1 LAPORAN KASUS
Pathological fracture femur dextra 1/3 proximal ec metastatic bone disease tumor mammae
Oleh
dr. I Gede Hendra Sucipta
Pembimbing
Prof.Dr.dr. Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PROGRAM STUDI ILMU BEDAH
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2019
2 KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang merupakan salah satu tugas dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Laporan Kasus ini membahas tentang Pathological fracture femur dextra 1/3 proximal ec metastatic bone disease tumor mammae.
Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memperdalam wawasan tentang pathological fracture femur dextra 1/3 proximal ec metastatic bone disease tumor mammae serta melatih kemampuan membuat tulisan ilmiah dan prasyarat dalam mengikuti pendidikan bedah lanjut II di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam- dalamnya kepada
1. dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B(K) Trauma sebagai Ketua Program Studi Ilmu Bedah FK Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan motivasinya.
2. Prof.Dr.dr. Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT sebagai pembimbing yang telah dengan tulus memberikan saran dan masukan baik akademik maupun moril sampai laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu dengan segala keredahan hati penulis menerima saran dan kritik untuk perbaikan laporan kasus ini
Denpasar, 04 April 2019
I Gede Hendra Sucipta
3 BAB I
PENDAHULUAN
Metastatic bone disease lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan tumor primer tulang. MBD di Amerika Serikat terjadi 1,2 juta kasus tumor ganas per tahun dan 300.000 kasus mengalami metastase ke tulang. MBD berasal dari tumor primer kanker payudara dan prostat (70%), thyroid (40%), ginjal (35%), paru (35 %), rectal (10%). Skeletal sistem merupakan tempat metastase ketiga terbanyak setelah paru-paru, dan liver. Jika dilihat dari umur sering terjadi pada umur dewasa dan orang tua, 75% terjadi pada umur lebih dari 50 tahun. Tempat metastase pada tulang adalah red marrow, seperti vertebrae (50-70%), costae, sternum, pelvis, dan proximal femur.
Gejala dan tanda klinis yang sering terjadi pada pasien MBD adalah nyeri, fraktur patologis, hipercalcemia, dan keluhan neurologis terutama metastase di daerah tulang belakang. Diagnostik pada MBD dikerjakan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium dan imaging yang baik. Bila ditemukan tanda-tanda khas MBD, seperti riwayat tumor primer (karsinoma ), umur dewasa atau tua (lebih dari 50 tahun), lesi tulang multiple, diagnosis dapat mudah ditegakkan, tetapi jika hanya ditemukan keluhan dan tanda yang tidak spesifik, maka perlu dilakukan pemeriksaan sitologi atau histopatologi. Deferensial diagnosis dari MBD adalah lesi pada tulang seperti : Stress fracture, metabolic disease, tumor primer tulang, dan miositis ossifikan. Terapi pada MBD sebagian besar dilakukan tanpa pembedahan, tetapi tindakan pembedahan diperlukan jika gagal dengan terapi medikamentosa, terjadi impending fraktur patologi, dan penekanan pada saraf.
4 BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Ni Ketut Putriasih Jenis Kelamin : Perempuan Tanggal Lahir : 06 Mei 1977 Umur : 41 tahun
CM : 19013984
Alamat : Warukulon RT 02, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur MRS : 31/04/2019
Ruangan : Angsoka 3
2.2 Anamnesis Keluhan Utama:
Nyeri pada paha kanan Riwayat Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada paha kanan sejak 3 hari yang lalu setelah mengangkat barang. Nyeri dirasakan semakin memberat sehingga pasien tidak bisa berjalan. Selain itu pasien juga mengeluhkan timbul benjolan pada payudara kanan sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya benjolan tersebut kecil seperti kelereng, namun semakin lama semakin membesar seukuran telur ayam dan saat ini benjolan tersebut terdapat luka. Pasien merupakan rujukan dari RSUD Sanjiwani Gianyar dengan diagnosa pathological fracture femur dextra 1/3 proximal ec suspect MBD tumor mamma dextra. Riwayat trauma (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mempunyai benjolan pada payudara kanan sejak bulan Agustus 2017, sempat berobat ke RS Ganesha, namun menolak pengobatan lebih lanjut karena alasan biaya.
Riwayat pengobatan alternatif (+). Riwayat kemoterapi (-)
5 2.3 Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
TD : 110/70 mmHg N : 76x/ menit Tx : 36,5 C RR : 18 x / menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-) THT : Kesan tenang
Maksillofacial : Dalam batas normal Thorax : Insp : simetris,
Palp : nyeri,krepitasi (-/-) Perc : Sonor/sonor
Aus : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), Po: Ves +/+, rh -/-, wh -/- Abdomen: Insp : distensi (-)
Aus : BU (+) Palp : defans (-) Per : timpani
Ekstremitas : hangat ~ sesuai status lokalis Anogenital : Anus (+), Genital (+) normal
Status Lokalis Regio mama Dextra:
Massa ukuran 6x3 cm di quadran lateral atas dengan konsistensi padat keras, terfiksir didasar. Ulkus (+), perdarahan (-), pus (+).
Regio Femur Dextra
L : Swelling (+), bruise (-), deformitas (+) external rotasi, Shortening (+) 2 cm F : Tenderness (+), arteri dorsalis pedis teraba, CRT < 2 detik, sensoris normal M : Active ROM knee terbatas karena nyeri
6 Active ROM ankle 25/45
Active ROM MTP-IP 0/90
Foto Klinis
Gambar 1. Regio Mammae Dextra:
Gambar 2. Regio Femur Dextra
7 2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (29/03/2019)
Radiologi
Gambar 3. Pelvis AP (29/03/2019)
Fraktur 1/3 proximal os femur dextra, disertai soft tissue swelling
Gambar 4. Femur Dextra AP/Lateral (29/03/2019) Fraktur 1/3 proximal os femur dextra, disertai soft tissue swelling
8 Gambar 5. Thorax AP (29/03/2019)
Susp pneumonia dd/ pneumonic type lung metastase
Gambar 6. Bone Survey (01/04/2019)
Pneumonia, suspek pneumonic type pulmonary metastase. Suspek bone process metastase pada os calvaria, os humerus dextra 1/3 tengah, dan pelvis dengan fraktur patologis pada os femur dextra 1/3 proximal
9 2.5 Diagnosis
- Pathological fracture femur dextra 1/3 proximal ec MBD - Tumor mamma dextra (T4CN0M1)
2.6 Penatalaksanaan TS Orthopaedi
- Immobilization with skin traction 5 Kg - Cephalomedullary nailing
TS Onkologi
- Work up diagnosis:
Open Biopsi
Gambar 7. USG Liver (04/04/2019)
Hepar dan GB tak tampak kelainan. Saat ini tak tampak nodul metastase pada hepar dan paraaorta
10 BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Metastatic bone disease merupakan stadium akhir dari perjalanan tumor primer.
3.2 Epidemiologi dan Etiologi
Sekitar 1,2 juta pasien menderita kanker setiap tahunnya di Amerika Serikat, dari jumlah tersebut sekitar 300.000 orang mengalami metastasis ke tulang. Sebagai perbandingan, hanya sekitar 2.700 pasien menderita sarcoma tulang setiap tahun.
Kisaran usia pasien dangan sarcoma berbeda dengan pasien yang menderita metastasis kanker ke tulang. Kebanyakan pasien dengan metastasis ke tulang berusia diatas 50 tahun, sementara kebanyakan penderita sarcoma merupakan orang dewasa muda dengan usia dibawah 30 tahun.
Metastasis ke tulang yang paling sering adalah berasal dari karsinoma payudara, selanjutnya secara berurutan karsinoma prostat, ginjal, paru-paru, tiroid, buli dan traktus gastrointestinal. Sekitar 10% dari kasus metastasis tersebut tidak ditemukan adanya tumor primer.
Lokasi yang paling sering terjadinya metastasis tulang adalah pada vertebra, pelvis, femur proksimal, dan humerus. Penyebaran biasanya melalui aliran darah, tetapi kadang-kadang tumor visceral menyebar secara langsung ke tulang yang berdekatan (misalnya pelvis atau costa). Metastasis biasanya osteolitik, dan sering terjadi fraktur patologis. Resorbsi tulang terjadi karena efek langsung dari sel-sel tumor atau dari tumor-derived faktor yang menstimulasi aktivitas osteoklastik. Lesi osteoblastik jarang terjadi, biasanya terjadi pada carcinoma prostat.
11 Primary tumor Incidence of bone metastases (%)
Breast 73
Prostate 68
Thyroid 42
Kidney 35
Lung 35
Gastrointestinal tract 5-10
Tabel 1. Insidensi metastasis ke tulang dari berbagai macam kanker
3.3 Mekanisme terjadinya MBD Tipe dari MBD
Metastasis ke tulang memiliki dua macam karakteristik yakni osteolytic dan osteoblastic. Klasifikasi tersebut menggambarkan suatu keadaan dimana terjadinya disregulasi dari proses remodeling tulang yang normal. Pasien dapat mengalami baik metastasis osteolytic dan osteoblastic atau lesi campuran yang mengandung kedua elemen tersebut. Kebanyakan pasien dengan kanker payudara akan mengalami metastasis tipe osteolytic, walaupun sedikitnya sekitar 15-20% diantaranya akan mengalami metastasis tipe osteoblastic. Sebagai tambahan, pembentukan tulang sekunder terjadi sebagai respon dari adanya proses destruksi tulang. Proses reaktif tersebut sangat mudah untuk dideteksi dengan menggunakan scanning tulang, yang mengidentifikasi tempat terjadinya pembentukan tulang secara aktif. Hanya pada multiple myeloma terjadi proses tulang lytic secara murni. Lesi yang terjadi pada metastasis kanker prostat secara dominan merupakan lesi osteoblastik.
Beberapa faktor mempengaruhi frekuensi terjadinya metastasis ke tulang.
Aliran darah yang sangat tinggi pada daerah sumsum tulang, menjadi predileksi terjadinya metastasis pada tempat tersebut. lebih jauh lagi, sel tumor memproduksi molekul adhesive yang mengikat secara erat ke sel stromal dari sumsum tulang dan matriks tulang. Interaksi tersebut menyebabkan sel tumor meningkatkan produksi factor angiogenesis dan bone-resorpsing yang lebih lanjut lagi akan meningkatkan pertumbuhannya di tulang. Tulang juga merupakan tempat bagi beberapa faktor pertumbuhan, termasuk didalamnya transforming growth factor, insulin-like growth factor I dan II, fibroblast growth factor, platelet-derived growth factor, bone
12 morphogenetic proteins, dan kalsium. Factor-faktor pertumbuhan tersebut, yang dilepaskan dan teraktivasi selama proses resorpsi tulang, menyediakan tempat yang subur bagi pertumbuhan sel tumor. Hipotesis “seed and soil” tersebut pertama kali diungkapkan oleh Stephen Paget pada tahun 1889.
Remodelling Tulang Normal
Tulang manusia secara berkelanjutan mengalami pergantian dan remodeling melalui aktivitas yang melibatkan osteoklas dan osteoblas pada permukaan trabekular dan system haversian. Pada tulang yang normal, terdapat keseimbangan dari rangkaian proses remodelling tersebut yakni: resorpsi tulang oleh osteoklas, dan kemudian pembentukan tulang oleh osteoblas.
Osteoklas
Osteoklas berasal dari sel-sel precursor monosit dan makrofag yang berdiferensiasi menjadi osteoklas inaktif. Osteoklas yang teraktivasi meresorbsi tulang dan mengalami apoptosis. Kedua sel tersebut memproduksi sitokin dan hormone sistemik yang meregulasi pembentukan dan aktivasi osteoklas. Lingkungan mikro dari tulang memainkan peranan penting dalam pembentukan osteoklas melalui produksi macrofag colony stimulating factor dan reseptor activator of nuclear faktork B (RANK) ligand (RANKL) oleh sel-sel atau osteoblas. RANKL, bagian dari tumor necrosis factor, diekspresikan dipermukaan osteoblas dan sel-sel stromal dan dilepaskan oleh sel-sel T teraktivasi. Faktor-faktor yang bersifat osteopenic, seperti hormone paratiroid, 1,25-dihydroxyvitamin D dan prostaglandin menginduksi pembentukan dari osteoklas dengan meningkatkan ekspresi dari RANKL pada sel-sel stromal sumsum tulang dan osteoblas daripada secara langsung bekerja pada precursor osteoklas. RANKL mengikat reseptor RANK pada precursor osteoklas dan menginduksi pembentukan osteoklas melalui sinyal pada nuclear factor kB dan jalur Jun N-terminal kinase. Bentuk terlarut dari RANKL diproduksi oleh sel T teraktivasi dapat dideteksi pada cairan sendi hewan dengan arthritis. Pentingnya peran RANKL pada pembentukan osteoklas digambarkan secara jelas melalui tehnik rekombinasi homolog dimana RANKL atau gen RANK pada tikus yang telah dihapus. Pada hewan coba tersebut mengalami penurunan osteoklas dan sebagai hasilnya terjadinya
13 osteopetrosis. Sebagai tambahan, perkembangan dari sel B dan sel T mengalami penurunan pada hewan coba tersebut. Reseptor untuk RANK, osteoprotegerin, secara normal berada pada sumsum tulang. Osteoprotegerin, bagian dari keluarga reseptor tumor nerosis factor, menghambat terjadinya diferensiasi dan resorpsi osteoklas secara in vitro dan in vivo. Rasio RANKL terhadap osteoprotegerin mengatur pembentukan dan aktivitas dari osteoklas. Produksi yang berlebihan dari osteoprotegerin terbukti menyebabkan osteoporosis pada hewan coba, dimana kurangnya kadar osteoprotegerin menyebabkan osteopenia. Peran dari RANKL yang penting pada destruksi tulang menyebabkan pengembangan rekombinan osteoprotegerin dan antibody terhadap RANKL sebagai pengobatan potensial untuk metastasis tulang. Osteoklas meresorbsi tulang dengan mensekresi protease yang menguraikan matriks tulang dan memproduksi asam yang melepaskan mineral tulang ke ruang ekstraselular dibawah dari perbatasan plasma membrane osteoklas, yang menghadap ke tulang dan merupakan organela yang meresorbsi dari sel. Perlekatan osteoklas ke permukaan tulang penting untuk proses resorbsi tulang, karena adanya zat yang mempengaruhi perlekatan osteoklas yang memblok resorpsi dari tulang.
Agen yang mempengaruhi perlekatan osteoklas ke tulang atau menghambat protease yang diproduksi oleh osteoklas, seperti cathepsin K, dalam penelitian dan mungkin berguna untuk terapi metastasis tulang.
Osteoblas
Osteoblas merupakan sel pembentuk tulang. Osteoblas berasal dari sel-sel mesenkimal, yang membentuk osteoblas, adiposit, dan sel-sel otot. Faktor transkripsi yang penting untuk diferensiasi osteoblas adalah Runx-2, atau core-binding factor a1 (CBFA1). CBFA1 mengatur ekspresi semua gen yang berhubungan dengan diferensiasi osteoblas. Pada hewan coba tikus, yang mengalami kekurangan gen CBFA1 tulang tidak terbentuk. Diferensiasi osteoblas kurang begitu dipahami daripada diferensiasi osteoklas. Terdapat precursor awal osteoblas yang memproduksi alkaline phosphatase dan precursor yang lebih terdiferensiasi yang memproduksi sejumlah osteokalsin dan matriks yang terkalsifikasi. Osteoblas kemudian menjadi osteosit . Bone Morphometric proteins merupakan faktor yang penting yang menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi dari osteoblas. Seperti ditunjukan pada
14 gambar 2B, banyak faktor dapat mengubah pertumbuhan dan diferensiasi osteoblas, termasuk platelet-derived growth factor, fibroblast, faktor pertumbuhan, dan transforming growth factor b.
Metastasis Osteolitik
Pada metastasis osteolitik, destruksi dari tulang lebih dimediasi oleh osteoklas daripada oleh sel tumor itu sendiri. Akan tetapi, faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap aktivasi osteoklas sangat bervariasi tergantung dari jenis tumornya. Pada Multiple Myeloma, osteoklas terakumulasi hanya pada permukaan tulang yang teresorbsi berdekatan dengan sel-sel dari myeloma tersebut, tidak didapatkan osteoklas di area lain dari tulang yang terbebas dari tumor tersebut. Sebagai tambahan dari meningkatnya resorbsi tulang, proses pembentukan tulang mengalami supresi sehingga lesi tulang pada pasien dengan myeloma hanya bersifat litik. Beberapa faktor osteoklastogenik berhubungan dengan meningkatnya aktivitas osteoklas pada myeloma. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah interleukin-1, interleukin-6, macrophage inflammatory protein, dan RANKL. Interleukin-1 merupakan stimulan
15 poten pada pembentukan osteoklas, tetapi kadar interleukin-1 yang diproduksi oleh sel myeloma sangatlah rendah. Beberapa penelitian tidak mendeteksi tingkat dari interleukin-1 pada beberapa tumor myeloma, menunjukan bahwa interleukin-1 mungkin bukan merupakan mediator utama dari myeoloma bone disease. Interleukin- 6 merupakan faktor pertumbuhan atau paling tidak merupakan faktor yang menghambat terjadinya apoptosis pada sel myeloma. Faktor tersebut terdapat pada sampel plasma sumsum tulang dari pasien dengan myeloma. Interleukin-6 merupakan stimulator potensial pada pembentukan osteoklas dan dapat mengubah pengaruh dari peptide terkait hormone paratiroid pada pembantukan osteoklas secara in vivo.
Tingkat interleukin-6 pada sumsum tulang tidak secara konsisten berhubungan dengan adanya lesi tulang. Akan tetapi, ketika sel myeloma menempel pada sel stromal dari sumsum tulang, produksi dari interleukin-6 oleh sel stromal sumsum tulang meningkat. Interleukin-6 nampaknya memiliki peran yang penting dalam mengubah pertumbuhan atau memperpanjang survival sel myeloma, tetapi perannya dalam myeloma bone disease masih belum jelas. RANKL adalah mediator utama pada myeloma bone disease. Beberapa penelitian menunjukan bahwa sel myeloma memproduksi RANKL, tetapi tidak jelas jumlah dari RANKL yang diproduksi oleh sel myeloma cukup untuk menginduksi pembentukan osteoklas. Sebaliknya, RANKL mencegah terjadinya apoptosis dari osteoklas. RANKL diproduksi oleh sel-sel stroma sumsum tulang pada myeloma. Pada kondisi mikro dari tulang pada myeloma, produksi RANKL meningkat dan produksi osteoprotegerin secara nyata menurun.
Penghambatan terhadap pengikatan RANKL ke reseptor RANK dengan bentuk soluble dari reseptor RANK atau osteoprotegerin menghambat destruksi tulang pada tikus dengan myeloma. Semua data tersebut menunjukkan bahwa RANKL adalah mediator utama pada myeloma bone disease. Macrophage inflammatory protein 1a juga nampaknya merupakan regulator kunci dari destruksi tulang pada myeloma.
Macrophage inflammatory protein 1a merupakan induktor poten pembentukan osteoklas secara in vitro, secara independen dari RANKL, dan mengubah pembentukan osteoklas yang terstimulasi oleh RANKL dan interleukin-6. Pada sekitar 70% pasien, sel myeloma memproduksi Macrophage inflammatory protein 1a dan kadar dari protein tersebut meningkat pada plasma dari sumsum tulang. Kadar Macrophage inflammatory protein 1a berkorelasi secara kuat dengan adanya lesi
16 osteolitik, lebih lanjut lagi microanalisis DNA dari sel-sel myeloma menunjukan bahwa ekspresi dari gen Macrophage inflammatory protein 1a secara nyata meningkat dan berhubungan dengan bone disease. Lebih jauh lagi, penghambatan ekspresi dari gen Macrophage inflammatory protein 1a atau aktivitas dari Macrophage inflammatory protein 1a pada hewan coba dengan myeloma akan menurunkan terjadinya destruksi tulang maupun beban dari tumor myeloma.
Macrophage inflammatory protein 1a juga mungubah interaksi adhesive antara sel-sel myeloma dengan sel-sel stromal secara up-regulating ekspresi dari b1 integrin pada sel-sel myeloma. Interaksi adhesive antara sel-sel stromal susmsum tulang dan sel-sel myeloma meningkatkan produksi dari interleukin-6, RANKL, dan Macrophage inflammatory protein 1a yang lebih jauh lagi akan meningkatkan destruksi tulang.
3.4 Gambaran Klinis Nyeri
Pasien biasanya berusia 50-70 tahun, sehingga jika terdapat lesi destruksi pada tulang pada kelompok usia ini diferensial diagnosis metastasis harus disertakan. Nyeri tulang belakang merupakan keluhan yang paling sering, bahkan tidak jarang menjadi satu-satunya keluhan. Nyeri tulang belakang dan nyeri paha pada orang tua (terutama seseorang yang diketahui telah pernah mendapat pengobatan untuk karsinoma) harus selalu dicurigai.
Kejadian metastasis tulang dapat diketahui melalui pencatatan riwayat penyakit yang akurat, melakukan pemeriksaan fisik secara rinci, dan pemeriksaan radilogis yang sesuai. Riwayat nyeri harus menyertakan keterangan tentang nyeri yang harus dinilai oleh dokter, seperti: onsetnya, radiasi, faktor pemicu dan yang meringankan nyeri, laporan pasien akan intensitas nyerinya,. Terdapat beberapa metode untuk menggambarkan intensitas nyeri, diantaranya: Numerical Rating Scale (yang paling umum digunakan), Visual Analog Scale , Iowa Pain Termometer Scale dan Face Pain Scale. Beberapa faktor dapat menjadi petunjuk yaitu:
1. Nyeri pada MBD onsetnya bertahap, secara progresif menjadi semakin hebat, dan biasanya nyeri bersifat lokal dan sering muncul di malam hari dan/atau saat weight-bearing.
17 2. MBD mayoritas berasal dari kanker payudara, paru-paru, prostat, tiroid dan
ginjal.
3. Lokasi penyebaran pada skeletal yang paling umum diantaranya vertebra, pelvis, kosta, tengkorak, humerus dan femur.
4. Meskipun sekitar 80% dari metastasis mengenai multilevel vertebral, tetapi cenderung lebih sering ditemui pada regio torakal, diikuti oleh lumbosacral dan cervikal.
5. Nyeri yang berlokasi di daerah occipital atau nuchae menjalar ke posterior tengkorak dan mengalami eksaserbasi saat leher dalam keadaan fleksi, dapat berhubungan dengan destruksi atlas (C1).
6. Nyeri yang mengarah pada regio interscapular dapat berhubungan dengan sindrom C7-T1 akibat invasi tumor dari vertebra.
7. Nyeri di crista iliaka atau sacroiliac joint bisa berasal dari level T12 atau L1, sedangkan rasa nyeri di daerah bokong atau paha belakang yang bertambah ketika berbaring dan pulih ketika berdiri mungkin merupakan nyeri alih segmen sakral.
8. Rasa nyeri yang meningkat dengan cepat dan menjalar pada band-like fashion di sekitar dada atau perut bisa menunjukkan kompresi epidural yang merupakan suatu keadaan emergensi oncologic / neorologis. Kompresi spinal cord biasanya disertai oleh kehilangan sensorik, reflek abnormal reflek, kelemahan, dan disfungsi otonom.
9. Nyeri pada pangkal paha atau lutut bisa berasal dari sendi paha .
Karakteristik nyeri pada MBD dapat somatik (muskuloskeletal), neuropatik (dengan protopathicand atau fitur epicritic, disebabkan oleh iritasi atau kerusakan saraf akibat serangan tumor) atau nyeri campuran yang lebih sering terjadi.
Beberapa deposit secara klinis tidak memberikan gejala dan ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan x-ray atau bone scanning, atau setelah fraktur patologis. Jika tidak ada riwayat dan petunjuk klinis yang mengarah pada karsinoma primer, biopsi pada daerah fraktur sangat penting. Gejala hypercalcaemia dapat terjadi (dan sering luput) pada pasien dengan skeletal metastasis. Diantaranya anoreksia, mual, haus, polyuria, nyeri perut, lemah dan depresi. Pada anak-anak umur dibawah 6 tahun,, lesi metastasis yang paling sering dari adrenal neuroblastoma.
18 Metastatis ke tulang merupakan penyebab morbiditas yang paling sering pada pasien dengan kanker stadium lanjut. Frekuensi komplikasi ke tulang (juga dikenal dengan kejadian terkait tulang) pada beberapa tipe tumor yang mendapat terapi sistemik standar tanpa bifosfonat. Rata-rata pasien dengan metastasi akan mengalami kejadian terkait tulang setiap 3-6 bulan. Akan tetapi kejadian dari peristiwa morbiditas tersebut tidak sering, dengan kejadian terpisah pada sekitar periode dari progresi dan menjadi lebih sering ketika progresivitas dari penyakitnya menjadi lebih ekstensif dan pilihan pengobatannya menjadi terbatas.
Hiperkalsemia
Hiperkalsemia paling sering terjadi pada pasien dengan kanker paru sel squamosa, kanker payudara, dan kanker ginjal, dan pada beberapa keganasan hematologis khususnya myeloma dan limfoma. Pada kebanyakan kasus, hiperkalsemia merupakan hasil dari destruksi tulang, dan metastasis yang bersifat osteolitik terdapat pada 80% kasus. Pada kanker payudara, terdapat hubungan antara hiperkalsemia dan terdapatnya metastasis ke hepar. Kaitan tersebut mungkin menggambarkan hubungan anatara keterlibatan hepar dan produksi atau penurunan metabolisme dari factor-faktor humoral yang berefek ke tulang seperti peptide terkait hormon paratiroid atau activator dari reseptor nuclear factor-κB ligand. Sekresi dari factor humoral dan parakrin oleh sel tumor akan menstimulasi aktivitas dan proliferasi osteoklas, dan disana terdapat peningkatan nyata terjadinya turnover tulang. Beberapa penelitian menetapkan peran dari hormon paratiroid terhadap kejadian hiperkalsemia. Kadar dari hormon paratiroid meningkat pada dua per tiga pasien dengan metastasis ke tulang dan pada semua pasien dengan hiperkalsemia humoral. Ginjal juga memilii peran terhadap terjadinya hiperkalsemia malignan;
sebagai hasil dari penurunan volume dan hormone paratiroid, reabsorbsi kalsium dari tubulus ginjal meningkat, yang lebih jauh lagi akan meningkatkan kadar kalsium serum. Tanda dan gejala hiperkalsemia tidak spesifik, dan klinisi seharusnya memiliki tingkat kecurigaan. Gejala-gejala yang umum termasuk diantaranya lemas, anoreksia, dan konstipasi. Jika tidak diatasi, peningkatan progresif dari kadar kalsium serum akan menghasilkan penurunan dari fungsi ginjal dan status mental. Kematian pada khususnya terjadi sebagai akibat gagal ginjal dan aritmia jantung.
19 Fraktur Patologis
Destruksi dari tulang yang mengalami metastasis akan menurunkan kemampuan menahan beban dari tulang dan akan menghasilkan mikro fraktur, yang akan menyebabkan nyeri. Fraktur terjadi paling sering di tulang-tulang costae dan vertebra. Fraktur yang terjadi pada tulang panjang atau perluasan epidural tumor ke tulang belakang yang paling sering menyebabkan disabilitas. Kejadian fraktur tulang panjang memiliki efek yang menentukan terhadap kualitas hidup pasien dengan kanker stadium lanjut, beberapa usaha sudah dilakukan untuk memprediksikan lokasi dari fraktur dan untuk mencegah terjadinya fraktur dengan pembedahan profilaksis.
Fraktur paling sering terjadi pada tulang dengan lesi litik yang digunakan untuk menahan beban. Kerusakan baik pada tulang kortikal maupun tulang trabekular secaras truktural menjadi penting. Beberapa gambaran radiologis telah diidentifikasi yang mungkin dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya fraktur, fraktur terjadi jika lesi yang ada besar dan bersifat litik, dan mengerosi korteks. System scoring diperkenalkan oleh Mirels berdasarkan lokasi, asal, ukuran dan gejala dari deposit metastasis. Dengan menggunakan system tersebut, lesi yang memiliki nilai >7 secara umum akan memerlukan intervensi pembedahan, nilai >10 memiliki resiko terjadinya fraktur sekitar 50%.
Kompresi dari saraf spinal atau cauda equine.
Kompresi dari saraf spinal merupakan kegawatan, dan kasus-kasus terduga memerlukan evaluasi dan penaganan. Nyeri terjadi hamper pada semua pasien, bersifat local pada area dibawah dari tumor, dan sering mengalami perburukan dengan aktivitas yang meningkatkan tekanan intradural seperti batuk, bersin,dll. Nyeri sering menjadi lebih buruk pada malam hari, yang mana menrupakan pola yang berlawanan dengan nyeri akibat penyakit degenerasi. Mungkin juga akan terdapat nyeri radikular yang menjalar ke anggota tubuh atau sekitar dada dan perut. Nyeri lokal biasanya mendahului nyeri radikular dan mungkin akan mendahului munculnya tanda neurologis lainnya. Kebanyakan pasien dengan kompresi saraf spinal akan mengalami
20 kelemahan dan paralisis. Perubahan sensoris seperti kesemutan dan kebas pada distal dari lesi. Retensi urin, inkontinensia, dan impotensi biasanya merupakan manifestasi akhir dari kompresi saraf spinal. Akan tetapi, lesi pada tingkat conus medularis dapat muncul dengan terjadinya disfungsi autonomic dari kandung kemih, rectum, dan genitalia.
3.5 Pemeriksaan Penunjang X-rays
Umumnya skeletal deposit berupa osteolytic dan muncul sebagai rarified area di daerah medula atau moth-eaten appearance pada korteks. Kadang–kadang dapat menjadi penanda destruksi tulang, dengan atau tanpa fraktur patologis. Deposito osteoblastik dicurigai sebagai karsinoma prostat; pelvis dapat menunjukkan peningkatan densitas yang harus dibedakan dengan Paget’s disease atau limfoma.
Radioscintigraphy
Scanning tulang dengan radionukleotida, biasanya yang digunakan 99mTc- methylen diphosponate (99mTc-MDP). Distribusi radioaktifitasnya direkam dengan menggunakan kamera gamma. Radionukleotida diabsorbsi ke dalam kalsium hidroksiapatit yang dipengaruhi oleh peningkatan aliran darah lokal dan aktiftas osteoblastik. Merupakan metode yang paling sensitif (95%) untuk mendeteksi deposit metastasis pada tulang, namun spesifisitasnya kurang. Perubahan degenerative, infeksi, dan fraktur dapat menjadi positif palsu. Oleh karena itu diperlukan pencitraan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosa. Pada pemeriksaan awal dilakukan pemeriksaan foto plain, jika hasilnya terlihat normal namun kecurigaan terhadap metastasis masih ada, pemeriksaan CT atau MRI dianjurkan. Pada metastasis yang osteolitik murni dan berkembang secara cepat, bone turnover labil, atau lokasinya avaskuler (cold spot), mungkin diagnosa terhadap lesi tersebut tidak dapat ditegakkan dengan radioscintigraphy.
21 Gambar 8. Bone scintigraphy
PET Scan
PET scan dapat dilakukan sebelum pengobatan untuk membantu dokter menentukan pengobatan yang paling tepat , dan setelah pengobatan untuk membantu menentukan efektivitas pengobatan , gambar respon tumor terhadap terapi dan untuk mendeteksi kekambuhan pada lesi diobati
Gambar 9. PET scan breast cancer metastases bone
Pemeriksaan Khusus
Konsentrasi serum alkali fosfatase sering meningkat, dan pada karsinoma prostat acid fosfatase juga meningkat. Pasien dengan kanker payudara dapat diskrening dengan pemeriksaan tumor marker associated antigen. Tumor marker pada kanker payudara yang dianjurkan American Society of Clinical Oncology adalah carcinoembryonic antigen (CEA), cancer antigen (CA) 15-3 dan CA 27.29.
Pemeriksaan genetika BRCA-1 dan BRCA-2 dianjurkan pada pasien dengan keluarga tingkat pertama menderita kanker payudara atau ovarium.
3.6 Penatalaksanaan MBD
Manajemen umum vertebral dan nonvertebral MBD
22 Manajemen MBD dan interfensi biasanya bersifat individual. Pada algoritma berikut dijelaskan mengenai manajemen MBD pada vertebral dan non vertebral.
Kebanyakan pasien ditangani secara paliatif, dan tujuan dari penaganan adalah untuk mengurangi nyeri, meningkatkan fungsi, dan mencegah komplikasi seperti kompresi spinal cord dan fraktur patologis. Kombinasi pemberian analgetik/manajemen nyeri, penanganan sistemik, radioterapi, dan penanganan operatif dengan pendekatan multidisiplin dapat memberikan peluang untuk tercapainya tujuan dari penanganan pada masing-masing pasien. Terapi medis termasuk penggunaan bisphosponat dan RANKL inhibitor. Manajemen nyeri dipertimbangkan penggunaannya sesuai kebutuhan akan analgetik (NSAIDs, opioid, kortikosteroid).
23 Gambar 10. Algoritma penanganan vertebral bone metastasis (A), dan nonvertebral metastasis (B).
External-beam radiation therapy (EBRT) merupakan terapi paliatif yang paling sering digunakan dan merupakan pilihan yang tepat untuk pasien dengan gejala lokal metastasis skeletal. Radioterapi dapat mengurangi nyeri dengan menghancurkan sel tumor dan membantu proses osifikasi pada lesi litik. Sementara stereotactic body radiation therapy (SBRT) merupakan alat yang digunakan untuk penanganan pasien dengan vertebral metastasis dan secara khusus dapat membantu seting reirradiation.
Teknologi ini dapat memberikan dosis radiasi high ablation melalui penggunaan radiasi pada target yang tepat dengan dosis minimal pada spinal cord melalui teknik penyesuaian yang tinggi.
Penatalaksanaan khusus
Kadang-kadang, pengobatan radikal (kombinasi kemoterapi, radioterapi dan pembedahan) yang diberikan pada deposit sekunder soliter, juga memberi manfaat bagi lesi primer dan dianggap sebagai terapi kuratif. Hal ini terutama untuk renal cell carcinoma soliter, metastasis tumor payudara dan tiroid; Tapi pada sebagian besar kasus, dan pada kasus sekunder multipel, sepenuhnya diberikan pengobatan simtomatik. Untuk alasan itu, pencarian tumor primer secara teliti dapat dihindari,
24 meskipun mungkin ada manfaatnya untuk tumor yang memerlukan manipulasi hormonal.
1. Terapi Paliatif
Meskipun prognosisnya buruk, pasien tetap harus dilakukan dengan nyaman, dapat menikmati sisa hidupnya. Penanganan secara aktif metastasis skeletal manfaatnya tidak terlalu besar. Selain itu, pasien memerlukan konselling simpatik dan bantuan praktis dalam aktifitasnya.
A. Kontrol nyeri dan aktifitas metastasis
Kebanyakan pasien memerlukan analgesik, tetapi analgetik narkotika yang kuat perlu diberikan pada nyeri yang hebat. Radioterapi digunakan untuk mengontrol rasa sakit dan mengurangi perkembangan proses metastasis, kecuali jika ada kontraindikasi secara khusus. Radioterapi sering dikombinasikan dengan penanganan lain (misalnya: internal fiksasi). Sekunder deposit dari payudara atau prostat dapat dikontrol dengan terapi hormon: stilboestrol dan obat-obatan androgenic untuk sekunder dari prostat atau oestrogens untuk karsinoma payudara. Penyebaran sekunder dari karsinoma payudara kadang-kadang dilakukan oophorectomy dikombinasikan dengan adrenalectomy atau ablasi hypophyseal.
Penggunaan analgetik menurut World Helath Organization (WHO) paling banyak digunakan untuk pengobatan nyeri pada kanker, dimana terdapat langkah berdasarkan pada tingkat keparahan dari nyeri. Langkah 1 terdiri dari analgetik nonopioid pada nyeri yang ringan. Anti inflamasi non steroid (NSAID) dan COX-2 inhibitor, asetaminofen, ajuvan dan senyawa analgesik topikal termasuk dalam kelompok ini. Banyak kontroversi mengenai pengguanaan NSAID disarankan penggunaannya harus hati-hati, terutama pada orang tua.
Langkah 2 dengan penggunaan opiod lemah seperti hidrokodon, kodein, dan oxykodon dosis rendah pada nyeri ringan sampai sedang.Obat lainnya agonis μ reseptor dengan mekanisme aksi ganda seperti tramadol dan tapentadol. Obat ini mengurangi banyak efek samping dari opioid murni dan telah menambah efek pada nyeri neuropatik. Propoxyphene (Darvocet Darvon) telah ditarik dari pasaran karena efek aritmia jantung
Langkah 3 terdiri dari opioid kuat seperti morfin, hydromorphone, fentanyl, oxycodone dosis tinggi, meperidine, dan methadone. Pada pasien dengan nyeri kanker
25 kronis, kombinasi short-acting dan long-acting opioid dianjurkan. Long-acting opioid, baik secara farmakologi long-acting (seperti metadon atau levorphanol) atau sediaan long-acting (sistem slow release seperti morfin, oxycodone, oxymorphone atau hydromorphone), digunakan untuk terapi dasar nyeri kanker kronis. Opioid short- acting opioid memerlukan dosis berulang, yang digunakan untuk penanganan nyeri akut.
B. Penanganan Hiperkalsemia
Dapat mempunyai konsekuensi yang serius, termasuk renal asidosis, nephrocalcinosis penurunan kesadaran dan koma. Penanganan harus dengan memastikan hidrasi yang adekuat, mengurangi asupan kalsium dan, jika perlu diberikan bifosfonat
2. Penanganan pada fraktur
Pada fraktur diafisis harus selalu harus dilakukan internal fiksasi dan (jika diperlukan) dilapisi dengan semen methylmethacrylate. Jika terdapat multipel fraktur harus di fiksasi pada waktu yang sama, walaupun harus dipikirkan juga bahwa dengan multipel intra medullary nailing risiko fat emboli meningkat.
Dalam kebanyakan kasus, intramedullary nailing adalah metode yang paling efektif; pada fraktur dekat sendi (misalnya distal femur atau proksimal tibia). Kadang memerlukan fiksasi dengan plate, dan kadang-kadang penggunaan endoprosthesis.
Penanganan fraktur collum femur paling baik dengan replacement prosthetic:
hemiarthroplasty jika pelvis intak, atau total joint replacement jika acetabulum terlibat. Jika dinding pelvis hancur, dapat direkonstruksi dengan large bone graft, kandang rekonstruksi dengan prosthesis custom made. Penyinaran pasca operasi sangat penting untuk mencegah perluasan metastasis yang lebih lanjut.
26 Tabel 2. Sistem Skoring Mirel’s pada MBD
Daerah diafisis kerusakan kortek tulang lebih 50 %
Daerah Metafisis kerusakan kortek tulang 50-75% (> 2,5 cm) Lesi permeative pada daerah subtrochanter femur
Nyeri persisten setelah radiasi Tabel 3. Kriteria Harington’s
3.7 Prognosis
Bauer (1995) telah membuat kriteria yang berguna untuk menilai prognosis :
Tabel 4. Kriteria positif Bauer’s untuk survival
Kemampuan survival pada 1 tahun adalah sebagai berikut :
1. Pasien dengan 4 atau 5 kriteria bauer’s, 50 persen masih hidup.
2. Pasien dengan 2 atau 3 kriteria bauer’s, 25 persen masih hidup.
3. Pasien dengan hanya 1 atau tidak ada kriteria, mayoritas bertahan selama kurang dari 6 bulan dan tidak ada yang hidup setelah 1 tahun.
27 BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Aspek Diagnosis
Pasien perempuan usia 41 tahun rujukan dari RS Sanjiwani Gianyar dengan diagnosis pathological fracture femur dextra 1/3 proximal ec suspect MBD tumor mamma dextra. Pasien datang dengan keluhan nyeri pada paha kanan sejak 3 hari yang lalu setelah mengangkat barang. Nyeri dirasakan semakin memberat sehingga pasien tidak bisa berjalan. Selain itu pasien juga mengeluhkan timbul benjolan pada payudara kanan sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya benjolan tersebut kecil seperti kelereng, namun semakin lama semakin membesar seukuran telur ayam dan saat ini benjolan tersebut terdapat luka. Pada pemeriksaan fisik regio mammae kanan didapatkan massa ukuran 6x3 cm di quadran lateral atas dengan konsistensi padat keras, terfiksir didasar, ulkus (+). Regio femur kanan didapatkan swelling (+), deformitas (+) external rotasi, shortening (+) 2 cm, tenderness (+), active ROM knee terbatas karena nyeri.
Dari pemeriksaan foto polos femur dextra AP/Lateral didapatkan gambaran fraktur 1/3 proximal os femur dextra, disertai soft tissue swelling. Foto polos thorax didapatkan gambaran suspek pneumonia dd/ pneumonic type lung metastase. Pada pemeriksaan bone survey didapatkan pneumonia, suspek pneumonic type pulmonary metastase, suspek bone process metastase pada os calvaria, os humerus dextra 1/3 tengah, dan pelvis dengan fraktur patologis pada os femur dextra 1/3 proximal. Pada pemeriksaan tumor marker CEA sebesar 36.25 (Tinggi) dan CA 15-3 sebesar 207.20 (Tinggi). Pasien didiagnosis dengan pathological fracture femur dextra 1/3 proximal ec metastatic bone disease tumor mammae dextra berdasarkan temuan klinis dan penunjang tersebut diatas.
4.2 Aspek Penatalaksanaan
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah dilakukan imobilisasi dengan skin traksi dan selanjutnya akan dilakukan operasi cephalomedullary nailing untuk mengurangi nyeri dan mobilisasi segera. Sedangkan dari Bedah Onkologi akan dilakukan work up diagnosis yaitu open biopsi (Histopatologi)
28 dari tumor payudara untuk menegakkan diagnosa dan persiapan terapi selanjutnya.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
MBD sering berasal dari tumor primer payudara, thyroid, paru-paru dan prostat. Masalah yang sering ditemukan pada MBD adalah: nyeri, impending fracture /fraktur patologis, hiperkalsemia, gangguan neurologis. Terapi pada MBD dapat berupa terapi medikamentosa (kemoterapi, hormonal, dan immuno terapi), pembedahan dan radiasi. Indikasi terapi pembedahan pada MBD adalah: harapan hidup lebih dari 3 bulan, nyeri hebat yang tidak bisa diterapi dengan kemoterapi dan radiasi, nyeri atau defisit neurologis. Tujuan terapi pembedahan pada MBD adalah mengurangi atau menghilangkan nyeri, mempertahankan fungsi ekstremitas, memberikan konstruksi yang kuat pada tulang sehingga pasien dapat mobilisasi dengan cepat.
29 DAFTAR PUSTAKA
1. Sybil Biermann, Ginger E, Valerae O., Herbert S. Schwart, J. Yaszemski.
Metastatic Bone Disease : Diagnosis, Evaluation, Treatment. J Bone Joint Surg (Am)2009:91:1518-30
2. Kristy L. Weber, Lor Randall, Reth Grossman, Javad Parviz. Management of Lower Extremity Metastasis. J Bone Joint Surg (Am)2006:88:supp 4
3. Vaiyapuri P, Lee Jeys, Nienke L. Metastatic Tumours of Bone. Elsivier.
2011:30:80-85
4. Aston. W, Timothy B, Louis S. Tumours. In : Louis S, Selvadurai N, David W, editors Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. Ninth Edition.
Boca Raton : Taylor and Francis Group, LLC ; 2010. P. 216-218
5. Buga S, dan Sarria JE, The Management of Pain in Metastatic Bone Disease, Cancer Control, 2012, vol 19, No 2, hal: 156-166.
6. Plunkett TA dan Rubens RD. 2005. Textbook of bone Metastases. Clinical Features and Prognosis of Bone Metastases. John Wiley and Sons. West Sussex. Hal:65-75
7. Capanna R dan Campanacci DA. 2005. Textbook of bone Metastases.
Indications for the Surgical treatment of Long Bone Metastases. John Wiley and Sons. West Sussex. Hal:135-145
8. Coleman RE, Clinical Features of Metastatic Bone Disease and Risk of Skeletal Morbidity, Clinical Cancer Research, 2006;12:6243s-6249s. 135-146.
9. Cumming D, dkk. Metastatic bone disease: the requirement for improvement in amultidisciplinary approach,International Orthipaedics (SICOT), 2009:33:493-496.
10. Lipton A, Patophysiologi of Bone Meastases: How This Konowledge May Lead to Therapeutic Intervention. Journal of Supportive Oncology, 2004;2:205-220.
11. Rajarubendra N dan Lawrentschuk N. 2010. Bone Cancer progression and Therapeutic Approaches, Imaging of Bone Metastases. Edisi 1. Elsevier. San Diego, hal: 269-281.
12. Schirrmeister H dan Arslandemier C. 2010. Bone cancer Progression and Therapeutic Approach.Edisi 1.Diagnosis of Skeletal Metastases in Malignant Extraskeletal Cancers. Springer. Leipzig. Hal:283-293.
13. Solomon L. dkk. 2010. Apleys System of Orthopaedics and Fractures, Metastatic Bone Disease, Edisi 9. Hodder Arnold. London., hal:216-218 14. Yu HHM, dkk, Overview of Diagnosis and Management Of Metastatic
Disease to Bone, Cancer Control, 2012, vol 19, No2, hal : 84-91.