• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

5 A. Definisi dan Pengertian

1. Traumatic Brain Injury (TBI)

Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera perolehan pada otak yang disebabkan oleh benturan eksternal yang mengakibbatkan gangguan fungsional total atau sebagian dan juga gangguan psikososial yang mempengaruhi kinerja individu , itu berlaku untuk cedera kepala tertutup maupun cedera kepala terbuka yang mengakibatkan satu atau lebih daerah seperti kognitif, bahasa, bicara, ingatan, perhatian, penalaran, abstrak, pemikiran, penilaian, pemecahan masalah, sensori, kemampuan persepsi, motorik, dan psychosocial behavior. TBI tidak berlaku pada cedera otak bawaan, degenerative, atau trauma otak yang disebabkan oleh trauma pada saat lahir (nicolosi, 2004). Traumatic brain injury juga disebut dengan cedera kepala perolehan atau cedera kepala yang terjadi secara tiba tiba. TBI adalah (Papathanasiou, 2013).

Traumatic Brain Injury adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degenerativf, tetapi di sebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mempengaruhi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan fungsi kognitif dan fungsi fisik (brain injury association of America, 2012). TBI juga dapat menyebabkan terjadinya afasia, hal itu sesuai dengan pendapat dari dharmaperwira yang mengatan bahwa salah satu penyebab afasia dikarenakan adanya trauma pada otak.

2. Afasia

Afasia adalah gangguan perolehan pada fungsi dan modalitas bahasa yang disebabkan oleh lesi vokal otak pada hemisfer yang mendominasi fungsi bahasa. Hal ini dapat mempengaruhi fungsi komunikasi dan sosialisasi seseorang, kualitas hidup individu, dan kualitas hidup orang- orang (Papathanasiou, 2013).

(2)

Afasia merupakan gangguan bahasa perolehan yang disebabkan oleh cedera otak dan ditandai dengan gangguan pemahaman, serta gangguan pengutaraan bahasa lisan maupun tertulis. (Dharmaperwira, 2002).

Salah satu jenis afasia adalah afasia global. Pada afasia global atau total, semua aspek bahasa dan bicara sangat terganggu. Tempat kerusakan bagian bagian besar daerah fronto-temporo-parietal perisylvis di hemisfer kiri.

Kerusakan kerusakan di tempat lain di hemsifer kiri mula mula dapat menyebabkan gangguan yang serupa dengan afasia global, tapi ini sifatnya hanya sementara.penyebabnya seringkali adalah penyumbatan bagian terdepan arteria serebri media kiri, akan tetapi perdarahan besar atau tumor dapat juga menyebabkan sindrom ini. dan penderitanya mengalami kesulitan berupa bicara spontan sangat tidak lancar, pemahaman auditif sangat terganggu, meniru ucapan, membaca dengan bersuara dan menulis sesuatu sama sekali tidak mungkin dilakukan (Dharmaperwira-prins, 2002).

B. Etiologi

1. Traumatic Brain Injury (TBI)

Menurut Average, Number, Tbi, The, and States (2006), penyebab TBI terbanyak adalah jatuh dengan presentase 35,2%. Terjadi ketika seseorang jatuh dan kepalanya terbentur yang menyebabkan otak terguncang atau bergetar cukup keras sehingga membentur tengkorak (Sirait 2008 dalam Desi 2010). Kecelakaan lalu lintas dengan presentase 17,3% . kemajuan teknologi terutama dalamm bidang transportasi mengakibatkan meningkatnya jenis dan jumlah kendaraan bermotor, hal ini berdampak pada meningkatnya kasus kecelakaan kendaraan di seluruh indonesia yang menyebabkan cedera kepala (Sirait 2008 dalam Desi 2010). Dan kecelakaan yang menyebabkan cedera kepala ini, dapat mengakibatkan penderitanya mengalami afasia. Sesuai pendapat dari Papathanasiou, Coppens & Potagas, (2013) yang menyatakan bahwa penyebab kerusakan otak yang mengakibatkan afasia adalah TBI atau Traumatic Brain Injury.

(3)

2. Afasia

Penyebab gangguan bahasa yang ditimbulkan oleh kondisi trauma pada otak atau sering disebut juga dengan Afasia menurut Dharmaperwira-Prins, R (2002) meliputi Ganggun Peredaran Darah Otak (GPDO) dan non-GPDO.

Adapaun penyebab GPDO antara lain :

a. Trombosis adalah penyumbatan pembuluh darah yang diakaibtakan oleh perubahan dinding pembuluh, merupakan penyebab GPDO yang paling sering terjadi. Kejadian ini sering disebabkan oleh arterisklerosis, tetapi juga oleh gangguan lain (peradangan). Terkadang keadaan tadi dapat didahului oleh suatu serangan iskemia sepintas, yaitu penghentian aliran darah sementara, seolah sebagai tanda peringatan.

b. Emboli adalah gumpalan darah yang terjadi dalam system pembuluh darah yang lalu dengan dengan aliran darah terbawa ke otak dan kemudian disana menyumbat sebuah pembuluh. Dalam hal ini, gangguan neurologis terjadi secara mendadak dan sering tanpa peringatan.

c. Perdarahan otak terjadi apabila dinding suatu pembuluh sobek dan darah yang mengumpul (hematom) mendesak jaringan sekitarnya lalu menggencetnya. Perdarahan otak biasanya disebabkan oleh tekanan darah tinggi, aneurisma yang pecah atau malformasi pembuluh darah, tetapi bisa juga diakibatkan oleh pemakaian obat antikoagulan. Luas dan tempat perdarahan menentukan gejala-gejala klinisnya.

Sedangkan untuk penyebab dari afasia non-GPDO (non-Gangguan Peredaran Darah Otak) antara lain sebagai berikut :

a. Tumor otak (neoplasma kranial) sering berkembang dengan perlahan, sedangkan jaringan otak menyesuaikan diri dengan perubahan ini sehingga sering tumor itu baru menyebabkan gangguan pada stadium yang berikut. Tumor dapat menyebabkan gangguan edema dan dapat menekan pembuluh darah.

b. Trauma merupakan sebuah pukulan pada tengkorak yang dapat menyebabkan suatu kerusakan pada otak. Trauma sering diklasifikasikan sebagi terbuka dan tertutu, tergantung pada rusak-tidaknya tengkorak.

(4)

c. Infeksi dengan akibat dari meningitis atau ensefalitis bisa mengakibatkan kerusakan otak. Dalam hal ini kehilangan daya ingat seringkali menutupi kemungkinan adanya afasia. Infeksi virus lain, seperti AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), dapat juga menjadi penyebabnya.

C. Prevalensi Kasus

1. Traumatic Brain Injury (TBI)

Menurut WHO pada tahun 2015, prevalensi Traumatic Brain Injury di Negara yang berpenghasilan rendah dan menengah memiliki angka kejadian TBI yang lebih tinggi dibandingkan Negara berpenghasilan tinggi. Dari 180 negara mengindikasikan bahwa jumlah kematian akibat lalu lintas telah menapai 1,25 juta pertahun, dengan tingkat kematian akibat lalu lintas tertinggi di negara-negara berpenghasilan rendah. Indonesia merupakan negara dengan rata-rata ekonomi menengah. Dengan angka kejadian kecelakaan di jalan 15% per tahun. Sedangkan di Desa Bulurejo pada bulan januari 2017 terdapat 1 pasien yang mengalami TBI dari 10 pasien yang membutuhkan penanganan Terapi Wicara.

2. Afasia

Menurut Stroke association of amerika (2008) ada sekitar 80.000 kasus afasia pertahun di Amerika Serikat. NINDS memperkirakan sekitar 1 juta atau l dari 250 orang di Amerika Serikat saat ini menderita afasia.

Sedangkan kasus afasia di Desa Bulurejo pada bulan januari 2017 ada sebanyak 20% atau sebanyak 2 pasien dari 10 pasien yang membutuhkan penanganan Terapi Wicara.

D. Klasifikasi dan Karakteristik 1. Trauma Brain Injury (TBI)

Menurut National Institute of Neurological Disorders and Stroke (2007) TBI dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu cedera otak tertutup dan cedera otak terbuka. Cedera otak tertutup adalah ketika kepala terkena benturan keras tetapi benda tersebut tidak menembus tengkorak. Sedangkan cedera

(5)

otak terbuka apabila benda tersebut menembus otak dan memasuki jaringan otak.

Klinik Mayo (2014) menyatakan bahwa trauma brain injury dapat diklasifikasikan menurut tingkat keparahannya menjadi 3 yaitu:

a. Mild TBI

Gejala fisik sescorang yang mengalami Mild TBI yaitu gejala fisik kehilangan kesadaran selama beberapa menit, binggung, sakit kepala, mual atau muntah, kelelahan, mengantuk, kesulitan tidur, tidur lebih dari biasanya, pusing atau kehilangan keseimbangan.

Masalah sensorik seperti penglihatan kabur, telinga berdenging, rasa tidak enak di mulut atau perubahan kemampuan untuk mencium, sensitivitas terhadap cahaya atau suara. Gejala kognitif atau mental yaitu masalah pada memori atau konsentrasi, perubahan suasana hati, merasa cemas atau tertekan

b. Moderate TBI

Moderate TBI dapat mempengaruhi aspek kognitif, penglihatan, pendengaran, komunikasi, persepsi sensorik, kepribadian, rasa, karakteristik fisik, sosial-emosional, dan neurologis (kejang). Gejala- gejala ini dapat diamati pada tingkat yang lebih ringan dibandingkan dengan Severe TBI.

c. Severe TBI

Severe TBI dapat mencakup tanda-tanda dan gejala cedera ringan, serta gejala berikut yang mungkin beberapa hari setelah mengalami cedera kepala. Gejala fisik Severe TBI yaitu kehilangan kesadaran dari beberapa menit sampai jam, sakit kepala terus-menerus, muntah berulang atau mual, kejang, pelebaran satu atau kedua pupil mata, cairan bening mengalir dari hidung atau telinga, kelemahan atau mati rasa di jari tangan dan kaki kehilangan koordinasi. Gejala kognitif atau mental yaitu kebingungan, bicara cadel, koma dan gangguan kesadaran lainnya.

(6)

2. Afasia

Boston (Goodglass dan Kaplan, 1983) menyatakan bahwa afasia dapat diklasifikasikan menjadi 8 yaitu:

a. Afasia Global

Afasia yang sangat parah. Pasien tidak dapat berbicara, kecuali terkadang satu kalimat otomatis, tidak dapat meniru ucapan, sulit sekali mengerti bahasa orang lain dan sama sekali tidak dapat membaca dan menulis.

b. Afasia Broca

Afasia yang dapat bervariasi antara ringan da berat. Pasien sulit menemukan kata dan berbicara tersendat-sendat dengan kalimat yang tidak lengkap. Pada umumnya, gangguan menulis seorang penderita afasia broca setara dengan gangguan bicaranya. Pengertian bahasa lisan dan tulis lebih baik.

c. Afasia Wernicke

Afasia yang bervariasi antara sedang sampai berat. Pengertian bahasa lisan dan tulis yang terutama terganggu. Pasien dapat berbicara dengan lancar, tetapi kata-kata yang digunakan salah. Pada umumnya, gangguan menulis seorang penderita afasia wernicke setara dengan gangguan bicaranya.

d. Afasia Anomia

Afasia yang ringan. Kesulitan utama adalah menemukan kata- kata dan memahami kata-kata tertentu.

e. Afasia Konduksi

Afasia yang bervariasi antara ringan sampai sedang. Pasien bisa berbicara dengan lancar, tetapi ragu-ragu karena ada kesulitan dalam menemukan kata. Meniru ucapan sangat terganggu, sedangkan pemahaman bahasa lebih baik.

f. Afasia Transkortikal Motoris

Afasia yang dapat bervariasi antara ringan sampai berat. Pasien sulit berbicara secara spontan dan terdengar ragu-ragu dan menggunakan kalimat yang tidak lengkap. Meniru ucapan lebih baik,

(7)

tetapi sering kali dilakukan secara otomatis. Gangguan menulisnya biasa umumnya setara dengan gangguan berbicaranya.

g. Afasia Transkortikal Sensoris

Afasia yang bervariasi antara ringan sampai berat. Pengertian bahasa lisan dan tulis yang tertama terganggu. Pasien dapat berbicara lancar, tetapi menggunakan kata-kata yang salah. Kalimat-kalimat maupun kata-kata dapat diulang dengan baik, walaupun tidak memahaminya. Ganggguan menulisnya umumnya setara dengan gangguan bicaranya.

h. Afasia Transkortikal Campuran

Afasia yang bervariasi antara ringan sampai berat. Pemahaman maupun pengungkapan bahasa lisan dan tulisnya terganggu. Pasien dapat meniru ucapan dan menyelesaikan kalimat, walaupun tidak mengerti artinya.

Pembagian dibuat berdasarkan gangguan dalam kelancaran, pemahaman bahasa lisan dan meniru ucapan seperti terlihat pada tabel:

Tabel 2.1 Klasifikasi Afasia Menurut Boston

Sindroma KelancaranPerkata an

Menir u

Pemahama n Afasia global

AfasiaBroca

AfasiaTrasnkortikalMotoris AfasiaTranskortikalCampur an

Afasia Wernicke

AfasiaTranskortikalSensoris Afasiakonduksi

AfasiaAnomis

Tidaklancar Tidaklancar Tidaklancar Tidaklancar

Lancar Lancar Lancar Lancar

- - + + - + - +

- + + - - - + +

Sumber: Dharmaperwira-Prins (1996)

(8)

Keterangan: (-) berarti aspek itu terganggu

(+) berarti aspek itu normal atau relativetidak terganggu.

E. Prognostik Teoritik

1. Traumatic Brain Injury (TBI)

Menurut (Risdall& Menon, 2011) prognosis teoritik pada TBI tergantung pada usia pasien, nilai Glasgow Coma Scale (GCS), dan respon pupil. Lansia memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. Adanya hipoksia, hipotensi, hipertermia, dan tekanan intracranial akan memperburuk prognosis. Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap prognosis.

2. Afasia

Prognosis untuk Afasia menurut Dharmaperwira (2002) adalah:

1) Penyebab Afasia

Pada umumnya ada anggapan bahwa afasia yang diakibatkan oleh trauma mempunyai prognosis lebih baik dari pada yang disebabkan oleh GPDO.

2) Luas Cedera

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa semakin terbatas kerusakan yang ada semakin besar kemungkinan pemulihan. Pada hakekatnya, luasnya kerusakan berhubungan erat dengan kemungkinan adanya gangguan tambahan. Gangguan visual, gangguan motoris(terutama bila berkenaan dengan proses berbicara), gangguan auditif lain, gangguan daya ingat, dan gangguan emosional akibat kerusakan otak sangat menghambat pemulihan.

3) Letak cedera

Afasia akibat kerusakan transkortikal mempunyai prognosis yang lebih baik daripada afasia akibat kerusakan perisilvis.

4) Keparahan Afasia

Keparahan afasia berbanding lurus dengan pemulihannya, semakin parah afasia yang diderita semakin kurang kemungkinan terjadinya pemulihan menyeluruh. Penderita afasia yang menyadari akan kesalahannya dan dapat memperbaiki diri sendiri memiliki

(9)

prognosis yang baik dibandingkan yang tidak menyadari kesalahannya.

5) Sindroma Afasia

Hampir semua penelitian mengungkapkan bahwa pasien dengan afasia global dan pasien dengan afasia wemicke paling kecil kemungkinannya untuk pulih. Tingkat pemahaman auditif dalam hal ini sesuai dengan kemungkinan untuk pulih. Para pasien dengan afasia broca, afasia konduksi dan afasia anomis ternyata mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk pulih. Prognosis akan buruk bial ada tambahan disartria dan apraksia. Umur Tidak ada petunjuk bahwa umur berkaitan dengan pemulihan. Di pihak lain tidak mustahil bahwa umur berperan. Dengan bertambah tuanya seseorang, terdapat kemungkinan lebih besar untuk terkena berbagai penyakit dan cacat tubuh yang dapat mempengaruhi proses pemulihan secara negatif.

F. Metode Terapi

Banyak metode yang dapat di pakai untuk menangani klien dengan gangguan afasia global, antara lain: Metode stimulasi multimodal, Metode Applied Behavior Analysis (ABA), Metode Picture Exchange Communication System (PECS).

Metode terapi yang dipakai adalah metode stimulasi multimodal.Pemakaian metode stimulasi multimodal bertujuan agar seseorang dapat menerapkan beberapa modalitas dan tidak harus membatasi diri pada satu modalitas saja dalam pelaksanaan tugas. Berbagai modalitas masukan dapat diterapkan sekaligus untuk mencapai hasil yang lebih maksimal, misalnya dengan memberikan kata atau kalimat yang di sajikan secara lisan. Dalam cara ini modalitas yang gangguanya lebih ringan di terapkan lebih dahulu, baru diikuti oleh modalitas yang gangguanya lebih berat. Dengan demikian fungsi yang satu memudahkan fungsi yang lain (Dharmaperwira-Prins,2002).

(10)

a. Tujuan metode

Tujuan metode stimulasi multimodal adalah dengan menggunakan semua modalitas sensoris yang ada pada diri seseorang agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Karena dengn menggunakan semua modalitas yang dimiliki seseorang dapat dengan mudah untuk belajar berbahasa dan berbicara (Dharmaperwira-Prins,2002).

b. Langkah–langkah metode :

1) Langkah-langkah metode stimulasi multimodal adalah dengan memberikan masukan secara visual dan auditory.

2) Secara visual, terapis memberikan masukan berupa objek yang telah terapis pilih sebagai materi terapi. Dapat juga meniru hal-hal tertentu, diperlukan prompt (bantuan atau arahan yang diberikan kepada klien, apabila klien tidak memberikan respon terhadap instruksi).

3) Apabila dalam menunjuk objek yang sama tersebut klien melakukan kesalahan, maka instruksi yang sama kita berikan sampai dengan klien mengerti apa yang dimaksudkan.

4) Sedangkan auditory, terapis melatih kecakapan dengar sesuai dengan materi terapi yang terapi berikan. Kemudian untuk mengetahui output dari klien, terapis meminta klien untuk memberi respon dengan mencari sumber bunyi. Apabila klien dapat memberi respon yang sesuai maka terapis memberi imbalan yang tepat dan efektif, imbalan berupa pujian atau yang lain.

5) Secara taktail kinestetik, biarkan klien menyentuh bentuk serta wujud objek yang kita berikan dalam materi terapi (Dharmaperwira-Prins, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Surat keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) asli yang ditandatangani Kepala Sekolah bagi Program Sarjana dan Diploma.. f) Foto copy ijazah dari perguruan tinggi asal

Keselamatan kerja merupakan bagian dari kelangsungan produksi pabrik, kerena itu aspek ini harus di perhatikan secara serius dan terpadu. Untuk maksud tersebut perlu di

pelaku yang telah melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap korban yang diduga kuat telah melakukan tindak pidana kejahatan, dipersamakan dengan pelaku

• Konsep rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya melakukan dan bertanggungjawab dalam kegiatan pembudidayaan,

Hasil analisis korelasi hubungan antara pendidikan kesehatan dari perawat tentang pembatasan cairan dengan tingkat kepatuhan pasien GGK yang menjalani terapi hemodialisa

Kajian pustaka yang telah diuraikan di atas, menjadi acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang sistem kesehatan dalam kaitannya dengan sistem penyembuhan atau

Dari hasil analisis, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar albumin serum dengan morbiditas dan mortalitas maternal pasien preeklampsia berat dan

Hal ini disebabkan karena pihak KRT memiliki alat dan bahan yang mencukupi sehingga para operator taman (tenaga kerja) dapat dengan mudah melakukan kegiatan