• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sertifikat Pembicara dan Slide Presentasi Seminar Bagian Hukum Acara 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Sertifikat Pembicara dan Slide Presentasi Seminar Bagian Hukum Acara 2019"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Sertifikat Pembicara dan Slide Presentasi Seminar Bagian Hukum Acara 2019

(2)

SEMINAR BAGIAN HUKUM ACARA

PROBLEMATIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA PASCA UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Oleh :

I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH Kadek Agus Sudiarawan, SH.,MH

Fakultas Hukum Universitas Udayana

TAHUN 2019

(3)

Latar Belakang

 Sistem Hukum Acara pada Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di PTUN sebelumnya didasarkan pada ketentuan UU No 5 Tahun 1986 jo UU UU No.9 Tahun 2009 jo dengan UU No.51 Tahun 2009 sebagai hukum formil yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)

Lahirnya UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan  kemudian menghadirkan beberapa perubahan kompetensi mendasar (kewenangan mengadili) pada prosedur penyelesaian perkara pada Peradilan Tata Usaha Negara yang sebelumnya di atur dalam UU PTUN

 Berbagai perluasan kompetensi PTUN dalam UU Administrasi Pemerintahan 

mengakibatkan terjadinya berbagai problematika teoritik & menimbulkan

kebingungan pada tataran praktis (pelaksanaan) di lingkungan PTUN

(4)

Beberapa Perluasan

Kewenangan Mengadili PTUN

UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Perluasan Pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara;

(Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8 jo Pasal 87 UU AP  Sebelumya diatur pada Pasal 1 angka 9 UU PTUN )

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap pengujian tentang ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan KTUN; (Pasal 21 UU AP  Sebelumya diatur pada Pasal 53 UU PTUN)

• Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memutusan terhadap obyek sengketa fiktif positif; (Pasal 53 UU AP  Sebelumnya diatur pada Pasal 3 UU PTUN)

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Tingkat satu untuk mengadili gugatan pasca upaya administratif; (Pasal 75 ayat 1 jo Pasal 76 ayat 3 UU AP  Sebelumnya diatur pasal 48 UU PTUN)

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili atau mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah tertentu. (Pasal 81 ayat 2 UU AP  Sebelumnya pada Pasal 120 UU PTUN jo PP No 31 Tahun 1991 )

(5)

Perluasan kompetensi PTUN ini kemudian menimbulkan persoalan hukum :

• Bagi hakim, terkait hukum acara mana yang akan

digunakan sebagai pedoman dalam menerima, memeriksa dan memutus sengketa

dilingkungan PTUN

• Bagi pencari keadilan,

berpotensi menimbulkan

konflik dan ketidakpastian

hukum akibat perbedaan

tafsir pada tahap

pelaksanaannya.

(6)

PROBLEMATIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA PASCA UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Berdasarkan latar belakang kondisi tersebut diatas,

maka penulis tertarik mengangkat judul makalah:

(7)

RUMUSAN MASALAH

Adapun beberapa permasalahan yang akan dianalisis pada penelitian ini meliputi terkait:

1) Bagaimanakah implikasi hukum yang timbul dari setiap bentuk perluasan kompetensi PTUN pasca berlakunya UU Administrasi Pemerintahan terhadap Sistem Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara...

2) Apakah yang menjadi kendala-kendala yang dihadapi Hakim PTUN dalam pelaksanaan setiap bentuk perluasan kompetensi PTUN pasca berlakunya UU Administrasi Pemerintahan...?

3) Bagaimanakah kedudukan UU PTUN sebagai hukum formil

yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara pasca berlakunya

UU Administrasi Pemerintahan...?

(8)

PEMBAHASAN

3.1 Implikasi Hukum Yang Timbul Dari Setiap Bentuk Perluasan Kompetensi PTUN Pasca Berlakunya UU Administrasi Pemerintahan Terhadap Sistem Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Analisis yang dilakukan terhadap  Naskah Akademis dan Draff Rancangan UU Administrasi Pemerintahan menemukan  beberapa dasar pertimbangan utama kelahiran UU Administrasi Pemerintahan meliputi :

 untuk memperluas ruang lingkup sengketa yang dapat diadili pada lingkungan PTUN, akibat banyaknya KTUN yang dikeluarkan dan merugikan masyarakat namun tidak dapat diajukan sebagai objek sengketa pada PTUN,

 untuk memperluas akses masyarakat dalam memperjuangkan keadilan,

 untuk meningkatkan kontrol yuridis masyarakat terhadap aparatur pemerintahan dan,

 untuk memperkuat prinsip kehatian-hatian sekaligus sisi responsif aparatur pemerintahan dalam melaksanaan fungsi pemerintahan.

Berbagai pertimbangan yang mendukung kelahiran UU Administrasi Pemerintahan inilah

yang kemudian  berkaitan langsung dengan pengaturan berbagai bentuk perluasan

kompetensi PTUN dalam mengadili sengketa Tata Usaha Negara yang sebelumnya diatur

secara khusus pada UU PTUN sebagai hukum formil pada sistem hukum acara peradilan Tata

Usaha Negara.

(9)

BERBAGAI BENTUK PERUBAHAN (PERLUASAN) KEWENANGAN MENGADILI PTUN

PASCA LAHIRNYA UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

:

Perluasan Pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara;

(Diatur pada Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8 jo Pasal 87 UU AP  Sebelumya diatur pada Pasal 1 angka 9 UU PTUN )

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap pengujian tentang ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan KTUN;

(Diatur pada Pasal 21 UU AP  Sebelumya diatur pada Pasal 53 UU PTUN)

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memutusan terhadap obyek sengketa fiktif positif;

(Diatur pada Pasal 53 UU AP  Sebelumnya diatur pada Pasal 3 UU PTUN)

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Tingkat satu untuk mengadili gugatan pasca upaya administratif;

(Diatur pada Pasal 75 ayat 1 jo Pasal 76 ayat 3 UU AP  Sebelumnya diatur pasal 48 UU PTUN) Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili atau mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah tertentu.

(Diatur pada Pasal 81 ayat 2 UU AP &  Sebelumnya pada Pasal 120 UU PTUN jo PP Nomor 31 Tahun 1991 )

(10)

KONDISI PASCA PENGATURAN PERLUASAN KEWENANGAN MENGADILI PTUN

 Perluasan beberapa kompetensi PTUN yang diatur dalam UU Adminstrasi Pemerintahan inilah kemudian  menimbulkan ambiguitas dan kebingungan bagi para pihak dalam pelaksanaannya dan berpotensi menimbulkan konflik akibat perbedaan tafsir dan ketidakpastian hukum dari berbagai elemen terkait khususnya hakim dan pencari keadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

 Pengaturan beberapa kompetensi baru (perluasan kompetensi PTUN) kemudian 

menghadirkan berbagai implikasi hukum mengingat sebelumnya diatur berbeda pada UU PTUN

sebagai hukum formil ketika beracara pada Peradilan Tata Usaha Negara.

(11)

IMPLIKASI HUKUM DARI SETIAP PERLUASAN KOMPETENSI PTUN

A. Perluasaan Makna KTUN dalam UU Administrasi Pemerintahan DEFINISI KTUN dalam UU PTUN

• UU PTUN khususnya ketentuan Pasal 1 angka 9 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan pengertian KTUN sebagai :

“Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

UU Administrasi Pemerintahan kemudian memberi perluasan terkait pengertian KTUN dengan pemaknaan yang diperluas.

Hal ini diatur dalam Ketentuan Peralihan BAB XIII Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan, dimana menentukan KTUN dalam UU PTUN harus dimaknai sebagai :

• Penentapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;

• Keputusan badan atau pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan pelanggaran negara lainya;

• Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan Asas-asas umum pemerintahan yang baik;

• Bersifat final dalam arti luas;

• Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;

• Keputusan yang berlaku bagi warga negara.

(12)

Adapun beberapa implikasi hukum yang muncul pasca perluasan pemaknaan KTUN pada UU Administrasi Pemerintahan meliputi :

PTUN kemudian memiliki kewenangan mengadili tindakan faktual yang dilakukan aparatur pemerintahan yang dulunya merupakan kewenangan Pengadilan Negeri (gugatan perbuatan melawan hukum),

Keputusan diluar lingkungan eksekutif yang dikeluarkan oleh badan pejabat di lingkungan legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya kemudian menjadi masuk menjadi obyek Sengketa Tata Usaha Negara,

KTUN yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain dapat diajukan sebagai obyek Sengketa Tata Usaha Negara,

Gugatan ke PTUN kemudian dapat diajukan atas segala potensi kerugian yang mungkin muncul dari dikeluarkannya suatu KTUN, serta

Pihak yang berpeluang mengajukan gugatan Tata Usaha Negara kemudian tidak hanya kemudian terbatas untuk individu tertentu (individual), melainkan juga bagi warga negara atau masyarakat secara luas yang berpotensi atau telah mengalami kerugian akibat dikeluarkannya KTUN tersebut.

Pada tataran praktis perluasan pemaknaan KTUN ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum, dimana terjadi berbagai perbedaan penafsiran yang mengakibatkan kebingungan para pihak pada tataran pelaksanaannya.

(13)

B. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap pengujian tentang ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan KTUN

Kelahiran UU Administrasi Pemerintahan memberikan atribusi kewenangan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menerima, memeriksa, dan memutus ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan.

• Mekanisme pengujian terhadap ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan KTUN ialah didasarkan pada ketentuan Pasal 2 PERMA No.4 Tahun 2015  prosedur pengujian unsur penyalahgunaan wewenang oleh PTUN diberikan batasan yaitu setelah adanya hasil pengawasan dari Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dan sebelum adanya proses pidana.

Implikasi hukum  potensi terjadinya tumpang tindih kewenangan mengadili antar ranah

pidana dengan PTUN  selama ini mengenai unsur ada atau tidaknya penyalahgunaan

kewenangan merupakan wewenang ranah pidana pada lingkungan peradilan umum atau

menjadi kewenangan hakim pidana  pengaturan kewengan PTUN sejatinya telah

berkesesuian dengan asas ultimum remidium (pidana merupakan jalan terakhir)  Namun

pada sisi praktis banyak ditemukan perkara yang sudah masuk pada ranah pidana

(mengingkari asas ultimum remidium).

(14)

C. Kompetensi PTUN untuk Memutus Terhadap Obyek Sengketa Fiktif Positif

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah mengadopsi konsepsi Lex Silencio Positivo yakni suatu mekanisme hukum yang mensyaratkan otoritas administrasi untuk menanggapi atau mengeluarkan keputusan/tindakan yang diajukan kepadanya dalam limit waktu tertentu dan apabila prasyarat ini tidak terpenuhi, otoritas administrasi dianggap telah mengabulkan permohonan penerbitan keputusan/tindakan itu.

Ketentuan dalam UU AP yang menganut rezim fiktif positif tersebut berbeda dengan ketentuan Pasal 3 UU PTUN yang menganut rezim fiktif negatif yang artinya Peradilan TUN berwenang mengadili gugatan terhadap sikap diam Badan/Pejabat TUN yang tidak menerbitkan keputusan yang dimohon atau yang menjadi kewajibannya, dimana sikap diam tersebut dipersamakan sebagai keputusan penolakan (fiktif negatif)

• Implikasi hukum yang timbul dari pengaturan KTUN fiktif positif ini adalah jika kita merujuk pada frasa

“dianggap dikabulkan secara hukum” dalam ketentuan UU Administrasi Pemerintahan maka tidak seharusnya terdapat putusan hakim yang menyatakan permohonan ditolak dan Tidak seharusnya permohonan dinyatakan tidak diterima atau dinyatakan gugur mengingat Perma No.8 Tahun 2017 tidak mengatur atau menjelaskan akibat hukumnya bagi pemohon.

Pengaturan KTUN fiktif positif berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum khususnya terkait fungsi KTUN fiktif positif sebagai alat bukti hak yang diberikan oleh Pejabat/Badan Tata Usaha Negara  Selain belum dicabutnya ketentuan mengenai KTUN fiktif negatif pada UU PTUN membuat kebingungan tahap implementasi, khususnya bagi pencari keadilan untuk menentukan ketentuan mana yang harus dijadikan pedoman dalam pengajuan sengketa pada Peradilan Tata Usaha Negara.

(15)

D. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Tingkat satu untuk mengadili gugatan pasca upaya administratif

UU PTUN mengatur upaya administatif hanya berlaku bagi sengketa-sengketa Tata Usaha Negara tertentu yang memang oleh peraturan perundang-undangan disediakan upaya administratifnya (keberatan dan banding administratif)  Sementara diluar itu, yakni sengketa Tata Usaha Negara yang tidak tersedia upaya administratifnya dapat langsung diajukan pada PTUN  Berbeda dengan administratif pada UU Administrasi Pemerintahan bersifat wajib dan berlaku pada semua sengketa TUN.

Hal ini menimbulkan implikasi hukum berupa kebingungan dan kebuntuan proses penyelesaian mengingat hakim PTUN baru akan dapat memeriksa gugatan yang sebelumnya telah melewati upaya administratif sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan

Ketiadaan baik dari segi pengaturan maupun sarana prasarana lembaga upaya administratif

pada suatu badan atau lembaga tertentu kemudian dapat berkonsekuensi pada hilangnya hak

pihak terkait dalam memperjuangkan keadilan atas suatu KTUN atau tindakan faktual yang

dilakukan badan atau pejabat tata usaha Negara tertentu.

(16)

E. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili atau mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah tertent

UU PTUN menganut konsep ganti rugi terbatas.  Tuntutan ganti rugi terbatas diatur lebih lanjut pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1991  besarnya ganti rugi yang diperoleh penggugat paling sedikit 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan memperhatikan keadaan yang nyata.

• Ketentuan Pasal 71 ayat () dan Pasal 72 UU Administrasi Pemerintahan kemudian mengatur kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili dan mengabulkan tuntutan ganti rugi tanpa pembatasan jumlah tertentu atau dikenal dengan konsep tuntutan ganti rugi tidak terbatas.

• Sifat tidak terbatasnya tuntutan ganti rugi yang tidak diatur secara khusus dalam UU Administrasi Pemerintahan berimplikasi pada  ambiguitas yang ditimbulkan terhadap makna tidak terbatas tersebut  Pada tataran praktis, tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh pemohon dimungkinkan untuk diterima oleh hakim PTUN namun tetap dibenturkan pada kondisi yang sangat sulit pada tahap eksekusi

 Bahkan terdapat beberapa pandangan yang menganggap ganti rugi adalah sesuatu yang tidak dikenal pada lingkungan PTUN (melainkan ada pada peradilan umum bidang Perdata.

Pada praktek di PTUN yang dikenal adanya upaya paksa dalam bentuk dwangsom (uang paksa)  Hakim PTUN berpotensi mengabulkan dwangsom yang dimohonkan namun terkendala pada tahap eksekusi  belum ada lembaga upaya paksa khusus dalam lingkungan PTUN (inisiatif pihak dan peran Ketua Pengadilan).

(17)

3.2 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Hakim PTUN Dalam Pelaksanaan Setiap Bentuk Perluasan Kompetensi PTUN Pasca Berlakunya UU Administrasi Pemerintahan

• Ditengah berbagai polemik penormaan dan pelaksanaan yang menyertai setiap perluasan kompetensi PTUN pasca lahirnya UU Administrasi Pemerintahan  Hakim PTUN tetaplah dituntut sebagai pengadil (pemutus) yang objektif atas setiap perkara yang terjadi pada lingkungan Tata Usaha Negara.

• Berdasarkan hasil penelitian tim peneliti ditemukan beberapa kendala penghambat pada aspek teoritik hukum (Penormaan) dan kendala yang dihadapi hakim pada tataran praktis pelaksanaan UU Administrasi Pemerintahan.

Beberapa kendala dari aspek teoritik hukum dan penormaan yang ditemukan meliputi :

» Pengaturan Perluasan Kompetensi Absolut PTUN pada UU Materiil

» Dikeluarkannya PERMA DAN SEMA sebagai aturan pelaksana Perluasan Kompetensi PTUN pada UU Administrasi Pemerintahan

» Tersebarnya Pengaturan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

» Belum Adanya Penjelasan yang Tegas dan Komprehensif atas setiap Perluasan Pemaknaan KTUN dalam UU Administrasi Pemerintahan

» Potensi Tumpang Tindih kewenangan antar lingkungan Badan Peradilan pasca Pengaturan Kewenangan Kompetensi PTUN terhadap Pengujian Ada Tidaknya Unsur Penyalahgunaan Wewenang pada Penerbitan KTUN dan Tindakan Faktual

» Ketidakjelasan Pengaturan Mekanisme Pengajuan Permohonan dan Ketidaan Format Baku Persidangan Atas Permohonan dengan Obyek KTUN Fiktif Positif

» Penormaan Baru Upaya Administatif dalam UU Administrasi Pemerintahan Cenderung Mempersempit Kompetensi PTUN

(18)

KENDALA HAKIM

PADA TAHAP PELAKSANAAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Beberapa kendala pada tataran pelaksanaan (praktikal) yang ditemukan meliputi :

 Kedudukan Mahkamah Agung dalam Susunan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

 Perbedaan tafsir masing-masing Hakim PTUN dalam melaksanakan Perluasan Kompetensi dalam UU Administrasi Pemerintahan

 Tingkat Pengetahuan Masyarakat dan Penegak Hukum Terkait Perluasan Kompetensi PTUN Pasca UU Administrasi Pemerintahan

 Belum tersedia sarana prasarana menyeluruh dalam pelaksanaan Upaya Administratif sesuai amanat UU Administrasi Pemerintahan, dan

 Belum Kuatnya Pengaturan Eksekusi Putusan Tata Usaha Negara

(19)

3.3 Kedudukan UU PTUN Sebagai Hukum Formil Yang Berlaku Pada Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Berlakunya UU Administrasi Pemerintahan

 Peradilan Tata Usaha Negara berserta hukum acara yang tertuang dalam UU PTUN saat ini tengah dihadapkan pada sejumlah dinamika & problematika pasca lahirnya UU Administrasi Pemerintahan.

 Dari segi muatannya, UU Administrasi Pemerintahan merupakan hukum materiil dari sistem peradilan Tata Usaha Negara sedangkan UU PTUN merupakan hukum formil yang digunakan dalam penegakan hukum materiil administrasi Negara.

 Dengan diundangkannya UU Administrasi Pemerintahan timbul masalah teoritik hukum karena undang- undang ini memperluas kompetensi absolute PTUN sebagaimana diatur dalam UU PTUN yang merupakan undang-undang formal hukum administrasi negara  Padahal dalam menegakkan suatu hukum materiil diperlukan instrumen hukum bersifat imperatif (hukum acara yang kuat)  untuk dapat menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan.

 Dengan UU Administrasi Pemeritahan mengatur obyek sengketa Tata Usaha Negara menjadi sangat luas dan tidak terbatas  Peran hakim kemudian menjadi begitu strategis dalam mengawal dan memutus suatu proses peradilan Tata Usaha Negara yang bersih dan berkeadilan.

 Kondisi inilah yang kemudian membuat perlu dilakukan kajian secara mendalam terkait bagaimana sejatinya kedudukan UU PTUN sebagai Huku Formil yang Berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara pasca berlakunya UU Administrasi Pemerintahan

(20)

KEDUDUKAN UU PTUN SEBAGAI HUKUM FORMIL

PASCA PENGATURAN BERBAGAI PERLUASAN KOMPETENSI PTUN PADA UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

Kedudukan UU PTUN sebagai hukum formil yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara pasca berlakunya UU Administrasi Pemerintahan berdasarkan asas preferensi hukum haruslah tetap dijadikan sebagai dasar atau pedoman dalam beracara pada Peradilan Tata Usaha Negara.

Jika pembentuk undang-undang berkeinginan melakukan perubahan dan atau perluasan terkait kompetensi PTUN sudah seharusnya ketentuan dalam UU PTUN sebagai hukum formil yang bersifat imperatiflah yang harus dilakukan perubahan.

 UU PTUN merupakan undang-undang khusus yang mengatur mengenai hukum acara yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara, sementara UU Administrasi Pemerintahan secara substansi merupakan sumber hukum materiil administrasi pemerintahan.

UU Administrasi Pemerintahan atas dasar kebaruannya tidak serta merta dapat difungsikan

untuk mengubah dan mengantikan ketentuan perundang-undangan khusus yang sebelumnya

telah mengatur hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.

(21)

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas diatas, maka dapat ditarik beberapa simpulan meliputi:

1. Pada aspek teoritik hukum setiap bentuk perluasan kompetensi PTUN yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan dan berbagai sebaran aturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung berimplikasi terhadap perubahan mendasar yang terjadi pada sistem hukum acara yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara. Kondisi ini menimbulkan problem teoritik hukum terkait peraturan perundang-undangan manakah yang seharusnya berlaku apabila terdapat beberapa peraturan perundang-undangan berbeda yang mengatur terkait Kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara.

Sementara pada Tataran praktis, perluasan beberapa kompetensi PTUN menimbulkan ambiguitas dan kebingungan bagi para pihak pada peradilan Tata Usaha Negara dan berpotensi menimbulkan konflik akibat perbedaan tafsir, tumpang tindih kewenangan antar lembaga dan ketidakpastian hukum terkait sistem hukum acara manakah yang seharusnya berlaku baik bagi hakim dan masyarakat pencari keadilan.

2. Hakim PTUN dalam pelaksanaan setiap bentuk perluasan kompetensi pasca berlakunya UU Administrasi Pemerintahan masih menemukan berbagai kendala penghambat dalam pelaksanaan perluasan kompetensi PTUN baik kendala yang muncul dari sisi teoritik hukum atau penormaan maupuan kendala- kendala dari sisi praktikal atau pelaksanaan perluasan kompetensi PTUN dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

(22)

3. Kedudukan UU PTUN sebagai hukum formil yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara pasca berlakunya UU Administrasi Pemerintahan secara teoritis berdasarkan asas preferensi hukum dapat dijelaskan UU PTUN merupakan Lex specialis sedangkan UU Administrasi Pemerintahan merupakan Lex generalis (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

UU PTUN merupakan undang-undang khusus (hukum formil) yang mengatur mengenai hukum acara yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara, sementara UU Administrasi Pemerintahan secara substansi merupakan sumber hukum materiil administrasi pemerintahan. UU Administrasi Pemerintahan atas dasar kebaruannya tidak serta merta dapat difungsikan untuk mengubah dan mengantikan ketentuan perundang-undangan khusus yang sebelumnya telah mengatur hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan diatas, maka beberapa saran yang dapat diberikan meliputi :

1. Bagi Pembentuk Undang-Undang, hal paling mendesak yang saat ini harus segera dilakukan adalah melakukan review dan melakukan perubahan terhadap hukum formil Peradilan Tata Usaha Negara yaitu pada UU PTUN. Hal ini penting mengingat pengaturan berbagai Perluasan Kompetensi PTUN dalam UU Materiil (UU Administrasi Pemerintahan) berpotensi minimbulkan berbagai implikasi hukum, kendala-kendala pelaksanaan, tumpang tindih kewenangan antar lembaga peradilan dan ketidakpastian hukum bagi hakim dan para pencari keadilan ketika berperkara pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

(23)

2. Bagi Mahkamah Agung, pengaturan terkait petunjuk pelaksanaan atas berbagai bentuk perluasan kompetensi PTUN pasca lahirnya UU Administrasi Pemerintahan sebaiknya tidak dilakukan secara terpisah-pisah atau tersebar dalam berbagai bentuk PERMA maupun SEMA.

Kondisi tersebut sangat menyulitkan para pihak terkait dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memahami dan atau mengetahui setiap perubahan yang terjadi (pengaturan baru) terkait hukum acara yang berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara. Perubahan-perubahan terkait sistem hukum acara sebaiknya diatur dalam perubahan UU PTUN sebagai UU Formil pada Peradilan Tata Usaha Negara dan tidak diatur secara terpisah-pisah dalam bentuk berbagai peraturan yang secara hierarki berada dibawah Undang-Undang.

Bagi Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pengaturan terkait berbagai perluasan kompetensi PTUN pada UU Administrasi Pemerintahan haruslah direspon oleh Hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara dengan penguatan pemahaman dasar teoritik hukum sehingga mampu melahirkan persepsi dan sikap yang seragam terkait sistem hukum acara yang dijadikan pedoman dan berlaku pada Peradilan Tata Usaha Negara. Pada koondisi terdapat UU Administrasi Pemerintahan sebagai hukum Materiil Administrasi Pemerintahan yang kemudian mengatur pula ketentuan hukum formil peradilan Tata Usaha Negara yang sebelumnya diatur dalam UU PTUN maka secara teoritik hukum hakim dapat menggunakan asas preferensi hukum “Lex specialist derogat legi generali” untuk menentukan hukum acara mana yang seharusnya digunakan dalam menerima, memeriksa dan memutus sengketa pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

(24)

SEKiAN

TERIMAKASIH

Referensi

Dokumen terkait

Garut Kota Cirebon Kota Depok Kota Sukabumi Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab.. Tasikmalaya Kota Bandung Kota Bekasi Kota Bogor Kota Cilegon

Dalam praktiknya simpanan pendidikan di BMT NU Sejahtera Cabang Sukoharjo menggunakan prinsip wadi‟ah yad dhamanah karena dengan prinsip ini pihak BMT dapat

  Dengan   demikian   Wisma   Nasional   itu

Untuk itu tujuan dari pengenalan teknologi ke sekolah dasar di desa Pasir, Kecamatan Bodeh Kabupaten Pemalang adalah untuk mengenalkan dan mengajarkan tentang teknologi yang

ASUS Hangouts Meet hardware kit also comes with a touchscreen control panel for one-touch meeting management, and a high-quality speakermic box that employs echo-cancellation

bermakna bahwa Atasan Langsung menempatkan penyelesaian Sasaran Kinerja ini adalah yang paling kritis dan atau yang paling penting untuk dilakukan Pegawai dengan pemanfaatan

Sesuai dengan UU No.11 tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang berbunyi partai politik lokal adalah suatu organisasi politik yang dibentuk oleh

Mengajukan Permohonan kepada Bapak/ Ibu untuk mendapatkan Sertifikat Laik Sehat Hygiene Sanitasi Depot Air Minum sebagai salah satu persyaratan dasar untuk mendapatkan Izin Usaha