• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Potensi Jagung sebagai Pakan Ternak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Potensi Jagung sebagai Pakan Ternak"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Jagung sebagai Pakan Ternak

Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman palawija di Indonesia yang kegunaannya luas terutama untuk kebutuhan bahan baku pakan ternak dan konsumsi manusia. Jagung merupakan sumber energi dengan kandungan karbohidrat/pati sebesar 75%. Pati terdiri atas dua polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Fungsi karbohidrat/pati dalam ransum unggas adalah pemberi rasa manis, penghemat protein, mengatur metabolisme lemak dan mengatur mengeluarkan feses. Jagung dapat tumbuh pada selang pH 5–8, lebih tahan pada kondisi pH netral, kondisi nitrogen yang seimbang dengan fosfor dan kalium.

Komposisi nutrien jagung tergantung varietas, cara penanaman dan iklim serta tingkat kematangan (Phang 2001).

Taksonomi sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Sub–divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Tripsaceae

Famili : Graminae Sub–famili : Panicoidea Genus : Zea

Spesies : Zea mays

Gambar 1 Persentase bahan kering jagung (Perry et al. 2003)

(2)

Ada beberapa jenis jagung yang dikenal di Indonesia yaitu: jagung kuning, jagung merah dan jagung putih. Jagung yang biasa digunakan adalah jagung kuning karena mengandung provitamin A yang memberikan warna kuning pada kulit dan kuning telur. Biji jagung disebut kariopsis, dinding ovari menyatu dengan kulit biji atau testa, membentuk dinding buah. Biji jagung terdiri atas bagian utama, yaitu: 1) pericarp (kulit luar) memiliki 3.5% dari bobot biji, berupa lapisan luar yang tipis, berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air dan sebagai lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama pembentukkan biji, 2) endosperm, sebagai cadangan makanan dan merupakan bagian terbesar dari biji jagung yaitu sekitar 85% dari bobot biji, hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dan 3) lembaga merupakan bagian yang cukup besar, meliputi 11.5% dari bobot biji. Lembaga terdiri atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio, 4) tip cap (pangkal biji) adalah bagian yang mengandung biji dengan janggel. Pati umumnya sebagian besar terdapat pada endosperm sebesar 86.45%, sedangkan lemak, protein dan gula terdapat pada bagian lembaganya. Pati merupakan komponen terbesar dalam biji jagung yang terdiri atas amilosa 27% dan amilopektin 73%. Sruktur biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Sruktur biji jagung (Hardman dan Gunsolus 1998; Syarief dan Halid 1999)

Sofyan et al. (2000) menyatakan bahwa jagung merupakan butiran yang mempunyai total nutrien tercerna (TDN) dan net energi (NE) yang tinggi. Total

(3)

nutrien tercerna pada jagung sangat tinggi (81.9%) dan mengandung: 1) bahan ekstrat tanpa nitrogen (BETN) yang hampir semuanya pati, 2) mengandung lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua butiran dan 3) serat kasar rendah, oleh karena itu sangat mudah dicerna. Butiran yang ada hanya jagung kuning yang mengandung xantofil. Kandungan βcaroten jagung akan menurun dan hilang selama penyimpanan, selain itu jagung tidak mempunyai anti nutrien. Jagung dipanen dalam keadaan matang mengandung kadar air 22–25% dan dikeringkan secara buatan mencapai 15–16% untuk disimpan dan dijual (Stanley 2003).

Komposisi kimia jagung kuning berdasarkan bahan kering dan persyaratan mutu jagung untuk pakan unggas dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Komposisi kimia jagung kuning berdasarkan bahan kering (BK) Zat Makanan Komposisi (%)

Protein kasar 8.4

Lemak kasar 3.6

Serat kasar 2.2

Karbohidrat 75.0 Abu 1.0 Air 10.0

Sumber: Suharyono et al. (2005)

Tabel 2 Persyaratan mutu jagung untuk pakan unggas

Kriteria Standar

Kadar air (%), maks 14.0

Protein kasar (%), min 7.5

Serat kasar (%), maks 3.0

Abu (%), maks 2.0

Lemak (%), maks 3.0

Kandungan aflatoksin (ppb), maks 50.0

Warna lain (%), maks 5.0

Kotoran (%), maks 2.0

Butiran pecah (%), min 5.0

Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI 1998)

Indonesia dan Negara–negara penghasil jagung lainnya memiliki permasalahan dalam pengolahan pascapenen. Hal ini karena jagung mudah terkontaminasi oleh cendawan, khususnya Aspergillus flavus dan A. parasiticus, yang dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin. Metabolit primer

(4)

adalah metabolit yang dihasilkan oleh cendawa untuk pembentukkan biomasa dan membangkitkan energi untuk keperluan metabolisme. Senyawa aflatoksin dapat menimbulkan gangguan baik pada hewan maupun manusia karena bersifat karsinogenik (Kennedy 2003).

A. Aspergillus flavus B. Aspergillus parasiticus

Gambar 3 Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus

2.2 Kadar Air dan Aktivitas Air (Aw)

Kadar air bahan merupakan pengukuran jumlah air total yang terkandung dalam bahan pangan, tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air.

Kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah atau berat kering. Kadar air yang sama tidak selalu memberikan aktivitas air yang sama pada berbagai macam bahan (Syarief dan Halid 1999). Kandungan air dalam bahan pakan mempengaruhi daya tahan bahan pakan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan Aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno 1992). Batas aktivitas air minimum untuk pertumbuhan dan perkecambahan spora seperti kapang yaitu 0.80 (Tambunan et al. 2001; Syarief et al. 2003). Aktivitas air dinyatakan 0–0.100 yang sebanding dengan kelembaban 0–100%. Makin kecil angka aktivitas air yang dimiliki oleh komoditas pertanian, maka semakin kecil pula air yang tersedia dan makin sulit pula suatu jasad renik untuk tumbuh dan berkembang (Ayu 2003).

Kurva isoterm sorpsi air dapat dilihat pada Gambar 4.

(5)

Gambar 4 Kurva isoterm sorpsi air

Hubungan antara Aw, dengan kadar air per gram suatu bahan makanan bahan pangan dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan kelembaban relative ruang penyimpanan. Bentuk kurva isoterm sorpsi dibagi menjadi tiga daerah yaitu A, B dan C seperti yang tertera pada Gambar 4, yang merupakan pertanda mekanisme pengikatan air yang berbeda pada tempat–tempat terpisah pada matriks padatan (Tambunan et al. 2001).

Daerah A menunjukkan air terikat kuat sehingga tidak dapat digunakan untuk reaksi. Daerah tersebut memiliki adsorpsi lapis tunggal uap air (monolayer) dengan kisaran nilai Aw 0–20dan air yang terkandung adalah air yang terikat pada permukaan yang sangat stabil dan tidak dapat dibekukan pada suhu berapapun.

Daerah B menunjukkan air terikat lebih longgar dalam kapiler yang lebih kecil dan terjadinya pertambahan lapisan–lapisan di atas satu molekul air (multilayer) dengan kisaran Aw 0.20–0.70 dan pada daerah ini kondisi air tidak terikat erat dengan komponen bahan atau produk. Air pada daerah ini digunakan untuk berbagai reaksi kimia dan mikrobiologi. Daerah C menunjukkan kondensasi air pada pori–pori bahan mulai terjadi, kisaran Aw lebih dari 0.70 dan air bersifat sebagai pelarut (Winarno 1992; Tambunan et al. 2001).

(6)

2.3 Pengeringan Bahan Pakan

Pengeringan merupakan langkah penting untuk melindungi biji–bijian dari serangan mikroorganisme seperti kapang, jamur dan bakteri. Kadar air hasil fermentasi sangat tinggi sehingga memungkinkan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme. Syarief et al. (2003) menyatakan bahwa penyimpanan dengan kadar air yang tinggi akan menunjang pertumbuhan kapang, khususnya Aspergillus flavus dan A. parasiticus, yang akan menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin yang dapat mempercepat proses kerusakan bahan pakan.

Pengeringan hasil pertanian dan hasil fermentasi bertujuan untuk penguapan sebagian air dari bahan sampai kadar air yang aman untuk disimpan. Keuntungan melakukan pengeringan adalah meningkatkan daya simpan, mempertahankan viabilitas bahan, menambah nilai ekonominya, memudahkan pengolahan lebih lanjut dan memudahkan (Thahir et al. 1988). Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran di sinar matahari atau menggunakan alat pengering. Pengeringan bahan yang menggunakan sinar matahari mempunyai berbagai masalah diantaranya sangat tergantung pada cuaca, sehingga kesinambungan pengeringan tidak dapat dikembalikan. Demikian juga suhu, kelembaban udara dan kecepatan alir udara tidak dapat diatur. Suhu yang biasa dipergunakan oleh petani antara 27–

30 dengan kelembaban 70% dan pengeringannya sampai 1–2 hari. Pengeringan bahan dengan alat pengering dapat menghasilkan produk dengan mutu yang relatif lebih baik karena kondisi pengeringan dapat terjaga dan teratur.

2.4 Penyimpanan Bahan Pakan

Penyimpanan adalah salah satu bentuk tindakan pengamanan yang selalu berkaitan dengan waktu. Hasil pertanian terutama bebijian yang disimpan masih mengalami proses respirasi karena bahan tersebut masih hidup. Tujuan penyimpanan adalah untuk menjaga dan mempertahankan mutu komoditi yang disimpan dengan jalan menghindari, mengurangi atau menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas mutu komoditi tersebut.

Faktor–faktor yang berpengaruh pada penyimpanan biji–bijian yaitu: tipe dari

(7)

biji–bijian, periode penyimpanan, metode penyimpanan, suhu lingkungan, kadar air bahan, proteksi fisik dan kelembaban relatif (Williams 1991).

Ekosistem Penyimpanan a. Faktor Abiotik dan Biotik

Faktor bahan hasil pertanian dan faktor lingkungan yang dapat menyebabkan serangan: abiotik (faktor lingkungan itu sendiri) dan biotik (faktor biologi). Bebijian yang disimpan adalah makhluk hidup yang memiliki sifat alamiah seperti melakukan pernapasan, oksidasi pada keadaan aerobik, kegiatan fermentasi pada anaerobik dan perkecambahan pada keadaan lembab (Gambar 5).

Gambar 5 Ekosistem bebijian dalam penyimpanan (Syarief dan Halid 1999)

b. Perpindahan panas dan migrasi air

Sumber panas terdiri dari sumber internal dan sumber eksternal. Sumber panas internal disebabkan oleh adanya aktivitas serangga, jasad renik atau metabolisme bebijian itu sendiri (pernapasan). Dari proses respirasi bebijian dihasilkan 26 100 kJ untuk tiap kg bebijian. Panas akibat respirasi ini besarnya hampir sebelas kali panas yang diperlukan oleh 1 kg air untuk mengubah menjadi uap. Sumber panas eksternal berasal dari perubahan suhu

(8)

udara luar, biasanya karena adanya perbedaan suhu siang–malam, perubahan cuaca (iklim). Pindah panas yang terjadi pada penyimpanan bebijian diikuti oleh pergerakan air yang terbawa oleh pergerakan intergranulasi secara konveksi. Pada mulanya, kerusakan terjadi secara lokal, kemudian sedikit demi sedikit merambat ke bagian–bagian lainnya. Pindah panas terjadi secara konduksi, walaupun konduktivitas termik dari bebijian sangat rendah.

Suhu dan kelembaban relatif tidak hanya berpengaruh terhadap laju perubahan kimia, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan serangga dan kapang. Serangga mengambil dan memakan zat makanan dari biji–bijian atau bahan baku lain yang menyebabkan rusaknya lapisan pelindung bahan. Selain menyebabkan kerusakan secara fisik, karena sifatnya yang suka bermigrasi, serangga dapat memindahkan spora jamur perusak bahan pakan dan membuka jalan bagi kontaminasi jamur atau kapang yang menghasilkan mikotoksin. Imdad dan Nahwangsih (1995) mengatakan bahwa fruktuasi suhu dan kelembaban lingkungan penyimpanan secara alamiah akan menyebabkan terjadinya pergerakan (perpindahan) uap air dari bahan sehingga akan mendorong terjadinya kerusakan kualitatif (secara fisik) pada bahan yang disimpan. Hal yang tidak menguntungkan dalam penyimpanan adalah hilangnya nutrient atau zat–zat tertentu yang dibutuhkan baik oleh ternak maupun manusia selama proses penyimpanan.

Suhu optimum dan waktu memproduksi aflatoksin oleh Aspergillus flavus adalah 250C dalam waktu 7–9 hari, suhu 300C dalam waktu 5–7 hari dan pada suhu 200C dibutuhkan waktu 11–13 hari. Aspergillus parasiticus memproduksi aflatoksin Sebagian besar total aflatoksin diproduksi pada suhu 250C sampai 300C selama masa inkubasi 7–15 hari. Umumnya petani melakukan penyimpanan dengan menggunakan sistem penyimpanan tradisional dengan suhu berkisar 27–

30oC dan kelembaban relatif sekitar 70%. Imdad dan Nawangsih (1999); Syarief dan Halid (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan kapang terjadi pada suhu 26–

35oC dan kelembaban relative 70–90%.

Berdasarkan waktu penyimpanan, dikenal penyimpanan jangka panjang (lebih dari dua tahun), jangka menengah, jangka pendek, penyimpanan transit dan

(9)

penyimpanan konsumtif (beberapa jam atau hari). Lama penyimpanan dalam gudang menurut (Sahwa 1999) sebaiknya tidak melebihi waktu tiga bulan.

Penyimpanan pakan termaksud kategori penyimpanan jangka panjang, karena memakai waktu selama beberapa minggu bahkan sampai beberapa bulan. Ruang penyimpanan yang baik adalah kering, bersih, tertutup dan terdapat cukup pergantian udara segar (Damayanti dan Mudjajanto 1995).

2.5 Silase

Silase adalah pakan produk fermentasi yang diawetkan dengan menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun secara alami dihasilkan selama penyimpanan dalam kondisi an aerob. Pada kondisi an aerob tercapai pada bahan yang diawetkan beberapa proses mulai berlangsung yaitu respirasi (menghasilkan karbondioksida, air dan energi) dan proteolisis (menghasilkan asam amino, peptida dan N–NH3) (McDonald et al. 1991).

Menurut Coblentz (2003) ada tiga hal penting agar diperoleh kondisi tersebut yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan. Schroeder (2004); Kung dan Shaver (2001) menyatakan bahwa hasil fermentasi yang berkualitas tercapai apabila produksi asam didominasi oleh asam laktat, pH lebih cepat turun, sehingga lebih banyak nutrient yang dapat dipertahankan.

Proses kimia atau fermentasi yang terjadi selama penyimpanan silase disebut ensilase, sedangkan tempatnya disebut silo (Bolsen et al. 2000). pH merupakan indikator utama untuk mengetahui pengaruh ensilase terhadap nilai nutrient silase, pH yang rendah menunjukkan kualitas lebih baik. Kandungan nutrient silase sangat bergantung pada spesies hijauan, umur tanaman dan aktifitas enzim bakteri dalam pemrosesan fermentasi. Jones et al. (2004) menyatakan bahwa kandungan bahan kering bahan, kondisi an aerob, kandungan gula dan produksi asam laktat merupakan faktor utama yang mempengaruhi kualitas hasil fermentasi.

(10)

Ada 2 cara pembuatan silase yaitu secara kimiawi dan biologis. Cara kimia dilakukan dengan menambahkan asam sebagai pengawet seperti asam format, asam propionat, asam klorida dan asam sulfat. Penambahan tersebut dibutuhkan supaya pH silase dapat turun dengan segera (sekitar 4.2), sehingga keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia (Collentz 2003; McDonald et al. 1991). Sedangkan cara biologis dengan memfermentasi bahan sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase. Asam yang terbentuk selama proses tersebut antara lain: asam laktat, asam asetat dan asam butirat serta beberapa senyawa lain seperti etanol, karbondioksida, gas metan, karbon monoksida nitrit (NO) dan panas. Dalam proses fermentasi, bakteri asam laktat menguraikan karbohidrat menjadi asam organik, protein terurai menjadi amonia asam amino. Peningkatan keasaman mengakibatkan bakteri an aerob yaitu bakteri asam laktat berkembangbiak dengan baik, sedangkan bakteri lain menjadi tertekan kehidupannya dan selesailah proses fermentasi maka silase terbentuk (Bolsen et al. 2000).

Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki dan dapat mendorong berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan Bolsen 1993). Selain menghasilkan asam laktat, bakteri ini juga mampu menghasilkan berbagai substansi antimikroba yang potensial seperti asam organik (asam laktat, asam asetat dan asam format), hidrogen peroksida dan bakteriosin (Schved et al. 1992).

Substansi ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan pembusukan selama proses ensilase. Aspek penting yang mempengaruhi kualitas silase adalah kandungan asam organik yang terdapat di dalamnya. Umumnya yang dijadikan tolak ukur kualitas silase adalah jumlah asam laktat, propionat dan asetat yang dikandungnya (McDonald et al. 2002). Silase yang berkualitas baik mengandung 1.5–2.5% asam laktat, 0.5–0.8% asam asetat dan asam butirat kurang dari 0.1% (Moran 1996).

Kualitas silase juga dapat diketahui dari kandungan N–NH3 dan keadaan pH yang terjadi selama proses ensilase. Kadar N–NH3 merupakan indikator besarnya protein yang terdegradasi selama proses fermentasi yang ekspresikan sebagai

(11)

persentasi total N, semakin rendah nilai N–NH3 maka kualitas silase semakin baik Kualitas silase berdasarkan kandungan N–NH3 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kualitas silase berdasarkan kandungan N–NH3

Kandungan N–NH3 silase Kualitas silase

< 5% Sangat baik

5 – 10% Baik

10 – 15% Sedang

.>15% Jelek Sumber: Moran (1996)

Semakin rendah pH menunjukkan semakin tingginya tingkat keasaman silase. Secara normal peningkatan pH terjadi akibat peningkatan bahan kering silase. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas dari bakteri penghasil asam dipengaruhi oleh ketersediaan air di dalam silase (Moran 1996; Kung dan Stokes 2001). Menurut McDonald et al (1991) bahwa sebanyak 60 jenis Clostridium dan 7 spesies merupakan mikroorganisme yang sering terlibat dalam proses fermentasi silase. Lebih lanjut dijelaskan bahwa clostridia bersifat saccarolitik seperti Clostridium butiricum yang mampu memfermentasikan asam organik dan gula serta sedikit mempunyai kemampuan untuk memfermentasi protein dan asam amino, selain itu juga bersifat proteolitik seperti Clostridium sporogenes yang mana mampu memfermentasikan asam amino (asam glutamate, lisin, arginin, histidin, alanin dan glisin). Sehingga dengan demikian kehadiran bakteri tersebut tidak diinginkan ada dalam proses ensilase. Davies (2007) menyatakan bahwa persentase kehilangan bahan kering pada hasil fermentasi yang dikelola dengan baik berkisar antara 5–27%.

Silase yang diawetkan dalam keadaan segar memiliki kandungan air 60–

70%. Temperatur yang baik untuk pembuatan silase berkisar antara 27–35oC.

Lebih lanjut dijelaskan faktor lainnya yang mempengaruhi kualitas silase yaitu: 1) karakteristik bahan (kandungan bahan kering, kapasitas penyangga, struktur fisik dan variatas), 2) tatalaksana pembuatan silase yaitu: ukuran partikel, kepadatan pengepakan dan penyegelan silo dan 3) keadaan iklim: suhu dan kelembaban (McDonald et al. 2002; Sapienza dan Bolsen 1993) (Gambar 6).

(12)

Gambar 6 Beberapa faktor yang mempengaruhi proses ensilase dan kualitas silase (Woolford 1984)

Semua bakteri asam laktat dapat tahan dalam suasana asam walaupun kepekaannya berbeda–beda. Secara umum bakteri ini tumbuh pada pH 4.0–6.8.

Bahkan Lactobacillus dan Pediacoccus tumbuh pada pH 3.5 (Bolsen et al. 2000).

Berbagai spesies bakteri asam laktat mempunyai peranan penting dalam pengawetan baik secara tradisional maupun modern. Peranan bakteri ini dalam fermentasi asam laktat ini adalah dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain yang tidak dikehendaki yang dapat menurunkan kualitas fisik dan kimia hasil fermentasi. Sifat yang terpenting dalam pembuatan produk–produk fermentasi dari bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat, sehingga dapat menurunkan pH, menghambat aktivitas proteolitik, lipolitik dan pathogen lainnya. Enam phase fermentasi silase selama ensilase dapat dilihat pada Tabel 4.

BIOLOGI

EKOLOGI MANAGEMEN PENGETAHUAN

GENOTIF

TEKNOLOGI

MIKROFLORA EPIPITIK

PENGEMBANGAN KECOCOKAN

KONDISI PENYIMPANAN KARAKTERISTIK

TANAMAN

Substrat Iklim Tanah

Pelayuan Aditif Perlakuan

Mekanik Cuaca

Oksigen Temperatur

Perlakuan Mekanik Pemadatan Konstruksi

Silo Penutupan KandunganWSC

Kapasitas Buffer BahanKering StrukturTanaman

Umur Tanaman Cuaca Waktu Panen

NILAI NUTRISI

PROSES ENSILASE

Kebutuhan Reaksi

Kompetisi antara mikroorganismei

KEHILANGAN NUTRISI

(13)

Tabel 4 Enam phase fermentasi silase selama ensilase Phase I Phase II Phase

III

Phase IV

Phase V Phase VI Umur Silase

(hari)

0–2 2–3 3–4 4–21 21 Aktivitas Respirasi

sel, produksi CO2,

panas dan air

Produksi asam asetat dan asam laktat etanol

Produksi asam laktat

Formasi asam laktat

Penyimpan bahan

Dekomposisi/

perombakan aerobik pada pengekposan kembali terhadap udara Perubahan

Suhu (o)

69–90 F 90–84 F 84 F 84 F 84 F 84 F Perubahan

pH

6.5–6.0 6.0–5.0 5.0–4.0 4,0 4.0 4.0–7.0

Produsen Bakteri

asam asetat dan bakteri asam esetat

Bakteri asam laktat

Bakteri asam laktat

Aktivitas kapang dan khamir

2.5.1 Proses Fermentasi

Proses fermentasi silase secara garis besar dibagi menjadi 4 fase yaitu 1) fase aerob, 2) fase fermentasi, 3) fase stabil dan 4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Fase aerob atau fase respirasi yang terjadi di awal ensilase melibatkan tiga proses penting yaitu: glikolisis, siklus krebs dan rantai respirasi.

Glikolisis menghasilkan 2 ATP, siklus krebs menghasilkan 2 ATP, sedangkan rantai respirasi menghasilkan 34 ATP. Suatu sel yang melakukan respirasi akan menghasilkan energi dua puluh kali lebih banyak dari pada sel yang mengalami fermentasi. Proses respirasi ini membakar karbohidrat dan memproduksi panas, sehingga waktu yang digunakan untuk fase ini harus diminimalkan.

Pada fase fermentasi (respirasi an aerob) menghasilkan 2 ATP tiap satu molekul glukosa. Fase ini terjadi saat keadaan anaerob dicapai dan mikroorganisme an aerob mulai berkembang. Bakteri asam laktat merupakan bakteri yang memegang peranan penting pada ensilase. Mikroorganisme yang lain seperti Enterobacteriacea, Clostridia, ragi dan kapang memiliki pengaruh yang

(14)

negatif pada kualitas silase. Mikroorganisme ini berkompetisi dengan bakteri asam laktat untuk menfermentasi karbohidrat dan memproduksi senyawa yang mengganggu proses pengawetan pakan (Bolsen et al. 2000). Sementara itu menurut Schroeder (2004) fase fermentasi diawali dengan pertumbuhan bakteri yang menghasilkan asam asetat. Bakteri ini menfermentasi karbohidrat terlarut dan memproduksi asam asetat sebagai hasil akhirnya. Produksi asam asetat akan menurunkan pH, hingga pertumbuhannya akan terhambat bila pH di bawah 5.

Penurunan pH terus berlangsung seiring dengan meningkatnya jumlah kelompok bakteri penghasil asam laktat. Bakteri ini akan terus berkembang sampai mencapai pH sekitar 4. Fase ini adalah fase terpanjang pada proses ensilase dan akan terus berlangsung sampai dicapai pH yang cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme, selanjutnya bahan pakan akan tahan disimpan dan tidak akan terjadi proses kerusakan sepanjang silase tetap terpelihara dalam kondisi an aerob.

Masa aktif pertumbuhan bakteri asam laktat berakhir karena berkurangnya WSC, maka ensilase memasuki fase stabil. Bakteri asam laktat memfermentasi gula yang dirombak dari hemiselulosa, sehingga menyebabkan lambatnya penurunan pH. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kekuatan silo dalam mempertahankan suasana an aerob (Bolsen et al. 2000). Pada fase stabil proses pertumbuhan dan kematian bakteri asam laktat seimbang. Hal ini disebabkan pada kondisi ini hanya beberapa mikroorganisme saja yang mampu bertahan, sehingga tidak terjadi lagi peningkatan produksi asam. Di samping itu sejumlah bakteri Clostridia dimungkinkan tumbuh, jika terjadi kebocoran dan akan menaikkan pH (Schroeder 2004).

Fase pengeluaran dilakukan setelah silase melewati masa simpan yang cukup. Menurut Schroeder (2004) hampir 50% bahan kering dirusak oleh mikroba aerob yang menyebabkan kebusukan, terjadi pada fase ini. Oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase, kehilangan bahan kering terjadi karena mikroorganisme aerob akan mengkonsumsi gula, hasil akhir fermentasi dan nutrient terlarut lainnya dalam silase (Sapienza dan Bolsen 1993). Sementara itu Bolsen et al. (2000) menyatakan bahwa silase setiap hari akan mengalami kehilangan bahan organik sekitar 1.5–3.0%. Pada fase ini terjadi pula peningkatan

(15)

pH dengan kisaran peningkatan 4.0–7.0 dengan konsentrasi pertumbuhan kapang yang cukup tinggi. Pengawetan silase yang baik ditandai dengan lebih 60% dari total asam organik yang dihasilkan selama ensilase adalah asam laktat.

Berdasarkan kemampuannya dalam proses fermentasi, bakteri homofermentatif menghasilkan dua molekul asam laktat, sedangkan bakteri heterofermentatif menghasilkan satu molekul asam laktat.

Glukosa 2 asam laktat

2 fruktosa + glukosa asam laktat + asam asetat + CO2 + 2 manitol

2.5.2 Bahan Aditif

Pengawetan merupakan suatu usaha untuk menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan, mempertahankan mutu, menghindari terjadinya kerusakan, memudahkan penanganan dan penyimpanan. Daya kerja bahan pengawet umumnya dengan cara: mengganggu cairan nutrient dalam sel mikroba atau dengan merusak sel membran, mengganggu aktivitas enzim–enzim yang ada dalam sel mikroba, mengganggu system genetika dari mikroba. Mekanisme kerja bahan pengawet yang terdiri dari asam–asam organik, berdasarkan permeabilitas dari membran sel mikroba terhadap molekul–molekul asam yang tidak terdisosiasi (undissosiated acid).

Fungsi penambahan bahan aditif:

- Menambah bahan kering untuk mengurangi kadar air - Menambah air untuk meningkatkan kadar air

- Mengubah kecepatan, jumlah dan jenis asam yang diproduksi - Mengasamkan silase

- Menghambat pertumbuhan bakteri dan khamir

- Kultur silase (inokulan/starter bakteri) untuk menstimulasi produksi asam - Meningkatkan kandungan nutrient silase

Penambahan zat aditif pada silase bertujuan untuk mendapatkan fermentasi yang berkualitas, mengurangi fermentasi yang tidak diinginkan dan meningkatkan nilai nutrient silase (Jones et al. 2004; Schroeder 2004). Bahan aditif tersebut

(16)

adalah: molases dan asam propionat. Jumlah penggunaan bahan pengawet dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah bahan aditif yang digunakan

Bahan Pengawet Jumlah Penggunaan (optimum) (%) Tetes atau molases 3 dari bagian silase

Dedak padi 5 dari bagian silase Onggok 5 dari bagian silase Menir 4 dari bagian silase Jagung 4 dari bagian silase

Sumber: Ridla dan Hasjmy (1998)

McDonald et al. (2002); Woolford (1984); mengemukakan bahwa bahan yang kaya karbohidrat seperti molases, gula dan pati yang berasal dari biji–bijian merupakan sejumlah bahan yang berfungsi sebagai stimulan pada proses fermentasi, sumber energi untuk merangsang perkembangan bakteri asam laktat yang mempercepat penurunan pH dan mengurangi tingkat ammonia.

Berdasarkan fungsinya bahan aditif pada silase dapat digolongkan menjadi lima golongan yaitu asam, bahan penghambat fermentasi, bahan pendorong fermentasi, kelompok anti mikrobial spesifik dan bahan nutrien (Wooldford 1984). Beberapa aditif dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis–jenis aditif silase

Perangsang Penghambat

Langsung Tidak langsung Asam Lainnya

Kultur bakteri Glukosa Asam mineral Paraformaldehida Bakteri asam laktat Sukrosa Asam format Sodium nitrat

Molases Asam asetat Amonium bisulfat Serealia Asam sulfat Antibiotik Kentang Asam sitrat Formaldehida Sumber: McDonald et al. (1991)

Molases atau yang lebih dikenal dengan tetes adalah hasil samping dari proses pembuatan gula tebu. Meningkatnya produksi gula tebu Indonesia sekitar sepuluh tahun terakhir ini akan meningkatkan produksi molases. Molases merupakan media fermentasi yang baik, karena masih mengandung kadar gula.

Industri fermentasi yang banyak memanfaatkan molases seperti alkohol, bir, asam

(17)

amino, sodium glutamat hingga saat ini masih menghasilkan limbah cair yang sulit didegradasi secara aerobik konvensional. Komposisi nutrien molases: total gula 55.37%, sukrosa 30.62%, protein 3.89%, kadar air 20.33%, abu 13.09%.

Molases digunakan karena banyak mengandung karbohidrat 48–60% sehingga menjadi sumber energi, asam amino (aspertat, glutamat, lisin dan alanin) dan mineral (Mosafie et al. 1989). McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan molases pada proses ensilase berpengaruh besar terhadap produksi asam laktat, karena molases merupakan sumber energi yang mudah difermentasi, keberadaan molases pada proses ensilase bersifat mempercepat perkembangan bakteri asam laktat, sehingga asam laktat terbentuk secara cepat yang mengakibatkan turunnya pH media ensilase. Sifat dan komposisi tetes dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: keadaan tebu, lahan, musim, pemupukan, proses pengolahan gula dan sebagainya.

Asam propionat adalah cairan tidak berwarna, berminyak, larut dalam air, berbau merangsang, efektif terhadap kapang dan sedikit menghambat bakteri dan khamir, efektivitasnya optimal pada pH 5–6 dan menurun peningkatan pH (Desrosier 1988). Asam propionat dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk pakan ternak dan makanan untuk konsumsi manusia. Dalam industri, asam adalah propionic utama yang dihasilkan oleh hydrocarboxylation dari ethylene menggunakan nikel carbonyl sebagai katalisator. Struktur asam propionat yaitu:

Fuskhah (1999) menyarankan pemakaian asam propionat untuk pengawetan jagung yang berkadar air tinggi adalah sebesar 1.0–1.5% dari bahan yang dipergunakan. Asam propionat atau campuran antara asam propionat dan asam asetat dapat menghambat respirasi biji dan aktivitas mikroorganisme pada beberapa tipe butiran berkadar air tinggi (Stevenson 1982). Asam propionat yang disemprotkan pada butiran berkadar air tinggi, maka asam tersebut membunuh embrio benih dan mensterilkan benih sehingga tidak terjadi panas dan keburukan–

(18)

keburukan pada butiran dan butiran yang berkadar air tinggi dapat disimpan dengan cara yang sama dengan butiran–butiran kering. Levital et al. (2009) menyatakan bahwa asam propionat tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah bakteri asam laktat dalam silase jagung pipilan. Adanya peningkatan bakteri asam laktat pada awal penyimpanan karena masih banyaknya substrat yang akan dikonsumsi bakteri dan begitupula terjadinya penurunan jumlah bakteri asam laktat pada hari–hari berikutnya karena semakin terbatasnya substrat bahan organik yang dapat dicerna oleh bakteri tersebut.

2.5.3 Kualitas Fermentasi dan Nutrisi Silase

Pengamatan fisik produk silase seperti warna, bau dan penampakan yang lainnya hanya menggambarkan nilai nutrien secara umum, untuk mendapatkan hasil yang akurat perlu dilakukan analisa kimia dan mikrobial silase (Macaulay 2004). Pengukuran bahan kering, pH, kandungan protein, amonia, asam organik serta jumlah mikrobial merupakan parameter yang umum dijadikan untuk menggambarkan kualitas silase (Macaulay 2004; Saung dan Heinrichs 2008).

Silase pada kadar air tinggi dari normal (>80%) dapat menyebabkan panjangnya proses fermentasi, banyaknya protein yang dirombak dan kehilangan energi, sementara proses fermentasi dengan kadar air lebih rendah dari normal (<60%) mengakibatkan ketidakstabilan pada silase, tumbuhnya yeast, jamur dan Bacillus serta tingginya kerusakan struktur protein (Seglar 2003). Warna silase dapat mengidikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi.

Penentuan kualitas suatu fermentasi juga dapat ditentukan melalui bau. Pada fermentasi asam laktat tidak mengeluarkan bau, sementara fermentasi asam propionat menimbulkan bau wangi yang menyengat (Saung dan Heinrichs 2008).

Kandungan bahan kering pada awal ensilase merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas fermentasi. Sementara Kung dan Stokes (2001) menyatakan bahwa pH adalah salah satu faktor penentu keberhasilan fermentasi.

Lebih lanjut dijelaskan Macaulay (2004) kualitas silase dapat digolongkan menjadi 4 kriteria berdasarkan pH yaitu: baik sekali dengan pH 3.2–4.2, baik pH 4.2–4.5, sedang pH 4.5–4.8 dan buruk pH >4.8. Kandungan amonia yang tinggi mencerminkan fermentasi yang jelek karena banyak protein yang dirombak

(19)

selama ensilase. Karakteristik produk silase hijauan dengan kualitas yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik produk silase hijauan dengan kualitas yang berbeda

Kakrakteristik

Kualitas silase

Baik Sedang Jelek Warna Tergantung materi

silase

Hijau kekuningan sampai hijau kecoklatan

Hijau tua, hijau kebiruan, abu–abu, atau coklat

Bau Asam Agak tengik dan

bau amonia

Sangat tengik, bau amonia dan busuk Tekstur Kokoh, dan lebih

lembut dan sulit dipisahkan dari serat

Bahan lebih lembut dan mudah

dipisahkan dari serat

Berlendir, jaringan lunak, mudah hancur, berjamur atau kering pH

• Kadar air < 65%

• Kadar air > 65%

< 4.8

< 4.2

< 5.2

< 4.5

> 5.2

> 4.8 Asam laktat 3─14% BK Bervariasi Bervariasi Asam butirat < 0.2% BK 0.2─0.5% BK > 0.5% BK N Amonia

(% total N)

< 5 10─16 > 16

ADIN (% total N)

< 15 15─30 > 30

Sumber: Macaulay (2004)

Gambar

Gambar  2   Sruktur biji jagung (Hardman dan Gunsolus 1998; Syarief dan Halid          1999)
Gambar 4  Kurva isoterm sorpsi air
Gambar  5  Ekosistem bebijian dalam penyimpanan (Syarief dan Halid 1999)
Tabel 3 Kualitas silase berdasarkan kandungan N–NH 3
+5

Referensi

Dokumen terkait