BAB II
PENGERTIAN PERJANJIAN DALAM KUHPerdata
A. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya
Perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
Perjanjian adalah : “ menyatakan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih “1
Ketentuan dari pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa
kelemahan. Adapun yang menjadi kelemahan-kelemahannya adalah sebagai berikut :2
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “ satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya “.
2.Kata perbuatan mencakup juga terhadap konsensusnya.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas.
4.Tanpa menyebut tujuan.
5. Ada bentuk tertentu lisan dan tulisan.
6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian, sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan
dibawah ini :
a. Syarat ada persetujuan kehendak.
b. Syarat kecakapan pihak-pihak.
c. Ada hal-hal tertentu.
d. Ada klausa yang halal.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang dalam bentuknya
perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji
dan kesanggupan yang diucapkan secara lisan ataupun secara tertulis.3
Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perjanjian mengandung pengertian bahwa : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda
antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
Dari pengertian singkat diatas dapat dilihat beberapa unsur yang memberi wujud
pengertian perjanjian, antara lain : “ hubungan hukum ( rechtsbetrekking ) yang menyangkut
hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban
pada pihak lain tentang suatu prestasi. Sehingga demikian, perjanjian adalah hubungan hukum
rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh
karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan adalah hal-hal yang
terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam
perjanjian bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai
dalam harta benda kekeluargaan.
Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan
sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “ tindakan hukum “ rechtshandeling.
Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum
perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh
prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk
menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak dan pihak satunya lagi memikul kewajiban
menyerahkan/menunaikan prestasi.
Prestasi ini sendiri merupakan objek atau “ voorwerp ” dari perjanjian. Tanpa prestasi,
hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak memiliki arti
apa-apa bagi hukum perjanjian.
Perjanjian atau verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan, akan tetapi tidak
semua perjanjian atau verbintenis mempunyai sifat memaksa, pengecualiannya misalnya pada
natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat “ tanpa hak memaksa “. Jadi
natuurlijke verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa (de verbintenis
met zonder rechtsdwang).
Dengan demikian dapat di bedakan antara :
1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking) yaitu : perjanjian yang ditinjau dari
segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum ( rechtsgevolg) yang mengikat. Misalnya
perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.
2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum “ tak sempurna “ (onvolledige rechtswerking),
seperti natuurlijke verbintenis. Bahwa ketidaksempurnaan daya hukumnya terletak pada
3. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya (volledige rechtsweking). Disini
pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika dia ingkar secara sukarela melaksanakan
kewajiban prestasi.
A.1 Sistem Keterbukaan yang Terkandung Dalam Hukum Perjanjian
Dalam hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan dalam hukum
perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan
peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian
yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam membuat
suatu perjanjian para pihak diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang
menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka dapat mengatur sendiri keentingan
mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Namun jika para pihak yang akan
melakukan perjanjian tersebut tidak mengatur sendiri, itu berarti para pihak tersebut akan tunduk
kepada undang-undang.
Sistem terbuka, yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang
berbunyi : “ Semua perjanjian ynag dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya “. Selanjutnya, sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga
mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang
hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk.
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualisme.
Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Asas konsensualisme
bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya!
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat
mengenai sesuatu hal.
Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul
karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,
perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak-lah
diperlukan sesuatu formalitas.
Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya "konsensuil".
Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan
perjanjian itu diadakan secara tertulis (perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris
(perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu kekecualian
yang lain, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai
kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi :
"Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 4
1. sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Namun jika menyimak rumusan Pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa: “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah
(menurut hukum) adalah mengikat (vide Pasal 1320 BW), karena didalam asas ini terkandung
“kehendak para pihak”5untuk saling mengikatkan diridan menimbulkan kepercayaan
(vertrouwen) diantara para pihak terdapat pemenuhan perjanjian. Didalam Pasal 1320 BW
terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang
menentukan adanya perjanjian (raison d’erte, het bestaanwaarde).6 Didalam asas ini terkandung
kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen)
diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer)
merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.7
Dalam perjanjian kerja sama antara PT. Djarum dengan CV. Pelangi ini terdapat
kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan adanya asas kepercayaan
pada masing- masing pihak. Kalau tidak ada asas kepercayaan terhadap masing-masing pihak,
maka perjanjian kerja sama ini tidak mungkin akan berjalan.
B. Asas-asas Hukum Perjanjian
a. Asas Personalia
Asas ini diatur dan dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 1315 BW, yang berbunyi “
pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri”. Dari rumusan
tersebut dapat ketahui bahwa pada dasarnya suatu pejanjian yang dibuat oleh seseorang dalam
5 Artinya kehendak para pihak itu harus tercermin dalam wujud kontrak yang seimbang.
kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya
sendiri.8
Pada umumnya sesuai dengan asas personalia, yang diberikan dalam pasal 1315 BW,
masalah kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan dalam :
a) Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri;
b) Sebagai wakil dari pihak tertentu;
c) Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
Jika dilihat lebih lanjut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW), maka akan sampai pada ketentuan pasal 1340 yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Perjanjian tidak dapat merugikan pihak ketiga; dan perjanjian tidak dapat memberi keuntungan
kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam pasal1317”9
Dari rumusan yang diberikan pasal 1340 BW secara jelas dan tegas menyatakan bahwa
suatu perjanjian yang diadakan antara dua pihak, hanya berlaku dan mengikat bagi kedua belah
pihak tersebut. Pihak ketiga manapun juga, diluar para pihak yang bersepakat,tidak dapat
dirugikan kepentingannya, karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat
perjanjian tersebut. Demikian juga bahwa pihak ketiga, diluar para pihak yang berjanji, tidak
dimungkinkan untuk memperoleh keuntungan dari suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak
yang saling bersepakat tersebut.
Prinsip lebih lanjut diatur dalam pasal 1341 BW, yang dikenal juga dengan nama Actio
Pauliana, merupakan suatu sifat perjanjian yang hanya berlaku dan mengikat para pihak yang
8 Kartini muljadi & gunawan widjaja., Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian ,jakarta: Rajawali pers, 2002, Hlm. 15.
membuatnya. Dengan asas personalia, pihak ketiga, diluar para pihak yang bersepakat atau
berjanji, tidak berhak untuk mencampuri perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b. Asas Kebebasan Berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum
perjanjian, meskipun asas ini tidak dibuat menjadi aturan hukum namun memilki pengaruh yang
kuat dalam hubungan perjanjian para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme
yang secara dari lahir dari zaman Yunani, yang kemudian dilanjutkan oleh kaum Epicuristen dan
berkembang pesat pada zaman Renaissance melalui ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes,
Jhon Locke, dan Rousseau. Sebagai asas yang bersifat universal yang bersumber dari paham
hukum,asas kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik
yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas.10
Kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian pada dasarnya merupakan perwujudan dari
kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya didasari semangat
liberalisme yang mengutaakan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan
penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan
Revolusi Prancis “liberte, egalite et fraternite” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).
Menurut arti individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki,
sementara itu didalam hukum perjanjian filsafat ini diwujudkan dalam asas kebebasan
berkontrak.11
Buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum “( Buku III BW) memberi
keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang di
10 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposinalitas dalam Kontrak Komersil, 2011, Jakarta, Kencana, Hlm. 108
atur dalam Buku III BW hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht -
aanvullendecht). Berbeda dengan pengaturan Buku III BW yang menganut sistem tertutup atau
bersifat memaksa (dwingen recht), di mana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang
ada di dalam Buku III BW tersebut.
Sistem tertutup Buku III BW ini tercermin dari substansi Pasal 1338 (1) BW yang
menyatakan bahwa,”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.” Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan
berkontrak adalah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka
perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu
pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan
mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu
hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah “semua”
didalamnya terkandung - asas patij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract
vrijheid - memang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk
perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk kontrak standart.12
Kebebasan berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat
perjanjian dengan bentuk atau format apa pun (tertulis, lisan, scriptless, paperless, autentik,
nonautentik, sepihak/eenzijdig, adhesi, standart/baku dan lain-lain), serta dengan isi atau subtansi
sesuai yang diinginkan para pihak.
Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan
sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “ tindakan hukum “/ rechtshandeling.
Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum
perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh
prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk
menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak dan pihak satunya lagi memikul kewajiban
menyerahkan/menunaikan prestasi.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian
Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:13
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian .
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat
opsional (aanvullend, optional).
Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana
tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 (1) BW tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut
berada dalam satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik
dewasa ini, acap kali asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak
memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah.
Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi
tawar /bergaining position yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu
memiliki posisi tawar yang seimbang .
Menurut Konrad Zweight dan Hein Kotz, kebebasan berkontrak yang akan eksis jika
para pihak didalam kontrak memiliki keseimbangan secara ekonomi dan sosial. Pengertian ini
memberikan peluang luas kepada golongan ekonomi kuat untuk mengatasi golongan ekonomi
lemah, suatu “exploitation de l’homme par l’homme”. Pembentuk undang-undang pada waktu
tak terduga bahwa yang berhadapan dengan kontrak itu ternyata menyangkut dua pihak yang
berbeda kekuatan ekonomisnya. Karenanya lambat laun dirasakan bahwa kebebasan berkontrak
menjurus pada adanya ketidakadilan.14
Menurut Suhardi, kebebasan dan kesamaan yang diotorisir oleh tertib hukum abad XIX
yang jiwanya individualis tidak memberi garansi untuk realisasi hakikat zat maupun eksistensi
manusia sebagai bagian dari rakyat terbanyak. Hubungan keperdataan karena dipandang
melanggar hak kebebasan manusia. Disini kita menjumpai keganjilan. Untuk kepentingan
mempertahankan kodrat kebebasan, maka golongan terbanyak yang sosial ekonominya lemah
harus menderita berat dan mengorbankan kesempatan realisasi hakikat eksistensi mereka sendiri.
Kegamangan eksistensi kebebasan berkontrak juga diungkapkan oleh Soepomo yang
menyatakan bahwa :15
“ BW mempunyai landasan liberalisme, suatu sistem berdasarkan atas kepentingan individu.
Mereka yang memiliki modal yang kuat menguasai mereka yang lemah ekonominya. Didalam
sistem liberal terdapat kebebaan yang luas untuk berkompetisi sehingga golongan yang
lemah tidak mendapat perlindungan”
14 Ibid, Hlm. 111
15
Namun demikian dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak semakin tereduksi
perannya sebagaimana sinyalemen beberapa sarjana. Subekti menyatakan bahwa hukum kontrak
sesudah perang dunia II ditandai dengan semakin meningkatnya pembatasan terhadap asas
kebebasan berkontrak. Pengaruh paham individualisme mulai memudar pada akhir abad XIX
seiring dengan berkembangnya paham etis dan sosialis. Paham individualis dinilai tidak
mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan
perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti
relatif, selalu dikaitkan dengan kepentingan umum. Sementara menurut Pitlo didalam abad ini
terutama setelah tahun 1945 perkembangan kearah pembentukan masyarakat sosialis dari
masyarakat individualis berada dalam proses menanjak. Salah satu gejalanya ialah dengan
penerobosan Hukum Publik terhadap Hukum Perdata. Penerobosan ini adalah demi kepentingan
umum. Penerobosan ini terjadi baik dalam bidang hak atas benda maupun dalam bidang hukum
harta kekayaan. Jika selama ini ada “uitholling van eigendom”, maka sekarang ada “uitholling
van contactenvrijheid”.
Mariam Darus Badrulzaman menambahkan, jika dilihat dari segi perkembangan hukum
perdata, maka campur tangan pemerintah merupakan pergeseran hukum perdata kedalam proses
pemasyarakatan (vermaatschappelijking) untuk kepentingan umum. Sesuai dengan UUD 1945
yang telah melepaskan diri dari konsepsi hukum yang liberal dan menganut konsepsi hukum
yang Pancasilais. Didalam konkretonya, Hukum perdata khususnya hukum kontrak mencari
bentuk baru demi memenuhi tuntutan itu antara lain melalui campur tangan pemerintah.
Bahkan cenderung untuk memperbanyak peraturan-peraturan hukum pemaksa (dwingend recht)
demi kepentingan umum dan melindungi yang lemah.16
Dalam perkembangannya asas ini semakin digerogoti. Memang asas ini belum mati
dalam arti sebenarnya, namun asas ini setidak-tidaknya sudah tidak lagi tampil dalam bentuknya
yang utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak, yaitu:
a. Semakin berpengaruhnya ajaran iktikad baik dimana iktikad baik tidak hanya ada pada
pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak.
b. Semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden
atau undue influence).
Setiawan, menyatakan bahwa pembatasan kebebasan berkontrak dipengaruhi oleh:17
a. Berkembangnya doktrin iktikad baik;
b. Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan;
c. Makin banyaknya kontrak baku;
d. Berkembangnya hukum ekonomi.
Sedangkan Purwahid Patrik menyatakan bahwa terjadinya berbagai pembatasan
kebebasan berkontrak disebabkan:18
16 Ibid, Hlm. 113
17 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Jakarta: Total Medika, 2009. Hlm 2.
a. Berkembangnya ekonomi yang membentuk persekutuan dagang, badan-badan hukum
atau perseroan-perseroan, dan golongan-golongan masyarakat lain (misal: golongan
buruh dan tani)
b. Terjadinya pemasyarakatan keinginan adanya keseimbangan antar-individu dan
masyarakat yang tertuju kepada keadilan sosial;
c. Timbulnya formalisme perjanjian;
d. Makin banyak peraturan dibidang hukum tata usaha negara.
Menurut Sri Soedewi Maschoen, pembatasan kebebasan berkontrak diakibatkan karena
adanya:19
a. Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi (misal:kaena adanya penggabungan
atau sentralisasi perusahaan;
b. Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang
lemah.
c. Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan adanya kesejahteraan sosial.
Terlepas dari semakin tereduksinya supremasi asas kebebasan berkontrak, keseimbangan
para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang tidak dapat ditawar. Karena itu
dalam diri para pihak yang berkontrak harus terdapat pemahaman dan penghormatan terhadap
hak masing-masing. Oleh karena itu, dapat dipahami, perkembangan asas kebebasan berkontrak
yang cenderung mengarah pada ketidakseimbangan para pihak kemudian dibatasi oleh berbagai
ketentuan yang bersifat memaksa agar pertukaran hak dan kewajiban dapat berlangsung secara
proprosional.
19
Melalui pemahaman tersebut diatas, kiranya pola interaksi yang selama ini berkembang
dimasyarakat sehubungan dengan perjanjian yang dibuat para pihak, dimana dalam berkontrak
para pihak dihadapkan sebagai “lawan kontrak” , adalah pola fikir yang harus dihilangkan,
khususnya dalam dunia bisnis. Pemikiran “lawan kontrak” pada dasarnya psikis (sadar atau
tidak sadar, disengaja atau tidak disengaja) akan mewarnai pola fikir, sikap dan tindakan para
pihak yang kesemuanya itu muncul, berkembang dan tertuang dalam penyusunan kontrak yang
mereka buat. Hal ini dapat dicermati dalam pola kontrak. Kontrak standart yang cenderung berat
sebelah.
Yang terjadi dilapangan merupakan konsekuensi logis dari pola fikir dan pemahaman
yang salah kaprah mengenai asas kebebasan berkontrak. Sehingga yang terjadi justru para pihak
berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (menguntungkan dirinya) dalam
berhadapan dengan lawan kontraknya. Ia berusaha untuk membentengi dirinya dengan mencoba
membuat kontrak yang isinya cenderung hanya menguntungkan dirinya sendiri, tanpa
menghiraukan pihak lawan, bahkan kalau perlu menjerat pihak lawan dengan klausul-klausul
yang mematikan. Dengan pemahaman bahwa dalam berkontrak akan saling berhadapan lawan
kontrak, berarti mereka siap dengan senjata masing-masing untuk diarahkan dan ditembakkan
sewaktu-waktu.
Kesalahan dalam memahami filosofi asas kebebasan berkontrak tersebut harus segera
diluruskan dan dikembalikan pada pemahaman yang sebenarnya. Asas ini menempatkan para
pihak yang berkontrak dalam posisi yang setara secara proporsional, asas ini tidak menempatkan
Melalui pemahaman pola kemitraan, maka bangunan konsep lama yang terpola dibenak
para pihak harus dirombak, artinya didalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus
diupayakan untuk selalu memikirkan bagaimana selain dia aman dan diuntungkan dengan
kontrak itu, maka mitra kontrak tersebut memperoleh hasil dan manfaat yang sama dengan
dirinya. Dengan pemahaman kemitraan niscaya akan terbangun suatu situasi yang saling
menghargai, menguntungkan, mengamankan tujuan para pihak sebagaimana yang tertuang
dalam kontrak. Situasi kondusif yang dilandasi sikap win-win attitude20 pada akhirnya akan
bermuara pada situasi “win-win solution”.
Jika dikaitkan dengan perjanjian yang dibahas dalam skripsi ini menjelaskan bahwa para
pihak sama-sama saling menguntungkan dan dengan saling menghargai yang terjadi pada para
pihak maka perjanjian akan berjalan sesuai dengan yang di harapkan.
Asas Konsensualitas
Asas konsensualitas menjelaskan pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan
antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah
satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai
kesepakatan atau consensus, ,meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan
semata-mata. Ini berarti ada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi
para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walaupun demikian, untuk menjaga
kepentingan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi diadakanlah bentuk-bentuk
formalitas, atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.
20
Asas konsensualitas adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanian konsensuil.
Sebagai pengecualian dikenallah perjanjian formil dan perjanjian riil, oleh karena dalam kedua
jenis perjanjian yang disebut terakhir ini, kesepakatan saja belum mengikat pada pihak yang
berjanji.
Dalam perjanjian formil, sesungguhnya formalitas tersebut diperlukan karena dua hal
pokok, yaitu yang meliputi:
a. Sifat dari kebendaan yang dialihkan, yang menurut ketentuan pasal 613 dan pasal 616
BW penyerahan hak milik atas kebendaan tersebut harus dilakukan dalam bentuk akta
otentik atau akta dibawah tangan. Oleh karena itu pengalihan dari kebendaan yang
demikian mensyaratkan diperlukannya akta, berarti harus dibuat secara tertulis, maka
segala perjanjian yang dimakud untuk memindahkan hak milik atas kebendaan tersebut
haruslah dibuat secara tertulis.
b. Sifat dari isi perjanjian itu sendiri, yang harus diketahui oleh umum, melalui mekanisme
pengumuman kepada khalayak umum atau masyarakat luas. Jenis perjanjian ini pada
umumnya dapat ditemukan dalam perjanjian yang bertujuan untuk mendirikan suatu
badan hukum, yang selanjutnya akan menjadi suatu persona standi in judicio sendiri,
terlepas dari keberadaan para pihak yang berjanji untuk mendirikannya sebagai subyek
hukum yang mandiri.
c. Hubungan dengan penjamin kebendaan. Pada mulanya Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata hanya mengenal dua macam jenis penjaminan, yang dikaikan dengan jenis
Sedangkan dalam perjanjiaan riil, suatu tindakan atau perbuatan disyaratkan karena sifat
dari perjanjian itu sendiri yang masih emerlukan tindak lanjut dari salah satu pihak dalam
perjanjian, agar syarat kesepakatan bagi lahirnya perjanjian tersebut menjadi ada demi hukum.
C. Syarat-syarat Sahnya Sebuah Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian datur dalam Pasal 1320 KUHPdt. Pasal 1320 KUHPdt
merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan sebuah perjanjian. Perjanjian yang sah
artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga
diakui oleh hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPdt,
syarat-syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:21
1. Adanya persetujuan kehendak para pihak yang membuat perjanjian (consensus)
Yang dimaksud dari adanya persetujuan kehendak para pihak yang membuat perjanjian
adalah sepakat diantara mereka yang mengikatkan diri, artinya para pihak yang membuat
perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang
diperjanjikan. Dan kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila diberikan karena
kekeliruan, kekhilafan, paksaan ataupun penipuan.
Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur,
yaitu unsur penawaran dan penerimaan.22 Penawaran diartikan sebagai pernyataan
kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Usul ini mencakup
esensialia perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan (aanvarding acceptatie
acceptance) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.
Perjanjian atau kontrak yang lahir dari kesepakatan pada kondisi normal adalah
bersesuaian antara kehendak dan pernyataan. Namun demikian, tidak menutup
21
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, 2011, Bandung, Citra Aditya Bakti, Hlm. 73
kemungkinan bahwa kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak
(wilsgebreken). Perjanjian yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh adanya unsur
cacat kehendak tersebut mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan. Didalam BW
terdapat tiga hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan adanya
cacat kehendak yaitu;
a. Kesesatan atau dwaling (vide Pasal 1322 BW)
Terdapat kesesatan apabila terkait dengan “hakikat benda atau orang” dan pihak lawan
harus mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak
lain sangat menentukan.
b. Paksaan atau dwang (vide Pasal 1323-1327 BW)
Paksaan timbul apabila seseorang tergerak untuk menutup kontrak dibawah ancaman
yang bersifat melanggar hukum
c. Penipuan atau bedrog (vide Pasal 1328)
Penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir,23 artinya ada penipuan bila
gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan yang timbul oleh tingkah laku
yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan.
2. Adanya kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian (capacity)
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, arti kata kecakapan yang dimaksud dalam
hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, yakni sesuai
dengan ketentuan KUHPdt, mereka yang telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah
menikah. Cakap juga berarti orang yang udah dewasa, sehat akal fikiran, dan tidak
dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu. Dan oarng-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum
yaitu: orang-orang yang belum dewasa , menurut Pasal 1330 KUHPdt jo. Pasal 47 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; orang-orang yang ditaruh dibawah
pengampuan, menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUHPdt ; serta orang-orang yang
dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti orang
yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan. Kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum bagi persoon pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup umur.24
Terkait standar usia dewasa dapat dilakukan melalui pengujian asas- asas hukum maupun
interpretasi komprehesif terhadap muatan materi beberapa ketentuan terkait.
3. Adanya suatu hal tertentu (certain subject matter)
Suatu hal tertentu maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan
harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan. Lebih lanjut
mengenai hal atau objek tertentu ini dapat dirujuk dari substansi Pasal 1332, 1333 dan
1334 BW. Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam berkontrak
harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Kata “tertentu” tidak harus dalam artian
gramatikal dan sempit, harus sudah ada ketika kontrak dibuat.
4. Adanya suatu sebab yang halal (legal causae)
Suatu sebab yang halah artinya, jika suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal
yang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPdt, yaitu: tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, tidak betrentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan
dengan undang-undang.
Terkait dengan pengertian “sebab yang halal”, beberapa sarjana mengajukan
pemikirannya, antara lain H.F.A dan Wirjono Projodikoro yang memberikan pengertian
sebab (kausa) sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian.
Sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut, bahwa syarat pertama dan kedua dinamakan
syarat subjektif, karena berbicara mengenai subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan
ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif, karena berbicara mengenai objek yang
diperjanjikan dalam sebuah perjanjian. Dalam perjanjian bilamana syarat-syarat subjektif tidak
terpenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak
cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian
tersebut tetap mengikat. Sedangkan, bilamana syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka
perjanjian batal demi hukum. Artinya batal demi hukum bahwa, dari semula dianggap tidak
pernah ada perjanjian sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut dipengadilan.
Dalam perjanjian ini telah terdapat kesepakatan para pihak yang termuat dalam pasal 2
ayat (2) yang memuat : perjanjian pembelian dan pemasangan papan reklame luar ruang / LED
Display merupakan perjanjian pekerjaan, dimana pihak pertama dan pihak kedua sama-sama
telah sepakat. Para pihak yang melakukan perjanjian ini telah cakap hukum dan tidak berada
dalam pengampuan. Bahwa yang menjadi pokok perjanjian dalam perjanjian ini adalah mengenai
penempatan, pembuatan dan pemasangan papan reklame luar ruang / LED Display. Dan
perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan, kesopanan dan ketertiban umum
D. Jenis-jenis Perjanjian
Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Perjanjian Obligatoir
2. Perjanjian non Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan
atau membayar sesuatu, sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian non obligatoir
adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar
sesuatu.
Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis yaitu :
1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak.
Misalnya perjanjian penanggungan (borgtocht). Sedangkan perjanjian timbal balik adalah
perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual
beli.25
2. Perjanjian atas beban dan perjanjian Cuma-Cuma.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yag satu untuk
melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak
lain. Misalnya perjanjian pinjam meminjam dengan bunga. Sedangkan perjanjian
cuma-cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan sesuatu keuntungan kepada
pihak lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya pinjam pakai, hibah dan
penitipan barang tanpa biaya.26
3. Perjanjian konsesual, perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian konsesual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai
persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Sedangkan yang dimaksud dengan
perjanjian riil adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang.
Misalnya perjanjian pinjam pakai. Dan yang dimaksud dengan perjanjian formal adalah
perjanjian yang harus memakai akta nota riil. Misalnya perjanjian jual beli tanah.27
4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dalam undang-undang.
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus didalam
undang-undang. Misalnya perjanjian leaseing, franchising dan factoring. Sedangkan
perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih
perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pekerjaan, perjanjian kost yang merupakan
perjanjian sewa menyewa dan perbuatan untuk melakukan suatu pekerjaan.28
Perjanjian yang penulis bahas jenis perjanjian kerja, yang merupakan termasuk ke
golongan perjanjian bernama, dimana para pihak membuat perjanjian ini untuk hubungan kerja,
dimana pihak pertama memberikan kerja kepada pihak kedua untuk menyelesaikan sebuah
pekerjaan.
Yang dimaksud dengan perjanjian kerja menurut undang-undang no.13 tahun 2003 pasal
1 angka 14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau memberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Perjanjian kerja yang termasuk dalam perjanjian bernama tersebut merupakan
kesepakatan secara tertulis maupun lisan antara pemberi kerja dengan pekerja, yang memuat
secara singkat maupun lengkap segala yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Perjanjian tertulis merupakan perjanjian yang dituangkan secara jelas diatas kertas,
sedangkan perjanjian lisan merupakan perjanjian secara singkat dengan dasar kepercayaan
masing-masing para pihak, biasanya perjanjian ini hanya digunakan untuk perjanjian yang
mudah pelaksanaannya atau tidak banyak menuntut persyaratan. Perbedaan yang mendasar
antara kedua bentuk perjanjian ini adalah kekuatan hukumnya, perjanjian tertulis tentu lebih
kuat, karena perjanjian tertulis itu menjadi akta otentik atau bukti tertulis dimata hukum.
Dalam perjanjian kerja tertulis harus memuat segala informasi tentang perusahaan dan
calon pekerja, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah calon pekerja tersebut legal atau
sedang dalam masalah. Identitas para pihak juga penting dalam pemenuhan hak dan kewajiban
para pihak. Identitas paling tidak memuat nama perusahaan, alamat perusahaan, jenis usaha, jenis
kelamin, umur dan alamat pekerja, ini diatur dalam pasal 54 UU No.13 Tahun 2003.
Mengenai waktu mulai dan berakhirnya perjanjian dapat dibagi 229 yaitu :
c. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
d. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatmya ;
b. Pekerjaan yang bersifat musiman ; atau
c. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan ;
d. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
29
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perjanjian
kerja waktu tertentu dapat diadakan dalam jangka waktu paling lama 2tahun dan hanya dapat di
perpanjang 1kali.
Perjanjian yang penulis bahas dalam skripsi ini termasuk ke jenis perjanjian untuk
waktu tertentu, karena dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu dan dapat di perpanjang dengan membuat
perjanjian baru jika masing-masing pihak sepakat untuk melanjutkan hubungan kerja tersebut.
Sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat memberi masa percobaan
kerja paling lama 3bulan dan calon pekerja mendapat upah sesuai dengan upah minimum yang
berlaku.
Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis yaitu :30
1. Perjanjian publik
Perjanjian publik adalah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari
seseorang kepada orang lain.31
2. Perjanjian pembuktian
Perjanjian pembuktian adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu kepada pihak lain.
3. Perjanjian liberatoir
Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari
Perjanjian untung-untungan adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi
dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.
E. Isi Pokok Sebuah Perjanjian
Dalam penentuan isi suatu perjanjian hendaknya dibedakan dengan tujuan sebuah
kontrak. Tujuan sebuah kontrak sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 1320 BW
syarat 4 dihubungkan dengan pasal 1335 jo. 1337 BW, diartikan sebagai tujuan bersama yang
hendak dicapai para pihak dalam hubungan kontraktual yang mereka buat. Sedangkan isi
perjanjian tersebut harus terkait dengan penentuan sifat serta luasnya hak dan kewajiban yang
timbul dari hubungan suatu perjanjian para pihak.
Untuk membuat sebuah perjanjian yang baik, diperlukan adanya persiapan atau
perencanaan terlebih dahulu. Baiknya sejak negosiasi perjanjian persiapan tersebut sudah
dimulai. Penyusunan sebuah perjanjian terdapat beberapa tahapan sejak persiapan sampai dengan
pelaksanaan isi perjanjian tersebut. Tahapan-tahapan dalam menyusun sebuah perjanjian, yaitu:
1. Prakontrak
a. Negosiasi
Pada tahap ini terjadi tawar menawar kehendak para pihak untuk kemudian
dituangkan dalam perjanjian.33
b. Memorandum of Understanding (MoU)
Dalam tahap ini merupakan kelanjutan negosiasi dituangkan butir-butir kesepakatan
negosiasi. MoU merupakan pegangan sementara para pihak sebelum masuk pada
tahap penyusunan perjanjian.
c. Studi kelayakan
Para pihak sebelum membuat sebuah perjanjian harus melakukan sebuah studi
kelayakan terlebih dahulu untuk mengambil keputusan tentang perlu atau tidaknya
kelanjutan transaksi para pihak34
d. Negosiasi lanjutan
Negosiasi lanjutan dilakukan para pihak setelah mendapat kepastian untuk
melanjutkan transaksi ataupun melanjutkan mengadakan perjanjian tersebut.
2. Kontrak
Adapun tahapan-tahapan dalam penyusunan sebuah perjanjian yaitu:
Membuat draf perjanjian
Koreksi draf oleh masing-masing pihak
Penandatanganan perjanjian
3. Pasca-kontrak
Dalam pelaksanaan sebuah perjanjian yang baik seharusnya dapat dilaksanakan oleh para
pihak. Para pihak memperoleh haknya dan menjalankan kewajibannya sesuai isi
perjanjian yang telah mereka buat.
Didalam sebuah perjanjian juga dapat timbul suatu perselisihan. Timbulnya perselisihan
tersebut dapat terjadi karena:
Penafsiran yang berbeda terhadap perjanjian.
Pokok-pokok perselisihan belum diatur dalam perjanjian.
Salah satu pihak atau kedua belah pihak melakukan wanprestasi.
Oleh karena itu, dalam sebuah perjanjian harus dicantumkan pasal yang mengatur tentang
pilihan hukum dan prosedur penyelesaian sengketa. Didalam pembuatan suatu perjanjian juga
diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek
hukum, dan bahasa perjanjian. Adapun yang menjadi bagian-bagian pokok dalam sebuah
perjanjian adalah :35
1. Judul perjanjian
2. Identitas para pihak
3. Pasal-pasal yang menjadi kesepakatan meliputi:
Objek yang diperjanjikan
Harga dan cara pembayaran
Penyerahan
Kewajiban-kewajiban pihak I
Kewajiban-kewajiban pihak ke II
Penanggung biaya-biaya tidak terduga
Cara penyelesaian jika terjadi perselisihan
4. Tempat dan tanggal perjanjian dibuat
5. Tanda tangan masing-masing pihak-pihak
Pada bagian pokok isi sebuah perjanjian diuraikan panjang lebarisi perjanjian yang dapat
dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi sebuah
perjanjian paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan berbagai
janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama.
35
Di dalam perjanjian yang di bahas dalam skripsi ini sudah termasuk memenuhi
bagian-bagian pokok dalam sebuah perjanjian, karena semua bagian-bagian pokok isi perjanjian sudah ada di
dalam isi perjanjian penempatan dan pemasangan papan reklame LED Display antara PT.
Djarum dengan CV. Pelangi.
F. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian
Sebuah perjanjian juga bisa dikatakan sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat
hak dan kewajiban, yaitu perbuatan-perbuatan hukum sebagai konsekwensinya. Perbuatan
hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu
memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi.
Dalam perjanjian dikenal macam-macam perjanjian yang kita kenal. Namun yang paling
sering dipraktikkan adalah perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pinjam pakai pemberi kuasa, dan
perjanjian persekutuan. Berikut hak dan kewajiban para pihak dalam beberapa
perjanjian-perjanjian tersebut :
1. Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja.
Hak pekerja yaitu:
Berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pihak lain.
Berhak memperoleh kompetensi kerja sesuai bakat dan kemampuannya.
Berhak medapatkan upah yang layak.
Berhak mendapatkan perlindungan dan keselamatan kerja.
Berhak mendapatkan waktu istirahat dan cuti.
Kewajiban pekerja yaitu:
Dalam hal kewajiban pekerja dalam uu no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
hanya di temukan kewajibannya yaitu melaksankan ketentuan yang ada dalam
perjanjin bersama.
Hak pengusaha dalam perjanjian kerja yaitu:
Berhak mengakhiri perjanjian jika pihak lain melanggar perjanjian.
Berhak menerima hasil pekerjaan yang baik sesuai kesepakatan dalam perjanjian.
Kewajiban pengusaha dalam perjanjian kerja yaitu:
Wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
Wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.
Wajib menerapkan system menejemen keselamatan dan kesehatan kerja.
Wajib membayar upah kepada pekerja.
2. Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian jual-beli.
Hak penjual yaitu:
Berhak menerima pembayaran harga barang yang telah dijual.
Berhak menuntut pembayaran tepat pada waktunya.
Berhak untuk menuntut kepada pembeli untuk menanggung akta jual beli, kecuali
dalam perjanjian telah menetapkan bahwa biaya tersebut ditanggung penjual.
Kewajiban penjual yaitu:
Wajib menyerahkan barang yang dijualnya kepada si pembeli.
Wajib menjamin barang yang dijual baik kondisi maupun jenis dan jumlahnya sesuai
Wajib menjamin bahwa barang tersebut tidak akan mendapat gangguan dari pihak
ketiga.
Penjual juga wajib bertanggung jawab terhadap cacat tersembunyi yang membuat
barang tersebut tidak dapat dipakai.
Hak pembeli yaitu:
Berhak menuntut kepada penjual untuk segera menyerahkan barang pada waktunya.
Berhak menuntut ganti rugi bahkan membatalkan perjanjian apabila barang yang
dibelinya baik kondisi maupun jenis dan jumlahnya tidak sesuai.
Berhak membatalkan perjanjian apabila timbul tuntutan dari pihak ketiga.
Berhak menuntut kepada penjual apabila terdapat cacat yang menyebabkan barang
tidak dapat dipergunakan.
Kewajiban pembeli yaitu:
Wajib membayarkan harga barang yang telah disepakati.
Wajib melakukan pembayaran tepat pada waktunya.
Wajib menanggung biiaya akta jual-beli, jika tidak diatur sebaliknya dalam perjanjian.
3. Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa.
Hak pemilik barang yaitu:
Berhak atas biaya sewa yang telah disepakati dengan penyewa.
Berhak menyita barang-barang penyewa apabila penyewa melakukan wanprestasi,s
seperti tidak membayar biaya sewa.
Berhak meminta ganti rugi apabila penyewa melakukan kelalaian yang menimbulkan
Berhak membatalkan perjanjian, apabila penyewa menyalahgunakan barang yang
diewakannya.
Kewajiban pemilik barang.
Wajib menyerahkan barang yang telah disewkan kepada penyewa.
Wajib enjamin penyewa bahwa barang yang disewakan tidak akan dituntut oleh pihak
ketiga.
Dalam kurun waktu sewa-menyewa, pemilik barang harus melakukan perbaikan pada
barang ynag disewakan.
Hak penyewa yaitu:
Berhak menerima dan memakai barang yang telah disewa.
Berhak menuntut pemilik barang apabila ia mendapat tuntutan dari pihak
ketiga,misalnya barang tersebut ternyata bukan milik yang menyewakan.
Berhak meminta pemilik barang untuk melakukan perbaikan barang yang rusak bukan
karena kelalaian penyewa.
Kewajiban penyewa yaitu:
Wajib membayar biaya sewa yang telah disepakati.
Wajib memelihara barang yang telah disewakan sedemikian rupa.
Tidak mengalihkan barang yang disewanya kepada pihak lain tanpa izin dari pihak
pemilik barang.
Wajib melakukan perbaikan yang kecil terhadap barang yang disewanya.
4. Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjnjian pinjam pakai.
Berhak meminta pemakai untuk menjaga dan menyimpan barang pinjaman secara baik
dan bertanggung jawab.
Berhak melarang pemakai untuk memakai barang pinjaman, selain yang sudah
diperjanjikan.
Berhak meminta ganti rugi apabila barang yang dititipkan musnah karena kelalaian
peminjam.
Jika ada alasan yang mendesak dan secara tiba-tiba, pemilik barang dapat memintanya
dengan perantaraan hakim
Kewajiban pemberi pinjaman yaitu:
Wajib menanggung risiko, apabila barang yang dipinjamkan menimbulkan kerugian.
Tidak dapat menuntut barang sebelum lewat waktu yang dijanjikan.
Menanggung risiko jika barang yang dipinjamkan itu berkurang harganya karena
pemakaian diluar kesalahan pemakai.
Hak pemakai yaitu:
Berhak menolak untuk menanggung risiko.
Berhak menolak permintaan pihak yang meminjamkan untuk mengembalikan sebelum
lewat waktunya.
Berhak menolak menanggung risiko jika barang tersebut berkurang harganya, karena
diluar kesalahan si pemakai.
Kewajiban pemakai yaitu:
Wajib memelihara barang pinjaman.
Menanggung risiko jika barang yang di titipkan kepadanya musnah karena kelalaian