• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akta Notaris Terkualifikasi Sebagai Akta di Bawah Tangan

Di dalam Pasal 1869 BW telah ditentukan batasan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, yaitu dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan karena:

1. tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan; atau 2. tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan; atau

3. akta otentik cacat dalam bentuknya, meskipun demikian akta seperti itu tetap mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.

Pasal 1869 BW tersebut mempergunakan perkataan-perkataan “tidak berwenang” (onbevoegd) dan “tidak cakap” (onbekwaam), dengan tidak memberikan penjelasan yang tegas mengenai perbedaan di antara kedua istilah hukum itu.521 Cakap (bekwaam) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, sedang berwenang (bevoegd) merupakan kriteria khusus yang dihubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan tertentu. Seseorang yang cakap belum tentu berwenang, namun seseorang yang berwenang sudah tentu cakap.

Telah dijelaskan, bahwa hukum menentukan untuk dapat bertindak dalam hukum, seseorang harus cakap dan berwenang. Seseorang dikualifikasikan telah cakap dan berwenang apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu telah dewasa dan sehat pikirannya (tidak di bawah pengampuan). Sekalipun cakap belum tentu

521 Ibid., h. 138.

berwenang. Seseorang yang telah cakap menurut hukum mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, namun beberapa perbuatan yang tidak berwenang dilakukan orang cakap tertentu, antara lain:

1. tidak boleh mengadakan jual beli antara suami istri (Pasal 1467 BW); 2. larangan kepada hakim, jaksa, panitera, advokat, juru sita dan notaris

untuk menjadi pemilik hak-hak dan tuntutan-tuntutan yang menjadi pokok perkara yang sedang bergantung pada pengadilan negeri yang dalam wilayah mereka melakukan pekerjaan mereka, atas ancaman kebatalan, serta penggantian biaya, rugi dan bunga (Pasal 1468 BW;

Apabila seorang notaris membuat akta di luar daerah jabatannya, maka hal itu ia dikatakan “tidak berwenang” (onbevoegd), sedang apabila ia membuat suatu akta yang tidak termasuk dalam bidang tugas dan kewenangan notaris, sekalipun dibuat dalam daerah jabatannya, maka dalam hal tersebut, bahwa notaris yang bersangkutan “tidak cakap” (onbekwam), dan akibat hukum dari perbuatan tersebut adalah sama, yaitu akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, apabila akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa notaris wajib terlebih dahulu diambil sumpahnya sebelum menjalankan jabatannya. Apabila seorang notaris membuat suatu akta, akan tetapi notaris yang bersangkutan belum mengucapkan sumbah jabatan notaris, maka akta yang dibuatnya itu adalah dibuat oleh seseorang yang tidak cakap (onbekwam), sedang apabila dalam hal ini notaris yang bersangkutan mengucapkan sumpah

jabatan notaris setelah membuat akta itu, maka akta yang dibuatnya itu adalah akta yang dibuat oleh seseorang yang tidak berwenang (onbevoegd).

Untuk hal yang disebutkan pertama, yakni pembuatan akta sebelum diambil sumpahnya dan juga setelah membuat akta itu tidak juga mengucapkan sumpah, terhadap orang yang bersangkutan dapat dikenakan Pasal 228 KUHP, sedang dalam hal yang terakhir tidak dapat dikenakan Pasal 228 KUHP, oleh karena jabatan notaris itu ada dipangkunya.522 Selain itu, terhadap notaris yang bersangkutan juga dapat dihukum untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 84 UUJN.

Di dalam pasal-pasal tertentu UUJN, telah menentukan sebab-sebab yang mengakibatkan suatu akta notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, yaitu karena:

1. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu tidak membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris.

Penandatanganan para pihak, saksi dan notaris merupakan suatu kewajiban. Untuk pihak yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya karena cacat fisik tangannya atau tidak dapat membaca dan menulis, maka notaris wajib menuliskan pada akhir akta akan keadaan tersebut.

2. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan (8) yaitu jika notaris pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap menghendaki

522 Ibid., h. 139.

agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui dan memahami isi akta.

Ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan (8) ini tidak berlaku untuk pembuatan wasiat (Pasal 16 ayat (9) UUJN). Substansi pasal ini perlu dikaitkan dengan bentuk wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 931 BW, bahwa ada 3 (tiga) bentuk wasiat, yaitu (1) terbuka atau umum, (2) olographis, dan (3) tertutup atau rahasia. Dari ketiga bentuk wasiat tersebut, dimana substansi atau isinya dibuat di hadapan notaris, hanyalah wasiat dalam bentuk terbuka atau umum. Dengan demikian, ketentuan Pasal 16 ayat (9) UUJN hanyalah untuk pembuatan wasiat terbuka atau umum, sehingga meskipun penghadap membaca sendiri, namun notaris tetap wajib membacakannya kembali di hadapan penghadap, dan kemudian para saksi.

3. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk pada Pasal 39 dan Pasal 40, yaitu tidak dipenuhinya ketentuan-ketentuan:

a. Pasal 39, bahwa:

 Penghadap paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum.523

 Penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap

523 Ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUJN ini telah memberikan batasan umur cakap untuk melakukan perbuatan hukum secara umum, namun berbeda dengan prinsip mengenai syarat subjektif sahnya suatu perjanjian, yaitu bila melanggar syarat subjektif maka perjanjian menjadi dapat dibatalkan, namun berdasarkan pasal UUJN tersebut, jika syarat subjektif dilanggar maka akta notaris yang bersangkutan menjadi akta yang hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) orang penghadap lainnya.

b. Pasal 40 menentukan bahwa setiap akta dibacakan oleh notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa batasan derajat dan kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris atau para pihak.

c. Melanggar ketentuan Pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa.

Menurut Habib Adjie524, ketentuan Pasal 52 ayat (2) UUJN ini tidak berlaku apabila notaris sendiri yang menjadi penghadap dalam penjualan di muka umum, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh notaris lain. Dalam hal ini yang bersangkutan tidak dilihat dalam jabatannya

524 Habib Adjie VI, Op. Cit., h. 82.

sebagai notaris, tapi sebagai orang atau pihak dalam tindakan hukum yang bersangkutan.

Dengan menggunakan ukuran atau batasan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1869 BW, maka pasal-pasal tersebut dalam UUJN yang menegaskan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut mengakibatkan akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 16 ayat (7) dan (8) termasuk ke dalam cacat bentuk akta notaris, sebab pembacaan akta oleh notaris di hadapan para pihak dan saksi adalah merupakan suatu kewajiban notaris untuk menjelaskan bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai dengan kehendak penghadap yang bersangkutan, pembacaan tersebut wajib untuk diuraikan pada bagian akhir akta notaris, demikian pula bila notaris tidak membacakan akta di hadapan para pihak dan para saksi, karena para pihak berkehendak untuk membaca sendiri akta tersebut, maka kehendak para pihak tersebut harus dicantumkan pada akhir akta, dan apabila tidak dilakukan maka ada aspek formal yang tidak dipenuhi yang mengakibatkan akta tersebut menjadi cacat dari segi bentuk.

2. Pasal 41 yang menunjuk pada Pasal 39 dan 40 berkaitan dengan aspek subjektif sahnya akta notaris, yaitu cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Pelanggaran terhadap pasal ini, termasuk ke dalam tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan untuk memahami batasan umum usia cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

3. Pasal 41 yang menunjuk pada Pasal 40, khususnya tidak ada hubungan perkawinan dengan notaris atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris atau para pihak, dan Pasal 52, termasuk ke dalam tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, yang artinya ada penghalang bagi notaris untuk menjalankan kewenagannya.

Wet op het Notarisambt 1999 Belanda, telah menentukan kriteria akta notaris kehilangan otensitasnya, dimana akta notaris hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Akta notaris yang bersangkutan akan kehilangan nilai otensitasnya apabila melanggar ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Melanggar ketentuan Pasal 19, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa.

Namun ketentuan larangan Pasal 19 ini tidak berlaku pada penjualan di muka umum, persewaan umum, atau tender umum.

2. Melanggar ketentuan Pasal 39, yaitu bahwa setiap akta harus dibacakan oleh notaris di hadapan saksi yang cakap melakukan perbuatan hukum,

dimana saksi tersebut tidak boleh memiliki hubungan darah ke atas dan ke bawah tanpa pembatasan derajat dan ke samping sampai derajat ketiga. 3. Melanggar ketentuan Pasal 40, yaitu setiap akta notaris wajib dibuat

menurut bentuk dan tata cara penulisan sebagaimana telah ditentukan dalam Wet op het Notarisambt, dan pelanggaran terhadap bentuk dan tata cara penulisan akta tersebut, membuat akta yang bersangkutan kehilangan nilai otensitasnya.

4. Melanggar ketentuan Pasal 43, yaitu pelanggaran terhadap kewajiban pembacaan akta dan keharusan notaris untuk segera menandatangani minuta akta setelah para pihak dan saksi-saksi selesai menandatangani minuta akta yang bersangkutan.

Hal-hal tersebut di atas merupakan kriteria atau penyebab akta notaris kehilangan otensitasnya atau hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta di bawah tangan menurut ketentuan Wet op het Notarisambt 1999, dimana ketentuan-ketentuan tersebut mirip dengan ketentuan-ketentuan di dalam UUJN yang menentukan kriteria akta notaris kehilangan otensitasnya.

Akta notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna harus memenuhi seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta. Bila dapat dibuktikan ada prosedur yang tidak dipenuhi, maka akta tersebut melalui proses pengadilan, dapat dinyatakan sebagai akta yang hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Jika telah berkedudukan demikian, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada hakim.

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan yaitu apabila suatu ketentuan-ketentuan tertentu dilanggar atau tidak dipenuhi oleh notaris, maka dapat mengakibatkan akta yang bersangkutan menjadi batal, dapat dibatalkan, atau hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta di bawah tangan, dimana hal tersebut dapat dijadikan alasan atau melahirkan hak bagi para pihak yang menderita kerugian atas kesalahan tersebut untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.

Selain faktor internal yang berasal dari dalam diri notaris, misalnya kecerobohan, tidak memenuhi prosedur, juga terdapat persyaratan lain dalam bentuk tindakan tertentu yang tidak dilakukan atau tidak dipenuhi oleh notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, berupa kewajiban dan larangan yang tercantum dalam UUJN, yaitu tidak menjalankan kode etik notaris, perilaku notaris yang merendahkan kehormatan dan martabat notaris, melakukan perbuatan tercela, dan sebagainya, juga disebabkan faktor eksternal yang membohongi notaris, misalnya moral masyarakat.525

Selain harus memenuhi ketentuan di dalam UUJN dan Pasal 1320 BW, kebatalan suatu perjanjian juga dapat disebabkan karena kelalaian memenuhi syarat menuangkan atau membuat perjanjian tersebut ke dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, misalnya dalam bentuk akta notaris atau akta PPAT.

Notaris dapat lepas dari tanggung gugat akibat akta yang dibuat oleh atau di hadapannya cacat, sepanjang apabila cacatnya akta yang bersangkutan disebabkan oleh kesalahan oleh penghadap, karena keterangan atau bukti surat yang disampaikan oleh penghadap tersebut, memuat keterangan yang tidak benar atau cacat. Bentuk-bentuk penyebab cacat hukum yang bukan disebabkan oleh kesalahan notaris, misalnya adanya identitas aspal atau asli tapi palsu, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Paspor, Surat Keterangan Waris, Sertipikat, akta Jual Beli, Surat Keputusan (SK), Buku Pemilikan Kenderaan Bermotor, Surat Nikah, Akta Kelahiran dan lain sebagainya.526

Dokumen-dokumen tersebut pada umumnya selalu berhubungan dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris yang menjadi acuan notaris dalam melaksanakan fungsinya melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkan. Hal tersebut disebabkan dokumen-dokumen tersebut yang merupakan produk hukum institusi negara dapat dengan mudah dipalsukan. Semakin mudah dokumen dipalsukan, maka akan semakin besar kemungkinan notaris untuk ikut terseret kasus hukum.

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973, menyatakan bahwa “… Notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materiil apa-apa (hal-hal)

526 Ibid.

yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan notaris tersebut”. Dari substansi putusan Mahkamah Agung tersebut, dalam pembuatan akta, notaris berdasarkan pada kebenaran formal suatu dokumen yang disampaikan oleh penghadap, sedangkan kebenaran materiil suatu keterangan dan dokumen yang diperlukan untuk pembuatan akta, merupakan tanggung jawab para penghadap yang bersangkutan.

Dokumen terkait