• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Civicus Vol. 22 No. 1, Juni-2022, pp e-issn: p-issn: Available online at: civicus.upi.edu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Jurnal Civicus Vol. 22 No. 1, Juni-2022, pp e-issn: p-issn: Available online at: civicus.upi.edu"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

POLITICS OF THE LAW OF COVID-19 HANDLING BY THE INDONESIAN GOVERNMENT FROM HEALTH HUMAN RIGHTS

PERSPECTIVE

Analia Pertiwi1, Suryo Ediyono2

1analiapertiwi20@student.uns.ac.id, 2ediyonosuryo@yahoo.com Universitas Sebelas Maret

Article Information ABSTRACT

Received : 23-06-2022 Revised : 27-06-2022 Accepted : 29-06-2022 Publishes : 30-06-2022

COVID-19 is a disease that was first discovered in China where it spreads very quickly until it was recorded that until January 28, 2021, 1 million Indonesians were exposed to the virus with the highest number of cases in Southeast Asia. Every citizen has the right to be given protection by the government from this case. The right to health is a derivative of human rights that must be protected. In dealing with the COVID-19 pandemic, the government has implemented various legal rules, including government regulations implementing Law number 1 of 2020, State Finance and Financial System Stability policies during the 2019 Coronavirus Pandemic (COVID-19) and government regulations number 21 of 2020. 2020 is the date of Mass Social Restrictions in the Context of Acceleration (PSBB) for Handling Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

The government has also implemented PSBB and Physical Distancing policies, but these policies have not been effective in breaking the chain of transmission of COVID- 19. The method used in this study is a descriptive normative juridical research method by providing solutions for handling COVID-19 in Indonesia. This study concludes that the legal politics (PSBB and physical distancing) achieved by the government in handling COVID-19 are not in accordance with Article 28 H paragraphs (1) and 34 of the 1945 Constitution paragraphs (2) and (3).

Keywords:

Legal Policy COVID-19 The Right to Health

POLITIK HUKUM PENANGANAN COVID-19 OLEH PEMERINTAH INDONESIA DARI PERSPEKTIF HAM ATAS KESEHATAN

Kata Kunci : Politik Hukum COVID-19

Hak Asasi atas Kesehatan.

ABSTRAK

COVID-19 merupakan penyakit yang pertama kali ditemukan di Cina dimana penyebarannya sangat cepat hingga tercatat sampai 28 Januari 2021, 1 juta penduduk Indonesia terpapar virus tersebut dengan jumlah kasus tertinggi di Asia Tenggara.

Setiap warga negara memiliki hak untuk diberikan perlindungan oleh pemerintah dari adanya kasus ini. Hak atas Kesehatan merupakan turunan dari hak asasi manusia yang harus dilindungi. Dalam menghadapi pandemi COVID-19, pemerintah telah menerapkan berbagai kaidah hukum diantaranya seperti peraturan pemerintah yang menggantikan Undang-Undang nomor 1 Tahun 2020 perihal Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan pada masa Pandemi penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) serta peraturan pemerintah nomor 21 Tahun 2020 perihal Restriksi Sosial Massal Pada Rangka Akselerasi (PSBB) Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).Pemerintah juga telah menerapkan kebijakan PSBB dan Physical Distancing, namun kebijakan tersebut belum efektif memutus mata rantai penularan COVID-19. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan memberikan solusi penanganan COVID-19 di Indonesia. Kajian ini menyimpulkan bahwa politik hukum (PSBB dan physical distancing) yang ditempuh pemerintah dalam menangani COVID-19 tidak sesuai dengan Pasal 28 H ayat (1) dan 34 UUD 1945 ayat (2) dan (3).

Copyright © 2022 (Analia Pertiwi, Suryo Ediyono). All Right Reserved

Jurnal Civicus

Vol. 22 No. 1, Juni-2022, pp. 29 - 36 e-ISSN: 2656-3606 p-ISSN: 1412-5463

Available online at: civicus.upi.edu

(2)

Jurnal Civicus, 22 (1), Juni 2022

PENDAHULUAN

Di penghujung tahun 2019, munculnya kasus pneumonia misterius yang mengejutkan dunia, pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei. Awalnya kasus pneumonia ini diberi nama 2019 Novel Coronavirus (2019.nCoV), dan kemudian Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan pada 11 Februari 2020 akan diberi nama baru untuk pneumonia, penyakit coronavirus (COVID19).

Pada 28 Januari 2021, terdapat 87.640.097.000 kasus positif COVID-19 di 215 negara dan 1.890.847.000 kematian. Bahkan, beberapa negara, antara lain Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Inggris, Spanyol, dan Italia, memiliki kasus lebih banyak daripada China, negara tempat pertama kali COVID-19 muncul.

Pemerintah Indonesia pertama kali mengumumkan kasus COVID-19 pada 2 Maret 2020, meski banyak ahli yang pesimistis dengan pernyataan tersebut. Ahli virologi profesor Harvard Marc Lipsitch mengatakan virus COVID-19 di Indonesia sudah masuk sejak awal tahun atau sejak Januari. Dalam penelitiannya menyebutkan beberapa negara tetangga Indonesia seperti Malaysia, Singapura, Thailand telah melaporkan kasus COVID-19 sejak bulan Januari, demikian juga turis Seorang migran yang kembali dari China telah didiagnosis dengan COVID-19 setelah berlibur di wilayah Bali, Indonesia.

Dalam menghadapi COVID-19, Pemerintah Indonesia telah menetapkan politik hukum dengan mengeluarkan 3 (tiga) perangkat hukum sebagai upaya pencegahan penyebaran wabah COVID-19: (1) Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat 2019 Coronavirus Viral disease (COVID-19); (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19, dan; (3) Peraturan Perundang-undangan Perwakilan Pemerintah (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan Dalam Menghadapi Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Menghadapi Ancaman terhadap Stabilitas Ekonomi atau Sistem Keuangan Nasional.

Mengacu pada situasi saat ini, penyebaran virus COVID-19 telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia, kurva kasus

COVID-19 terus meningkat dan belum menunjukkan tren penurunan, mobilitas penduduk tetap tinggi, dan tempat hiburan, kafe, dan destinasi wisata beroperasi seperti biasa. Di sisi lain, peningkatan jumlah pasien COVID-19 yang terus berlanjut mengancam runtuhnya sistem kesehatan karena rumah sakit kewalahan menangani pasien dalam jumlah besar. Keadaan ini mengakibatkan gagalnya pemenuhan hak asasi manusia atas kesehatan, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan yang baik. Demikian pula, kurangnya perlindungan bagi tenaga medis yang berada di garda depan melawan COVID-19 telah menimbulkan pertanyaan tentang seberapa serius pemerintah mengambil kebijakan tentang COVID-19 dan komitmen mereka untuk melindungi hak asasi manusia atas kesehatan masyarakat.belum ditemukan penelitian yang dapat mengkaji secara khusus mengenai politik hukum penanganan COVID- 19 dari perspektif Hak Asasi atas kesehatan.

Oleh karena itu, penulis berpendapat perlu diteliti lebih lanjut mengenai politik hukum Pemerintah Indonesia dalam penanganan Virus Corona (COVID-19) apakah sudah maksimal untuk melindungi dan memenuhi Hak Asasi atas Kesehatan masyarakat.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan melakukan penelitian hukum terhadap data sekunder. Jenis penelitian ini adalah analisis normatif, yaitu bertujuan untuk memberikan rekomendasi dan alternatif solusi untuk mengatasi masalah. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu menyajikan data dalam bentuk deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Tinjauan Yuridis terhadap Hak Atas Kesehatan

Dalam literatur kesehatan, dua istilah digunakan untuk menggambarkan hak asasi manusia di bidang kesehatan, yaitu “the right to health” atau “the Right to Attainable Standard to Health”. Hak atas kesehatan merupakan hak penting bagi keberadaan manusia. Oleh karena itu, kesehatan dasar dikenal dengan pepatah

“Kesehatan bukanlah segalanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya tidak ada artinya”. Sebagai

(3)

Jurnal Civicus, 22 (1), Juni 2022

hak asasi manusia, hak atas kesehatan merupakan hak yang melekat pada diri manusia dan harus dihormati dan dilindungi oleh setiap warga negara.

Jika mengacu pada perjanjian internasional dan dokumen normatif internasional, ketentuan hak atas kesehatan diidentifikasi sebagai bagian dari hak dasar (fundamental rights) yang dimiliki oleh setiap orang. Pernyataan tersebut tertulis pada preambule World Health Organization (WHO) Constitution yang berbunyi “ The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being without distinction or race, religion, political belief, economic or social conditions”. Oleh karena itu, hak atas kesehatan merupakan bagian dari hak dasar yang harus dilindungi, dihormati dan dipenuhi oleh Negara, tanpa membedakan ras, agama, pilihan politik, kondisi ekonomi atau sosial. Berdasarkan interpretasi ini, hak atas kesehatan telah dinyatakan sebagai “hak asasi manusia” oleh warga negara internasional sejak implementasi Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1946. Ditempatkan secara strategis pada pelaksanaan hak asasi manusia lainnya.

Oleh karena itu, negara harus memprioritaskan perlindungan hak kesehatan warganya, terutama dari ancaman pandemi (COVID-19).

Berdasarkan penelitian dari WHO (World Health Organization) model penyebaran virus SARS-Cov-2 (COVID-19) dapat melalui kontak dan droplet terinfeksi seperti air liur dan sekresi pernapasan atau tetesan pernapasan mereka, yang dikeluarkan ketika orang yang terinfeksi COVID-19 bersin, batuk, droplet (tetesan air liur), airborne, fomite (permukaan benda yang terkontaminasi), dan model penyebaran lainnya yang tingkat penyebarannya lebih rendah. Sampai dengan tanggal 28 Januari 2021 terdapat 87.640.097 juta kasus positif COVID-19 korban tewas adalah 1.890.847 ribu di 215 negara di seluruh dunia. Bahkan beberapa negara antara lain AS, Brasil, Rusia, Inggris, Spanyol, dan Italia memiliki kasus lebih banyak dari total kasus positif COVID-19 di China, negara asal virus corona COVID-19 pertama kali muncul. 2021 Jumlah total kasus positif COVID-19 di Indonesia telah melampaui 1 juta hari ini.

Angka ini menempatkan Indonesia di antara 20 negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia. Oleh karena itu, dalam hal ini negara

memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan dan melindungi kesehatan warganya.

Di Indonesia, jaminan hukum atas hak atas kesehatan telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (RIS) tahun 1949. Pasal 40 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa “pemerintah senantiasa berupaya memajukan kesehatan masyarakat dan kesehatan masyarakat”. Setelah diundangkannya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, bentuk Amerika Serikat kembali menjadi negara tunggal, tetapi ketentuan Pasal 40 Konstitusi RIS tetap diadopsi sebagai Pasal 42 UUDS 1950-an.

Klasifikasi kesehatan sebagai hak asasi manusia telah lebih ditekankan di Indonesia setelah reformasi. Bab XA UUD 1945 tentang hak asasi manusia, yaitu Pasal 28 H, ayat 1 dan 2, serta Pasal 34 (2) UUD 1945, keduanya memuat ketentuan tentang hak atas kesehatan.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 menegaskan tentang kesehatan, artinya setiap orang, keluarga, dan setiap warga negara berhak atas perlindungan kesehatan dan negara bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan yang ditujukan untuk mewujudkan hak atas kesehatan yang optimal. Secara garis besar, jenis-jenis hak asasi manusia atas kesehatan yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 terdapat pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 di antaranya yaitu akses yang mudah terhadap sumber daya di bidang kesehatan, pelayanan kesehatan yang terjamin, terjangkau, dan optimal. Hak untuk memutuskan sendiri jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, lingkungan yang bersih dan sehat, hak untuk memperoleh informasi dan edukasi tentang kesehatan yang objektif dan bertanggung jawab.

Politik Hukum Pemerintah Indonesia dalam Penanganan Pandemi COVID-19

Dalam memilih aturan yang akan ditetapkan, politik hukum menyampaikan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara dengan permanen memperhatikan tujuan negara sebagaimana yang termuat di dalam alinea ke-4 Undang-Undang Dasar 1945.

Termasuk pula politik hukum yang wajib diterapkan Pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19, apakah telah memenuhi tujuan negara atau belum. Dalam upaya

(4)

Jurnal Civicus, 22 (1), Juni 2022

mencegah penyebaran COVID-19, Pemerintah Indonesia sudah membentuk politik hukum dengan mengeluarkan berbagai produk aturan di antaran

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Perppu 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan dalam Rangka Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional atau Stabilitas Sistem Keuangan.

UU Nomor 2 Tahun 2020 merupakan pengesahan atau penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan dalam Rangka Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi undang- undang. Pembentukan Perpu merupakan kewenangan atribusi yang diberikan Pasal 22 UUD 1945 kepada Presiden untuk menyelesaikan suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa. Meskipun tidak ada regulasi yang jelas dalam UUD 1945 maupun undang- undang mengenai syarat- syarat kapan suatu Perpu dapat diterbitkan oleh Presiden.

Pada kasus ini keadaan darurat yang dimaksud merupakan wabah Corona Virus Disease (COVID-19). COVID-19 menjadi pandemi yang bersifat extraordinary karena penyebarannya yang masif sudah menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Pandemi tersebut juga berdampak kepada deselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, anjloknya penerimaan negara, serta peningkatan beban belanja negara. Menggunakan pertimbangan tersebut Pemerintah menganggap perlu diterbitkannya Perppu menjadi upaya untuk melakukan perlindungan terhadap kondisi perekonomian nasional, dengan penekanan utama pada kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan.

Lahirnya Perpu tersebut merupakan politik hukum yang diambil Pemerintah untuk stabilitas keuangan negara dan mencegah penyebaran wabah COVID-19. Akan tetapi, Perppu tersebut mengandung potensi-potensi yang dapat merusak praktik ketatanegaraan di Indonesia. Pertama, Perppu ini berpotensi

mengarah kepada kekuasaan yang tidak terbatas (absolute power) dalam pembentukan suatu regulasi oleh Presiden. Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1/2020 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk melakukan perubahan postur atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara yang diatur dengan atau Peraturan Presiden.

Aspek positif perubahan postur anggaran dan perubahan defisit APBN, dengan Peraturan Presiden memberikan legitimasi kepada Pemerintah untuk bergerak cepat dan responsif untuk menjaga sistem keuangan dan perekonomian nasional dari ancaman COVID19. Adapun aspek negatif perubahan postur anggaran dan perubahan defisit APBN melalui Peraturan Presiden telah melanggar praktek ketatanegaraan selama ini yang mana perubahan postur maupun perubahan defisit anggaran dilakukan dengan APBN-P yang membutuhkan persetujuan (consent) DPR selaku representasi rakyat di Parlemen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

PSBB adalah pembatasan aktivitas tertentu suatu penduduk pada daerah atau kawasan yang diduga terinfeksi COVID-19 dengan tujuan untuk mencegah penyebaran lebih yang lebih luas yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan atau oleh Pemerintah Daerah berdasarkan persetujuan dari Menteri Kesehatan.

Diterapkannya PSBB maka aktivitas seperti sekolah, tempat kerja diliburkan, kegiatan keagamaan dilakukan di rumah masing-masing, dan pembatasan aktivitas di tempat umum. Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah tersebut memberikan kriteria suatu daerah yang dapat menerapkan PSBB yaitu (1) Jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara

(5)

Jurnal Civicus, 22 (1), Juni 2022

signifikan dan cepat ke beberapa wilayah, (2) Terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah lain.

Diundangkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai bagian dari pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina Kesehatan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina Kesehatan bahwa penyelenggaraan karantina kesehatan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat dengan memperhatikan skala ancaman terhadap kesehatan, ekonomi, sosial, dan keamanan negara.

Dipilihnya PSBB dari pada karantina wilayah sebagai kebijakan yang diambil pemerintah dicurigai sebagai manuver hukum guna menghindari tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, di mana jika kebijakan yang diambil adalah Karantina Wilayah, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya dan hewan ternak yang berada di wilayah karantina sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Sedangkan dalam kebijakan PSBB, pemerintah tidak wajib untuk menyediakan pemenuhan kebutuhan pokok sebagaimana dalam ketentuan normatif PP a quo.

Inilah yang menjadi salah satu faktor tidak efektifnya penerapan PSBB di Indonesia.

Di satu sisi rakyat diminta untuk berdiam di rumah, dan tidak beraktivitas di luar, namun di sisi lain kebutuhan dasar mereka tidak dijamin oleh pemerintah, sehingga rakyat terutama golongan menengah ke bawah tidak mempunyai pilihan, melainkan harus tetap bekerja di luar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya meskipun kekhawatiran tertular COVID-19.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Ada dua poin penting dalam Perpres tersebut, yang pertama adalah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi yang menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Kedua, penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat akibat COVID-19 harus

dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pokok permasalahan dan permasalahan dalam Perpres tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah dirasakannya keterlambatan pemerintah pusat dalam mengeluarkan perangkat hukum. Hal ini dibuktikan dengan berlakunya Perpres dan peraturan lainnya hanya beberapa bulan setelah merebaknya pandemi COVID-19 di Indonesia. Akibat keterlambatan tersebut, baik pemerintah pusat maupun daerah mengalami kegagapan dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi pandemi COVID-19 yang berdampak pada masifnya penyebaran pandemi COVID-19 yang awalnya hanya menginfeksi 1 provinsi, Jakarta. , hingga menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia.

Pembahasan

Perlindungan HAM Dalam Akselerasi Penanganan COVID-19

Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengungkapkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Hal ini serupa dengan Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang nomor 39 Tahun 1999 perihal Hak Asasi manusia yang juga mengungkapkan bahwa setiap orang diakui sebagai manusia langsung yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sinkron dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 perihal Kesehatan mengungkapkan bahwa tenaga kesehatan berhak menerima imbalan dan perlindungan Hukum untuk pelaksanaan tugas sesuai dengan pekerjaannya. Hal ini diperkuat oleh Pasal 57a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, yang juga menyatakan bahwa tenaga kesehatan berhak atas perlindungan hukum dan prosedur operasi standar selama menjalankan tugasnya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesional. Peraturan tersebut memberi wewenang kepada pemerintah untuk menegakkan perintah hukum yang menjamin perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

Dalam percepatan penanganan COVID-19, pemerintah memiliki kewajiban untuk

(6)

Jurnal Civicus, 22 (1), Juni 2022

melindungi dan menjaga hak tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan, termasuk memberikan penghargaan dan jaminan keselamatan dan kesehatan selama bertugas.

Upaya pemenuhan hak atas kesehatan bisa dilakukan menggunakan berbagai macam cara yang berupa pencegahan dan penyembuhan. Upaya pencegahan mencakup penciptaan kondisi yang layak bagi kesehatan, baik menjamin ketersediaan pangan dan pekerjaan, perumahan yang baik, dan lingkungan yang sehat. Sedangkan upaya penyembuhan dilakukan menggunakan penyediaan pelayanan kesehatan yang optimal.

Tinjauan perspektif Hak Asasi atas kesehatan terhadap Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Penanganan Pandemi COVID-19.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, hak atas kesehatan sudah diakui sebagai hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara sesuai dengan amanat Konstitusi dalam UUD 1945. Jika kita merujuk kepada data terakhir jumlah kasus COVID- 19 yang ada di Indonesia sudah tembus 1 juta kasus dengan total kematian sebanyak 30.581 kasus. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 20 besar negara dengan kasus corona terbanyak di dunia.

Kebijakan seperti pembatasan sosial massal (PSBB) pada awalnya sangat efektif menekan penyebaran COVID-19, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Sejak pemberlakuan PSBB 24 April hingga 22 Mei 2020 dan 24 Mei hingga 4 Juni 2020, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia hanya 18.000. Di sisi lain, pemberlakuan PSBB berdampak negatif pada sektor ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2020 negatif 5,32%. Makanya pemerintah tidak memperpanjang PSBB, padahal sudah sangat efektif melindungi hak masyarakat atas kesehatan dari dampak pandemi COVID-19.

Untuk menyelamatkan sektor ekonomi, pemerintah mengambil kebijakan pelonggaran PSBB, memungkinkan kegiatan yang dibatasi selama periode PSBB dilanjutkan.

Pemerintah telah menerapkan pola hidup kebiasaan baru (new normal) yaitu mengubah perilaku atau kebiasaan untuk tetap beraktivitas seperti biasa, namun tetap menerapkan protokol kesehatan di masa pandemi COVID-19. Di

bawah kebijakan operasi industri normal baru, layanan business-to-business diperbolehkan dengan tetap menegakkan protokol kesehatan.

Pasar, pertokoan dan mal, serta restoran dan tempat hiburan, dibuka kembali. Namun kebijakan new normal yang diterapkan pemerintah belum efektif mencegah penyebaran virus, sebaliknya penyebaran virus COVID-19 semakin meningkat. Data dari Worldmeters informasi Pada Juni 2020, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia hanya 18.000, sedangkan pada Januari 2021 jumlah kasus sudah mencapai 1 juta atau meningkat sekitar 5.000% hanya dalam waktu 7 bulan.

Kebijakan pemerintah tampaknya tidak mendukung perlindungan hak atas kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H(1) dan 34(3) UUD 1945. Pada tanggal 19, pemerintah dapat meniru politik hukum negara lain yang terbukti efektif dalam penanggulangan wabah, antara lain:

1. Negara yang berhasil menerapkan Lockdown Parsial

Sementara banyak yang mengkritik penanganan awal COVID-19 oleh pemerintah China, tampaknya telah mengabaikan keberadaannya. Namun, kegagalan China menghentikan penyebaran virus COVID-19 ke negara lain tidak termasuk keberhasilan China memberlakukan lockdown sebagian di Wuhan, provinsi Hubei, tempat pandemi pertama kali muncul. Dengan kebijakan lockdown parsial Wuhan, semua perbatasan masuk dan keluar Wuhan ditutup, sedangkan provinsi lain tetap bisa melakukan aktivitas dengan menegakkan protokol kesehatan.

Penduduk Wuhan dilarang bepergian, dan segala bentuk kegiatan yang ramai dengan orang seperti perkantoran, tempat wisata, dan kegiatan sekolah dilarang. Jika seseorang keluar untuk keperluan darurat (seperti membeli obat), orang tersebut harus membawa bukti. Pemerintah China juga menjamin semua kebutuhan sehari-hari warga negaranya sehingga mereka tidak khawatir kelaparan.

Oleh karena itu, kebijakan tersebut efektif menekan pertumbuhan kasus COVID-19 di China. China berhasil menekan perkembangan kasus COVID-19, dan pemerintah akhirnya mencabut lockdown sebagian di Wuhan, tempat masyarakat kini beraktivitas seperti biasa.

Efektivitas kebijakan pemerintah China dalam menangani kasus COVID-19 juga berdampak

(7)

Jurnal Civicus, 22 (1), Juni 2022

positif terhadap pertumbuhan ekonomi China.

Kondisi ekonomi China mendapatkan momentum pada November 2020 setelah negara tersebut berhasil menahan pandemi COVID-19.

2. Negara yang berhasil menerapkan lockdown total

Keberhasilan Selandia Baru dalam mengalahkan virus corona tak lepas dari ketabahan pemerintahnya yang langsung merespon lockdown saat kasus COVID-19 masuk ke negara itu. Tes atau pengujian massal langsung di Selandia Baru diikuti dengan isolasi kasus, isolasi, kampanye kebersihan massal dan penyediaan sanitasi di ruang publik.

Namun, yang terpenting dukungan masyarakat dan kepatuhan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Selandia Baru dalam penanganan Pandemi COVID-19.

Keberhasilan Selandia Baru dalam menangani COVID-19 terlihat dari jumlah kasus COVID- 19 Selandia Baru per 28 Januari 2021 hanya 2.299 kasus.

3. Negara-negara yang telah berhasil menerapkan penguncian total.

Meski tanpa lockdown, Korea Selatan termasuk negara yang berhasil menahan penyebaran virus corona. Pemerintah Korea Selatan terutama telah melakukan tiga hal dalam menanggapi virus corona baru. Pertama, pemerintah Korea Selatan melakukan tes menggunakan klinik drive-through yang dapat menguji sekitar 15.000 warganya untuk virus dalam sehari untuk meminimalkan penularan, dalam bentuk gejala ringan hingga berat.

Kedua, pemerintah Korea selalu memberikan informasi publik kepada publik. Misalnya, masyarakat dapat mengetahui lokasi seseorang yang terkonfirmasi positif COVID-19 melalui aplikasi melalui sistem penentuan posisi global (GPS) sehingga warga lain yang tidak terinfeksi dapat menjauh dari area tersebut. Ketiga, pemerintah Korea Selatan memberlakukan social distancing dengan membatasi pertemuan besar.

Selain itu, ada juga kamera pengecek suhu di setiap pintu masuk gedung serta petugas berpakaian pelindung lengkap pada kawasan umum untuk menghimbau masyarakat supaya mencuci tangan mereka. Melalui berbagai strategi tersebut, Korea Selatan cukup berhasil dalam menangani COVID-19, dengan jumlah kasus saat ini masih di bawah 100.000 kasus.

Penulis meyakini ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan pemerintah Indonesia dalam menghentikan penyebaran virus corona baru, antara lain:

● Di awal pandemi yang masuk ke Indonesia, pemerintah tampak lambat dalam merespon, menyiapkan langkah- langkah strategis.

● Kurangnya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah seringkali memiliki kebijakan yang berbeda dalam menangani COVID- 19.

● Karena kasus COVID-19 terus meningkat, pemerintah tidak menganggap lockdown karena didorong oleh masalah ekonomi dan keamanan karena tidak terkunci secara tegas.

● Pemerintah tidak serius melacak kasus COVID-19, sehingga sulit mengambil keputusan terkait penyebaran virus COVID-19.

● Rendahnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi kebijakan pemerintah untuk menerapkan pola hidup sehat, masyarakat terkesan meremehkan virus COVID-19, kurangnya disiplin memakai masker dan menjaga jarak.

Berdasarkan beberapa alasan tersebut penulis berpendapat politik hukum Pemerintah Indonesia dalam penanganan virus corona COVID-19 tidak maksimal dalam melindungi hak kesehatan masyarakat Indonesia sebagaimana dalam Konstitusi Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2) serta (3) UUD NKRI Tahun 1945.

Terhadap vaksinasi Pemerintah telah memesan vaksin sebanyak 329,5 juta yang sebagian besar merupakan vaksin Sinovac.

Demi suksesnya program vaksinasi perlu dilakukannya sosialisasi yang masif tentang vaksinasi sebagai upaya yang paling aman dan efektif dalam mencegah pandemi COVID-19.

Vaksinasi massal juga harus di-support didukung oleh sumber daya yang kuat, peraturan yang jelas dan tidak tumpang tindih, serta koordinasi dan komunikasi yang baik antara Pemerintah pemerintah Pusat pusat dan Pemerintah Daerah daerah. Untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan vaksinasi vaksinasi, perlu diperlukan adanya pengawasan terhadap vaksinasi massal di seluruh daerah wilayah, terhadap termasuk penyediaan vaksin, kualitas

(8)

Jurnal Civicus, 22 (1), Juni 2022

vaksin, penggunaan anggaran, serta dan pengawasan pemantauan terhadap risiko kesehatan yang ditimbulkan timbul akibat dari pemberian vaksin vaksinasi.

SIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Pertama, hak atas kesehatan merupakan salah satu lampiran dari hak asasi manusia. Sebagai hak asasi manusia, hak atas kesehatan merupakan hak yang melekat pada diri manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, dan hak ini merupakan anugerah yang harus dihormati dan dilindungi oleh setiap bangsa.

Kedua, aturan politik yang dipilih oleh pemerintah Indonesia berupa PSBB dan physical distancing saat menghadapi COVID- 19 tidak memaksimalkan perlindungan hak atas kesehatan masyarakat Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H(1) dan 34 UU No.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal ini terlihat dari jumlah kasus COVID-19 di Indonesia yang kini mencapai 1 juta.

Dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia merupakan satu- satunya negara Asia Tenggara dengan jumlah kasus COVID-19 mencapai 1 juta.

Ketiga, penulis berharap proses vaksinasi ini berhasil dan kita berharap buat dapat hidup kembali normal sebelum wabah COVID-19 timbul. Demikian juga Jika terjadi wabah-wabah lain ke depannya. Pemerintah harus lebih siap menggunakan kebijakan yang lebih berorientasi pada hak asasi kesehatan yang artinya hak dasar yang wajib dilindungi dan dipenuhi sinkron menggunakan amanat konstitusi Undang- Undang Dasar 1945.

DAFTAR RUJUKAN

Indah Fitriani, Nur. “Tinjauan Pustaka COVID- 19: Virologi, Patogenesis, dan Manifestasi Klinis”, Jurnal Medika Malahayati, Vol. 4, Nomor 3, Juli 2020, h. 195-201.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona

Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, Perppu No. 1 Tahun 2020, LN No. 87 Tahun 2020, TLN No. 6485

Nasution, Dito Aditia Darma, Erlina Erlina, and Iskandar Muda. ‘Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Perekonomian Indonesia’. Jurnal Benefita 5, no. 2 (2020): 212

Kompas, Jokowi : Indonesia Telah Memesan 329,5 Juta Dosis Vaksin COVID-19 https://nasional.kompas.com/read/202 1/01/06/12204611/jokowi-indonesia- telah memesan-3295-juta-dosis- vaksin-COVID-19?page=all., diakses pada 25 april 2022

Einstein, Tigor, Muhammad Ishar Helmi, and Ahmad Ramzy. ‘Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Perspektif Ilmu Perundang-Undangan’. SALAM:

Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 7, no.

7 (2020): 595–612.

Wadi, Raines. ‘Konstitusionalitas Pemerintah Daerah Dalam Menetapkan Kebijakan Lockdown Pada Penanganan COVID- 19’. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 7, no. 5 (2020).

Referensi

Dokumen terkait

Uji normalitas ini berguna untuk menentukan analisis data yang digunakan, yaitu menganalisis data nilai siswa pada kelas eksperimen yang pembelajarannya dengan menggunakan

Bank Kustodian akan menyampaikan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang menyatakan jumlah Unit Penyertaan yang dibeli dan dimiliki serta Nilai Aktiva Bersih setiap

Dengan ini diberitahukan kepada jemaat GKI Gunung Sahari, bahwa pada hari Minggu, 3 Juni 2012 dalam kebaktian ke-III (pk.10:00) akan dilayankan Baptis Dewasa

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran dan hubungan faktor resiko ASI eksklusif, status imunisasi, usia pada anak, jenis kelamin pada anak, kebiasaan mencuci tangan pada

Dalam tesis ini metode yang digunakan untuk mempelajari sistem hidrotermal tersebut adalah dengan mengunakan metode self-potential, suhu permukaan, 2D DC resistivity, emisi gas

そんけいご adalah kata yang digunakan untuk menghormati lawan bicara atau orang yang dibicarakan yang berkaitan dengan kegiatan atau keadaan lawan bicara dan orang dibicarakan..

Namun dalam hal tertentu masih diberikan peluang bahwa Pengusaha Instalasi ini tidak harus pimpinan tertinggi di dalam suatu instansi tetapi dapat diberikan mandat kepada orang

Dalam upaya pencegahan penyebaran wabah dan dampak Covid-19 di Satuan Polisi Pamong Praja maka diperlukan Penetapan Protokol Kesehatan Dalam Rangka Pencegahan dan