• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Sejarah kebudayaan periode Indonesia Hindu-Budha diawali dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Sejarah kebudayaan periode Indonesia Hindu-Budha diawali dengan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Permasalahan

Sejarah kebudayaan periode Indonesia Hindu-Budha diawali dengan masuknya pengaruh India di Indonesia hingga melemah dan berakhirnya pengaruh tersebut karena berkembangnya pengaruh Islam. Proses masuknya pengaruh budaya India tersebut pada umumnya disebut proses penghinduan, meskipun bukan hanya pengaruh agama Hindu yang masuk ke Indonesia, tetapi juga agama Budha. Periode Hindu-Budha ini dengan segala hasil budaya pada masa kejayaanya biasa dikenal dengan nama periode Klasik Indonesia.

Setiap hasil budaya dari periode klasik Indonesia memiliki fungsi dan peranan yang berbeda-beda oleh karena itu mengungkap sejarah Indonesia Klasik bukanlah hal yang mudah. Salah satu cara mengungkap sejarah itu dapat dilakukan dengan menelaah sumber tertulis karena data tertulis merupakan data yang paling akurat untuk mengungkap sejarah (Andrika, 2011: 1).

Dalam pengertian umum, sumber tertulis adalah semua dokumen tertulis yang memuat ungkapan pikiran, perasaan, aturan, dan sebagainya sebagai hasil karya manusia masa lampau. Sifatnya sebagai objek primer membuat dokumen tertulis mampu memberikan informasi langsung tentang pemikiran dan gagasan dalam bidang keagamaan dan aspek-aspek kehidupan lainnya dalam titik waktu tertentu (Sukendar, 2003: i). Akan tetapi, harus diakui bahwa isi sumber tertulis tidak selalu lengkap karena sebagian besar hanya memuat kejadian singkat misalnya seperti hanya memuat kejadian inti saja tanpa tahun dan penyebutan penanggalan atau bahkan hanya angka tahun saja. Oleh karena itu, tidak

(2)

mengherankan bila dalam merekonstruksi sejarah Indonesia kuno masih terbentur pada berbagai masalah (Kartakususma, 1992: 43).

Ada tiga sumber tertulis untuk mengungkap sejarah Indonesia kuno yaitu prasasti, naskah (karya) sastra dan berita asing. Prasasti merupakan sumber tertulis yang penting karena sumber data yang otentik dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini disebabkan karena prasasti dibuat pada masa yang bersamaan dengan peristiwa yang diperingati. Prasasti juga dianggap mempunyai kekuatan magis sehingga masyarakat pendukungnya tidak berani mengubah-ubah isinya (Dwiyanto, 1985: 5).

Istilah prasasti yang ditulis dalam bahasa Sanskerta praçāsti, ditemukan dalam prasasti itu sendiri, sebagaimana ditulis dalam Prasasti Kaladi 831 Ç berikut : “...iti praçāsti kayatnakna //o// santosākna denira samasanak ulihira mpu yogarajā anatah I sira saŋ hyaŋ tambra” //o// artinya “....perhatikanlah prasasti ini //o// peliharalah oleh para kerabat Mpu Yogaraja dipahatkan pada sang hyang tambra (tembaga)” (Boechari, 1985: 147).

Prasasti berisi tentang perintah, pernyataan, pujian atau putusan yang dikeluarkan oleh seorang raja atau pejabat tinggi suatu pemerintahan, sehingga ragam bahasanya resmi. Bakker berpendapat bahwa, prasasti adalah suatu putusan resmi, tertulis di atas batu atau logam, dirumuskan menurut kaidah-kaidah tertentu, berisikan anugerah dan hak, yang dikurniakan dengan bebagai upacara (Bakker, 1972: 10).

Secara umum prasasti berisi tentang penetapan suatu daerah menjadi sima sebagai anugerah dari seorang raja, pejabat pemerintah atau penguasa kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah berjasa terhadap kerajaan

(3)

untuk kepentingan bangunan suci (Boechari, 1977: 5). Adapula prasasti yang memuat berbagai peristiwa selain penetapan sima, misalnya yang berupa putusan peradilan (jayapatra), inventaris candi atau bangunan suci (dewadrwya), tanda kemenangan (jayacihna), bukti utang pelunasan utang piutang (ṡuddhapāttra) dan juga ada yang berisi tentang daftar raja-raja yang memerintah suatu kerajaan (Bakker, 1972: 13).

Prasasti dari masa Klasik, terutama yang berasal dari raja-raja Mataram Kuno, dapat dikatakan memiliki struktur yang konsisten, yaitu meliputi seruan pembukaan kepada dewa (manggala), unsur penanggalan, nama raja atau pejabat yang mengeluarkan prasasti, kejadian yang diperingati, daftar pasak-pasak dan pejabat yang menerimanya, alasan dikeluarkannya prasasti (sambandha), daftar saji-sajian, kutukan dan sumpah (sapatha), upacara penetapan sima, dan penulis prasasti (citralekha) dan informasi di dalamnya akurat serta dapat dipercaya. Seperti sistem pemerintahan, sistem peradilan, sistem kemasyarakatan (sosial), sistem ekonomi, sistem keagamaan dan sistem kesenian.

Suatu prasasti ditulis menggunakan aksara yang berkembang pada zaman yang bersangkutan. Jangkauan telaah epigrafi di Indonesia meliputi prasasti-prasasti dari abad IV – XVII Masehi. Di antara prasasti-prasasti itu ada yang beraksara Pallawa, Prenagari, Dewanagari, Kawi dan Arab Pegon1. Sementara itu, bahasa yang digunakan prasasti-prasasti di Indonesia antara lain, Sanskerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, Bali Kuno, Sunda Kuno, Arab dan Tamil. Prasasti biasanya dipahatkan atau ditulis pada batu, logam, kayu, bambu, tanah liat (yang dibakar atau dikeringkan dengan sinar matahari), dan kulit kayu.

(4)

Prasasti dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu pasasti panjang dan prasasti pendek. Pasasti panjang adalah pasasti yang mangandung berita lengkap, antara lain memuat angka tahun, nama penguasa, tanah yang dijadikan sima, alasan pendirian sima, upacara penetapan sima, kutukan, citralekha dan sebagainya. Prasasti pendek adalah prasasti yang mengandung informasi yang sangat singkat. Prasasti itu hanya mengandung angka tahun saja, nama seorang tokoh saja atau hanya terdiri dari beberapa kata atau kalimat (Darmosoetopo, 1994: 6).

Mengungkap isi prasasti tidaklah mudah untuk dilakukan, karena peneliti harus memiliki beberapa kemampuan berkaitan dengan prasasti seperti membaca tulisan pada prasasti, mengerti bahasa yang ada pada prasasti, dan harus dapat menginterpretasi apa yang tersurat pada prasasti. Cara mengungkap isi prasasti tersebut dinamakan dengan penelitian epigrafi. Epigrafi adalah studi tentang isi tulisan kuna pada prasasti (Darmosoetopo, 2005: 1). Ilmu lain yang berkaitan dengan penelitian prasasti disebut dengan Paleografi. Paleografi adalah ilmu tentang pertulisan kuna yang mengkaji bentuk, ciri, dan perkembangan aksara kuno (Darmosoetopo, 1994: 1). Penelitian ini menggunakan epigrafi dan paleografi untuk mengetahui isi prasasti dan mengkaji bentuk dan ciri aksara pada Prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B yang ditemukan di daerah Dieng.

Dieng merupakan daerah yang memiliki banyak tinggalan arkeologis termasuk prasasti. Ada beberapa prasasti yang ditemukan pada kompleks percandian di daerah Dieng dan sekitarnya, seperti prasasti pada sebuah batu karang di bukit Pagongan dan dua prasasti pendek yang terletak dekat dengan Candi Bima. Prasasti ini menggunakan bahan cat berwarna merah dalam

(5)

penulisannya dan pada saat ditemukan prasasti ini sudah tidak bisa terbaca lagi. Selain itu juga ditemukan prasasti pendek yang hanya memuat angka tahun, sebagai contoh yaitu prasasti berangka tahun 1132 Ç atau 1210 Masehi.

Wirjosuparto (1957: 15-16) menyatakan bahwa di daerah dataran tinggi Dieng setidaknya pernah ditemukan 13 prasasti di antara reruntuhan bangunan candi. Prasasti-prasasti tersebut menggunakan aksara Jawa Kuno yang bersifat kuno, di antaranya ada yang memuat angka tahun 713 Ç atau 809 M. Aksara Jawa Kuno ini juga terdapat pada sebuah kepingan emas yang ditemukan pada Candi Dwarawati yang bertuliskan “Wisnu” (Soebroto, 1973: 4).

Christie menyatakan (1999) beberapa prasasti yang ditemukan di Dieng yang sekarang menjadi koleksi Museum Nasional antara lain, prasasti Dieng III yang ditulis pada sebuah batu menggunakan bahasa Melayu Kuno dan aksara Jawa Kuno diperkirakan berasal dari awal abad IX M, prasasti Humpan (Dieng IV) yang ditulis pada sebuah batu diperkirakan dari pertengahan abad sembilan, prasasti Wadihati 813 Ç menggunakan bahasa Jawa Kuno, dan prasasti Dang Manangan juga ditulis pada sebuah batu menggunakan bahasa Melayu Kuno dan aksara Jawa Kuno diperkirakan dari awal abad IX M (Christie, 1999: 30, 87, 197). Selain itu ada prasasti yang menjadi koleksi pribadi orang Kebumen yaitu Tan Oen Dji yaitu prasasti Payangan yang ditulis pada sebuah lembaran emas, menggunakan bahasa Melayu Kuno dan aksara Jawa Kuno diperkirakan dari awal abad IX M (Christie, 1999: 29).

Prasasti Mangulihi2 yang menjadi koleksi Museum Kailasa Dieng ini dalam pen-display-annya tidak diberi nama. Berdasarkan deskripsi fisik yang dilakukan oleh L. C. Damais yaitu antara lain aksara banyak yang aus, susah

(6)

terbaca, terdapat dua bagian yang ditulis yaitu depan dan belakang, dan di bagian depan terdapat sedikitnya delapan baris yang masih terlihat aksaranya, selain itu terdapat pecahan di bagian kanan atas maka, dapat dipastikan bahwa prasasti koleksi Museum Kailasa Dieng yang tidak diberi nama ini adalah Prasasti Mangulihi. Prasasti ini sudah diinventarisasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah dengan nomor 349.

Prasasti Mangulihi ini unik karena dalam satu buah batu terdapat tiga prasasti, yaitu prasasti Mangulihi A pada bagian depan, Mangulihi B pada bagian belakang, dan mangulihi C yang ditulis di bagian bawah Mangulihi B. Namun untuk selanjutnya sebagai penyebutan dan pembahasan akan digunakan prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B saja, karena Mangulihi C yang tersisa dan masih terbaca hanya dua kata awal saja yaitu “swasti saka”.

Prasasti Mangulihi A dan B pernah dibaca dan dialihaksarakan oleh L. C. Damais sekitar tahun 1955. Prasasti tersebut mempunyai angka tahun yang berbeda, prasasti Mangulihi A berangka tahun 786 Ç atau 864 Masehi, sedangkan prasasti Mangulihi B berangka tahun 792 Ç atau 870 Masehi. Isi dari kedua prasasti hampir sama, yaitu mengenai penetapan sima (Christie, 1999: 95 dan 100).

Prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B perlu dikaji ulang secara paleografis dan epigrafis untuk melengkapi sejarah budaya di Indonesia pada umumnya dan daerah Dieng khususnya. Selain itu penelitian ini penting untuk mendokumentasikan kedua prasasti tersebut termasuk peristiwa sejarah yang ada di dalamnya sebelum aksara prasasti mengalami keausan yang lebih serius dan tidak bisa terbaca lagi.

(7)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah perbedaan dan persamaan aksara pada prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B dengan prasasti yang sezaman, jika ditinjau dari segi paleografis?

2. Apa isi prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B?

3. Apakah ada hubungan antara prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama yaitu untuk mengetahui segi paleografis dari prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B. Penelitian yang penting dilakukan pada tahap awal adalah mengetahui perkembangan segi aksara, sandangan, pasangan, dan ciri-ciri yang melekat pada aksara. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bentuk aksara dari prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B diantara aksara-aksara dari prasasti yang sezaman agar bisa diketahui aksara yang digunakan masuk dalam aksara Jawa Kuno awal, Jawa Kuno standar atau Jawa Kuno lanjut. Jika sudah diketahui aksaranya, akan membantu penelitian-penelitian selanjutnya tentang prasasti-prasasti lain dari Dieng khususnya dari segi paleografinya.

Tujuan kedua yaitu untuk mengetahui isi dari prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B berdasarkan pada studi epigrafi. Sehingga dapat diketahui tujuan di keluarkannya kedua prasasti ini. Tujuan yang terakhir dan juga sangat penting

(8)

adalah mendokumentasikan aksara pada kedua prasasti tersebut sebelum mengalami keausan yang lebih serius atau bahkan tidak terbaca lagi.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Museum Kailasa Dieng dimana prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B berada dan di kompleks Candi Arjuna, Candi Bima, dan Candi Dwarawati tempat dimana prasasti tersebut ditemukan untuk pertama kalinya. Observasi lapangan itu penting untuk mengetahui konteks prasasti tersebut. Tempat dimana prasasti ditemukan sangat membantu dalam analisis dan interpretasi isi prasasti. Penelitian ini juga dilakukan di Kantor BPCP DIY dan Museum Nasional Jakarta dimana prasasti Pananggaran dan prasasti Wayuku disimpan. Kedua prasasti ini digunakan sebagai prasasti pembanding untuk mengetahui masa penulisan prasasti Mangilihi A dan Mangulihi B.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang menggunakan kajian epigrafis dan paleografis telah banyak dilakukan oleh beberapa ahli epigrafi di dalam maupun luar negeri. Misalnya ada master paleografi Indonesia yaitu J. G de Casparis yang menerbitkan buku berjudul ”Indonesia Palaeography” yang terbit pada tahun 1975. Buku ini membicarakan penelitian Casparis tentang perkembangan atau sejarah tulisan di Indonesia dari awal sampai kira-kira abad 15 Masehi. Dalam bukunya yang lain, “Palaeography as an Auxiliary Discipline in Research on Early South East Asia”, Casparis membahas tentang kegunaan dan manfaat paleografi sebagai ilmu bantu dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul pada awal masa klasik di Asia Tenggara. Walaupun kajian utamanya adalah Asia Tenggara, tetapi fokus utama pembahasannya masih tetap wilayah Indonesia (Prasodjo, 1994). Buku ini digunakan penulis dalam membantu menganalisis segi

(9)

paleografi prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B dengan prasasti pembanding yaitu prasasti Pananggaran dan prasasti Wayuku.

Riboet Darmosoetopo meneliti Prasasti Salimar IV pada tahun 1971 dengan judul “Prasasti Salimar IV”. Tulisan ini membahas prasasti Salimar IV lengkap dari segi paleografis dan epigrafisnya. Kesimpulan yang dihasilkan adalah prasasti Salimar IV dan ketiga prasasti Salimar lainnya merupakan prasasti-prasasti batu patok yang dipancangkan di sudut-sudut hutan Salimar. Riboet Darmosoetopo juga berhasil mengidentifikasi golongan masyarakat desa Kandang (desa penerima tanah perdikan) dalam tiga golongan, yaitu yang pertama para rama adalah mereka yang memegang pemerintahan, kedua adalah para biarawan, dan golongan ketiga adalah penduduk biasa. Metode epigrafi yang digunakan untuk meneliti prasasti Salimar IV ini dapat digunakan untuk membantu penulis mengaanalisis isi prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B.

Selanjutnya, Tjahjono Prasodjo dalam penelitian yang berjudul “Kajian Paleografis Terhadap Prasasti-Prasasti Candi Sukuh” meneliti prasasti-prasasti Candi Sukuh pada tahun 1990. Penelitian tersebut membahas mengenai perbedaan aksara yang digunakan dalam prasasti-prasasti Candi Sukuh dengan beberapa prasasti yang sejaman seperti yang ada di Candi Penataran, di Penanggungan dan pada nisan-nisan Troloyo. Kesimpulan dari penelitian itu adalah bahwa prasasti-prasasti Candi Sukuh memiliki perbedaan dan penyimpangan dari perkembangan aksara Jawa Kuno di Indonesia. Laporan penelitian ini digunakan untuk membantu dalam menganalisis segi paleografis prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B.

(10)

Rani Andrika menulis skripsi dengan kajian paleografis pada tahun 2011 dengan judul “Prasasti Pendek dan Gambar Bercat pada Kompleks candi Prambanan (Kajian Paleografis, Isi dan Fungsinya)”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa aksara yang digunakan adalah Jawa Kuno standar, dan pada setiap prasasti, ditulis oleh penulis yang berbeda. Adapun isi prasasti pendek di kompleks candi Prambanan tersebut menunjukkan adanya enam buah variasi diantaranya mengenai pejabat, nama desa, angka, nama hari, kutukan/saphata, dan nama yang belum diketahui jabatannya. Skripsi ini dapat digunakan untuk membantu penulis menganalisis segi paleografis dan isi prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B.

Penelitian tentang Situs Dieng pernah dilakukan oleh Hery Suyamto pada tahun 1997, dengan judul “Karakteristik Candi Bima di Dieng (Tinjauan Berdasarkan Data Arsitektural)”. Kesimpulan yang didapatkan adalah Candi Bima dibangun pada awal abad IX M dengan denah berbentuk segi empat berpenampil. Dari bentuk profil tubuh Candi Bima diketahui bahwa perbingkaian termasuk dalam kelompok candi yang berusia tua dengan perbingkaian atas dan bawah tubuh candi yang masih sederhana tanpa adanya hiasan. Keistimewaan lain dari Candi Bima adalah atapnya yang merupakan perpaduan antara gaya India Utara dan India Selatan. Di samping itu konstruksi bangunan atap candi tersebut diperkirakan perpindahan model atau gaya bangunan dari konstruksi kayu ke konstruksi batu.

Selain itu, Indah Purnastuti pada tahun 2000 juga melakukan penelitian di Dieng dengan judul “Periodesasi Percandian Dieng Berdasarkan Arsitektur”. Penelitian tersebut membahas tentang periode pembangunan percandian Dieng berdasarkan arsitekturnya yang meliputi bentuk denah, kaki, tubuh dan atap

(11)

candi kemudian dibandingkan dengan Candi Gunung Wukir, Candi Gedong Songo dan Candi Pringapus yang telah diketahui periode pembangunannya. Kesimpulan dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pertanggalan relatif percandian Dieng sekitar abad VIII-IX M (732-850 M). Dari penelitian ini kemungkinan dapat dihubungkan dengan isi dari prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B.

Penelitian mengenai prasasti Mangulihi A dan B pernah dilakukan oleh L. C. Damais pada tahun 1955, dengan melakukan alihaksara dan alihbahasa pada kedua prasasti tersebut. Analisis mendalam mengenai isi dan paleografisnya kedua prasasti ini tidak dilakukan karena penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui pertanggalan prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B.

Penelitian yang pernah dilakukan terhadap beberapa prasasti yang ditemukan di Dieng antara lain, Wirjosuparto (1957) dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Bangunan Kuna Dieng” hanya menyebutkan bahwa ada 13 buah inskripsi di atas batu dan beberapa lembaran emas yang ditemukan di antara reruntuhan bangunan candi di Dieng. Jan Wisseman Christie (1999) yang meneliti prasasti-prasasti di Jawa khususnya pada masa Mataram Kuno, menuliskan beberapa prasasti yang ditemukan di Dieng, diantaranya adalah prasasti Payangan yang ditulis pada sebuah lembaran emas, prasasti Dieng III yang ditulis pada sebuah batu, prasasti Wadihati 813 Ç dan prasasti Dang Manangan yang juga ditulis pada sebuah batu. Kesemuanya diperkirakan berasal dari awal abad 9 Masehi.

Berdasarkan beberapa buku, skripsi, maupun hasil laporan penelitian mengenai paleografi dan epigrafi terhadap prasasti-prasasti yang ditemukan di

(12)

situs Dieng maupun di daerah lain sebagaimana yang disampaikan di atas, belum ada tulisan yang membahas mengenai prasasti Mangulihi A dan B baik dari segi paleografis maupun epigrafis. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas lebih mendalam lagi mengenai bentuk-bentuk aksara dan isi prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B.

F. Metode Penelitian

Sebagai sebuah ilmu, arkeologi memiliki seperangkat metode dan teknik khusus untuk mengumpulkan atau memproduksi informasi data arkeologi. Pemilihan metode tersebut disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan penelitian (Haryono, 1993: 10). Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis, dimana pada tahap awal penelitian dilakukan penggambaran data atau obyek penelitian, berdasarkan fakta-fakta yang terlihat, kemudian dilakukan langkah-langkah analitis mengenai variabel-variabel yang ada, sehingga gejala-gejala tertentu dapat terlihat dengan jelas (Tanudirjo, 1988-1989: 52). Sedangkan penalaran yang digunakan adalah penalaran induktif, yaitu suatu penalaran untuk menjelaskan suatu masalah berdasarkan data yang ada, sehingga menghasilkan suatu pemecahan atau generalisasi umum. Data tersebut digunakan sebagai penarik kesimpulan melalui analisis dan sintesis (Tanudirjo, 1988-1989: 34).

Untuk mengetahui aspek paleografis dari prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B, metode yang digunakan adalah perbandingan dengan prasasti yang sezaman yaitu prasasti Pananggaran dan prasasti Wayuku. Perbandingan ini sebagai langkah awal sebelum analisis isi dilakukan dan untuk mengetahui gambaran aksara yang digunakan masuk dalam aksara Jawa Kuno awal, Jawa Kuno standar atau Jawa Kuno lanjut.

(13)

Untuk mengetahui isi prasasti dengan menggunakan pendekatan epigrafis, yaitu pendekatan penelitian analitis dengan pendekatan struktural. Pendekatan penelitan analitis dengan pendekatan struktural meliputi tahap pra analitis yang mencakup dua hal, yaitu kritik ekstern dan kritik intern (Dwiyanto,1993: 7-8). Kritik ekstern adalah tahap penelitian berdasarkan liputan fisik berupa deskripsi bentuk, bahan, jenis aksara, lingkungan, lokasi keberadaan prasasti, lencana, maupun pemilik. Sedangkan kritik intern adalah tahap kerja yang dilakukan berdasarkan hasil liputan data lapangan yang berupa faksimili, yaitu alihaksara dan alihbahasa/terjemahan. Hasil analisis kritik esktern berupa analitis bentuk/jenis, analisis bahan, dan analisis aksara yang hasilnya berupa penafsiran kronologi. Analisis kritik intern akan menghasilkan analisis identitas melalui pesan/isi prasasti, berupa penafsiran aspek ekonomi, sosial, birokrasi/hukum, dan sebagainya (Dwiyanto,1993: 7-8; Kartakusuma, 1992: 43-50).

Berdasarkan metode yang telah diungkapkan di atas, maka tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan yaitu :

1. Tahap pengumpulan data a. Data primer

Pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini antara lain survei arkeologi dan observasi langsung di lapangan. Survei dilakukan di sekitar Dieng yang mungkin untuk melihat dimana prasasti Mangulihi A dan B pertama kali ditemukan dan tepatnya dimana serta untuk melihat lingkungan sekitarnya. Observasi lapangan dilakukan dengan mengamati langsung prasasti ini di Museum Kailasa. Dalam observasi ini dilakukan pembersihan batu dengan air dan sikat gigi untuk memperjelas

(14)

pembacaan prasasti, setelah prasasti terlihat dengan jelas maka dilakukan pendokumentasian dengan membuat salianan yang semirip mungkin dengan aksara aslinya (faksimili), dan pemotretan prasasti tersebut. Setelah itu dilakukan pendeskripsian terhadap prasasti ini, baik berupa deskripsi fisik maupun deskripsi aksaranya. Selain itu akan dibandingkan dari segi paleografisnya dengan prasasti Pananggaran 791 Ç dan prasasti Wayuku 779 Ç yang sezaman dengan prasasti koleksi Museum Kailasa Dieng ini, hal ini dilakukan untuk mengetahui bentuk aksara yang digunakan apakah ada perbedaan atau tidak.

b. Data sekunder

Sebagai data pendukung penelitian lapangan, maka akan dilakukan studi pustaka untuk mencari data-data pelengkap. Sumber yang digunakan antara lain data mengenai penelitian prasasti di Dieng, skripsi-skripsi tentang Dieng, data administratif penelitian, sumber-sumber tentang lingkungan di Dieng, data-data tentang prasasti pembanding dan sumber acuan lain yang dapat membantu memecahkan masalah dalam penelitian yang akan dilakukan.

2. Tahap pra analisis a. Kritik ekstern

Pada tahap ini dilakukan identifikasi lokasi/lingkungan, bentuk prasasti, bahan prasasti, jenis aksara dan bahasa yang digunakan untuk kemudian dilihat ciri-cirinya.

b. Kritik intern

Pada tahap ini dilakukan alihaksara, pembacaan, dan alihbahasa atau terjemahan. Jika ditemukan aksara prasasti yang sudah tidak jelas lagi

(15)

maka dalam proses pembacaan prasasti menggunakan hasil pendokumentasian berupa foto dan faksimil3. Hasil pendokumentasian prasasti dilihat kembali dengan menggunakan aplikasi komputer yang mendukung untuk memperjelas pembacaan prasasti yaitu dengan cara mengedit gelap, terang dan kontras warna prasasti, sehingga dapat dibaca.

3. Tahap analisis data

Setelah pengumpulan data dari lapangan, studi pustaka dan tahap pra-analitis, maka tahap selanjutnya adalah tahap analisis data. Tahap tersebut dilakukan untuk menjawab rumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya. Analisis yang akan dilakukan meliputi :

1. Analisis paleografi

Analisis paleografi di sini dilakukan untuk mengetahui perkembangan aksara yang digunakan dalam prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B. Analisis berdasarkan bentuk aksara, pasangan, sandangan, dan tanda-tanda yang melekat. Selanjutnya melihat ciri-ciri khusus yang ada dan melekat pada aksara. Setelah itu akan dibandingkan dengan prasasti Pananggaran dan prasasti Wayuku yang sezaman dengan prasasti Mangulihi A dan B untuk melihat apakah ada perbedaan dan persamaan dengan prasasti ini.

2. Analisis isi prasasti

Analisis ini dilakukan dengan cara membaca dan memaknai isi prasasti dari terjemahan prasasti dan menjabarkan maksud atau arti isi prasasti tersebut dengan membandingkan tulisan dari L. C. Damais dan menambahkan interpretasi penulis sendiri.

(16)

4. Tahap simpulan

Penarikan simpulan dapat dilakukan setelah mendapatkan analisis data dan interpretasi data untuk menjawab permasalahan mengenai aspek paleografis, dan isi dari prasasti Mangulihi A dan Mangulihi B.

(17)

Catatan Bab I ________________________

1 Aksara Pallawa adalah atau kadangkala ditulis sebagai Pallava adalah sebuah aksara yang berasal dari India bagian selatan, aksara Dewanagari adalah aksara India yg dipakai untuk menuliskan bahasa Sanskerta yang tumbuh pd abad ke-7 - 9 M, masih digunakan hingga saat ini, aksara kawi atau jawa kuno merupakan bentuk aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa jawa kuno atau bahasa kawi dan aksara arab pegon adalah aksara arab adalah aksara yang mula-mula digunakan untuk menuliskan bahasa arab yang ditulis dr kanan ke kiri.

2 Nama mangulihi ini berasal dari kata “mangulihi” yang terdapat pada prasasti Mangulihi A baris ke delapan, yang berarti nama sebuah desa yang ditetapkan sebagai sima.

3 Faksimili adalah tiruan prasasti yang dibuat dengan cara menggambar atau meniru aksara prasasti pada kertas dengan setepat-tepatnya.

(18)

DATA SEKUNDER Dokumentasi prasasti : absklat, rubbing, faksimili, foto.

Studi Pustaka

Pra-Analitis

Kritik Intern : transkripsi dan transliterasi Kritik Ekstern : deskripsi

bahan, bentuk, jenis, aksara, bahasa, lokasi

Analitis

Identitas : melalui pesan/ isi prasasti Bentuk, jenis, bahan,

aksara Penafsiran Kronologi Penafsiran KESIMPULAN DATA PRIMER PERMASALAHAN PENGUMPULAN DATA

Referensi

Dokumen terkait

Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Getas/ Assinan Kabupaten Semarang” menjadi relevansi karena dalam skripsi ini dijelaskan secara singkat mengenai luas areal

Ditemukan adanya sistematika vertikal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam Pasal 5 Ayat 4 yang berisi tentang

Dua tradisi itu berkembang pesat mengiringi perjalanan panjang kehidupan kebudayaan Bugis, dari kedua sumber tersebut saat ini telah banyak ditemukan hasil

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: Apakah dengan menerapkan model pembelajaran berdasarkan

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori akulturasi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yang menyatakan bahwa penelitian-penelitian yang menyangkut

Gerakan Pramuka sebagai bagian dari pendidikan nasional memiliki tujuan membentuk setiap pramuka agar memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan para guru mata pelajaran yang mengajar di kelas tersebut menyatakan bahwa di kelas tersebut sebagain besar

Pernyataan bahwa ketangguhan merupakan salah satu faktor yang dapat membedakan individu dalam bereaksi terhadap stressor, didukung oleh penjelasan dari Maddi (1999) menyatakan