• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RISALAH RAPAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

===========================================================================

Tahun Sidang : 2000-2001

Masa Persidangan : II

Jenis Rapat : RDPU dengan Pakar Hukum

Sifat Rapat : Terbuka

Rapat ke : -

Hari/Tanggal : 24 Oktober 2000

Waktu : -

Tempat : -

Ketua Rapat : -

Sekretaris Rapat : -

Acara : Mencari masukan

Hadir Anggota DPR-RI : orang dari orang Anggota

Undangan : Prof. Loeby Lukman

PIMPINAN :

1. Drs. Sidharto Danusubroto, SH 2. M. Yahya Zaini, SH

3. Prof. DR. Tgk. H. Baihaqi, Ak 4. Drs. KH. Musa Abdillah ANGGOTA :

F.PDIP :

1. A. Teras Narang, SH 2. Firman Jaya Daeli, SH 3. Ketut Bagiada, SH 4. Don Murdono, SH 5. Ir. Bambang Pranoto, MM 6. Jacob Nuwawea

7. Djadjang Kurniadi 8. Paulus Widiyanto 9. Amris Fuad, MA

10. Dra. Susaningtyas, SH 11. Alexander Litaay

12. I Nyoman Gunawan, SH, MBA, MSc 13. H. Muhammad Junus Lamuda, SH 14. Octavianus Riam Mapuas.

(2)

F.PG :

1. Prof. DR. H. Anwar Arifin, SIP 2. Drs. Ridwan Mukti, Ak, MBA 3. Djadja Subagdja Husein 4. T. Arsen Rickson, SH 5. M AkiI Mochtar, SH

6. Ir. Hj. E. Komariah Kuncoro 7. Drs. Cornelis Tapatab 8. Drs. HAM Nurdin Hatid 9. Dra. Hj. Yetje Lanasi 10. Drs. Jacobus 11. Drs. Ruben Gobay F.PPP :

1. Ny. Hj. Aisyah Aminy, SH 2. H. Sukardi Harun

3. Drs. H. Nadhier Muhammad, MA 4. H. Zain Badjeber,

5. Drs. H. AR. Rasyidi.

F.KB :

1. Drs. A. Effendy Choirie, Sag 2. Drs. A. Syatibi

3. H. Rodjil Ghufron AS, SH 4. Drs. KH. Amanullah F.REFORMASI :

1. Dr. H. Ahmad Farhan Hamid, MS 2. Drs. Djoko Susilo, MA

3. Mashadi 4. H. Radja Roesli F.TNI/POLRI : 1. Soenarto, SH 2. Drs. I Ketut Astawa 3. Sri Hardjendro 4. Sudiyotomo F.PBB :

H. Ahmad Sumangono, SE F.KKI :

Tjetje Hidayat Padmadinata F.PDU :

Sayuti Rahawarin F.PDKB :

Prof. Dr. Astrid S Susanto Sunario

(3)

KETUA RAPAT :

Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua.

Rapat saya nyatakan dibuka.

Bapak, Ibu, Saudara-saudara sebagaimana kesepakatan kita di Bogor pada waktu yang lalu untuk mendalami beberapa masalah yang kita pending guna mencari jalan keluar, kita sepakat untuk meminta masukan dari Pakar baik di bidang hukum pidana maupun di bidang HAM.

Dengan harapan adanya masukan-masukan tersebut akan memperkaya wawasan pengetahuan kita, sehingga kita pada akhirnya bisa memperoleh suatu kesepakatan di dalam rangka menyelesaikan pembahasan pasal-pasal yang dipending tersebut.

Dihadapan kita sudah hadir Prof. Loeby Lukman, sambil menunggu mungkin Bapak- bapak yang lain sebagaimana yang diinformasikan pemerintah, kalau tidak salah ada 4 (empat) orang. Mudah-mudahan yang lain bisa menyusul, kita bisa memulai pembahasan dari kita nanti memintakan kepada beliau masalah-masalah yang kita pending.

Adapun masalah-masalah tersebut ialah sebagai berikut : Pasal 1 angka 4, sebenarnya Pasal 1 angka 4 sudah disetujui di Panja, hanya saja ketika kita membicarakan Pasal 45 kalau tidak salah yang berkaitan dengan siapa atasan, apakah atasan itu atasan militer, atasan sipil.

Kalau sipil itu sipil pemerintah atau sipil juga bisa dikategorikan orang kelompok-kelompok dalam masyarakat ini berbeda pandangan.

Oleh karena itu karena cantolannya Pasal 1 angka 4, maka terbuka peluang untuk membahas kembali siapa sesungguhnya pelaku dari pada Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat itu, apakah misalnya setiap orang yang dimasukkan disini orang perseorangan, kelompok orang baik sipil maupun militer termasuk juga di dalamnya Penyelenggara Negara. Kalau misalnya kita konsten terhadap kelompok orang ini pengertiannya luas, sudah barang tentu atasan pada Pasal 45 itu adalah tidak saja militer dan sipil yang ada di pemerintah, tetapi juga termasuk kelomppok-kelompok di dalam masyarakat.

Kemudian yang kedua adalah Pasal 25, di dalam Pasal 25 ini intinya adalah Penghentian Penuntutan. Sebagian besar mengatakan bahwa tidak diperlukan lagi penghentian penuntutan, karena sudah dibuka peluang penghentian penyidikan. Antara penyidik dengan penuntut umum adalah satu lembaga dalam hal ini adalah Jaksa Agung. Tetapi pihak lain mengatakan perlu tetap diberikan peluang, namanya kita ingin menghangai Hak Asasi Manusia. Apalagi kalau kita melihat kepada praktek selama ini kelihatannya rawan kalau penuntutan diberikan peluang segitiga misalnya atau penghentian penuntutan. Nah hal semacam ini belum ada kesepakatan diantara kita.

Berikutnya adalah termasuk dalam hal ini Pasal 35 mengenai rancangan dari Pemerintah yang ingin memasukkan unsur teknologi modern sebagai salah satu pertimbangan dalam rangka memperkuat alat bukti dari keyakinan hakim. Kita khawatir dalam diskusi kemarin, jangan-jangan memasukkan teknologi modern ini nanti justru menambah alat bukti yang sah sebagaimana sudah diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Oleh karena itu bagaimana kita memasukkan dan sejauhmana ungensi teknologi modern itu di dalam hukum acara kita. Sejauhmana kebutuhannya, toh tidak diatur selama ini kita bebas dan bisa menggunakan teknologi modern untuk membantu sebagai sarana dalam rangka pencarian atau menemukan fakta-fakta di lapangan. Apakah kita sudah seharusnya memasukkan unsur teknologi modern ini di dalam ketentuan Pengadilan HAM ini.

Berikutnya adalah Pasal 39 berkaitan dengan batas makimum hukuman penjara. Di dalam KUHAP kita kenal itu adalah sebanyak-banyaknya paling tinggi 20 tahun. Kita kemarin disini kecenderungannya karena ini merupakan pelanggaran HAM berat kita mencoba memasukkan angka 25 tahun, ingin memperberat terhadap pelanggaran HAM berat itu. Kira-kira bagaimana dalam sisi hukum kita, apakah kita punya peluang untuk menambah hukuman dari 20 tahun yang selama ini kita pakai menjadi 25 atau 30 tahun, termasuk juga yang berkaitan dengan masalah ini adalah Pasal 40.

Kemudian Pasal 44 berkaitan dengan ketentuan bahwa percobaan permufakatan jahat atau pembantuan itu sanksinya atau pidananya sama dengan pidana pokoknya. Sebenarnya di dalam UU Tindak Pidana Korupsi sudah diatur, kalau tidak salah. Artinya percobaan permufakatan jahat atau pembantuan itu hukumannya sama dengan hukuman pokoknya. Kami memerlukan pandangan-pandangan dari pakar.

(4)

Pasal 45 berkaitan dengan masalah siapa sesungguhnya atasan itu, kalau kita sudah sepakat dan clear pada Pasal 1 angka 4 maka rumusan Pasal 45 itu tinggal mengikuti saja atau menyesuaikan.

Kemudian yang terakhir adalah Pasal 48, di dalam pembahasan kita sudah sepakat bahwa terhadap Undang-undang Pelanggaran Hak Asasi Manusia ini bisa diberlakukan secara kadaluarsa. Tetapi belum ada kesepakatan sampai sejauhmana surut ke belakang itu 20 tahun, 30 tahun atau 50 tahun ada yang mengatakan sejak kemerdekaan. Kita disini belum ada kesepakatan. Barangkali dalam hal ini kita memohonkan pandangan-pandangan berkaitan dengan apakah sesunguhnya urgensi ke belakang dikaitkan dengan proses pengadilan, soal pembuktian dan lain sebagainya disamping tentunya hal-hal yang bersifat politik, pendekatan segi hukumnya bagaimana.

Barangkali ini beberapa hal yang sempat kita pending untuk mendapatkan masukan dari pakar khususnya dari bidang hukum pidana dan hak asasi manusia. Demikian pengantar dari kami, pertama kami ingin menyampaikan kesempatan ini kepada pemerintah terlebih dahulu atau langsung dari pakar baru selanjutnya ada dialog. Sembil kita menunggu dari pakar selanjutnya barangkali bisa hadir bersama-sama kita.

Demikian pengantar dari kami, kami persilakan Pak Loeby untuk menyampaikan pandangan-pandangan pikirannya mengenai hal-hal yang sudah kita utarakan tadi.

NARA SUMBER : PROF. LOEBY LUKMAN

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Tadi memang ada dari F.TNI/POLRI yang sudah bicara-bicara bukan loby resmi, akan tetapi disini barangkali kita bisa memisahkan antara pelaku pelanggar dari suatu kejahatan HAM, suatu pihak dari yang lain adalah objek daripada pelanggaran HAM ini, tetapi kalau kita melihat bahwa memang setiap orang adalah orang perseorangan dan sebagainya ini tentu mengenai pelakunya, lalu dikatakan apakah juga umpamanya TNI diserang oleh suatu kelompok apakah itu harus juga dilakukan suatu perlindungan. Di dalam hal demikian siapapun yang terlanggar hak asasinya, itu memang dilindungi oleh Undang-undang ini. Sehingga menunut saya yang terpenting adalah menunjukkan siapa pelaku itu. Dan kalau kita lihat di dalam rumusan ini sedemikian luas itu artinya bahwa pelaku sudah demikian luasnya. Yang perlu mendapatkan perhatian, sekarang ada suatu pendapat terutama dari Amerika atau negara tersebut bahwa pelanggaran hak asasi itu adalah pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa terhadap warga.

Suatu ketika di dalam suatu seminar, saya ngotot mengatakan "tidak' pelanggaran HAM suatu ketika bisa dilakukan oleh sesama kelompok warga tersebut. Akan tetapi mereka masih berkeras bahwa pelanggaran hak asasi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa kepada warga. Terus terang dalam hal ini saya tidak sependapat, sebab bisa saja hak asasi itu dilanggar oleh sesama anggota kelompok. Itu pendapat saya, tergantung dari bapak-bapak untuk bagaimana nanti merumuskan, akan tetapi ini menjadi masalah.

Banyak saya contohkan juga di negara-negara tersebut terjadi pelanggaran antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. ltu barangkali kalau kita melihat di dalam Pasal mengenai setiap orang yaitu Pasal 1 angka 4 Penghentian penuntutan, memang sekarang inti daripada penghentian adanya ketentuan yang semula ada di dalam KUHAP, apa sebetulnya ide dasar adanya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. ltulah sebabnya juga ada suatu lembaga pra peradilan untuk juga meninjau keabsahan daripada SP3 ini. Tidak lain ini memberikan suatu lindungan terhadap korban.

Korban yang sudah melapor kepada penegak hukum apakah itu Polisi, apakah itu Jaksa.

Ternyata tidak mendapatkan suatu proses seperti yang dikehendaki. Oleh karena itulah maka ada pra peradilan. Jadi sekarang ada tidak penghentian penuntutan, penghentian penyidikan itu ada suatu tahapan. Penghentian penyidikan bisa dikontrol oleh kejaksaan, jadi sekarang siapa yang mengontrol terhadap adanya penghentian penuntutan.

Oleh karena itu barangkali menurut saya, bahkan di dalam penghentian penuntutan harus ada suatu lembaga kontrol. Jadi disini permasalahan apakah memang ada penghentian penyidikan, apakah memang ada penghentian penuntutan, menurut saya dua-duanya bisa terjadi yang paling penting adalah kontrol terhadap penghentian penyidikan maupun penghentian

(5)

penuntutan semata-mata untuk keperluan dari pada si korban tersebut, karena kepada siapa lagi mereka itu untuk melakukan laporan selanjutnya.

Mengenai alat bukti yang modern, ini juga kita melihat bahwa memang selama ini ada sudah ada yang menerima alat-alat modern ini. Ini juga kita melihat di dalam Undang-undang Dokumen dimana juga diatur keabsahan daripada suatu otentiksitas daripada suatu dokumen, itu sudah ada. Sampai di dalam Undang-undang Dokumen itu mengatakan bagaimana mengalihkan suatu dokumen ke mikro film dan sebagainya. Oleh karena itulah, maka kalau ini diatur kembali apakah 1. tidak tumpang tindih, 2. kalau tidak diatur mungkin orang lupa ada Undang-undang yang lain yang sudah mengaturnya. Hanya saja di dalam Undang-undang Dokumen itu keabsahan otentiksitas daripada suatu dokumen itu adalah dengan berita acara dan sebagainya.

Dan kalau memang ini merupakan suatu kemajuan teknologi ini, maka kita juga bisa melihat kekhawatiran kita adanya rekayasa terhadap alat bukti mempergunakan teknologi modern ini.

ltulah sebabnya kalau kita memasukkan menggunakan teknologi modern harus dijelaskan menurut saya bahwa ada suatu perangkat yang lain juga melalui teknologi modern untuk melihat otentiksitas daripada alat bukti yang menggunakan teknologi modern ini. Siapa tahu pada waktu kita nonton film orang mendarat di bulan, apa betul di bulan apa dibuat di Amerika sendiri kita tidak tahu otentiksitasnya itu kita percaya saja ini yang menjadi permasalahan.

Mohon maaf kalau saya tidak terlampau to the point sehingga bisa bapak ibu untuk memilih itu bukan tugas saya, itu adalah tugas bapak ibu.

Sekarang mengenai lamanya hukuman, prinsip di dalam hukum pidana. Hukum pidana yang paling tinggi itu adalah tidak selama ini diutarakan selama 20 tahun, 15 tahun. Jadi tertinggi hukuman penjara itu 15 tahun. Pemberatannya adalah 1/3 nya, Kadang-kadang apa landasannya ada seseorang di hukum 17 tahun, karena angka 17 tahun itu angka keramat dan sebagainya. 15 tahun kalau diperberat 20 tahun, diperberat lagi seumur hidup, paling berat itu untuk penjara paling berat lagi itu adalah hukuman mati.

Di dalam Undang-undang HAM ini dikehendaki 25 tahun. Kalau kita menghendaki demikian, apa landasannya. Kalau kita melihat prinsip dari pada KUHAP sudah ada pemberatannya yaitu ditambah 1/3, militer atau pegawai negeri yang melakukan suatu tindak pidana itu ditambah 1/3nya, jadi ketentuannya demikian, tapi ini lebih berat dari pada KUHAP biasa, terus demikian diadakan 25 tahun. ltu terserah suatu pilihan, tetapi jelas ini merubah suatu prinsip. Apakah memang ini perlu dilakukan atau tidak, karena orang mengatakan bahwa pelanggaran HAM itu Iebih tinggi daripada pelanggaran yang biasa tetapi lebih rendah daripada penjahat perang. Sehingga mungkin menghendaki adanya 25 tahun. Tetapi sekali lagi prinsipnya adalah 15 tahun diperberat menjadi 1/3nya ditambah sekian 20 tahun.

F.PDIP : A. TERAS NARANG

Boleh meminta penjelasan terhadap suatu kata prinsip tadi. Tadi Bapak mengatakan tentang prinsip, prinsip itu apa dari hukum pidana atau darimana, (hukum pidana yang selama ini kita anut). Jadi itu merupakan suatu semacam konvensi (bukan konvens suatu prinsip suatu asas bahwa hukuman maksimal 15 tahun). Apakah ada kemungkinan dari segi akademis 15 tahun ini bisa lebih dari ini, kita lihat dari tindak korupsi yang baru kecenderungan 20 tahun. Jadi seolah- olah bahwa apabila berbicara masalah hukuman kurungan atau penjara maksimal adalah 20 tahun, seolah-olah, kami mau meminta penjelasan apakah memang ada suatu acuan secara akademis tentang 20 tahun ini.

NARA SUMBER : PROF. LOEBY LUKMAN

Saya utarakan sekarang perkembangan penjara di luar Indonesia. Bahwa sekarang hukuman penjara bukan lagi primadona. Orang lebih senang untuk diluar itu untuk dibina diluar tembok penjara. OIeh karena itu tentang tinggi rendahnya suatu hukuman sekarang menjadi masalah. Di negara-negara terutama di Indonesia ini memang budayanya, orang tidak senang kalau melakukan kejahatan tidak masuk penjara. Apakah kita masih mengikuti itu ? Kalau kita masih mengikuti itu jadi penjara tetap primadona di Indonesia itu satu.

(6)

Mengenai lamanya ini saya katakan asasnya 15 tahun sudah dianggap umur rata-rata seorang manusia sudah dianggap 15 tahun sudah merupakan hal yang amat berat. Jadi ini sayangnya para hakim kita jarang menjatuhkan hukuman yang paling berat, sehingga kita harus sekian tahun, tetapi ini bagi hakim-hakim tersebut tidak menyentuh hati nuraninya. Ini suatu hal lain dalam penjatuhan pidana. Kita mengatakan ancaman pidana. Oleh karena itu, kalau ini dilakukan suatu pengecualian yaitu sampai 20 tahun itu tengantung dari kita. Kita melakukan pengecualian itu apa landasannya. Kalau landasan bahwa hukum pelanggaran hak asasi manusia itu memang lebih berat dari pada kejahatan biasa, silakan saja. Akan tetapi Iebih jelas mengapa diadakan pemberatan tersebut. Jadi dengan sadar telah dilakukan suatu perubahan dari asas- asas tersebut.

Saya kira tidak ada masalah kalau kita mempunyai suatu alasan. Hanya saja saya mengingatkan pemidanaan bukan merupakan balas dendam. Memang dia salah harus dilakukan suatu pemidanaan akibat hukum yang dilanggar suatu hukum. Jangan sampai kita menjatuhkan atas rasa dendam. Hukuman mati pun bukan karena dendam. ini suatu hal yang saya katakan secara prinsip. Juga Demikian menurut ketentuan umum minimum hukuman, prinsip di Indonesia belum ada. ini merupakan pengecualian-pengecualian yang ada di luar KUHAP.

Jadi umpamanya narkotika, perbankan itu keluar, tetapi kita mengarah kepada interpretasi di masa yang akan datang, karena KUHAP kita saja sampai sekarang belum selesai-selesai lalu kita melakukan hukuman minimal ini secara seporadis, jadi ketentuan-ketentuan yang ada di luar KUHAP. KUHAP sendiri sampai sekarang tidak menganut asas tensebut. Sehingga Prof.

Bandariawawi berkeberatan adanya state minimum yang ada di luar KUHAP. Tapi saya katakan ini merupakan suatu pengecualian pula. Cuma kalau kita memberikan pengecualian tentunya kita harus mengetahui apa alasan pengecualian-pengecualian itu, kalau tidak itu merupakan penyelewengan dari suatu asas. Itu mengenai minimum dan maksimum.

Nah sekarang mengenai percobaan permufakatan jahat dan pembantuan. Ini memang kita melihat dimulai dari Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi. Didalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi bukan keseluruhan ini, hanya percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi sama dengan tindak pidana Ekonomi. Akan tetapi ini diperluas waktu tindak pidana Ekonomi sampai juga pembantu, ini diperluas lagi sampai permufakatan jahat. Itu dianggap sama dengan delik yang sudah selesai, mengapa Demikian. Waktu tindak pidana Ekonomi dimana percobaan melakukan suatu tindak pidana Ekonomi itu disamakan dengan deliknya, karena sulitnya dilakukan suatu pembuktian, karena percobaan itu harus ada fiat, harus ada permulaan pelaksanaan tetapi tidak selesai, karena semata-mata bukan kehendak daripada si pelaku. ini sulit dibuktikan di dalam tindak pidana Ekonomi.

OIeh karena itu maka percobaan dianggap sama dengan deliknya itu sendiri. Disamping itu ada dua pendapat pada saat itu, percobaan itu ada yang mengatakan itu adalah delik penuh.

Artinya mencoba dengan dihukum, tetapi delik penuh hanya saja dikurangi dengan 1/3-nya, Tetapi ada yang mengatakan bukan delik, ini adalah suatu lembaga hukum yang tidak sama seperti deliknya sendiri.

Jadi kalau menuntut percobaan itu harus menuntut deliknya dulu baru junto Pasal 53. Ini antara UI dan Gajah Mada, Prof. Mulyanto mengatakan ini adalah deliknya berdiri sendiri sedangkan dari Prof. Santoip ini adalah bukan suatu delik. Karena masih menyangkut, tidak bisa dituduh telah melakukan percobaan. Tidak bisa percobaan dari, itu dari UI termasuk saya. Itu dilihat dari percobaan, permufakatan jahat. Sebab permufakatan jahat dan pencobaan, kalau percobaan, ada permulaan pelaksanaan tidak selesai, tetapi permufakatan jahat hanya satu, ada niat dari 2 orang atau lebih untuk melakukan kejahatan.

OIeh karena itu untuk permufakatan ini hanya terhadap delik-delik tertentu saja. Di dalam KUHAP Pasal 104 dan sebagainya, ini terserah kepada kita apakah ditentukan juga niat seseorang saja untuk melakukan pelanggaran HAM sudah bisa dihukum, sama hukuman pokoknya. Dua orang sepakat untuk melakukan sesuatu tindak pidana, tindak pidana pelanggaran HAM. Karena yang dimaksud dengan permufakatan jahat seperti apa yang sudah saya jelaskan tadi. Percobaan memang ada permulaan pelaksanaan tidak selesai karena semata-mata bukan kehendak si pelaku. ini kita lihat permufakatan jahat, percobaan dan pembantuan. Pembantuan inipun karena memang dia tidak mempunyai, orang yang pembantu itu tidak selalu mempunyai

(7)

daripada kejadian-kejadian tersebut. Apakah itu disamakan, dalam banyak hal korupsi itu juga disamakan. Seperti tadi Pasal 45 nanti hubungannya dengan Pasal 1 angka 4.

Saya kira Demikian sambil menunggu diskusi Iebih lanjut.

KETUA RAPAT :

Sebenarnya ada satu lagi, soal leturatif dan alasannya.

NARA SUMBER : PROF. LOEBY LUKMAN

Soal leturatif, kembali lagi mengenai asasnya di dalam hukum pidana, jelas itu asas legalitas. Artinya suatu perbuatan tidak dapat dipidana melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam perundang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan, sehingga demikian apa yang dikehendaki asas legalitas adalah suatu kepastian hukum. Perbuatan apa yang boleh dilakukan dari perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan. Ternyata bahwa pelanggaran hak asasi di Indonesia belum pernah ada ketentuan seperti itu.

Jadi saya katakan, mengenai hak asasi manusia sama sekali tidak ada di dalam Undang- undang Dasar kita, yang ada Pasal 28 masih akan diatur di dalam undang-undang. Karena pendiri negara kita ingin menjadikan suatu negara gotong royong, tidak perlu dimasukkan. Baru setelah Pak Hatta mengatakan perlu lalu dimasukkan Pasal 28 itu, itupun diatur di dalam undang-undang.

Oleh karena itu kalau sekarang kita mempermasalahkan yang lalu, ini menjadi permasalahan yang besar, karena akan merubah asas. Akan tetapi kalau kita melihat secara luas kita tidak bisa tidak juga harus melihat pelanggaran hak asasi meskipun belum ada undang-undangnya yaitu yang dilakukan, misalnya di Timor-timur, Aceh, di Priok dan sebagainya.

Ada suatu pilihan kalau kita tetap bertumpu kepada ketentuan yang ada maka ini akan menjadi peluang asing untuk masuk pada international criminal cord, ini berhubungan dengan kedaulatan kita. Pada waktu ada asing yang didatangkan di Kejaksaan Agung, dia mengatakan (seorang Amerika) sebenarnya di Indonesia sudah ada Pasal 38, Pasal 40 dan sebagainya.

Hanya saja permasalahannya adalah sejauhmana para komandan ini ikut bertanggung jawab.

OIeh karena itulah di dalam Undang-undang Hukum Pidana ini dianggap masih kurang.

Itu sebabnya maka kalau kita melakukan suatu perubahan asas menurut saya ukurannya kalau dilakukan asas yang lama justru menimbulkan ketidakadilan. OIeh karena itu adil itu menurut siapa, menjadi bahan tersendiri untuk didiskusikan. Oleh karena itu maka kita menjaga kedaulatan kita, kita menyampingkan asas legalitas kita memakai asas retro aktif. Waktu itu menjadi permasalahan rektro aktifnya itu kapan, ada yang mengatakan satu pokoknya setelah kita merdeka, itu retro aktif, sehingga westerling juga kena. Ada yang mengatakan sampai dengan kadaluarsa saja, mengapa alasannya. Mengapa kadaluarsa itu ada di dalam hukum pidana : 1. Untuk pembuktian, kalau sudah sekian lama kalau diancam dengan hukuman mati

kadaluarsanya 18 tahun, untuk mencari saksi-saksi atau bukti-bukti setelah 18 tahun. OIeh karena itu tidak perlu lagi dilakukan penuntutan sudah kadaluarsa.

2. Masyarakat itu sendiri, kalau sudah Iebih dari waktu tertentu masyarakat itu sudah tenang kembali, sehingga tidak perlu dilakukan penuntutan karena sudah kadaluarsa.

Jadi 1. kepentingan pembuktian, 2. kepentingan daripada masyarakat sudah tenang kembali sudah lupa, dengan adanya Iampau waktu seperti waktu itu dulu ada orang yang dipotong-potong ditaruh didalam kardus sekarang sudah tenang dan orang sudah lupa. 3. ada seorang pelaku melakukan suatu tindak pidana dan dia melarikan dieri sampai waktu tertentu ini dianggap sudah menghukum dia sendiri, sehingga dia keluar dari Iingkungannya sudah merupakan memenjara dirinya sendiri. Ad hoc nantinya katanya akan ditentukan oleh DPR. Boleh berlaku surut untuk tindak atau perkara apa saja, ini diserahkan kepada DPR. Itu yang dinamakan retro aktif tersebut.

KETUA RAPAT :

Terima kasih Pak Loeby, saya kira dia sudah menjelaskan semua pandangan-pandangan beliau seorang pakar. Apakah dari pemerintah ada tambahan, saya pensilakan.

(8)

PEMERINTAH :

Saya khusus akan menambah mengenai retro aktif. Tentu kita apa dasarnya tidak oleh retro aktif. Pertama tentu dasar kita harus melihat kepada hukum nasional kita. Apakah itu berupa konstitusi, apakah berupa undang-undang. Di dalam konstitusi kita pada Pasal 28 Ayat 1 dikatakan demikian "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dari hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Baik juga di dalam Undang-undang yaitu mengenai Undang-undang KUHP Pasal 1 menyebutkan demikian juga. Sekarang bagaimana hukum internasional, hukum internasional juga mengatur mengenai masalah ini yaitu yang diatur di dalam Deklarasi PBB Pasal 11 Ayat 2 "Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran pidana menurut Undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan juga tidak diperkenankan menyatukan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana."

Deklarasi PBB ini yang hanya status hukumnya pada deklarasi yang universal, diperluas atau dilaksanakan, selanjutnya dengan masyarakat sipil.

Di dalam politik convinues itu diatur dalam Pasal 4, berbunyi demikian "Tidak bisa terambil haknya itu yang diatur di dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 15 atau Pasal 16 atau dikatakan non convirues." Ini mengenai non lituratif dipasang diatur di dalam Pasal 15 termasuk tidak boleh diambil.

Jadi orang itu hanya bisa dihukum apabila ada undang-undangnya baik hukum nasional maupun hukum intennasional. Sekarang bagaimana posisi kita, bagaimana pelaksanaan masa lalu. Permasalahan ini terjadi pada waktu negara akses menang, Amerika, lnggris, Perancis menang perang dunia ke-Il. Pada waktu mereka mau akan menentukan untuk mengadili penjahat perang. Pada waktu itu masih bernama crime again ada istilah baru crime again the image.

Bagaimana sedangkan aturan pidana materil ini baru dibuat, kejadian ini sudah sebelumnya, maka protes banyak terjadi ini tidak bisa dijadikan. Akhirnya ditentukan retro aktifnya itu terbatas, hanya ditentukan lokusnya. Sehingga prinsip-prinsip umum dilaksanakan tetapi terbatas.

Cara-cara demikian dilakukan kembali pada waktu Ruanda dari Glovaskia. Dan disini di dalam pasal yang kita atur di dalam Pasal 48 Pelanggaran HAM yang sudah terjadi sebelum Undang-undang diperiksa dan diputus oleh HAM Ad Hoc dikembalikan oleh Presiden. Jadi kita harus mengatur bahwa nanti di dalam Pengadilan HAM Ad Hoc itulah kita menentukan mengenai perkara yang mana, yang akan berlaku retoraktif dari ditentukan tempo lestingnya.

Di dalam Undang-undang kita diatur Pasal 76, hukum internasional juga diatur. Di dalam konvensi PBB juga, mengenai kejahatan world crime itu tidak ada konvensi. Barangkali hal-hal itu yang perlu kita pikirkan dengan jernih mengenai masalah-masalah ini. Sekarang mengenai siapa itu pelaku, pelaku itu sebetulnya pastilah dalam persidangan adalah natural person (orang). Jadi yang diminta pertanggungjawaban itu adalah individual. Yang harus kita perhatikan adalah hanya mengenai tindak pidana pelanggaran HAM berat.

Jadi kita harus tafsirkan dari maksud sebagaimana yang dimaksudkan dengan hukum internasional mengenai crime again humanity. Bahwa pelanggaran terhadap Hak Asasi itu sudah menyeluruh. Kita harus mengartikan ini dalam pengertian crime again humanity menurut hukum internasional yang kita adop menurut Undang-undang yang ada.

KETUA RAPAT :

Terima kasih dari pemerintah beberapa tambahan untuk semakin memperjelas pokok- pokok masalah yang kita diskusikan. Kita akan putar saja, tetapi sebelum fraksi-fraksi menyampaikan pertanyaan atau tanggapan terhadap pandangan yang telah disampaikan tadi, mungkin dari meja pimpinan ada yang akan disampaikan.

(9)

KETUA PANSUS :

Dari penjelasan yang disampaikan oleh kedua Profesor ini kita dapat menarik suatu garis bawah. Retoaktif yang akan dihasilkan dan diselesaikan oleh Panja ini dan kemudian oleh Pansus, ini betul-betul sifatnya sangat penting dan mendasar sekali. Masalah kita kembali ke belakang itu sampai kapan. Atau yang sudah disampaikan oleh Bapak Prof. Loeby Lukman kalau tidak sampai kapan kasus-kasus apa. Pertanyaan saya pada Pak Nata Baya, dari tadi yang disampaikan oleh Pak Loeby Lukman mengenai waktu ke belakang cenderung atau sebagai patokan kadaluarsa Iebih daripada itu, bukti-bukti lebih syarat pengetahuan. Dari retoaktif akan terjadi secara yang telah disampaikan oleh Pak Nata Baya ini mengambil waktu atau mengambil klise.

KETUA RAPAT :

Unsur pimpinan kalau rapat begini ada beberapa masalah. Kita selesaikan satu jangan terlalu banyak. Baik, begini saja, kami meminta pandangan, tanggapan atau pertanyan dari fraksi- fraksi kita putar pertama menyangkut Pasal 1 berkaitan dengan Pasal 45 karena waktu lebih banyak. Barangkali ada yang dipertanyakan kepada nara sumber, kalau sudah jelas kita mengaturnya dalam Pasal 45.

F.PG : M. AKIL MOCHTAR

Saya pikir para ahli sudah menjelaskan Pasal per Pasal, layak tidaknya masalah ini juga menyangkut Pasal lain. Kita atasi dulu Pasal 1 baru yang lain. Tetapi penjelasan para ahli, Pasal 1 sampai terakhir, oleh sebab itu kepentingan ini bermacam-macam menurut saya. Kalau saya berpendapat bahwa menentukan ini ada dua hal, pertama hal mengenai waktu hukuman dan yang kedua mengenai retoaktif. Kalau yang lain itu menjadi keputusan Pansus. Oleh sebab itu hanya persoalan kita adalah dikaitkan dengan Pasal 45 tersebut.

Soal penuntutan terjadi perdebatan, karena seorang penyidik dan penuntut itu menjadi satu dengan asumsi bahwa penyidik dalam penyidikannya lengkap tidak ada alasan melakukan penuntutan kecuali terselubung atau meninggal dunia. Tetapi ketika kita berbicara masalah retoaktif dan batas minimal atau maksimal hukuman itu memang argumentatif yang memerlukan pemikiran-pemikiran.

KETUA RAPAT :

Jadi memang kita melakukan diskusi apakah ada masukan, keputusannya sudah jelas, termasuk yang sudah kita sepakati sekalipun. Sesungguhnya yang dipending itu memang hal-hal yang belum kita putuskan, pada dasarnya angka kemajuan pembahasan, pada salah satu titik tertentu kita tidak bisa mengambil keputusan. Oleh karena itu dalam kerangka untuk mempermudah yang kita capai nanti mengharapkan masukan. Sekarang terserah kalau memang kita berikan satu persatu jadi semuanya mendiskusikan semuanya. Mungkin ada fraksi yang tertarik misalnya hanya satu tetapi tidak semua terhadap permasalahan.

Dengan Demikian saya mulai dengan F.PDIP untuk menyampaikan tanggapan- tanggapannya.

F.PDIP : A. TERAS NARANG

Memang pada saat kami melakukan tugas di Panitia Kerja ada 3 hal yang kami memerlukan suatu penjelasan terutama masalah-masalah yang menyangkut masalah akademis.

Tiga hal yang kami catat yang kami masukkan dari mahasiswa, yang pertama maksimal dan minimal dari hukuman penjara.

Kedua tentang masalah retoaktif. Kami pada saat Panja itu sudah pada prinsipnya sudah berkesepakatan untuk menerima retoaktif. Timbul masalah pada saat kami akan berbicara untuk menentukan sejak kapan kami dapat mundur. Karena pada saat itu apa yang sudah kami sampaikan bahwa ada yang sejak proklamasi, ada yang 30 tahun ada yang 18 tahun dan ada

(10)

juga yang berpendapat setelah itu menyatakan tidak usah diberikan batasan waktu. Dalam rangka kami untuk memutuskan itu, kami memerlukan suatu pegangan dari sisi akademisnya, itu yang kedua.

Ketiga mengenai masalah percobaan, permufakatan jahat dan pembantuan. Pada saat itu konsep dari pemerintah bahwa manakala terjadi percobaan, permufakatan jahat dan pembantuan terhadap pelanggaran HAM berat itu hukumannya sama seperti di atas. Jadi misalnya di atas itu 25 tahun kami kepakati dalam tanda kutip, nah hukumannya juga demikian. Tetapi ada berpendapat bahwa untuk masalah percobaan dan pembantuan dikurangi 1/3. Pada saat itu terselesai mengusulkan, saya bilang kita sudah berbicara sudah menyentuh hal-hal mengenai prinsip hukum pidana.

Jadi kalau kita menentukan pada saat itu sangat kurang referensi dari Panitia Kerja.

Karena Kami memerlukan penjelasan, satu masukan dari bapak-bapak sekalian. Dari penjelasan Prof. Loeby tadi kami dari Fraksi PDI Perjuangan sudah mempunyai suatu acuan, khususnya mengenai masalah maksimal dan minimal pidana penjara. Dan kami juga sudah mempunyai acuan tentang masalah Percobaan, Permufakatan jahat dan Pembantuan. Namun pada saat berbicara tentang masalah masa mundurnya retoaktif ini kami terus terang saja masih belum mendapat memperoleh suatu pedoman apa yang menjadi tolak ukur bagi kami untuk mengusulkan baik kepada Pansus ini nanti. Karenanya kami mohon agar bisa diberikan sesuatu penjelasan berkenaan dengan masalah waktu mundur ini.

F.PG : M AKIL MOCHTAR

Yang pertama adalah tentang pemberlakuan hukuman maksimal dan minimal. Saya langsung saja kepada Pasal 39, setelah saya mendengar satu penjelasan terutama dari Prof.

Loeby Lukman bahwa penyimpangan itu dapat saja dilakukan dengan satu asumsi terhadap pidana-pidana tententu itu juga dilakukan penyimpangan terhadap tindak pidana korupsi. Kalau tidak salah ada keterkaitan dengan pasal yang lain. Saya ingin mempertanyakan apakah prinsip hukum pidana kita yang termaktub di dalam KUHP hukuman maksimal 15 tahun dengan satu tambahan bisa 20 tahun, yaitu suatu prinsip yang mempunyai doktrin pidana pada waktu itu.

Lain kalau misalnya pembantuan memang bisa 25. Kita mengambil suatu asumsi dengan usia hidup, kemudian hukuman penjara dengan prinsip yang baru bukan suatu pembalasan balas dendam, tetapi adalah bentuk-bentuk yang lain misalnya kerja sosial dari segala macam dalam pidana modern pada saat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa melangkah maksimum di KUHAP tidak ada masalah, kenapa Iebih dari prinsip pidana yang memang KUHP sendiri tidak tahu apa peninggalan yang diajukan negara dari kita.

Kemudian KUHP yang kita pegang itu adalah terjemahan, kalau kita baca terjemahan pertama berdasarkan usaha, dan lain sebagainya memang ada pendapat-pendapat terhadap barang siapa merampas nyawa orang lain itu kan termasuk terjemahan. OIeh sebab itu tadi Prof mengatakan bahwa secara prinsip sudah ada penyimpangan. Ini saya melihat prinsip tidak melanggar hak asasi. Kalau dilihat doktrin di dalam pasal inipun bisa menimbulkan penyimpangan misalnya percobaan, permufakatan jahat dan pembantuan. Ini bisa diancam dengan pidana pokok sebagaimana pelaku, jadi ini salah satu penyimpangan saya lihat. Termasuk asas retoaktif, itu penyimpanyan daripada asas hukum pidana yang berlaku selama ini. Termasuk juga disini kemarin adalah mereka yang warga Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia diluar institusi Indonesia.

lnilah kita ingin suatu pemahaman yang secara konkrit, kalau doktrin itu sudah jelas.

Memang suatu pengertian harus ada prinsip-prinsip yang kita pegang. Disini secara prinsip dasar tidak ada masalah. Secara akademis Undang-undang ini bisa dipertanggungjawabkan. Ketika kita serahkan kepada ahli pidana, begitu jadi diketok.

Kemudian pada permufakatan jahat dan pembantuan pada pidana hukum ada dikurangi 1/3, tetapi ini dengan satu syarat kita melihat bahwa genosida pelanggaran HAM berat sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9. Itu memang suatu tindakan yang secara terencana, sistematis

(11)

Di dalam fraksi kami diperlakukan sama, cuma permufakatan jahat tidak semua. Kalau di KUHAP menurut Pasal 107 itu yang menjadi persoalan kita, tetapi tidak masalah. Yang menjadi masalah retoaktif, retoaktif ini karena menjadi pertimbangan. Salah satu fungsi tidak semua kasus- kasus yang dimasukkan di dalam Pelanggaran HAM berat itu mampu menjadi instruksi keputusan kejaksaan. Dengan suatu pertimbangan dengan alat bukti, peristiwa pada masa lampau. Karena kita melihat persoalan-persoalan masa lalu ada asumsi bahwa pensoalan yang muncul ada pensoalan politik, tetapi semata-mata adalah pelanggaran HAM. Jadi akan muncul Pelanggaran HAM berat tetapi tidak bisa diputuskan oleh keputusan seorang hakim. Karena itu menjadi pensoalan masyarakat itu sendiri.

Saya juga berpendapat demikian, memang ada yang mengatakan tidak bisa dilakukan.

Ada beberapa kasus yang sudah dikatakan oleh Pak Nata Baya penjelasan-penjelasan yang berlaku pada hukum internasional.

Tidak terekam.

Jakarta, 24 Oktober 2000 a.n. KETUA RAPAT SEKRETARIS RAPAT,

ttd.

………

Referensi

Dokumen terkait

5.1 Kesimpulan Setelah dilakukan uji coba, aplikasi identifikasi lalu-lintas data Skype khususnya VoIP ini serta dilakukan evaluasi hasil penelitiannya, maka dapat diambil

Penelitian ini dilakukan untuk memanfaatkan energi angin yang ada di Indonesia dan bertujuan untuk merancang turbin angin dengan kapasitas 3 MW menggunakan potensi

1) Proses pembelajaran dirasakan sangat bermakna karena dalam setiap proses pembelajaran sebelumnya dilakukan perencanaan dengan melibatkan pihak pengelola dengan

Proses IGRK dan MPV meliputi penyiapan perumusan kebijakan, penyiapan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria,

Aliran panas tersubstitusi oleh aliran fluida dari gangguan sehingga pada bagian kiri model terisi oleh fluida yang bersuhu rendah dikarenakan kecepatan dan tekanan

Namun terdapat juga konsonan pertama pada bahasa Jepang yang sepadan makna bunyinya dengan konsonan kedua pada bahasa Indonesia ataupun sebaliknya, seperti pada

Dari hasil penelitian dan setelah dilakukan analisis sesuai spesifikasi yang diinginkan diperoleh, untuk perencanaan tebal lapisan perkerasan pada ruas jalan Wolotopo-Ngalupolo

Leuwih écésna Modul Diklat Guru Pembelajar Basa Sunda Kelompok Kompeténsi Gngawengku 10matéri poko, nu ngawengku 4 (opat) matéri poko kompeténsi pédagogik, jeung 6