• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Kebatalan Akta Notaris

3.1. Akta Notaris Dapat Dibatalkan

Akta notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat bagi mereka yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 BW mengatur tentang syarat keabsahan suatu perjanjian, adanya syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri atas kesepakatan dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian kehendak dengan pernyataan pihak lain.481 Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan

480 Habib Adjie VI, Op. Cit., h. 67.

secara tegas namun juga dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.

Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. 482 Penawaran (aanbod; offerte; offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. 483 Sedangkan penerimaan (aanvarding; acceptatie; acceptance) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari.484

Syarat kesepakatan (toestemming) yang merupakan pencerminan asas konsensualisme, di mana dengan adanya kata sepakat telah lahir kontrak, ternyata dalam lalu lintas hukum yang demikian kompleks juga menimbulkan problem pelik mengenai pertanyaan “kapan kontrak itu lahir?”.485 Penentuan saat lahirnya kontrak menjadi kendala, terutama apabila penawaran dan penerimaan dilakukan melalui korespondensi atau surat-menyurat. Hal ini mempunyai implikasi:

a. penentuan risiko;

b. kesempatan penarikan kembali penawaran;

c. saat mulai dihitungnya jangka waktu kedaluwarsa; dan d. menentukan tempat terjadinya kontrak.486

482 Agus Yudha Hernoko II, Op. Cit., h. 162-163.

483 Ibid.

484 Ibid.

485 Ibid., h. 168.

486 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, h. 180. (Selanjutnya disebut J. Satrio II).

Agus Yudha Hernoko 487, menyatakan bahwa untuk menjawab problematika di atas, terdapat 4 (empat) teori yang mencoba untuk memberikan solusi penyelesaiannya, yaitu:

a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie), menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas suatu penawaran ditulis (dinyatakan) oleh pihak yang ditawari. Kelemahan teori ini adalah tidak dapat ditentukannya secara pasti kapan kontrak itu lahir.

b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie), menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas penawaran itu dikirimkan oleh pihak yang ditawari kepada pihak yang menawarkan. Kelemahan teori ini adalah pihak yang menawarkan tidak tahu bahwa ia telah terikat dengan penawarannya sendiri.

c. Teori Mengetahui (Vernemingstheorie), menyatakan bahwa kontrak lahir pada saat surat jawaban (penerimaan) itu diterima oleh pihak yang menawarkan. Kelemahan teori ini adalah jika surat penerimaan itu meskipun telah sampai ditempatnya ternyata tidak segera dibaca.

d. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie), menyatakan bahwa kontrak itu lahir pada saat surat penerimaan telah sampai di tempat pihak yang menawarkan, tidak peduli apakah ia mengetahui atau membaca penerimaan tersebut atau tidak.

Syarat keabsahan perjanjian sebagaimana diuraikan di atas diwujudkan dalam akta notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat

subjektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 BW mengenai prinsip atau azas kebebasan berkontrak488 dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan pihak tertentu, akta tersebut dapat dibatalkan.489

Unsur subjektif yang pertama berupa adanya kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji, atau tanpa tekanan dan intervensi dari pihak mana pun, tapi semata-mata keinginan para pihak yang berjanji. Pasal 1321 BW menegaskan, apabila dapat dibuktikan bahwa suatu perjanjian ternyata disepakati di bawah paksaan atau ancaman yang menimbulkan ketakutan

488 Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahwa seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam azas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Meskipun demikian kebabasan berkontrak ada batas-batasnya, yaitu (1) harus dilindungi dari korban undue influence, (2) perjanjian yang bertentangan dengan ketertiban umum (openbareorde), (3) yang bertentangan dengan kebijakan publik (public policy). Peter Mahmud Marzuki IV, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 18 Nomor 3, Mei 2003, 219. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki IV). Menurut M. Isnaeni, bahwa azas kebebasan berkontrak menjadi kuda hitam yang sangat diandalkan, padahal kontrak yang sehat, tentunya tidak melulu berlandas pasa satu azas saja. Azas-azas lain mestinya juga harus diberi peran yang seimbang, misalnya saja Azas-azas itikad baik. Azas ini sebenarnya sangat strategis perannya untuk kelahiran sebuah kontrak yang sehat, mengingat langkah awal para pihak untuk saling mengikatkan diri, lebih bermula dari niat, dan sudah tentu berlabel baik. M. Isnaeni, Hukum Kontrak, Makalah pada workshop Tehnik Perancangan dan Review Kontrak-Kotrak Bisnis, Law Firm Prihandono & Partners – Bina UF Conference, Surabaya, 20-21 Oktober 2003, h. 9. (Selanjutnya disebut M. Isnaeni II).

Selanjutnya M. Isnaeni mengemukakan, bahwa azas itikad baik, azas kebebasan berkontrak dan konsensualisme, saling terjalin satu dengan yang lain tanpa dapat dielakan kalau menginginkan lahirnya suatu kontrak yang sehat (fair) demi terbingkainya aktivitas bisnis dalam hidup keseharian. M. Isnaeni, Jalinan Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak dalam Bisnis, Makalah seminar hukum kontrak, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 13 Oktober 2004, h. 7. (Selanjutnya disebut M. Isnaeni III).

489 Akta notaris yang dapat dibatalkan berarti akta tersebut termasuk ex nunc, yang berarti perbuatan dan akibat dari akta tersebut dianggap ada sampai saat dilakukan pembatalan. Habib Adjie VI, Op. Cit., h. 69.

orang yang diancam sehingga orang tidak mempunyai pilihan lain, selain manandatangani atau menyetujui perjanjian tersebut, maka perjanjian atau akta tersebut dapat dibatalkan.

Subekti490 mengambarkan sebagai paksaan terhadap rohani ataupun paksaan terhadap jiwa (physic) berwujud ancaman yang berbentuk perbuatan melawan hukum, misalnya dalam bentuk kekerasan yang menimbulkan suatu ketakutan.

Perjanjian yang lahir dari kesepakatan yang diakibatkan karena bertemunya penawaran dan penerimaan, tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan tersebut dibentuk oleh karena adanya unsur cacat kehendak (wilsgebreke). Kontrak yang dibentuk oleh karena adanya unsur cacat kehendak demikian mempunyai akibat hukum dibatalkannya (vernietigbaar) perjanjian tersebut. Dalam BW terdapat 3 (tiga hal) yang dapat menjadi alasan pembatalan perjanjian karena adanya cacat kehendak, yaitu:491

1. Kesesatan atau dwaling (vide Pasal 1322 BW)

Terdapat kesesatan apabila terkait dengan “hakikat benda atau orang” dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan (terkait syarat dapat dikenali atau diketahui; kenbaarheidsvareiste). Dengan demikian, mengenai kesesatan terhadap hakikat benda yang dikaitkan dengan keadaan akan datang, karena

490 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989, h. 23. (Selanjutnya disebut R. Subekti III).

kesalahan sendiri atau karena perjanjian atau menurut pendapat umum menjadi risiko sendiri, tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak. 2. Paksaan atau dwang (vide Pasal 1323 – 1327 BW)

Paksaan timbul apabila seseorang tergerak untuk menutup kontrak (memberikan kesepakatan) di bawah ancaman yang bersifat melanggar hukum. Ancaman bersifat melanggar hukum ini meliputi 2 (dua) hal, yaitu:

a. Ancaman itu sendiri sudah merupakan perbuatan melanggar hukum (pembunuhan, penganiayaan).

b. Ancaman itu bukan merupakan perbuatan melanggar hukum, tetapi ancamana itu dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.

3. Penipuan atau bedrog (vide Pasal 1328 BW)

Penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, artinya ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan. Untuk berhasilnya dalil penipuan disyaratkan bahwa gambaran yang keliru itu ditimbulkan oleh rangkaian tipu daya (kunstgrepen).

Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila ada tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan ini dilakukan,

baik dengan serangkaian kata-kata atau kalimat yang menyesatkan ataupun pemberian yang tidak benar oleh salah satu pihak yang berkaitan dengan substansi akta, dan salah satu pihak kemudian tergerak untuk menyetujui akta tersebut. Penipuan ini harus dapat dibuktikan oleh salah satu pihak, sebagai suatu kerugian yang nyata.

Selain sebab-sebab cacat kehendak sebagaimana diuraikan di atas, telah berkembang doktrin penyalahgunaan keadaan (Misbruik van Omstandigheden/undue influence), sebagai salah satu unsur cacat kehendak sebagai alasan pembatalan suatu perjanjian atau kontrak.

Doktrin ini dapat dipergunakan melalui kedudukan seseorang dari posisinya yang memungkinkan untuk melakukan penekanan kepada pihak lainnya, misalnya dalam jabatannya (baik pemerintahan atau politik atau dalam masyarakat), secara ekonomis, dalam keadaan seperti ini, pihak yang lainnya tidak mempunyai kemampuan untuk menghindarinya selain menerima isi akta yang diberikan kepadanya untuk disepakati.492 Dengan kata lain dalam doktrin seperti ini tidak ada kekerasan fisik atau ancaman, namun lebih menitikberatkan kepada keadaan (situasi dan lingkungan) salah satu subjek dalam akta yang bersangkutan.

Di Indonesia, doktrin atau ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) belum masuk dalam sumber hukum positif, namun secara implisit telah menerimanya, sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia antara lain dengan putusan Nomor 1904

492 Habib Adjie VI, Op. Cit., h. 69.

K/Sip/1982, tanggal 28 Januari 1984, tentang penerapan bunga 10 % (sepuluh persen) perbulannya oleh kreditor terhadap debitor yang dinyatakan melanggar asas kepatuhan dan keadilan.493 Putusan tersebut pada prinsipnya menyatakan bahwa pernyataan kehendak yang diberikan sehingga melahirkan suatu perjanjian, apabila dipengaruhi “penyalahgunaan keadaan” oleh pihak lain merupakan unsur cacat kehendak dalam pembentukan perjanjian,

Menurut Z. Asikin Kusumah Atmadja494, penyalahgunaan keadaan dianggap sebagai faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan kesepakatan antara para pihak. Hal ini dimungkinkan, karena adanya ketidakseimbangan dan ketidakserasian kedudukan para pihak adalah tidak tepat menggolongkan penyalahgunaan keadaan sebagai kausa tidak halal (ongeooloofde oorzaak), karena kausa tidak halal memiliki ciri yang sangat berbeda dan karenanya tidak ada kaitannya dengan kehendak yang cacat.

Apabila berkenaan dengan kausa tidak diperbolehkan, meskipun pihak yang dirugikan tidak mendalilkannya sebagai alasan untuk menyatakan batalnya perjanjian, hakim ex officio wajib mempertimbangkannya. Sedangkan terkait dengan cacat kehendak, pernyataan batal atau batalnya kontrak hanya akan diperiksa oleh hakim jika didalilkan oleh yang bersangkutan. Oleh karenanya menurut Cohen 495 , menggolongkan penyalahgunaan keadaan ke dalam cacat kehendak lebih sesuai dengan

493 Lihat H. P. Pangabean, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, 2001, h. 63.

494 Z. Asikin Kusumah Atmadja dalam Agus Yudha Hernoko II, Op. Cit., h. 178.

kebutuhan konstruksi hukum dalam hal seseorang yang dirugikan menuntut pembatalan kontrak.

Menurut R. Cheeseman496, dalam common law system, ada 3 (tiga) tolok ukur untuk diklasifikasikan telah terjadinya unconscinability, yaitu: a. Para pihak yang berkontrak berada dalam posisi yang sangat tidak

seimbang dalam upaya untuk menegosiasikan penawaran dan penerimaan. b. Pihak yang lebih kuat tersebut secara tidak rasional menggunakan posisi

kekuatan yang sangat mendominasi tersebut untuk menciptakan suatu kontrak yang didasarkan pada tekanan dan ketidakseimbangan dari hak dan kewajiban.

c. Pihak yang kedudukannya lebih lemah tersebut tidak mempunyai pilihan lain selain menyetujui kontrak tersebut.

Kecakapan (bekwaamheid – capacity) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 BW pada syarat kedua adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar, berikut ini:497

a. Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjarig); dan b. Rechtpersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan

(bevoegheid).

496 R. Cheeseman dalam Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Mingguan Ekonomi dan Bisnis Kontan, Jakarta, 2006, h. 160-161.

Manusia sebagai salah subjek hukum, mempunyai syarat agar cakap dalam melakukan perbuatan hukum dalam hal membuat suatu akta. Mengenai batas usia dewasa bertindak melakukan perbuatan hukum (secara umum) sampai saat ini belum ada dalam hukum positif Indonesia, batasan usia memang ada untuk melakukan tindakan hukum tertentu saja. Hal tersebut menimbulkan masalah karena undang-undang yang ada (hukum positif) tidak menyebutkan dengan tegas batas umur dewasa tersebut. Sehingga untuk maksud dan tujuan tertentu, hampir tiap peraturan perundang-undangan yang ada akan memberikan batas tersendiri batas umur dewasa tersebut.

Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup umur (bekwaamheid – meerderjarig). Namun demikian, masih terdapat polemik mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum yang tampaknya mewarnai praktik lalu lintas hukum di masyarakat. 498 Pada satu sisi sebagian masyarakat masih menggunakan standar usia 21 (dua puluh satu) tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan Pasal 1330 juncto 330 BW. Demikian dalam praktek notaris ataupun PPAT, akan melihat batas umur seseorang dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum, didasarkan pada Pasal 330 BW.

Pasal 1329 BW menentukan bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang dinyatakan

498 Ibid.

cakap499. Dalam Pasal 1330 BW dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

a. orang-orang belum dewasa;

b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.500

Mengenai orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, menurut Pasal 433 BW, ada 3 (tiga) alasan untuk pengampuan, yaitu:501

1. Keborosan (verkwisting);

2. Lemah akal budinya (zwakheid van vermogen);

3. Kekurangan daya berpikir: sakit ingatan (krankzinnigheid), dungu (onnozelheid), dan dungu disertai sering mengamuk (razernij).

Pasal 330 BW menentukan, bahwa:

Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak kawin sebelumnya.

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.

499 Menurut M. Isnaeni, substansi Pasal 1329 BW, khususnya pada redaksi “… cakap membuat perikatan …” tidak konsisten, karena Pasal 1329 ini terkait dengan Pasal 1320 BW mengenai syarat sahnya kontrak bukan syarat sahnya perikatan. Sehingga seharusnya redaksi tersebut berbunyi “… cakap membuat kontrak …”. M. Isnaeni dalam Agus Yudha Hernoko II, Ibid.

500 Substansi ketentuan ini telah dinyatakan tidak mengikat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

501 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie Recht), Airlangga University Press, Surabaya, 1991, h. 237. (Selanjutnya disebut R. Soetojo Prawirohamidjojo II).

Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara seperti yang diatur dalam bagian 3, 4, 5, dan 6 dalam bab ini.

Beranjak dari penafsiran a contrario502 terhadap substansi Pasal 1330 BW juncto 330 BW tersebut di atas dapat diketahui bahwa usia dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun. Selain itu disisi lain, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dijadikan rujukan untuk menentukan batasan dewasa secara hukum, yaitu dalam Undang-Undang Perkawinan, ditemukan 3 (tiga) kriteria usia, sebagaimana biasanya ditemukan dalam bidang hukum keluarga. Ketiga macam usia itu adalah:

502 Penafsiran atau interpretasi adalam metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Disini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undangan yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode berfikir analogi, metode penyempitan hukum dan metode a contrario.

1. Argumentum per analogium

Kadang-kadang peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya. Dalam hal ini untuk dapat menerapkan undang-undang pada peristiwanya hakim akan memperluasnya dengan metode argumentum per analogium atau metode berfikir analogi. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan diatur dalam undang-undang, diperlakukan sama.

2. Penyempitan hukum (rechtsverfijning)

Kadang-kadang lagi peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.

3. Argumentum a contrario

Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Bagaimanakah menemukan hukumnya bagi peristiwa yang tidak diatur secara khusus itu? Cara menemukan hukum dengan dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa diluarnya berlaku sebaliknya, ini merupakan metode argumentum a contrario. Ini merupakan cara penafsiran atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Dengan mengatur secara tegas suatu peristiwa tertentu tetapi peristiwa yang mirip lainnya tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku hal yang kebalikannya.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 21-29. (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II).

1. Usia syarat kawin, yaitu pria 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun, Pasal 7 ayat (1).

2. Usia izin kawin, mereka yang akan menikah di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun, harus ada izin kawin, Pasal 6 ayat (2).

3. Usia dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun atau telah kawin, Pasal 47 ayat (1), (2) dan Pasal 50 ayat (1), (2).

Ketiga kriteria usia tersebut, juga sama halnya dengan ketentuan di dalam ketentuan Hukum Keluarga BW. Di dalam buku I Bab tentang Hukum Keluarga BW, dapat ditemukan 3 (tiga) kriteria usia, yaitu:

1. Usia syarat kawin, yaitu bagi pria 18 (delapan belas) tahun dan bagi wanita 15 (lima belas) tahun, Pasal 29 BW.

2. Usia izin kawin, bagi mereka yang akan menikah yang belum berusia 30 (tiga puluh) tahun diperlukan izin kawin, Pasal 42 ayat (1) BW.

3. Usia dewasa, yaitu berusia 21 (dua puluh) satu tahun atau telah kawin, Pasal 330 BW.

Kedewasaan secara yuridis selalu mengandung pengertian tentang adanya kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa adanya bantuan pihak lain, apakah ia, orang tua si anak atau wali si anak. Jadi seseorang adalah dewasa apabila orang itu diakui oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, dengan tanggung jawab sendiri atas apa

yang ia lakukan jelas disini terdapatnya kewenangan seseorang untuk secara sendiri melakukan suatu perbuatan hukum.503

Unsur dari kedewasaan antara lain:

1. Indikator utama untuk menentukan kedewasaan secara hukum adalah kewenangan pada seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, tanpa bantuan orang tua ataupun wali.

2. Seseorang yang telah dewasa dapat dibebani tanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya.

3. Batasan usia tersebut harus merupakan pengaturan bagi perbuatan hukum secara umum, bukan untuk perbuatan hukum tertentu saja.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka sangat beralasan batasan usia untuk melakukan perbuatan hukum secara umum, yaitu 18 (delapan belas) tahun atau telah/pernah menikah sebelum mencapai umur tersebut. Demikian UUJN telah menentukan batas usia penghadap atau batasan cukup umur untuk melakukan perbuatan dalam hal membuat akta notaris, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN yaitu, penghadap paling sedikit telah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

Dalam Wet op het Notarisambt 1999 Belanda, tidak ditentukan mengenai batas usia penghadap atau batasan cukup umur untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal membuat akta notaris. Batas usia dewasa telah diatur dalam NBW, dengan menggunakan interpretasi a contrario terhadap

503 Djuhaendah Hasan, Masalah Kedewasaan Dalam Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 2005, h. 7.

substansi Pasal 2:33 NBW, dapat diketahui bahwa Belanda telah menggunakan acuan usia 18 (delapan belas) tahun sebagai standar usia dewasa (kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum).504 NBW melalui Pasal 3:32 telah menentukan akibat hukum bagi perbuatan hukum oleh pihak yang dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum (handelingsonbekwaamheid) secara umum, artinya dalam hal demikian, maka pihak yang tidak cakap (minderjarig atau curandus) tersebut akan dilindungi.

Dalam Pasal 3:32 lid 2 NBW dinyatakan bahwa, suatu perbuatan hukum dari orang yang tidak mampu, dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan suatu perbuatan hukum secara sepihak (eenzijdig) oleh seorang yang tidak cakap ditujukan kepada satu orang atau lebih tertentu adalah batal demi hukum (nietig).505 Dengan demikian, terhadap pembuatan akta notaris di Belanda, usia dewasa atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum oleh penghadap yaitu 18 (delapan belas) tahun.

Demikian pula di dalam Wet op het Notarisambt 1999 juga tidak ditentukan mengenai ketentuan yang menyebabkan suatu akta notaris menjadi dapat di batalkan atau batal demi hukum. Wet op het Notarisambt 1999 hanya menentukan kriteria suatu akta notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, yang akan diuraikan selanjutnya dalam bab ini.

504 Periksa Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 154-155.

505 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,h. 436. (Selanjutnya disebut Herlien Budiono III).

Ketika subjek hukum – manusia tersebut bertindak, maka harus diperhatikan kedudukannya, yaitu:

1. Untuk diri sendiri;

Dokumen terkait