NEGARA HUKUM YANG BERKE-TUHANAN DAN PLURALISME (SISTEM) HUKUM DI INDONESIA
Oleh : Tristam P. Moeliono*) [email protected]
Abstrak
Hukum dan Negara Indonesia dibangun dan dilandaskan pada nilai-nilai luhur butir-butir Pancasila dan satu yang terpenting adalah sila Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Persoalannya adalah apakah yang sebenarnya kita maksud ketika menyebut Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa sebagai landasan berhukum dan bernegara. Tulisan ini menyoal pertanyaan ini dari sudut pandang filsafat hukum dengan menelusuri pandangan-pandangan pemikir hukum Indonesia dan membenturkannya dengan kontestasi identitas politik dalam kehidupan keberagaman di Indonesia. Sejumlah konsekuensi logis yang muncul dari pilihan Pancasila sebagai landasan berhukum dan bernegara adalah penolakan gagasan Negara sekuler maupun Negara agama.
Kata kunci: Pluralisme hukum di Indonesia
Abstract
Indonesian law and state should be developed on the basis of the basic values encapsulated in the State ideology Pancasila, most notably the belief in the One God. The issue to be discussed here is how the concept of One God Almighty should be understood in the context of law and state building. This article intents to explore this problem from a legal philosophical perspective, i.e. by following how Indonesian legal scholars discuss this topic and by confronting it with the political contestation of the nation‟s identity. A number of logical consequence can be drawn from the conscious choice of referring to Pancasila, i.e. the rejection of both a secular or theological state.
Keyword: Legal pluralism in Indonesia
A. Pendahuluan
Konstitusi Indonesia (UUD 1945) menye- but dengan tegas: Indonesia adalah negara kesa- tuan, negara hukum (yang demokratis) sekaligus negara berke-Tuhan-an.1 Secara ringkas kedau-
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahya- ngan. Bidang kajian ilmu hukum yang diampu: Fillsafat Hukum dan Perbandingan Hukum. Anggota APPTHI- APSI sejak 2015. Tulisan ini merupakan pengembangan dari beberapa tulisan lain yang diunggah di laman academia.edu.
1 Pasal 1 UUD 45 menegaskan Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional dan negara hukum, prinsip-prin- sip yang sebenarnya telah cukup kuat untuk menegakkan negara demokrasi di mana mekanisme mayoritas dan mi- noritas dalam pengambilan keputusan dilaksanakan sei- ring dengan penghargaan pada prinsip penghargaan hak- hak asasi manusia. Dengan perkataan lain, demokrasi (ke-
latan (kekuasaan tertinggi) negara atas rakyat dan wilayah (territorial) dikaitkan pada keberla- kukan hukum, prinsip demokrasi dan kekuasaan Tuhan (Yang Maha Esa). Bagaimana pernyata- an ini harus diterjemahkan ke dalam pemberla- kuan dan keberlakuan satu sistem hukum nasio- nal di negara hukum demokratis (di-) Indone- sia? Apakah di wilayah kedaulatan Negara In- donesia artinya juga harus berlaku satu sistem
daulatan rakyat) harus berjalan seiring dengan nomokrasi (supremasi hukum). Perhatikan pula bunyi ketentuan Pa- sal 29(1) UUD 1945: negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini harus dibaca pula dalam kaitan dengan ayat(2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
hukum nasional (terikat ruang-waktu; relatif dan temporer) dan pada saat bersamaan juga sekian banyak hukum agama/keyakinan yang masing- masing menyatakan bahwa sumber hukum ha- nyalah (perintah) Tuhan (kekal-abadi dan pasti benar) dari agama mereka sendiri? Bagaimana kemudian seharusnya wujud negara dan hukum berkeTuhanan di Indonesia?
Ketentuan Pasal 27 UUD 1945 jelas me- nuntut adanya satu negara/pemerintahan yang memberlakukan sistem hukum bagi semua war- ga Indonesia. Kesamaan perlakuan di hadapan hukum dan pemerintahan (prinsip non-diskrimi- nasi dalam negara hukum) seyogianya diberikan kepada semua warganegara tanpa kecuali, terle- pas dari identitas suku, ras dan agama.2 Dalam artian itu hubungan Negara (pemerintah) dengan orang-perorangan seyogianya hanya dikaitkan pada konsep warga-negara (citizenship) atau ke- anggotaan pada komunitas politik yang bernama negara.3 Tuntutan atau pengharapan serupa muncul bahkan jauh sebelum Indonesia menjadi fakta empirik dalam pergaulan masyarakat inter- nasional, yaitu ketika pada 1928 para pemoeda di Hindia Belanda menyatakan kesatuan bangsa, bahasa dan negara Indonesia (dan sama sekali tidak menyebutkan “keniscayaan” satu agama/
keyakinan). Kesemua itu mengindikasikan ada- nya cita-cita memberlakukan satu pemerintahan dan satu sistem hukum bagi (ragam suku-) bangsa di Hindia Belanda yang bersama-sama menderita di bawah “penjajahan” pemerintah kolonial. Dengan kata lain, solidaritas kebang- saan tumbuh kembang di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan mendahului berdi- rinya NKRI secara yuridis-formal.
Benedict R.O.G. Anderson di sini berbi- cara tentang imagined solidarity4 yang mem-
2 Pasal 27 (1) segala warganegara bersamaan kedudukan- nya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjun- jung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecu- alinya.
3 Lihat lebih lanjut: Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Ne- gara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. hal. 33. hal 241 et seq.
4 Benedict Anderson mendefinisikan nation as "an ima- gined political community - and imagined as both inhe- rently limited and sovereign". Lebih lanjut ia menyatakan bahwa nation "is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow- members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion”. An-
bentuk nation Indonesia yang menuntut kemer- dekaan pada 1945. Apakah mitos tentang pen- jajahan 350 tahun di bawah Belanda5 dan 3.5 tahun di bawah Jepang cukup untuk memperta- hankan solidaritas sebagai kesatuan masyarakat Indonesia dalam NKRI? Sejalan dengan itu Er- nest Renan menyatakan bahwa a nation is a daily refendum (just as the continuing existence of an individual is an affirmation of life) dan ra- sa kebangsaan (nasionalisme) dibentuk oleh apa yang secara koletif sengaja diingat maupun dilu- pakan.6 Artinya ingatan kolektif dan begitu pu- la gagasan yang melandasi nasionalisme atau ikatan solidaritas lainnya (kesamaan agama, suku atau ras bahkan pengalaman bersama me- ngalami kolonialisme Belanda maupun Jepang) terbentuk dengan sangat selektif (dalam lintasan waktu dan pengalaman keseharian) dan tidak mutlak dilandaskan pada sejarah faktual.7
Di dalam dunia nyata, baik (alm.) M.Hatta (sebagai mahasiswa di Rotterdam) maupun Soe- karno (di Hindia Belanda) bereaksi keras terha- dap “ketidakadilan struktural” dalam bentuk dis- kriminasi/ketidaksamaan dihadapan hukum dan pemerintahan yang dilestarikan sistem hukum (pluralistik) Hindia Belanda saat itu.
Namun ketika dunia berubah begitu jauh dan cepat, apakah semangat menentang ketidak- adilan (sistem) hukum pemerintahan kolonial (kolonialisme-imperialisme) masih menggugah dan mempersatukan masyarakat Indonesia yang de facto dikarakteristikan oleh perbedaan (suku, agama/keyakinan dan ras) dalam satu semangat
derson, Benedict R. O'G. Imagined Communities: reflec- tions on the origins and spread of nationalism (Revised and extended. ed.). London: Verso: 1991. p. 224.
5 G.J. Ressink, Bukan 350 Tahun Dijajah, Jakarta: Ko- munitas Bambu, 2012. Lihat Marieke Blombergen (2011), Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Keperdulian dan Ke- takutan, Jakarta: Kompas.
6 Renan, Ernest. "What is a Nation?" in Eley, Geoff and Suny, Ronald Grigor, (ed.) Becoming National: A Reader.
New York and Oxford: Oxford University Press, 1996:
pp. 41-55.
7 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, edisi terjemahan, Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2009.
Tulisan ini dapat dikontraskan pada Paul Michel Munoz, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula, Singapore: Mainland Press, 2006. Baca lebih lanjut: Suryadi, “Buku „Greget Tuanku Rao‟ dan Kontroversi Kepahlawanan Tuanku Tambusai”, (Padang.
Kinicom; 19/10/2008).
kebangsaan (nasionalisme atau imagined solida- rity)? Jawaban atas pertanyaan ini terkait de- ngan bayangan kolektif kita tentang cita negara- hukum (recht/staats-idee) serta tantangan hari ini dan masa depan yang dihadapi bangsa Indo- nesia. Dengan kata lain, pada tingkat lebih abs- trak, kita setiap kali dipaksa untuk memperta- nyakan kembali landasan keabsahan eksistensi Negara Indonesia, kekuasaan pemerintahan dan keberlakuan sistem hukum (nasional) dalam ne- gara kesatuan Indonesia yang berdaulat.
Pertanyaan-pertanyaan di atas dalam ra- gam prakarsa pembaharuan hukum nasional ja- rang - bila tidak hendak dikatakan tidak pernah - dipikirkan kritis dan terbuka serta dalam sua- sana dialog/debat yang ditujukan pada pengem- bangan humanitas expleta et elequens. Jarang atau tidak pernah ada tulisan yang mengaitkan negara hukum demokratis secara serius pada pandangan keTuhanan (dalam konteks kebera- gaman suku, ras, agama/keyakinan yang dianut) dan menelusuri konsekuensi dari itu pada landa- san legitimasi kekuasaan politik dan keberlaku- an (sistem) hukum nasional (yang niscaya di- buat demokratis dan sebab itu dapat dianggap) berlaku tanpa kecuali bagi setiap warga-negara.
Terlalu cepat kita mengandaikan bahwa sejarah sudah selesai, NKRI sudah berdiri sejak 1945 dan nasionalisme (kebangkitan nasional) cukup dibuktikan dengan adanya Soempah Pemoeda pada 1928 atau pernyataan setia pada (asas tunggal) Pancasila. Juga tidak cukup pernyataan sikap atau politik dari partai politik atau unsur- unsur masyarakat lain bahwa NKRI untuk ma- syarakat bhineka tidak dapat ditawar-tawar.8
Sebaliknya banyak dan mudah ditemukan tulisan-tulisan pada zaman Orde Baru tentang
kum banyak merujuk teori-teori besar tentang legitimasi kekuasaan negara (demokrasi, kedau- latan negara-hukum) dan hukum (positivisme- naturalisme) namun tidak atau belum membu- mikannya ke dalam situasi Indonesia riil. Seba- gai bandingan yang banyak muncul adalah tuli- san tentang bagaimana seharusnya Islam berpe- ran dalam kehidupan Negara.10
Dapat dibayangkan dalam diskusi seperti ini, fakta empirik perihal keberagaman budaya/
agama dalam masyarakat Indonesia dan masa- lah-masalah yang muncul dari itu akan dinegasi- kan atau setidak-tidaknya dikecilkan. Persoalan dan bentrokan antar kelompok masyarakat, pe- rebutan kekuasaan politik-ekonomi di tingkat lokal maupun nasional yang berasal dari fakta keragaman agama dan hubungan lintas agama dalam masyarakat pluralistik negara berkeTuha- nan, seringkali dianggap tabu untuk dibicangkan dan diperdebatkan terbuka karena dianggap ter- lalu sensitif dan mudah menyulut emosi masya- rakat.11 Demi menjaga keamanan dan ketertiban kita seringkali memilih untuk tidak mengkon- frontasi akar persoalan. Tampak nyata kita, se- tidak-tidaknya di ruang publik, secara sukarela melakukan self-censorship. Padahal bagaimana- pun juga teori-teori besar tersebut sebagaimana layaknya teori harus dibenturkan pada realitas masyarakat, bangsa-negara dan hukum Indone- sia. Dengan kata lain, harus dilakukan reality check dalam rangka verifikasi atau falsifikasi bahkan mungkin pencarian paradigma baru.
Upaya ke arah ini sudah dan masih dilaku- kan secara dominan oleh peneliti asing. Peneli- tian besar yang dikoordinasikan Tim Lindsey (Australia)12 atau Henk Schulte Noordhold (Belanda)13 misalnya memprakarsai studi empiri P4, dan penegasan bahwa Pancasila adalah
sumber dari segala sumber hukum (dan sebab itu juga legitimasi kekuasaan negara/pemerin- tah). Sementara itu buku-buku tentang „ilmu ne- gara‟ dan „filsafat hukum‟ (di-Indonesia)9 yang dipergunakan sebagai bahan ajar di fakultas hu-
8 Dalam amandemen UUD 1945 keempat pada tahun 2002, MPR berkomitmen terhadap bentuk negara kesatu- an dengan menyepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
9 Soehino SH., 1985, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty yang menginspirasi banyak pengajar ilmu negara di fakul- tas hukum di Indonesia lainnya untuk menulis hal yang sama. Lihat antara lain: I Gde Pantja Astawa & Suprin
Na‟a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara: Jakarta, Refika Aditama, 2009.
10 Birgit Krawietz & Helmut Reifeld (Hrsg.) (eds.), Islam dan the Rule of Law: Between Sharia and Secularization Berlin: Konrad-Adeneur-Stiftung, 2008. Bdgkan juga dengan KH. Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam:
Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Ja- karta: the Wahid Institute, Gerakan Bhineka Tunggal Ika
& Maarif Institute, 2009.
11 Agita Sukma Listyanti, “Polisi Akui Bubarkan Paksa Dialog Lintas Agama” (Tempo.co.id; 12 juni 2013).
12 Tim Lindsey (ed.), Indonesia: Law and Society, 2nd edition, the Federation Press, 2008.
13 Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (ed.), Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto
tentang perkembangan pemikiran negara, ma- syarakat dan sistem hukum Indonesia dari sejak kemerdekaan sampai dengan pasca reformasi.
Salah satu hal yang diangkat ialah tentang per- debatan old state-new society atau new state-old society, landasan legitimitas kekuasaan peme- rintahan Orde Baru: apakah sebagai beambten- staat, negara korporasi, dan seberapa terkonsoli- dasinya kekuataan politik dan kedaulatan negara Indonesia.14 Juga dipersoalkan seberapa jauh pemerintahan pasca Orde Baru telah berubah dan mengubah tatanan negara dan hukum.
Tulisan-tulisan tersebut namun demikian belum atau tidak menyentuh peran dan dampak keberagaman agama dalam kehidupan politik hukum Indonesia. Ihtiar ke arah itu sebaliknya dapat ditemukan dalam dissertasi (yang kemu- dian dibukukan) dari Denny Indrayana perihal amandemen UUD 1945 pasca reformasi15 serta ulasan Yudi Latif tentang negara paripurna yang berupaya menemukan dan mengaitkan kembali Pancasila sebagai dasar negara hukum Indonesia.16 Namun juga tulisan mereka tidak secara khusus menyoal keberagaman agama/ke- yakinan serta dampaknya terhadap pemikiran dan pengembangan sistem hukum dan politik (negara). Hanya sejumlah kecil penulis lain
yang sudah mulai mengangkat persoalan kebe- ragaman (dalam masyarakat Indonesia) dalam kaitan dengan demokrasi serta pengembangan sistem hukum nasional.17 Djiwandono, misal- nya, menyatakan bahwa:18
“(...) jelas bahwa ideologi Pancasila itu tidak dipahami secara sama oleh berbagai golongan agama di Indonesia, khususnya menyangkut sila pertama, yaitu Keperca- yaan kepada Tuhan YME. Perbedaan, ke- rancuan atau ambivalensi pemahaman ten- tang makna sila pertama itu, meskipun ti- dak pernah secara terbuka diungkapkan, apalagi didiskusikan dan diperdebatkan -- kecuali di dalam Badan Konstituante se- belum pemungutan suara -- telah selalu mengancam persatuan bangsa dan keutu- han negara. Hal itu lebih lanjut mengaki- batkan kerancuan identitas negara Indone- sia, yang "bukan negara sekuler", tetapi juga "bukan negara agama".
Tulisan ini akan sekalipun mengikuti ikh- tiar para pendahulu di atas, secara tegas hendak menelusuri persoalan berbeda: wujud dan legiti- masi negara Indonesia yang demokratis, berke- Tuhanan dan dilandaskan pada hukum dalam
masyarakat yang dicirikan kebhinekaan. Untuk
Indonesia, Leiden: KILTV Press, 2007. Di bagian Intro- duction, kedua editor menelaah perkembangan pemikiran tentang negara Indonesia dalam perspektif perdebatan old state-new society atau new state-old society dan upaya mencari terobosan baru (rethinking analytical categories) dalam rangka memahami perkembangan terkini dari nega- ra, masyarakat dan sistem hukum di Indonesia. Bdgkan juga dengan: Edward Aspinall & Gerry van Klinken (ed.), The State and Illegality in Indonesia, Leiden: KITLV Press, 2011. Pokok bahasan dalam buku ini adalah pemili- han kabur antara negara/hukum formal-legal dengan yang informal dan illegal.
14 Lihat B.R.O‟G Anderson, Old Society, New State: In- donesia‟s New Order in Comparative Perspective, Journal of Asian Studies 42:3 (mei 1983). Bdgkan juga dengan Ruth McVey, The Beamtenstaat in Indonesia dalam B.R.O‟G Anderson & Audrey Kahin (ed.) Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate.
Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.
15 Denny Indrayana, UUD 1945: Antara Mitos dan Pem- bongkaran, diterjemahkan dari Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Ma- king in Transition, penerjemah E. Setiyawati A, cetakan pertama, Bandung: Mizan, 2007.
16 Yudi Latif, Negara Paripurna: historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Uta- ma, 2011.
mengulas persoalan di atas, maka akan ditelaah secara umum konsep sekuler(isasi atau -isme) yang umumnya dikaitkan pada pembentukan Negara (hukum) modern (sekuler) atau justru ditolak negara berkembang (non-sekuler). Hal ini dianggap penting karena pandangan tentang kedudukan agama (sistem kepercayaan/keyaki- nan) dalam kehidupan bermasyarakat-bernegara jelas akan berpengaruh terhadap penerimaan atau penolakan terhadap keberagaman agama/
keyakinan (dan keberlakuan ragam sistem hu-
17 Periksa Felix Baghi SVD, Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi, Cet-I, Maumere: Ledalero, 2012. Dari kalangan Islam dapat disebut, Ratno Lukito: Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi da- lam Sistem Hukum Indonesia, cet-1, Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008. Dalam bukunya yang lain (Legal Plura- lism in Indonesia (Routledge, 2012) ia menelusuri kebija- kan pemerintah terhadap (sub-) sistem hukum agama dan hukum adat dalam pengembangan hukum nasional.
18 J. Soedjati Djiwandono, “Mukadimah UUD 1945 Tidak Sakral, Perlu Diganti”, SUARA PEMBARUAN DAILY 9/2/04.
kum) dalam suatu negara. Dalam hal ini akan ditelaah sikap dan pandangan umum terhadap gagasan pemisahan negara dengan agama di du- nia pada umumnya dan Indonesia pada khu- susnya. Ini akan menjadi landasan bagi diskusi perihal pilihan sadar Indonesia untuk menjadi negara berkeTuhanan. Dalam hal ini pertanyaan pokok adalah negara hukum seperti apakah yang muncul dari negara modern berkeTuha- nan? Lantas apa pengaruhnya terhadap legitima- si kekuasaan politik negara dan hukum negara?
Pada bagian akhir akan diberikan sejumlah sim- pulan umum.
B. Sekularisme/Sekularisasi: persoalan Pe- misahan Agama Dari Ranah Penyeleng- garaan Kehidupan Publik
Demi kemudahan pembahasan sejak awal perlu dibedakan dua konsep: sekularisme de- ngan sekularisasi. Keduanya berakar dari kata saeculum (dunia yang ada sekarang; temporer (di sini-saat ini) yang dikontraskan dengan rea- lita yang abadi-kekal dan sebab itu tidak beru- bah). Untuk yang pertama, sekular(-isme) sudah mengindikasikan pandangan ideologis atau po- sisi politik tertentu. Pandangan yang dilandas- kan –isme, sepanjang berkaitan dengan ihwal hukum dan negara, memandang pemisahan ke- hidupan politik (publicum) dari kehidupan kea- gamaan (privatum) sebagai keniscayaan. Negara dan hukum, dalam pandangan ini tidak boleh di- landaskan dan berpihak pada ajaran agama ter- tentu. Maka hukum negara dipandang terpisah tegas dari norma agama dan sebab itu sertamerta dianggap anti Tuhan. Kemungkinan besar ke- condongan ini diakibatkan pencampuran sekula- risme dengan pandangan (anti religi yang diku- mandangkan) Karl Marx.19
19 Pandangan Marx perihal agama dapat ditemukan dalam tulisannya yang merupakan kritik terhadap tulisan Hegel, Philosophy of Law. Ia menulis: “Religious distress is at the same time the expression of real distress and the pro- test against real distress. Religion is the sigh of the oppre- ssed creature, the heart of a heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people. The abolition of religion as the illusory happiness of the people is required for their real happiness. The de- mand to give up the illusion about its condition is the de- mand to give up a condition which needs illusions.”
Dikutip dari Austin Cline, Why Does Religion Exist?:
Karl Marx's Analysis of Religion (http://atheism.about.
com, last visited 1 juli 2013).
Sedangkan yang dimaksud dengan sekula- risasi (setidaknya dalam tulisan ini) harus dipa- hami sebagai murni gejala social (empiri) yang lagipula sifatnya tidak deterministik.20 Sebab itu berbeda dengan sekularisme, sekularisasi tidak dipahami sebagai suatu preskripsi normatif (yang lagipula kerap begitu saja dipandang se- bagai anti-agama dan anti Tuhan). Gejala mun- durnya peran institusi agama dan norma-norma agama dalam kehidupan sosial-politik masyara- kat modern (khususnya negara-negara maju) adalah fenomena empiri dan bukan suatu kenis- cayaan (prescription) yang harus ditempuh ne- gara berkembang untuk menjadi maju. Selain itu, gejala itupun bukan kata akhir. Masih ter- buka kemungkinan terjadi pembalikan: masya- rakat kembali menjadi ultra-religius.
Pada saat sama harus dicermati bahwa ilmu pengetahuan modern justru berkembang ketika “(K)ebenaran” yang kekal-abadi (dan se- bab itu diletakan di luar jangkauan pemikiran dan batas cakrawala kemampuan manusia) di- bedakan dari “(k)ebenaran sekuler” (temporer- spatial) dan (sebab itu) dapat diungkap oleh akal (nalar; ratio) manusia yang serba terbatas. Da- lam hal ini perlu ditegaskan pembedaan antara Tuhan Yang Maha Kuasa sumber (K)ebenaran dengan manusia (tidak sempurna-hidup dalam ketidakpastian dan kesementaraan) yang ber- juang keras mengungkap rahasia alam semesta.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbukanya akses pendidikan (formal) tidak ha- nya pada biarawan di Eropa abad pertengahan mendorong pemikiran bahwa “kebenaran” ilmi- ah yang berbeda (rasionalisme/empirisme) dari kebenaran Ilahi bisa tumbuh kembang di luar Gereja dan ajaran agama (yang cenderung bersi- fat dogmatis). Lebih jauh berkembang pula pan- dangan bahwa kebenaran ilmiah yang dilandas- kan pada pengamatan (observasi), pengujian (verifikasi/falsifikasi) pola dan kausalitas gejala alam/sosial justru, bahkan niscaya, jauh lebih unggul dari kebenaran Ilahi yang meski absolut dianggap semata-mata bersifat spekulatif dan sebab itu pula tidak „rational‟. Adalah perkem- bangan “kebenaran ilmiah” di luar Gereja yang
20 Sebagaimana menjadi titik tolak penelitian yang melan- dasi tulisan Pippa Norris & Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide, 2nd ed., Cam- bridge University Press, 2011.
mendorong sekularisasi dunia dan sekaligus ke- yakinan (sekalipun masih dapat diperdebatkan) bahwa pandangan sekuler niscaya lebih unggul daripada yang non-sekuler.21
Maka gejala alam maupun sosial (baik pa- da tingkat personal atau kelompok) yang dahulu diterangkan sebagai bukti kecintaan/kepedulian Tuhan atau sebaliknya - bilamana muncul seba- gai “bencana” - adalahi wujud kemarahan Tuhan terhadap pendosa (individual atau kolek- tif), dianggap dapat dijelaskan oleh ilmu penge- tahuan (manusia) sebagai sekadar gejala alami- ah (yang tidak membutuhkan intervensi –mau- pun perkenan Tuhan). Keberaturan (order) atau sebaliknya keteracakan sistematis (systematic chaos) yang muncul dalam alam semesta mau- pun dunia manusia (Makro-mikro Cosmos), de- ngan demikian, di demistifikasi atau desakrali- sasi. Apa yang dahulu dianggap sacrum-sacral (berada di ranah Ilahi) dan sepenuhnya diterang- kan sebagai anugerah atau wujud amarah Ilahi sekarang menjadi sepenuhnya gejala profan yang dapat dijelaskan oleh “ilmuwan” secara masuk akal (rasional-logis). Pandangan religio- us-magis-mistikal digantikan (sekalipun tidak (mungkin) sepenuhnya) oleh pandangan ratio- nal-empirik.
Sebaliknya juga teramati gejala social ber- beda, yaitu munculnya gejala de-sekularisasi, (di-)kembali(kan)-nya peran agama dan nilai-ni- lai keagamaan ke dalam kehidupan sosial-po- litik manusia dan hukum. Untuk yang pertama, dapat dicermati bahwa dunia-modern dan post- modern ternyata tidak berhasil menyingkirkan peran agama dalam kehidupan sosial politik (ba- nyak negara berkembang). Seperti yang dapat dicermati terjadi di Indonesia sekarang ini, ma- syarakat menuntut agar pemerintah dan hukum lebih peduli dan mengadopsi nilai-nilai religius, terutama nilai-nilai yang mengatur kehidupan kemasyarakatan, bukan sekadar aturan yang me- ngatur tata cara ibadah (ritual). Keyakinan yang kiranya melandasi gerakan di atas ialah bahwa norma etis hanya dapat ditemukan di dalam aga- ma dan sebaliknya tidak (mungkin) dapat dite- mukan di dalam norma-norma hukum formal.
21 Baca lebih lanjut perdebatan antara Leonard Mlodinow (ilmuwan-ateis) dengan Deepak Chopra (spiritualis) yang dibukukan dalam “Is God an Illusion? The Great Debate Between Science and Sprituality, London: Rider, 2011.
Selain itu ditengarai, sekularisasi (dan de- mistifikasi/desakralisasi realita) justru mening- galkan kekosongan spritiual. Manusia (perora- ngan) dan masyarakat tidak akan puas dengan pencapaian kebahagiaan atau kesejahteraan ma- teriil saja. Lagipula teknologi modern ternyata belum juga berhasil menjawab banyak persoalan mendasar manusia. Berhadapan dengan keseme- ntaraan dan rapuhnya kebahagiaan duniawi, bahkan penderitaan serta kematian, manusia (baik sebagai individu atau sebagai bagian dari masyarakat) akan mencari makna kehidupan di luar dan di atas dunia materiil. Dinyatakan bah- wa sebagai homo religiousus, manusia akan te- rus mencari makna lebih dalam (di balik dan melampaui kenyataan keseharian). Dengan itu pula dunia dan kehidupan sehari-hari manusia (temporal) kembali dikonstruksikan sebagai ke- hadiran dan campurtangan yang sakral.
Dengan kata lain, re-introduksi agama/
kepercayaan ke dalam kehidupan modern/post modern juga dipicu oleh kebutuhan manusia dan masyarakat akan kepastian hidup penuh makna (yang tidak temporer dan rambang) di bawah the sacred canopy (universum symbolicum).
Kebutuhan yang meningkat seiring ketidak- pastian masa depan dan keterasingan personal yang dirasakan akut oleh banyak masyarakat negara berkembang berhadapan dengan misal- nya modernisasi-globalisasi yang tidak selama- nya perlu dan mutlak dialami sebagai berkah.
Sebagai reaksi balik, muncul pandangan bahwa kepastian makna dan tujuan hidup bermasyara- kat maupun sebagai individu hanya dapat dibe- rikan ajaran-ajaran agama/kepercayaan. Sesua- tu hal yang tidak mungkin ditawarkan panda- ngan hidup (modern) yang sepenuhnya sekuler dan cenderung relativistik, bahkan cenderung nihilistik.22
Sebagai gejala social, maka sekularisasi dan de-sekuralisasi tidak muncul serupa dan sama di semua masyarakat. Di sini kita harus berbicara tentang derajat atau spektrum. Di Ero- pa dan masyarakat barat (modern dan post mo- dern) lainnya, sekularisasi dianggap sebagai ke- nyataan dan muncul dalam berkurangnya keter- gantungan masyarakat pada institusi Gereja
22 Sebagaimana muncul dalam filsafat existensialisme yang dikembangkan Nietzsche, Sartre dan kemudian juga Albert Camus.
maupun agama. Sekalipun tidak perlu langsung disimpulkan bahwa masyarakat (atau individu di masyarakat barat) otomatis menolak keberadaan Tuhan dan sepenuhnya menjadi ateis. Di bebe- rapa negara, Inggris misalnya Anglican masih menjadi agama negara dan Ratu/Raja dipandang berkuasa dengan seizin dan berkat dari Uskup Agung Canterburry. Ilustrasi lain ialah Iran pas- ca Revolusi yang berubah dari negara sekuler menjadi sepenuhnya negara berlandaskan aga- ma Islam (Syiah; setidaknya semasa pemerinta- han Imam Khomeini). Masyarakat Iran dalam derajat tinggi mengalami de-sekularisasi dunia sosial-politik. Begitu pula di negara-negara ber- kembang (non-barat) kita dapat amati gejala se- kularisasi dan de-sekularisasi dalam derajat yang berbeda-beda.
Lantas bagaimana di Indonesia? Sebelum menjawab soal ini kita bahas terlebih dahulu ba- gaimana sekularisasi (kehidupan politik dan hu- kum) muncul dalam lintasan sejarah kemuncu- lan negara bangsa di Eropa dan menyebar kese- luruh dunia.
C. Sekularisasi dan De-Sekularisasi Kekua- saan Politik Sebagai Proses Dan Pilihan Sadar Dalam Sejarah
Revolusi Perancis tegas membuktikan de- ngan guillotine bahwa Raja Absolut yang meng- klaim diri sendiri sebagai putera matahari dan wujud negara (l‟Etat c‟est moi) serta juga per- maisurinya hanyalah manusia biasa. Revolusi Perancis juga berhasil membuktikan bahwa sumber kekuasaan (untuk memerintah dan membentuk hukum) pada analisis terakhir ada- lah kehendak rakyat (nation atau people). Pe- merintahan (revolusioner) dibentuk oleh rakyat, untuk rakyat dan bertanggungjawab juga sepe- nuhnya pada rakyat yang membentuknya. Ga- gasan serupa melandasi pemikiran tentang hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri (peo- ple‟s right of self determination). Dalam kerang- ka ini hak membentuk negara merdeka dan ber- daulat (termasuk pemerintahan dan sistem hu- kum dalam wilayah negara) harus dipahami se- bagai hak yang melekat pada bangsa sebagai suatu hal yang alamiah (tidak niscaya karena anugerah Tuhan), hal mana ditegaskan Ameri- can Declaration of Independence.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi logis
dari gejala sekularisasi (di bidang social-politik- hukum) adalah diterimanya pandangan bahwa Negara dan/atau hukum (Negara) tidak mesti berwujud perintah Tuhan (bersifat kekal-abadi dan memuat kebenaran Ilahi). Sebaliknya, hu- kum (positif) niscaya dipandang sebagai sepe- nuhnya buatan manusia (dan sebab itu bersifat sementara dan tidak sempurna). Alhasil ketidak- taatan pada negara dan/atau hukum (buatan Ne- gara) bukan urusan dosa yang harus diganjar de- ngan api neraka atau nestapa di bumi. Pada saat sama adalah juga keliru untuk kemudian me- nganggap hukum sebagai nir-susila. Bagaima- napun juga sebagai gantinya, Negara melalui hukum mengadopsi konsep salah ke dalam hu- kum pidana/perdata dan mengaitkanya dengan pertanggungjawaban hukum (liability based on fault) dan di dalam hukum pidana mengem- bangkan gradasi tingkat kebersalahan (dengan rencana, dengan maksud, karena salahnya, kare- na kelalaian) serta ancaman pidana yang ber- beda-beda tergantung tingkat/derajat kesalahan tersebut. Dengan cara serupa, hukum perikatan, khususnya kontrak, selalu mengandaikan bahwa manusia harus dapat dipegang kata-katanya dan perjanjian sepatutnya dibuat dan dilaksanakan dengan itikad baik. Ini mengandaikan adanya manusia (dengan atau tanpa agama) yang ber- moral atau setidak-tidaknya beradab.
Keberlakuan (sistem) hukum Negara (atau dalam masyarakat) dengan demikian tidak perlu dan niscaya dikaitkan pada perintah Tuhan (yang karena kekal-abadi berada di luar kenisca- yaan kehidupan manusia yang justru dibatasi ruang-waktu). Kedua-duanya dianggap semata- mata produk (karsa) manusia dan ketidaksem- purnaan di dalamnya adalah karena manusia (dan masyarakat) de facto tidak (pernah) sem- purna. Justru ketidaksempurnaan dalam hukum itulah yang setiap kali harus dikoreksi dan di- sesuaikan dengan kebutuhan manusia dan/atau masyarakat yang terus berubah. Sebab itu pula, peraturan perundang-undangan (hukum) dapat dikritik, diuji, dicabut atau diubah setiap saat bi- lamana dipandang perlu. Singkat kata ketidak- sempurnaan negara/pemerintahan dan hukum justru memberi ruang bagi koreksi, perbaikan dan pengembangan oleh masyarakat dan indivi- du yang juga tidak pernah/mungkin sempurna.
Dalam artian inipun (sistem) hukum yang di-
kembangkan negara, khususnya, tidak niscaya dilandaskan pada moral (yang berlaku pada sua- tu saat dalam masyarakat tertentu apapun sum- bernya), namun (dapat) dilepas dari (keberaga- man) moralitas-kesusilaan (individual-masyara- kat) yang terus berubah. Bahkan melalui hu- kum, negara dapat membentuk, mengarahkan atau membiarkan munculnya moralitas baru da- lam masyarakat. Misalnya berkenaan dengan penolakan terhadap praktik perbudakan, diskri- minasi rasial, atau penerimaan praktik monoga- mi-poligami yang pada suatu masa dipandang wajar, namun sekarang ini sulit diselaraskan de- ngan pandangan manusia dan masyarakat yang beradab.
Urusan menjalankan ibadah (ritual keaga- maan) sebab itu pula sepenuhnya dianggap ma- suk ranah privat yang tidak akan, bahkan boleh, dicampuri oleh negara dan hukum. Sebagaima- na di-idealisasikan oleh Komaruddin Hidayat:23
“Domain agama yang primer adalah di wi- layah individu, keluarga, dan komunitas, sedangkan negara dibentuk untuk menga- tur, melindungi, dan melayani warga ne- gara dan masyarakat secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan identitas dan ko- munitas agama. Jadi negara hanya satu, sedangkan agama dan komunitasnya bisa beragam”.
Pandangan kenegaraan tentang bagaimana mengatur hubungan antara dan menata kekuasa- an sekuler dengan “agama” bukanlah khas bu- daya barat. Pandangan serupa juga muncul da- lam sejarah kekaisaran Cina maupun Jepang, atau kekuasaan Faraoh atas Mesir selama ribuan tahun sebelum abad masehi. Solusi yang dija- lankan sangat sederhana: Kaisar berkuasa kare- na memegang mandat langit atau sebagai turu- nan langsung dewa tertinggi dan sekaligus men- jadi pimpinan agama atau setidak-tidaknya ber- kedudukan di atas pemimpin agama/keyakinan dominan saat itu.24
Pola pikir serupa misalnya muncul dalam kerajaan-kerajaan tradisional di nusantara. Ra-
23
Komaruddin Hidayat, “Agama, Parpol dan Negara”
(Kompas 15 juli 2013): 6.
24 Baca misalnya Francis Fukuyama, The Origins of Poli- tical Order: From Prehuman Times to the French Revo- lution. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2012.
ja-raja Hindu Budha di candi-candi yang terse- bar di Jawa Tengah-Timur digambarkan sebagai titisan Dewa. Sebagai bandingan Sultan (keraja- an Islam tradisional, setidaknya di Jawa) adalah pemangku bumi (hamengkubuwana/mangkubu- mi), pusat jagat raya (pakubuwana) dan berkua- sa karena memegang “pulung” atau “wangsit”
dari langit.25 Dalam posisi ini pula Sultan berke- dudukan sebagai penatagama, yaitu pimpinan tertinggi umat religius. Pola pikir yang melanda- si kerajaan Hindu-Budha dan Islam pra modern ini setidaknya di Nusantara dilandaskan pada pemahaman mandala (pusat lingkaran kekuasa- an: negara dan semakin jauh: mancanegara). Ra- ja/Sultan merupakan pusat keadaban-ketertiban dan di luar itu adalah manca-negara yang asing (yang tidak teratur, kacau dan tidak beradab).
Lebih jauh lagi diandaikan bahwa masya- rakat bersatu dan tidak terpisah dengan peme- gang kekuasaan (manunggaling lan kawula gus- ti).26 Dengan kata lain, tidak ada pemisahan an- tara state (government) dengan society yang ju- ga dipersamakan begitu saja dengan community.
Kekuasaan politik karena itu bukan titipan ke- percayaan (amanah) dari rakyat jelata, melain- kan kodrat atau anugerah yang dititipkan Yang Maha Kuasa. Pandangan di atas juga mengan- daikan tidak mungkin terbagi (terpisah-pisah- kannya) kekuasaan. Kedaulatan yang diperoleh dari atas tidak mungkin dibagi dan terbagi. Pe- misahan kekuasaan dari sudut pandang ini tidak masuk akal. Tuhan hanya akan memberikan
“wahyu/pulung” pada satu orang (dalam satu waktu) dan tidak pada orang-orang lain untuk memerintah dan berkuasa.
Singkat kata, jika kekuasaan sepenuhnya berasal dan harus dikembalikan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, pertanggungjawaban politik dan hukum penguasa hanyalah pada sumber kedaulatannya di muka bumi. Bilapun ia jatuh dari tampuk kekuasaan (karena pemberontakan, misalnya), hal itu cukup dijelaskan dengan me- rujuk pada kenyataan penguasa telah berdosa
25 Untuk ulasan sejarah kerajaan tradisional di Indonesia dan semenanjung Malaya baca: Paul Michael Munoz, op.
cit dan M.C. Ricklefs, op.cit.
26 Namun bdgkan juga dengan ulasan PJ. Zoetmoelder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, diterjemahkan Dick Hartoko.
Jakarta: Gramedia, 1991.
(melanggar perintah Tuhan) dan sebagai huku- man anugerah atau pulung bisa direbut atau di- alihkan pada yang lebih pantas. Kisah klasik pe- ngambilalihan kekuasaan oleh Ken Arok dari Tunggul Ametung (penguasa sebelumnya) dari zaman Jawa kuno adalah ilustrasi dari hal di atas.
Tidak mengherankan bila penguasa seku- ler berupaya menyingkirkan pesaing mereka da- ri panggung politik atau mengkooptasi kekuasa- an religius (solusi Cina, Jepang dan kerajaan tradisional di Indonesia atau mendorong sinkre- tisme adat/agama). Namun hal ini tidak terjadi dan dapat dilakukan sekaligus dan tidak selalu dilakukan melalui sekularisasi. Alternatif lain, seperti juga telah diindikasikan di atas, adalah mengadopsi agama/keyakinan berbeda dari yang diajarkan kelompok penguasa religius. Mi- salnya terjadi ketika penguasa Mesir yang ber- saing dengan pendeta Ammon Re, mengangkat diri sendiri sebagai Akhenaton (imam tertinggi ajaran yang berbeda/menyimpang). Pola serupa, dengan akhir berbeda, mungkin melandasi pula legenda adu kesaktian antara Kian Santang (Is- lam) dengan Prabu Siliwangi dari kerajaan Pa- djadjaran yang berakhir dengan mengilangnya (ngahiyang) yang disebut terakhir.
Sebagaimana muncul dalam sejarah Ero- pa, sekularisasi dalam artian penyingkiran alim- ulama (gereja) dari panggung politik terjadi ber- tahap. Pecahnya Gereja Anglican dari lingkup kekuasaan Gereja di Roma didorong oleh dan memberi peluang bagi raja Inggris (Henry ke- VIII) untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan sekaligus mengendalikan kekuasaan Gereja Anglican yang tidak lagi mendapat dukungan Paus di Roma. Begitu pula schism (perpecahan Gereja) akibat pembangkangan Martin Luther memungkinkan raja-raja lainnya di daratan Ero- pa lainnya (seperti Belanda) melepas diri dari jangkauan kekuasaan politik Gereja (Katolik Roma) dan memisahkan diri dari siapapun yang pada waktu itu didukung oleh pimpinan terting- gi agama.
Perang (antar institusi politik sekuler pen- dukung institusi agama yang berpisah) yang ke- mudian berkecamuk di daratan Eropa pada abad pertengahan perlahan memunculkan keyakinan bahwa sudah sepatutnya keyakinan dan keperca- yaan (agama) berada di ranah privat dan tidak
perlu menjadi urusan public. Sebaliknya, negara cq. pemerintah (dan itu artinya birokrasi peme- rintahan) harus memajukan bonum commune:
kebaikan bersama-kepentingan umum. Penye- lenggaraan kekuasaan politik harus disterilkan dari urusan personal memenuhi kewajiban beri- badah menurut agama/kepercayaan bahkan uru- san percaya/tidak percaya pada Tuhan. Politik di sekularisasi atau di desakralisasi.
Konsekuensi dari itu ialah dasar dari per- olehan kekuasaan politik dapat langsung dikait- kan pada perolehan kekuatan (ekonomi-militer) dan dibenarkan oleh teori politik yang dikem- bangkan Thomas Hobbes (negara leviathan atau totaliter) dan perolehan/perebutan kekuasa- an dilakukan sangat pragmatic (Machiavelli).26 Dasar penyelenggaraan negara (hidup bersama) dipandang sangat suram: keterpaksaan meng- hindari kehancuran bersama karena manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Urusan perolehan dan mempertahankan kekuasaan politik diperkenankan dengan meng- halalkan segala cara. Maka itu pula, hukum da- lam negara leviathan adalah perintah dari yang berdaulat (dan artinya juga dihalalkan oleh tu- juan Negara), yakni sebagaimana dibayangkan Jean Bodin. Masyarakat tidak punya pilihan lain terkecuali patuh pada negara (pemerinta- han) dan hukum negara karena itu satu-satunya cara untuk hidup damai dan tertib. Paksaan dan penundukkan diri (dari yang lemah) pada yang lebih kuat (elite politik/militer/ekonomi) adalah alamiah. Hukum dengan demikian adalah (salah satu) alat yang dimiliki penguasa untuk memak- sakan kehendak (John Austin).27 Konsekuensi dari pemikian ini ialah bahwa landasan (kekua- tan/keberlakuan) hukum (formal) pada akhirnya adalah kemampuan negara untuk memaksakan kehendak, hal mana dapat diukur dari rentang kendali negara terhadap masyarakat.
26 Reza A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-Habermas, Jakarta: Kanisius, 2007.
27 Austin‟s particular theory of law is often called the
“command theory of law” because the concept of com- mand lies at its core: law is the command of the sove- reign, backed by a threat of sanction in the event of non- compliance. Legality, on this account, is determined by the source of a norm, not the merit of its substance (i.e. it embodies a moral rule). Lihat lebih lanjut “Summary of John Austin‟s Legal Positivism: (www2.law.columbia.
edu; accessed 20/07/2013).
Pemikiran tandingan dari itu menyatakan bahwa kekuasaan politik bersumber pada kese- pakatan (serupa dengan pemikiran Hobbes), na- mun bahwa kekuasaan tidak berpindah total pa- da negara. Pandangan yang diusung J.J. Rous- seau dan John Locke mengandaikan adanya masyarakat yang cukup beradab (civilized socie- ty) dan mereka itulah yang bersepakat memben- tuk organisasi kekuasaan politik (state and go- vernment) yang dapat membentuk hukum (un- tuk mengatur/menata kehidupan bersama). Da- lam pandangan ini lagipula, masyarakat tetap memiliki hak yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara (hak asasi manusia). Negara tidak lagi berkuasa total dan dibatasi oleh kewajiban- nya melindungi warga. Lebih jauh lagi, kedau- latan tertinggi negara, dengan tujuan pengenda- lian dan pencegahan penyalahgunaan kekuasa- an, oleh Locke dan kemudian disempurnakan oleh Montesquieu dipecah dan dipisah ke da- lam tiga wujud kekuasaan sekuler yang berbeda:
legislative, eksekutif dan yudikatif.
Singkat kata: kemunculan negara nasional modern (nation-state-sekuler) dan seiring de- ngan itu sistem hukum yang sepenuhnya sekuler setidaknya di benua Eropa pasca perjanjian Westphalia (1848) dilatarbelakangi banyak fak- tor. Ditengarai berubahnya perimbangan kekua- tan antara penguasa politik sekuler (bangsawan) dan Gereja, kejenuhan dan kelelahan akibat pe- rang agama di daratan Eropa yang terpicu per- pecahan dalam Gereja (Katolik-Protestan) dan pengembangan ilmu pengetahuan di dalam dan di luar Gereja. Kesemua itu pada akhirnya, me- munculkan keputusan politik untuk memisahkan tegas penyelenggaraan kekuasaan duniawi (ke- hidupan profan/bersama yang dipercayakan ke- pada institusi negara) dengan penyelenggaraan kehidupan keagamaan (bukan lagi urusan nega- ra melainkan sepenuhnya diserahkan pada ma- syarakat, bahkan individu). Dalam artian itu se- kularisasi/sekularisme menjadi landasan awal terbentuknya negara bangsa (masyarakat) mo- dern yang bersifat teritorial.
D. Negara Bangsa Modern dan Pengemba- ngan Sistem Hukum (di-) Indonesia yang (pasti) sekuler?
Seberapa jauh sebenarnya ide negara (dan sistem hukum) modern sekuler (yang berkem-
bang di dunia barat atas dasar pengalaman se- jarah yang berbeda) diterima dan diadopsi oleh negara-negara berkembang, terutama negara Asia-Afrika dan Amerika Latin yang mengalami kolonialisasi-imperialisasi? Apakah penolakan terhadap landasan hukum yang membenarkan kolonialisme-imperialisme sekaligus mengindi- kasikan penolakan terhadap gagasan negara mo- dern-sekuler?28 Ini dikatakan dengan mencerma- ti bahwa pada titik paling ekstrim, dalam dunia (termasuk dunia hukum) yang sepenuhnya seku- ler, rasionalisme politik (dan juga pragmatisme yang mengiringinya) memunculkan peluang
“kekuasaan dan hukum“ digunakan sebagai pembenaran dari kekejaman manusia terhadap sesama (pelanggaran berat ham) yang terjadi pada perang dunia I dan II (atau ditempat-tem- pat lain sesudahnya).
Persoalannya apakah konsep negara mo- dern sekuler relevan bagi Indonesia? Apalagi ditengarai bahwa:29
“Hubungan negara dan agama begitu me- lekat dalam akar sejarah bangsa ini. Relasi ini khususnya tercatat ketika bangsa ini merumuskan dasar negaranya. Terjadi ke- tegangan dan pergulatan batin antara ke- kuatan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Keduanya „bertarung‟ dalam me- nentukan dasar negara, apakah akan ber- tumpu pada aspek kebangsaan atau men- jadikan agama (Islam) sebagai dasar nega- ra.”
Dua gagasan tentang Negara yang diaju- kan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam di atas beranjak dari pemahaman berbeda tentang mengapa kita sebagai satu komunitas (bangsa) kemudian membentuk Negara. Artinya kita ha- rus terima konsekuensi, mereka yang berkeya- kinan berbeda, bukan “warga” Negara atau seti-
28 Pembukaan UUD 1945: Bahwa sesungguhnya kemer- dekaan itu ialah hak segala bangsa dan sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sam- pailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sento- sa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
29 Yohan Wahyu, “Merunut Relasi Negara dan Agama:
Jajak Pendapat Kompas” (Kompas 15 juli 2013): 5.
dak-tidaknya bukan “warga” Negara yang ber- kedudukan setara, sesuai ketentuan Pasal 27 dan 29 UUD 1945.
Sejumlah faktor harus dipertimbangkan.
Pertama dan terutama adalah pencitraan diri In- donesia ke luar (kehadapan masyarakat interna- sional) sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim (moderat-toleran?) terbesar. Bahkan de- ngan kualifikasi itu menjadi negara anggota OKI dan pada 2013 menjadi tuan rumah dari se- macam Olimpiade yang sejatinya dilandaskan pada persaudaran dan kompetisi sehat (sportivi- tas) di antara para olahragawan, namun dalam hal ini bersifat eksklusif untuk atlit muslim dari negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI).30
Tidak mengherankan pula bilamana pen- citraan keluar tersebut turut melestarikan gaga- san (setidaknya ke dalam negeri) perlu dan mut- laknya pendirian negara Indonesia yang berlan- daskan syariah Islam. Perjuangan yang dilaku- kan di forum politik (perdebatan di PPKI pra kemerdekaan sampai era tahun 2000‟an di MPR yang membahas perubahan UUD 1945, bahkan diperjuangkan dengan senjata (DI/TII pada 1960‟an, gerakan NII pada 1990 akhir dan gera- kan-gerakan terorisme lainnya yang muncul di Indonesia). Dari sudut pandang ini juga penting untuk menyoal pengaruh pandangan ini terha- dap tujuan Negara yang dianggap sudah sela- yaknya memajukan kepentingan umum. Apa- kah dalam Negara (Islam atau agama manapun juga) atau sekurang-kurangnya berlandaskan syariah tujuan utama dan landasan pembenaran negara adalah memuliakan (atau menjaga kehor- matan) Tuhan dari agama mayoritas? Dalam
dengan tuntutan masyarakat (hukum) adat un- tuk mendapat pengakuan dari negara perihal ke- berlakuan sistem kepercayaan (kesederajatan dengan agama resmi) dan sistem hukum lokal (hukum adat) atau sekadar hak mereka atas sumberdaya tanah/air. Hal yang sama juga di- tonjolkan, yaitu perlunya persatuan/kesatuan dalam perbedaan, ketika pemerintah menghada- pi “perang saudara” antar suku di Sampit (Da- yak versus Madura)31, perang antar pendukung (sekalipun secara kategorikal tidak dapat serta- merta dianggap penganut ajaran) agama (Islam- Kristen) di Ambon-Maluku atau Poso (Sulawe- si)32, atau ketika menghadapi riak-riak serupa dalam skala lebih terbatas di banyak tempat lain di Indonesia.33 Secara resmi pemerintah kemudi- an menghimbau masyarakat (yang sudah meng- alami konflik horizontal dan terfragmentasi) un- tuk mengupayakan kembali hidup rukun-damai dengan memajukan sikap saling menghargai serta toleransi (akan perbedaan dan/atau keraga- man). Sekalipun juga hal ini tidak mencegah te- tap muncul dan berkembangnya (sebagaimana telah diuraikan di atas) wacana Indonesia harus menjadi negara berasaskan syariat Islam.
Dapat ditengarai bahwa kebijakan peme- rintah yang ambigu di atas tidak menjawab per- soalan konkrit ada dan banyaknya persinggu- ngan bahkan konflik dalam lalulintas pergaulan hidup dari ragam kelompok yang dicirikan per- bedaan suku, ras maupun agama/kepercayaan.
Persoalan yang muncul, misalnya pada tataran pengembangan sistem hukum (nasional), misal- nya, apakah sistem kepercayaan Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di Jawa Barat, Sa- min atau Kejawen di Jawa Tengah/Timur (dan konteks ini kita tidak lagi dapat berbicara ten-
tang adanya tujuan penyelenggaraan Negara (mencerdaskan kehidupan bangsa dll.) dalam kaitan dengan kepentingan umum. Negara ada semata-mata agar ummat dapat hidup melayani Tuhan sesuai aturan-aturan yang tidak dibuat Negara.
Sekalipun demikian, dalam banyak ke- sempatan lain - setidaknya ke dalam - karakte- ristik kebhinekaan (suku, ras, agama/kepercaya- an) yang lebih ditonjolkan, terutama berhadapan
30 “Indonesia Tuan Rumah Olimpiade Negara-Negara Is- lam”, 29 februari 2012 (http://republika.co.id, accessed 09/07/2013.
31 International Crisis Group. “Kekerasan Etnis di Indone- sia: Pelajaran dari Kalimantan”, 27 juni 2001 (laporan ICG Asia no. 19, Jakarta/Brussel).
32 Perang saudara yang untuk sebahagian juga dipengaru- hi oleh persaingan di bidang ekonomi antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang (di Ambon: suku Bugis Buton Makasar); sedangkan di Sampit antara suku dayak (penduduk asili) dengan Madura (pendatang).
33 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian Dialague, “Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso”, (Centre for Humanitarian Dialogue:
Geneva, 2011). Lihat juga International Crisis Group,
“Melemahkan Jaringan Kelompok Mujahidin di Indone- sia: Pelajaran dari Maluku dan Poso”, (Asia Report no.
103- 13 oktober 2005)
lebih banyak lagi di luar Jawa-Madura) harus diakui dan disandingkan oleh negara (kemen- terian agama) setara dengan agama-agama sa- mawi + konghucu yang sudah terlebih dahulu diakui sebagai agama resmi. Pentingnya persoa- lan ini harus dilihat dalam kerangka klaim ma- syarakat hukum adat untuk tidak diganggu oleh negara (termasuk oleh Kementerian Agama - serta masyarakat pada umumnya - yang hanya mengakui 6 agama resmi). Tuntutan yang mun- cul misalnya dalam kehendak masyarakat Ka- nekes (di wilayah Banten-Jawa Barat) untuk di- kecualikan dari keriuhan politik di Jakarta dan tidak diganggu klaim kepemilikannya atas lahan pertanian dan permukiman yang digunakannya from time immemorial. Hal serupa dituntut mi- sal suku anak dalam (sekalipun dengan tingkat keberhasilan lebih rendah), yaitu agar hutan rimba tempat tinggal mereka tidak dijarah atau dijadikan area pengusahaan hutan atas dasar izin bupati atau penguasa pusat di Jakarta. Singkat kata, klaim yang dilandaskan pada indigenous people‟s right of self determination yang kerap diterjemahkan sebagai hak mempertahankan bu- daya, bahasa dan sebab itu juga cara pandang atas dunia yang berbeda dari negara (dengan atau tanpa menuntut pemisahan diri).
Sayangnnya persoalan pluralisme hukum dan konflik antara hukum negara dengan hukum (masyarakat) adat seperti ini tidak pernah di- angkat dalam pembelajaran hukum adat di fa- kultas hukum di Indonesia. Padahal di luar du- nia kampus sudah banyak bermunculan tulisan yang membahas persoalan ini. Antara lain, tela- ahan Ratna Lukito perihal pertemuan dan per- benturan hukum adat dan hukum Islam di Indo- nesia.34 Tulisan lain lebih terfokus pada hak ma- syarakat adat atas sumberdaya alam yang dite- mukan dalam wilayah hak ulayat: persoalan penting di sini ialah apakah dan bagaimana ke- mudian negara dapat memberlakukan hak me- nguasai negara yang diatur dalam ketentuan Pa- sal 33(3) UUD 1945 serta seberapa jauh hak-
34 Ratna Lukito, Pergumulan antara hukum Islam dan adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998 & Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008. Lihat juga dissertasinya: Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia (thesis submitted to the Faculty of Graduate Studies and Research; Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal-Canada, 1997).
hak tradisional masyarakat (hukum) adat diang- gap (dan diakui oleh Negara sebagai) masih hi- dup dan dianggap selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban?
Pada saat sama dapat dipertanyakan sebe- rapa jauhkah studi-studi seperti ini betul men- cerminkan keberagaman the living law masyara- kat Indonesia sekaligus penghormatan atas ke- yakinan hidup mereka sebagai masyarakat oto- nom (dengan struktur dan sistem penyelengga- raan kehidupan bermasyarakat yang berbeda) dalam NKRI yang (setidak-tidaknya yuridis for- mal) mengakui kebhinekaan? Kedua tulisan yang dirujuk di atas tidak menyinggung soal ek- sistensi agama/keyakinan tradisional dihadapan negara (kementerian agama) serta apa/bagaima- na pengaruhnya terhadap penghormatan/penga- kuan keragaman hukum (masyarakat adat). La- gipula, sekalipun ketentuan Pasal 29 (2) UUD 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap pendu- duk (bukan kelompok masyarakat) untuk meme- luk agamanya masing-masing dan untuk beriba- dat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, jaminan demikian bersifat terbatas. Hanya se- jumlah agama diakui sebagai agama resmi. Di luar itu, berkenaan dengan agama asli (dari ma- syarakat hukum adat), ketentuan Pasal 28I ayat (3) hanya menjamin bahwa:
“Identitas budaya dan hak masyarakat tra- disional dihormati selaras dengan perkem- bangan zaman dan peradaban”.
Fakta lain yang sama pentingnya ialah ke- wenangan pemerintah daerah otonomi (kota-ka- bupaten dan dalam derajat tertentu desa) untuk memberlakukan kebijakan (policy) maupun pe- raturan daerah (legislasi) yang bernuansa sangat lokal dan kadang merupakan penegasan diam- diam atau terus terang akan keberlakuan “Pia- gam Jakarta”. Kasus khusus di sini adalah Nangroe Aceh Darussalam yang dalam wilayah- nya berwenang menerapkan syariat Islam dan siapapun yang berada di wilayahnya (muslim atau non-muslim) diwajibkan tunduk pada ‟hu- kum Islam‟ versi NAD. Hukum yang juga dite- gakkan melalui sarana polisi agama dan penga- dilan yang berwenang menjatuhkan pidana ba- dan menurut (hukum) agama. Fakta lain adalah kebangkitan (sistem hukum) ekonomi Islam dan
perluasan yurisdiksi pengadilan agama (Islam).35 Namun dalam kaitan itu, M.B. Hooker mencer- mati:36
“(...) we should bear in mind that the past century has demonstrated the fragile natu- re of the Syariah in Indonesia. This is by no means a special case: the whole Mus- lim world has seen the reformulation of Syariah in Western terms, whether impo- sed by colonial rule or adopted as part of
„reforms‟ aimed at modernization. The
„Syariah‟ is now but a shadow of the clas- sical jurisprudence and a travesty of the figh literature. There is no room for crea- tivity, even in the weakest sense. The Wes- tern derived state is everwhere domi- nant.”
Hal mana mengindikasikan bahwa Negara (sebagai konsep dunia modern yang sekuler) berhasil (dan akan terus berupaya) mengkoop- tasi hukum Islam dan perda-perda syariah se- ringkali muncul terutama sebagai kalkulasi po- litik untuk mendapatkan dukungan masyarakat pemilih yang cenderung “religius” (dengan col- lateral damage: kelompok minoritas). Penga- matan kedua yang muncul ialah bahwa di pang- gung kehidupan sosial-politik suara yang mun- cul dominan adalah suara agama mayoritas.
Tenggelam dalam hiruk pikuk itu ialah persoa- lan pengakuan atas kehidupan keagamaan/ke- yakinan dari masyarakat (hukum) adat serta hak masyarakat hukum adat untuk mengatur peri- kehidupan mereka atas dasar sistem keyakinan/
agama mereka sendiri.
35 UU 50/2009 tentang perubahan kedua atas UU 7/1989 tentang peradilan agama(diubah pertama kali oleh 3/
2006). Berdasarkan UU ini peradilan agama adalah pera- dilan bagi orang-orang yang beragama Islam (khusus di Aceh disebut peradilan syari‟ah Islam), dan berdasarkan ketentuan Pasal 49 berwenang memeriksa perkara ekono- mi syariah di samping hukum keluarga-kebendaan (perka- winan, waris, wasiat, hibah, wakaf) dan sengketa lain yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban agama (za- kat, infaq dan shadaqah).
36 M.B. Hooker, Indonesian Islam: Social Change through Contemporary Fatwa. NSW: Allen & Unwin, 2003. p.
228. Sekalipun juga dinyatakan bahwa “these remarks do not apply to the fatwa: the strength of a fatwa lies in its distance from the institutions of the state, although some states, including Malaysia and Indonesia, do attempt to control it”.
Persoalannya ialah seberapa jauh semua faktor di atas berpengaruh terhadap penegasan satu bangsa (bangsa Indonesia) dan pemberla- kuan sistem hukum nasional yang berkeadilan dan tidak diskriminatif? Faktor-faktor di atas memaksa kita menelaah ulang konsep negara hukum Indonesia untuk masyarakat yang bhine- ka. Negara yang dijalankan bukan atas dasar kekuasaan semata (dari siapa: negara, kabupa- ten/kota otonom, masyarakat hukum adat dan bagaimana sumber kekuasaan dimaknai: religius /sekular?) namun juga atas dasar hukum (hukum siapa dan apakah hukum ini bersifat sekuler atau sakral?)
E. Membangun Sistem Hukum Nasional yang non-Sekuler, non-Unifikasi (Frag- mentaris)
Upaya membentuk satu hukum nasional, setidak-tidaknya pada era 1970-1980 diprakar- sai oleh Mochtar Kusumaatmadja37 dan Soe- naryati Hartono.38 Dengan pengembangan teo- ri/pandangan hukum nasional (peraturan perun- dang-undangan) sebagai sarana pembaharu ma- syarakat (instrumentalis) diupayakan pembentu- kan satu sistem hukum nasional modern yang melingkup dan melebur keanekaragaman hu- kum (adat, agama, colonial). Sebagai alat bantu dirujuk pula pemahaman sistem hukum Indo- nesia (TAP MPRS XX/1966) sebagai piramida.
Dalam bangunan hukum ini keseluruhan sistem aturan formal (buatan negara) harus selaras dan bersumber pada sumber-segala sumber hukum Pancasila (dan tentunya keTuhanan Yang Maha Esa) atau pasca Orde Baru cukup pada UUD 1945 yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.
Inilah landasan hukum dari judicial review oleh Mahkamah Agung39, administrative review oleh
37 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Penerbit Binacipta, Ban- dung, 1986; Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1995 dan Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasio- nal, Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun
38 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991.
39 Dasar hukum hak uji materiil Mahkamah Agung adalah PerMA 1/1999. Disebutkan bahwa hak uji materiil adalah hak MA untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangna, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan (Pasal 1(1)).. Untuk komentar baca pula: Tubagus Haryo Karbyanto, “Judicial Review:
Departmen/Kementerian Dalam Negeri dan se- karang ini juga constitutional review oleh Mah- kamah Konstitusi.40 Dapat dibayangkan bahwa dengan itu hendak dibangun dan dijaga keutu- han satu sistem hukum nasional yang dilandas- kan pandangan hidup masyarakat Indonesia (ke- keluargaan-magis/religius atau berkeTuhanan).
Pengembangan sistem hukum nasional atas dasar pemikiran berbeda di atas sejak awal sudah terhambat ketentuan peralihan. Dinyata- kan bahwa sebelum ada gantinya, sistem hukum (aturan hukum colonial) tetap diberlakuan. Tu- juannya jelas praktis: mengisi kekosongan hu- kum dan ketidakmungkinan memberlakukan hu- kum adat atau salah satu sistem hukum pemerin- tahan swapraja/swatantra yang tersisa. Akan te- tapi pengalihan ini ternyata juga tidak dilakukan total. IS/RR (konstitusi pemerintah colonial) tidak diambilalih, namun dimodifikasi ke dalam UUD 1945. Sebaliknya hukum perdata dan pi- dana material dari pemerintahan kolonial diber- lakukan, dengan mengenyampingkan keberaga- man hukum lokal dan agama dari masyarakat hukum adat atau pemerintahan swapraja. Na- mun juga karena alasan praktis, hukum acara yang diberlakukan bukanlah Rv. atau Sv. Me- lainkan HIR/RbG yang dahulu diperuntukan un- tuk menjalankan kekuasaan kehakiman khusus bagi golongan bumiputera.41
Artinya diam-diam, pemerintah Indonesia secara sadar (atau justru tidak?) memberlakukan (kembali) cara pandang liberal-individualis (dan sekuler) yang dianggap melekat pada sistem hu- kum materiil-formil negara kolonial. Tidak jelas betul bagaimana dalam praktik, perangkat hu-
antara trend dan keampuhan bagi strategi advokasi”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk pengacara X tahun 2005 (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta).
Pemberian hak uji terbatas ini dilandaskan pada TAP MPR III/1978, UU 14/1970, UU 14/1985.
40 Dasar hukum pendirian Mahkamah Konstitusi di Indo- nesia adalah Pasal 24c UUD (hasil amandemen) dan UU 24/2003 tentang MK (terakhir di amandemen dengan UU 8/2011).
41 Untuk ulasan lebih komprehensif tentang keterjalinan dan perbedaan antara hukum colonial dengan hukum na- sional Indonesia baca: Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. HuMa-KITLV- VVI dan Epistema Institute, Jakarta: 2014. Bdgkan pula dengan Daniel S. Lev, Legal Evolution and Political Au- thority in Indonesia: selected essays, Kluwer Law Inter- nasional, 2000.
kum kolonial dapat tetap berjalan dengan baik, yakni dilandaskan pada semangat dan cara pan- dang kekeluargaan (dan struktur-organisasi ne- gara dan kekuasaan kehakiman yang berbeda) atau dijalankan secara konsisten sambil tetap menolak pandangan liberal-individual yang ter- muat di dalamnya. Kemungkinan ini semua ha- nya menyebabkan para penegak hukum terma- suk ahli hukum di Indonesia mengalami cogniti- ve dissonance, karena mempelajari dan mem- praktikan hukum barat yang pada saat sama secara prinsipiil menolak dasar keberlakuannya.
Baru kemudian dalam perjalanan waktu sistem hukum ini dibongkar pasang secara frag- mentaris. Sistem kodifikasi yang dibangun pe- merintah Belanda dan diadopsi oleh koloni (BW, WvK, Rv; WvS(Sr)-Sv.) dibongkar de- ngan memberlakukan peraturan perundang-un- dangan sektoral (yang berdiri sendiri dan terle- pas satu sama lain). Pendekatan fragmentaris dan sektoral yang dijalankan sampai dengan se- karang dengan segala akibatnya pada ikhtiar menjaga kesatuan sistem hukum dan keselara- san antar aturan yang niscaya dijaga. Di sam- ping itu program unifikasi dan modernisasi (diam-diam melalui instrumentalisme hukum) juga sekularisasi di atas dari sistem hukum na- sional Indonesia terbentur penolakan politik (sejumlah kecil atau justru mayoritas) kelompok Islam tatkala pemerintah berupaya membentuk satu hukum perkawinan bagi semua golongan penduduk. Ihwalnya sangat sederhana perbeda- an pandangan tentang keabsahan perkawinan.
Negara hendak mempertahankan konsep keab- sahan perkawinan dari semua golongan pendu- duk (suku-ras-agama) digantungkan hanya pada pencatatan oleh catatan sipil (dinas kependudu- kan).
Upacara agama dapat dilakukan sesudah atau sebelum pencatatan sipil. Namun yang ber- laku dan mengikat dihadapan hukum negara ha- nyalah (upacara) pencatatan pernikahan oleh ne- gara. Perkawinan (dan juga karena itu percerai- an) dipandang sekadar sebagai hubungan keper- dataan bukan sesuatu jalinan hubungan yang sakral dan perlu perkenan Tuhan. Kelompok (masyarakat Islam) menolak tegas pandangan sekuler ini dan menyatakan bahwa ikatan perka- winan harus disahkan menurut ketentuan agama terlebih dahulu dan pencatatan (untuk urusan