• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepatuhan Menjalankan Diet pada Penderita Diabetes Mellitus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepatuhan Menjalankan Diet pada Penderita Diabetes Mellitus"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 14 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kepatuhan Menjalankan Diet pada Penderita Diabetes Mellitus 1. Diabetes Mellitus

a. Pengertian Diabetes Mellitus

Penyakit Diabetes Mellitus yang juga dikenal sebagai penyakit kencing manis atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh. Penderita diabetes tidak bisa memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif, sehingga terjadilah kelebihan gula dalam darah (Sustrani, dkk., 2005).

Menurut American Diabetes Assosiation, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Kartika & Hasanat, 2008).

Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan keadaan kadar glukosa yang melebihi normal. Penyakit diabetes

(2)

mellitus apabila tak terkendali akan menimbulkan komplikasi-komplikasi yang dapat berakibat fatal (Pranadji, dkk., 2000).

Berdasarkan uraian di atas, diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme dimana keadaan kadar glukosa dalam darah melebihi normal yang disebabkan kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

b. Karakteristik dan Gejala Diabetes Mellitus

Gejala khas dari penyakit diabetes mellitus adalah poliura (banyak mengeluarkan urin), polidipsia (banyak minum/ cepat merasa haus), lemas, berat badan turun (meskipun nafsu makan meningkat atau polifagia), hiperglikemia, dan glukosaria. Gejala lain dari penyakit diabetes mellitus adalah kesemutan, gatal, dan mata kabur. Jika ada keluhan dan gejala khas serta ditemukannya hasil pemeriksaan glikosa darah > 200 mg/dl, hal tersebut sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus (Pranadji, dkk., 2000).

c. Jenis Diabetes Mellitus

Penyakit diabetes mellitus secara garis besar dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:

1) Diabets Mellitus tipe I

Diabetes mellitus tipe I, Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), Pasien penyakit diabetes tipe pertama ini menghasilkan insulin dengan julmah yang tidak mencukupi atau sama sekali tidak memproduksi

(3)

insulin. Karena insulin diperlukan untuk mengubah gula darah menjadi gula simpanan (glikogen), keadaan kurang atau tanpa insulin tersebut menyebabkan gula darah yang berlebih tidak dapat disimpan.

Dengan demikian, kadar gula akan naik hingga mencapai kadar yang sanagat tinggi dan tidak sebanding lagi dengan jumlah hidrat arang yang kita makan. Untuk mengimbangi kekurangan produksi insulin, pasien harus memperoleh suntikan insulin di bawah kulit sebelum makan. Pasien penyakit diabetes tipe I ditemukan pada mereka yang berusia muda (juvenile onset), bersifat bawaan dan memperlihatkan gejala yang lebih berat daripada tipe II sehingga memerlukan pengawasan medis yang lebih ketat. Pasien jenis diabetes ini tidak dapat diatasi hanya dengan obat-obatan diabetes yang umum (Hartono, 1995).

2) Diabetes mellitus tipe II

Diabetes mellitus tipe II, Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pasien penderita penyakit ini masih dapat memproduksi insulin, namun sel-sel sasaran seperti sel-sel otot serta lemak yang seharusnya mengambil gula dengan adanya insulin tidak memberikan respon yang normal terhadap insulin. Sel-sel tersebut menjadi bandel dan menolak mengambil gula dari dalam darah dengan bantuan insulin. Karena tidak bisa disimpan ditempat lain, gula yang dimakan akan tetap berada dalam darah dan jumlahnya akan naik sehingga

(4)

tercapai kadar yang tinggi. Pasien penyakit diabetes tipe II pada mulanya akan memperlihatkan kadar gula yang normal dengan kadar insulin yang tinggi. Pasien penyakit diabetes tipe II umumnya bertubuh gemuk dan proses terjadinya lebih dipengaruhi oleh lingkungan seperti gaya hidup dan pola makan. Jenis diabetes ini sering tanpa disertai keluhan dan kalaupun ada keluhan atau gejalanya lebih ringan daripada tipe I. Karena itu, pasien diabetes tipe II yang timbul pada usia dewasa (adult-onset) ini kerap kali bisa ditanggulangi hanya dengan diet dan olahraga (Hartono, 1995).

d. Faktor Risiko Diabetes Mellitus

Umumnya diabetes mellitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau sebagian besar dari sel-sel betha dari pulau-pulau Langerhans pada pancreas yang berfungsi menghasilkan insulin (Hasdianah, 2012).

Disamping itu diabetes mellitus juga dapat terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin dalam memasukan glukosa ke dalam sel.

Gangguan itu dapat terjadi karena kegemukan atau sebab lain yang belum diketahui.

Diabetes mellitus atau lebih dikenal dengan istilah penyakit kencing manis mempunyai beberapa faktor pemicu penyakit tersebut, antara lain (Hasdianah, 2012):

(5)

1) Pola makan

Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya diabetes mellitus.

Konsumsi makan yang berlebihan dan tidak diimbagi dengan sekresi insulin dalam jumlah yang memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan akan menyebabkan diabetes mellitus.

2) Obesitas (kegemukan)

Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90 kg cenderung memiliki peluang lebih besar untuk terkena penyakit diabetes mellitus.

Sembilan dari sepuluh orang gemuk berpotensi untuk terserang diabetes mellitus.

3) Faktor genetis

Diabetes mellitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita diabetes mellitus.

4) Bahan-bahan kimia dan obat-obatan

Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang dapat menyebabkan radang pankreas, radang pada pankreas akan mengakibatkan fungsi pankreas menurun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin.

(6)

5) Penyakit dan infeksi pada pancreas

Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat menyebabkan radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan turunnya fungsi pankreas sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin. Penyakit seperti kolesterol tinggi dan dislipidemia juga dapat meningkatkan resiko terkena diabetes mellitus.

6) Pola hidup

Pola hidup juga sangat mempengaruhi faktor penyebab diabetes mellitus. Orang yang malas berolah raga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena penyakit diabetes mellitus karena olah raga berfungsi untuk membakar kalori yang berlebihan di dalam tubuh.

Kalori yang tertimbun berlebihan di dalam tubuh merupakan faktor utama penyebab diabetes mellitus selain disfungsi pankreas.

7) Kadar kortikosteroid yang tinggi.

8) Kehamilan (diabetes gestasional), akan hilang setelah melahirkan.

9) Obat-obatan yang dapat merusak pankreas.

10) Racun yang mempengaruhi pembentukan insulin (Hasdianah,2012).

e. Pengelolaan Diabetes Mellitus

Tujuan dilakukannya terapi medis atau pengobatan pada pasien diabetes adalah untuk menjaga kadar gula dalam darah pada tingkat normal. Faktor yang diperlukan adalah kontrol diri. Kontrol makanan serta

(7)

olaharaga dianggap sebagai kebiasaan yang sangat sulit dilakukan secara teratur. Penderita diabetes mellitus juga harus dapat memonitor sendiri kadar gula dalam darahnya secara pasti. Taylor (dalam Hasdianah, 2012) mengatakan bahwa pasien diabetes mellitus dapat dilatih untuk mengetahui kadar glukosa darahnya secara pasti, sehingga mereka dapat belajar untuk dapat membedakan kapan kadar gula mereka perlu diubah.

Berikut beberapa cara dalam mengelola dan mencegah diabetes mellitus:

1) Mengatur pola makan,

2) Pola hidup sehat dengan tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol, 3) Menurunkan berat badan (terapi diet),

4) Menghindari stres.

Tujuan pengelolaan diabetes mellitus dibagi menjadi dua, yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya berbagai keluhan atau gejala diabetes sehingga pasien dapat menikmati kehidupan yang sehat dan nyaman. Tujuan jangka panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi baik pada pembuluh darah (mikroangiopati dan makroangiopati) maupun pada susunan saraf (neuropati) sehingga dapat menekan angka morbiditas dan mortilitas (Gustaviani, 2006).

Tujuan pengelolaan diabetes mellitus tersebut dapat dicapai dengan senantiasa mempertahankan kontrol metabolik yang baik seperti normalnya kadar glukosa dan lemak darah (Hasdianah, 2012).

(8)

2. Pengertian Kepatuhan Menjalankan Diet a. Pengertian kepatuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pranoto, 2007), patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Sarafino (1990) dikutip oleh (Slamet, 2007), mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau orang lain. Kepatuhan juga dapat didefinisikan sebagai perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan terapi (Degresi, 2005).

Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Sacket (dalam Niven, 2002: 192), mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan.

Menurut Milgram (dalam Sears, 1994) kepatuhan merupakan suatu perilaku yang ditunjukan seseorang untuk memenuhi perintah orang lain.

Sarwono (2001) menambahi bahwa kepatuhan adalah perilaku yang sesuai dengan perintah agar sesuai dengan peraturan. Dalam ranah psikologi kesehatan, Sarafino (dalam Smet, 1994) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau orang lain.

Berdasarkan teori dari beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa, kepatuhan adalah kerelaan individu untuk melakukan sesuatu yang

(9)

diharapkan atau diminta oleh pemegang otoritas atau kekuasaan yang ditandai dengan tunduk dengan kerelaan, mengalah, membuat suatu keinginan konformitas dengan harapan atau kemauan orang lain sehingga dapat menyesuaikan diri. dalam aspek kesehatan dimaksudkan individu rela melakukan pengobatan dengan dukungan dari keluarga atau kerabat yang ditentukan oleh otoritas atau kebijakan petugas kesehatan seperti dokter, ahli gizi maupun ahli medis serta keleraan dari individu tersebut dalam menjalani pengobatan yang dilakukan. Kesadaran diri, pemahaman, kepribadian menjadi komponen terpenting dalam pembentukan kepatuhan terhadap sistem pengobatan tertentu.

b. Pengertian kepatuhan menjalankan diet

Notoatmodjo (2003) menjelaskan kepatuhan merupakan perilaku seseorang sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior) yaitu perilaku seseorang yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan misalnya mematuhi aturan diet, mematuhi anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatan. Diet sendiri menurut Kariadi (2009) adalah pengaturan makan.

Wujud kepatuhan pada penderita diabetes mellitus seperti patuh memeriksakan atau mengontrol kadar gula darah ke pusat kesehatan terdekat dan mau mematuhi apa yang diperintahkan oleh petugas kesehatan mengenai diet diabetes mellitus seperti menerapkan pola makan

(10)

seimbang untuk menyesuaikan kebutuhan glukosa seuai dengan kebutuhan tubuh (Rahardjo, 2015).

Kepatuhan dalam menjalankan diet bagi penderita diabetes mellitus tipe II menjadi permasalahan tersendiri ketika peraturan harus diikuti oleh penderita secara kontinu dan dalam kurun waktu yang lama. Kepatuhan jangka panjang terhadap perencanaan makan merupakan tantangan yang besar bagi penderita diabetes mellitus (Ciechanowski, dkk, 2001).

Menurut Hawk (2005), kepatuhan diet merupakan salah satu dari beberapa perilaku kesehatan, seperti yang dijelaskannya bahwa kepatuhan merupakan perilaku menggunakan dan melekatkan dengan perilaku kesehatan sepertidengan beraktivitas fisik secara teratur atau mengonsumsi gizi yang sehat sebagai bagian dari gaya hidup. Perilaku kesehatan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor personal seperti usia, jenis kelamin, keturunan, kesehatan dan kebugaran saat ini.

Menurut Perkeni (Darbiyono, 2011), kepatuhan diet pasien merupakan suatu perubahan perilaku yang positif yang diharapkan, sehingga proses kesembuhan penyakit lebih cepat dan terkontrol.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepatuhan menjalankan diet adalah keterlibatan aktif pasien untuk mengikuti aturan diet sehingga penyakit penderita diabetes menjadi lebih terkontrol.

(11)

3. Aspek Kepatuhan Menjalankan Diet

Delamater (2011) mengungkapkan bahwa, aspek-aspek atau konsep implisit dari kepatuhan menjalankan diet adalah:

a. Pilihan dan keterkaitan dalam penetapan tujuan

Menurut teori kepatuhan yang diungkapkan oleh Janis (dalam Basyiroh, 2011) kepatuhan merupakan hasil proses pengambilan keptusan yang dipilih sendiri oleh pasien sesuai pemahaman pasien tentang prosedur, risiko, dan efektivitas menjalani diet sehingga pasien dapat memilih langkah menjalani diet yang terkait dengan tujuan dilakukannya diet.

Delamater menyebutkan bahwa, beberapa aturan pengobatan bersifat multi dimensional sehingga memerlukan upaya untuk mengintegrasikan aturan-aturan tersebut untuk mencapai tujuan pengobatan secara optimal.Aspek ini juga mencakup penetapan tujuan pengobatan yang tidak hanya dilakukan oleh petugas kesehatan tetapi juga disepakati oleh pasien dan didukung oleh lingkungan tempat tinggal/keluarga pasien atau disebut dengan perawatan kolaboratif (collaborative care).

b. Perencanaan perawatan

Teori pengaturan diri menjelaskan bahwa seseorang menciptakan representasi ancaman jika melanggar diet mereka sendiri dan merencanakan serta bertindak sesuai dengan apa yang menjadi hasil representasinya.

(12)

c. Implementasi peraturan diet

Implementasi kepatuhan terhadap aturan diet antara lain berbentuk kepatuhan terhadap upaya perencanaan makanan dan kepatuhan terhadap perilaku terkait perubahan gaya hidup.

Adapun menurut Amico, Alfonso, dan Plaher (2005), aspek-aspek kepatuhan meliputi:

a. Informasi tentang kepatuhan, meliputi:

1) Informasi tentang peraturan, pemanfaatan peraturan diet yang benar, dan kepatuhan yang memadai.

2) Informasi tentang efek samping dan interaksi makanan yang dikonsumsi.

3) Tentang teori kepatuhan heuristik dan implisit.

b. Motivasi untuk patuh, meliputi:

1) Sikap atau keyakinan tentang hasil dari perilaku patuh dan tidak patuh dan evaluasi dari perilaku tersebut.

2) Persepsi orang terdekat untuk mendukung berperilaku patuh dan motivasi untuk mematuhi keinginan orang lain yang signifikan.

c. Keterampilan berperilaku patuh, tujuan dan kemampuan yang dirasakan, meliputi keterampilan-keterampilan:

1) Untuk memperoleh tanda-tanda dari diri dan pengelolaan diri terhadap tritmen.

(13)

2) Memasukkan ke dalam peraturan lingkungan sosialnya sehari-hari.

3) Meminimalkan efek samping.

4) Memperbarui fakta seputar kepatuhan tritmen sesuai kebutuhannya.

5) Untuk mendapatkan dukungan sosial dan bantuan dukungan untuk bersikap patuh.

6) Untuk menguatkan diri sepanjang waktu untuk berperilaku patuh.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menggunakan aspek-aspek kepatuhan yang dikemukakan oleh Delamater (2011) yang meliputi: pilihan dan keterkaitan dalam penetapan tujuan, perencanaan perawatan, dan implementasi peraturan.

4. Faktor yang Mempengaruhi kepatuhan Menjalankan Diet

Menurut (Niven, 2008), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah:

a. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

(14)

negara. Pendidikan klien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

b. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman- teman, kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok dan menurunkan konsumsi alkohol. Lingkungan berpengaruh besar pada pasien diabetes, lingkungan yang harmonis dan positif akan membawa dampak yang positif pula pada pasien penderita diabetes, kebalikannya lingkungan negatif akan membawa dampak buruk pada proses kepatuhan menjalankan diet apada penderita diaberes mellitus.

c. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien

Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada klien setelah memperoleh infomasi tentang diagnosis.Suatu penjelasan penyebab penyakit dan bagaimana pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan, semakin baik pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, semakin patuh pula pasien dalam menjalankan saran-saran yang diberikan oleh tenaga kesehatan khususnya dalam menjalankan diet pada penderita diabetes mellitus.

(15)

d. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Menurut fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau diubah sedemikian rupa, sehingga tercapai suatu konsistensi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin baik pula pasien diabetes akan patuh dalam menjalankan dietnya

e. Usia

Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur melakukan pengobatan (Notoatmodjo, 2007).

(16)

f. Dukungan Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang terdiri atas 2 orang atau lebih, adanya ikatan persaudaraan atau pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga berinteraksi satu sama lain, mempertahankan satu kebudayaan (Effendy, 2006).

Pasien penderita diabetes mellitus sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya, yaitu keluarga, dukungan dapat ditujukan melalui sikap yaitu dengan:

1) Memberikan perhatian, misalnya mempertahankan makanan meliputi porsi, jenis, frekuensi dalam sehari-hari serta kecukupan gizi.

2) Mengingatkan, misalnya kapan penderita harus minum obat, kapan istirahat serta kapan saatnya kontrol.

3) Menyiapkan obat yang harus diminum oleh pasien.

4) Memberikan motivasi pada penderita diabetes mellitus untuk datang melakukan diet secara tepat sesuai anjuran dokter.

B. Regulasi Diri 1. Pengertian Regulasi Diri

Menurut Schunk (dalam Susanto 2006), Regulasi adalah kemampuan untuk mengontrol diri sendiri. Regulasi diri merupakan

(17)

penggunaan suatu proses yang mengaktivitasi pemikiran, perilaku, dan perasaan yang terus menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Individu melakukan regulasi diri dengan mengamati, mempertimbangkan, memberi, ganjaran atau hukuman terhadap dirinya sendiri (Hendri, 2008). Sistem pengaturan diri ini berupa standar-standar bagi tingkah laku seseorang dan mengamati kemampuan diri sendiri, menilai diri sendiri dan memberikan respon terhadap diri sendiri (Mahmud, 1990).

Regulasi diri menurut Bandura adalah suatu kemampuan yang dimiliki manusia berupa kemampuan berfikir dan dengan kemampuan itu mereka memanipulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan tersebut. Menurut Bandura seseorang dapat mengatur sebahagian dari pola tingkah laku dirinya sendiri. Secara umum self regulated adalah tugas seseorang untuk mengubah respon-respon, seperti mengendalikan impuls perilaku (dorongan perilaku), menahan hasrat, mengontrol pikiran dan mengubah emosi (Rahmah, 2009). Maka dengan kata lain, regulasi diri adalah suatu kemampuan yang dimili oleh individu dalam mengontrol tingkah laku, dan memanipulasi sebuah perilaku dengan menggunakan kemampuan pikirannya sehingga individu dapat bereaksi terhadap lingkungannya.

Regulasi diri (self regulation) adalah kemampuan untuk mengontrol perilaku sendiri. Regulasi diri merupakan penggunaan suatu proses yang

(18)

mengaktivasi pemikiran, perilaku dan perasaan yang terus menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan Schunk dan Zimmerman (1998). Individu melakukan pengaturan diri ini dengan mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri. Sistem pengaturan diri ini berupa standar- standar bagi tingkah laku seseorang dan kemampuan mengamati diri, menilai diri sendiri, dan memberikan respon terhadap diri sendiri.

Regulasi diri (self regulation) merupakan dasar dari proses sosialisasi karena berhubungan dengan seluruh domain yang ada dalam perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional (Papalia & Olds, 2001). Selain itu regulasi diri (self regulation) juga merupakan kemampuan mental serta pengendalian emosi (Papalia & Olds, 2001).

Seluruh perkembangan kognitif, fisik, serta pengendalian emosi dan kemampuan sosialisasi yang baik, membawa seseorang untuk dapat mengatur dirinya dengan baik (Papalia & Olds, 2001).

Selanjutnya terdapat definisi lain yang diungkapkan oleh Miller &

Brown (dalam Papalia & Olds, 2001) bahwa self regulation atau regulasi diri sebagai kapasitas untuk merencanakan, mengarahkan, dan memonitor prilaku fleksibel untuk mengubah keadaan. Self regulation adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan perilaku mereka agar sesuai dengan apa yang mereka ketahui sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.

(19)

Definisi lain mengenai regulasi diri (self regulation) juga dikemukakan oleh Maes dan Gebhardt (dalam Boeree, 2005) yaitu suatu urutan tindakan atau suatu proses yang mengatur tindakan dengan niat untuk mencapai suatu tujuan pribadi. Regulasi diri merupakan kemampuan mengontrol perilaku sendiri adalah salah dari sekian penggerak utama kepribadian manusia (Bandura dalam Boeree, 2005).

Regulasi diri (self regulation) juga didefinisikan oleh Kanfer, 1990:

Karoly, 1993 Zimmerman, 2001 (dalam Porath dan Bateman, 2006) sebagai suatu proses yang memungkinkan seseorang untuk memandu aktivitasnya dengan waktu yang lebih lama agar tercapai tujuan yang diinginkannya dan memungkinkan juga untuk mengubah keadaannya menjadi kebalikannya, termasuk dalam pengaturan atau pengaruh pikiran dan perilaku.

Berdasarkan dari beberapa pengertian yang sudah diuraikan dapat disimpulkan bahwa, regulasi diri (self regulation) adalah kemampuan dalam mengontrol, mengatur, merencanakan, mengarahkan, dan memonitor perilaku untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan strategi tertentu dan melibatkan unsur fisik, kognitif, motivasi, emosional, dan sosial.

(20)

2. Proses Regulasi Diri (Self Regulation)

Proses self regulation dilakukan agar seseorang atau individu dapat mencapai tujuan yang diharapkannya. Dalam mencapai suatu tujuan yang diharapkan seseorang perlu mengetahui kemampuan fisik, kognitif, sosial, pengendalian emosi yang baik sehimgga membawa seseorang kepada self regulation yang baik. Miller dan Brown (dalam Neal dan Carey, 2005) memformulasikan self regulation sebanyak tujuh tahap yaitu:

a. Receiving atau menerima informasi yang relevan, yaitu langkah awal individu dalam menerima informasi dari berbagai sumber. Dengan informasi-informasi tersebut, individu dapat mengetahui karakter yang lebih khusus dari suatu masalah. Seperti kemungkinan adanya hubungan dengan aspek lainnya.

b. Evaluating atau mengevaluasi. Setelah kita mendapatkan informasi, langkah berikutnya adalah menyadari seberapa besar masalah tersebut.

Dalam proses evaluasi diri, individu menganalisis informasi dengan membandingkan suatu masalah yang terdeteksi di luar diri (eksternal) dengan pendapat pribadi (internal) yang tercipta dari pengalaman yang sebelumnya yang serupa. Pendapat itu didasari oleh harapan yang ideal yang diperoleh dari pengembangan individu sepanjang hidupnya yang termasuk dalam proses pembelajaran.

c. Triggering atau membuat suatu perubahan. Sebagai akibat dari suatu

proses perbandingan dari hasil evaluasi sebelumnya, timbul perasaan

(21)

positif atau negatif. Individu menghindari sikap-sikap atau pemikiran- pemikiran yang tidak sesuai dengan informasi yang didapat dengan norma-norma yang ada. Semua reaksi yang ada pada tahap ini yaitu disebut juga kecenderungan ke arah perubahan.

d. Searching atau mencari solusi. Pada tahap sebelumnya proses evaluasi

menyebabkan reaksi-reaksi emosional dan sikap. Pada akhir proses evaluasi tersebut menunjukkan pertentangan antara sikap individu dalam memahami masalah. pertentangan tersebut membuat individu akhirnya menyadari beberapa jenis tindakan atau aksi untuk mengurangi perbedaan yang terjadi. Kebutuhan untuk mengurangi pertentangan dimulai dengan mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi.

e. Formulating atau merancang suatu rencana, yaitu perencanaan aspek-

aspek pokok untuk meneruskan target atau tujuan seperti soal waktu, aktivitas untuk pengembangan, tempat-tempat dan aspek lainnya yang mampu mendukung efesien dan efektif.

f. Implementing atau menerapkan rencana, yaitu setelah semua

perencanaan telah teralisasi, berikutnya adalah secepatnya mengarah pada aksi-aksi atau melakukan tindakan-tindakan yang tepat yang mengarah ke tujuan dan memodifikasi sikap sesuai dengan yang diinginkan dalam proses.

(22)

g. Assessing atau mengukur efektivitas rencana yang telah dibuat.

Pengukuran ini dilakukan pada tahap akhir. Pengukuran tersebut dapat membantu dalam menentukan dan menyadari apakah perencanaan yang tidak direalisasikan itu sesuai dengan yang diharapkan atau tidak serta apakah hasil yang didapat sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan hasil uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, proses regulasi diri (self regulation) terdiri dari: receiving atau menerima, evaluating atau mengevaluasi, triggering atau membuat suatu perubahan, searching atau mencari solusi, formulating atau merancang suatu rencana, implementing atau menerapkan rencana, assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat.

3. Aspek-aspek Regulasi Diri

Self-regulation merupakan fundamen dalam proses sosialisasi dan melibatkan perkembangan fisik, kognitif, dam emosi (Papalia, 2001 : 223). Individu dengan self-regulation pada tingkat yang tinggi akan memiliki kontrol yang baik dalam mencapai tujuannya.

Menurut Schunk dan Zimmerman (dalam Ropp, 1999) menyatakan bahwa self regulation mencakup tiga aspek :

a. Metakognisi

Metakognisimenurut Schunk dan Zimmerman (dalam Ropp, 1999) adalah kemampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasikan

(23)

atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas kegiatannya.

b. Motivasi

Zimmerman dan Schunk (dalam Ropp, 1999) mengatakan bahwa, motivasi merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu.

c. Perilaku

Perilaku menurut Zimmerman dan Schunk (dalam Ropp, 1999) merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitasnya.

Regulasi diri menurut Eggen dan Kauchack memiliki empat aspek, yaitu:

a. Penetapan tujuan

Penetapan tujuan adalah komponen penting dari regulasi diri. Tujuan tidak hanya menetapkan maksud untuk tindakan seseorang, tetapi juga menyediakan cara untuk mengukur kemajuan.

(24)

b. Observasi diri

Pengamatan diri dikombinasikan dengan tujuan yang tepat dapat mengubah perilaku individu yang kadang-kadang terjadi secara dramatis.

c. Asesmen diri

Mengembangkan keterampilan asesmen diri membutuhkan waktu, dan individu tidak secara otomatis menjadi baik. Cara terbaik untuk membantu individu mengembangkan keterampilan ini adalah memastikan tujuan yang spesifik dan kuantitatif.

d. Penguatan diri

Semua orang merasa nyaman ketika mencapai tujuan dan sering merasa menyesal atau bahkan bersalah ketika tujuan tidak tercapai, dan berjanji untuk berbuat lebih baik di masa depan. Sebuah bentuk yang kuat dari penguatan diri adalah rasa prestasi yang dapat dihasilkan dari pengaturan dan memenuhi tujuan yang menantang.

Empat aspek regulasi dri yang disebutkan oleh Pintrich, dkk. (dalam Chen, 2002), yaitu:

a. Metakognisi

Metakognisi mengacu pada kesadaran, pengetahuan, dan kontrol kognisi, tiga proses yang membuat metakognitif regulasi diri dari kegiatan perencanaan, pemantauan, dan mengatur metakognitif regulasi diri.

(25)

b. Manajemen lingkungan fisik dan sosial

Mengatur lingkungan fisik seseorang dan sosial meliputi pengelolaan lingkungan dan mencari bantuan.

c. Manajemen waktu

Manajemen waktu melibatkan penjadwalan, perencanaan, dan mengelola waktu seseorang.

d. Upaya regulasi atau kemauan (volition)

Upaya regulasi atau kemauan adalah kecenderungan untuk mempertahankan focus dan upaya menuju tujuan meskipun terdapat gangguan potensial.

Berdasarkan hasil uraian dari beberapa ahli di atas, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchack (1997), dan Pintrich, dkk. (dalam Chen, 2002) yang telah dimodifikasi, yaitu : metakognisi, manajemen lingkungan fisik dan sosial, manajemen waktu, upaya regulasi atau kemauan (volition), dan penguatan diri.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Regulasi Diri

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi regulasi diri (self- regulation) yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Bandura (dalam Alwisol, 2007) mengatakan bahwa, tingkah laku manusia dalam self- regulation adalah hasil pengaruh resiprokal faktor eksternal dan internal.

Faktor eksternal dan faktor internal akan dijelaskan sebagai berikut.

(26)

a. Faktor Eksternal dalam Regulasi Diri

Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara:

1) Standar

Faktor eksternal memberikan standar untuk mengevaluasi tingkah laku kita sendiri. Standar itu tidaklah semata-mata berasal dari daya-daya internal saja namun juga berasal dari faktor-faktor lingkungan, yang berinteraksi dengan faktor pribadi juga turut membentuk standar pengevaluasian individu tersebut.

2) Penguatan (reinforcement)

Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement). Hadiah intrinsik tidak selalu memberikan kepuasan, manusia membutuhkan insentif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku biasanya bekerja sama ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.

b. Faktor Internal dalam regulasi diri

Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal dalam pengaturan diri sendiri. Bandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal:

(27)

1) Observasi diri (self observation)

Dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkah laku diri, dan seterusnya.

Observasi diri terhadap performa yang sudah dilakukan. Manusia sanggup memonitor penampilannya meskipun tidak lengkap atau akurat. Kita memilih dengan selektif sejumlah aspek perilaku dan mengabaikan aspek lainnya yang dipertahankan biasanya sesuai dengan konsep diri.

2) Proses penilaian (judgmental process)

Proses penilaian bergantung pada empat hal: standar pribadi, performa-performa acuan, nilai aktivitas, dan penyempurnaan performa. Standar pribadi bersumber dari pengamatan model yaitu orang tua atau guru, dan menginterpretasi balikan/penguatan dari performasi diri. Setiap performasi yang mendapatkan penguatan akan mengalami proses kognitif ,menyusun ukuran-ukuran/norma yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran itu tidak selaku sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi adalah proses evaluasi yang terbatas. Sebagian besar aktivitas harus dinilai dengan membandingkan dengan ukuran eksternal, bisa berupa norma standar perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain, atau perbandingan kolektif. Dari kebanyakan aktivitas, kita

(28)

mengevaluasi performa dengan membandingkannya kepada standar acuan.

Di samping standar pribadi dan standar acuan, proses penilaian juga bergantung pada keseluruhan nilai yang kita dapatkan dalam sebuah aktivitas. Akhirnya, regulasi diri juga bergantung pada cara kita mencari penyebab-penyebab tingkah laku demi menyempurnakan performa.

3) Reaksi diri (self-response)

Manusia merespon positif atau negatif perilaku mereka tergantung kepada bagaimana perilaku ini diukur dan apa standar pribadinya.

Bandura meyakini bahwa manusia menggunakan strategi reaktif dan proaktif untuk mengatur dirinya. Maksudnya, manusia berupaya secara reaktif untuk mereduksi pertentangan antara pencapaian dan tujuan, dan setelah berhasil menghilangkannya, mereka secara proaktif menetapkan tujuan baru yang lebih tinggi.

Berdasarkan hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor- faktor yang mempengaruhi regulasi diri seseorang ada dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari standar dan penguatan (reinforcement), sedangkan faktor internal terdiri dari observasi diri (self-observation), proses penilaian (judgmental process), dan reaksi diri (self-response).

(29)

C. Dukungan Sosial Keluarga 1. Pengertian Dukungan Sosial Keluarga

Menurut Karren, dkk. (2002), dukungan sosial merupakan sejauh mana kebutuhan sosial dasar seseorang terpenuhi melalui interaksi dengan orang lain yang bertujuan untuk membantu menyelesaikan suatu masalah.

Hubungan yang terjalin tersebut bagi penerimanya akan memberi manfaat adanya kesempatan untuk keintiman bersama, perasaan dihargai, memiliki dukungan informasi dari orang lain dan memiliki akses ke bantuan secara materi.

Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan tersebut. Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi dari orang lain yang dicintai, terhormat dan nilai-nilai, dan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama (Taylor, 2009).

Gottlieb (1983, dalam Smet, 1994) menjelaskan dukungan sosial sebagai bantuan yang diberikan berupa informasi verbal dan nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan kepada orang lain, yang memiliki efek emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Hal ini dapat dimaknai bahwa dukungan sosial yang diterima dapat membuat

(30)

individu merasa tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri dan kompeten. Tersedianya dukungan sosial akan membuat individu merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari suatu kelompok. Hal ini dijelaskan oleh Sarafino (1997) yang menjelaskan bahwa dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan, kepedulian, atau bantuan yang diterima dari orang-orang atau kelompok-kelompoklain.

Johnson dan Johnson (2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai keberadaan orang lain yang dapat memberikan bantuan, dorongan, penerimaan dan perhatian kepada seseorang. Pemberian dukungan membantu individu menghadapi situasi yang menimbulkan ketegangan.

Rook (1985, dalam Smet, 1994) mendefinisikan dukungan sosial sebagai salah satu fungsi pertalian sosial. Adanya segi fungsional tersebut dapat mencakup dukungan emosional, yang mendorong seseorang untuk mengungkapkan perasaan, pemberian nasehat atau informasi, dan pemberian bantuan material (Ritter, dalam Smet 1994).

Keluarga merupakan suatu kelompok individu yang terkait oleh ikatan perkawinan atau darah, secara khusus mencakup seorang ayah, ibu, dan anak (Chaplin, 2008). Harmoko (2012) menjelaskan bahwa, keluarga terdiri atas dua orang atau lebih yang diikat hubungan darah, perkawinan atau adopsi yang hidup bersama dan berinteraksi satu sama lain yang mempunyai tujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya,

(31)

meningkatkan perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota.

Menurut Rodin dan Salovey (1989, dalam Smet, 1994) perkawinan dan keluarga merupakan dukungan sosial yang paling penting bagi individu. Heardman (dalam Zuliawati, 2010) mengemukakan bahwa, keluarga merupakan sumber dukungan sosial karena dalam keluarga tercipta hubungan yang saling mempercayai. Individu sebagai anggota keluarga akan menjadikan keluarga sebagai kumpulan harapan, tempat bercerita, tempat bertanya dan tempat mengeluarkan keluhan-

keluhan saat individu sering mengalami permasalahan.

Ruwaida, dkk (2006) mengemukakan bahwa, dukungan keluarga merupakan sumber informasi yang berasal dari keluarga yang dapat membantu individu untuk mengatasi permasalahan, merasakan adanya kelekatan perasaan memiliki, penghargaan serta adanya ikatan yang dapat dipercaya untuk memberikan bantuan dalam berbagai keadaan. Hal ini dapat dimaknai bahwa peran keluarga sangat penting dalam kehidupan seseorang.

Berdasarkan paparan dari para ahli di atas, dapat dikemukakan bahwa, dukungan sosial keluarga adalah dukungan yang berasal dari keluarga, berupa bantuan informasi verbal dan nonverbal, bantuan nyata atau sebuah tindakan yang diberikan yang menunjukkan suatu bentuk perhargaan dan kepedulian terhadap individu serta dapat membantu

(32)

individu tersebut dalam menghadapi permasalahannya.

2. Aspek Dukungan Sosial Keluarga

Dukungan sosial yang diberikan kepada individu memiliki beberapa bentuk. House (dalam Smet, 1994) membagi dukungan sosial menjadi empat aspek, yaitu:

a. Dukungan emosional

Merupakan pemberian dukungan secara afeksi kepada individu mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang-orang yang bersangkutan.

b. Dukungan penghargaan

Berupa ungkapan rasa hormat secara positif kepada seseorang, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan sosial antara satu orang dengan orang lainnya.

c. Dukungan instrumental

Bantuan instrumental dapat berupa bantuan nyata dan langsung kepada individu berupa barang ataupun jasa. Bantuan ini dapat diwujudkan seperti pemberian bantuan alat, keuangan, dan peluang waktu kepada individu.

d. Dukungan informatif

Bantuan dapat berupa pemberian nasihat atau pengarahan, saran, petunjuk, dan umpan-balik yang berguna bagi individu untuk

(33)

menyelesaikan masalah.

Sarafino (1997) menjelaskan ada lima aspek dukungan sosial, yaitu:

a. Dukungan emosional

Merupakan dukungan berupa ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian kepada orang yang menerima. Kesediaan orang untuk memperhatikan dengan rasa nyaman, tentram, jaminan perlindungan, dan merasa dicintai saat mereka menghadapi masalah dalam hidupnya.

b. Dukungan penghargaan

Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan penghargaan yang positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif antara satu individu dengan individu yang lain. Hal seperti ini akan mengembangkan penghargaan diri seseorang, kompetensi yang dimiliki dan nilai-nilai.

c. Dukungan instrumental

Dukungan instrumental merupakan suatu dukungan yang berupa pemberian sesuatu berupa bantuan nyata atau dukungan alat. Dukungan ini juga mencakup bantuan secara langsung seperti memberikan pinjaman uang bagi orang yang memerlukannya. Dukungan ini membantu seseorang untuk melakukan aktivitasnya.

(34)

d. Dukungan informatif

Dukungan informatif mencakup pemberian nasihat, petunjuk, saran- saran, informasi, atau umpan balik. Dukungan ini dapat membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi diperlukan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah tersebut.

e. Dukungan jaringan sosial

Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok yang saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial. Dukungan semacam ini mencakup tentang perasaan keanggotaan individu dalam kelompok atau suatu komunitas.

Pada dasarnya bentuk-bentuk dukungan sosial yang diungkapkan di atas adalah sama, yaitu membagi dukungan sosial menjadi dukungan penghargaan, dukungan emosional, dukungan informatif, dan dukungan instrumental. Hanya saja pada bentuk-bentuk dukungan sosial yang diungkapkan oleh Sarafino (1997) terdapat bentuk dukungan sosial yang berupa dukungan jaringan sosial yang merupakan bentuk dukungan dalam suatu komunitas. Untuk itu aspek dukungan sosial yang sesuai dengan kelompok kecil seperti keluarga yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek dukungan sosial dari House (dalam Smet, 1994) , yaitu :

(35)

dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informatif, dan dukungan instrumental.

3. Fungsi Dukungan Sosial Keluarga

Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Menurut Caplan (dalam Friedman, 1998) bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan, yaitu:

a. Dukungan informasional keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah.

b. Dukungan penilaian keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, dan perhatian.

c. Dukungan instrumental keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita

(36)

dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.

d. Dukungan emosional keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

Menurut Wills (dalam Ruwaida dkk., 2006), dukungan sosial mempunyai empat fungsi berdasarkan masing-masing aspek, yaitu :

a. Dukungan penghargaan

Di dalam kehidupannya, individu menghadapi berbagi tantangan yang mengancam harga dirinya sehingga timbul keraguan individu tentang kapasitas kemampuan yang dimiliknya. Adanya hubungan interpersonal mempunyai pengaruh yang kuat untuk menetralkan setiap ancaman pada self-esteem dengan cara menceritakan masalah yang dihadapi kepada orang lain. Dalam hubungan yang saling membantu, terjalin situasi yang saling mendengarkan dengan penuh perhatian, memberi simpati, dukungan berbagai pengalaman. Unsur penting dari sumber dukungan sosial tersebut adalah rasa diterima dan dihargai oleh orang lain. Orang yang mendapat penerimaan dari significant others maka akan meningkatkan evaluasi diri dan harga diri indvidu.

(37)

b. Dukungan informasi

Jika permasalahan dapat dengan cepat diselesaikan, maka kemungkinan individu akan mulai mencari informasi tentang sifat masalah dan bimbingan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan.

Dukungan informasi yang berupa pengetahuan baru, nasihat dan bimbingan akan membantu individu melakukan pembatasan masalah sehingga ia memperoleh jalan keluar yang efektif untuk mengatasi permasalahannya.

c. Dukungan instrumental

Dukungan ini disebut juga dengan dukungan yang nyata, antara lain: alat dan material. Bentuk dukungan ini adalah berupa uang, penyediaan transportasi, buku dan membantu tugas-tugas. Bantuan yang diberikan tepat pada waktunya sangat penting, karena individu penerima bantuan tidak dapat menyediakannya. Kondisi ini berkaitan dengan kesejahteraan seseorang karena melalui bantuan yang diterima mampu mengurangi kondisi-kondisi yang menekan.

d. Dukungan motivasional

Jaringan sosial dapat memberikan dukungan yang berupa semangat kepada seseorang untuk berusaha menemukan solusi atas permasalahannya, meyakinkan individu tersebut akan sukses dan meyakinkan bahwa permasalahan tersebut akan dapat teratasi bersama.

(38)

Johnson dan Johnson (2000) mengemukakan bahwa, dukungan sosial memiliki empat fungsi secara umum, yaitu :

a. Meningkatkan produktivitas melalui peningkatan motivasi, kualitas penalaran dan mengurangi dampakstress.

b. Meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kemampuan penyesuaian diri melalui perasaan memiliki, peningkatan harga diri, pengurangan distres dan penyediaan sumber yang dibutuhkan.

c. Adanya hubungan dekat dengan orang lain akan meningkatkan kesehatan fisik dibandingkan dengan individu yang terkena isolasi.

d. Manajemen stress dengan cara seseorang dalam menghadapi masalah yang terfokus pada pengurangan reaksi stres melalui perhatian, informasi dan umpan balik yang diperlukan untuk mengurangi kecemasan.

D. Hubungan Regulasi Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Menjalankan Diet pada Pederita Diabetes Mellitus

1. Hubungan Regulasi Diri dengan Kepatuhan Menjalankan Diet pada Penderita Diabetes Mellitus

Tujuan utama penanganan penderita diabetes adalah mengontrol gula darah agar tetap normal dan mencegah terjadinya komplikasi. Dalam

(39)

kehidupan sehari-hari, keterlibatan penderita diabetes dalam menangani penyakit yang dideritanya sangat penting. Mau tidak mau penderita dituntut untuk melaksanakan berbagi aturan yang berkaitan dengan pengaturan makan, penyuntikan insulin setiap hari, pengontrolan glukosa darah dengan tujuan agar metabolismenya dapat terkendali dengan baik (Laron, dalam Suhardjono, dkk., 2002).

Penelitian Ary, dkk. (Senecal, dkk., 2000) menunjukkan bahwa, dietary self-care (perawatan diri diet) adalah elemen terpenting dalam manajemen diabetes, meskipun banyak individu dengan diabetes gagal untuk mengikuti rekomendasi aktivitas dietary self-care secara rutin. Kesulitan mengelola tritmen terutama diet dan olahraga juga ditemukan dalam penelitian Hadriami (1994). Dalam penelitian tersebut, persoalan diet tidak dikaitkan dengan keseriusan sakitnya. Persoalan diet lebih banyak disebabkan stress dalam menjalankan diet. Hal itu memperlihatkan bahwa faktor penting dalam menjaga kontrol aktual adalah persepsi atas kontrol kondisi seseorang.

Regulasi diri dalam rangka pengelolaan diabetes merupakan proses yang panjang. Disebut proses yang panjang karena terus-menerus berlangsung selama masih ada kemauan untuk melakukan pengelolaan diabetes sehingga membentuk dinamika. Keberhasilan atau kegagalan regulasi diri tergantung pada proses yang terjadi pada jangka waktu tertentu. Proses tersebut dapat diuraikan mulai dari adanya kemauan dan keyakinan akan kemampuan (efikasi diri) untuk melakukan kontrol atas pengelolaan diabetes (diet, obat,

(40)

monitoring kadar gula darah, dan olahraga) demi tercapainya tujuan pengelolaan diabetes. Evaluasi sebagai komponen dari regulasi diri berfungsi untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan pengelolaan pada waktu tersebut. Evaluasi dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan kadar gula darah, perbandingan sosial yang dilakukan selama interaksi dengan sesame penderita diabetes, antara pengetahuan yang seharusnya terjadi dengan kejadian actual.

Selanjutnya hasil evaluasi tersebut dijadikan acuan untuk proses pengelolaan diabetes berikutnya dan disesuaikan untuk pencapaian tujuan. Suatu poses regulasi diri membutuhkan kerja keras individu untuk melakukannya. Artinya, dalam proses ini dibutuhkan adanya niatan atau kemauan yang kuat untuk pencapaian tujuan (Ningrum dan Hasanat, 2011).

2. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Menjalankan Diet pada Penderita Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan, namun pasien masih tetap memiliki harapan untuk memiliki tingkat kesehatan yang lebih baik, yaitu dengan melaksanakan lima komponen penatalaksanaan terapi diabetes, yaitu: pengelolaan diet, latihan fisik, pemantauan gula darah, terapi, dan pendidikan kesehatan (Anggina, 2010).

Salah satu komponen yang cukup penting adalah penatalaksanaan diet yang diarahkan untuk mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap terkontrol dan dipertahankan mendekati normal, mencapai dan

(41)

mempertahankan kadar lipida serum normal, member cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat badan normal, menangani atau menghindari komplikasi akut pasien dan meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal (Almatsier, 2005). Dengan demikian pasien diabetes harus mengikuti dan mematuhi program penatalaksanaan diet sesuai dengan ketentuan dari tim kesehatan agar tercapai control metabolic yang optimal, karena kepatuhan pasien terhadap diet adalah komponen utama dalam penatalaksanaan diabetes (Misnadiarly, 2006).

Menurut Cohen dan Syme (1996) dalam Friedman (1998) dukungan sosial keluarga merupakan keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain sehingga orang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya.

Dukungan keluarga merupakan segala bentuk perilaku dan sikap positif yang diberikan keluarga kepada salah satu anggota keluarga yang sakit, yaitu anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Dengan penggunaan sistem dukungan keluarga yang terdiri dari dukungan informasional, penilaian, instrumental dan emosional yang merupakan bagian integral dari keseluruhan dukungan yang berpusat pada suatu pendekatan keluarga dalam menangani memberikan dukungan pada pasien akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan (Setiadi, 2008).

(42)

Dukungan sosial keluarga merupakan salah satu faktor yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan kepatuhan pasien dalam menlaksanakan program diet. Dengan demikian dukungan sosial tidak dapat diabaikan begitu saja, karena dukungan sosial keluarga merupakan salah satu dari faktor yang memiliki kontribusi yang cukup berarti dan sebagai faktor penguat yang mempengaruhi kepatuhan pasien diabetes mellitus. Mengingat diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang dapat hilang timbul atau dapat kambuh kapan saja jika pasien tidak mengikuti program yang telah ditetapkan oleh petugas kesehatan. Serta pengobatannyapun tidak cukup 1-2 bulan saja tetapi butuh waktu yang lama dan penderita dalam hal ini pasien tidak bisa melakukannya sendiri (Anggina, 2010).

Dukungan sosial keluarga sangat penting dalam meningkatkan dan menyemangati jika efek samping menjadi parah. Dukungan sosial dari keluarga berupa dukungan emosional diharapkan dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh komplikasi penyakit diabetes, mengingat diabetes merupakan penyakit yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi penyakit yang berbahaya serta mengancam jiwa pasien yang menderita penyakit ini. Sehingga anggota keluarga bisa dikatakan sebagai keluarga pendukung (Anggina, 2010).

(43)

3. Hubungan Regulasi Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Menjalankan Diet pada Penderita Diabetes Mellitus

Keberhasilan suatu pengobatan baik secara primer maupun sekunder, sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita diabetes mellitus untuk menjaga kesehatannya. Dengan kepatuhan yang baik, pengobatan secara primer maupun sekunder dapat terlaksana secara optimal dan kualitas kesehatan bisa tetap dirasakan. Sebab apabila penderita diabetes tidak mempunyai kesadaran diri untuk bersikap patuh maka hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan yang berakibat pada menurunnya kesehatan. Bahkan akibat ketidakpatuhan dalam menjaga kesehatan, dapat berdampak pada komplikasi penyakit diabetes mellitus dan bisa berujung pada kematian (Basyiroh, 2011).

Hasil penelitian Ningrum dan Hasanat (2011) menjelaskan bahwa, pengelolaan diabetes mellitus memiliki proses yang panjang, menetap dan berlangsung lama. Penderita harus melakukan sistem regulasi diri secara teratur, menetap dan bertahap agar kesehatan tetap dirasakan penderita, dan hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari. Regulasi diri merupakan proses pengelolaan pengobatan yang panjang yang dilakukan secara terus menerus yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama, dan harus didasarkan pada kesadaran diri setiap individu. Kepatuhan termasuk sikap yang penting yang terdapat dalam regulasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa niatan, kesadaran diri, dan kepatuhan individu penderita diabetes mellitus

(44)

mempengaruhi goal setting oriented dalam mengelola dan menjaga penyakit diabetes.

Tujuan utama penanganan penderita diabetes mellitus adalah mengontrol kadar gula darah agar tetap normal dan mencegah komplikasi.

Setiap orang menginginkan untuk menjadi lebih baik dan sehat, begitu juga dengan penderita diabetes mellitus. Oleh karena itu, bagi individu yang menginginkan diri lebih sehat, maka regulasi diri merupakan obat yang baik (Bandura, 2005). Dalam kehidupan sehari-hari, keterlibatan penderita diabetes mellitus dalam menangani penyakit yang dideritanya sangat penting. Mau tidak mau penderita dituntut untuk melaksanakan berbagai aturan yang berkaitan dengan pengaturan makan, penyuntikan insulin setiap hari, pengontrolan kadar gula darah dengan tujuan agar metabolismenya dapat terkendali dengan baik (Laron, dalam Suharjono, dkk., 2002).

Selain faktor internal terdapat juga faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kepatuhan penderita diabetes mellitus dalam menjalankan program diet, yaitu adanya dukungan sosial dari keluarga. Dukungan sosial yang keluarga berikan dapat berupa motivasi maupun teguran yang membangun. Penderita diabetes akan merasa nyaman jika teman, sahabat serta keluarga berada disampingnya untuk mendukung serta memberikan motivasi (Ambarwati, 2008).

Dukungan keluarga merupakan segala bentuk perilaku dan sikap positif yang diberikan keluarga kepada salah satu anggota keluarga yang sakit

(45)

yaitu anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Efek dari dukungan sosial yang berasal dari keluarga terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi besamaan. Secara lebih spesifik, keadaan dukungan sosial uang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Di samping itu pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stress (Friedman, 1998).

Berdasarkan hasil penelitian dari Anggina (2010), bahwa dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan kepatuhan pasien dalam melaksanakan program diet. Dengan demikian dukungan sosial keluarga tidak dapat diabaikan begitu saja, karena dukungan sosial keluarga merupakan salah satu dari faktor yang memiliki kontribusi yang cukup berarti dan sebagai faktor penguat yang mempengaruhi kepatuhan pada pasien diabetes mellitus.

(46)

E. Kerangka Pemikiran

Bagan 1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan bagan di atas, dapat dijelaskan bahwa:

1. Hubungan antara regulasi diri dan dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan menjalankan diet pada penderita diabetes mellitus.

2. Hubungan antara regulasi diri dengan kepatuhan menjalankan diet pada penderita diabetes melitus.

3. Hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan menjalankan diet pada penderita diabetes mellitus

Regulasi Diri

Dukungan Sosial Keluarga

Kepatuhan Menjalakan Diet

pada Penderita Diabetes Mellitus 1

2

3

(47)

F. Hipotesis

Berdasarkan dari uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan antara kepatuhan menjalankan diet pada penderita diabetes mellitus dengan regulasi diri dan dukungan sosial keluarga.

2. Terdapat hubungan antara kepatuhan menjalankan diet pada penderita diabetes mellitus dengan regulasi diri.

3. Terdapat hubungan antara kepatuhan menjalankan diet pada pederita diabetes mellitus dengan dukungan sosial keluarga.

Referensi

Dokumen terkait

• Untuk daerah yang tidak memiliki dokter spesialis Kedokteran Forensik, pemeriksaan dilakukan oleh dokter umum serendah-rendahnya di rumah sakit tipe D.. Untuk

“ Observasi adalah suatu cara yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data informasi yang merupakan tingkah laku non-verbal dari responden, dengan tujuan

[r]

Dari ketiga bentuk kebijakan luar negeri tersebut, Cina melakukan dua strategi kebijakan luar negeri yang berkaitan dengan penjalinan hubungan baik dengan tetangga

12 Sebagai asas yang bersifat universal, hal itu juga terdapat dalam common law system, dimana terdapat kesimbangan posisi tawar (bergaining power) para pihak sebagai

Extending the experimentation, set-2 and set-4, considering 15 genuine and 15 skilled forge sample features for training and tested with remaining 9 genuine and 15 skilled forge

Untuk menyelesaikan permasalahan diatas karena hanya yang berubah hanya titiknya saja maka dapat dikerjakan secara langsung, dengan cara mengerjakan secara umum untuk

Untuk perespon darurat : Jika pakaian khusus diperlukan dalam mengatasi tumpahan, memperhatikan informasi di Bagian 8 mengenai bahan-bahan yang cocok dan tidak cocok.. Penanganan