• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polemik Pengelolaan Dana Alokasi Khusus di Provinsi Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Polemik Pengelolaan Dana Alokasi Khusus di Provinsi Papua"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

12

Polemik Pengelolaan Dana Alokasi Khusus di Provinsi Papua

Sarah Nita Hasibuan

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Email: hasibuannita091@gmail.com

Abstrak

Dana otonomi khusus Papua merupakan kewenangan khusus yang diberikan kepada masyarakat Papua, dengan tujuan peningkatan kesejahteraan, agar setara dengan provinsi, kabupaten, dan kota lain di Indonesia. Hanya saja pertambahan dana otonomi khusus setiap tahun tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, posisi kinerja pembangunan daerah masih tertinggal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dana otonomi khusus terhadap kinerja pembangunan Provinsi Papua. Penelitian dilakukan di 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua dengan menggunakan data-data sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan regresi data panel tahun 2017-2019. Dalam mengestimasi model penelitian ini menggunakan pendekatan pooled least square (Common Effect), pendekatan efek tetap (Fixed Effect), pendekatan efek random (Random Effect). Hasil studi menunjukkan bahwa dana otonomi khusus belum berdampak signifikan terhadap kinerja pembangunan Provinsi Papua (Indeks Pembangunan Manusia, Kemiskinan, Gini Ratio, Pengangguran, dan Pertumbuhan Ekonomi).

Keberadaan dana otonomi khusus masih dihantui beberapa persoalan-persoalan struktural dan tata kelola (transparansi dan akuntablitas) anggaran. Kondisi inilah yang memperlebar kesenjangan pembangunan antar wilayah dan gap expectation di antara kabupaten di Provinsi Papua.

Kata kunci: Dana Otonomi Khusus, Provinsi Papua, Kinerja Pembangunan, Pengawasan

1. Pendahuluan

Salah satu tujuan diterapkannya otonomi khusus (Otsus) Papua adalah akselerasi kesejahteraan masyarakat Papua agar dapat mengejar ketertinggalan dari provinsi lain.

Otonomi khusus Papua merupakan kewenangan khusus yang diberikan kepada masyarakat Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan atau kebutuhan berdasar aspirasi dan hak- hak masyarakat Papua. Secara politik, otonomi khusus Papua merupakan kompromi politik antara Pusat dengan masyarakat Papua, di mana sebagian dari mereka menuntut untuk merdeka (lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI). Namun jika menilik Undang- Undang Otonomi Khusus No. 21/2001 Otsus merupakan wujud pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar Orang Asli Papua (OAP) dalam mewujudkan keadilan, supermasi hukum, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia serta percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.

Melalui, Undang-Undang (UU) otonomi khusus ini diberikan dana yang besar kepada Provinsi/Kabupaten/Kota Papua berupa dana otonomi khusus yang diperuntukan untuk

(2)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 13 pembiayaan bidang pendidikan, kesehatan, dan Dana Infrastruktur Tambahan (DIT) agar dapat percepatan pembangunan. Namun dalam perjalanannya, perkembangan dana otonomi khusus yang semakin besar, belum diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Hal ini pun terlihat dari perolehan total dana tahun 2002-2020 mencapai Rp. 93,05 triliun dengan dana tambahan infrastruktur sebesar Rp. 93.05 triliun. Sementara pembangunan Provinsi masih terbelakang, baik dari pembangunan fisik dan non-fisik.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera memiliki kontribusi yang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yakni 58,75 persen dan 21,36 persen, sementara Provinsi Papua hanya sebesar 2,34 persen. Salah satu penyebab lemahnya pembangunan Papua adalah konflik yang berkepanjangan yang berdampak pada pembangunan pendidikan, kesehatan, dan penyediaan sarana dan prasarana dasar masyarakat yang lemah (Laksmono, 2013). Meskipun pusat telah memberikan ruang yang besar (pemberian Otsus) namun belum mampu mengakselarasi pembangunan Papua.

Fakta problematik berikutnya adalah indikator kesejahteraan Papua masih rendah, seperti Indeks Pembangunan Manusia, persentase penduduk miskin, dan tingkat penganguran tinggi yang berimbas pada pertumbuhan ekonomi yang rendah sebagaimana yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Perkembangan Ekonomi Makro Provinsi Papua Tahun 2002-2020 Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua periode tahun 2000-2020 hanya sebesar 0,44 poin, demikian halnya dengan pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif atau tidak stabil. Realitas di atas menunjukkan bahwa perekonomian Provinsi Papua cenderung mengalami stagnansi (IPM dan Pertumbuhan ekonomi), terlebih jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan kata lain, outcome dari program pembangunan setiap

(3)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 14 daerah masih bersifat bias, di mana perekonomian dan pembangunan hanya meningkatkan kesejahteraan sebagian penduduk saja.

Selain itu, perkembangan dana otonomi khusus yang besar menuntut pengelolaan yang efektif dan transparansi. Namun pada faktanya, laporan penggunaan dana otonomi khusus belum memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas. Laporan realisasi tidak dibuat, terlambat, tidak akurat, bahkan tidak dibuat secara berkala dalam bentuk laporan bulanan, triwulan dan tahunan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2008-2019 mengemukakan terdapat 527 (35 persen) rekomendasi yang belum ditindaklanjuti dari total 1.500 rekomendasi (Badan Pemeriksa Keuangan, 2021). Adapun persoalan mendasar berkaitan dengan aspek regulasi, kelembagaan dan sumber daya manusia yang rendah. Permasalahan ini berimplikasi pada sulitnya pengambilan keputusan, pelaksanaan evaluasi, dan pada akhirnya tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan (Suhab dan Kusreni, 2009).

Mengalir dari konteks tersebut, studi ini membahas dan menganalisis pengaruh dana otonomi khusus terhadap kinerja pembangunan Provinsi Papua. Lalu mencoba melihat dari sisi perencanaan dan penganggaran Provinsi Papua. Selain itu, penelitian ini juga membahas tentang pengawasan dan transparansi penggunaan dana otonomi khusus Provinsi Papua.

2. Metode Penelitian

2.1 Tipe Penelitian dan Metode Pengumpulan Data

Provinsi Papua dipilih secara purposive sebagai wilayah studi dengan beberapa pertimbangan. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang memperoleh dana otonomi khusus sejak pertama Undang-Undang otonomi khusus diberlakukan. Penelitian dilakukan di 29 kabupaten atau kota dengan menggunakan data-data sekunder. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah. Periode data yang digunakan adalah tahun 2017-2019, sementara data kinerja pembangunan dilihat dari pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM), dan Gini Ratio (Abrar, 2018).

2.2 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan regresi data panel dengan bantuan Software Stata. Dalam mengestimasi model digunakan beberapa metode diantarannya pendekatan pooled least square (Common Effect),

(4)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 15 pendekatan efek tetap (Fixed Effect), pendekatan efek random (Random Effect). Kemudian untuk mengestimasi model terbaik pendekatan common effect, pendekatan fixed effect atau pendekatan random effect menggunakan teknik chow test dan Hausman test. Di mana teknik Chow Test digunakan untuk memilih model terbaik antara fixed effect dan pooled least square.

Sementara Hausman test untuk memilih model terbaik antara Random Effect Model dan Random Effect Model.

Selain itu penulis juga melihat dan mengkaji perencanaan dan penganggaran dengan membedah dokumen perencanaan dan penganggaran pusat dan daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah) Provinsi Papua. Dokumen- dokumen ini dijadikan sebagai basis utama untuk melihat mekanisme perencanaan dan penganggaran Provinsi Papua. Kemudian penelitian ini juga mengevaluasi terkait mekanisme pengawasan terhadap dana otonomi khusus dengan melihat sumber-sumber yang berasal dari dokumen Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lalu dilakukan analisis dan sebagai akhir atau muara dari penelian ini adalah rekomendasi kebijakan agar penggunaan dana otonomi khusu lebih efektif.

3. Hasil Penelitian

3.1 Pengaruh Dana Otonomi Khusus terhadap Kinerja Pembangunan Provinsi Papua

Hasil pengukuran dana otonomi khusus terhadap kinerja pembangunan menunjukkan reaksi yang berbeda-beda. Pengukuran ini menggunakan regresi data panel dengan menggunakan metode Fixed Effect Model (FEM), pendekatan efek random (Random Effect) dan pooled least square (Common Effect) pada 29 kabupaten atau kota di Provinsi Papua.

Hasil lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Hasil Pengukuran Indikator Kesejahteraan terhadap Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua

Indikator Kesejahteraan Kontstanta Koefisien Tingkat

Signifikansi Metode Kemiskinan (%) 28.71353 0.000000203 0.035 FE

Rasio Gini 0.3368559 0.0000000123 0.034 CE

IPM 55.22646 0.000102 0.355 FE

Pertumbuhan ekonomi (%) 3.960961 0.000000524 0.254 RE Pengangguran (%) 4.665657 -0.000000914 0.901 RE Sumber: Data diolah peneliti, 2021

Hasil pengukuran dana otonomi khusus terhadap kemiskinan menunjukkan tidak memiliki pengaruh dengan menggunakan data panel dengan pendekatan fixed effect model

(5)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 16 dengan nilai koefisien 0.000000203. Artinya kenaikan dana otonomi khusus meningkatkan kemiskinan, lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan 1 berikut:

LN_miskinit = βo + β1DanaOtsust +εit

LN _miskin it = 28.71+0.000000203 LNDanaOtsust +εit ………... (1)

Sementara hasil pengukuran dana otonomi khusus terhadap rasio gini tidak menunjukkan pengaruh dengan koefisien yang dibentuk 0.00000000123, artinya peningkatan dana otonomi khusus menunjukkan semakin tinggi gini ratio, lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan 2 berikut:

LN_giniratioit = βo + β1DanaOtsust +εit

LN_giniratioit = 0.337+0.00000000123LNDanaOtsust +εi……… (2)

Berbeda dengan gini ratio dan tingkat kemiskinan, dalam perhitungannya dana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap IPM dengan nilai koefisien 0.000102. Jika dilihat berdasarkan uji signifikansinya atau P>[t] (P value) sebesar 0,035, artinya P>[t] lebih kecil dari alfa (α) 0.05. Artinya kenaikan dana otonomi khusus sebesar satu persen maka akan menaikkan IPM sebesar 0.0102 persen, lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan 3 berikut:

LN_IPMit = βo + β1DanaOtsust +εit

LN _IPM it = 55.23+0.000102 LNDanaOtsust +εit ………. (3)

Hasil pengukuran dana Otsus terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan pengaruh yang positif, dimana kenaikan dana Otsus satu persen, meningkatkan pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua sebesar 0.0000524 persen. Sementara jika diuji tingkat signifikansi pada alfa 0.05 persen dana otsus belum cukup signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Papua, lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan 4 berikut:

LN_LPEit = βo + β1LNDanaOtsust +εit

LN _LPE it = 3.96 +0.000000524 LNDanaOtsust +εit……… (4)

Sama halnya dengan tingkat pengangguran, yang menunjukkan dana Otsus memiliki hubungan negatif dengan tingkat pengangguran, dimana nilai koefisien yang dibentuk - 0.000000914. Artinya kenaikan dana otsus satu persen, akan menurunkan tingkat pengangguran Provinsi Papua sebesar 0.0000914 persen. Namun setelah dilakukan uji signifikansi pada tingkat kepercayaan 95 persen, dimana P>[t] (P value) sebesar 0.901, dengan demikian nilai P value lebih besar dari alfa (α) 0.05. Artinya dana Otsus belum memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat pengangguran lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan berikut:

LN_Pengangguran it = βo + β1LNDanaOtsust +εit

LN _Pengangguran it = 4.67 - 0.000000914 LNDanaOtsust +εit………. (5)

(6)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 17

4. Diskusi Hasil Penelitian

4.1 Pengaruh Dana Otsus terhadap Kinerja Pembangunan

Berbicara soal otonomi khusus (Otsus), idealnya tidak hanya soal pemberian dana saja, melainkan pemberian hak afirmasi khusus bagi masyarakat asli Papua memperoleh hak kesehatan, pendidikan, pembangunan infrastruktur yang bermuara pada kesejahteraan. Sebab dalam otonomi khusus terdapat kewenangan dan tanggung jawab yang besar dan memberi perlindungan pemberdayaan masyarakat asli Papua. Sebagaimana tujuan otonomi khusus agar masyarakat Papua keluar dari kemiskinan, ketertinggalan, penindasan, dan diskriminasi. Hanya saja pada tahapan implementasinya masih banyak hambatan, sehingga belum berhasil menurunkan kemiskinan secara signifikan. Senada dengan temuan Wijaya (2013) dana otonomi khusus belum memberikan kontribusi terhadap penurunan kemiskinan di Provinsi Papua.

Terdapat beberapa masalah, dana otonomi khusus belum mampu mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Papua. Masyarakat Papua beranggapan bahwa pembentukan dana otonomi khusus sangat elitis dan terpusat, sebab dalam perumusannya hanya melibatkan beberapa elit dan intelektual yang ada di Jakarta. Dari sisi kontrol, sejak dana otonomi khusus diberlakukan gagal mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Papua. Sebab laju peningkatan dana yang besar, pertumbuhan ekonomi Papua masih stagnan dan dibeberapa tahun tertentu mengalami kontraksi (Tabel 1) dan tidak berdampak signifikan terhada kinerja pembangunan (kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi). Selain itu, manajemen anggaran yang buruk tidak mampu menyelesaikan permasalahan sosial dan ekonomi Papua.

Tata kelola dana otonomi khusus yang in-efisien dan sangat korup, dilakukan para elit dan birokrat lokal turut menyumbang sulitnya mengukur keberhasilan pembangunan daerah Papua. Ditambah lagi soal tata cara distribusi dana otonomi khusus yang janggal (tidak sesusai prosedur) dan biasanya disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk program-program, namun dana otonomi khusus, termasuk dana desa disalurkan kepada masyarakat secara tunai.

Anggapan konteks politik, dimana pemberian dana otonomi khusus sebagai kompensasi politik atas eksploitasi sumber daya alam Papua membuat masyarakat Papua masih terjebak dalam kemiskinan ditambah maraknya persolan korupsi, lemahnya transparasi, dan akuntablitas pemerintah daerah memperburuk kondisi perekonomian Papua. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2017 menunjukkan integritas Pemerintah Provinsi Papua menduduki posisi 30 (terendah) dengan nilai indeks 52,92 yang berkaitan dengan integritas dan

(7)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 18 capaian upaya pencegahan korupsi. Manajemen anggaran dan kontrol yang buruk ini rentan terjadi penyelewengan anggaran yang berujung pada ketidakmampuan menyelesaikan permasalahan ekonomi dan sosial Papua.

Di samping itu, hasil pengukuran dana otonomi khusus terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai mana yang termuat dalam persamaan 3 menunjukkan pengaruh positif terhadap IPM. Hanya saja masih banyak pekerjaan rumah yang harus diperhatikan dan dituntaskan, terutama masalah pendidikan dan kesehatan masyarakat Papua. Data BPS 2019 menunjukkan bahwa angka Harapan Lama Sekolah (HLS) masih rendah yakni 11,29 lebih rendah dibanding provinsi lainnya dan bahkan jauh dibawah HLS nasional 12,87. Masih belum maksimalnya penghapusan melek huruf, ditandai tingginya jumlah penduduk yang tidak atau belum pernah sekolah usia 7 sampai dengan 24 tahun sebanyak 16,02 persen dan putus sekolah 22,08 persen.

Selain itu, tingkat kesehatan masyarakat masih sangat buruk, dimana terdapat 4,5 persen balita (0-23 bulan) yang menderita gizi buruk, hampir 30 persen balita mengalami stunting (BKKBN Papua, 2020). Angka ini tentu lebih tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lain, padahal untuk mendukung percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dibuat Intruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020. Namun kenyataannya Provinsi Papua selalu berada pada posisi terbawah (kinerja pembangunan), sehingga perlu ada reorientasi, reformulasi, dan kebijakan terhadap keuangan otonomi khusus ini, lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Perkembangan Indikator Kesejahteraan di Provinsi Papua tahun 2011-2020 Indikator

Kesejahteraan 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Kemiskinan

(%) 31.61 30.89 31.33 28.93 28.29 28.47 27.69 27.59 27.04 26.72 Gini Ratio 0.274 0.439 0.442 0.408 0.421 0.39 0.397 0.384 0.394 0.392 IPM 55.01 55.55 56.25 56.75 57.25 58.05 59.09 60.06 60.84 60.44 Pertumbuhan

ekonomi (%) -5.32 1.72 8.55 3.65 7.35 9.14 4.64 7.32 -15.75 2.32 Pengangguran

(%) 5.02 3.71 3.15 3.44 3.99 3.35 3.62 3 3.51 4.28 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2021

Dalam kurun waktu 10 tahun, kinerja pembangunan daerah Papua cenderung tidak berubah, kecuali terjadi penurunan persentase kemiskinan sebesar 4,89 persen. Hanya saja tantangan tersebesar bagi pemerintah Papua adalah tingkat kemiskinan tertinggi berada di wilayah-wilayah pegunungan dan pendalaman yang sangat sulit di jangkau (terisolasi).

(8)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 19 Perbedaan aksesibilitas wilayah perkotaan dan pedalaman menjadikan masyarakat sulit mengakses pendidikan, kesehatan, dan pasar. Akibatnya ketimpangan antarwilayah atau kabupaten di Papua sangat tinggi.

Tahun 2010 tingkat ketimpangan 0.274 poin, namun pada tahun 2020 meningkat menjadi 0,392. Taylor (dalam Kuncoro, 2012) mengemukakan ketimpangan menjadi jurang antara yang berpendapatan tinggi dengan yang berpendapatan rendah, yang berimplikasi pada kecemburuan sosial dan kekerasan. Kondisi ini tentu memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Sebab pada hakikatnya pemberian dana otonomi khusus sebagai wadah atau metode percepatan pembangunan Papua, agar setara dengan provinsi lain. Ketidaktercapaian ini menjadi salah satu indikasi gagalnya penerapan otonomi khusus. Sebab pada hakikatnya tanpa ada dana maupun tidak ada dana otonomi khusus pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan berkembang.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga mengalami peningkatan 5.33 poin hanya saja masih tertinggal dibanding provinsi-provinsi lain di Indonesia. Jika ditilik lebih dalam, terdapat 89,65 persen kabupaten yang berada di bawah IPM nasional dan hanya 3 daerah yang berada di atas nasional yakni Kabupaten Biak Numpor, Mimika, dan Kota Jaya Pura. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran memiliki tren negatif terutama tahun 2018- 2020. Pertumbuhan ekonomi Papua kontraksi tertinggi di tahun 2019 yakni -15.75 persen dan pengangguran tertinggi di tahun 2020 yakni 4.28 persen.

Persamaan 4 menunjukkan dana otonomi khusus tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Adapun beberapa penyebabnya adalah aktivitas perekonomian di dominasi sektor pertanian. Terdapat 1.163.328 penduduk Papua yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Padahal kontribusi sektor pertanian sangat kecil dalam menyokong pertumbuhan ekonomi Papua (12,76 persen di tahun 2019). Sementara sektor pertambangan dan penggalian 40 persen menyumbang pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Papua. Akibatnya, masyarakat Papua sangat tergantung terhadap sektor pertambangan, inilah yang menjadi pemicu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak memberikan dampak yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Papua. Sebab tidak semua masyarakat memperoleh akses terhadap sektor pertambangan, ini pula yang menjadi penyebab ketimpangan di Papua sangat tinggi.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tinggi didasarkan pada basis Sumber Daya Alam (SDA), migas, dan pertambangan (Suharto dan Satra, 2020). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pertambangan tidak sepenuhnya menggambarkan aktivitas lapisan masyarakat, tetapi hanya sektor tertentu. Hal ini pun sejalan dengan temuan Duwith dan

(9)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 20 Ciptono (2010), Zuhria dan Ritongan (2015) yang mengatakan dana otonomi khusus tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan temua Abrat (2018), penyebab Pertumbuhan ekonomi Papua rendah selama ini terjadi akibat belum efektivitas faktor produksi, in-efisiensi kelembagaan dan kuatnya kohesi nasional, dan mengurangi tekanan politik melalui perbaikan pelayanan publik.

Tidak jauh berbeda dengan dengan Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan gini ratio, dana otonomi khusus juga tidak memberikan kontribusi yang signifikan yang signifikan terhadap tingkat pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Papua sebesar 3,42 persen, artinya 96,58 persen anggkatan kerja terserap di pasar tenaga kerja. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan TPT nasional 5,01 persen. Hanya saja Tabel 1 memperlihatkan TPT Provinsi Papua masih sangat fluktuatif, peningkatan jumlah investasi di Papua tidak signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, terutama bagi orang asli Papua (Katrina, 2020). Sebab pembangunan ekonomi yang terjadi di Papua sebagian besar berdampak bagi pendatang, bukan pada orang asli Papua. Orang asli Papua hanya sebagai objek dari proses pembangunan di Papua. Dengan demikian, sebagai salah satu langkah antisipatif, perlu membuat, rincian, target, dan program penggunaaan dana otonomi khusus yang jelas. Di sisi lain, pemerintah pusat perlu mengambil peran dalam pengembangan kapasitas “pembinaan” agar dana teralokasi sebagaimana mestinya.

4.2 Aspek Tata Kelola Ekonomi Provinsi Papua

Tata kelola ekonomi memiliki peran penting bagi kemajuan suatu daerah. Tata kelola ekonomi yang baik mampu mempercepat laju pertumbuhan pendapatan regional di wilayah kabupaten atau kota (Istiandari, 2009). Tata kelola menjadi kunci akselarasi pertumbuhan ekonomi daerah. Sebagaiman yang dikemukakan oleh Peter Drucker yang menuliskan sejatinya tidak ada negara atau daerah yang miskin dan terbelakang, kecuali yang tak terkelola.

Bermodalkan tata kelola, banyak daerah yang langka akan sumber daya alam, justru makmur secara ekonomi. Tata kelola juga menjadi instrumen daerah untuk berkompetisi dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Bermodalkan desain kebijakan, tata kelembagaan, dan tata kelola layanan publik yang dibangun secara kolaboratif terbukti banyak daerah yang bermutu dalam pelayanan publiknya (Jaweng, 2014).

Provinsi Papua memliki masalah yang kompleks, baik dari sisi budaya, politik dan juga kebijakan. Persoalan yang tidak kunjung usai berimbas pada kinerja ekonomi daerah,

(10)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 21 sebagaimana yang dikumukakan Labolo (2014) dana otonomi khusus belum optimal menggenjot perekonomian Papua karena beberapa hal, yakni aspek kelembagaan, kesiapan pemerintah daerah, dan sasaran kebijakan. Dari segi kelembagaan, Majelis Rakyat Papua (MRP) memiliki tugas dan fungsi yang penting dalam pelaksanaan program otonomi khusus Papua, hanya saja fungsi dan peran ini sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 belum dilengkapi dengan instrumen kelembagaan sesuai dengan kebutuhan, seperti membentuk Komite Pengawas untuk membantu tugas pengawasan. Selain itu tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi kelembagaan antara gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dari segi kesiapan sumber daya manusia (aparat daerah) pun turut mewarnai lambatnya peningkatan pembangunan daerah Papua. Masih banyak Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang belum disusun, program-program inovatif untuk menunjang pembangunan masih minim sebagai torbosan untuk mempercepat pembangunan Papua. Sistem kontrol, akuntabilitas, dan transparansi keuangan pada umumnya masih lemah.

Sehingga pemerintah Papua perlu mengatur ulang tata kerja kelembagaan daerah sehingga koordinasi dalam penyelenggaraan mampu berjalan dengan baik.

Sementara dari aspek kebijakan, belum mengarah pada penyelenggaraan pemerintah daerah yang memenuhi unsur-unsur keadilan, penegakan hukum, pengutamaan Hak Asasi Manusaia (HAM). Hal ini pun termuat dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pada huruf d, e, f, dan g. Dengan demikian merujuk Undang-Undang (UU) diatas seharusnya selama 20 tahun otonomi khusus berjalan seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, namun kenyataannya masih jauh panggang dari api (belum sesuai yang diharapkan dalam Undang-Undang otonomi khusus).

Badan Pemeriksa Keuangan (2020) terhadap laporan keuangan pemerintah daerah di Provinsi Papua mengemukakan hanya 11 kabupaten kota dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), 11 Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan 8 Tidak Memeberikan Pendapat (TMP). Pemerintah Provinsi Papua menyatakan permasalahan ini terjadi karena minimnya kompetensi sumber daya manusia di tingkat kabupaten atau kota dalam menyusun laporan keuangan berbasis aktual dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah belum tertib.

Ketiadaan peraturan pemerintah terkait pertanggungjawaban penggunaan dana otonomi khusus, berimplikasi pada sulitnya pemeriksaan penggunaan dana otonomi khusus dan masih terdapat ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang pengelolaan dana otonomi khusus Papua.

Sistem kontrol, akuntabilitas, dan transparansi pengelolaan keuangan yang lemah, belum lagi hak-hak dasar Papua yang belum terpenuhi. Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara

(11)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 22 (2021) juga mengemukakan permasalahan akuntabilitas keuangan meliputi aspek perencanaan, penganggran, pertanggungjawaban, dan persolan sumber daya manusia dalam mengelola dana otonomi khusus. Dengan kenyataan ini Provinsi Papua harus mengatur tata kerja kelembagaan pemerintah daerah, sehingga koordinasi penyelenggaraan dapat berjalan dengan baik dan menghindari ketimpangan tugas pokok dan fungsi. Sinkronisasi dan harmonisasi kelembagaan antara gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mutlak diperlukan (Labodo, 2014).

Permasalahan berikutnya adalah masih terdapat tumpang tindih dana infrastruktur tambahan maupun dana otonomi khusus Papua. Hal ini pun diulas pada laporan keuangan Bendahara Umum Negara (BUN) yang menjadi komponen utama dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Oleh karena itu, persoalan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) memiliki urgensi untuk diselesaikan, sebab dana ini sangat krusial membantu percepatan pembangunan infrastruktur Provinsi Papua.

Konflik bersenjata di daerah pegunungan pun menjadi salah satu hambatan pembangunan. Sebab dana otonomi khusus yang seharusnya diberikan untuk kesejahteraan rakyat digunakan untuk menangani pengungsi, menangani korban, dan menambah aparat keamanan. Oleh karena itu perlu adanya dialog untuk menyelaraskan pemahaman terkait otonomi khusus dan menyelesaikan akar permasalahan pembangunan. Pemerintah harus mengidentifkasi kebutuhan riil masyarakat Papua dan mencari solusinya. Peningkatan kerja sama dengan Materian Requirement Planning (MRP) yang dianggaap sebagai representasi kultural asli Papua perlu digalakkan kembali. Revisi undang-undang otonomi khusus yang sedang berlangsung diharapkan menjadi solusi atas lemahnya pelaksanaan undang-undang sebelumnya.

Selain memiliki masalah pada tata kelola, sumber daya manusia dan regulasi, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengemukakan bahwa akuntabilitas serta pertanggungjawaban pelaksanaan kinerja keuangan otonomi khusus tahun 2016-2018 masih terdapat beberapa permasalahan. Dalam kurun waktu lima tahun 2014-2018, BPK memberikan opini Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) untuk beberapa kabupaten, seperti Mappi, Tolikora, dan Kabupaten Waropen. Hasil evaluasi tersebut menyimpulkan tiga poin yang perlu di benahi, pertama persoalan regulasi, ketiadaan peraturan pemerintah terkait pertanggungjawaban penggunaan dana otonomi khusus, berimplikasi pada sulitnya pemeriksaan penggunaan dana otonomi khusus, dan masih terdapat ketidakpatuhan terhadap Undang-Undang pengelolaan dana otonomi khusus Papua.

(12)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 23 Dengan demikian persoalan dana otonomi khusus ini, semestinya ditarik akar sebab pada dua level pemerintahan, yakni pusat dan daerah. Pada level pusat harus dipertegas mengenai makna dan tujuan otonomi khusus. Pemberian dana hakikatnya menyejahterakan atau hanya dianggap sebagai dana politik untuk meredam gejolak atau koflik. Penetapan tujuan yang jelas berdampak pada pembinaan dan pengawasan yang ketat, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola anggaran. Sebab dana yang besar setiap tahunnya, jika tidak dikelola dengan baik, akan menjadi sia-sia. Kesalahan-kesalahan inilah yang membuat dana otonomi khusus maupun dana yang lain tidak signifikan terhadap kinerja pembangunan.

4.3 Perencanaan dan Penganggaran Provinsi Papua

Taget dari dana otonomi khusus Provinsi Papua tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019-2023 sebagai upaya untuk mempercepat dan mengatasi permasalahan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya Orang Asli Papua (OAP). Hal ini pun termuat dalam visi Gubernur Papua yakni Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera yang Berkeadilan. Terkait penggunaan dana otonomi khusus termuat dalam misi gubernur (misi ke-1 dan ke-2) yakni memantapkan kualitas dan saing sumber daya manusia dan percepatan pembangunan daerah tertinggal, terdepan terluar dan tertentu (PDTT) dengan sasaran peningkatkan aksesabilitas, mutu dan tata kelola penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan budaya baca, dan derajat kesehatan masyarakat serta meningkatkan kebutuhan dasar bagi Orang Asli Papua (OAP).

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional terdapat beberapa strategi untuk pengembangan wilayah (kemiskinan, pengangguran, pemerataan) Papua di antaranya melanjutkan pembangunan infrastruktur yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan pusat-pusat produksi rakyat, pengembangan industri pengolahan yang tepat guna, mendorong hilirisasi industri, menyiapkan sumber daya manusia yang terampil dan pengembangan kewirausahaan kaum muda asli Papua, membangun kawasan perkotaan sebagai pusat aglomerasi perkotaan dengan menyediakan akses (perumahan, energi, air minum, sanitasi, persampahan, drainase, tansportasi umum perkotaan), meningkatkan pelayanan perizinan investasi dan memperluas kerja sama antardaerah, serta meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah (sertifikasi hak atas tanah).

Persoalan dalam perencanaan dan penganggran dana otonomi khusus belum sepenuhnya baik. Sebab masih terdapat ketidaksesuaian alokasi dana otonomi khusus dibidang pendidikan dan kesehatan dimana dana otonomi khusus pendidikan 30 persen dan 15 persen untuk

(13)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 24 kesehatan. Belum lagi pencairan dan pemanfaatan dana otonomi khusu uang tidak optimal, tidak memiliki target yang spesifik sehingga sulit dilakukan pengukuran capaian.

Data Kementerian Dalam Negeri (2019) mengemukakan bahwa rata-rata penyerapan dana otonomi khusus selama 6 tahun (2013-2018) sebesar 91 persen. Sementara rata-rata penyerapan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) selama 6 tahun (2013-2018) sebesar 82 persen. Rendahnya penyerapan DTI dapat menghambat percepatan pembangunan ekonomi dan kemajuan Provinsi Papua. Hal ini terkendala persoalan teknis, pencairan dana yang kerap dilakukan di bulan Oktober, adminitrasi yang berbelit-belit, kesulitan geografis untuk dijangkau dan elit lokal yang sering abai pada proses transparansi dan akuntabilitas anggaran.

Penyimpangan-penyimpangan ini tentu membuat rakyat tetap melarat (tidak sejahtera).

Jika melihat Rencana Pembangunan Jangka Menengan Daerah (RPJMD) Papua 2018- 2023 terdapat beberapa masalah pokok pembangunan Papua diantaranya belum maksimalnya kinerja penyelenggaraan otonomi khusus Papua, tidak sinkronnya antar dokumen perencanaan, dan pengangran dan tidak tercapainya indikator kinerja (program-program) otonomi khusus.

Sementara jika melihat kinerja keuangan daerah masih berkatogori mandiri rendah, dengan rata-rata persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah sebesar 8.01 persen pertahun. Jika dipilih berdasarkan kabupaten atau kota, Kabupaten Mimika dan Kota Jaya Pura memiliki rata-rata Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi di banding Kabupaten lain yakni mencapai 12.57 persen dan 13,12 persen pertahun. Sementara daerah dengan kemandirian fiskal yang rendah yaitu Kabupaten Nduga, Deyiai, Intan Jaya, Membramo Raya, Waropen, dan Dogiyai dengan nilai tidak lebih dari satu persen pertahun.

Dengan demikian diperlukan upaya serius untuk peningkatan kapasitas (keterampilan dan pengetahuan) aparatur daerah dalam menyusun laporan keuangan dan asset daerah.

Pengelolaan APBD yang tepat waktu, pro rakyat dan trasparan serta yang tidak kalah penting adalah standar pelayanan minimal pemerintah harus terpenuhi. Persoalan ini tidak hanya untuk Provinsi Papua saja, tetapi seluruh Pemda yang ada di Indonesia.

Hasil penelitian Hafizrianda (2019) mengemukakan kualitas pengelolaan keuangan daerah berkualitas baik (ketepatan waktu penyusunan APBD dan APBD-P, total PAD terhadap total pendapatan serta belanja program untuk kesejahteraan masyarakat, tingginya realisasi pendapatan dan belanja daerah, rendahnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, serta Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) semakin baik. Hanya saja yang perlu perbaikan kedepan adalah proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran – Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), dan pembahasan dengan legislative sampai pada penetapan.

(14)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 25 Namun jika melihat dokumen anggaran 2021, kebijakan dana otonomi khusus difokuskan pada tiga hal, yakni; pemulihan pasca Covid-19 melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat khususnya pasar tradisional; pembangunan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi untuk perluasan akses dan peningkatan efektivitas layanan pendidikan dan kesehatan serta pembangunan infrastruktur listrik pedesaan; meningkatkan tata kelola dana otonomi khusus melalui penguatan perencanaan dan penganggaran, mendorong kualitas penyerapan anggaran serta penguatan akuntabilitas laporan.

5. Kesimpulan

Perapan otonomi khusus (Otsus) selama 20 tahun belum mampu mengakselarasi pembangunan Papua. Sebagian besar capaian kinerja pembangunan Provinsi Papua (Indeks Pembangunan Manusia, kemiskinan, gini ratio, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi) masih berada jauh dibawah rata-rata nasional. Sudah semestinya Undang-Undang otonomi khusus dilakukan evaluasi dan dikaji penggunaan dana, sehingga diharapkan akan mengurangi ketergantungan terhadap dana otonomi khusus. Selain itu dalam pengalokasian dana perlu mendengar aspirasi atau partisipasi masyarakat Papua (menyediakan ruang dialog) agar perumusan kebijakan berdasar evidenced based policy. Selain itu, keberadaan otonomi khusus masih dihantui oleh persoalan-persoalan struktural dan tata kelola (transparansi dan akuntabilitas) anggaran. Membuat mekanisme pengawasan anggaran yang jelas akan mempermudah orang asli papua dalam mengalokasikan dana otonomi khusus ini. Kesulitan dalam proses evaluasi yang pada akhirnya menghambat perencanaan dan penganggaran otonomi khusus.

Selain itu sumber daya manusia (Orang Asli Papua) masih rendah, kapasitas sumber daya manusia pada Biro Otsus Papua (Biro Administrasi Pelaksanaan Otonomi khusus), Bappeda, dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis belum sepenuhnya memadai. Untuk itu perlu peningkatan kapasitas khususnya pemerintah daerah, agar dana yang besar ini mampu memberikan kesejahteraan masyarakat. Sebab sudah semestinya Papua bangkit (pembangunan fisik dan non-fisik) ada atau tidaknya dana otonomi khusus. Oleh karena itu, keberlanjutan dana otonomi khusus Papua perlu diikuti beberapa perbaikan dengan memperhatikan kekhususan dan persolan lainnya. Untuk itu, sebagai catatan akhir sekaligus rekomendasi dalam penelitian ini perlu mempertimbangkan beberapa poin berikut:

1. Pelibatan masyarakat Papua menjadi krusial dan harus dimaknai sebagai subjek pembangunan yang diikutsertakan dalam setiap proses perencanaan dan anggaran;

(15)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 26 2. Supervisi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan pendampingan pembangunan

menjadi kunci untuk mengurangi kesalahan-kesalahan proses membangun Papua;

3. Perencanaan dan penganggaran harus yang jelas dan terfokus, dalam menetapkan target, program, output dan outcome kinerja pembangunan;

4. Pusat (Kemendagri dan Kemenkeu) perlu membuat kerangka kebijakan (pembinaan dan pengawasan) dan mempertegas makna dan tujuan otonomi khusus, dan

5. Penerapan sanksi tegas insentif dan disinsentif yang tegas bagi pemda yang lalai dalam mengelola anggaran.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, M., Juanda B., Firdaus dan M., Hakim DB. 2018. Dampak Dana Otonomi Khusus terhadap Kinerja Pembangunan Ekonomi di Provinsi Aceh. Bogor. Disertasi: Institut Pertanian Bogor

BPK. 2021. Pendapat BPK: Pengelolaan Dana Otonomi Khusus pada Provinsi Papua dan Papua Barat. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Diakses dari https://www.bpk.go.id/assets/files/storage/2021/01/file_storage_1611741659.pdf.

BPK. 2020. Penelaahan Atas Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua. Jakarta: Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.

BPS Provinsi Papua. 2021. Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Papua Februari 2020.

Diakses dari https://papua.bps.go.id/pressrelease/2020/05/05/488/keadaan- ketenagakerjaan-provinsi-papua-februari-2020.html.

BPS. 2021. Kinerja Pembangunan Papua. Papua: Badan Pusat Statistik. Diakses dari https://papua.bps.go.id/.

DJPK. 2021. Kebijakan Alokasi Dana Otonomi Khusus. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta. Diakses pada tanggal 10 Juni 2021 dari http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2020/11/Kebijakan-Umum- Otsus-dan-Dais-TA-2020-dan-dan-Arah-Kebijakan-TA-2021.pdf.

Duwith, R. dan Ciptono, W.S. 2010. Pengaruh Dana Otonomi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Papua Tahun 2002-2009. Thesis.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Hafizrianda, Y., Riani, I. A. P., dan Kekry, B. P. N. 2019. Analisis Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah di Provinsi Papua. (Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Vol. 04 No. 03).Jayapura,Universitas Cenderawasih. Diakses pada tanggal 11 Juni 2021, dari https://ejournal.uncen.ac.id/index.php/KEUDA/article/download/1094/931.

Instiandari, R. 2009. Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: KPPOD Brief. Diakses dari https://www.kppod.org/brief/show?id=3.

Jaweng, R.E. 2014. Reformasi Tata Kelola Ekonomi: Potret Salah Urus Pemerintah Daerah.

(Jurnal Pemikiran Sosioal Ekonomi Vol. 33 No. 02). Jakarta, Prisma-LP3ES.

Katrina, R. 2020. Kebijakan bagi Papua di Masa Depan. (Parliamentary Review: Vol. 02 No.

04).

Kementrian Dalam Negeri. 2019 Data Realisasi Dana Otonomi Khusus dan Data Tambahan Infrastruktur. Jakarta: Kemendagri.

Kuncoro M. 2013. Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN Yogyakarta.

(16)

Hasibuan: Polemik Pengelolaan Dana Alokasi… | 27 Kusreni, S., dan Suhab, S. 2009. Kebijaksanaan APBD dan Kesejahteraan Masyarakat di

Provinsi Sulawesi Selatan. (DIE: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Manajemen Vol. 05 No. 03).

Surabaya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas 17 Agustus 1945.

Labolo, Muhamdam. 2014. Desentralisasi Asimetrik di Indoensia: Peluang, Tantangan dan Recovery. Jakarta: Wadi Press.

Laksmono, B. S. 2013. Harmonisasi Tujuan Pembangunan di Papua: Sebuah Gagasan Teknokratis. Makalah.

Suhartono dan Staya V.E. 2020. Dampak Dana Otonomi Khusus terhadap Pembangunan Papua. (Parliamentary Review Vol. 02 No. 04). Jakarta, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.

The conversation.com. 2020. Rencana evaluasi dana Otsus Papua: mengapa uang tidak bisa selesaikan masalah di Papua. Diakses dari https://theconversation.com/rencana- evaluasi-dana-otsus-papua-mengapa-uang-tidak-bisa-selesaikan-masalah-di-papua- 132190.

Wijaya, A.H.C. 2013. Kajian Pengelilaan Dana Otonomi Khusus di Kabupaten Asmat. (Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah). Jayapura, Universitas Cenderawasih.

Yudithya, M. 2021. Penanganan Stunting di Papua. BKKBN: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Basional. Papua. Diakses pada tanggal 10 Juni 2021, dalam http://papua.bkkbn.go.id/?p=2084.

Yustinus Paat. 2019. KPPOD: Dana Otsus Gagal Sejahterakan Masyarakat Tanah Papua.

Diakses pada tanggal 10 Juni 2021, dalam

https://www.beritasatu.com/nasional/574687/kppod-dana-otsus-gagal-sejahterakan- masyarakat-tanah-papua.

Zuhria, Ira. dan Ritonga, I. T. 2015. Analisis Pengaruh Dana Otonomi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, Dan Belanja Modal, terhadap Tingkat Kesejahteraan. Yogyakarta. Thesis:

Universitas Gajah Mada.

Referensi

Dokumen terkait

pertimbangan pasar kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap pemilihan karir profesi akuntan publik.Penelitian Nurahma (2011) yang menyatakan bahwa motivasi pasar

Penelitian dilatarbelakangi adanya pengaruh negative dari globalisasi yang menyebabkan adanya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Penelitian bertujuan mendapatkan

REPRESENTASI KERETA REL LISTRIK DALAM KARYA FOTO “REL WAKTU”(Analisis Semiotika Pada Foto Essai Karya Edy Purnomo) Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan calon guru dalam menghasilkan ensiklopediaberbasis bioedupreneurship melalui pembelajaran berbasis proyek dengan

 bersangkutan mempunyai tug mempunyai tugas dan as dan tanggung tanggung jawab untuk jawab untuk melaksanakan melaksanakan tugas tugas Tim Code Blue (Tim Medis Emergensi) RS,

Jenis penilitian ini menggunakan penelitian deskriftif kualitatif.Menurut (Saryono 2010: 1), kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu peneliti di dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul “Penerapan Konseling Karir

Hasil foto SEM pada Gambar 4.13 menunjukkan bahwa membran selulosa diasetat dari serat daun nanas dengan komposisi 1% dan waktu penguapan 30 detik merupakan