• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Diversita, 8 (1) Juni (2022) ISSN (Print) ISSN (Online) DOI:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Jurnal Diversita, 8 (1) Juni (2022) ISSN (Print) ISSN (Online) DOI:"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Diversita

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/diversita

Pengaruh Percieved Self-Efficacy terhadap Nasionalisme yang Dimediasi oleh Identitas Nasional

The Effect of Percieved Self-Efficacy on Nationalism Mediated by National Identity

Baydhowi(1*), Urip Purwono(2), Ahmad Gimmy Prathama Siswadi (3), Wahyu Syahputra(4) & TB Zulrizka Iskandar(5)

(1,2,3,5) Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran, Indonesia.

(4) Fakultas Psikologi, Universitas Nahdlatul Ulama, Indonesia

Disubmit: 26 Oktober 2021; Diproses: 02 November 2021; Diaccept: 02 Juni 2022; Dipublish: 02 Juni 2022

*Corresponding author: E-mail: a.baydowi@gmail.com Abstrak

Nasionalisme merupakan tema penting dan selalu menarik perhatian di kalangan ilmu sosial untuk dikaji dan ditelti. Nasionalisme dianggap sebagai pemicu munculnya perilaku individu dan sosial tertentu. Meski begitu, sampai saat ini belum terjadi konsensus tentang nasionalisme, dalam konteks Indonesia misalnya, nasionalisme berbeda yang dikonsepsikan oleh kalangan ahli psikologi sosial. Fokus penelitian ini adalah pengujian model pengaruh perceived self-efficacy terhadap nasionalisme yang dimediasi oleh national identity. Penelitian ini melibatkan 804 mahasiswa dari 49 perguruan tinggi di Indonesia dengan teknik convinient sampling. Dari jumlah tersebut, laki laki berjumlah 278 dan perempuan sebanyak 526, dengan usia rata-rata adalah usia 22 tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa efficacy mempiliki pengaruh langsung pada nasionalisme dan national identity dan national identity berpengaruh secara signifikan terhadap nasionalisme. Self-efficacy juga berpengaruh secara signifikan terhadap nasionalime yang dimediasi oleh national identity. Hasil pengujian dengan sobel test juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pengaruh pengaruh self-efficacy kepada nasionalisme secara langsung dan pengaruh secara tidak langsung. Berdasarkan hasil analisis national identity dapat menjelaskan adanya pengaruh self-efficacy terhadap nasionalisme.

Kata Kunci: Nasionalisme; Percieved Self Efficacy; Identitas Nasional; SEM; Analisis Mediasi

Abstract

Nationalism is an important theme and always attracts attention in social science circles to be studied and researched.

Nationalism is considered as a trigger for the emergence of certain individual and social behaviors. Even so, until now there has been no consensus on nationalism, in the context of Indonesia, for example, different nationalism is conceptualized by social psychologists. The focus of this research is testing the model of the influence of perceived self- efficacy on nationalism mediated by national identity. This study involved 804 students from 49 universities in Indonesia using a convinient sampling technique. Of these, 278 were male and 526 female with an average age of 22 years. The results of the analysis show that efficacy has a direct influence on nationalism and national identity and national identity have a significant effect on nationalism. Self-efficacy also has a significant effect on nationalism mediated by national identity. The results of the test with the Sobel test also showed a significant difference between the direct influence of self-efficacy on nationalism and the indirect effect. Based on the results of the analysis, it can be concluded that the effect of self-efficacy on nationalism can be explained by national identity.

Keywords: Nationalism; Percieved Self Efficacy; National Identity; SEM; Mediation Analysis

How to Cite: Baydhowi., Purwono, U., Siswadi, A. G. P., Syahputra, W. & Iskandar, TB. Z. (2022), Pengaruh Percieved Self-Efficacy terhadap Nasionalisme yang Dimediasi oleh Identitas Nasional, Jurnal Diversita, 8 (1): 100-109.

(2)

101 PENDAHULUAN

Nasionalisme adalah ideologi di mana anggota suatu bangsa dianggap memiliki kewajiban untuk setia kepada bangsanya (Ahlerup & Hansson, 2008).

Konsep nasionalisme memiliki makna yang berbeda terkait dengan berbagai tingkatan analisis: nasionalisme sebagai ideologi, sebuah gerakan, proses pembangunan bangsa dan negara-bangsa, dan orientasi politik individu (Dekker et al., 2003). Pada sisi lain, nasionalisme merupakan rasa identitas terhadap bangsa (Kumar, 2019), dan sebagai sebuah sikap individu (Dekker et al., 2003).

Nasionalisme telah terbukti menjadi salah satu yang paling kuat dari semua ideologi politik selama dua abad terakhir dan tampaknya akan tetap menjadi kekuatan yang kuat hingga abad ini (Harrison &

Boyd, 2018).

Indonesia, sebagai negara yang pernah dijajah, memiliki pemahaman tentang nasionalisme sebagai sikap perlawanan terhadap penjajahan.

Lahirnya nasionalisme di Indonesia karena penderitaan yang panjang dalam sosial dan ekonomi serta samanya rasa penderitaan tersebut akibat penjajahan (Kusumawardani & Farturochman, 2004).

Setelah penjajahan usai, dengan revolusi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, nasionalisme di Indonesia menjadi sebuah identitas. Hal ini disebabkan identitas nasional merupakan produk dari nasionalisme modern (Liu & Turner, 2018), atau secara simbolis, peleburan teritori nasional dalam nasionalisme dimaknai sebagai fondasi bagi identitas nasional (Etherington, 2010). Identitas nasional adalah ekspresi individual kepada bangsanya yang muncul dari

proses kognisi yang berkelindan dengan faktor emosi (Barrett & Davis, 2002), sehingga menyertakan dimensi perasaan yang bersifat subyektif terhadap bangsanya (Huddy & Khatib, 2007).

Keterkaitan antara nasionalisme dan identitas nasional di dapatkan pada studi (Blank & Schmidt, 2003), yang melaporkan adanya hubungan positif antara nasionalisme dan identitas nasional pada sampel orang Jerman. Sementara, (Janmaat, 2006) melakukan studi di Hungaria dan Jerman mendapatkan korelasi yang positif antara nasionalisme dan identitas nasional.

Selain terhadap identitas nasional, nasionalisme juga memiliki korelasi positif dengan self efficay dalam studi Maish (dalam Eaton et al., 2016). Self-efficacy kadang disebut sebagai perceived self- efficacy (Baydhowi, 2009), yang merupakan proses yang terjadi di dalam diri untuk menentukan individu berpikir, bersikap, merasa serta memotivasi diri (Bandura, 1993). Perceived self-efficacy membantu munculnya minat dan ketertarikan pada aktivitas tertentu. Orang yang memiliki perceived self-efficacy yang baik mampu untuk mengatur tujuan yang menantang dan mempertahankan komitmen untuk meraihnya. Mereka memperkokoh dan mempertahankan usahanya dalam menghadapi kegagalan (Baydhowi, 2009).

Kemudian, menurut Jaspal &

Cinnirella (2013) bahwa self-efficacy memiliki keterkaitan dengan identitas nasional. Hal memungkinkan peneliti untuk mencari adanya hubungan kausal antara perceived self-efficacy dan nasionalisme secara langsung, atau dimediasi oleh identitas nasional.

(3)

Nasionalisme, sebagai sebuah ideologi, nasionalisme menciptakan pandangan terhadap dunia. Sekumpulan ide dan tata nilai yang bermakna bagi sebuah kelompok. Nasionalisme adalah sebuah sikap dan kesadaran rakyat tentang bangsanya (Soekarno, 1959), sehingga loyalitas politik dan sosial lainnya berada di bawah loyalitas terhadap bangsa. Seseorang mungkin menempatkan keyakinan moral atau agamanya di atas identitas nasional, tetapi dalam nasionalisme harus ada jalan untuk kesetiaan kepada bangsa jika terjadi bentrokan (Harrison & Boyd, 2018).

Menurut Gellner (1983), nasionalisme adalah prinsip politik yang terdiri dari dua unit kongruen utama yakni, politik dan nasional. Nasionalisme dapat berupa sentimen atau rasa marah yang muncul akibat adanya suatu pelanggaran terhadap prinsip kebangsaan.

Bisa juga gerakan yang digerakkan oleh sentimen semacam itu. Gellner (1983) melanjutkan, prinsip nasionalis dapat dilanggar oleh beberapa alasan seperti kurangnya politik kontrol atas batas-batas negara, keputusan penguasa untuk mendukung kelompok-kelompok kecil daripada kelompok besar, di mana munculnya rasa yang tidak dapat ditoleransi antar kelompok.

Hanya saja, Soekarno (1959) berpendapat lain, menurutnya nasionalisme harus memiliki karakter yang berpihak kepada kemanusian, bersifat rasional, tidak chauvinistic, serta tidak bersifat superior, yang nantinya bisa dibedakan dan bahkan menolak kolonialisme.

Sementara, Llobera (1999) berpendapat dalam teori modern, bahwa

nasionalisme terjadi karena adanya pergeseran ide dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.

Beberapa teori ini lebih fokus secara khusus pada penyebaran industrialisasi, dan pada kondisi sosial-ekonomi, politik dan budaya yang secara fungsional terkait dengannya, sebagai penyebab utama pengembangan nasionalisme.

Selanjutnya, menurut Rispawati &

Sumardi (2020), tinggi rendahnya rasa nasionalisme seseorang dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Dinamika nasionalisme secara individual dipengaruhi berbagai faktor, seperti pendidikan, budaya, agama dan orang tua, hingga media sosial. Namun perlu diketahui bahwa faktor ini hanya mempengaruhi 60,161% (Rispawati &

Sumardi, 2020), sehingga masih ada faktor lain yang mempengaruhi nasionalisme dan perlu ditelusuri melalui riset.

Perceived self-efficacy, yang pertama kali dicetuskan oleh Bandura (1993), merupakan proses psikologis yang menentukan individu untuk merasa, berpikir, dan berprilaku serta memotivasi diri (Bandura, 1993). Lebih jauh Bandura (1993) menjelaskan, peranan faktor kognisi dan lingkungan dalam belajar.

Salah satu aspek dalam faktor kognitif yang mempengaruhi proses belajar adalah keyakinan seseorang untuk menguasai situasi dan menghasilkan outcome yang positif.

Bandura (1999) melanjutkan, self- efficacy menempati peran penting dalam teori kognitif sosial karena mempengaruhi tindakan tidak hanya secara langsung, tetapi melalui dampaknya terhadap hal lain, seperti melatih diri melalui tantangan pribadi dan melalui penetapan tujuan serta reaksi evaluatif terhadap kinerja

(4)

103 sendiri menyediakan mekanisme kognitif utama motivasi dan pengarahan diri.

Individu yang memiliki keyakinan terhadap kemampuannya memperlakukan kesulitan sebagai tantangan yang mesti dikuasai daripada ancaman yang mesti dihindari. Perceived self-efficacy membantu munculnya minat dan ketertarikan pada aktivitas tertentu. Orang yang memiliki perceived self-efficacy yang baik mampu untuk mengatur tujuan yang menantang dan mempertahankan komitmen untuk meraihnya. Mereka memperkokoh dan mempertahankan usahanya dalam menghadapi kegagalan.

Mereka cepat memperbaiki sense of efficacy ketika ditimpa kegagalan atau kemerosotan. Mereka menganggap kegagalan diakibatkan kurangnya usaha, pengetahuan, dan kemampuan yang dibutuhkan.

Sebaliknya, individu yang memiliki keyakinan bahwa kemampuan dirinya rendah. Umumnya individu ini ragu dengan kemampuan dirinya. Tugas sulit dianggap sebagai ancaman yang harus dihindari. Inspirasi dan tanggungjawab untuk mencapai yang diharapkan rendah.

Mereka juga menegaskan anggapan diri mereka lemah dan tidak mampu dalam menyelesaikan tugas-tugas sulit dibanding berkonsentrasi tentang bagaimana bisa menghasilkan kesuksesan. Mereka mengendurkan usaha dan cepat berhenti dalam menghadapi kesulitan. Mereka lamban memperbaiki perceived self- efficacy ketika menemukan kegagalan.

Karena mereka memandang performa yang kurang baik disebabkan bakat yang lemah sehingga tidak dibutuhkan banyak kegagalan untuk menghilangkan kepercayaan terhadap kemampuan yang

dimiliki. Mereka mudah mengalami stres dan depresi (Baydhowi, 2009).

Perceived self-efficacy dibentuk oleh empat faktor penting yakni, pencapaian kinerja, pengalaman yang mewakili, persuasi verbal, dan informasi fisiologis (Bandura, 1977). Dalam faktor pencapaian kinerja, seseorang yang memiliki efikasi diri tinggi, cenderung menggeneralisasi dari satu pengalaman ke pengalaman lainnya, sementara seseorang yang memiliki efikasi diri rendah akan cederung mengakui lebih cepat ketidakmampuan mereka dan menghubungkan dengan munculnya kegagalan dalam diri mereka.

Kemudian, untuk pengalaman yang mewakili dijelaskan, ketika ketidakpastian individu tentang kapasitas dirinya sendiri, inidividu tersebut akan menggunakan indikator yang diamati untuk mengukur kapasitas mereka sendiri dan mendasarkan estimasi keberhasilan mereka. Persuasi verbal merupakan, saran dari seseorang yang memberikan dukungan terhadap individu terkait kemampuan dirinya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit. Dan yang terakhir, informasi fisiologis adalah penilaian kapasitas diri. Seseorang akan menggunakan informasi tentang situasi fisiologis dan emosional mereka. Ketika mengalami ketegangan, kecemasan, dan depresi dinyatakan sebagai tanda kekurangan pribadi (van der Bijl &

Shortridge-Baggett, 2001).

Produk utama dari berkembangnya nasionalisme modern adalah Identitas nasional. Revolusi Prancis memberikan bukti bahwa nasionalisme modern sudah masuk dalam lingkup gerakan politik dan sosial, tidak hanya sekadar ideologi semata (Liu & Turner, 2018). Identitas

(5)

nasional memiliki definisi yang berbeda- beda dalam setiap negara. Corkalo &

Kamenov (2003) mengatakan, identitas nasional sebagai rasa keanggotaan dalam kelompok sebagai tempat menumpahkan rasa kepemilikan dan terikat. Di lain pihak, Golob et al (2016) mengutarakan, bahwa identitas nasional lebih dikenal sebagai cerminan semantik mengenai penggambaran diri yang mengacu pada ingatan budaya, serta dipandang sebagai bentuk tindakan yang dimediasi oleh manusia menggunakan seperangkat alat budaya. Huddy & Khatib (2007) mendefinisikan identitas nasional sebagai rasa memiliki bangsa yang subjektif atau terinternalisasi, dan mengukurnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang biasanya menilai identitas sosial (social identity).

Identitas nasional merupakan konsep yang kompleks dan abstrak.

Banyak alasan mengapa konsep identitas nasional menjadi suatu fenomena yang lebih relevan dengan sosio-psikologi.

Meskipun, informasi mengenai identitas nasional sendiri relatif jarang diteliti oleh psikolog, identitas nasional sangat relevan apabila dikonsepkan dengan teori kepemilikan kelompok (group belonging) dan identitas sosial (social identity) (Grozdanovska, 2016). Teori identitas sosial mewakili kumpulan pemikiran dan penelitian mengenai asal-usul dan akibat dari identitas sosial yang kuat serta mempengaruhi penelitian politik pada beberapa tahun terakhir. Identitas sosial biasanya didefinisikan sebagai kesadaran akan keanggotaan objektif seseorang dalam suatu kelompok dan perasaan keterikatan kelompok secara psikologis (Huddy & Khatib, 2007).

Teori identitas sosial menghasilkan banyak prediksi tentang loyalitas nasional.

Huddy & Khatib (2007) dalam penelitiannya, mengeksplorasi beberapa ekspektasi sentral politik. Pertama, identitas nasional diharapkan bercita rasa non-ideologis, karena hal tersebut mewakili rasa keterikatan subjektif yang meluas pada bangsa. Kedua, identitas nasional yang kuat diharapkan dapat meningkatkan keterlibatan politik. Teori self-categorization milik Turner &

Reynolds (2012) yang merupakan cabang dari teori social identity, memprediksi bahwa individu dengan identitas kelompok yang kuat kemungkinan besar akan menyesuaikan diri dengan norma kelompok.

(Haller & Ressler, 2006) menyatakan ada perbedaan dalam identitas nasional menjadi tiga elemen: 1) Citra diri, kesadaran akan ciri khas bangsa sendiri, kekuatan dan kelemahannya dibandingkan dengan yang lain (komponen kognitif); 2) Jenis cinta dan kelekatan pada bangsa, termasuk kebanggaan dan rasa malu nasional (komponen emosional); 3) Kesiapan untuk bertindak atas nama bangsa dan mendukung langkah-langkah politik untuk memperkuat dan melindungi bangsa (komponen aksi).

Menurut (Fukuyama, 2018), awal dari identitas nasional adalah kesepakatan dan sikap percaya antar sesama terhadap legitimasi sistem politik sebuah negara, terlepas dari sistem tersebut demokratis atau tidak. Undang-undang serta lembaga formal suatu negara dapat juga memunculkan sebuah identitas dapat seperti bahasa yang disepakai dan dijadikan sebagai bahasa resmi, atau

(6)

105 sejarah perjuangan negara yang diajarkan kepada anak anak disekolah mereka.

Tidak hanya itu, budaya juga berperan penting dalam menimbulkan sebuah identitas, ketika mereka mengakui memiliki kesamaan budaya, tentang perayaan budaya tertentu hingga harapan yang dianggap sebagai jalan menuju jati diri mereka dalam sebuah kelompok.

METODE PENELITIAN

Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 804 orang subjek yang berasal dari 49 perguruan tinggi di Indonesia. Dari sampel tersebut jenis kelamin laki laki adalah 278 dan perempuan sebesar 526 serta rata-rata usianya adalah usia 22.

Menurut Wang & Wang (2020), minimun sampel untuk melakukan model persamaan struktural adalah 100-150, sampel peneliti masih terhitung cukup untuk melakukan pemodelan tersebut.

Kemudian peneliti membuat skema untuk menguji hipotesis terkait adanya pengaruh langsung antara perceived self- efficacy terhadap nasionalisme atau perceived self-efficacy yang dimediasi oleh identitas nasional (variabel mediasi).

Sebagian besar penelitian berfokus pada hubungan antara dua variabel, X dan Y, termasuk kondisi di mana X dapat dianggap sebagai probabilitas penyebab Y.

Mediasi dalam bentuknya yang paling sederhana mewakili penambahan variabel ketiga pada hubungan X → Y, dimana X menyebabkan mediator, M, dan M menyebabkan Y, jadi X → M → Y (MacKinnon et al., 2007).

C

Gambar 1

C’

Gambar 2

Baron & Kenny (1986) mengatakan, banyak penelitian telah menggunakan analisis regresi atau pemodelan persamaan struktural (SEM) untuk mengukur variabel mediasi. Meskipun ini adalah dua metode statistik yang berbeda, namun keduanya serupa dalam konsep untuk menguji mediasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam analisis ini dilakukan melalui dua tahap; 1). Menguji efek langsung dari variabel independen (perception of theat) terhadap variabel dependen (national identity); 2) pengaruh variabel independen (perception of threat) tehadap variabel dependen (national identity) melalui variabel mediator yaitu perceived self-efficacy. Adapun model tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Model Pengaruh Langsung Perceived

self- efficacy

Nasionalis me

Perceived self- efficacy

Nasionalis me

Identitas Nasional

a b

(7)

Gambar 4. Model Pengaruh Tidak Langsung

Dari kedua analisis diperoleh indeks kecocokan model sebagai berikut:

Tabel 1. Indeks Kecocokan Model Parameter

Analisi

pertama Analisis kedua Nilai Nilai

Chi-Square 0,0001 0

Root Mean Square Error of

Approximation (RMSEA) 0.069 0.054 Tucker-Lewis Index (TLI) 0.962 0.967 Comparative fit index (CFI) 0.954 0.960

Dari informasi tabel di atas dapat diketahui baik pada analisis pertama maupun kedua hanya chi-square yang tidak memenuhi persyaratan model fit, sedangkan RMSEA, CFI dan TLI telah memenuhi kriteria minimum. Dengan demikian model dan data dapat dikatakan fit karena chi-square sensitive dengan besaran ukuran sampel.

Dalam analisis structural equation modelling, selain diperoleh informasi tentang hubungan structural antar laten varibel maka diperoleh juga informasi measurement model yang informasinya terangkum pada tabel berikut ini:

Tabel 2. Indeks Measurement model

Indikit

or Laten

Analisis Pertama Analisis Kedua

SLF SE TV PV SLF SE TV PV

EF1 PSE 0,47 0,0

3 15,1

6 0,00 0,4

9 0,0

3 15,52 0,0

0

EF2 PSE 0,71 0,0

2 37,5

2 0,00 0,7

1 0,0

2 35,50 0,0

0

EF3 PSE 0,89 0,0

1 78,6

8 0,00 0,8

5 0,0

2 54,31 0,0

0

EF4 PSE 0,85 0,0

1 73,6

8 0,00 0,8

1 0,0

2 51,87 0,0

0

EF5 PSE 0,66 0,0

2 34,2

0 0,00 0,6

5 0,0

2 27,55 0,0

0

EF6 PSE 0,75 0,0

2 47,8

5 0,00 0,7

7 0,0

2 47,32 0,0

0

EF7 PSE 0,48 0,0

3 16,8

7 0,00 0,3

7 0,0

3 10,84 0,0

0

EF8 PSE 0,66 0,0

2 33,5

0 0,00 0,6

8 0,0

2 32,04 0,0

0

EF9 PSE 0,69 0,0

2 35,2

3 0,00 0,6

9 0,0

2 31,45 0,0

0

EF10 PSE 0,69 0,0

2 33,0

9 0,00 0,6

9 0,0

2 31,67 0,0

0

EF11 PSE 0,74 0,0

2 40,4

8 0,00 0,7

6 0,0

2 38,22 0,0

0 NS1 Nasionalis

me 0,21 0,0

5 4,51 0,00 0,2

5 0,0

4 6,94 0,0

0 NS2 Nasionalis

me 0,60 0,0

4 16,6

5 0,00 0,6

9 0,0

3 25,86 0,0

0 NS3 Nasionalis

me 0,25 0,0

4 5,68 0,00 0,2

6 0,0

4 6,98 0,0

0 NS4 Nasionalis

me 0,50 0,0

5 10,6

6 0,00 0,4

9 0,0

4 13,38 0,0

0 NS5 Nasionalis

me 0,34 0,0

4 8,39 0,00 0,3

1 0,0

3 9,25 0,0

0 NS6 Nasionalis

me 0,73 0,0

4 18,5

1 0,00 0,7

4 0,0

3 24,76 0,0

0 NS7 Nasionalis

me 0,14 0,0

5 3,11 0,00 0,1

0 0,0

4 2,54 0,0

1 NS8 Nasionalis

me 0,22 0,0

5 4,59 0,00 0,2

6 0,0

4 6,69 0,0

0 NS9 Nasionalis

me 0,25 0,0

4 5,76 0,00 0,2

5 0,0

4 6,95 0,0

0

NP Natid

- - - - 0,9

7 0,0

0 248,0

5 0,0

0

END Natid

- - - - 0,9

6 0,0

1 207,9

2 0,0

0

ND Natid

- - - - 1,0

2 0,0

1 172,6

1 0,0

0

Dari tabel di atas diketahui bahwa seluruh indikator yang mengukur national identity, nasionalisme dan perceived self- efficacy memiliki sumbangan yang signinikan yang dikatahui t-value yang semuanya lebih besar 1,96.

Adapun informasi tentang relasi hubungan struktural, baik direct dan indirect effect terangkum pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Indeks Relasi

Relasi Analisis pertama Analisis Kedua Keterang

an SL

F SE TV PV SL

F SE TV PV

PSE→

Nasionalisme - - - - 0,5

8 0,0

3 17,6

9 0,0

0 Total

effect PSE→

Nasionalisme 0,6

0 0,0

3 17,5

7 0,0

0 0,1

4 0,0

4 3,65 0,0

0 Direct effect

PSE → Natid - - - - 0,5

5 0,0

2 23,2

2 0,0

0 Direct effect

(8)

107

Natid→Nasionalis

me - - - - 0,8

0 0,0

3 25,7

2 0,0

0 Direct effect PSE

→Natid→Nasional

isme - - - - 0,4

5 0,0

3 16,6

0 0,0

0 Indirect effect

Dari tabel di atas diketahui bahwa dalam analisis pertama pengaruh perceived self-efficacy terhadap nasionalisme signifikan dengan standard loading factor (SLF) 0.60. Dalam analisis yang kedua pengaruh langsung perceived self-efficacy terhadap nasionalisme dan national identity signifikan denga SLF 0.14 dan 0.55, serta pengaruh tidak langsung perceived self-efficacy terhadap nasionalisme melalui national identity juga signifikan dengan SLF 0.45.

Nasionalisme dalam ranah ilmu sosial memang memiliki konotasi yang kurang baik, karena dianggap menjadi

“biang keladi” yang mendorong timbulnya konflik antar negeri. Menurut Searle- White (2001), nasionalisme menjadi pemicu terjadinya sikap mendevaluasi kelompok tertentu yang bukan bagian dari kelompoknya, berkembangnya agresivitas kelompok, merasa lebih beradab, bermoral dan merasa lebih adil dari kelompok lainnya. Nasionalisme diartikan sebagai sikap yang menyebabkan terjadinya konflik (negatif). Namun berbeda dalam konteks Indonesia, dari beberapa literatur nasionalsime itu memiliki konotasi yang positif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nasionalisme diartikan sikap sadar individu dalam sebuah bangsa yang

memiliki kesamaan dalam

mempertahankan dan mencapai semangat kebangsaan serta berintegritas, mengabadikan identitas, mengedepankan kemakmuran, juga menjaga kekuatan bangsa (KBBI, 2008). Karakteristik nasionalisme dalam Indonesia

keberpihakan kepada kemanusian, rasional, tidak chauvinistic, tidak merasa superior serta anti kolonialisme (Soekarno, 1959).

Konsep nasionalisme dalam konteks Indonesia lebik bersifat emik karena mengacu pada kultur yang khas Indonesia.

Konsep nasionalisme yang dalam konteks Indonesia ini lebih dekat dengan patriotism konstruktif. Patriotisme konstruktif didefinisikan sebagai attachment pada suatu negara yang ditandai dengan dukungan yang disertai sikap kritis untuk mempertanyakan dan mengkritik praktik bernegara yang tujuannya untuk menghasilkan perubahan positif (Schatz et al., 1999).

Temuan-temuan riset ini berbanding lurus dengan beberapa riset terdahulu.

Efficacy, memiliki pengaruh yang signifikan r=0.30, terhadap nasionalisme (Schatz et al., 1999). Hal yang serupa juga dihasilkan dalam penelitian Carvalho et al., (2021) yang membuktikan bahwa efficacy memiliki pengaruh langsung sebesar r=0.32 terhadap nasionalisme. Penelitian lain membuktikan bahwa efficacy dan identitas nasional memiliki korelasi yang postif (Grant et al., 2015), serta riset Blank

& Schmidt (2003) membuktikan bahwa identitas nasional memiliki pengaruh yang besar r=0.92 terhadap nasionalisme.

Riset-riset terdahulu kebanyakan mengeksplorasi tentang relasi antara efficacy dan nasionalisme ataupun yang semakna dengannya yaitu construtive patriotism. Dalam riset ini dimodelkan bahwa pengaruh efficacy terhadap nasionalisme dimediasi oleh national identity. Dalam relasi mediasi hubungan antara efficacy (independent variable) terhadap nasionalisme (dependent

(9)

variable) disebut dengan c, pengaruh efficacy (independent variable) terhadap national identity (mediator) disebut dengan a, serta pengaruh national identity (mediator) terhadap nasionalisme (dependent variable) disebut dengan b.

Disyaratkan c sebelum dimasukkan variable mediator harus signifikan, namun ketika dimasukkan variabel mediator seharusnya tidak signfikan. Pengaruh ini independent variabel terhadap variabel dependen ketika dimasukkan mediator diistilahkan c’. Namun hasil analisis tidak berbanding lurus dengan postulasi ini, yaitu c’ tetap signifikan.

Berdasarkan kondisi ini maka perlu dilakukan pengujian dengan t-test untuk melihat perbedaan signikansi dari c dan c’, dengan formula sebagai berikut:

Dimana X 1 merupakan C dan X 2

merupakan C’ diperoleh SE(X 1 -X 2) = 0,035, sedangkan dari tabel diketahui C=0,57 dan C’= 0,37 sehingga diperoleh t=

5,72 (> 1,96). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran national identity sebagai mediator berfungsi secara efektif. Artinya pengaruh perceived self- efficacy terhadap nasionalisme dapat dijelaskan oleh national identity.

SIMPULAN

Nasionalisme dengan konteks indonesia telah terbukti dipengaruhi oleh percieved self-efficacy yang dimediasi oleh identitas nasional. Hal ini menunjukkan semakin tinggi persepsi terhadap kemampuan dirinya dalam persoalan bangsa maka menciptakan peningkatan magnitude nasionalisme. Tentunya ini diperkuat oleh kesadaran dari individu

untuk berpikir, memotivasi diri, dan bertingkah laku selaras dengan kultur dan nilai suatu bangsa yang menjadi bagian dari identitas dirinya. Identitas tersebut menjadi citra diri dan mengerti kekuatan dan kelemahan bangsanya, dan memuat individu merasa sebagai bagian dari bangsanya. Hanya saja, terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini terkait dengan konsep self-efficacy yang bersifat umum. Oleh sebab itu bagi penelitian selanjutnya disarankan mengoperasi- nalisasikan konsep self-efficacy dengan konteks sosial politik.

DAFTAR PUSTAKA

Ahlerup, P., & Hansson, G. (2008). Nationalism and Government Efectiveness (Vol. 2473, Issue 313).

Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change.

Psychological Review, 84(2), 191–215.

Bandura, A. (1993). Perceived Self-Efficacy in Cognitive Development and Functioning.

Educational Psychologist, 16(1), 57–63.

https://doi.org/10.1159/000180583

Bandura, A. (1999). Social cognitive theory : An agentic perspective. Asian Journal of Social Psychology, 21–41.

Baron, R. M., & Kenny, D. A. (1986). The Moderator-Mediator Variable Distinction in Social Psychological Research: Conceptual, Strategic, and Statistical Considerations.

Journal of Personality and Social Psychology, 51(6), 1173–1182. https://doi.org/https://

doi.org/10.1037/0022-3514.51.6.1173

Barrett, M., & Davis, S. (2002). Applying Social Identity and Self-Categorization Theories to Children’s Racial, Ethnic, National, and State Identifi cations and Attitudes.

Baydhowi. (2009). Hubungan sikap terhadap matematika dan perceived self efficacy dengan prestasi matematika siswa kelas VII Mts Negeri Cibinong. Universitas Indonesia.

Blank, T., & Schmidt, P. (2003). National Identity in a United Germany: Nationalism or Patriotism? An Empirical Test With Representative Data. Political Psychology, 24(2), 1–26.

Carvalho, C. L., Pinto, I. R., & Marques, J. M.

(2021). The nationalist movements in Spain,

(10)

109 today: a Catalonian and Basque comparison1. Revista de Psicologia (Peru),

39(2), 687–715.

https://doi.org/10.18800/PSICO. 202102.007 Corkalo, D., & Kamenov, Z. (2003). National

identity and social distance: Does in-group loyalty lead to outgroup hostility? In Review of Psychology (Vol. 10, Issue 2, pp. 85–94).

Dekker, H., Malová, D., & Hoogendoorn, S. (2003).

Nationalism and its explanations. Political Psychology, 24(2 SPEC.), 345–376.

https://doi.org/10.1111/0162-895x.00331 Eaton, S. C., Livingston, J. N., & Mcadoo, H. P.

(2016). Self-Esteem Revisited. Journal of Black Studies, 812–822.

Etherington, J. (2010). Nationalism, territoriality and national territorial belonging. Papers.

Revista de Sociologia, 95(2), 321.

https://doi.org/10.5565/rev/papers/v95n2.23 Fukuyama, F. (2018). Why national identity matters. Journal of Democracy, 29(4), 5–15.

https://doi.org/10.1353/jod.2018.0058 Gellner, E. (1983). Nations and Nationalism.

Blackwell.

Golob, T., Makarovič, M., & Suklan, J. (2016).

National development generates national identities. PLoS ONE, 11(2), 1–15.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0146584 Grant, P. R., Abrams, D., Robertson, D. W., &

Garay, J. (2015). Predicting Protests by Disadvantaged Skilled Immigrants: A Test of an Integrated Social Identity, Relative Deprivation, Collective Efficacy (SIRDE) Model. Social Justice Research, 28(1), 76–101.

https://doi.org/10.1007/s11211-014-0229-z Grozdanovska, E. (2016). The relationship between

national identity, subjective well-being and meaning in life. Suvremena Psihologija, 19(1), 91–99. https://doi.org/10.21465/2016- SP-191-08

Haller, M., & Ressler, R. (2006). National and European identity A study of their meanings and interrelationships. Revue Francaise de Sociologie, 47(4).

https://doi.org/10.3917/rfs.474.0817

Harrison, K., & Boyd, T. (2018). Understanding political ideas and movements. Manchester University Press.

Huddy, L., & Khatib, N. (2007). American Patriotism, National Identity, and Political Involvement. American Journal of Political Science, 51(1), 63–77. https://

doi.org/10.1111/j.15405907.2007.00237.x Janmaat, J. G. (2006). Popular conceptions of

nationhood in old and new European member states: Partial support for the

ethnic-civic framework. Ethnic and Racial

Studies, 29(1), 50–78.

https://doi.org/10.1080/01419870500352363 Jaspal, R., & Cinnirella, M. (2013). The

construction of British national identity among British South Asians. National Identities, 15(2), 157–175. https://

doi.org/10.1080/14608944.2012.728206 KBBI. (2008). Kamus Bahasa Indonesia.

Kumar, S. (2019). Nationalism In Literature.

International journal of multidisciplinary educational research, 8(12).

Kusumawardani, A., & Farturochman. (2004).

Nasionalisme. Buletin Psikologi, 2.

Liu, Q., & Turner, D. (2018). Identity and national identity. Educational Philosophy and Theory, 50(12), 1080–1088. https://

doi.org/10.1080/00131857.2018.1434076 Llobera, J. R. (1999). Recent theories of

nationalism. Socials, Institut De Ciències Polítiques, 164, 44.

MacKinnon, D. P., Fairchild, A. J., & Fritz, M. S.

(2007). Mediation analysis. Annual Review of Psychology, 58, 593–614.

https://doi.org/10.1146/annurev.psych.58.110 405.085542

Rispawati, & Sumardi, L. (2020). Why does nationalism high or low? Revealing factors affecting nationalism. International Journal of Scientific and Technology Research, 9(2), 2539–2544.

Schatz, R. T., Staub, E., & Lavine, H. (1999). On the varieties of national attachment: Blind verus constructive patriotism. Political Psychology, 20(1), 151–174.

https://doi.org/10.1111/0162-895X.00140 Searle-White, J. (2001). The Psychology of

Nationalism (1st ed.). Palgrave Macmillan.

Soekarno. (1959). Dibawah Bendera Revolusi (pp.

1–683).

Turner, J. C., & Reynolds, K. J. (2012). Self- categorization theory. Handbook of Theories of Social Psychology, January 2012, 399–417.

https://doi.org/10.4135/9781446249222.n46 van der Bijl, J., & Shortridge-Baggett, L. (2001).

Self-efficacy: Theory and Measurement.

Scholarly Inquiry for Nursing Practice, 15(13), 2176–2181.

Wang, J., & Wang, X. (2020). Structural Equation Modeling - Applications Using Mplus.

Referensi

Dokumen terkait

rawat inap untuk aktivitas administrasi umum pemicu biayanya adalah jumlah banyaknya pasien, untuk pelayanan perawatan pasien, visite dokter, pelayanan loundry, pemberian makan

Sistem klasifikasi epilesi dan non epilepsi berdasarkan sinyal EEG pada penelitian ini mempunyai beberapa tahapan proses yaitu yang pertama mengambil sinyal EEG yang

Jadi, dalam penerjemahan teks yang memiliki tingkat kebermarkahan yang tinggi ini, jelaslah bahwa selain menggunakan metode yang tidak kaku, penerjemah juga harus

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 37 Peraturan Bupati Malang Nomor 48 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi Tugas, dan

Pada media cair, ekstrak jeruk purut juga mampu menurunkan jumlah konidia dan berat hifa, pada semua konsentrasi yang diujikan. Selain itu, ekstrak metanol daun

kebun bibit sekitar 200 hektar yang terdiri dari tiga hektar merupakan lahan milik pabrik sendiri yang digunakan untuk membudidayakan bibit pokok, bibit nenek, serta bibit

Kegiatan audit energi ini adalah untuk mewujudkan penghematan energi pada industri karpet pada umumnya, khususnya di PT.Classic Prima Carpet Industries melalui

Diantara mereka yang sebelum pandemi sudah mengerjakan pekerjaan rumah tangga lebih dari 3 jam, proporsi tertinggi (84%) perempuan pekerja paruh waktu merasakan (persepsi) beban