lahir dari kesadaran mistik akan kehadiran Allah dalam Yesus
yang tersalib demi penghapusan dosa.
3. Ibadat – Liturgi
Dalam gereja yang dimaksud dengan liturgi adalah perayaan dan kenangan
Paskah sebagai kenangan akan kematian dan kebangkitan Yesus secara kristiani
yang mengulang kembali kisah perpindahan dari hidup yang tidak benar berubah
menjadi umat Allah. Dimana peralihan akan hidup itu semuanya berarti hidup
yang lebih baik. Hari minggu bagi orang kristiani tidak hanya diartikan sebagai
hari istirahat, tetapi juga sebagai hari Sabat, pesta Taurat, hukum roh, dan pesta
yang merayakan hidup baru bersama-Nya. Dalam perayaan paham akan kenangan
kembali, dimana beriman berati tidak melupakan, tidak membiarkan hidup
mengalir kedalam dunia semu yang penuh dengan kepalsuan, melainkan kembali
mengenangkan kebaikan Allah yang berarti berani kehilangan hidup lama demi
hudup baru yang lebih baik.
Orang kristiani dalam pertemuannya untuk merayakan perjamuan
senantiasa mengadakan anamnese, yaitu kenangan akan hidup, kematian, dan
kebangkitan yang tersalib. Kenangan akan pembebasan itulah yang menjadi fokus
dalam pertemuan umat. Akan tetapi kenangan ini harus di olah dengan baik,
karena akan mengambil diri kita dari cara hidup yang mudah. Kenangan ini akan
menimbulkan konflik antara kita dan kuasa-kuasa yang memerintah dan dengan
pendapat serta tindakan murahan yang bisa kita lakukan di dalam maupun di luar
diri kita.
4. Pelayanan Pemeliharaan, Perjuangan, dan Pengampunan
Masih ada tuntutan lain terhadap liturgi, ibadat yang benar hanya mungkin
terjadi sebagai pangan dan ekspresi serta penegasan dari sebuah spiritualitas.
Dimana dalam arti fisik, kematian ada dimana saja manakala manusia tidak dapat
ketidakberdayaan. Di saat manusia mengalamai kesusahan seperti itu, disana
tumbuh iman, harapan dan kasih yang akan berbuah pada pelayanan. Pelayanan
itu disebut sebagai diakonia, pemberian pertolongan demi pemeliharaan manusia.
Pelayanan ini disebut inti vitalitas Gereja.
Kematian yang terus menerus ada juga yang dalam arti eksistensial,
dimana manusia tidak hanya menderita begitu saja, melainkan oleh karena
penderitaan itu yang disebabkan oleh kemiskinan, penyakit, serta
ketidakberdayaan yang membuat orang menjadi ragu akan makna hidupnya.
Dalam arti itu kematian ada sejak permulaan keberadaan kita. Kematian itu
dialami dimana saja kita terbentur pada ketidakmampuan, kemustahilan,
perpisahan. Dalam semua bentuk itu, kematian ditentukan terlebih dahulu dan kita
tidak dapat mengalahkannya. Saat ada kehidupan tentu akan ada masa peralihan
yang disebut dengan kematian. Disaat masa peralihan akan hidup ini kematian
menjadi syarat utama untuk hidup, sebagai syarat pertumbuhan dan
perkembangan menurut perumpamaan benih yang harus mati demi menghasilkan
buah.
Karenanya kita mengenal rahasia kasih yang juga mengenal kematian,
namun sebagai jalan menuju hidup dan dalam iklim kebebasan. Dalam kitab suci,
kasih lebih kuat daripada kematian maka kemudian kasih itu disebut hidup kekal.
Kekal karena dalam penderitaan yang tidak dapat kita kalahkan itu kita masih
tetap membuka hari depan yang positif, yaitu kemungkinan untuk hidup terus
secara bermakna. Menjadi bermakna apabila kita melakukan perjuangan untuk
tetap dapat melakukannya. Perjuangan itu pertama-tama mengenai kekurangan
persenjataan yang semakin membunuh dan menghancurkan kesejahteraan. Ketiga
adalah pengrusakan lingkungan dan pengurasan yang memiskinkan dan
mengancam masa depan umat manusia. Ketiga hal ini menjadi perhatian dalam
proses konsilier demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan cipta.
Ketidakbebasan dan ketidaksamaan yang dipertahankan kelompok
penguasa yang memiliki kepentingan tertentu sehingga orang lain dirugikan.
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang terjadi juga di sekeliling kita dalam
bentuk kemiskinan dan diskriminasi. Orang miskin bukanlah orang yang lemah,
tetapi orang yang selalu dibuat miskin, dimana ada orang yang kaya dan kuat yang
memanfaatkan itu semua. Dimana tugas gereja? Hal ini banyak dipertanyakan,
tugas gereja adalah terletak pada kehadiran gereja sebagai inti vitalitas yang
mengalahkan kematian, yaitu dengan pelayanaan kepada perjuangan demi
keadilan. Di kalangan Katolik, pelayanan kepada hidup ini mengalami impase.
Termasuk hidup gerejawi dulu yang praksis pengakuan dosa, dimana sekarang
praksis ini sedang menghilang.
5. Pembangunan Jemaat
Pelayanan tiga tahap dalam hidup yaitu pemeliharaan, perjuangan, dan
pengampunan yang bersifat esensial bagi gereja vital karena merupakan hakikat
identitas kristiani. Dalam liturgi jemaat beriman, ketiga aspek itu harus
diekspresikan sebagai jawaban akan sabda, sebagai penghayatan kenangan akan
yang tersalib dan telah bangkit, sebagai perayaan kehadirannya di tengah-tengah
jemaat. Yang menjadi masalah adalah tiga pelayanan tersebut tidak boleh
menyelimuti problemnya. Pada akhirnya semuanya itu bergantung pada
pertanyaan apakah program kristiani ini tentang hidup dan kemenangan akan
kematian?, dari situ kita akan masuk pada suatu tujuan bahwa semuanya tentang
BAB III
ALLAH, PEWAHYUAN DAN KOMUNIKASI IMAN
A. Allah
1. Gambaran-gambaran Allah
Pertanyaannya adalah dengan pengalaman manakah, dan dengan
gambaran manakah orang beriman yang membicarakan tentang Allah. Dengan
berbagai macam cara orang memperoleh pengalaman berjumpa dengan Allah.
Dapat diartikan bahwa oleh seseorang pengalaman tersebut dianggap berharga
walaupun tanpa ada saksi dari orang lain. Faktor yang mempengaruhi orang
memperoleh pengalaman yang bermakna adalah bagaimana orang belajar untuk
menginterpretasikan pengalamannya menurut sudut pandang yang dalam.
Tantangan yang mendasar bagi gereja adalah bagaimana menginterpretasikan
pengalaman.
Yang menentukan pembentukan identitas kristiani bukanlah
pengalaman-pengalaman yang terjadi, melainkan pengalaman-pengalaman mengenai pembebasan dalam
kasih, keadilan dna perdamaian atau pengalaman yang terkait pelayanan kepada
hidup. Seperti yang diungkapkan dalam Kitab Suci di mana Allah disebut Allah
kasih dan keadilan, Allah murah hati dan perdamaian, Allahnya orang miskin dan
tertindas. Hanya gambaran yang sebagai gambaran Keterakhiran ini yang
membangkitkan hara pan dan kasih melawan kuasa-kuasa kejahatan yaitu
gambaran yang berbicara tentang hidup. Gambaran Allah yang paling nampak
bagi pembangunan jemaat supaya memperhatikan aspek-aspek seperti di atas ini
dan memulai proses-proses perbaikan. Memperhatikan dan memperbaiki belum
cukup, karena gambaran, bayangan dan pengertian itu hanya menjelaskan
bagaimana orang berpikir tentang Allah.
2. Analisis Penelitian
Penelitian empiris yang banyak dipakai akhir-akhir ini menggolongkan
jawaban atas pertanyaan bagaimanakah Allah hadir pada manusia. Hasilnya ialah
4 macam jawaban atau pernyataan.
Ada Allah yang mempedulikan kita masing-masing secara pribadi
Pasti ada semacam kekuasaan yang lebih tinggi yang menguasai
kehidupan
Saya tidak tahu apakah ada Allah atau kekuasaan yang lebih tinggi
Tidak ada Allah dan tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi
Penggolongan ini dapat dikritik karena bagi orang kristiani keempat
pernyataan tersebuat bisa berlaku sama. Namun jawaban atas pertanyaan itu bisa
relevan. Di dalam negara modren, semula orang setuju dengan pernyataan a, tetapi
semakin lama dapat berubah seiring dia mengenali diri sendiri sesuai dengan
ketiga pernyataan tersebut. Pergeseran pernyataan dari a ke b,c dan d terjadi pada
orang muda. Ada negara modren di mana persetujuan orang muda dengan
pernyataan a sudah minim sekali. Kebanyakan orang yang setuju dengan
pernyataan a adalah orang yang aktif dalam kegiatan gereja. Tetapi pendapat ini
tidaklah mutlak, karena bisa saja orang yang setuju dengan pernyataan b-d itu
menunjukkan bahwa keanggotaan Gereja telah mengalami jatuh bangun dengan
adanya pengalaman tentang Allah menurut pernyataan a. Persetujuan dengan
pernyataan a berkurang sebanding dengan umur orang yang semakin muda.
Dilihat dari teologis praktis, masalahnya tidak lagi hanya mengenai
gambaran-gambaran Allah. Jika kita membayangkan data secara proses maka
yang sesungguhnya terjadi adalah pergeseran dalam hal pengakuan akan Allah
sendiri dari relasional ke objektif, kemudian dari kebimbangan ke penyangkalan.
Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ciri pernyataan a yang berlaku untuk
anggota Gereja yang aktif berlaku juga untuk orang beriman tradisional maupun
yang beriman modern. Jadi, keakifan dalam Gereja tidak bergantung pada
gambaran Allah yang berbeda dalam aliran tradisional dan modern.
Kesimpulannya bahwa setiap gereja mempunyai pola masing-masing yang
berbeda satu sama lain, sehingga ditemukan gambaran-gambaran Allah tertentu
menurut mereka. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan. Yang
menentukan ialah apakah pergaulan dengan Allah dalam doa dianggap sebagai
praktek yang bermakna. Semua ini dapat diambil kesimpulan yaitu Gereja
kehilangan inti daya hidup karena proses sekularisasi, sehingga doa menjadi
hilang dari hidup orang. Krisis Gereja dewasa ini adalah krisis doa. Jadi, dalam
pembangunan jemaat sebagai prioritas utama perlu diusahakan budaya untuk
berdoa yang baru yang mempunyai kepercayaan yang besar dari umat.
3. Dilema
Hidup gerejawi menjadi asing bagi mereka yang tidak dapat melihat doa
Berbicara tetang Allah dianggap cocok bagi orang beriman yang fundamentalis,
tetapi tidak bagi manusia modern. Ada orang kristiani yang merasa lebih baik
kalau tidak berbicara tentang Allah dengan terus terang dan tidak berdoa kepada
Allah di muka umum. Situasi ini mengalami kerumitan di mana kaum kristiani
merupakan minoritas yang harus toleran dan harus menjaga kerukunan
antaragama. Dengan cara ini orang kristiani merahasiakan hubungan intim mereka
dengan Allah yang seakan-akan mereka hidupkan kembali. Dari proses perubahan
budaya yang disebut sekularisasi, ada dua jalan buntu yang bagi orang kristiani
menimbulkan kesulitan untuk berbicara tentang Allah. Kesulitan pertama
disebabkan oleh pengalaman penderitaan, ketidakadilan dan kematian. Jika Allah
itu mahakuasa, maka Allah yang menyebabkan semua itu. Dilema ini membawa
orang ke penyangkalan terhadap Allah. Dilema ini bisa membawa kepada praktek
magis. Dalam prakteknya di negara yang modern tidak bisa berjalan. Dalam
dilema ini, banyak orang merasa lebih baik tidak bicara tentang Allah atau dengan
Allah positivistis.
Yang ke dua, bagi banyak orang tidak mungkin lagi mengalami relasi
dengan Allah karena mereka mengalami kebebasan yang berbeda dengan hukum
yang ditetapkan oleh penguasa Gereja atau penguasa lain atas nama Allah.
Pengalaman akan Allah sebagai pesaing yang mengakibatkan revolusi dan evolusi
selama berabad-abad melawan struktur dan proses yang disanksikan dengan nama
Allah. Perjuangan demi pembebasan, maka iman akan Allah ditafsirkan sebagai
proyeksi orang dan kelompok orang yaitu sebagai kreasi manusia yang karena
Dilema-dilema di atas mempunyai hubungan dengan model etis. Manusia
menentang model etis pertama dan ke dua. Sebabnya adalah kedua model itu
dapat menampilkan diri dengan wajah seorang dewa dan dipakai untuk
menginterpretasikan pengalaman keharusan sebagai pengalaman tentang
Keterakhiran. Gereja mengambil reaksi terhadap proses sekularisasi, yaitu tetap
berpegang pada kedua model etis itu untuk menginterpretasikan Injil. Dengan
demikian, proses sekularisasi semakin ditampilkan sebagai proses ateistis yang
menyangkal Allah.
4. Perjumpaan dengan Allah
Secara nyata, dilema-dilema itu baru dapat diatasi setelah makna
perjumpaan dengan Allah dialami dengan jelas. Mengapa kita menganggap bahwa
menyambah Allah bermakna? Ini tidak dapat dibuktikan secara teori. Dapat
dijelaskan, bahwa manusia dan kelompok manusia dari dirinya sendiri tidak
pernah dapat mencapai Allah, apalagi membuat Allah atau mereka-reka Allah.
Iman akan Allah terletak di luar lingkup keharusan yang alamiah. Maka, iman
akan Allah mengatasi, mentransendensikan semua definisi makna yang dapat
diverifikasikan. Maka iman akan Allah seakan-akan hilang ditelan oleh
pandangan Keterakhiran yang tidak dapat diungkap.
Mereka menggambarkan pengalaman perjumpaan, melewati bentuk, ruang
dan waktu. Di dalam pengalaman perjumpaan itu, orang sampai pada penyerahan
diri yang utuh kepada Allah. Oleh karena itu, melalui pengalaman perjumpaan
terjadilah pembalikan dari yang semu menjadi yang nyata. Pengalaman yang
terletak kebenaran, yaitu hak penuh atas orang lemah atas yang kuat dan
pembalikan hukum alam secara radikal. Maka, dua hambatan bagi penyembahan
Allah menghilang, yaitu dilema Allah sebagai Penyaing manusia dan Alah
sebagai penyebab penderitaan. Betapa pun tidak logis dan tidak praktis, banyak
orang beriman mengalami pengalaman dan berpegang pada sejak masih muda.
Terkadang perjumpaan dengan Allah terulang dan terjadi di dalam situasi yang
biasa saja. Mereka yang belajar berdoa, selalu rindu kepada jemaat beriman yang
berdoa, seperti orang yang merindukan rumahnya.
5. Pembangunan Jemaat
Yang menjadi masalah dalam pengbangunan jemaat adalah bagaimana
orang dapat dan harus berdoa. Simbol serta semua sarana komunikasi lain dalam
mana bisa terjadi perjumpaan dengan Allah bagi orang beriman. Ada doa
permohonan, keluhan, kegembiraan, ucapan syukur, pujian dan penyembahan.
Semua bentuk doa mempunyai ciri masing-masing dalam hal berbicara dengan
Allah. Kelebihan doa permohonan yang sering disebabkan oleh karena manusia
tidak berdaya untuk mengungkapkan kebutuhan, kesediaan, dan kemarahan secara
terus terang.
Membentuk budaya doa merupakan kejadian yang menyeluruh dalam
semua aktivitas gereja. Pembentukan budaya ini tidak dapat dilakukan hanya
dalam liturgi dan dalam praktek doa jemaat saja, tetapi memerlukan belajar dan
perwujudan dalam pelayanan kepada kehidupan. Dan juga ditemukan metode baru
melalui workshop doa dan pelatihan doa untuk meditasi. Yang paling penting
dalam lingkup hidup mereka dalam berelasi di masyarakt dan keluarga. Di dalam
penelitian ini yang belum diberi perhatian adalah bahwa di dalam masyarakat
modern yang terpengaruh oleh proses sekularisasi, pengakuan akan Alla