• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Definisi Gangguan Jiwa 2.2. Definisi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) 2.3. Definisi Kekambuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Definisi Gangguan Jiwa 2.2. Definisi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) 2.3. Definisi Kekambuhan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II STUDI PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Jiwa

Berdasarkan pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, gangguan jiwa merupakan sindrom pola perilaku seseorang yang secara khusus berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau bisa dikatakan hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi psikologik perilaku, biologik, dan gangguan itu yang tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat, dalam Maslim (2013).

Menurut American Psychiatric Association atau APA mendefinisikan gangguan jiwa pola perilaku/ sindrom, psikologis secara klinik terjadi pada individu berkaitan dengan distres yang dialami, misalnya gejala menyakitkan, ketunadayaan dalam hambatan arah fungsi lebih penting dengan peningkatan risiko kematian, penderitaan, nyeri, kehilangan kebebasan yang penting dan ketunadayaan (O’Brien, 2013).

2.2. Definisi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

UU RI Nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa menjelaskan Orang Dengan Gangguan Jiwa atau (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan perubahan perilaku yang dapat dijelaskan atau bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia (UU Kesehatan RI, 2014)

2.3. Definisi Kekambuhan

Kekambuhan merupakan merupakan kembalinya suatu penyakit setelah dinyatakan sembuh atau mereda. Kekambuhan menunjukan kembalinya gejala-gejala penyakit sebelumnya cukup dikategorikan sebagai penyakit parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari dan memerlukan perawatan khusus di rumah sakit yang tidak terjadwal (Dorland, 2015).

(2)

6

2.3.1. Tanda-tanda kekambuhan pada orang gangguan jiwa

Keliat (1996) berpendapat bahwa ada beberapa macam tanda-tanda kekambuhanada orang gangguan jiwa yaitu :

1. Tanda kekambuhan pada fisik orang gangguan jiwa

a. Makan dan minum kurang atau berlebihan sehingga memicu perubahan berat badan

b. Tidur kurang atau terganggu.

c. Penampilan diri kurang rapi atau tidak rapi.

d. Perawatan diri kurang (badan bau, kuku panjang dan kotor, rambut dan kulit kotor).

e. Keberanian kurang atau berlebihan.

2. Tanda kekambuhan pada emosi orang gangguan jiwa

a. Bicara tidak jelas, merengek, menangis seperti anak kecil.

b. Merasa malu, bersalah.

c. Ketakutan.

d. Gelisah.

e. Mudah panik, tiba-tiba marah tanpa sebab.

f. Menyerang.

g. Bicara dan tertawa sendiri.

h. Memandang ke satu arah, duduk terpaku.

i. Malas, tidak ada inisiatif.

j. Komunikasi kacau k. Bermusuhan dan curiga.

l. Merasa rendah diri, tidak berdaya dan hina.

3. Tanda kekambuhan pada aspek sosial orang gangguan jiwa a. Duduk menyendiri, melamun.

b. Tunduk.

c. Menghindar dari orang lain.

d. Tergantung pada orang lain.

e. Tidak peduli pada lingkungan sekitar.

f. Interaksi kurang.

(3)

7 g. Kegiatan kurang.

h. Tidak mampu berperilaku secara normal.

2.3.2. Faktor Penyebab Kekambuhan Orang Gangguan Jiwa

Sullinger dalam Keliat (1996) mengidentifikasi empat faktor penyebab penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa, antara lain :

1. Personal

Klien yang minum obat secara tidak teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Penelitian Fikreyesus, (2016) menyatakan bahwa penderita yang patuh terhadap pengobatan 69% lebih rendah mengalami kekambuhan.

2. Lingkungan

Lingkungan sekitar tempat tinggal klien yang tidak mendukung, kurangnya dukungan sosial dan adanya stigma di masyarakat dapat meningkatkan kekambuhan.

Penelitian Fikreyesus (2016) menemukan bahwa penderita yang memiliki dukungan sosial 48% lebih rendah mengalami kekambuhan dibanding penderita yang tidak mempunyai dukungan sosial.

3. Penanggung jawab

Setelah penderita gangguan jiwa pulang ke rumah, maka petugas kesehatan yang ada di Puskesmas terdekat mempunyai tanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah. Dokter memegang peranan dalam mempertanggungjawabkan program pengobatan klien, seperti memberikan resep obat dan mewaspadai efek samping obat yang mungkin dapat mengganggu aktivitas.

4. Keluarga

Ekspresi emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan kekambuhan yang tinggi pada penderita gangguan jiwa. Selain itu, penderita mudah dipengaruhi oleh stres yang menyenangkan atau menyedihkan.

(4)

8 2.3.3. Tahap-Tahap Kekambuhan

Sundeen (2006) membagi kekambuhan menjadi 4 tahap, yaitu : 1. Overextension

Tahap ini menunjukkan ketegangan yang berlebihan. Penderita mengeluh perasaannya terbebani. Gejala dari cemas makin intensif dan energi yang besar digunakan untuk mengatasi hal ini.

2. Restricted consciousness

Tahap ini menunjukkan kesadaran yang terbatas. Gejala yang sebelumnya cemas, digantikan oleh depresi.

3. Disinhibition

Tahap ini ditunjukkan dengan munculnya hipomania awal, yang ditandai dengan mood yang tinggi, kegembiraan, optimisme dan percaya diri. Gejala lain hipomania adalah percaya diri yang berlebihan, waham kebesaran, mudah marah, senang dan suka menghambur-hamburkan uang, euphoria.

4. Psychotic disorganization

Gejala psikotik pada tahap ini sangat jelas terlihat. Tahap ini dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Penderita tidak lagi mengenal lingkungan/ orang yang familiar dan mungkin menuduh anggota keluarga menjadi penipu. Agitasi yang ekstrim mungkin terjadi, fase ini dikenal sebagai penghancuran dari dunia luar.

b. Penderita kehilangan identitas dan mungkin melihat dirinya sebagai pihak ketiga.

Fase ini menunjukkan kehancuran pada diri.

c. Total fragmentation adalah kehilangan kemampuan untuk membedakan realitas dari psikosis dan kemungkinan, dikenal sebagai loudly psychotic.

d. Psychotic resolution terjadi di rumah sakit, penderita diberikan pengobatan dan masih mengalami psikosis tetapi gejala berhenti atau diam.

2.4. Resiliensi

Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan dan permasalahan yang dihadapinya. resiliensi

(5)

9

bukanlah hal magic dan bisa dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui.

Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan kondisi buruk (adverse conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk pulih kembali dari kondisi tertekan (Mc. Cubbin, dalam Puji, 2012).

Menurut Reivich dan Shatte (2002), asumsi dasar dari resiliensi adalah bahwa dalam menghadapi suatu kesulitan atau tantangan, ada individu yang berhasil mengatasinya dengan baik (kembali) dan ada juga yang tidak berhasil. Dalam bukunya “The Resilience Factor”

menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan mengatasi terhadap suatu kejadian dan situasi yang berat atau masalah yang terjadi dalam sebuah kehidupan. Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa ciri-ciri individu yang resilien adalah resiliensi mampu mengendalikan emosi dan bersikap tenang walaupun berada di bawah tekanan, mampu mengontrol dorongannya dan membangkitkan pemikiran yang mengarah pada pengendalian emosi, bersifat optimis mengenai masa depan cerah, mampu mengidentifikasi penyebab dari masalah mereka secara akurat, memiliki empati, memiliki keyakinan diri, memiliki kompetensi untuk mencapai sesuatu.

Kesimpulannya bahwa resiliensi adalah kemampuan individu dalam menghadapi dan mengatasi masalah dengan keteguhan dan ketidak putus asaan, sehingga dapat bertahan dalam situasi yang membuat tertekan secara berlebih, dan mencoba bangkit untuk menjadi lebih baik.

2.4.1. Faktor-faktor resiliensi

Menurut Grotberg (1999) faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah a. I have (sumber dukungan eksternal)

b. I am (kemampuan individu)

c. I can (kemampuan sosial dan interpersonal)

Sedangkan menurut Simon, Murphy dan Smith (dalam, Wandasari 2012) menjelaskan tiga hal yang dapat mempengaruhi resiliensi keluarga/orang tua, yaitu :

a. Durasi situasi sulit yang dihadapi

(6)

10

Keluarga/orang tua yang mengalami situasi sulit dalam jangka waktu yang relatif singkat, hanya memerlukan perubahan dalam keluarga, sedangkan keluarga yang mengalami situasi sulit dalam jangka waktu yang relatif panjang akan memerlukan penyesuaian terhadap situasi yang dialami (McCubbin dan McCubbin, dalam Wandasari, 2012).

b. Tahap perkembangan keluarga

Tahap perkembangan keluarga mempengaruhi jenis tantangan atau krisis yang dihadapi dan kekuatan yang dimiliki keluarga untuk dapat mengatasi dan bangkit dari krisis tersebut (Wandasari, 2012).

c. Sumber dukungan internal dan eksternal

Sumber dukungan internal dan eksternal yang dimiliki keluarga saat menghadapi situasi sulit juga dapat mempengaruhi resiliensi. Keluarga/orang tua tidak hanya mengandalkan dukungan internal, tetapi juga mencari dukungan dari lingkungan sosial seperti keluarga besar, teman dan anggota komunitasnya akan menunjukkan resiliensi yang lebih besar (McCubbin, dalam Wandasari, 2012).

2.4.2. Aspek – aspek resiliensi

Reivich dan Shatte (2003) menjelaskan terdapat tujuh aspek yang membangun resiliensi dalam individu tersebut yaitu :

a. Emotion Regulation : adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan.

b. Impulse control : kemampuan individu dalam mengendalikan keinginan, kesukaan, ataupun tekanan yang timbul dari dalam diri individu

c. Optimisme : sikap ketika individu melihat masa depannya cemerlang.

d. Causal analysis : mengarah pada kemampuan individu dalam mengidentifikasi apa saja penyebab atau faktor dari permasalahan yang sedang kita hadapi secara akurat dan benar.

e. Empati : sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda – tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain.

f. Self – efficacy : adalah hasil dari pengentasan masalah yang berhasil.

g. Reaching Out : kemampuan individu dalam memetik hal positif dari kehidupan dimana ia telah mengalami keterpurukan dalam hidupnya.

(7)

11 2.4.3. Resiliensi Keluarga/Orang Tua ODGJ

Zauszniewski (2015) mengungkapkan ada 7 indikator resiliensi keluarga/orang tua ODGJ antara lain :

1. Penerimaan

Christensen dan Jacobson (dalam Zauszniewski, 2015) mendefinisikan penerimaan sebagai kemampuan untuk mentoleransi sesuatu yang mungkin dianggap sebagai perilaku yang tidak menyenangkan dari seorang anggota keluarga dengan penyakit jiwa, dengan beberapa pemahaman tentang makna yang lebih dalam dari perilaku tersebut dan penghargaan terhadap nilai dan kepentingannya.

2. Tahan Banting

Menurut Hardiness (dalam Zauszniewski, 2015) mendefinisikan tahan banting sebagai karakteristik kepribadian yang terdiri dari 3 hal yang saling berkaitan, antara lain kontrol, komitmen dan tantangan. Sedangkan menurut Maddi (dalam Zauszniewski, 2015) tahan banting melibatkan fleksibilitas kognitif dan perilaku, motivasi untuk menindaklanjuti melalui suatu rencana dan daya tahan saat menghadapi kesulitan. Sifat tahan banting keluarga ODGJ telah ditemukan dapat meminimalkan beban keluarga atau orang tua yang merawat ODGJ (Dibartolo, dalam Zauszniewski, 2015)

3. Harapan

Harapan tercipta dari kenangan dan dipengaruhi oleh hubungan dengan orang lain, hal ini menunjukkan kemajuan dan memberikan wawasan baru dan sebuah tujuan (Parse, dalam Zauszniewski 2015).

4. Penguasaan

Penguasaan adalah dimensi mengatasi stres yang mencerminkan rasa kontrol pribadi terhadap keadaan yang berpotensi merugikan. Penguasaan telah diidentifikasi sebagai sumber yang dapat memfasilitasi adaptasi keluarga terhadap penyakit jiwa (Zauszniewski, 2015).

5. Kemampuan diri

Kemampuan diri mengacu pada kepercayaan individu dalam menghadapi tantangan dan pertemuan yang menegangkan, evaluasi diri sendiri atas kemampuan melakukan aktivitas atau tugas untuk mencapai tujuan tertentu (Zulkosky, dalam Zauszniewski, 2015). Sedangkan Saunders (2002) mengatakan kemampuan diri keluarga yang merawat ODGJ telah dikaitkan

(8)

12

dengan pengelolaan masalah perilaku yang lebih baik, stres berkurang, dan beban subyektif rendah.

6. Rasa koherensi

Rasa koherensi didefinisikan sebagai orientasi global terhadap kehidupan yang melibatkan elemen kognitif, perilaku dan motivasi dan dinyatakan dalam keyakinan bahwa dunia dapat dipahami, mudah dikelola dan bermakna (Antonovsky, dalam Zauszniewski, 2015).

7. Kesadaran

Menurut Rosenbaum (dalam, Zauszniewski, 2015). mendefinisikan kesadaran sebagai keterampilan kognitif dan perilaku yang digunakan untuk mencegah dampak negatif pikiran, perasaan atau sensasi terhadap kegiatan sehari-hari.

2.5. Pengertian Caregiver

Dalam bahasa Indonesia Caregiver berarti pengasuh. Caregiver adalah seseorang yang dibayar ataupun yang sukarela bersedia memberikan perawatan kepada orang lain yang memiliki masalah kesehatan dan keterbatasan dalam merawat dirinya sendiri, bantuan tersebut meliputi bantuan untuk kehidupan sehari-hari, perawatan, kesehatan, finansial, bimbingan, persahabatan serta interaksi sosial (Schulz, Quittner dan Swanson dalam Nainggolan, 2013).

2.5.1. Tugas-Tugas Caregiver

Arksey (dalam Isnaeni, 2015) menyatakan bahwa tugas utama caregiver adalah membantu dalam perawatan personal, yang meliputi berpakaian, mandi dan urusan toilet, membantu dalam mobilitas seperti berjalan atau membantu membaringkan di tempat tidur, melakukan tugas-tugas keperawatan, termasuk pengawasan obat atau mengganti pakaian, memberikan dukungan emosional sebagai teman dekat bagi recipient atau keluarga, melakukan tugas-tugas praktis rumah tangga, termasuk memasak, berbelanja, pekerjaan rumah.

Milligan (dalam Simanjuntak, 2016) melakukan penelitiannya mengenai fakta dan tugas caregiver. Tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas kepada pekerjaan rumah tangga,

akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu:

1. Physical Care / Perawatan fisik : memberi makan, menggantikan pakaian, memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain

(9)

13

2. Social Care / Kepedulian sosial : mengunjungi tempat hiburan, menjadi supir, bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia di luar perawatan di rumah.

3. Emotional Care / kepedulian emosional : menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang kepada pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan ditunjukkan melalui tugas-tugas lain yang dikerjakan.

4. Quality Care / kepedulian terhadap kualitas kerja : memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan indikasi kesehatan secara umum tugas dari semua caregiver adalah memberi bantuan dalam bentuk dukungan fisik, sosial maupun emosi.

2.6. Kerangka Berpikir

Anak dengan status ODGJ yang memiliki riwayat kekambuhan, di sebuah keluarga ketika memiliki anak yang mengalami gangguan jiwa akan memiliki beragam permasalahan sendiri terutama ketika gejala kekambuhan timbul, orang tua berperan sebagai pengasuh utama bagi anak tersebut, peran orang tua meliputi tugasnya sebagai caregiver yaitu : perawatan fisik, peduli dengan kebutuhan sosial, menjadi figur yang memberikan cinta dan kasih dalam hal ini emosi.

Saat orang tua berusaha mengasuh secara langsung dirumah, resiliensi atau ketahanan diri menjadi tanggung jawab yang harus dipikul. Resiliensi meliputi faktor dan aspek. Ketika mengasuh anak dengan ODGJ yang mengalami kekambuhan aspek dan faktor pembentuk resiliensi akan dilihat sebagaimana tujuan dari penelitian ini adalah melihat gambaran resiliensi orang tua sebagai pengasuh anak dengan ODGJ di rumah yang memiliki kekambuhan.

Dalam penelitian ini peneliti berfokus untuk melihat aspek dan faktor resiliensi dari subjek D yang menjadi caregiver anaknya dengan gangguan jiwa secara langsung dirumah.

Menggunakan metode kualitatif dengan desain studi kasus, peneliti mendalami dinamika kehidupan masa lalu yang menjadi latar belakang subjek memiliki anak dengan gangguan jiwa, berpacu pada aspek resiliensi dan faktor resiliensi peneliti melihat gambaran ketahanan diri pada subjek D berdasar hasil wawancara dan analisis data secara verifikatif dengan pendekatan triangulasi sumber yang kredibel.

Referensi

Dokumen terkait

Kerangka konsep penelitian ini adalah untuk memperoleh Strength of product yang dimiliki oleh software dan hardware ERP yang ditentukan oleh komitmen manajemen puncak

Metode pentarikhan radiokarbon dengan fase gas asetilena diperkenalkan dalam tulisan ini untuk menentukan umur absolut batuan atau endapan pada suatu singkapan paleoseismik,

Menjadikan utara Kota Medan sebagai kawasan minapolitan diyakini akan manjadikannya sebagai kawasan cepat tumbuh ekonomi dengan melakukan perencanaan dengan

Pengujian dilakukan untuk megetahui berapa nilai factor kalibrasi sesnsor untuk dapat mengukur berat benda yang tepat, yang mana nilai tersebut akan digunakan

Dari radius yang telah ditentukan oleh standart ASHRAE, dapat diketahui beberapa bahan mentah yang dapat dijadikan material bangunan pada tapak lokasi pembangunan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dibuat sedia- an tablet lepas kontrol Teofilin dalam empat formula dengan kombinasi jumlah pati singkong terpregelatinasi dan Laktosa..

[r]

Unit gasifikasi plasma mengubah material yang mengandung karbon seperti limbah padat perkotaan dan bahkan limbah B3 seperti limbah bio dari rumah sakit, menjadi dua jenis