• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEABSAHAN AKTA NOTARIS. Pasal 1868 BW merupakan sumber lahirnya akta otentik dan secara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KEABSAHAN AKTA NOTARIS. Pasal 1868 BW merupakan sumber lahirnya akta otentik dan secara"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KEABSAHAN AKTA NOTARIS

1. Karakter Yuridis Akta Notaris

Pasal 1868 BW merupakan sumber lahirnya akta otentik dan secara implisit memuat perintah kepada pembuat undang-undang agar mengadakan suatu undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum dan bentuk akta otentik. UUJN merupakan satu-satunya undang-undang sebagai implementasi Pasal 1868 BW yang menunjuk notaris sebagai Pejabat Umum dan mengatur kewenangan notaris serta bentuk akta notaris. Kewenangan notaris adalah untuk membuat akta otentik dan kewenangan lain yang dimaksud dalam UUJN.385

Mengacu pada Pasal 1868 BW junto Pasal 15 ayat 1 UUJN, maka kewenangan utama notaris adalah membuat akta otentik. Bahwa ada 2 (dua) jenis atau golongan akta notaris, yaitu:

1. Akta yang dibuat oleh (door) notaris, biasa disebut dengan istilah Akta Relaas atau Berita Acara;

2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris, biasa disebut dengan istilah Akta Pihak atau Akta Partij.

Akta-akta tersebut dibuat atas dasar permintaan para pihak/penghadap, tanpa adanya permintaan para pihak, sudah tentu akta tersebut tidak akan dibuat oleh notaris. Akta relaas, akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan

(2)

para pihak, agar notaris mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan lainnya yang dilakukan oleh para, agar tindakan tersebut dibuat atau dituangkan dalam suatu akta notaris.

Dalam Akta Relaas ini notaris menulis atau mencatatkan semua hal yang dilihat atau didengar sendiri secara langsung oleh notaris yang dilakukan para pihak. Dan Akta Pihak adalah akta yang dibuat di hadapan notaris atas permintaan para pihak, notaris berkewajiban untuk mendengarkan pernyataan atau keterangan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak di hadapan notaris. Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh notaris dituangkan ke dalam akta notaris.

Dalam membuat akta-akta tersebut notaris berwenang untuk memberikan penyuluhan386 ataupun saran-saran hukum kepada para pihak tersebut. Ketika saran-saran tersebut diterima dan disetujui oleh para pihak tersebut oleh para pihak kemudian dituangkan ke dalam akta, maka saran-saran tersebut harus dinilai sebagai pernyataan atau keterangan para pihak sendiri. Akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris tersebut harus menurut bentuk yang sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan Pasal 37 UUJN, dan tata cara (prosedur) yang sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan Pasal 39-53 UUJN.

Bahan dasar untuk membangun struktur akta notaris yaitu berasal dari keterangan, penjelasan atau pernyataan para pihak yang datang menghadap

386 Pasal 15 ayat (2) UUJN.

(3)

notaris atau hasil wawancara atau tanya jawab dengan penghadap dan bukti-bukti yang diberikan kepada notaris, agar keinganan atau kehendak mereka (para pihak) untuk dituangkan ke dalam akta notaris. Oleh notaris kemudian melakukan penelitian (hukum) apakah keterangan atau pernyataan penghadap tersebut dapat ditindak lanjuti untuk dituangkan atau dituliskan ke dalam akta.387 Ada beberapa hal yang dapat dijadikan dasar untuk membangun struktur akta notaris, antara lain:388

1. Latar belakang yang akan diperjanjikan. 2. Identifikasi para pihak (subjek hukum). 3. Identifikasi objek yang akan diperjanjikan. 4. Membuat kerangka akta.

5. Merumuskan substansi akta, yang terdiri dari: a. Kedudukan para pihak;

b. Batasan-batasan (yang boleh atau tidak diperbolehkan) menurut aturan hukum;

c. Hal-hal yang dibatasi dalam pelaksanaannya; d. Pilihan hukum dan pilihan pengadilan; e. Klausula penyelesaian sengketa;

f. Kaitannya dengan akta yang lain (jika ada).

387 Menurut Budiono Kusumohamidjojo, syarat pendahuluan untuk membuat suatu

kontrak, antara lain:

a. Pemahaman akan latar belakang transaksi; b. Mengenali dan memahami para pihak; c. Mengenali dan memahami objek transaksi; d. Menyusun garis besar transaksi;

e. Merumuskan pokok-pokok kontrak.

Budiono Kusumohamidjojo, Dasar-Dasar Merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta, 1998, h. 7-12.

388 Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung,

(4)

Menyusun sebuah akta notaris harus mempunyai alur sistematika yang mengalir, untuk itu akta notaris mempunyai anatomi tersendiri, artinya mempunyai bagian-bagian dan nama tersendiri yang tidak terlepas dari bagian lainnya, sama halnya dengan tubuh manusia, mulai ujung rambut di kepala sampai dengan telapak kaki tidak terlepas satu sama lain.389

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris, bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN, yang terdiri dari:

(1) Setiap akta notaris terdiri atas: a. awal akta atau kepala akta; b. badan akta; dan

c. akhir atau penutup akta.

(2) Awal akta atau kepala akta memuat: a. judul akta;

b. nomor akta;

c. jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan notaris. (3) Badan akta memuat:

a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap;

389 Ibid.

(5)

c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan; dan

d. nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

(4) Akhir atau penutup akta memuat:

a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta bila ada;

c. nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

Sebagai perbandingan kerangka atau susunan akta yang tersebut dalam Pasal 38 UUJN di atas, berbeda dengan yang ditentukan dalam PJN. Dalam PJN, kerangka atau anatomi akta terdiri dari:390

1. Kepala (hoofd) akta; yang memuat keterangan-keterangan dari notaris mengenai dirinya dan orang-orang yang datang menghadap kepadanya atau atas permintaan siapa dibuat berita acara;

(6)

2. Badan akta; yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihak-pihak dalam akta atau keterangan-keterangan dari notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan;

3. Penutup akta; yang memuat keterangan dari notaris mengenai waktu dan tempat akta dibuat; selanjutnya keterangan mengenai saksi-saksi, di hadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang pembacaan dan penandatanganan dari akta itu.

Perbedaan antara Pasal 38 dan PJN mengenai kerangka akta terutama pada Pasal 38 ayat (1) huruf a dan b mengenai Awal atau Kepala akta dan Badan akta. Dalam PJN Kepala akta hanya memuat keterangan-keterangan atau yang menyebutkan tempat kedudukan notaris dan nama-nama para pihak yang datang atau menghadap notaris, dan dalam Pasal 38 ayat (2) UUJN Kepala akta memuat judul akta391, nomor akta, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan nama lengkap dan tempat kedudukan notaris. Satu perbedaan yang perlu untuk diperhatikan, yaitu mengenai identitas para pihak atau para penghadap.

Dalam PJN identitas para pihak atau para penghadap merupakan bagian dari Kepala akta, sedangkan menurut Pasal 38 ayat (2) UUJN, identitas para pihak atau penghadap bukan bagian dari Kepala akta, akan tetapi merupakan bagian dari Badan akta (Pasal 38 ayat (3) huruf a), dan dalam PJN bahwa Badan akta memuat isi akta yang sesuai dengan keinginan atau permintaan para pihak atau para penghadap.

391 Di dalam PJN tidak diatur mengenai akta notaris harus mencantumkan judul. Jika di

dalam akta tercantum judulnya, maka termasuk dalam Kepala atau Awal akta. Dalam praktek notaris judul sudah merupakan keharusan, karena judul mencerminkan isi akta. Ibid., h. 215.

(7)

Adanya perubahan mengenai pencantuman identitas para pihak atau penghadap yang semula dalam PJN yang merupakan bagian Kepala atau kemudian dalam Pasal 38 ayat (3) huruf b UUJN identitas para pihak atau para penghadap diubah menjadi bagian dari Badan akta menimbulkan kerancuan dalam menentukan isi akta, sehingga muncul penafsiran bahwa identitas para pihak dalam akta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan isi akta.392 Pencantuman identitas para pihak merupakan bagian dari formalitas akta notaris, bukan bagian dari materi atau isi akta.393 Dengan demikian Pasal 38 ayat (2) dan (3) UUJN telah mencampur adukkan antara komparisi dan isi akta.394

Bahwa akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini merupakan salah satu karakter akta notaris, oleh karena itu kerangka akta notaris harus terdiri dari:395

1. Kepala atau Awal Akta, yang memuat: a. judul akta;396

b. nomor akta;

c. pukul, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan

392 Habib Adjie VI, Op. Cit., h. 40. 393 Ibid.

394 Dalam PJN, kerangka akta terdiri dari:

1. judul dari akta;

2. keterangan-keterangan dari notaris mengenai para penghadap atau atas permintaan siapa dibuat berita acara atau lazim dinamakan Komparisi;

3. keterangan pendahuluan dari para penghadap (jika ada) atau lazim dinamakan Premisse; 4. isi akta itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui

oleh pihak-pihak yang bersangkutan;

5. penutup dari akta, yang biasanya didahului oleh perkataan-perkataan “maka akta ini” dan seterusnya atau “akta ini dibuat” dan seterusnya.

G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., h. 214.

395 Lihat Pasal 38 UUJN.

(8)

d. nama lengkap dan tempat kedudukan notaris, dan wilayah jabatan notaris397;

e. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

f. keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap398;

g. nama lengkap, tempat tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dantempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

2. Badan akta; memuat kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan yang diterangkan atau dinyatakan di hadapan notaris atau

397 Notaris berkedudukan di daerah Kabupaten atau Kota (Pasal 18 ayat (1) UUJN), dan

mempunyai wilayah jabatan propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 18 ayat (2) UUJN).

398 Tindakan menghadap dapat berupa:

1. untuk diri sendiri; 2. selaku kuasa;

3. selaku orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk anaknya yang belum cukup umur;

4. selaku wali; 5. selaku pengampu; 6. kurator (kepailitan); 7. dalam jabatannya.

Tindakan menghadap ini dalam praktek lazim disebut Komparisi. Komparisi adalah tindakan atau kedudukan pihak dalam atau untuk membuat dan menandatangani akta. Komparisi terdiri dari: 1. identitas para pihak yang membuat akta.

2. kedudukan para pihak dalam melakukan tindakan. 3. dasar kedudukan tersebut.

4. cakap (rechtsbekwaamheid) dan berwenang (rechtsbevoegheid) untuk melakukan tindakan hukum (rechtshandelingen) yang akan disebutkan/dicantumkan dalam akta.

5. para pihak memiliki hak untuk melakukan suatu tindakan yang akan dicantumkan dalam kontrak/perjanjian. Bentuk Komparisi:

a. untuk diri sendiri. b. selaku kuasa.

c. dalam jabatan/kedudukan (badan usaha/sosial/pemerintahan/badan keagamaan/badan lain).

d. menjalankan kekuasaan sebagai orang tua. e. sebagai wali.

f. sebagai pengampu. g. pendewasaan. h. Perwakilan sukarela. Habib Adjie VI. Op. Cit., h. 43-44.

(9)

keterangan-keterangan dari notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan.

3. Penutup atau akhir akta, yang memuat:

a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta bila ada;

c. nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta, dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

Akta notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi, dibuat dihadapan notaris dan dalam bentuk yang ditentukan UUJN serta apabila ada prosedur yang tidak dipenuhi dan dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan atau putusan hakim, dapat dinyatakan batal, batal demi hukum atau akta tersebut terdegradasi sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada hakim.

Berdasarkan ketentuan Pasal 54 UUJN, notaris hanya dapat memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse akta, Salinan akta atau

(10)

Kutipan akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Dari ketentuan tersebut, pemberian Grosse, Salinan atau Kutipan akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau hal lain seperti yang ditentukan dalam pasal tersebut, jelas bahwa hal tersebut bukan hanya merupakan kewenangan notaris, akan tetapi merupakan kewajiban dari notaris, dan bilamana hal tersebut dilanggar oleh notaris yang bersangkutan, maka dapat dikenakan sanksi seperi yang diatur dalam Pasal 85 UUJN, bahkan menurut penulis notaris yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi ganti rugi, biaya dan bunga bilamana hal tersebut membuat kerugian kepada pihak lain.

Pasal 54 UUJN mempunyai hubungan yang erat dengan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, mengenai sumpah jabatan dan kewajiban merahasiakan mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan yang diperoleh dari penghadap guna pembuatan akta tersebut. Dari ketentuan tersebut, dengan jelas diketahui, bahwa tidak semua orang diperkenankan untuk melihat atau mengetahui isi akta-akta yang dibuat oleh notaris. Pasal 54 UUJN memberikan pengecualian, bahwa orang-orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris399, atau orang yang memperoleh hak, dapat memperoleh Grosse akta, Salinan akta atau Kutipan akta.

Selain apa yang ditentukan oleh Pasal 54 tersebut, juga dapat dimasukkan mengenai kewajiban notaris untuk menyampaikan kepada Daftar

399 Lihat Pasal 1870 BW.

(11)

Pusat Wasiat pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tiap-tiap bulan mengenai surat-surat wasiat yang dibuat di hadapan notaris400, hal tersebut menurut penulis juga merupakan pengecualian dari ketentuan yang melarang notaris untuk memberitahukan isi akta, selain kepada orang-orang yang dimaksud di atas.

Perbandingan dengan Wet op het Notarisambt 1999 Belanda, menentukan pihak-pihak siapa saja yang dapat diberikan Groose akta, Salinan akta dan Kutipan akta, ditentukan dalam Pasal 49 Wet op het Notarisambt 1999, yang berbunyi:

(1) Voor zover bij of krachtens de wet niet anders is bepaald, geeft de notaris van de tot zijn protocol behorende notariële akten:

a. afschriften, uittreksels en grossen uit aan partijen bij de akte en aan degenen die een recht ontlenen aan de akte indien de gehele inhoud van de akte van rechtstreeks belang is voor dat recht;

b. al dan niet in executoriale vorm uitgegeven uittreksels uit aan degenen die aan een deel van de inhoud van de akte een recht ontlenen, doch alleen voor wat betreft dat gedeelte van de akte dat rechtstreeks van belang is voor dat recht;

c. afschriften, uittreksels en grossen uit aan de rechtverkrijgenden onder algemene titel van de onder a en b genoemde partij of rechthebbende.

Het uittreksel moet woordelijk gelijkluidend zijn met de overgenomen gedeelten van de akte. Het moet het hoofd en het slot van de akte vermelden en tot slot hebben de woorden: Uitgegeven voor woordelijk gelijkluidend uittreksel.

(2) Onder degene die een recht ontleent aan de inhoud van de akte als bedoeld in het eerste lid, onder a en b, wordt mede begrepen degene die door een uiterste wilsbeschikking een erfrechtelijke aanspraak heeft verloren, doch slechts ten aanzien van het desbetreffende onderdeel van die wilsbeschikking.

(3) Van de niet tot zijn protocol behorende akten en stukken mag de notaris afschriften en uittreksels uitgeven aan degenen die over de akte of het stuk beschikken.

400 Pasal 16 ayat (1) huruf I UUJN.

(12)

(4) Degene die op grond van dit artikel recht heeft op een afschrift, uittreksel of grosse, kan ook inzage in de akte of het desbetreffende gedeelte van de akte verlangen.

Dari ketentuan Wet op het Notarisambt 1999 tersebut, jelas dinyatakan bahwa mereka yang berkepentingan terhadap akta atau orang-orang yang memperoleh hak, yang dapat mengetahui isi akta dan memperoleh Grosse akta, Salinan akta, dan Kutipan akta seperti halnya yang ditentukan di dalam Pasal 54 UUJN.

a. Minuta akta

Minuta akta adalah asli akta notaris.401 Pengertian Minuta dalam hal ini dimaksudkan akta asli yang disimpan dalam protokol notaris. Dalam Minuta ini juga tercantum asli tanda tangan, paraf para penghadap atau cap jempol tangan kiri dan kanan, para saksi dan notaris, renvooi402, dan bukti-bukti lain yang untuk mendukung akta yang dilekatkan pada Minuta akta tersebut. Akta dalam bentuk In Minuta wajib disimpan oleh notaris403, diberi nomor bulanan dan dimasukan ke dalam buku daftar akta notaris (reportorium) serta diberi nomor reportorium.

Semua akta notaris wajib dibuat dalam bentuk Minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UUJN, namun ketentuan tersebut tidak berlaku bilamana notaris membuat akta dalam bentuk originali, yang akan diuraikan selanjutnya. Asli akta notaris tersebut berada dalam penyimpanan

401 Pasal 1 angka 8 UUJN.

402 Renvooi berarti penunjukan, ialah penunjukan kepada catatan di sisi akta tentang

tambahan, coretan dan penggantian yang disahkan. R. Soegondo Notodisoerjo, Op. Cit., h. 175.

(13)

notaris dan tidak boleh dikeluarkan atau dengan kata lain, Minuta akta adalah asli akta notaris yang diperuntukkan untuk berada dalam protokol notaris. Akta notaris ada yang dibuat dalam bentuk Minuta (In Minuta) dapat dibuatkan salinannya yang sama bunyinya atau isinya sesuai dengan permintaan para penghadap, orang yang memperoleh hak atau para ahli warisnya, kecuali ditentukan lain oleh perundang-undangan404 oleh notaris yang bersangkutan atau pemegang protokolnya.405

Minuta akta, dengan demikian mempunyai arti sebagai akta yang mempunyai tujuan atau kegunaan (bestemming) untuk berada dalam penyimpanan notaris. Jadi undang-undang memerintahkan kepada notaris, sebagai suatu ketentuan umum, untuk membuat akta dalam bentuk Minuta dengan tujuan untuk disimpan. Dan bilamana notaris melanggar ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b tersebut, maka notaris tersebut dapat diberikan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 85 UUJN.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa dikenal pula akta notaris yang dalam bentuk originali atau Acte Brevet, artinya semua tanda tangan, paraf dan catatan pinggir (renvooi) tercantum dalam akta, dan dalam akta Originali hanya dibuat sebanyak yang dibutuhkan, misalnya kalau dibuat 4 (empat) rangkap, maka hanya sebanyak itu saja yang diberikan, dan notaris

404 Pasal 54 UUJN menegaskan notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau

memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

(14)

tidak wajib untuk menyimpan (atau mengarsipkan) akta dalam bentuk Orginali406 ke dalam bundel akta notaris bulanan, meskipun diberi nomor bulanan dan dimasukan ke dalam buku daftar akta notaris (Reportorium) serta diberi nomor reportorium. Akta dalam originali tidak dapat diberikan salinan atau turunan.

Wewenang yang diberikan Pasal 16 ayat (2) kepada notaris untuk membuat akta dengan peruntukan untuk diberikan dalam bentuk originali adalah suatu fasilitas yang dapat dipergunakan oleh para penghadap, apabila mereka menghendaki sedemikian, namun terbatas pada akta-akta yang disebutkan pada Pasal 16 ayat (3) UUJN. Selain akta-akta tersebut, notaris wajib membuatnya dalam bentuk Minuta akta.

Kepentingan penghadap untuk mempergunakan fasilitas yang diberikan oleh Pasal 16 ayat (2), ialah apabila yang bersangkutan membutuhkannya dengan segera untuk suatu keperluan, sebab tidak mempunyai cukup waktu apabila dibuatkan dalam bentuk Minuta karena tentunya harus menunggu lagi untuk dibuatkan salinannya. Namun ada kelemahan terhadap pembuatan akta dalam bentuk originali, dimana aslinya diberikan kepada penghadap yang bersangkutan.

Apabila misalnya akta yang yang dibuat dalam bentuk originali tersebut hilang atau rusak, maka yang penghadap yang bersangkutan tidak dapat meminta salinannya dari notaris, oleh karena tidak ada Minuta yang disimpan oleh notaris, sehingga dengan demikian harus dibuat lagi akta yang

406 Pasal 16 ayat (2) UUJN.

(15)

baru. Berdasarkan kenyataan ini, maka di dalam praktek pembuatan akta dalam bentuk originali jarang dilakukan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (3), (4) dan (5) UUJN, notaris berwenang untuk membuat akta dalam bentuk akta originali secara terbatas, yaitu:

1. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta: a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun,

b. Penawaran pembayaran tunai,

c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga, d. Akta Kuasa,

e. Keterangan kepemilikan, atau

f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”.

3. Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama pemberi kuasa hanya dapat dibuat dalam rangkap 1 (satu) rangkap.

Secara imperatif UUJN juga tidak melarang, jika ada akta notaris yang dibuat dalam bentuk originali turut diarsipkan atau disimpan oleh notaris yang kemudian dibundel dengan akta dalam bentuk Minuta. Menurut Habib

Adjie407, lebih baik jika akta dalam bentuk originali diarsipkan oleh notaris,

407 Habib Adjie I, Op. Cit., h. 46.

(16)

karena di samping diberi nomor bulanan dan dimasukan ke dalam reportorium, juga untuk menjaga kemungkinan jika suatu saat akta originali tersebut hilang oleh para pihak sendiri, jika ada arsipnya atau disimpan oleh notaris akan mempermudah untuk pembuktian di kemudian hari. Agar dapat diarsipkan, misalnya jika dibuat rangkap 4 (empat), maka 1 (satu) rangkap untuk disimpan oleh notaris. Jika akta originali dibutuhkan tambahan lebih dari yang dibuat, dan jika sudah disimpan dalam bundel Minuta, maka notaris dapat membuat kopi asli dari akta tersebut yang disalin kata demi kata.408

Notaris wajib untuk menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam 1 (satu) buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari 1 (satu) buku, dan mencatat jumlah Minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku.409

Sampul dari buku atau bundel akta itu harus dicantumkan jumlah Minuta yang disimpan di dalamnya, dengan tidak menyebut tentang akta yang dibuat dalam bentuk originali. Hal tersebut dapat dipahami, oleh karena akta yang dibuat dalam originali diserahkan kepada yang berkepentingan, sehingga notaris tidak mungkin dapat menyimpan dan menyatukannya dalam buku atau bundel yang bersangkutan.

408 Dalam praktik tindakan seperti ini disebut Copy Collatione. Tindakan hukum notaris

membuat Copy Collatione ini sudah jarang dilakukan, para notaris lebih praktis memfotocopy akta In Originali tersebut, kemudian ditandatangani notaris dan diberi cap/stempel dan kalimat fotocopy ini sesuai dengan aslinya. Tindakan hukum notaris seperti tersebut, tidak diatur dalam UUJN, tapi Pasal 15 ayat (2) huruf c hanya mengatur mengenai membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. Ibid., 47.

(17)

Namun di dalam praktek para notaris, adalah merupakan suatu kebiasaan untuk menjahitkan juga dalam “minuttenbundel” suatu tembusan (yang dibuat bersamaan dengan akta dalam originali), yang tidak ditanda tangani dari akta yang dibuat dalam originali itu.410 Hal tersebut dilakukan dengan maksud agar dapat diketahui dengan mudah, apakah di dalam bulan yang bersangkutan oleh notaris ada dibuat akta dalam originali, walaupun hal tersebut juga dapat diketahui dari reportorium yang ada pada notaris tersebut.

Kewajiban mengenai mengumpulkan dan membukukan akta-akta dalam 1 (satu) atau lebih buku yang berlaku bagi notaris, juga berlaku bagi notaris Pengganti. Berdasarkan kenyataan, bahwa notaris pengganti itu menjalankan kantor dari notaris yang digantikannya untuk sementara waktu, maka UUJN menentukan, bahwa apabila oleh notaris yang digantikannya untuk sementara waktu itu telah ada dibuat 1 (satu) akta atau lebih dalam bulan pada waktu mana terjadi penggantian, maka notaris pengganti itu harus memberi nomor untuk akta pertama dibuatnya nomor berikut sesudah nomor akta yang terakhir yang telah dibuat oleh notaris yang digantinya untuk sementara itu.411 Apabila penggantian itu terjadi bertepatan pada tanggal 1 (satu) dari suatu bulan, dengan sendirinya dalam hal itu notaris pengganti yang bersangkutan akan memulai akta yang dibuatnya dengan akta nomor 1 (satu). b. Salinan akta

Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai salinan yang

410 G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., h. 236. 411 Ibid., h. 237.

(18)

sama bunyinya”.412 Salinan akta dapat diberikan bilamana ada akta yang dibuat Minutanya (In Minuta) yang sama bunyinya. Dalam praktek notaris ditemukan juga istilah Turunan. Baik Turunan Akta maupun Salinan Akta mempunyai pengertian yang sama, artinya berasal dari Minuta Akta. Agar sesuai dengan UUJN, sebaiknya digunakan saja istilah Salinan Akta.

Kekuatan pembuktian dari surat atau alat bukti tertulis terletak pada aslinya (Pasal 1888 BW, Pasal 301 Rbg). Undang-Undang hanyalah mengatur kekuatan pembuktian dari salinan akta, sehingga ketentuan pembuktian dari salinan surat-surat lainnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Salinan suatu akta mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang sesuai dengan aslinya (Pasal 1888 BW, Pasal 301 Rbg). Hakim berwenang untuk memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengajukan akta aslinya di muka persidangan. Apabila akta aslinya sudah tidak ada lagi, maka kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim (Pasal 1889 BW, Pasal 302 Rbg). c. Kutipan akta

Kutipan akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa “diberikan sebagai kutipan”.413 Kutipan juga dapat disebut sebagai turunan dari sebagian akta, jadi merupakan turunan yang tidak lengkap.414 Kutipan ini diambil dari sebagian Minuta akta pengkutipan dilakukan sesuai dengan permintaan yang pihak bersangkutan, dalam arti bagian mana yang harus dikutip. Dalam akta dan akhir akta tetap harus ada. Kutipan dari Minuta akta

412 Pasal 1 angka 9 UUJN. 413 Pasal 1 angka 10 UUJN.

(19)

tersebut ditempatkan pada isi akta, dan pada akhir kata dituliskan “diberikan sebagai kutipan”. Kepala dan Penutup akta, juga harus dimuat dalam kutipan itu, termasuk semua tanda tangan dan pemberitahuan mengenai semua orang, jabatan dan kedudukan mereka yang ikut bertindak dalam akta. Sepanjang mengenai tanda tangan ini terbatas pada tanda tangan dari para penghadap yang bertindak dalam soal yang menjadi pokok dari kutipan itu.415

d. Grosse akta

Grosse akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial.416 Grosse akta pengakuan utang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berkaitan dengan pengakuan hutang yang dibuat dengan akta yang dibuat di hadapan notaris, dengan demikian kreditor tak perlu melakukan gugatan kepada debitor, tetapi cukup menyodorkan Grosse aktanya dan ia (kreditor) sudah cukup dianggap sebagai orang yang menang perkara tagihan yang disebutkan dalam Grosse akta yang bersangkutan.417

Bahwa untuk melakukan suatu eksekusi terhadap pihak debitor tidak selalu diperlukan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi eksekusi juga dapat dilakukan melalui suatu akta otentik, dimana di dalamnya ditetapkan adanya suatu tuntutan (aanspraak),

415 G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., h. 282. 416 Pasal 1 angka 11 dan 55 ayat (2) dan (3) UUJN.

417 J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya

(20)

dapat digunakan untuk melakukan eksekusi. Penetapan suatu hak untuk melakukan suatu eksekusi dalam akta otentik, yang dibuat di hadapan pejabat umum, yang berdasarkan ketentuan undang-undang berwenang untuk itu, akta yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang, memberikan jaminan kepercayaan untuk dipersamakan kekuatan eksekutorialnya dengan putusan hakim.

Walaupun tanpa putusan pengadilan, hukum tanpa memberikan perlindungan kepada para pihak dengan mengangkat suatu pejabat, dimana salah satu kewenangan pejabat tersebut adalah berupa akta otentik yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Akta notaris, dari mana tidak terlihat adanya suatu hak (aanpraak) yang dapat segera dilaksanakan (verwezenkelijken) terhadap seseorang (misalnya yang tidak menyatakan adanya suatu tagihan yang telah dapat ditagih seketika), sebagaimana halnya juga dengan suatu putusan hakim yang tidak mengandung hal atau kenyataan sedemikian, juga tidak dapat dilaksanakan (niet voor tenuitvoerlegging vatbaar).418

C. W. Star Busman419 menyatakan:

“Akan tetapi tidak ada alasan untuk mengadakan pembatasan, bahwa hanya akta notaris yang memuat perikatan untuk melunasi suatu jumlah uang yang dapat dipergunakan untuk eksekusi (misalnya karena pinjaman, jual beli, borgtocht, dan sebagainya). Pasal 436 (Pasal 440 BW) mempersamakan akta otentik dengan putusan hakim. Dengan demikian sepanjang suatu putusan hakim dapat dieksekusi untuk tujuan lain selain untuk menagih hutang uang, maka akta notaris juga dapat dipergunakan untuk itu. Juga Pasal 436 (Pasal 440 BW) tidak mengadakan pembatasan, bahwa besarnya jumlah uang yang

418 G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit., h. 254. 419 C. W. Star Busman dalam Ibid., h. 254-255.

(21)

terutang harus ternyata dari akta itu, akan tetapi cukup apabila akta itu memberi petunjuk, dengan jalan bagaimana yang mengikat bagi kreditor berdasarkan akta itu, sebagaimana misalnya pada pemberian hipotek dipersyaratkan, bahwa debitor sepanjang mengenai besarnya jumlah yang terutang, harus menerima pembukuan dari pemberi kredit penetapan jumlah yang terutang itu.”

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak hanya akta pengakuan utang saja yang dapat diberikan Grosse akta.

Pitlo420 mengatakan, bahwa notaris berwenang atas permintaan dari yang yang langsung berkepentingan untuk memberikan kepadanya Grosse dari aktanya. Grosse dari akta notaris mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan Grosse putusan hakim. Dengan demikian tidak hanya tagihan berupa uang yang dapat dieksekusi berdasarkan Grosse akta notaris, akan tetapi juga tuntutan (vorderingen) lain, misalnya tuntutan untuk menyerahkan barang bergerak.

Dalam hal ini Pasal 55 ayat (2) UUJN telah membatasi pengeluaran Grosse akta, yaitu hanya untuk Grosse akta pengakuan hutang saja. Contoh beberapa titel yang dapat diberikan Grossenya untuk dieksekusi, yakni:421 a. Perjanjian jual beli dari barang-barang tidak bergerak dan bergerak, yang

harga penjualannya seluruhnya atau sebagian belum dilunasi.

b. Perjanjian sewa-menyewa mengenai barang tidak bergerak dan bergerak, yang sewanya tidak langsung dibayar lunas.

c. Surat wasiat yang mengenai hibah wasiat berupa uang yang masih harus dibayarkan.

420 A. Pitlo dalam Ibid. 421 Ibid.

(22)

d. Perjanjian pemborongan yang harga borongannya seluruhnya atau sebagian belum dibayar.

e. Pemisahan dan pembagian yang mengenai pembayaran karena kelebihan pembagian yang belum diperhitungkan dan karenanya masih terutang. f. Akta pendirian persekutuan, perseroan di bawah forma atau perseroan

terbatas, apabila peseronya mengikat diri untuk memasukan uang dalam perseroan dalam jangka waktu yang ditentukan.

g. Akta borgtocht (jaminan).

Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh hukum terdiri dari:422

a. bukti tulisan;

b. bukti dengan saksi-saksi; c. persangkaan-persangkaan; d. pengakuan;

e. sumpah.

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.423 Tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di tempat di mana akta tersebut dibuat.424 Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak di

422 Pasal 138, 165, 167 HIR, Pasal 285 – 305 Rbg, Pasal 1867 – 1894 BW. 423 Pasal 1867 BW.

(23)

hadapan Pejabat Umum yang berwenang.425 Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti.

Menurut M. Ali Boediarto426, akta PPAT dikategorikan sebagai akta otentik, meskipun sampai saat ini belum ada perintah undang-undang yang mengatur mengenai PPAT. Demikian pula menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, putusan tanggal 22 Maret 1972, Nomor 937 K/Sip/1970, bahwa akta jual beli tanah yang dilaksanakan di hadapan PPAT dianggap sebagai bukti surat yang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.

Akta otentik merupakan alat bukti tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 138, 165, 167 HIR, Pasal 164, 285-305 Rbg dan Pasal 1867 – 1894 BW. Alat bukti tertulis atau bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.427 Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.

Sepucuk surat yang berisikan curahan hati yang diajukan di muka sidang pengadilan ada kemungkinannya tidak berfungsi sebagai alat bukti tertulis atau surat (geschrift, writings), tetapi sebagai benda untuk menyakinkan (demonstrative evidence, overtuigingsstukken) saja, karena bukan kebenaran isi atau bunyi surat itu yang harus dibuktikan atau digunakan

425 Pasal 1874 BW.

426 M. Ali Boediarto, Op. Cit., h. 146. 427 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 205.

(24)

sebagai bukti, melainkan eksistensi surat itu sendiri menjadi bukti sebagai barang yang dicuri, misalnya.428

Surat sebagai alat bukti tertulis, sebagaimana yang telah dibahas di atas, dibagi atas 2 (dua) yaitu surat yang berupa akta yang terbagi atas 2 (dua) yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan, dan surat yang berupa surat-surat lainnya yang bukan akta. Akta adalah surat sebagai alat bukti, yang diberi tanda tangan429, yang memuat suatu peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta.430

Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta di bawah tangan ialah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1874 BW.431 Pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking atau pendaftaran sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya.

428 Ibid.

429 Surat-surat yang ditandatangani oleh orang-orang yang tidak cakap melakukan

perbuatan hukum, tidak dapat diajukan sebagai alat bukti. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 499 K/Sip/1970, tanggal 4 Februari 1970.

430 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 206.

431 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1964, tanggal

30 April 1964, bahwa surat kuasa dapat dibuat tangan saja asal sidik jari (cap jempol) dari si pemberi kuasa disahkan (dilegalisasi) oleh Kepala Pengadilan Negeri, Bupati atau Wedana.

(25)

Pada waarmerking, akta tersebut terlebih dahulu dibuat dan telah ditandatangani atau diberi tanda jempol (cap jempol) oleh para pihak di luar kehadiran atau pengetahuan notaris. Notaris tersebut tidak tahu kapan akta tersebut dibuat, ditandatangani dan siapa yang menandatanganinya. Jadi tidak ada jaminan kepastian tentang tanggal penandatanganannya dan siapa yang menandatangani atau memberi tanda jempol. Para pihak sendiri yang menetapkan isi dan menandatangani, sedang notaris hanya memberi nomor pendaftarannya dan mendaftarkannya dalam buku daftar surat di bawah tangan yang di daftar.

Waarmerking berbeda dengan legalisasi. Legalisasi merupakan pengesahan akta di bawah tangan, dibacakan oleh notaris dan ditandatangani di hadapan notaris, untuk menjamin kepastian tanggal dari akta yang bersangkutan. Para penghadap yang mencantumkan tanda tangannya telah dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris tersebut. Notaris menjelaskan isi akta di bawah tangan tersebut kepada para penghadap, kemudian mereka menandatangani atau memberi tanda jempol di hadapan notaris tersebut, kemudian notaris akan memberi nomor dan mendaftarnya ke dalam buku daftar legalisasi yang telah disiapkan di kantor notaris.

Alat bukti tertulis yang diajukan di pengadilan dalam acara perdata harus dibubuhi materai yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun tentang Bea Materai, Lembaran Negara tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 3313 (selanjutnya disebut Undang-Undang Bea Materai). Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang-Undang-Undang Bea Materai menentukan bahwa surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat

(26)

dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat bukti mengenai suatu perbuatan kenyataan atau keadaan yang bersifat hukum perdata, wajib untuk dibubuhi materai yang cukup.432 Namun tidak berarti bahwa materai merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Perjanjian tetap sah meskipun tidak dibubuhi oleh materai.433 Surat yang semula tidak dibubuhi materai, dan kemudian akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan perdata, maka haruslah dibubuhi dengan materai dengan cara dilakukan pemateraian kemudian atau nazegeling, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Undang-Undang Bea Materai.

Menurut Sudikno Mertokusumo434:

“Secara teoritis, yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari kalau terjadi sengketa. Sebab ada surat yang tidak sengaja dibuat sejak awal sebagai alat bukti seperti surat korespondensi biasa, surat cinta dan sebagainya. Dikatakan secara resmi karena tidak dibuat secara di bawah tangan”.

Black’s Laws Dictionary memberikan beberapa pengertian yang tidak

terpisahkan atau saling terkait mengenai akta, khususnya akta otentik, yaitu:435 To certify means to aunthenticate a thing in writing, to attest as being true. To attest means:

a. to bear witness to a act; b. to affirm to be true or genuine;

432 Mengenai tarif bea meterai lihat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Tarif Bea Materai, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 3950.

433 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 589 K/Sip/1970, tanggal 13

Maret 1971, berpendapat bahwa surat bukti yang tidak diberi materai tidak merupakan alat bukti yang sah.

434 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h. 211. 435 Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 231

(27)

c. to certify to the verity of a copy of a public document formally by signature.

Aunthentic is genuine, true, real, reliable, trustworthy, having the character and authority of an original.

Dari pengertian yang diberikan oleh Black’s Laws Dictionary diatas, maka dapat diketahui bahwa akta otentik merupakan suatu surat, dokumen, ataupun alat yang menyatakan kebenaran suatu perbuatan hukum yang dituangkan ke dalam surat tersebut adalah benar adanya dan bersifat otentik.

Menurut Pasal 1868 BW, suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat mana akta dibuatnya. Mengenai syarat keabsahan akta otentik dan kekuatan pembuktiannya akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.

2. Syarat Keabsahan Akta Notaris sebagai Akta Otentik

Notaris oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk membuat akta atas semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang dikehendaki oleh para pihak yang sengaja datang ke hadapan notaris agar keinginan dan kehendak mereka itu dituangkan atau dikonstatir ke dalam akta otentik agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu notaris wajib memenuhi semua ketentuan dalam UUJN dan peraturan perundang-undangan lainnya, notaris bukan menjadi “juru tulis” semata, namun notaris perlu dan wajib mengkaji apakah keinginan penghadap untuk dinyatakan dalam akta

(28)

otentik itu, tidak bertentangan dengan UUJN dan aturan hukum yang berlaku.436 Mengetahui dan memahami syarat-syarat otentisitas, keabsahan dan sebab-sebab kebatalan suatu akta notaris, sangat penting untuk menghindari terjadinya cacat yuridis akta notaris yang dapat mengakibatkan hilangnya otentisitas dan batalnya akta notaris itu.

Akta notaris untuk dapat diakui sebagai akta otentik, tentu harus memenuhi ketentuan Pasal 1868 BW. Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta notaris juga merupakan dasar hukum eksistensi akta notaris sebagai akta otentik, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, c. Pejabat umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.

Pasal 38 UUJN mengatur mengenai Bentuk akta, tidak menentukan mengenai Sifat Akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam

436 Dalam kaitan ini, tidak tepatlah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973, yang menyatakan bahwa tugas notaris yaitu “Notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materiil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan notaris tersebut.

(29)

Pasal 58 ayat (2) UUJN disebutkan bahwa notaris wajib membuat daftar akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris.

Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan notaris.

Menurut Habib Adjie437, pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta notaris, tidak berarti notaris sebagai pelaku dari akta tersebut, notaris tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan notaris seperti itu, sehingga jika suatu akta notaris dipermasalahkan, maka tetap kedudukan notaris bukan sebagai pihak atau turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata.

437 Habib Adjie I, Op. Cit., h. 128

(30)

Penempatan notaris sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dalam kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris, maka hal tersebut telah mencederai akta notaris dan notaris yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta notaris dan notaris di Indonesia.438 Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran lain atas akta notaris atau dengan kata lain terikat dengan akta tersebut.

Menurut Habib Adjie439 , dalam konstruksi hukum yang benar mengenai akta notaris dan notaris, jika suatu akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka:

1. Para pihak datang kembali ke notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.

2. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.

438 Ibid.

(31)

Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta notaris. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta notaris.

Sebagai bahan perbandingan dalam Wet op het Notarisambt 1999 Artikel 37. 1. diatur dan ditegaskan bahwa akta notaris berbentuk Partij-akte dan Proces-verbaal akte.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Ketika kepada notaris di Indonesia masih diberlakukan PJN, masih diragukan apakah akta yang dibuat tersebut telah sesuai dengan undang-undang? Pengaturan pertama kali notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de Notarissen Residerendein in Nederlands Indie dengan Staatsblad Nomor 11, tanggal 7 Maret 1822440, kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie Staatsblad 1860 Nomor 3, dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.441

Meskipun notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga notaris lahir di Indonesia,

440 R. Soegondo Notodisoerjo, Op.Cit., h. 24-25. 441 Tan Thong Kie II, Op. Cit., h. 362.

(32)

pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.442

c. Pejabat umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Wewenang notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu:443

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu;

Wewenang notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikeluarkan kepada pihak atau pejabat lain, atau notaris juga berwenang membuat di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang notaris. Wewenang

442 Menurut Habib Adjie, notaris dan PPAT diberi kewenangan untuk membuat Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan menggunakan parameter Pasal 38 UUJN tersebut, maka SKMHT tidak memenuhi syarat sebagai akta notaris, sehingga notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan tidak dapat menggunakan blangko SKMHT yang selama ini ada, tapi notaris wajib membuatnya dalam bentuk akta notaris dengan memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 UUJN. Jika notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan masih menggunakan blangko SKMHT, maka notaris telah bertindak di luar kewenangannya, sehingga SKMHT tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, tapi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Habib Adjie I, Op. Cit., hal. 129-130.

(33)

ini merupakan suatu batasan, bahwa notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang tersebut.

Sebagai contoh apakah notaris dapat memberikan Legal Opinion (pendapat hukum) secara tertulis atas permintaan para pihak? Jika dilihat dari wewenang yang tersebut dalam Pasal 15 UUJN, pembuatan Legal Opinion ini tidak termasuk wewenang notaris. Pemberian Legal Opinion merupakan pendapat pribadi notaris yang mempunyai kapasitas keilmuan bidang hukum dan kenotarisan, bukan dalam kedudukannya menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, sehingga jika dari Legal Opinion menimbulkan permasalahan hukum, harus dilihat dan diselesaikan tidak berdasarkan kepada tatacara yang dilakukan oleh Majelis Pengawas atau Majelis Pemeriksa yang dibentuk oleh Majelis Pengawas, tapi diserahkan kepada prosedur yang biasa, yaitu jika menimbulkan kerugian dapat digugat secara perdata.

Hal ini harus dibedakan dengan kewajiban notaris dapat memberikan penyuluhan hukum yang berkaitan dengan akta yang akan dibuat oleh atau di hadapan notaris yang bersangkutan. Hal yang sama dapat terjadi ketika notaris membuat Surat Keterangan Waris (SKW)444

444 Dalam praktik notaris di Indonesia telah biasa membuat Surat Keterangan Waris

(SKW) untuk mereka yang termasuk ke dalam etnis Cina. Praktek notaris seperti ini tidak pernah ada pengaturannya dalam PJN, tapi hanya merupakan kebiasaan Notaris yang sebelumnya, kemudian diikuti secara langsung oleh notaris yang datang kemudian, tanpa mencari maksud dan tujuannya, tanpa bertanya, kenapa pembuatan bukti ahli waris di Indonesia harus dibedakan berdasarkan etnis? Hal semacam ini merupakan bentuk diskriminasi dalam pembuatan bukti ahli waris. Meskipun telah menjadi kebiasaan bagi para notaris untuk membuat SKW,ternyata kebiasaan tersebut tidak dimasukkan dalam UUJN, karena tidak dimasukkan sebagai bagian dari UUJN, maka kebiasaan seperti itu sudah tidak dapat dilakukan lagi oleh para notaris. Jika notaris masih mempraktekkan seperti itu dalam pembuatan bukti waris membuktikan bahwa notaris bukan agen pembaharuan hukum, tapi mempraktekkan atau bertindak diskriminasi untuk Warga Negara

(34)

yang bukan wewenang notaris, sehingga ketika terjadi permasalahan, misalnya ada ahli waris yang tidak dimasukkan karena pihak yang menghadap notaris menyembunyikan salah satu ahli warisnya. Secara materil para ahli waris wajib bertanggungjawab, tapi bagi notaris tidak mungkin untuk mencabut atau menganulir SKW tersebut, dan dengan alasan apapun notaris tidak dapat melakukannya, karena jika dilakukan ada kemungkinan mereka yang telah ditetapkan sebagai ahli waris akan menggugat notaris yang bersangkutan ke pengadilan.445 Meskipun dalam hal ini SKW yang dibuat oleh notaris didasarkan dari bukti-bukti dan keterangan atau pernyataan para pihak yang menghadap notaris.

Suatu hal yang tidak logis, jika notaris menganulir atau membatalkan SKW yang dibuatnya sendiri, karena dalam pembuatan SKW notaris harus menarik kesimpulan dan kemudian menetapkan siapa ahli waris dari siapa, dan hal ini merupakan pendapat pribadi notaris

Indonesia berdasarkan etnis, dan juga pembuatan SKW tersebut termasuk suatu tindakan diluar wewenang atau tidak sesuai dengan wewenang notaris berdasakan Pasal 15 UUJN. Diskriminasi dalam pembuatan bukti sebagai ahli waris yang masih berdasarkan etnis (suku/golongan penduduk Indonesia) juga masih terdapat dalam: (a) Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agaria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969, Nomor Dpt/12/63/ 12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan, dan (b) Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sebagai sebuah negara kesatuan, sudah saatnya diskriminasi dalam pembuatan bukti sebagai ahli waris seperti tersebut di atas untuk diakhiri, dengan mencabut aturan hukum tersebut atau untuk tidak mernberlakukan aturan hukum tersebut, karena bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi, yaitu bahwa status sebagai Warga Negara Indonesia sudah tidak lagi berdasarkan etnis (Pasal 2 dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan).

Notaris wajib menempatkan diri sebagai satu-satunya pejabat yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris dalam bentuk akta pihak untuk seluruh Warga Negara Indonesia tanpa berdasarkan etnis tertentu. Tindakan notaris ini sesuai dengan wewenang notaris dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, dan Pasal 2 dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewaraganegaraan negara lain atas kehendak sendiri. Habib Adjie I, Op. Cit., h. 130.

(35)

sendiri. SKW seperti ini meskipun dibuat di hadapan notaris, tidak termasuk kedalam sifat dan bentuk akta otentik, karena tidak memenuhi sifat dan bentuk akta, dan syarat akta, dari segi fungsi hanya mempunyai pembuktian dengan kualitas sebagai surat di bawah tangan, yang penilaian pembuktiannya diserahkan kepada hakim, jika hal tersebut diperiksa atau menjadi objek gugatan di pengadilan negeri.446

Hal tersebut akan berbeda jika bukti untuk para ahli waris dibuat dalam bentuk, sifat dan syarat sebagai akta otentik dalam akta pihak. Jika setelah akta untuk bukti para ahli waris dibuat berdasarkan bukti dan keterangan serta pernyataan para pihak, temyata ada salah satu ahli waris yang tidak disebutkan di dalam akta, maka hal tersebut dapat dibatalkan oleh para pihak sendiri, dengan segala akibat hukum yang telah terjadi menjadi tanggungjawab para pihak sendiri.

Apabila para pihak tidak mau membatalkannya, maka mereka yang namanya tidak dimasukkan sebagai ahli waris tersebut dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri, untuk didegradasikan dan dibatalkan oleh hakim pengadilan negeri, dan kemudian hakim menetapkan sendiri siapa ahli waris dari siapa tindakan notaris di luar wewenang yang sudah ditentukan tersebut, dapat dikategorikan sebagai perbuatan di luar wewenang notaris.447

Jika menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang menimbulkan kerugian secara materil maupun immateril dapat diajukan gugatan ke

446 Ibid.

(36)

pengadilan negeri. Untuk permasalahan seperti ini, maka Majelis Pengawas atau Majelis Pemeriksa yang dibentuk oleh Majelis Pengawas tidak perlu turut serta untuk menindaknya sesuai wewenang Majelis Pengawas notaris. Majelis Pengawas notaris dapat turut serta untuk menyelesaikanya, jika tindakan Notaris sesuai dengan wewenang notaris.

Dalam pasal Wet op het Notarisamb 1999 Pasal 47.1. di tegaskan bahwa notaris Belanda berwenang untuk membuat Surat Keterangan Waris (Verklaring van Erfrecht) di bawah tangan, dan surat semacam ini mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta otentik.

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk keperluan siapa akta itu dibuat.

Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas notaris dalam pembuatan akta, ada batasan, bahwa menurut Pasal 52 UUJN notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri, sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

Mengenai orang dan untuk siapa akta dibuat, harus ada keterkaitan yang jelas, misalnya jika akan dibuat akta pengikatan jual beli yang diikuti dengan

(37)

akta kuasa untuk menjual, bahwa pihak yang akan menjual mempunyai wewenang untuk menjualnya kepada siapapun. Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu, sudah tentu tentu notaris akan melihat (asli surat) dan meminta fotocopy atas indentitas dan bukti kepemilikannya. Salah satu tanda bukti yang sering diminta oleh notaris dalam pembuatan akta notaris, yaitu kartu Tanda Penduduk (KTP), dan sertipikat tanah sebagai tanda bukti kepemilikannya. Ada kemungkinan antara orang yang namanya tersebut dalam KTP dan sertifikat bukan orang yang sama, artinya pemilik sertifikat bukan orang yang sesuai dengan KTP, hal ini bisa terjadi (di Indonesia), karena banyak kesamaan nama dan mudahnya membuat KTP, serta dalam sertifikat hanya tertulis nama pemegang hak, tanpa ada penyebutan identitas lain.448

Dalam kejadian seperti itu, bagi notaris tidak menimbulkan permasalahan apapun, tapi dari segi yang lain notaris oleh pihak yang berwajib (kepolisian/penyidik) dianggap memberikan kemudahan untuk terjadinya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan identitas diri penghadap dan bukti kepemilikannya yang dibawa dan aslinya diperlihatkan ternyata palsu, maka hal ini bukan tanggungjawab notaris, tanggungjawab diserahkan kepada para pihak yang menghadap.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat.

448 Ibid., h. 132.

(38)

Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu buat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap notaris sesuai dengan kewenangannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi, misalnya notaris yang berkedudukan di Kota Surabaya, maka ia dapat membuat akta di kabupaten atau kota lain dalam wilayah Propinsi Jawa Timur. Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan:449

a. Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukannya, maka notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat. Contoh notaris yang berkedudukan di Surabaya, akan membuat akta di Mojokerto, maka notaris yang bersangkutan harus membuat dan menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto.

b. Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.

c. Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau

449 Habib Adjie I, Op. Cit., h. 133.

(39)

tidak terus-menerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).

Ketentuan tersebut dalam praktik memberikan peluang kepada notaris untuk merambah dan melintasi batas tempat kedudukan dalam pembuatan akta meskipun bukan suatu hal yang dilarang untuk dilakukan, karena yang dilarang menjalankan tugas jabatannya di luar wilayah jabatannya atau di luar propinsi (Pasal 17 huruf a UUJN), tapi untuk saling menghormati sesama notaris di kabupaten atau kota lain lebih baik hal seperti itu untuk tidak dilakukan, berikan penjelasan kepada para pihak untuk membuat akta yang diinginkannya untuk datang menghadap notaris di kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu dapat saja dilakukan, jika di Kabupaten atau kota tersebut tidak ada notaris. 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka notaris yanq bersangkutan dapat menunjuk notaris pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN).450

Seorang notaris dapat mengangkat seorang notaris pengganti, dengan ketentuan tidak kehilangan kewenangannya dalam menjalankan tugas jabatatannya, dengan demikian dapat menyerahkan kewenangannya

450 Cuti dengan alasan tertentu, misalnya untuk berlibur atau diangkat untuk jabatan lain

yang tidak bisa dirangkap dengan jabatan notaris selain jabatan PPAT, sedangkan sakit sepanjang notaris secara jasmani dan rohani masih dapat melakukan tindakan hukum secara sadar.

(40)

kepada notaris pengganti, sehingga yang dapat mengangkat notaris pengganti, yaitu notaris yang cuti, sakit atau berhalangan sementara, yang setelah cuti habis protokolnya dapat diserahkan kembali kepada notaris yang digantikannya, sedangkan tugas jabatan notaris dapat dilakukan oleh pejabat sementara notaris hanya dapat dilakukan untuk notaris yang kehilangan kewenangannya dengan alasan:

a. meninggal dunia;

b. telah berakhir masa jabatannya; c. minta sendiri;

d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

e. pindah wilayah jabatan; f. diberhentikan sementara, atau g. diberhentikan dengan tidak hormat.

Dalam Pasal 62 UUJN dalam pengangkatan pejabat sementara notaris selain alasan-alasan tersebut di atas, ada alasan yang tidak tepat untuk dimasukkan sebagai alasan untuk mengangkat pejabat sementara notaris, yaitu diangkat menjadi pejabat negara atau jabatan-jabatan lain yang tidak dapat dirangkap dengan jabatan notaris. Alasan seperti ini harus dimasukkan sebagai alasan untuk mengangkat notaris pengganti karena berhalangan sementara. Ketika seorang notaris diangkat untuk memegang suatu jabatan yang tidak dapat dirangkap dengan jabatan notaris, sudah diketahui sebelumnya

(41)

mengenai jabatan barunya, sehingga tentunya perlu dipersiapkan sebelumnya.

Untuk notaris pengganti khusus berwenang untuk membuat akta tertentu saja yang disebutkan dalam surat pengangkatannya, dengan alasan notaris yang berada di kabupaten atau kota yang bersangkutan hanya terdapat seorang notaris, dan dengan alasan sebagaimana tersebut dalam UUJN tidak boleh membuat akta yang dimaksud. Pelarangan untuk membuat akta tersebut, dapat didasarkan kepada ketentuan Pasal 52 UUJN, terutama mengenai orang dan akta yang akan dibuat.

Demikian syarat yang harus dipenuhi agar suatu akta notaris dapat memperoleh kedudukan sebagai akta otentik. Apabila persyaratan atau salah satu persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka akibat hukum dari kedudukan akta notaris tersebut akan dijelaskan pada uraian sub bab berikutnya, sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai kukuatan pembuktian dari akta otentik.

Kekuatan pembuktian akta notaris yaitu berupa akta otentik, adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang diberikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak pemberian kepercayaan oleh negara kepada para pejabat itu dan pemberian kekuatan pembuktian otentik kepada akta-akta yang mereka buat.

Gambar

Tabel II

Referensi

Dokumen terkait

Opisat ´cemo razliˇcite klase realnih funkcija: konveksne, zvjezdaste, superaditivne i m -konveksne te dokazati neka njihova svojstva i ispitati odnose izmedu klasa

Produsen dalam kegiatan ekspor kopi arabika di Sumatera Utara yaitu pada tingkat eksportir dan konsumen dalam kegiatan ekspor kopi arabika di Sumatera Utara adalah

Agar penelitian yang akan dilaksanakan penulis lebih terarah dan sampai kepada yang dimaksud dan tujuan penelitian, maka penulis ingin membatasi permasalahan

Pada mata kuliah ini mahasiswa mempelajari tentang pengertian akta notaris dan bukan akta notaris, syarat notaris, penghadap, saksi, penerjemah dalam pembuatan akta notaris,

Hasil yang dicapai dalam kegiatan pengabdian pada masyarakat ini adalah berupa infrastruktur jaringan internet dan website desa yang digunakan sebagai media sarana komunikasi

Ekstrak merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan cara mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

Hasil pengamatan morfologi buah matang, menunjukan bahwa buahklon Panter, Irian, Hibrida, ICS 60, Sulawesi 1 (S1) dan M01 memiliki fenotip yang

Sesuai dengan permasalahan yang akan dikemukakan, maka yang menjadi ruang lingkup dari skripsi ini adalah mengenai bagaimana proses penguasaan tanah, dan status kepemilikan hak