• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori 1. Teori Belajar

Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Gagne (1977) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses terjadinya perubahan perilaku sebagai akibat pengalaman. Aunurrahman (2011) mendefinisikan belajar sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek-aspek kognitif, psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu. Smaldino dan Russell (2005) mengemukakan belajar adalah perolehan pengetahuan baru, kemampuan atau sikap sebagai hasil interaksi individu dengan informasi dan lingkungannya.

Berdasarkan definisi-definisi belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses terjadinya interaksi antara individu dengan sumber belajar sehingga terbangun pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kepribadian, dan sikap melalui pengalaman dan pelatihan dalam lingkungan belajar. Beberapa teori belajar yang menjadi acuan dalam penelitian ini antara lain:

a. Teori belajar konstruktivisme

Penelitian-penelitian pendidikan sains mengungkapkan bahwa belajar sains merupakan suatu proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif siswa (Dahar, 2011). Pengetahuan bukanlah hasil pemberian tetapi hasil konstruksi dari individu. Menurut teori konstruktivisme proses belajar akan efektif bila siswa aktif dalam kegiatan yang bermakna. Siswa harus aktif berpikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari.

Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja, tetapi harus dibentuk dan dibangun sendiri oleh setiap individu. Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang dan setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.

(2)

Menurut Suparno (2001) belajar menurut teori konstruktivisme mempunyai ciri-ciri: 1) belajar berarti membentuk makna, makna diciptakan oleh siswa dari yang mereka lihat, dengar, rasa, dan alami, 2) proses konstruksi terjadi terus-menerus, setiap kali berhadapan dengan persoalan baru harus diadakan rekonstruksi baik secara kuat maupun lemah, 3) belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih dari suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru, 4) proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut, 5) hasil belajar dipengaruhi pengalaman dengan dunia fisik dan lingkungannya, dan 6) hasil belajar tergantung pada yang telah diketahui siswa, konsep, tujuan, dan motivasi.

Vygotsky (1978) mengemukakan pentingnya faktor sosial dalam belajar.

Selama proses belajar terdapat interaksi antara bahasa dan tindakan dalam kondisi sosial. Vygotsky (1978) mengemukakan bahwa belajar itu harus belajar dalam kondisi sosial. Interaksi sosial dalam pembelajaran penting saat siswa menginternalisasi pemahaman yang sulit, masalah, dan proses. Proses internalisasi melibatkan rekonstruksi aktivitas psikologis dengan dasar penggunaan bahasa (Dahar, 2011).

Dalam penelitian ini, pembelajaran termokimia dilakukan menggunakan pendekatan CTL yang sejalan dengan teori konstruktivisme. Pembelajaran CTL menghendaki siswa ikut terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pembentukan makna dan mengkaitkannya dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa diberi kebebasan untuk mengembangkan keterampilan berpikirnya dengan mendayagunakan segala sarana-prasarana dan media pembelajaran seperti modul dan media interaktif yang mendukung proses kegiatan belajar siswa. Dalam pembelajaran, siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui diskusi kelompok dengan bantuan modul dan media interaktif dan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikirnya, sehingga siswa dapat mengasimilasikan pengetahuan barunya kedalam pengetahuan awalnya

(3)

berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya selama proses pembelajaran.

b. Teori belajar kognitif

Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan suatu proses terpadu yang berlangsung dalam diri seseorang dalam upaya memperoleh pemahaman dan struktur kognitif baru, atau untuk mengubah pemahaman dan struktur kognitif lama. Memperoleh pemahaman berarti menangkap makna atau arti dari suatu obyek atau suatu situasi yang dihadapi, sedangkan struktur kognitif adalah persepsi atau tanggapan seseorang tentang keadaan dalam lingkungan sekitarnya yang mempengaruhi ide, perasaan, tindakan dan hubungan sosial orang yang bersangkutan (Sumiati dan Asra, 2009). Berikut beberapa teori belajar aliran kognitivisme:

1) Teori Piaget

Teori Piaget (1964) menyatakan bahwa setiap individu mengalami tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut: 1) tingkat sensori-motor (0-2 th), selama periode ini anak mengatur alamnya dengan indra (sensori), yaitu penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, pergerakan dan tindakannya; 2) tingkat pra-operasional (2-7 th), anak belum mampu untuk melaksanakan operasi mental, belum dapat berpikir reversible dan bersifat egosentris; 3) tingkat operasional konkret (7-11 th), tingkat ini merupakan permulaan berpikir rasional.

Ini berarti anak memiliki operasi logis yang yang dapat diterapkan dalam masalah konkret. Periode ini anak menjadi kurang egosentris dan lebih sosiosentris dalam berkomunikasi; 4) tingkat operasional formal (> 11 th), pada periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks (Dahar, 2011).

Perkembangan intelektual merupakan perubahan yang berurutan, bertahap sedemikian rupa sehingga proses mental menjadi semakin kompleks, dengan demikian proses belajar harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Siswa SMA berada pada tingkat peralihan ke operasional formal. Siswa dalam mempelajari termokimia akan membangun pengetahuannya sendiri dengan melalui pembentukan makna dan mengkaitkannya dengan

(4)

kehidupan sehari-hari. Siswa memperoleh pengetahuan baru melalui pengalaman belajarnya yaitu, berdiskusi dalam kelompok kecil, bertanya, dan berlatih soal.

Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman belajar diasimilasikan ke dalam pengetahuan yang sudah ada sebelumnya menjadi pengetahuan yang baru.

2) Teori belajar bermakna Ausubel

Inti teori Ausubel (1968) tentang belajar adalah belajar bermakna.

Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif siswa (Dahar, 2011).

Terdapat empat konsep yang mempengaruhi belajar bermakna. Konsep pertama adalah pengaturan awal pada fase ini guru mengarahkan siswa pada materi yang akan mereka pelajari, menolong siswa untuk mengingat informasi atau pengetahuan yang berhubungan dan membantu menerapkan pengetahuan tersebut untuk mempelajari pengetahuan baru. Fase ini digunakan sebagai konsep jembatan antara materi baru dan materi yang sudah dimiliki oleh siswa, karena tidak jarang siswa tidak memahami atau menyadari relevansi pengetahuan yang telah dimilikinya terhadap materi berikutnya.

Konsep kedua merupakan suatu proses yang disebut diferensiasi progresif, yaitu suatu kemajuan langkah demi langkah dari konsep umum ke konsep khusus.

Pengembangan konsep berlangsung paling baik jika unsur yang paling umum diperkenalkan terlebih dahulu, baru kemudian diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Konsep ketiga adalah belajar superordinat, selama informasi diterima dan diasosiasikan dalam struktur kognitif, konsep itu tumbuh atau mengalami diferensiasi. Proses ini terus berlangsung sampai ditemukan informasi yang baru. Belajar subordinat terjadi apabila konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif. Konsep yang terakhir adalah penyesuaian integratif. Ausubel menyarankan guru untuk melihat pemahaman siswa terhadap pelajaran yang disampaikan guru dan dapat menghubungkan pelajaran tersebut dengan pengetahuan awal mereka (Dahar, 2011).

Keterkaitan teori belajar Ausubel dengan penelitian ini adalah pada proses pembelajaran CTL pada materi termokimia siswa akan belajar menghitung kalor

(5)

reaksi yang berhubungan dengan stoikiometri yang sebelumnya telah dipelajari, sehingga siswa dapat mengkaitkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang telah ada. Proses belajar siswa menjadi lebih bermakna dan siswa tidak hanya sekedar belajar hafalan.

3) Teori belajar Bruner

Teori belajar Bruner (1960) menyatakan bahwa inti belajar adalah cara orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi secara aktif (Dahar, 2011). Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia adalah sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner mengemukakan empat tema pendidikan, yaitu: 1) pentingnya arti struktur pengetahuan, dengan struktur pengetahuan guru dapat menolong para siswa untuk melihat fakta yang kelihatannya tidak memiliki hubungan, dapat dihubungkan satu sama lain dan pada informasi yang telah dimiliki siswa; 2) kesiapan belajar; 3) menekankan nilai intuisi pada proses pendidikan, 4) dan motivasi atau keinginan untuk belajar, pengalaman pendidikan yang merangsang motivasi adalah pengalaman saat siswa berpartisipasi secara aktif dalam menghadapi alamnya.

Bruner (1960) mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan, yaitu: 1) memperoleh informasi baru, dalam pembelajaran akan diperoleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah dimiliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan sesuatu yang telah diketahui sebelumnya; 2) transformasi informasi, menyangkut cara memperlakukan informasi atau pengetahuan, dengan cara diekstrapolasi atau dengan mengubah menjadi bentuk lain; dan 3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan, menilai hingga pengetahuan yang diperoleh itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain (Dahar, 2011).

Bruner menekankan tentang metode belajar penemuan, yaitu dengan belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya menghasilkan hasil yang paling baik. Menurut Bruner, selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung, siswa diberi kesempatan mencari atau menemukan sendiri makna segala sesuatu yang dipelajarinya. Berusaha

(6)

sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya akan menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui partisipasi aktif dengan konsep dan prinsip sehingga siswa memperoleh pengalaman dan siswa dapat menemukan prinsip itu sendiri (Dahar, 2011).

Keterkaitan teori belajar Bruner dengan penelitian ini adalah pembelajaran CTL berorientasi pada pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan keseharian siswa, siswa mencari sendiri pemecahan masalah pada materi termokimia sehingga akan menghasilkan pengetahuan termokimia yang bermakna bahkan dapat digunakan untuk peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.

Siswa dengan kemampuan berpikir kritis tinggi akan dengan mudah menemukan konsep-konsep materi termokimia pada pembelajaranya. Konsep termokimia akan ditemukan sendiri oleh siswa melalui belajar penemuan sehingga pengetahuan itu bertahan lama dalam diri siswa.

2. Pendekatan CTL

Suprijono (2012) menyatakan konstruktivisme bersifat kontekstual.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran itu, maka pembelajaran harus diciptakan semirip mungkin dengan situasi dunia nyata. Pendekatan konstektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2004).

Johnson (2002) menyatakan bahwa CTL adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Menurut Crawford (2009) Contextual Learning merupakan pembelajaran yang menunjukkan hubungannya dengan keadaan dunia nyata lebih efektif, sehingga hasilnya lebih terlihat realistis.

Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa, dengan

(7)

konsep ini hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Tujuh komponen utama pembelajaran dalam CTL adalah: konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, permodelan, refleksi, dan penilaian autentik.

a. Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme, adalah landasan berpikir (filosofi) CTL, yaitu mengembangkan pemikiran siswa bahwa belajar akan lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Pengetahuan yang dibentuk pada diri manusia berdasarkan pengalaman nyata yang dialaminya dan hasil interaksi dengan lingkungan sosial di sekelilingnya. Pembelajaran melalui CTL mendorong agar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman nyata yang dibangun sendiri, jadi pengetahuan siswa bukan berasal dari guru melainkan hasil usahanya sendiri berdasarkan hubungan dengan dunia sekitar.

b. Bertanya (Questioning)

Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis kontekstual, yaitu mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.

Melalui proses bertanya, siswa dirangsang untuk mampu mengembangkan ide atau gagasan dan pengujian baru yang inovatif, mengembangkan metode dan teknik untuk bertanya, bertukar pendapat dan berinteraksi. Siswa diharapkan dapat membangun pemahamannya sendiri tentang realita alam dan ilmu pengetahuan. Siswa dituntut untuk berpikir dan bertindak kreatif dan kritis. Siswa dilibatkan dalam melakukan eksplorasi situasi baru, dalam mempertimbangkan dan merespon permasalahan secara kritis, dan dalam menyelesaikan permasalahan secara realistis. Aktivitas bertanya dapat diterapkan ketika siswa berdiskusi, bekerja kelompok, dan ketika siswa mengalami kesulitan yang dapat terjadi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan siswa, dan siswa dengan orang lain yang datang ke kelas.

c. Inkuiri (Inquiry)

Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Siswa diberi pembelajaran

(8)

untuk menangani permasalahan yang mereka hadapi ketika berhadapan dengan dunia nyata. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri.

Guru harus merencanakan situasi sedemikian rupa, sehingga para siswa bekerja menggunakan prosedur mengenai masalah, menjawab pertanyaan, menggunakan prosedur penelitian atau investigasi, dan menyiapkan kerangka berpikir, hipotesis dan penjelasan yang relevan dengan pengalaman pada dunia nyata. Inkuiri bertujuan untuk melatih kemampuan siswa dalam meneliti, menjelaskan fenomena, dan memecahkan masalah secara ilmiah.

d. Masyarakat belajar (Learning community)

Menurut pendapat Vygotsky, pengetahuan dan pengalaman anak banyak dibentuk oleh komunikasi dengan orang lain. Crawford (2009) berpendapat ketika siswa bekerja individual siswa bisa menjadi frustasi saat menghadapi masalah kompleks, tapi ketika siswa bekerja sama dalam kelompok kecil siswa sering dapat menangani masalah kompleks dengan saling membantu. Pembelajaran akan berjalan dengan baik ketika siswa mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan gagasannya dan mendapat timbal balik dari teman sebaya.

Kegiatan pembelajaran ini bisa terjadi apabila semua pihak merasa bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Pada proses pembelajaran dapat terwujud dengan cara: 1) pembentukan kelompok kecil dan kelompok besar; 2) mendatangkan ahli ke kelas sebagai narasumber; 3) bekerja dengan kelas sederajad; 4) bekerja kelompok dengan kelas di atasnya; 5) membawa siswa ke dalam lingkungan masyarakat.

e. Pemodelan (Modelling)

Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan suatu contoh yang dapat ditiru oleh siswa. Dalam pembelajaran CTL, guru bukan satu- satunya model, model dapat dirancang dengan melibatkan siswa atau mendatangkan orang dari luar untuk mendemonstrasikan keahliannya, sehingga siswa akan lebih mudah memahami dan menerapkan proses dan hasil belajar.

Siswa akan mampu mengamati dan mencontoh yang ditunjukkan oleh model.

f. Refleksi (Reflection)

(9)

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajarinya, dengan cara mengurutkan dan mengevaluasi kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya untuk mendapatkan pemahaman yang dicapai baik bersifat positif maupun negatif. Refleksi bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Refleksi dalam pembelajaran berupa rangkuman yang telah dipelajari, catatan atau jurnal tentang pembelajaran, diskusi, serta kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu.

g. Penilaian Nyata (Authentic assesment)

Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian dapat mengetahui dampak positif yang didapatkan siswa sebagai perkembangan intelektual, mental, maupun psikomotornya. Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus selama proses pembelajaran berlangsung, sehingga penekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.

Kelebihan pembelajaran CTL, adalah: 1) pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata; 2) membuat konsep diri siswa bertambah dengan penemuan yang diperoleh, siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri; 3) menumbuhkan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat dan bertanya tentang materi yang dipelajari; 4) siswa dapat membuat kesimpulan sendiri dari kegiatan pembelajaran; 5) tidak menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar, karena siswa dapat belajar memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar. Kekurangan dari pembelajaran CTL adalah: 1) memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan yang diterapkan semula; 2) memerlukan fasilitas yang memadai; 3) menuntut guru mengubah cara mengajarnya yang masih bersifat tradisional; 4) sulit mengubah cara belajar siswa dari kebiasaan menerima informasi dari guru menjadi aktif mencari dan mengkontruksi sendiri.

(10)

Miller (2006) menyatakan bahwa pembelajaran CTL adalah pembelajaran yang aktif dan lebih unggul dari pada pembelajaran tradisional. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pembelajaran CTL membuat siswa lebih mendalami pemahaman konsep, belajar mandiri, bertanggung jawab, menunjukkan kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, mengambil inisiatif, dan perilaku bekerja dalam kelompok. Hasil penelitian ini akan dikembangkan untuk melakukan penelitian selanjutnya yaitu dengan menggunakan pembelajaran CTL berbantuan modul dan media interaktif.

3. Media Pembelajaran

Menurut Sadiman (2008), kata media berasal dari bahasa latin, medoe yang berarti perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.

Sadiman (2008) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Bahri (2002) menyatakan bila media adalah sumber belajar, maka secara luas dapat diartikan dengan manusia, benda ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran terjadi. Dalam proses pembelajaran kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan materi dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan materi dapat dibantu dengan adanya media, keabstrakan materi dapat dikonkretkan dengan kehadiran media. Jadi, dengan media siswa dapat lebih mudah mencerna, memahami, dan akhirnya menguasai materi pelajaran.

Hamalik mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa (Arsyad, 2007). Media pembelajaran dapat

(11)

membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi.

Landasan teori penggunaan media pembelajaran yang paling banyak digunakan sebagai sumber acuan adalah xperience (Kerucut Pengalaman Dale) yang tersaji pada Gambar 2.1 (Dale, 1969). Kerucut ini merupakan elaborasi yang rinci dari konsep tiga tingkatan pengalaman yang dikemukakan oleh Bruner, yaitu pengalaman langsung (enactive), pengalaman pictorial/ gambar (iconic), dan pengalaman abstrak (symbolic). Pada kerucut pengalaman Dale, hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (konkret), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang verbal (abstrak).

Semakin ke atas di puncak kerucut semakin abstrak media penyampai pesan itu.

Urutan ini tidak berarti proses belajar dan interaksi belajar mengajar harus selalu dimulai dari pengalaman langsung, tetapi dimulai dengan jenis pengalaman yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi dengan mempertimbangkan situasi belajarnya (Arsyad, 2007).

Media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran CTL pada penelitian ini adalah modul dan media interaktif. Modul termasuk pengalaman simbolik, materi pembelajaran disajikan dalam bentuk bahasa dan simbol. Pada

Sajian untuk siswa yang bentuknya bahasa dan simbol. Tahap ini siswa sudah mampu memanipulasi simbol- simbol dan hanya sedikit sekali mengandalkan gambaran objek-objek konkret

Sajian untuk siswa yang bentuknya persepsi statik. Tahap ini siswa sudah melibatkan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek, siswa tidak memanipulasi objek secara langsung.

Pengalaman piktorial (Ikonik):

Sajian untuk siswa yang bentuknya gerak, pada tahap ini siswa dalam belajarnya, memanipulasi materi secara langsung

Pengalaman Konkret (Enaktif):

Pengalaman langsung Pengalaman Buatan

Radio, Rekaman, Lambang

Lambang verbal

Demonstrasi Film

Pengalaman abstrak (simbolik):

Pameran,

(12)

tahap ini siswa sudah mampu memanipulasi simbol-simbol dan hanya sedikit sekali mengandalkan gambaran objek konkret. Media interaktif termasuk pengalaman ikonik, materi yang disajikan untuk siswa yang bentuknya persepsi statik dan sudah melibatkan mental yang merupakan gambaran dari objek, tetapi siswa tidak memanipulasi objek secara langsung.

Gambar 2.1. Kerucut Pengalaman Edgar Dale

4. Media Interaktif

Media interaktif merupakan media berbasis komputer yang dapat terdiri dari audio, teks, grafik, gambar, dan video yang dirancang dengan melibatkan respon pemakai secara aktif. Media interaktif dapat dibuat dengan bantuan software makromedia flash. Makromedia flash merupakan bahasa pemprograman

yang bekerja pada sistem operasi Windows, dan mempunyai cakupan kemampuan yang luas dan sangat canggih. Makromedia flash bisa terdiri dari teks, gambar, animasi sederhana, video, atau efek khusus lainnya.

Kemampuan yang dimiliki oleh makromedia flash dapat dikembangkan dalam dunia pendidikan yaitu dalam pembuatan visualisasi simulasi dan animasi dalam media interaktif, sehingga sangat membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan dalam proses pembelajaran. Pemanfaatan media interaktif dalam pembelajaran kimia pada materi termokimia berfungsi agar siswa dapat memusatkan perhatiannya dalam situasi pembelajaran kemudian materi pelajaran yang dilengkapi dengan animasi gambar dan gerakan yang menarik, dapat memotivasi dan menjadikan siswa senang untuk belajar karena suasana pembelajaran menjadi lebih santai dan terarah.

Beberapa kelebihan media interaktif sebagai media pembelajaran adalah:

1) dapat menampilkan informasi melalui suara, gambar, gerakan dan warna baik secara alami maupun manipulasi; 2) dapat memvisualisasi materi yang sifatnya abstrak; 3) pembelajaran menjadi lebih menarik. Beberapa kekurangan dari media interaktif adalah: 1) memerlukan komputer dan pengetahuan program; 2) pembuatannya cukup rumit; 3) biaya pembuatan relatif mahal; 4) membutuhkan

(13)

kemampuan siswa dalam penggunaan media interaktif; 5) hanya efektif digunakan untuk penggunaan seseorang atau beberapa orang dalam kurun waktu tertentu.

Simulasi komputer merupakan program perangkat lunak yang dapat digunakan untuk memvisualisasi dan meniru berbagai obyek. Jika diterapkan dengan benar, simulasi komputer dapat membantu siswa belajar tentang peristiwa teknologi dan proses lain yang mungkin tak terjangkau. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa simulasi komputer dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Michael (2011) mengatakan bahwa simulasi komputer dalam media interaktif dapat: 1) menunjukkan efektifitas yang sama seperti kehidupan nyata, pengalaman laboratorium dalam mempelajari konsep-konsep ilmiah; 2) meningkatkan tingkat prestasi belajar siswa; 3) meningkatkan keterampilan pemecahan masalah; 4) meningkatkan kreativitas. Gokhale (1996) mendapatkan simpulan bahwa media interaktif dapat digunakan sebagai alternatif pembelajaran untuk membantu motivasi siswa dalam proses menemukan sendiri dan perkembangan kemampuan nalar mereka.

Hasil dari penelitian-penelitian tersebut akan dikembangkan untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan pendekatan CTL berbantuan media interaktif yang dilengkapi animasi pada materi termokimia sebagai sumber belajar siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Siswa akan belajar menemukan konsep-konsep termokimia mulai dari mengkonstruksi pengetahuan, bertanya dan menjawab pertanyaan, berdiskusi, dan berlatih soal dengan bantuan media interaktif. Materi termokimia yang telah dikontruksi dan ditemukan siswa akan direfleksi secara bersama-sama dengan bantuan media interaktif. Sebagai sumber belajar pada pembelajaran CTL, media interaktif dalam penelitian ini akan dilengkapi animasi dan video yang akrab dengan keseharian siswa, sehingga siswa akan lebih mudah menemukan konteks keseharian dunia nyata siswa dengan materi termokima. Pembelajaran dengan media interaktif diharapkan dapat memperbesar minat dan motivasi siswa untuk belajar, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

5. Modul

(14)

Menurut Majid (2006) modul adalah sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru.

Modul dapat dirumuskan sebagai suatu unit yang lengkap yang berdiri sendiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas (Nasution, 2010).

Modul merupakan bahan ajar cetak yang dirancang untuk dapat dipelajari secara mandiri oleh peserta pembelajaran (Rayandra, 2011).

Berdasarkan beberapa pengertian modul tersebut maka dapat disimpulkan bahwa modul pembelajaran adalah media pembelajaran berbasis cetakan yang dikemas secara sistematis dan menarik sehingga mudah untuk dipelajari secara mandiri dan dapat meningkatkan keaktifan siswa. Pemilihan belajar aktif melalui modul didasari anggapan bahwa siswa akan belajar lebih baik jika dilakukan dengan cara sendiri yang terfokus langsung pada penguasaan tujuan khusus atau seluruh tujuan pembelajaran.

Menurut Dharma (2008) modul dapat dikategorikan baik apabila memiliki beberapa kriteria. 1) Self Instructional, yaitu mampu membelajarkan siswa secara mandiri. 2) Self Contained, yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu unit kompetensi yang dipelajari terdapat di dalam modul secara utuh. 3) Stand Alone, modul yang dikembangkan tidak tergantung pada media lain. 4) Adaptive, modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi serta dapat digunakan sampai dengan kurun waktu tertentu. 5) User Friendly, penggunaan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami isinya, dan tampilan gambar dan format penyajiaannya juga harus disesuaikan dengan materi dan selera serta usia siswa.

Modul sebagai kelompok sumber belajar berbasis cetakan memiliki beberapa keuntungan dalam penggunaanya pada pembelajaran. Beberapa keuntungan dari modul yaitu: 1) memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalisme; 2) memberi kesempatan bagi siswa untuk mengulangi pelajaran atau mempelajari pelajaran baru; 3) dapat digunakan untuk tahun-tahun berikutnya, dan jika direvisi maka dapat bertahan dalam waktu yang lama; 4) buku bahan ajar yang uniform memberi kesamaan mengenai bahan dan

(15)

standar pengajaran; 5) memberikan kontinuitas pelajaran di kelas yang berurutan, sekalipun pendidik berganti; dan 6) sumber belajar yang berupa media cetak merupakan sumber belajar yang paling mudah diperoleh dan digunakan karena tidak memerlukan media lain untuk penggunaannya.

Beberapa kelemahan modul yaitu: 1) sulit menampilkan gerak dalam halaman media cetakan; 2) biaya percetakan mahal jika di dalamnya terdapat ilustrasi, gambar, atau foto yang berwarna-warni; 3) setiap bagian dalam unit-unit materi dalam media cetakan harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak terlalu panjang dan tidak membosankan siswa, 4) jika tidak dirawat dengan baik, media cetakan cepat rusak atau hilang, 5) membutuhkan ketekunan yang lebih tinggi dari fasilitator untuk terus menerus mamantau proses belajar siswa, memberi motivasi dan konsultasi secara individu setiap waktu siswa membutuhkan.

Penelitian Suardana (2001) menunjukkan pembelajaran dengan modul pada pelaksanaan praktikum kimia dasar dapat meningkatkan, baik penguasaan keterampilan proses maupun hasil belajar siswa. Penggunaan modul pembelajaran juga dapat meningkatkan motivasi belajar dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Yuniyanti (2012) telah melakukan penelitian penggunaan modul pada pembelajaran kimia dan mendapatkan simpulan bahwa penggunaan media modul sebagai media pembelajaran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan mempermudah pemahaman konsep.

Penelitian yang dilakukan Hidayati (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran CTL menggunakan modul dan media animasi dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran dan memberikan kemudahan dalam memahami materi asam basa, siswa mempunyai pengalaman-pengalaman belajar yang lebih bermakna sehingga dapat lebih meningkatkan prestasi belajar. Melalui pendekatan pembelajaran ini kemampuan berpikir siswa lebih berkembang dan pembelajaran lebih bermakna. Saran dari penelitian ini adalah untuk dilakukan penelitian serupa pada materi pokok yang lain. Pada penelitian ini digunakan pendekatan CTL dengan bantuan modul dan media interaktif pada materi termokimia.

(16)

Dalam proses pembelajaran CTL siswa akan belajar menemukan konsep- konsep termokimia mulai dari mengkonstruksi pengetahuan, bertanya dan menjawab pertanyaan, berdiskusi, dan berlatih soal dengan bantuan modul.

Sebagai sumber belajar pada pembelajaran CTL, modul dalam penelitian ini akan dilengkapi gambar dan contoh-contoh peristiwa yang akrab dengan keseharian siswa, sehingga siswa akan lebih mudah menemukan konteks keseharian dunia nyata siswa dengan materi termokima. Diharapkan dalam mengkonstruksi pengetahuannya, siswa lebih aktif dan mandiri dengan bantuan modul sehingga pengetahuan yang didapat lebih bermakna karena merupakan hasil bentukan sendiri bukan hasil pemberian orang lain.

6. Kemampuan Berpikir Kritis

John Dewey menamakan berpikir kritis sebagai berpikir reflektif dan mendefinisikannya sebagai: pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan- kesimpulan lanjutan yang menjadi kecendurungannya (Fisher, 2009). Menurut Dewey berpikir kritis secara esensial adalah sebuah proses aktif, saat seseorang memikirkan berbagai hal secara lebih mendalam, mengajukan pertanyaan, dan menemukan informasi yang relevan dibanding menerima berbagai hal dari orang lain secara pasif. Berpikir kritis memberi pengaruh besar terhadap penalaran, untuk mengemukakan alasan-alasan dan untuk mengevaluasi penalaran sebaik mungkin.

Pemikiran kritis adalah pemikiran reflektif dan masuk akal yang berfokus pada memutuskan apa yang harus dipercayai atau dilakukan (Ennis, 2011).

Menurut Ennis seseorang dalam memutuskan hal yang harus dipercayai atau dilakukan dibantu oleh penggunaan serangkaian kemampuan berpikir kritis.

Kemampuan berpikir kritis tersebut meliputi: 1) klarifikasi, yang mencakup mengidentifikasi masalah, pertanyaan, dan kesimpulan, menganalisis argumen, serta bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi; 2) dasar untuk keputusan yang mencakup menilai dan mengamati; 3) inferensi, yaitu menyimpulkan secara

(17)

induksi dan deduksi; 4) kemampuan metakognitif mencakup anggapan (supposition) dan integrasi dalam membuat dan mempertahankan keputusan.

Menurut Fisher (2009) berpikir kritis merupakan mode berpikir saat seseorang yang berpikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya. Scriven (1976) beragumentasi bahwa berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi. Untuk menjadi pemikiran yang kritis, berpikir harus memenuhi standar-standar tertentu seperti kejelasan, relevansi, dan masuk akal. Dalam berpikir kritis interpretasi mencakup mengkonstruksi dan menyeleksi dari beberapa altermatif untuk penarikan kesimpulan.

Berdasarkan pengertian-pengertian kemampuan berpikir kritis dari beberapa ahli tersebut maka dapat dikatakan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan proses berpikir reflektif yang aktif secara terus-menerus dan berkelanjutan yang melibatkan proses kognitif seseorang mengenai keyakinan dan pengetahuan. Komponen berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: klarifikasi dasar dengan indikator membedakan fakta dan opini serta membedakan kesimpulan yang tidak pasti dari pengamatan langsung, dasar keputusan dengan indikator membedakan informasi relevan dari yang tidak relevan dan membuat keputusan, mengevaluasi dan menguji kebenaran dengan indikator menguji keandalan dari suatu pernyataan dan mempertimbangkan beberapa sudut pandang, menganalisis dan mengenali hubungan dan pola dengan indikator mengenali sebab dan akibat, dan komponen terakhir adalah mengumpulkan informasi dengan indikator merumuskan dan mengajukan pertanyaan.

El-Demerdash (2011) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh berpikir kritis. Penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa berpikir kritis mempunyai pengaruh dalam strategi pembelajaran.

Penelitian Thompson (2011) menunjukkan bahwa berpikir kritis menyajikan pola baru dalam pendidikan dan berisi konsep penting dan kuat. Pembelajaran dengan memperhatikan kemampuan berpikir kritis ternyata mampu memberikan hasil

(18)

yang baik pada perkembangan moral, sosial, kognitif, mental, serta perkembangan sains. Penelitian yang dilakukan oleh Maryani (2011) menunjukkan bahwa ada perbedaan prestasi belajar antara siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi dengan siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis rendah.

Kemampuan berpikir kritis memiliki pengaruh pada pencapain prestasi belajar kimia. Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian tentang faktor- faktor lain yang merupakan faktor internal dan eksternal yang dimungkinkan akan mempengaruhi prestasi belajar siswa.

Dari penelitian-penelitian tersebut diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis memiliki peran penting terhadap tercapainya tujuan belajar. Selama ini, kemampuan berpikir kritis siswa belum diperhatikan sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan belajar siswa. Materi termokimia mencakup informasi, data, dan fakta yang dalam mempelajarinya siswa membutuhkan kemampuan berpikir kritis untuk menginterpretasi, menganalisis, dan mengevaluasinya sehingga dihasilkan suatu kesimpulan yang berupa keyakinan dan pengetahuan. Dalam materi termokimia siswa dituntut dapat menginterpretasikan data dari diagram tingkat energi, mengkategorikan reaksi endoterm dan eksoterm, mengkategorikan data entalpi pembentukan, pembakaran, dan penguraian, menganalisa hubungan data entalpi pembentukan atau data energi ikatan dengan penentuan entalpi reaksi membutuhkan kemampuan berpikir kritis siswa untuk mempelajarinya. Jika kemampuan berpikir kritis siswa tinggi diharapkan prestasinya akan lebih baik dari siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis rendah.

Dalam pembelajaran CTL, berpikir kritis merupakan kemampuan yang diperlukan dalam mengeksplorasi keterkaitan materi dan pengalaman yang mereka alami, menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan permasalahan dan fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang khususnya berhubungan dengan materi termokimia sehingga dapat diambil kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dalam mengkonstruksi pengetahuan dibutuhkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam menginterpretasi, menganalisa, dan mengevaluasi data dan informasi yang terdapat di dalam modul sehingga diharapkan siswa dengan kemampuan berpikir kritis tinggi dengan

(19)

pembelajaran CTL berbantuan modul akan mempunyai prestasi belajar yang memuaskan. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis rendah akan lebih cocok dikenai pembelajaran CTL berbantuan media interaktif karena dalam proses pembelajaran lebih menarik dan lebih termotivasi dengan penyajian gambar, animasi dengan warna-warna menarik sehingga mampu meningkatkan prestasi belajarnya. Diharapkan dengan memperhatikan kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran CTL berbantuan modul dan media interaktif akan memberi dampak yang positif terhadap prestasi belajar siswa.

7. Kecerdasan Visual

Lucy (2010) mendefinisikan kecerdasan visual sebagai kemampuan untuk melihat dan mengamati dunia visual secara akurat dan kemudian bertindak atas persepsi tersebut. Kemampuan ini meliputi kepekaan akan bentuk dan ruang, misalnya dalam memahami arah, menemukan lokasi atau jalan, dan memperkirakan hubungan antar benda dalam ruang. Termasuk juga kemampuan untuk memahami diagram dan grafik, membuat sketsa, menulis, melukis, mendesain, dan menginterpretasikan gambar-gambar visual, serta memiliki kepekaan terhadap warna dan garis.

Kecerdasan visual adalah kemampuan untuk membentuk dan menggunakan model mental (Jasmine, 2012). Siswa yang memiliki kecerdasan visual cenderung berpikir dalam atau dengan gambar dan cenderung mudah belajar melalui sajian-sajian visual seperti film, gambar, video, dan peragaan yang menggunakan model dan slide. Nadrljanski (2009) mendefinisikan kecerdasan visual sebagai kemampuan dalam melihat benda di dalam pikiran, meliputi kemampuan dalam penerimaan dan pemahaman dunia visual yang ada dan menciptakan seni. Kecerdasan visual meliputi warna, garis, bentuk, dan kepekaan ruang.

Dari definisi kecerdasan visual dari para ahli tersebut maka dapat dikatakan kecerdasan visual adalah kemampuan untuk berpikir dalam atau dengan gambar, serta melihat, mengamati, dan memahami dunia visual secara akurat.

Dalam penelitian ini komponen kecerdasan visual yang digunakan meliputi:

klasifikasi gambar; hubungan dan konsistensi logis; rotasi; irama gambar; dan

(20)

relasi bentuk. Dalam klasifikasi gambar siswa diminta untuk menentukan salah satu gambar yang tidak sama dengan keempat gambar lainnya hal ini berkaitan dengan materi termokimia yang menuntut siswa untuk dapat mengkatagorikan ciri-ciri reaksi endoterm dan eksoterm dari suatu diagram tingkat energi.

Komponen hubungan dan konsistensi logis berkaitan dengan kemampuan anak untuk berpikir logis yang tentu saja diperlukan untuk pengambilan keputusan berkaitan dengan soal-soal termokimia. Pada komponen rotasi dan relasi bentuk akan diperlukan untuk memahami hubungan arah aliran kalor untuk penentuan entalpi reaksi melalui diagram tingkat energi dan diagram siklus Hess.

Dengan kecerdasan visual anak mampu mentransformasi serta membentuk kembali gambaran visual tanpa stimulus fisik yang asli dan berpikir tiga dimensi.

Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan bentuk tersebut. Kompetensi yang dominan dari kecerdasan ini adalah kemampuan untuk berpikir dalam gambar atau visualisasi (think in pictures, visualization, or visual learning style). Indikator umumnya adalah belajar efektif dengan melihat dan memvisualisasikan gambar.

Siswa dengan kecerdasan visual dengan baik akan mampu untuk menciptakan kembali gambar dari kejadian atau objek yang pernah dialami, termasuk mengingat kembali emosi yang berhubungan dengan pengalaman.

Individu yang memiliki kecerdasan visual umumnya mampu memperhatikan setiap detail dari apa saja yang dilihatnya, membayangkan, serta memanipulasi objek visual di dalam benaknya.

Nadrljanski (2009) memaparkan selama proses belajar dan berpikir, kecerdasan visual yang memainkan peran besar dalam menciptakan citra visual, menghafal dengan gambar sehingga kecerdasan ini harus lebih diperhatikan.

Penelitian Tambunan (2006) memperlihatkan bahwa ada ada hubungan yang positif antara kecerdasan visual dengan prestasi belajar matematika. Saran dari penelitian ini adalah untuk melakukan penelitian mengenai kaitan antara kemampuan visual dan meneliti faktor-faktor lain selain kecerdasan visual yang diperkirakan berperan dalam prestasi belajar. Berdasarkan hasil dan saran tersebut

(21)

maka peneliti menggunakan kecerdasan visual dan kemampuan berpikir kritis sebagai variabel yang diperkirakan berperan dalam prestasi belajar.

Siswa yang memiliki kecerdasan visual yang baik diharapkan akan lebih mudah memahami konsep kimia yang bersifat abstrak. Pemahaman konsep dalam memahami tabel, penentuan arah aliran kalor pada reaksi endoterm dan eksoterm, serta menginterpretasikan diagram tingkat energi dan hubungannya dalam penentuan entalpi reaksi pada pokok bahasan termokimia memerlukan kecerdasan visual. Siswa yang memiliki kecerdasan visual yang baik diharapkan akan lebih mudah memahami konsep termokimia. Pada penelitian ini pada pembelajaran termokimia dengan pendekatan CTL digunakan sumber belajar yang berupa modul dan media interaktif. Siswa dengan kecerdasan visual tinggi dapat dengan mudah mengingat dan melihat kembali kejadian yang pernah dialami, sehingga pada pembelajaran CTL siswa dapat lebih mudah membuat hubungan antara pengalaman yang dialaminya dengan materi termokimia dalam pembelajaran serta pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Siswa dengan kecerdasan visual tinggi cenderung berpikir dalam atau dengan gambar dan cenderung mudah belajar melalui sajian-sajian visual seperti animasi dan video, sehingga belajar menggunakan media interaktif yang dalam sajiannya berisi animasi dan video dapat meningkatkan prestasi belajarnya.

Sementara siswa yang mempunyai kecerdasan visual rendah akan lebih cocok dikenakan pembelajaran berbantuan modul dalam proses belajarnya, karena penyusunannya yang sangat terstruktur dan tidak dilengkapi simulasi dan animasi yang menuntut kecerdasan visual siswa untuk memahaminya sehingga lebih mudah untuk dipelajari. Penggunaan modul dan media interaktif dengan memperhatikan kecerdasan visual dalam pembelajaran CTL diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

8. Prestasi Belajar

Dalam proses pendidikan terdapat tiga komponen yang saling berkaitan berkenaan dengan proses pembelajaran yang harus dipenuhi oleh para guru.

(22)

Ketiga komponen tersebut adalah perencanaan pembelajaran yang harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, pengelolaan yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran sebagai penentu berhasil tidaknya proses pembelajaran. Evaluasi pembelajaran dilaksanakan setelah siswa mengalami kegiatan pembelajaran. Evaluasi pembelajaran dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari sebuah kegiatan pembelajaran. Evaluasi pembelajaran juga dapat dijadikan acuan dalam mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan atau disebut sebagai prestasi belajar.

Beberapa ahli telah menyusun definisi prestasi belajar, yang perumusannya berbeda-beda. restasi belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengamalan belajarnya (Sudjana, 2008). Winkel (2007) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya. Slameto (2010) mendefinisikan prestasi belajar sebagai keterampilan dan kebiasaan; pengetahuan dan pengertian; sikap dan cita-cita.

Depdiknas (2003) menyebutkan bahwa prestasi belajar adalah peguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang dberikan oleh guru. Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang setelah melakukan usaha untuk mendapat ilmu pengetahuan yaitu berupa penguasaan pengetahuan, sikap, keterampilan terhadap mata pelajaran yang dibuktikan melalui hasil tes.

Prestasi belajar dalam dunia pendidikan di sekolah dapat diukur dengan menggunakan alat evaluasi. Dalam pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional menggunakan klasifikasi prestasi belajar dari Benyamin Bloom. Bloom membagi prestasi belajar dalam tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor (Sudjana, 2008). Dari ketiga bantuk ini, bentuk kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pelajaran. Dalam penelitian ini prestasi belajar yang akan dinilai adalah ranah kognitif dan afektif.

(23)

Ranah kognitif merupakan ranah yang berkaitan dengan kompetensi berpikir, memperoleh pengetahuan, pemerolehan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan, dan penalaran. Menurut Bloom cit.

Depdiknas (2003) dalam prestasi kognitif terdapat enam tingkatan kognitif, yaitu:

1) pengetahuan (knowledge), 2) pemahaman (comprehention), 3) penerapan (application), 4) analisis (analysis), 5) sintesis (synthesis), dan 6) penilaian (evaluation).

Ranah afektif adalah ranah prestasi belajar yang berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat penerimaan atau penolakan terhadap suatu objek.

Terdapat lima tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Sikap merupakan kecenderungan merespon secara konsisten baik menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Minat merupakan watak yang tersusun melalui pengalaman yang mendorong individu mencari objek, aktivitas, pengertian, keterampilan untuk tujuan penguasaan atau perhatian. Konsep diri merupakan evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Nilai merupakan suatu keyakinan yang dalam tentang suatu pendapat, kegiatan, atau objek. Moral adalah pendapat atau tindakan yang dianggap baik atau dianggap tidak baik. Kelima karakteristik afektif tersebut akan digunakan dalam penelitian ini

Pembelajaran ditentukan oleh karakteristik siswa. Ranah afektif merupakan bagian dari prestasi belajar dan memiliki peran yang penting.

Keberhasilan pembelajaran ranah kognitif sangat ditentukan oleh kondisi afektif siswa. Siswa yang memiliki sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari pelajaran tersebut, sehingga dapat diharapkan akan mencapai prestasi belajar yang optimal.

Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu faktor internal (dari diri siswa) dan faktor eksternal (dari luar siswa). Faktor internal meliputi aspek fisiologis dan psikologis. Prestasi yang dicapai siswa merupakan hasil interaksi antara faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar. Dalam penelitian ini faktor internal yang dibahas adalah kemampuan berpikir kritis dan kecerdasan visual siswa, sedangkan faktor

(24)

eksternal adalah pembelajaran dengan pendekatan CTL berbantuan modul dan media interaktif. Prestasi belajar termokimia siswa difokuskan pada dua aspek yaitu kognitif dan afektif.

9. Materi Termokimia

Termokimia merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari kalor reaksi yang terlibat dalam suatu reaksi kimia. Materi termokimia dalam kurikulum KTSP diberikan di kelas XI IPA semester 1, dengan standar kompetensi yaitu: 1) mendeskripsikan perubahan entalpi suatu reaksi, reaksi eksoterm dan reaksi

perubahan entalpi pembentukan standar, dan data energi ikatan. Berdasarkan standar kompetensi tersebut, maka dalam materi termokimia akan dipelajari

tersebut.

a. Sistem dan Lingkungan

Termokimia berhubungan dengan reaksi kimia yang terjadi di alam, khususnya tentang enegi yang menyertai reaksi kimia tersebut. Bagian dari alam yang dipilih untuk dipelajari atau bagian dari alam yang menjadi pusat perhatian disebut sistem. Segala sesuatu yang berada di luar sistem, yang mengadakan interaksi dengan sistem disebut sebagai lingkungan. Berdasarkan interaksinya dengan lingkungan, sistem dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1) sistem terbuka, yaitu sistem yang memungkinkan terjadinya perpindahan materi dan energi dengan lingkungan, contoh: kopi panas dalam suatu gelas yang terbuka; 2) sistem tertutup, yaitu suatu sistem yang hanya memungkinkan terjadinya perpindahan energi ke lingkungan tetapi tidak dapat terjadi perpindahan materi, contoh: kopi panas dalam suatu gelas yang tertutup; 3) sistem terisolasi, yaitu suatu sistem yang tidak memungkinkan terjadinya perpindahan materi maupun energi ke lingkungan.

Sistem dan lingkungan selalu terjadi pertukaran energi, pada saat energi dilepas oleh sistem, dan pada saat yang bersamaan lingkungan menyerap energi

(25)

yang dilepas sistem. Proses pelepasan dan penyerapan energi antara sistem dan lingkungan menyebabkan jumlah total energi sistem dan lingkungan selalu tetap.

Hal ini sesuai dengan Hukum Kekekalan Energi, yang menyatakan bahwa energi alam semesta adalah tetap atau sering juga dinyatakan bahwa energi tak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, energi hanya dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain.

b. H)

Entalpi sistem tidak dapat diukur atau ditentukan, akan tetapi karena sistem akan berubah bila entalpinya berubah, maka perubahan entalpinya dapat diukur yaitu dengan membandingkan perbedaannya pada keadaan awal dan keadaan akhir dar

sebagai akibat dari perubahan yang dialami sistem, dapat diamatai dari adanya perbedaan suhu sistem awal dan suhu sistem akhir. Apabila perubahan suhu tersebut dianggap sebagai perubahan entalpi, maka dapatlah disimpulkan bahwa perubahan entalpi sistem adalah selisih dari entalpi sistem awal dengan entalpi sistem akhir.

c. Reaksi Endoterm dan Reaksi Eksoterm

Reaksi eksoterm adalah reaksi yang disertai dengan perpindahan kalor dari sistem ke lingkungan. Dalam hal ini sistem melepaskan kalor ke lingkungan. Pada reaksi eksoterm umumnya suhu sistem naik, adanya kenaikan suhu inilah yang mengakibatkan sistem melepasan kalor ke lingkungan. Dalam kehidupan sehari- hari contoh dari reaksi eksoterm adalah: 1) ketika memegang tempe, tangan akan terasa hangat; 2) membakar api unggun; 3) lilin yang meleleh; 4) proses respirasi dalam tubuh.

Reaksi endoterm adalah reaksi yang disertai dengan perpindahan kalor dari lingkungan ke sistem. Dalam reaksi ini, kalor diserap oleh sistem dari lingkungannya. Pada reaksi endoterm umumnya ditunjukkan oleh adanya penurunan suhu. Adanya penurunan suhu sistem inilah yang mengakibatkan terjadinya penyerapan kalor oleh sistem. Dalam kehidupan sehari-hari contoh dari reaksi eksoterm adalah: 1) reaksi mencairnya es dalam suatu wadah; 2) tangan

(26)

yang terasa dingin saat bersentuhan dengan alkohol; 3) proses fotosintesis pada tumbuhan; 4) pembuatan garam. Reaksi eksoterm dan endoterm dapat digambarkan dalam bentuk diagram tingkat energi pada Gambar 2.2.

d. Persamaan Termokimia

Persamaan termokimia menggambarkan suatu reaksi yang disertai informasi tentang perubahan entalpi (kalor) yang menyertai reaksi tersebut. Pada persamaan termokimia terpapar pula jumlah zat yang terlibat reaksi yang ditunjukkan oleh koefisien reaksi dan keadaan (fase) zat yang terlibat reaksi.

Gambar 2.2. Diagram tingkat energi reaksi: (a) eksoterm dan (b) endoterm

e. H )

Besarnya perubahan entalpi suatu reaksi bergantung pada jumlah zat yang bereaksi, suhu, tekanan, dan wujud zat dalam reaksi. Perubahan entalpi yang diukur pada suhu 298 K dan tekanan 1 atm disebut perubahan entalpi standar (

beberapa macam.

1) Perubahan Entalpi Pembentukan Standar ( f)

Perubahan entalpi pembentukan standar (Standard Enthalpy of Formation) merupakan perubahan entalpi yang terjadi pada pembentukan 1 mol

suatu senyawa dari unsur-unsurnya yang paling stabil pada keadaan standar.

Perubahan entalpi pembentukan standar ( f) unsur bebas diberi harga nol.

2) Perubahan Entalpi Peruraian Standar ( d)

(27)

Perubahan entalpi peruraian standar (Standard enthalpy of Decomposition) adalah perubahan entalpi yang terjadi pada peruraian 1 mol suatu senyawa menjadi unsur-unsurnya yang paling stabil pada keadaan standar.

3) Perubahan Entalpi Pembakaran Standar ( c)

Perubahan entalpi pembakaran standar (Standard Enthalpy of Combustion) adalah perubahan entalpi yang terjadi pada pembakaran 1 mol suatu zat secara sempurna pada keadaan standar.

f. Penentuan Entalpi Reaksi

1) Hukum Hess

Pengukuran perubahan entalpi suatu reaksi kadangkala tidak dapat ditentukan langsung dengan kalorimeter, misalnya pada penentuan perubahan entalpi pembentukan standar( f) CO.

Reaksi pem bentukan CO :

C(s) + ½ O2(g) CO(g )

Reaksi pem bakaran karbon tidak m ungkin hanya menghasilkan gas CO saja tanpa disertai terbentuknya gas CO2. Jadi, bila dilakukan pengukuran perubahan entalpi dari reaksi tersebut yang terukur tidak hanya reaksi pembentukan gas CO saja, tetapi juga terukur pula perubahan entalpi dari reaksi:

C(s)+ O2(g) CO2(g)

Untuk mengatasi perm asalahan tersebut Hess m elakukan serangkaian percobaan dan diperoleh kesim pulan bahwa perubahan entalpi suatu reaksi merupakan fungsi keadaan yang artinya, perubahan entalpi suatu reaksi tidak bergantung pada lintasan/jalannya reaksi, tetapi hanya ditentukan keadaan awal dan keadaan akhir. Pernyataan tersebut dikenal sebagai Hukum Hess.

Menurut Hess, jika suatu reaksi berlagsung menurut dua tahap atau lebih maka kalor reaksi totalnya sama dengan jumlah aljabar kalor tahap-tahap reaksinya.

Berdasarkan hukum hess, perubahan entalpi reaksi dapat ditentukan dengan

(28)

menjumlahkan reaksi, menggunakan diagram siklus atau menggunakan diagram tingkat energi.

2) Berdasarkan tabel entalpi pembentukan

Pada keadaan standar besarnya perubahan entalpi ( H) suatu reaksi dapat ditentukan dengan menggunakan data perubahan entalpi pembentukan standar ( f) yang biasanya sudah tersedia, menggunakan rumus:

Perubahan entalpi pembentukan standar ( H f) untuk unsur bebas adalah nol (0).

3) Berdasarkan energi ikatan

Reaksi kimia pada dasarnya terdiri dari dua proses, yang pertama adalah pemutusan ikatan-ikatan antar atom dari senyawa yang bereaksi dan yang kedua adalah proses penggabungan ikatan kembali dari atom-atom yang terlibat reaksi sehingga membentuk susunan baru. Proses pemutusan ikatan merupakan proses yang memerlukan energi (kalor), sedangkan proses penggabungan ikatan adalah proses yang membebaskan energi (kalor). Berdasarkan data energi ikatan dapat ditentukan H reaksi dengan menggunakan rumus:

(Purba dan Sunardi, 2012).

B. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan Hidayati (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran CTL menggunakan media animasi lebih efektif dari pada menggunakan media modul dalam memahami materi asam basa. Melalui pembelajaran CTL menggunakan media animasi kemampuan berpikir, kemampuan mengkonstruk pengetahuan dan kreativitas siswa lebih berkembang sehingga dapat lebih meningkatkan prestasi belajar. Saran dari penelitian ini adalah

(29)

untuk dilakukan penelitian serupa pada materi pokok yang lain. Relevansi dengan penelitian ini adalah digunakan pendekatan CTL dengan bantuan modul dan media interaktif pada materi termokimia.

2. Suardana (2001) melakukan penelitian penggunaan modul pada pelaksanaan praktikum kimia dasar. Hasil penelitiannya menunjukkan penggunaan modul dapat meningkatkan, baik penguasaan keterampilan proses maupun hasil belajar siswa. Penggunaan modul pembelajaran juga dapat meningkatkan motivasi belajar dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Persamaan dengan penelitian ini adalah penggunaan modul sebagai media pembelajaran.

3. Miller (2006) menyatakan bahwa pembelajaran CTL adalah pembelajaran yang aktif dan lebih unggul dari pada pembelajaran tradisional. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pembelajaran CTL membuat siswa lebih mendalami pemahaman konsep, belajar mandiri, bertanggung jawab, menunjukkan kemampuan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, mengambil inisiatif, dan perilaku bekerja dalam kelompok. Hasil penelitian ini akan dikembangkan untuk melakukan penelitian selanjutnya yaitu dengan menggunakan pembelajaran CTL berbantuan modul dan media interaktif.

4. Penelitian Thompson (2011) menunjukkan bahwa berpikir kritis menyajikan pola baru dalam pendidikan dan berisi konsep penting dan kuat. Pembelajaran dengan memperhatikan kemampuan berpikir kritis ternyata mampu memberikan hasil yang baik pada perkembangan moral, sosial, kognitif, mental, serta perkembangan sains. Persamaan dengan penelitian ini kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu variabel yang diperhatikan.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Maryani (2011) menunjukkan bahwa ada perbedaan prestasi belajar antara siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi dengan siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis rendah.

Kemampuan berpikir kritis memiliki pengaruh pada pencapain prestasi belajar kimia. Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor lain yang merupakan faktor internal dan eksternal yang dimungkinkan akan mempengaruhi prestasi belajar siswa. Relevansi dengan

(30)

penelitian ini adalah faktor internal siswa yang digunakan yaitu kemampuan berpikir kritis dan kecerdasan visual.

6. Hasil penelitian Nadrljanski (2009) menunjukkan bahwa selama proses belajar dan berpikir, kecerdasan visual yang memainkan peran besar dalam menciptakan citra visual, menghafal dengan gambar sehingga kecerdasan ini harus lebih diperhatikan. Relevansi dengan penelitian ini adalah kecerdasan visual merupakan faktor internal siswa yang diperhatikan dalam pembelajaran sehingga diharapkan akan diperoleh prestasi belajar yang optimal.

C. Kerangka Berpikir

Berdasarkan latar belakang masalah, kajian teori, dan dengan kajian dari penelitian-penelitian yang relevan maka penulis memiliki pemikiran sebagai berikut:

1. Pengaruh pembelajaran kimia menggunakan pendekatan CTL berbantuan modul dan media interaktif terhadap prestasi belajar termokimia.

Pemilihan pendekatan dan media pembelajaran merupakan salah satu usaha guru untuk memaksimalkan proses belajar siswa. Pendekatan pembelajaran yang baik adalah pendekatan yang disesuaikan dengan materi, kondisi siswa, sarana yang tersedia serta tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Materi termokimia adalah salah satu bagian dari mata pelajaran kimia yang harus dikuasai siswa SMA kelas XI semester 1. Karakteristik materi termokimia adalah abstrak, kontekstual, matematis, dan konseptual. Materi termokimia mempelajari reaksi endoterm dan eksoterm yang kongkritnya bisa dipelajari dengan melihat contoh kejadian yang terjadi pada kehidupan sehari-hari siswa. Teori belajar Ausubel mengatakan bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Hal ini sesuai dengan materi termokimia yang mengakaitkan konsep belajar sebelumnya dengan konsep- konsep yang baru sehingga saling berhubungan dan relevan, yaitu siswa akan belajar menghitung kalor reaksi yang berhubungan dengan stoikiometri yang sebelumnya telah dipelajari.

(31)

Salah satu pendekatan yang sesuai dengan materi termokimia adalah CTL.

Pendekatan CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2004).

Pembelajaran CTL sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang menghendaki siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran dan membangun pengetahuannya sendiri melalui pembentukan makna dan mengkaitkannya dengan kehidupan keseharian siswa sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna. Selama proses pembelajaran siswa akan berdiskusi dan belajar dengan kelompok- kelompok kecil sehingga siswa dapat menginternalisasi pemahaman-pemahaman yang sulit dan masalah-masalah yang timbul selama proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan teori Vygotsky yang mengemukakan pentingnya faktor-faktor sosial dalam belajar yaitu melalui interaksi antara bahasa dan tindakan dalam kondisi sosial.

Sementara itu hal yang tidak kalah penting dari pembelajaran adalah penggunaan media pembelajaran. Pada penelitian ini media yang digunakan adalah modul dan media interaktif. Modul adalah media berbasis cetakan sedangkan media interaktif adalah media berbasis komputer. Setiap media pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, tidak ada satu media yang sempurna. Kedua media tersebut dapat didesain untuk pembelajaran mandiri sebagai sumber belajar pada materi termokimia. Penggunaan modul dan media interaktif diharapkan mampu membantu meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.

Modul merupakan salah satu media pembelajaran alternatif yang bisa memberikan informasi kepada siswa tanpa kehadiran guru secara langsung.

Modul sebagai bahan ajar yang harus mampu menjelaskan materi pembelajaran dengan baik dan mudah dipahami oleh siswa sesuai tingkat pengetahuan dan usia mereka. Modul dapat mengukur dan menilai sendiri tingkat penguasaannya terhadap materi yang telah dipelajari. Hal-hal itulah yang mendukung modul dapat dikatakan sebagai sumber belajar mandiri. Pembelajaran dengan modul

(32)

diharapkan dapat membuat siswa berperan lebih aktif dan lebih mandiri dalam mengkonstruksi pengetahuan, sehingga memungkinkan tujuan pembelajaran akan tercapai secara maksimal. Kelemahan modul yaitu: 1) sulit menampilkan gerak dalam halaman media cetakan; 2) biaya percetakan mahal jika di dalamnya terdapat ilustrasi, gambar, atau foto yang berwarna-warni; 3) setiap bagian dalam unit-unit materi dalam media cetakan harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak terlalu panjang dan tidak membosankan siswa, 4) jika tidak dirawat dengan baik, media cetakan cepat rusak atau hilang, 5) membutuhkan ketekunan yang lebih tinggi dari fasilitator untuk terus menerus mamantau proses belajar siswa, memberi motivasi dan konsultasi secara individu setiap waktu siswa membutuhkan.

Media interaktif memiliki keunggulan yaitu dapat menayangkan informasi yang berupa teks, gambar, video dan animasi sehingga bersifat lebih interaktif dengan siswa dan dimungkinkan siswa lebih termotivasi dalam belajar.

Kekurangan dari media interaktif adalah: 1) memerlukan komputer dan pengetahuan program; 2) pembuatannya cukup rumit; 3) biaya pembuatan relatif mahal; 4) membutuhkan kemampuan siswa dalam penggunaan media interaktif;

5) hanya efektif digunakan untuk penggunaan seseorang atau beberapa siswa dalam kurun waktu tertentu.

Modul termasuk pengalaman simbolik, yaitu materi pembelajaran disajikan dalam bentuk bahasa dan simbol. Pada tahap ini siswa sudah mampu memanipulasi simbol-simbol dan hanya sedikit sekali mengandalkan gambaran objek-objek konkret. Media interaktif termasuk pengalaman ikonik, yaitu materi yang disajikan untuk siswa yang bentuknya persepsi statik dan sudah melibatkan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek, tetapi siswa tidak memanipulasi objek secara langsung. Dari penjelasan tersebut, diduga pembelajaran CTL berbantuan media interaktif akan memberikan hasil belajar yang lebih baik.

2. Pengaruh kemampuan berpikir kritis tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar termokimia.

(33)

Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa salah satunya adalah faktor ekternal dan internal siswa. Faktor internal yang digunakan pada penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis merupakan proses berpikir reflektif yang aktif secara terus-menerus dan berkelanjutan yang melibatkan proses kognitif seseorang mengenai keyakinan dan pengetahuan.

Dalam pembelajaran bermakna yang merupakan landasan dari pembelajaran CTL, siswa dengan kemampuan berpikir kritis tinggi akan mudah mengeksplorasi keterkaitan materi, lingkungan, dan pengalaman yang mereka alami sehingga siswa lebih mudah memahami pelajaran dan sebagai akibatnya prestasi belajarnya akan meningkat.

Materi termokimia memiliki karakteristik untuk menganalisa, banyak konsep terkait termokimia yang hampir sama yang mengakibatkan siswa mengalami kebingungan. Materi termokimia juga bersifat hitungan yang menuntut siswa dapat menginterpretasi dan mengevaluasi data-data sehingga melibatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Pembelajaran CTL menganut teori belajar konstruktivis, pengetahuan dibangun oleh siswa, tidak diberikan langsung dari guru kepada siswa sehingga siswa yang mempunyai kemampuan berpikir kritis rendah cenderung mengalami kesulitan belajar karena menunggu pengetahuan diberikan oleh guru sehingga prestasi belajarnya akan rendah pula.

Diduga terdapat pengaruh kemampuan berpikir kritis terhadap prestasi belajar siswa pada materi termokimia. Siswa yang mempunyai kemampuan berpikir kritis tinggi diharapkan mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai kemampuan berpikir kritis rendah.

3. Pengaruh kecerdasan visual tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar termokimia

Faktor internal lain yang ditinjau pada penelitian ini adalah kecerdasan visual. Siswa dengan kecerdasan visual tinggi dapat dengan mudah mengingat dan melihat kembali kejadian yang pernah dialami, sehingga pada pembelajaran CTL siswa dapat lebih mudah membuat hubungan antara pengalaman yang dialaminya dengan materi termokimia dalam pembelajaran serta pengetahuan yang

Referensi

Dokumen terkait

Selainnya, ada yang melakukan kajian studi komparatif merespon kebijakan Pemerintah dan ulama dalam mencegah merebaknya Covid-19 perspektif ajaran teologis Qadariyah, Jabariyah dan

[r]

Untuk mengetahui perbedaan kinerja (ongkos produksi, omset penjualan, keuntungan, dan jam kerja) UMKM sebelum dan sesudah diberikan dana Kredit Usaha Rakyat

Tingkat kehilangan air ini dipengaruhi oleh tingkat NRW (Air Tidak Berekening) PDAM Kabupaten Barru pada tahun 2020 berada pada besaran yang masih tinggi yaitu 43.6%

Dipandang dari prosedur aktivitas penelitian yang penulis lakukan untuk menyusun skripsi ini, menunjukkan bahwa penulis menggunakan penelitian kualitatif.

Keadaan tanah untuk pertumbuhan tanaman durian montong yang optimal Tanaman varietas tersebut tumbuh dengan baik pada tanah subur penuh nutrisi dengan tingkat keasaman

Loyalitas nasabah bagian kesetiaan seseorang atas suatu produk, baik barang maupun jasa tertentu (Utomo;2006:27). Bank Jatim harus mempunyai kemampuan dalam memberikan

Perangkat Desa yang diberhentikan sementara dimaksud Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1), setelah melalui proses peradilan ternyata tidak terbukti bersalah