• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Kebatalan Akta Notaris

3.2. Akta Notaris Batal Demi Hukum

Yang dimaksud dengan suatu hal atau obyek tertentu (een bepaald onderwerp) dalam Pasal 1320 BW syarat 3, adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi hukum).508 Mengenai hal atau objek tertentu ini dapat dirujuk dari substansi Pasal 1332, 1333, dan 1334 BW, sebagai berikut:

Pasal 1332 menegaskan:

507 Bila Badan Hukum Publik (melalui pejabatnya) turut serta dalam perbuatan hukum perdata, maka tindakan tersebut sebagai tindakan menurut hukum perdata yang bukan termasuk Keputusan Badan Tata Usaha Negara (lihat Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Undang-Undang Nomor 9 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian.

Pasal 1333 BW menegaskan:

Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan dan dihitung.

Pasal 1334 BW menegaskan:

Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 169, 176, dan 178.

Agus Yudha Hernoko509 menyatakan bahwa:

“Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam berkontrak harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak (prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak. Bahwa “tertentu” tidak harus dalam artian gramatikal dan sempit harus sudah ada ketika kontrak dibuat, adalah dimungkinkan untuk hal atau objek tertentu tersebut sekadar ditentukan jenis, sedang mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian hari. Dalam praktik hal ini sering dilakukan, misal dalam transaksi komoditas berjangka, pembelian melalui sistem panjar (untuk hasil pertanian).

Prestasi merupakan pokok atau objek suatu perjanjian, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1234 BW. Menurut Pasal 1332 dan 1334 BW tersebut di atas, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian, tak perduli apakah barang-barang itu sudah ada atau

509 Ibid., h. 192.

yang baru akan ada kelak.510 Prestasi tersebut hanya mengikat pihak-pihak yang tersebut dalam akta, ketentuan ini sebagaimana tersebut dalam Pasal 1340 BW, yaitu:

Suatu perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 BW.511

Unsur objektif yang kedua yaitu substansi perjanjian adalah sesuatu yang diperbolehkan512, baik menurut undang-undang, kebiasaan, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada saat perjanjian dibuat dan ketika akan dilaksanakan. Pengertian kausa atau sebab (oorzaak) sebagaimana dimaksud Pasal 1320 BW syarat 4, harus dihubungkan dalam konteks Pasal 1335 dan 1337 BW.

Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan sebab atau kausa, namun yang dimaksudkan di sini menunjuk pada adanya hubungan tujuan (kausa finalis), yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup kontrak atau apa yang hendak dicapai para pihak pada saat penutupan kontrak.513 Misalnya, dalam suatu

510 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 224 K/Sip/1973, bahwa berdasarkan Pasal 1322 BW, kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya perjanjian kecuali apabila kekhilafan itu mengenai hakekat barang-barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan mengenai diri seorang dengan siapa diadakan suatu perjanjian juga tidak menjadi sebab batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila perjanjian yang bersangkutan khusus diadakan mengikat diri orang tertentu itu. Habib Adjie VI, Op. Cit., h. 76.

511 Pasal 1317 BW berbunyi: lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat janji seperti itu.

512 Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 BW). Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang diperbolehkan (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 BW).

kontrak jual beli, tujuan para pihak dalam menutup kontrak adalah pembayaran harga barang (oleh pembeli) dan pengalihan kepemilikan barang (oleh penjual).

Pengertian kausa (kausa finalis-kausa tujuan) hendaknya dibedakan dengan pengertian kausa pada Pasal 1365 BW. Pengertian kausa pada Pasal 1365 BW adalah sebab atau penyebab yang menimbulkan kerugian (kausa efficiens). Kausa disini menunjukan adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan melanggar hukum (sebagai kausa penyebab) dengan kerugian yang ditimbulkan (akibat, kausa efficiens), sehingga menimbulkan kewajiban untuk memberikan ganti rugi.514 Demikian pula perlu dibedakan secara tegas antara kausa (sebab) dan motif. Motif adalah alasan yang mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal.515

Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang (UUJN), hal ini merupakan salah satu karakter akta notaris. Meskipun ada ketidaktepatan dalam Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN yang telah menempatkan syarat subjektif dan syarat objektif sebagai bagian dari badan akta, maka kerangka akta notaris harus menempatkan kembali syarat subjektif dan syarat objektif akta notaris yang sesuai dengan makna dari suatu perjanjian dapat dibatalkan dan batal demi hukum.516

Dalam Pasal 84 UUJN telah menentukan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan disebutkan dengan tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN sebagai telah disebutkan di atas, maka

514 J. H. Niewenhuis dalam Agus Yudha Hernoko II, Ibid., h. 195.

515 Agus Yudha Hernoko II, Ibid.

dapat ditafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan dengan tegas bahwa suatu akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka selain hal-hal tersebut, maka termasuk ke dalam akta notaris yang batal demi hukum, yaitu:

1. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke Daftar Pusat Wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil) yang membuat wasiat dengan bentuk apa pun dengan akta notaris. Tujuan pengiriman atau pelaporan tersebut adalah untuk melindungi kehendak terakhir hak pemberi wasiat dan calon penerima wasiat. Daftar Pusat Wasiat (DPW) berada di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Atas permintaan para pihak untuk mengetahui ada atau tidak adanya wasiat, DPW masih melakukannya secara manual yang akan memerlukan waktu yang lama, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah pemberian pelayanan kepada masyarakat, pemerintah dalam hal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk dapat segera melakukan perubahan dengan cara membuat permintaan ada atau tidaknya wasiat secara on line.

Pengiriman atau pelaporan tersebut tidak mengatur untuk pembuatan wasiat (secara tertulis) yang dibuat tanpa melibatkan notaris atau yang dilakukan secara lisan yang dikuatkan dengan para saksi. Meskipun tidak dilakukan pengiriman atau pelaporan, maka wasiat seperti itu tetap

mengikat sepanjang tidak ada yang mengajukan keberatan atau gugatan atas wasiat tersebut.517

2. Melanggar kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k, yaitu tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan notaris.

3. Melanggar ketentuan Pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan secara tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai jasa penerjemah resmi, penjelasan, penandatanganan akta di hadapan penghadap, notaris dan penterjemah resmi.

4. Melanggar ketentuan Pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris, atas pengubahan atau penambahan berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian atau pencoretan.

5. Melanggar ketentuan Pasal 49, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang dibuat tidak di sisi kiri akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang

517 Ibid., h. 78.

dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut menjadi batal.

6. Melanggar ketentuan Pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah akta, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.

7. Melanggar ketentuan Pasal 51, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta.

Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat dikualifikasikan akta notaris menjadi batal demi hukum, dimana sebenarnya hal-hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap tindakan kewajiban yang harus dilakukan oleh notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, tanpa ada objek tertentu dan sebab yang diperbolehkan atau dalam hal ini substansi akta, sehingga jika ukuran akta notaris menjadi batal demi hukum berdasarkan unsur-unsur yang ditentukan dalam Pasal 1335, 1336, 1337 BW, maka penggunaan istilah batal demi hukum untuk akta notaris yang disebabkan oleh karena melanggar pasal-pasal tertentu dalam Pasal 84 UUJN menjadi tidak tepat, karena setiap akta notaris tentu saja menguraikan suatu tindakan hukum

dan mengenai suatu obyek tertentu, yang mempunyai akibat hukum tertentu pula.

Berdasarkan penelusuran isi tiap pasal tersebut, tidak ditegaskan akta yang dikualifikasikan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan dan akta yang batal demi hukum dapat diminta ganti kerugian kepada notaris berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa akta notaris yang terdegradasi menjadi akta yang hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akta notaris yang batal demi hukum, keduanya dapat dituntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, hanya ada 1 (satu) pasal yaitu Pasal 52 ayat (3) UUJN yang menegaskan bahwa akibat akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, notaris wajib membayar biaya, ganti rugi dan bunga.518

Dalam akta notaris, atas permintaan para pihak sendiri atau penghadap untuk akta-akta tertentu, seperti perjanjian kerjasama atau pengikatan jual beli dengan angsuran, selalu dicantumkan syarat batal demi hukum, artinya jika ada syarat tertentu yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka akta ini menjadi batal demi hukum dengan segala akibat hukum yang timbul dari akta yang batal demi hukum tersebut.519 Akta batal demi hukum demikian, sesungguhnya tidak melanggar syarat objektif suatu perjanjian, namun atas

518 Ketentuan Pasal 84 UUJN ini, meskipun mirip dengan ketentuan Pasal 60 PJN, tapi ada perbedaannya, yaitu dalam Pasal 60 ayat (1) PJN, yang menegaskan jika terjadi pelanggaran terhadap semua Pasal dalam PJN, jika tidak ditentukan lain, maka kepada notaris dapat dikenai hukuman denda sejumlah uang tertentu, kecuali untuk pasal-pasal yang dinyatakan dengan tegas sebagai suatu pelanggaran. Ketentuan seperti Pasal 60 ayat (1) PJN tidak diatur dalam Pasal 84 UUJN. Ibid., h. 80.

dasar kesepakatan para pihak, mereka menentukan sendiri syarat batal demi hukum tersebut.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998, menyatakan suatu akta notaris yang cacat yuridis sehingga dinyatakan menjadi batal demi hukum. Dalam gugatan perkara tersebut, sesungguhnya tidak ada gugatan pembatalan terhadap akta notaris namun yang menjadi petitum gugatan adalah gugatan pembayaran pelunasan hutang piutang beserta ganti ruginya, dimana perjanjian hutang piutang tersebut dibuat berdasarkan Akta Pengakuan Hutang dan Kuasa Menjual yang dibuat dihadapan notaris.

Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa perbuatan hukum dalam Akta Pengakuan dan Kuasa Menjual tersebut melanggar dalil (adegium) bahwa suatu akta otentik atau akta di bawah tangan hanya berisi satu perbuatan hukum. Akta yang demikian tersebut tidak memiliki executorial title ex Pasal 224 HIR dan bukan tidak sah. “Kuasa Mutlak” yang tercantum dalam akta tersebut bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 juncto Surat Direktorat Jenderal Agraria Nomor 594/493/AGR, mengakibatkan akta tersebut menjadi batal demi hukum.

Hakim juga menemukan fakta bahwa salah seorang penghadap dalam akta tersebut, sesungguhnya tidak pernah datang kepada notaris untuk membuat akta tersebut, sehingga tidak benar akta dibuat sebagaimana tanggal yang tercantum dalam akta tersebut. G. H. S. Lumban Tobing, menyatakan:

“bahwa dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/kepastian tanggal

dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten), demikian juga tempat dimana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta ini, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak sendiri”.520

Demikian pula berarti bahwa notaris yang bersangkutan tidak membacakan akta kepada para penghadap, karena ditemukan fakta bahwa salah seorang penghadap tidak pernah datang menghadap notaris yang bersangkutan. Perbuatan notaris ini bertentangan dengan kewajiban membacakan akta sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 juncto Pasal 28 PJN (dalam UUJN diatur dalam Pasal 39 ayat (2) dan (3) juncto Pasal 44 ayat (4)). Dengan demikian akta notaris tersebut adalah akta yang cacat yuridis sehingga dapat dinyatakan batal demi hukum, disebabkan karena:

a. Notaris tidak membuat akta dihadapan para penghadap sebagaimana yang dinyatakan dalam akta;

b. Notaris tidak membacakan, menjelaskan serta menandatanganinya dihadapan para penghadap.

Selain itu notaris tersebut juga telah melalaikan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, dimana notaris wajib untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan para pihak, dimana jelas bahwa notaris yang bersangkutan telah berpihak ke salah satu penghadap/pihak.

Dokumen terkait