• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Kampar) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Kampar) SKRIPSI"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Fakultas Syariah dan Hukum

AISYAH HANUN NIM. 11820725212

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

1444 H/2023 M

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Korupsi (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Kampar) Mengembalikan kerugian keuangan negara akibat perbuatan korupsi merupakan hal yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dilakukan melalui pembayaran uang pengganti. Akan tetapi pelaksanaan pembayaran uang pengganti belum berjalan dengan efektif dikarenakan terpidana tidak membayar uang pengganti. Sehingga menimbulkan permasalahan bagi Jaksa Eksekutor ketika melakukan eksekusi pembayaran uang pengganti untuk memulihkan kerugian keuangan negara.

Rumusan masalah pada Penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Kampar dan apa kendala Jaksa selaku Eksekutor Putusan Pengadilan dalam melaksanakan eksekusi pembayaran uang pengganti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Kampar dan mengetahui kendala Jaksa selaku eksekutor Putusan Pengadilan dalam melaksanakan eksekusi pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Kampar.

Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian sosiologis dan normatif, yaitu penulis langsung melakukan penelitian kelapangan melakukan observasi dan wawancara dan menelaah kajian bahan pustaka. Sumber data pada penelitian ini adalah data yang didapat dari narasumber yaitu Jaksa berupa wawancara dan bahan pustaka lainnya. Penelitian ini dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Kampar.

Hasil dari penelitian ini adalah proses eksekusi pembayaran uang pengganti dibagi menjadi 3 tahapan, yakni tahap penyidikan, penuntutan dan Eksekusi Putusan Pengadilan. Pelaksanaan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi di Kabupaten Kampar belum berjalan secara efektif. Di Kejaksaan Negeri Kampar dalam kurun waktu lima tahun terakhir dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2022, dari 9 terpidana yang dijatuhi pembayaran Uang Pengganti hanya 2 terpidana yang membayar uang pengganti secara keseluruhan, 7 terpidana tidak membayar uang pengganti. Terdapat kendala Jaksa selaku Eksekutor Putusan Pengadilan dalam mengeksekusi pembayaran uang pengganti yaitu terdiri dari beberapa faktor yang sejalan dengan teori efektivitas hukum Lawrence Meir Friedman yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.

Kata kunci : Korupsi, Uang pengganti, Kerugian Keuangan Negara

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Syukur Alhamdulillah, segala puji untuk Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis. Sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat beserta salam tak lupanya diberikan kepada baginda Rasulullah Shallalahualaihiwasallam yang telah membawa ummatnya dari alam jahiliyah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Dalam penulisan Skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, mendukung dan memberikan motivasi yang bersifat material maupun yang bersifat spiritual terutama penulis sampaikan kepada.

1. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda Desa Nauli Hasibuan, S.H dan Ibunda Rio Wati Nasution yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayangnya, serta memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, terimakasih atas do‟a dan ridhanya.

Serta terima kasih kepada abang penulis Ahmad sarwedi, adik penulis Yana Silva dan Husnul Khotimah yang telah memberikan motivasi sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Untuk tulang (paman) penulis Almarhum Abdurrahman Nasution dan Almarhum Abidin Nasution, yang semasa hidupnya selalu memberikan pesan dan nasehat positif kepada penulis, sehingga menjadi penyemangat penulis

(7)

iii

3. Bapak Prof. Dr. Hairunnas Rajab, M.Ag selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Universitas Islam Sultan Syarif Kasim Riau.

4. Bapak Dr. Zulkifli, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Sultan Syarif Kasim Riau, yang telah melayani keperluan mahasiswa menjadi sarjana yang baik.

5. Bapak Asril, S.H.I M.H selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Syarif Kasim Riau yang telah memberikan arahan dalam penulisan skripsi ini. Serta Bapak Dr. M. Alpi Syahrin, S.H, M.H, selaku Sekretaris Jurusan yang telah memberikan semangat dan motivasi.

6. Ibu lysa Angrayni, S.H, M.H. selaku pembimbing I skripsi dan Bapak Muslim S.Ag, S.H, M.Hum selaku pembimbing II skripsi yang telah banyak mengorbankan waktu dan arahan, motivasi dan kemudahan selama penulisan skripsi ini dengan baik.

7. Ibu Dr. Hellen Last Fitriani, S.H, M.H selaku Penasehat Akademis yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum.

8. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mengajar dan memberikan ilmunya kepada penulis selama proses perkuliahan.

9. Bapak Amri Rahmanto Sayekti, S.H.,M.H selaku Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kampar dan Bapak K Ario Utomo Hidayatullah, T A, S.H

(8)

iv

Selaku Kasubsi Penuntutan, Upaya Hukum Luar Biasa dan Eksekusi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kampar serta Bapak Muhammad Alfin Darmawan selaku Staf Tata Usaha pada Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kampar yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada kak Eria Weni Nasution dan Abang Melki Ramadhan yang telah banyak membantu dan memberikan semangat penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

11. Kepada teman-teman Ilmu Hukum H dan Konsentrasi HTN D yang telah berbagi ilmu, serta wawasan selama kuliah. Juga Teman-teman angkatan 2018 yang telah berjuang bersama-sama belajar untuk menjadi orang yang bermanfaat.

12. Kepada sahabat penulis Hidayatul Husna S.H, Lilis Fitrisopa Nurseha S.H, Dwi Cantika S.Psi, Jumiati Agustina S.Psi, Bela Avita S.Psi, Dhea Jhofani S.Psi, Milinya Fitri Yana S.Psi, Riati Ningsih S.Psi, Annisa Muthmainah yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dan mendapatkan Ridhanya. Semoga Skripsi ini memberi manfaat dan bisa menambah ilmu pengetahuan. Aamiin ya Rabbal „alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pekanbaru, Desember 2022 Penulis

AISYAH HANUN NIM.11820725212

(9)

v

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis ... 16

1. Tindak Pidana Korupsi ... 16

2. Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Perkara Korupsi ... 23

3. Kerugian Keuangan Negara ... 34

4. Economic Analysis Of Law dalam kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi ... 35

5. Teori Efektivitas Hukum... 35

B. Penelitian Terdahulu ... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 41

B. Lokasi Penelitian ... 42

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 42

D. Populasi dan Sampel ... 42

E. Sumber dan Jenis Data ... 44

1. Data Primer ... 44

2. Data Sekunder ... 44

3. Data Tersier ... 44

F. Metode Pengumpulan Data ... 44

1. Metode Observasi ... 44

(10)

vi

2. Wawancara ... 45 3. Studi Kepustakaan ... 45 G. Analisis Data ... 46 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam

Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Kampar ... 47 B. Kendala Jaksa Selaku Eksekutor Putusan Pengadilan Dalam

Melaksanakan Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti ... 60 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71 B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Negara hukum merupakan negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Gagasan negara hukum dibangun dengan menggembangkan perangkat hukum itu tersendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan adil. Gagasan nagara hukum itu dikembangkan dengan menata supra struktur dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Prinsip-prinsip negara hukum itu prinsip peradilan yang tidak memihak (independence and impartriality of judiciary) yang saat ini mutlak diperlukan di setiap negara demokrasi. Demi mencapai negara hukum yang yang sejahtera, maka tidak dibenarkan untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum yang dapat merugikan mayarakat dan merusak cita-cita negara hukum, yaitu menciptakan kebenaran yang berkeadilan bagi setiap

1 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

(12)

2

anggota masyarakat salah satunya adalah dengan tidak melakukan tindak pidana korupsi yang telah termasuk kedalam extra ordinary crime.2

Istilah korupsi sudah dikenal lama dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Korupsi suatu gejala masyarakat yang dapat kita jumpai tidak hanya pada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, korupsi juga dapat terjadi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Korupsi sudah menjadi suatu hal yang sudah biasa dilakukan, bahkan bisa dikatakan sudah menjadi kebiasaan sejak lama, baik sebelum maupun sesudah kemardekaan, pada masa era orde lama, orde baru, dan berlanjut hingga di era reformasi. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara serta menghambat pembangunan nasional.3

Tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum pidana digolongkan sebagai suatu bentuk kejahatan yang berbahaya, baik itu bagi masyarakat ataupun bagi bangsa dan negara. Kerugian keuangan negara merupakan konsekuensi nyata yang dijadikan sebagai dasar dari pembenaran kriminalisasi berbagai bentuk perilaku korupsi dalam kebijakan hukum pidana. Selain dapat merusak mental dan moral bangsa, tindak pidana korupsi juga dapat merusak sendi-sendi pemerintahan suatu negara, akibat terburuk yang dapat ditimbulkan dari perilaku korupsi yaitu rusaknya eksistensi pemerintahan negara.4

2 Ervina Hanindya Raharja, “Pelaksanaan kewajiban pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi (Studi kasus di kejaksaan negeri semarang)”, Skripsi: (Semarang:

universitas islam sultan agung, 2019), h. 1-3.

3 Ajeng dwi kusumawardani, “pelaksanaan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi”, Skripsi: (magelang: universitas Muhammadiyah Magelang, 2017), h. 1.

4 Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), h. 70-72.

(13)

Indonesia Corruption watch (ICW) pada tahun 2021 menemukan sebanyak 1282 kasus Korupsi yang ditangani oleh penegak hukum. Dengan jumlah tersangkanya yang sudah ditetapkan berjumlah 1404 dengan latar profesi yang berbagai. ICW menilai kerugian negara sebesar Rp. 62,93 triliun.

Angka tersebut meningkat dari tahun lalu sebesar Rp. 56.74 triliun dengan persentase 10,9%. Angka ini merupakan yang terbesar dalam waktu lima tahun terakhir. Jumlah kerugian negara yang berhasil di ditangani oleh Kejaksaan sebesar Rp. 62,1 triliun, sementara yang ditangani KPK sebesar Rp.

802 miliar. Dengan meningkatnya kasus korupsi setiap tahunnya, terlihat bahwa korupsi telah menjadi penyakit sosial yang terjadi didalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini memperlihatkan kesadaran hukum berbangsa dan bernegara itu menurun.5

Tindak pidana korupsi di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”6

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu objek hukum yang dalam konteks Indonesia dikategorikan sebagai tindak Pidana Khusus (delik khusus) diluar KUHP yang secara ius costitum atau hukum positif Indonesia diatur

5 Nasaruddin umar, Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan strategi khusus Pembinaan Narapidana Korupsi, (Ambon: LP2M IAIN Ambon, 2019), h. 2-3.

6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 ayat (1)

(14)

4

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan pasal-pasal utama yang biasa digunakan untuk menjerat para oknum pejabat negara termasuk pejabat pemerintahan daerah oleh penegak hukum.7

Dalam tindak pidana korupsi salah satu unsurnya ialah adanya kerugian keuangan negara. Kerugian negara dan tuntutan ganti kerugian merupakan subtansi dalam hukum keuangan negara yang mana melibatkan para pihak yang mengelola keuangan negara dengan pihak yang berkewenangan dalam melakukan tuntutan ganti kerugian. Pengelolaan keuangan negara yang melanggar hukum atau adanya penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara wajiblah untuk dikembalikan supaya keuangan negara kembali seperti sediakala untuk membiayai penyelenggaraan dari pemerintahan negara dalam rangka untuk mencapai tujuan negara. Untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah hilang, salah satu caranya yaitu dengan memberikan sanksi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Upaya yang dilakukan ini untuk memberikan hasil yaitu berupa pemasukan ke kas negara dari hasil pembayaran uang penggati tersebut. Pidana tambahan uang pengganti dalam kasus korupsi dapat dipahami sebagai bagian dari pemidanaan kepada para terpidana korupsi.8

7 Nasaruddin Umar, Op.Cit, h. 16-17

8Ajeng Dwi Kusumawardani, Op.Cit, h. 3-4.

(15)

Berdasarkan laporan keuangan KPK dari tahun 2018 sampai tahun 2020 menunjukkan piutang uang pengganti di Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat. Pada tahun 2017 piutang uang pengganti di Indonesia berjumlah Rp 519.507.256.981,00. Pada tahun 2018 piutang uang pengganti di Indonesia berjumlah Rp. 574.562.442.845,00 dengan kenaikan senilai Rp.

55.055.185.864,00 dengan persentase 10,60 % dari tahun sebelumnya.9 Pada tahun 2019 piutang uang pengganti di Indonesia berjumlah Rp 694.786.834.943,00. Pada tahun 2020 piutang uang pengganti di Indonesia berjumlah Rp 867.333.529.931,00 dengan kenaikan senilai Rp.

172.546.694.988,00 dengan persentase 24,83 % dari tahun sebelumnya.10 Hal ini Menunjukkan banyak dari terpidana kasus korupsi tidak melakukan pembayaran uang pengganti sehingga kerugian negara tidak kembali.

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa:

(1) “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti sebanyak banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

9 Laporan Keuangan Komisi Pemberantasan Korupsi, tahun 2018, h. 25-28.

10 Laporan Keuangan Komisi Pemberantasan Korupsi, tahun 2020, h. 24

(16)

6

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”.11

Pemberantasan korupsi secara hukum tujuan khusus yang ingin diraih bersifat umum, yakni penegakan hukum yang tegas bagi setiap orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efektif juga efisien, perlu didukung tata kelola pemerintahan yang baik serta kerjasama internasional, termasuk mengembalikan aset yang asalnya dari tindak pidana korupsi, supaya aset negara yang telah hilang bisa dikembalikan. Pengembalian kerugian keuangan negara adalah suatu konsekuensi yang ditimbulkan tindak pidana korupsi yang bisa merugikan keuangan negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian keuangan negara diperlukanlah sarana yuridis yaitu dengan pidana tambahan berupa uang pengganti.

Tujuan pidana tambahan uang pengganti adalah untuk memidana para koruptor dengan seberat-beratnya supaya mereka jera, dan untuk mengembalikan keuangan negara yang hilang yang disebabkan perbuatan

11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 18

(17)

korupsi, upaya yang dilakukan membawa hasil berupa pemasukan ke kas negara dari hasil pembayaran uang pengganti. Pengembalian kerugian keuangan negara akibat perbuatan korupsi melalui pidana tambahan uang pengganti adalah suatu upaya yang perlu sekali dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian keuangan negara itu sulit untuk dilakukan dikarenakan tindak pidana korupsi itu termasuk extra ordinary crimes yang para pelaku itu asalnya dari kalangan yang memiliki jabatan dan kedudukan yang penting. Uang pengganti dalam tindak pidana korupsi kurang lengkap dibahas didalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti yang diketahui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya membahas sedikit ketentuan mengenai hukum acara pengembalian kerugian keuangan negara melaui pembayaran uang pengganti yang hanya terdapat didalam Pasal 18.12

Pemberantasan tindak pidana korupsi menitikberatkan pada tiga isu pokok, yakni pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). Pemberantasan tindak pidana korupsi selain untuk pencegahan tindak pidana korupsi dan pemidanaan para koruptor, juga mencangkup tindakan yang bisa mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi.

Hal yang sangat penting dilakukan didalam memberantas korupsi yaitu mengembalikan kerugian negara atau aset negara yang telah hilang akibat dari perbuatan korupsi, yang dilakukan oleh perorangan ataupun korporasi,

12 Indra Hafid Rahman, “Pelaksanaan Pembayaran Uang Pengganti Dalam tindak Pidana Korupsi”, Skripsi: (magelang: Universitas Muhammadiyah Magelang, 2016), h. 12-13.

(18)

8

penyelamatan uang negara dan aset negara adalah hal yang sangat perlu sekali untuk dilaksanakan, karena pada fakta dan fenomena yang terjadi bahwa selama ini pemberantasan tindak pidana korupsi hanya bisa menyelamatkan sedikit dari banyaknya total uang yang dikorupsi. Mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi dengan melakukan pembayaran uang pengganti artinya, walaupun hasil dari tindak pidana korupsi itu dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap akan dipidana akibat perbuatannya.13

Mengacu pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur bahwa: “pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.14 Dalam hal pelaku pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal tersebut, maka pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak akan menghapuskan pidana terhadap pelaku pidana, pengembalian itu hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.15

Penyelesaian kerugian negara akibat dari korupsi memang harus segera dilakukan pengembalian kerugian negara yang telah hilang. Kerugian keuangan negara yang harus dibayar yang dikenal dengan istilah uang

13 M Yusuf Daeng dan Tri Novita Sari Manihuruk, “Eksekusi Pengembalian Uang Pengganti Terpidana Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 2, (2021), h. 218-219.

14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 4

15 Risqi Perdana Putra, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2020), h. 61.

(19)

pengganti ini jika tidak dikembalikan maka dalam pembangunan dan segala akan terhambat akibat korupsi yang dilakukan oleh para koruptor.16

Pada pelaksanaannya sangat sulit kerugian keuangan negara yang telah dikorupsi itu dikembalikan, dikarenakan berbagai praktik putusan pengadilan dalam menjatuhkan pidana subsider penjara pengganti yang sangat ringan, yang membuat semakin parah yaitu dengan tidak mampunya pelaku korupsi untuk membayarkan uang pengganti yang sudah ditentukan didalam putusan Pengadilan. Oleh sebab itu pada peraktiknya yang sering terjadi didalam pelaksanaan putusan pengadilan adalah terpidana hanya menjalani pidana penjara yang relatif singkat dan tidak melakukan pembayaran uang pengganti.

Hal ini sangat bertolakbelakang dengan asas pengembalian keuangan negara yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.17

Ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah secara formal mendukung usaha untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang telah diderita negara akibat dari perbuatan korupsi yang termuat dalam asas pengembalian aset negara yang menjadi semangat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun didalam pelaksanaanya tidak semua terpidana korupsi yang melakukan pembayaran uang pengganti.

16 Ibid, h, 58-59.

17 M Yusuf Daeng dan Tri Novita Sari Manihuruk, Op.Cit. h. 119

(20)

10

Padahal peraturan perundang-undangan secara normatif sudah memberikan kesempatan tersebut.18

Pengembalian kerugian keuangan negara melalui pembayaran uang pengganti tujuan sebenarnya untuk membuat miskin terpidana korupsi, karena terpidana harus mengganti kerugian keuangan negara yang ditimbulkan.

Dengan koruptor dijatuhi pidana tambahan uang pengganti akan terkuraslah harta yang dimiliki selain harta yang dikorupsi. Akan tetapi ketentuan dalam pasal 18 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, aturan itu seolah memberikan kesempatan dalam praktik bagi terpidana korupsi untuk menghindari membayar uang pengganti. Aturan itu memberikan toleransi bahwa jika terpidana tidak memiliki harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka dipidana pengganti dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya, dan pidana tersebut telah ditentukan dalam Putusan Pengadilan.

Fakta didalam persidangan menunjukkan tidak semua para koruptor membayar uang pengganti dengan alasan tidak memiliki cukup uang untuk membayar kewajiban uang pengganti. Kondisi ini menimbulkan masalah yang mengakibatkan Jaksa tidak dapat mengeksekusi putusan pengadilan karena mereka lebih memilih menjalani pidana kurungan. Ketika terpidana memilih menjalani pidana uang pengganti lamanya kurungan berkisar 4 sampai 6 bulan karena ada beberapa hakim yang merujuk Pasal 30 ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang mengatur bahwa: “lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama 6 bulan” akibatnya pidana

18 Ibid, h. 220.

(21)

penjara pengganti lamanya sekitar 1 tahun sampai 6 bulan, jika lebih tinggi hanya sampai 1 tahun dan sampai 2 tahun, dengan nilai kerugian negara mencapai puluhan dan ratusan miliar rupiah.19

Jumlah kasus tindak pidana korupsi di Kabupaten Kampar berdasarkan data dari SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2022 yaitu berjumlah 18 kasus, 9 kasus dijatuhkan sanksi pidana tambahan uang pengganti, 9 kasus tidak dijatuhkan sanksi pidana tambahan uang pengganti. Berdasarkan prariset yang dilakukan di Kejaksaan Negeri Kampar tidak semua terpidana kasus korupsi yang dijatuhi pidana uang pengganti membayar uang pengganti. Berikut data terpidana kasus korupsi yang tidak membayar uang pengganti yang telah inkracht dari tahun 2018 sampai tahun 2022 yang berjumlah 7 kasus.

Tabel I.1

Terpidana Korupsi yang Tidak Membayar Uang Pengganti No Nama Terpidana Putusan Pengadilan Uang Pengganti

1 IR. H. Mhd Syukur, MMA

Nomor : 25/Pid.Sus- TPK/2018/PN.Pbr

RP. 2.711.951.842 2 Dedi Gusman Nomor : 26/Pid.Sus-

TPK/2018/PN.Pbr

Rp. 972.970.504 3 Suhailis Chan Nomor : 36/Pid.Sus-

TPK/2018/PN.Pbr

Rp. 261.058.552 4 Miswanto Als

Parmin Bin Tarman

Nomor : 1/Pid.Sus- TPK/2020/PN.Pbr

RP. 351.371.627

5 Afrizal Zein Als Rizal Bin Zainal Abidin Zein Alm

Nomor : 3/Pid.Sus- TPK/2022/PT.Pbr

Rp. 1.144.066.176

6 Muhammad Yusuf, S.T.

Nomor : 11/Pid.Sus- TPK/2022/PT.PBR

Rp. 496,816.673,29 7 Edi Yusman Bin

Ibrahim Arif

Nomor :

2264/K/Pid.Sus/2022

Rp. 1.239.854.031,79 Sumber : Data Kejaksaan Negeri Kampar

19 Ade Mahmud, Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi Pendekatan Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), h. 134-135.

(22)

12

Pada akhirnya Putusan Pengadilan Negeri Tipikor Pekanbaru dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti untuk mengembalikan kerugian keuangan negara menjadi percuma, dikarenakan terpidana tidak melakukan pembayaran uang pengganti. Hal ini menjadi masalah pada Jaksa eksekutor saat melaksanakan eksekusi uang penganti untuk memulihkan kembali kerugian keuangan negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi yang telah dibebankan kepada terpidana korupsi. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik membahas skripsi dengan judul “PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Kampar)”.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya penyimpangan atau pelebaran pokok masalah yang akan diteliti, agar penelitian lebih terarah dan memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan penelitian akan tercapai. Adapun batasan masalah penelitian ini hanya pada pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Kampar.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi di Kabupaten Kampar ?

(23)

2. Kendala apa yang dihadapi Jaksa selaku eksekutor Putusan Pengadilan dalam melaksanakan eksekusi pembayaran uang pengganti ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian merupakan jawaban atau sasaran yang ingin dicapai penulis dalam sebuah penelitian. Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi di Kabupaten Kampar.

b. Untuk mengetahui kendala-kendala Jaksa selaku eksekutor putusan pengadilan dalam melaksanakan eksekusi pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Kampar.

2. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan memeberikan manfaat yaitu;

a. Secara teoritis

1) Dapat memberikan wawasan dan menambah pengetahuan mengenai pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

2) Hasil penelitian dapat memberikan kegunaan untuk memberi informasi dan pemikiran dalam mengembangkan Ilmu Hukum.

b. Secara Praktis 1) Bagi penulis

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta sebagai syarat memperoleh gelar Sarjaan Hukum (S.H) pada jurusan Ilmu Hukum

(24)

14

pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

2) Bagi masyarakat

Dengan dibuatnya penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan penjelasan terhadap tulisan ini maka penulis menggambarkan dalam sistimatika berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat uraian tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

Bab ini memuat uraian tentang Landasan Teori, Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi, Uang Pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara korupsi. Kerugian Keuangan Negara, Economic Analysis of Law dalam kaitanya dengan Tindak Pidana Korupsi. Teori Efektivitas Hukum.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang jenis Penelitian, Lokasi Penelitian, Subjek dan Objek Penelitian, Populasi dan Sampel, Sumber dan Jenis Data, Metode Pengumpulan Data, dan Analisis Data.

(25)

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini menjelaskan tentang pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi di Kabupaten Kampar dan kendala Jaksa sebagai Eksekutor Putusan Pengadilan dalam melaksanakan eksekusi pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

BAB V : PENUTUP

Bab ini menjelaskan tentang uraian hasil kesimpulan dan saran yang berhubungan dengan hasil penelitian.

(26)

16 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Secara harfiah, tindak pidana korupsi berasal dari kata tindak pidana dan korupsi. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari

“stafbaar feit”, strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa belanda yang diterjemahkan kebahasa Indonesia dengan berbagai arti sebagai antara lain:

1) Tindak pidana 2) Delik,

3) Perbuatan pidana, 4) Peristiwa pidana.20

Dalam praktek para ahli memberikan defenisi strafbar feit atau tindak pidana berbeda-beda, sehingga mempunyai banyak arti.21 Simons merumuskan strafbaar feith itu adalah suatu kelakuan/perbuatan yang dapat diancam dengan pidana yang sifatnya bertentangan dengan hukum yang berkaitan erat dengan kesalahan dan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Jonkers dan Uthrecht mereka berpandangan bahwa rumusan yang dirumuskan oleh Simons adalah rumusan lengkap yaitu :

20 Zuleha, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2017), h. 37.

21 Ibid, h. 38.

(27)

1) Diancam dengan pidana oleh hukum.

2) Bertentangan dengan hukum.

3) Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan.

4) Seseorang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.

Pengertian tindak pidana menurut Van Hamel sebagai berikut:

perbuatan manusia yang dirumuskan didalam undang-undang, melawan hukum, yang memang pantas dipidana dan dilakukam dengan kesalahan. Vos merumuskan secara singkat pengertian dari tindak pidana yang mengatakan suatu kelakuan manusia oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana, merupakan perbuatan manusia yang melawan hukum yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana. Pada rumusan Vos tidak dirinci dengan “melawan hukum”, “dilakukan oleh orang yang bersalah” dan “dapat dipertanggung jawabkan”22

Simons, Van Hamel, dan Vos, merumuskan bahwa strafbaar Feit secara pasti, tidak memisahkan diantara perbuatan dan akibatnya pada satu pihak dan pertanggungjawaban di pihak lain.23

Menurut Moejianto istilah strafbaar feit sebagai “perbuatan pidana” menyimpulkan rumusan tindak pidana dari Simons dan Van Hamel mengandung dua pengertian sebagai berikut:

1) Feit dalam bahasa strafbaar feit berarti handeling, tingkah laku atau kelakuan.

22 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2014), h. 96.

23 Ibid, h. 97.

(28)

18

2) Pengertian Strafbaar feit terkait dengan kesalahan orang yang melakukan tingkah laku tadi.24

Dalam hukum pidana diadakan pembagian mengenai tindak pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengadakan pembagian kedalam dua jenis tindak pidana yaitu:

1) Kejahatan (Misdriven).

2) Pelanggaran (overtredigen).

Pembagian tindak pidana dalam jenis kejahatan dan pelanggaran penting karena membawa akibat-akibat tertentu. Oleh karena itu setiap ketentuan pidana selalu harus dinyatakan dengan tegas apakah merupakan kejahatan atau pelanggaran.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menempatkan kejahatan didalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran, semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya. Dengan membedakan bahwa25 kejahatan merupakan Rechtdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan Wetsdelict atau delik Undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, sedangkan delik undang- undang melanggar apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.26

Istilah korupsi dari segi terminologis asalnya dari kata

“corruptio” dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau

24 Zuleha, Op.Cit. h. 39.

25 Ibid, h. 4.

26 Ibid, h. 42.

(29)

kebobrokan, dan juga digunakan untuk menyebut suatu keadaan atau perbuatan yang busuk.27 Selanjutnya perkembangan dari satu kata ini kemudian diturunkan kedalam bahasa di dunia corruption, corruptus, corruption, corruptive, korupsi.28 Istilah korupsi sering dihubungkan dengan kecurangan atau ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan.

Jadi, melakukan korupsi itu artinya melakukan penipuan atau penyimpangan dalam keuangan.29

Korupsi disebut dengan kejahatan kerah putih (white collar crime) menurut Helbert Edelherz, korupsi merupakan suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang bersifat ilegal yang mana perbuatan itu dilakukan secara fisik dengan alasan tersembunyi untuk memperoleh uang atau kekayaan dan juga menghindari pembayaran atau pengeluaran uang maupun kekayaan untuk bisnis dan keuntungan pribadi seseorang.

Menurut Suyatno tindak pidana korupsi dapat didefenisikan kedalam empat macam yakni:

1) Discrity corruption adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, meskipun tampaknya sah-sah saja, bukan suatu praktik yang bisa diterima oleh para anggota organisasi.

27 Elwi Danil, Op.Cit, h. 3.

28 Tolib Efendi, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2019), h. 7.

29 Elwi Danil, Loc.Cit

(30)

20

2) Illegal corruption adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk mengacaukan bahasa atau maksud dari hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3) Mercenry corruption adalah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

4) Ideological corruption yaitu jenis tindak pidana korupsi yang ilegal ataupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan dari suatu kelompok.30

Korupsi dalam arti luas merupakan penyalahgunaan jabatan resmi yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rawan terhadap korupsi didalam praktiknya, tingkat beratnya korupsi bervariasi, dari yang paling ringan berupa penggunaan pengaruh dan dukungan untuk menerima dan membantu pertolongan, hingga dengan korupsi yang berat. Titik ujung korupsi yaitu kleptokrasi, artinya pemerintahan oleh para pencuri, yang mana berpura-pura bertindak jujurpun sama sekali tidak.31

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Secara yuridis unsur tindak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah:

30 Ahmad Shofin, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Surabaya: CV Garuda Mas Sejahtera, 2014), h. 94-96.

31 Warso Sasongko, Korupsi, (Yogyakarta: Relasi Inti Media, 2017), h. 2.

(31)

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara”.32

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki unsur-unsur sebagai berikut.

1) Setiap orang (menunjuk pada subjek hukum baik orang atau perseorangan).

2) Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu suatu korporasi secara melawan hukum.

3) Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.

Rumusan tentang unsur-unsur dari perbuatan yang melawan hukum, menentukan bahwa dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi meliputi perbuatan melawan hukum dalam artian formil ataupun materil. Artinya walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan itu tercela karena tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan norma didalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu perbuatannya dapat dipidana.

Hoffman berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:33

1) Adanya suatu perbuatan.

2) Perbuatan itu bersifat bertentangan dengan hukum.

32 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 ayat (1)

33 Ade Mahmud, Op.Cit, h. 3.

(32)

22

3) Mengakibatkan kerugian orang lain.

4) Perbuatan itu dapat dipidana.34 c. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi

Korupsi sebagai tindakan kejahatan luar biasa dapat digolongkan menurut KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:

1) Kerugian Negara (Pasal 2 dan 3)

2) Suap menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b; Pasal 5 ayat (2) huruf a,b,c, dan d Pasal 13)

3) Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a,b,c).

4) Pemerasan (Pasal 12 huruf e,g, dan f).

5) Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a,b,c, dan d; Pasal 7 ayat (2); serta Pasal 12 huruf b).

6) Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i).

7) Gratifikasi (Pasal 12 B Jo. Pasal 12 C).

Secara konprensif bila dikaji kejahatan korupsi mempunyai beberapa karakteristik yaitu:

1) Kejahatan itu sulit untuk dilihat, karena sering ditutup-tutupi oleh aktivitas perkerjaan rutin yang normal.

2) Kejahatan itu sangat kompleks karena terkait selalu dengan penipuan, kebohongan, dan pencurian.

34 Ibid, h. 4.

(33)

3) Terjadinya penyebaran tanggung jawab yang semakin meluas karena kompleksitas organisasi.

4) Penyebaran korban yang luas.

5) Hambatan didalam mendeteksi dan penuntutan karena kurang profesionalnya aparatur.

6) Peraturan yang tidak jelas yang merugikan penegakan hukum.

7) Pandangan yang mendua terhadap pelaku.35

2. Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Perkara Korupsi Uang pengganti adalah suatu akibat perbuatan korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka untuk mengembalikan dan memulihkan kerugian negara diperlukannya sarana yuridis yaitu pembayaran uang pengganti.36

Pengertian uang pengganti dalam tindak pidana korupsi sangat sulit untuk dirumuskan, dikarenakan ahli hukum kurang memberikan pengertian mengenai uang pengganti. Didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberikan istilah uang pengganti tidak memberikan defenisi secara jelas mengenai uang pengganti. Didalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya mengelompokkan uang pengganti ke dalam Pasal 10 sub b KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).37

35 Ibid, h. 7-8.

36 P Panggabean, Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi Teori-Praktik dan Yurisprudensi di Indonesia, (Jakarta, Bhuana Ilmu Populer, 2020), h. 214.

37 Muhammad Rofik, Skripsi: “Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Keuangan Negara (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang)”, (Magelang: Universitas Muhammadiyah, 2017), h. 25.

(34)

24

Berdasarkan Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: B- 012/A/Cu.2/01/2013 tertanggal 18 Januari 2013 tentang Kebijakan Akuntansi Dan Pedoman Penyelesaian atas Utang Piutang Uang Pengganti Kejaksaan Republik Indonesia mendefenisikan bahwa, “uang pengganti adalah salah satu hukuman pidana tambahan dalam pidana tambahan dalam perkara tindak Pidana Korupsi (TPK) yang harus dibayar oleh terpidana kepada negara yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”.38

Dalam ketentuan Pasal 16 angka (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, istilah pidana pembayaran uang pengganti disebut dengan “membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi”, isi ketentuan Pasal 16 sebagai berikut:

(1) “Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam pasal 1 sub (a) dan (b) dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya dua belas tahun dan/atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.

(2) Segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu dirampas.

(3) Si terhukum dapat juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi”.39

Undang-undang telah memberikan penekanan secara khusus pada jumlah besaran uang pengganti yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Secara yuridis

38 Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: B-012/A/Cu.2/01/2013, tanggal 18 Januari 2013.

39 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 16 angka (3).

(35)

berarti kerugian tersebut yang dapat dibebankan kepada terpidana adalah kerugian negara yang besarannya nyata dan jumlahnya pasti, akibat perbuatan melawan hukum, perbuatan yang disengaja maupun lalai yang dilakukan oleh terpidana. Dengan demikian yang berperan besar dalam hal ini ialah teknis penemuan kerugian keuangan negara yaitu hasil temuannya ditemukan berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang telah ditunjuk melalui prosedur pemeriksaan yang benar.40

Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi haruslah dipahami sebagai bagian dari upaya pemidanaan terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum. Yang dilanggar dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi. Secara umum pemidanaan itu mempunyai tujuan untuk:

a. Mencegah supaya seseorang tidak melakukan suatu tindak pidana dengan menegakkan norma hukum untuk perlindungan masyarakat.

b. Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan agar menjadikannya orang yang baik dan bermanfaat.

c. Menyelesaikan konflik yang ditumbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan menciptakan rasa kedamaian didalam masyarakat.

Jenis-jenis pemidanaan tercantun didalam Pasal 10 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, jenis-jenis ini juga berlaku pada delik yang diatur

40 P Pangabean, Op.Cit, h. 215.

(36)

26

diluar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang. Jenis- jenis pemidaan ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan.

Prinsip pidana tambahan itu hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan. Jenis-jenis pemidanaan itu adalah sebagai berikut, Pidana pokok meliputi: Pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan meliputi: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.41 Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan Hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

a. Pidana mati

Pidana mati merupakan hukuman yang paling berat karena pelaksanaannya penyerangan terhadap hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia yang pertama. Hanya perbuatan pidana yang sangat berat yang bisa diancamkan dengan hukuman mati. Korupsi adalah salah satu tindak pidana yang berat yang dapat diancam dengan hukuman mati. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 9 berbunyi,

“dapat dipidana mati karena setiap orang yang melawan hukum melakukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.42

41 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, (Jakarta:

Solusi Publishing, 2010), h. 5-6.

42 Ahmad Shofin Nuzil, Op.Cit, h.23

(37)

Ancaman pidana mati tercantum dalam final RUU KUHP yang telah disahkan pada tanggal 6 Desember 2022, pidana mati dalam KUHP yang baru disahkan diatur dalam Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, serta Pasal 102.

Berdasarkan pasal 67 KUHP diatur bahwa: “Pidana yang bersifat Khusus merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif”. Pasal 98 KUHP menyebutkan bahwa “pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat”.

Pasal 99 KUHP mengatur bahwa:

(1) “Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana yang ditolak presiden.

(2) Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan dimuka umum.

(3) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan didalam Undang-Undang.

(4) Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang sakit jiwa tersebut telah sembuh”.

Pasal 100 KUHP mengatur bahwa:

(1) “Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan menperhatikan:

a. Rasa penyesalan terdakawa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;

b. Peran terdakwa dalam tindak pidana atau c. Ada alasan lain yang meringankan.

(2) Pidana mati dengan pidana mati dengan percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan didalam putusan pengadilan.

(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

(38)

28

(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung”.

Pasal 101 KUHP mengatur bahwa “jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup”. Didalam Pasal 102 KUHP dijelaskan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan Undang-Undang”.43 b. Pidana penjara

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi paling banyak memuat pidana penjara. Hampir disetiap rumusan tindak pidana korupsi didalam Undang-Undang tersebut disertai dengan sanksi pidana penjara. Sanksi tersebut terdapat pada:

1) Pasal 2 ayat (1), pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun paling lama 20 tahun bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara.

43 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(39)

2) Pasal 3, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun. bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenagan kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara.

3) Pasal 5, mengatur pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.

4) Pasal 6, mengatur pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.

5) Pasal 7, mengatur pidana penjara paling singkat 2 tahun paling lama 7 tahun.

6) Pasal 8, mengatur pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.

7) Pasal 9, mengatur pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.

8) Pasal 10, mengatur pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun.

9) Pasal 11, mengatur pidana penjara paling singkat selama 1 tahun dan paling lama 5 tahun.

10) Pasal 12, mengatur pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, Pasal 12 A pidana penjara paling singkat 3 tahun,

(40)

30

kemudian Pasal 12 B pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.

11) Pasal 13, mengatur pidana penjara paling lama 3 tahun.

12) Pasal 15, mengatur dipidana sama dengan pasal 2, Pasal 3, sampai dengan Pasal 14.

13) Pasal 16, mengatur dipidana sama dengan pasal 2, Pasal 3, sampai dengan Pasal 14. 44

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana penjara yang dimuat lebih lama dibandingkan dengan Pidana penjara yang terdapat didalam RKUHP yang baru disahkan pada tangga 6 Desember tahun 2022 adalah sebagai berikut:

1) Pasal 603 KUHP mengatur sanksi pidana bagi orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, maupun korporasi yang merugikan keuangan negara dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun.

Sementara itu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) pidana penjara seumur hidup atau minimal pidana penjara 4 tahun dan maksimalnya 20 tahun.

2) Pasal 604 KUHP penyalahgunaan wewenang dipidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Sementara didalam

44 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(41)

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 3 minimal penjara 1 tahun dan maksimal 20 tahun.

3) Suap menyuap pada Pasal 605 ayat (1) pemberi suap dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama selama 5 Tahun, Pasal 605 ayat (2) penerima suap dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 6 tahun. Sementara Itu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 5 pemberi suap dipidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun, Pasal 12 penerima suap dipidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.

4) Gratifikasi pada Pasal 606 ayat (1), pemberi gratifikasi dipidana penjara paling lama 3 tahun, Pasal 606 ayat (2) yang menerima gratifikasi dipidana penjara paling lama 4 tahun. Sementara itu Undang-Undang pemberantasan Korupsi Pasal 12 B Penerima gratifikasi yang dinilai suap dipidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.45

c. Pidana denda

Pidana denda merupakan hukuman berupa kewajiban, seseorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menembus tindak pidana yang dilakukannya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerapkan

45 Syakirun Ni‟am, Hukuman Koruptor Dalam KUHP Baru Lebih Ringan Dibanding Undang-Undang Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi, https://amp.kompas.com/nasional/read/

2022/12/07/17332601/hukuman-koruptor-dalam-kuhp-baru-lebih-ringan-dibanding-uu- pemberantasan, di akses pada tanggal 14 Desember.

(42)

32

pidana denda yang tertinggi sebagai salah satu upaya dalam rangka untuk mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Pidana denda didalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 diancam dengan cara:

1) Secara ganda absolut

Cara ini terdapat pada pasal yaitu pada Pasal 2, 6 ayat (1) dan (2), 7 ayat (1) dan (2), 8, 9, 10, 12 A ayat (2), 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pidana denda berkisar antara Rp. 50. 000.000.000 (lima puluh juta rupiah).

2) Secara ganda alternatif

Cara ini terdapat Pasal 3, 5 ayat (1) dan (2), 11, 13, 21, 22, 23, 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pidana denda berkisar antara Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) hingga Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).46

d. Pidana Tambahan

Pidana tambahan disebut didalam Pasal 10 KUHP pada bagian b, adapun jenis pidana tambahan dapat diklarifikasikan seperti berikut : 1) Pencabutan hak tertentu

2) Perampasan barang-barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim

46 Efi laila Kholis, Op.Cit, h. 9-10.

(43)

Pidana tambahan bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, yang mana ia tidaklah dapat berdiri sendiri, terkecuali dalam hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan bersifat fakultif, yang berarti dapat dijatuhkan tetapi tidak harus ada hal-hal tertentu. Pidana tambahan sifatnya imperatif, yaitu dalam Pasal 250 bis, 261 dan 275 KUHP. Dijatuhkan atau tidak pidana tambahan hakim bebas untuk memutuskannya. Pidana tambahan sifatnya preventif yang sifatnya sangat khusus, sehingga sifat pidananya sering hilang dan yang menonjol sifat preventif itulah.47

Pidana tambahan diatur pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

1) “Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untukwaktu paling lama satu tahun.

47 Andi Hamzah, Op.Cit, h. 210-211.

(44)

34

4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana”.48

3. Kerugian Keuangan Negara

Merugikan keuangan negara adalah salah satu unsur yang dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.49 Dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengertian kerugian Negara tidak dijelaskan. Namun terminologi kerugian keuangan negara telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara yang menyatakan:

“Kerugian Negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.50

Berdasarkan rumusan diatas, istilah kerugian negara memiliki beberapa unsur penting yang menjadi patokan dasar untuk mengetahui terminologi kerugian keuangan negara, yaitu

a. Kekurangan uang, surat berharga, dan barang.

b. Jumlahnya nyata dan pasti.

c. Akibat dari melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

48 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 18.

49 P Pangabean, Op.Cit. h. 107.

50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara, Pasal 1 angka 22.

(45)

Badan Pemeriksa Keuangan menggunakan 4 kriteria dari kerugian negara, yaitu sebagai berikut.

a. Pengurangan kekayaan negara dan atau penambahan kewajiban negara yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang51 berlaku. Kekayaan negara merupakan konsekuensi dari adanya penerimaan pendapatan yang menguntungkan dan pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara (pendapatan dikurang pengeluaran negara).

b. Tidak menerimanya sebagian atau seluruh penghasilan yang menguntungkan keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Sebagian atau seluruh pengeluaran yang menjadi beban keuangan negara, yang menyimpang dari ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

d. Setiap bertambahnya kewajiban negara yang disebabkan oleh adaya komitmen yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku.52

4. Economic Analysis Of Law dalam kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi

Economic Analysis of the Law yang dikenal dengan analisa ekonomi terhadap hukum. Stanford Ensyclopedia of Phylosofy memberikan defenisi Economic Analysis of the law sebagai “analisis

51 Ade Mahmud, Op.Cit, h. 97.

52 Ibid, h. 98.

(46)

36

ekonomi atas hukum merupakan studi yang menerapkan alat-alat teori ekonomi untuk menganalisis aturan-aturan lembaga hukum”.

Melihat karakteristik tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana yang beraspek ekonomi, dimana ada kerugian negara yang ditimbulkannya. Oleh karenanya tidak salah dalam penanganan tindak pidana korupsi perlu dilakukan analisa secara ekonomi.53

Secara garis besar besar analisis ekonomi atas hukum menerapkan pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat

“positive” atau “descriptive”, berkenaan dengan pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effect of a legal rule), dan analisis yang bersifat normatif, berkenaan dengan pengaruh dari aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the sosial desirability of a legal rule.54

Analisis ekonomi terhadap hukum dibentuk pada beberapa konsep umum ilmu ekonomi, antara lain:

a. Pemanfaatan secara maksimal (Utility maximization).

b. Rasional (Rationality).

c. Stabilitas pilihan dan biaya peluang (the stability of preference and opportunity).

53 I Made Agus Mahendra Iswara dkk, “Kebijakan Pidana Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dengan Kerugian Kecil (Patty Coruption) Dengan Pendekatan Kemanfaatan”, Jurnal Hukum Saraswati, Vol. 03. No. 2, tahun 2021 , h. 50- 51.

54 Dedy Syaputra, “Analisa Ekonomi Atas Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal: Wajah Hukum, Vol. 3. No. 1, 2019, h. 61.

(47)

d. Distribusi (distribution).

Dalam analisis ekonomi terhadap hukum dikenal tiga Prinsip ekonomi terhadap hukum, sebagai berikut:

a. Optimalisasi adalah mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari apa yang telah dilakukan pelaku. Keuntungan yang dimaksud adalah hasil kejahatannya dan kerugian yang dimaksud adalah kerugian material dan imaterial pada korban kejahatannya (perorangan, pebisnis, Negara) serta kerugian yang telah diperhitungkan karena ditangkap dan ditahan secara hukum.

b. Keseimbangan adalah mempertanyakan bagaimana kerugian korban kejahatan bisa diganti oleh pelaku kejahatan, apakah dengan memberikan ganti rugi atau dengan memberikan hukuman yang seimbang konsekuensi dari kejahatan yang dilakukannya.

c. Efesiensi apakah sanksi pidana penjara, denda atau kerja sosial yang lebih efisien, atau justru dengan mengembalikan kerugian keuangan negara yang lebih adil daripada dengan menjalani sanksi penjara selama waktu tertentu dan memerlukan biaya yang banyak.55

5. Teori Efektivitas Hukum

Efektivitas mengandung arti “keefektifan” (effectiveness) pengaruh atau efek keberhasilan, atau kemanjuran/kemujaraban. Dalam membahas efektivitas pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi maka didalamnya mengandung permasalahan sejauhmana perangkat hukum

55 Romli Atmasasmita dan Kodrat Wibowo, Analisis Ekonomi Mikro Tentang Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2017), h. 81.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

[r]

- Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) sesuai dengan Klasifikasi SBU. - Sertifikat Badan Usaha (SBU) sesuai: Klasifikasi/Sub Klasifikasi : Jasa Pengawas Pekerjaan

Peserta seleksi yang memasukkan penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada POKJA 4 ULP Kabupaten

[r]

Catatan : Agar membawa dokumen penawaran asli sesuai yang di-upload lewat aplikasi SPSE.. Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya disampaikan

besar dari petakan label yang dibuat Rapikan hasil. penempelan sehingga nomor panggil

[r]

A cooperation  between the  Institute of  Ecology, Indonesian State Electric Company  (IOE  UNPAD­PLN),  Bandung,  Indonesia; and the  International Center  for