• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802008014 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802008014 Full text"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG MENGALAMI INFERTILITAS PRIMER

OLEH

SRI YUNIA RAHMAWATI 802008014

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG MENGALAMI INFERTILITAS PRIMER

Sri Yunia Rahmawati Chr. Hari Soetjiningsih Rudangta Arianti Sembiring

Progam Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)

i Abstrak

Kepuasan pernikahan merupakan evaluasi suami istri terhadap seluruh kualitas kehidupan pernikahan (Snyder, 1997). Menurut Santrock (2006), kepuasan pernikahan memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pasangan, antara lain dapat mengurangi tingkat stres psikologis dan fisik. Dalam pengertian masyarakat Indonesia kelengkapan keluarga yaitu ada ayah, ibu dan anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga. Selain itu, salah satu tujuan pernikahan menurut Soemiyati (1982) yaitu memiliki keturunan yang sah. Ketika kehamilan yang diharapkan tersebut tidak kunjung terjadi dalam suatu rumah tangga, maka dengan serta merta kesalahan tertuju pada kaum perempuan (istri). Hal tersebut dikarenakan konteks budaya patriarki yang demikian dominan, sehingga bila terjadi kemandulan seringkali yang disalahkan adalah kaum perempuan yang kodratnya mampu hamil (Demartoto, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas primer. Gambaran kepuasan pernikahan diperoleh dari deskripsi dimensi-dimensi kepuasan pernikahan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan memilih dua istri yang belum pernah memiliki anak sebagai partisipan, berusia antara 20-35 tahun, dengan usia pernikahan 3-5 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua partisipan dapat merasakan kepuasan pernikahan dalam kondisi infertilitas primer yang dialaminya. Kedua partisipan memandang kehadiran anak sebagai sesuatu yang penting tetapi bukanlah sumber kebahagiaan mereka. Kedua partisipan justru menikmati masa-masa berdua bersama suami karena dapat menambah keintiman. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat mengkaji lebih dalam mengenai kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas primer dengan teori-teori terbaru dan melihat pengaruh latar belakang suku terhadap munculnya perasaan tertekan pada kondisi infertilitas yang dialami oleh seseorang karena adanya sistem patriarki di Indonesia.

(9)

ii Abstract

Marital satisfaction is the evaluation married of husband and wife of the quality married life (Snyder, 1997). Santrock (2006) said, marital satisfaction give a good impact for couples to decrease rate of psychological and physical stress. In Indonesian, an ideal family have father, mother and children, that‟s the complete family. Furthermore, Soemiyati (1982) said a the purpose of marriage also have a legitimate descendant. When the couple hope for pregnancy, but it haven‟t come yet, then women (wife) is the one who blame (Dermatoto, 2008). This research was intended to get marital satisfaction of the wife‟s that has an experienced primary infertility. This research used a qualitative method and use two wives have never had children as a participants, aged between 20-35 years, with the age of marriage between 3-5 years. The results of this research indicate that both of them can enjoy marital satisfaction with primary infertility. The two participants looked at the presence of children as something that is important, but it‟s not the source of their happiness. They can actually enjoy the togetherness to add intimacy. For the next researchers then expected to be able to study more in terms of the marital satisfaction to wife that has an experienced in primary infertility with the new theories and see the influence of ethnic to feeling of distress because of the patriarchy system in Indonesia.

(10)

1

PENDAHULUAN

Masa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai 40 tahun (Hurlock, 1980).

Secara umum, mereka yang tergolong dewasa awal adalah mereka yang berusia 20

hingga 40 tahun. Menurut Santrock (1999), dewasa awal termasuk masa transisi, baik

secara fisik, transisi secara intelektual, serta transisi peran sosial. Adapun tugas

perkembangan pada masa dewasa awal menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers &

Haditono, 2001) yang salah satunya yaitu menikah atau membangun suatu keluarga.

Pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Pasal 1 diartikan

sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Walgito, 2004). Salah satu tujuan

pernikahan menurut Soemiyati (1982) yaitu memiliki keturunan yang sah.

Pernikahan memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memenuhi

berbagai kebutuhan esensial seperti keintiman, persahabatan, perhatian atau kasih

sayang, kebutuhan seksual, serta kebersamaan (Papalia, Sterns, Feldman, & Camp,

2007).Dalam sebuah hubungan pernikahan, tentunya setiap pasangan memiliki harapan

yang ingin dicapai. Salah satu harapan yang terpenting adalah mencapai pernikahan

yang memuaskan (Turner & Helms, 1995). Menurut Santrock (2006), kepuasan

pernikahan memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pasangan, antara lain dapat

mengurangi tingkat stres psikologis dan fisik. Sebaliknya, pasangan yang berada dalam

pernikahan yang tidak memuaskan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami sakit

dan mengurangi kesempatan hidup mereka (Gove, Style, & Hughes, dalam Santrock,

2006). Kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri terhadap seluruh kualitas

(11)

2

kepuasan pernikahan tersebut dijabarkan melalui dimensi-dimensi seperti affective communication, problem-solving communication, aggression, time together, disagreement about finances, sexual dissatisfaction, role orientation dan family history of distress (Snyder, 1997).

Affective communication yaitu dimensi yang menilai ketidakpuasan terhadap jumlah afeksi dan pengertian yang diberikan oleh pasangan. Problem-solving communication yaitu dimensi yang menilai ketidakefektifan dalam menyelesaikan masalah. Aggression yaitu dimensi yang menilai tingkat intimidasi dan agresi fisik yang dialami oleh partisipan dari pasangannya. Time together yaitu dimensi yang menilai kebersamaan pasangan dalam waktu luang mereka. Dissagreement about finances yaitu dimensi yang menilai perselisihan dalam hubungan mengenai pengelolaan keuangan.

Sexual dissatisfaction yaitu dimensi yang menilai ketidakpuasan terhadap frekuensi dan kualitas hubungan seksual serta aktivitas seksual lainnya. Role orientation yaitu dimensi yang menilai pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga. Family history of distress yaitu dimensi yang mencerminkan gangguan hubungan dalam keluarga partisipan.

Dalam pengertian masyarakat Indonesia kelengkapan keluarga yaitu ada ayah,

ibu dan anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga,

anak memiliki beberapa fungsi. Yang pertama, anak sebagai simbol kesuburan dan

keberhasilan. Filosofi yang berkembang adalah banyak anak banyak rejeki,

keterlambatan memiliki anak dianggap sebagai kegagalan besar. Yang kedua, anak

sebagai pelanjut keturunan. Yang ketiga, anak sebagai teman dan penghibur. Yang

(12)

3

Yang kelima, anak yang saleh akan mendoakan dan menolong orang tuanya didunia dan

akhirat (Moeloek, dalam Hidayah, 2010).

Nilai anak dalam budaya dan masyarakat Indonesia sangat penting, apalagi

dalam suatu rumah tangga. Hal ini bukan hanya karena penerimaan yang baik pada

mereka yang mampu melahirkan anak, tetapi juga karena sumbangan sosial dan

ekonomi bagi rumah tangga. Ketika kehamilan yang diharapkan tersebut tidak kunjung

terjadi dalam suatu rumah tangga, maka dengan serta merta kesalahan tertuju pada

kaum perempuan (istri) karena dalam konteks budaya patriarki yang demikian dominan,

sehingga bila terjadi kemandulan seringkali yang disalahkan adalah kaum perempuan

yang kodratnya mampu hamil (Demartoto, 2008).

Akan tetapi, tidak semua pasangan bisa memiliki anak. Salah satu penyebab

ketidakmampuan memiliki anak adalah infertilitas. Infertilitas adalah kegagalan untuk

mengandung setelah satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat

kontrasepsi. Sedangkan infertilitas pada wanita yaitu ketidakmampuan mencapai suatu

kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa pelindung yang

dikarenakan faktor fisiologis (gangguan hormonal) antara lain gangguan ovulasi yang

disebabkan oleh disfungsi hipotalamus, kelenjar hipofisis atau kelenjar tiroid, dan faktor

patologis yaitu penyakit-penyakit yang menyebabkan gagalnya pembuahan seperti kista

(tumor ovarium), penyakit ovarium polikistik atau kerusakan ovarium akibat riwayat

pembedahan yang mengganggu siklus ovarium, serta terjadinya masalah pada produksi

dan pelepasan ovum (Henderson & Jones, 2005). Infertilitas dibagi menjadi dua jenis,

yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer yaitu pasangan

suami istri yang belum pernah mengalami kehamilan sebelumnya, sedangkan infertilitas

(13)

4

satu tahun pasca persalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun

(Prawirohardjo, 2011). Menurut statistik kehamilan terjadi sekitar 80% pada tahun

pertama, 75% pada tahun kedua, 50-60% pada tahun ketiga, pada tahun keempat turun

menjadi 40-50%, sedangkan tahun kelima lebih kecil yaitu antara 25-30% (Manuaba,

2009).

Menurut Manuaba (2009) tidak semua orangyang tidak bisa mengandung setelah

satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi tersebut

dinyatakan infertil. Ada pemeriksaan yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum

akhirnya dinyatakan infertil. Pemeriksaan tersebut ada dua yaitu pemeriksaan umum

yang berupa anamnesa yang terdiri dari tanya-jawab mengenai berapa lama menikah,

usia suami dan istri, frekuensi hubungan seksual, tingkat kepuasan seksual, penyakit

yang pernah diderita, teknik hubungan seksual, usia saat menarche (menstruasi pertama kali), apakah haid teratur, dan lainnya. Kemudian, pemeriksaan khusus yang terdiri dari

pemeriksaan ovulasi, pemeriksaan lendir serviks, dan pemeriksaan endometrium.

Rata-rata para istri akan hamil setelah melakukan hubungan seksual sebanyak

104 kali dengan pasangannya. Demikian hasil survei yang dilakukan terhadap 3.000

perempuan oleh First Response, sebuah perusahaan popular untuk keluarga berencana. Itu berarti, rata-rata istri butuh waktu 6 bulan untuk bisa hamil, dengan catatan

melakukan hubungan seks dengan suami sekitar 4 kali dalam seminggu selama jangka

waktu tertentu. Namun, ada beberapa istri yang langsung bisa hamil dengan hanya

(14)

5

reproduksi, kualitas sperma dan masa subur sang istri

(http://www.parenting.co.id/article/hamil/frekuensi.seks.agar.cepat.hamil/001/001/141).

Perhatian khusus dalam kehamilan juga tertuju pada usia. Menurut Manuaba (1998), „kurun waktu reproduksi sehat‟ yaitu antara 20-30 tahun. Pada masa remaja atau

pada usia dibawah 20 tahun kesulitan kehamilan pada remaja lebih tinggi yang

disebabkan oleh belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat

merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Sedangkan

menurut Benson dan Pernoll (2008), diatas usia 36 tahun kemungkinan untuk hamil

kurang dari 50%.

Wanita menyumbang 40-50% kasus infertilitas, laki-laki menyumbang 30%

kasus infertilitas dan 20-30% kasus infertilitas disebabkan oleh keduanya (Benson &

Pernoll, 2008). Rata-rata prevalensi dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebagian besar kasus infertilitas disebabkan oleh istri.

Infertilitas pada istri sekitar 60-70% yang disebabkan oleh subfaktor anatomis

dan subfaktor fungsional. Subfaktor anatomis (kelainan alat kelamin) antara lain, yaitu

liang senggama (vagina), mulut rahim, rahim sendiri, saluran telur (tuba fallopi), indung

telur dan faktor lapisan dalam abdomen. Sedangkan, subfaktor fungsional yaitu kelainan

hormonal berupa gangguan sistem hormonal wanita dan dapat disertai kelainan bawaan,

gangguan pada pelepasan telur, gangguan pada korpus luteum (defisiensi korpus

luteum), atau gangguan implantasi hasil konsepsi dalam rahim (Manuaba, 2009). Selain

itu, menurut Prawirohardjo (2011) faktor penyebab infertilitas ada dua jenis yaitu jenis

non-organik antara lain usia, frekuensi senggama, pola hidup seperti konsumsi alkohol,

merokok, berat badan. Sedangkan jenis organik antara lain yaitu masalah pada vagina,

(15)

6

Dampak psikis yang timbul akibat ketidakhadiran anak dalam pernikahan adalah

stres. Griel (1991) melaporkan bahwa infertilitas akan meningkatkan ketegangan dalam

pernikahan. Pihak perempuan/istri seringkali disudutkan sebagai pihak yang paling

bertanggung jawab bila suatu pernikahan belum juga dikarunia anak (dalam Hidayah,

2010). Oleh karena adanya masalah yang berkaitan dengan status wanita dewasa, serta

adanya tekanan di dalam masyarakat untuk memiliki anak, maka tidak mengherankan

jika reaksi yang ditunjukkan oleh wanita yang mengalami infertilitas adalah depresi,

merasa bersalah, cemas dan takut (Bird & Melville, 1994). Stres infertilitas yang tinggi

dapat memengaruhi hubungan dengan pasangan menjadi kurang harmonis. Ryder

(dalam Hidayah & Hadjam, 2006) menjelaskan bahwa keberadaan anak memang

memengaruhi kepuasan pernikahan. Ketidakhadiran anak dalam rumah tangga sering

menimbulkan konflik-konflik rumah tangga yang berkepanjangan. Konflik-konflik itu

dapat berujung pada perceraian. Hasil penelitian Hull dan Tukiran (dalam Hidayah &

Hadjam, 2006) mengenai infertilitas di Indonesia menguatkan permasalahan di atas.

Ditemukan bahwa perempuan infertil lebih berkemungkinan untuk dicerai atau dimadu,

distigmatisasi, menjadikan infertilitas sebagai sumber “rasa malu”, menghabiskan

banyak waktu dan biaya untuk mengatasi infertilitas yang dialami, serta sulit untuk

menemukan peran yang penuh di dalam komunitasnya.

Namun, tidak semua pasangan mengalami dampak negatif dari masalah

infertilitas. Beberapa pasangan melaporkan bahwa keadaan infertilitas tersebut justru

membuat pasangan semakin meningkatkan keintiman dan komunikasi (Burn &

Covington, dalam Lee, Sun & Chao, 2001).Judson (dalam Hidayah & Hadjam, 2006)

menyatakan bahwa padadekade-dekade terakhir ini lebih dari 60%kasus perceraian

(16)

7

Routh (dalam Hidayah & Hadjam, 2006) menyimpulkan bahwa para istri yang

tidakmemiliki anak, baik yang dikehendaki maupunkarena mandul, secara umum tetap

merasapuas dengan kehidupan pernikahan mereka.Bagi mereka memiliki anak bukanlah

tujuanutama dalam sebuah pernikahan. Hubungan suami istri yang harmonis lebih

pentingdaripada anak.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk

mengetahui lebih mendalam mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada istri yang

mengalami infertilitas primer. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dimana peneliti akan meneliti lebih

mendalam supaya memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai masalah yang

diangkat dalam penelitian.

METODE PENELITIAN

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Hal

ini disesuaikan dengan sifat masalah yang akan diteliti karena tidak dapat diungkap

dengan menggunakan kuantitatif atau angka. Dalam penelitian tersebut data yang dapat

diperoleh berasal dari naskah wawancara dan observasi dengan tujuan agar dapat

mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena yang ada secara mendalam, rinci

dan tuntas. Selanjutnya data hasil wawancara akan dianalisis dengan teknik analisis

tematik yaitu teknik mencari tema-tema penting untuk mendeskripsikan fenomena

(Daly, Kellehear, & Gliksman, 1997, dalam Fereday & Muir-Cochrane, 2006). Selain

itu juga menggunakan teknik triangulasi yang digunakan untuk memeriksa keabsahan

data dengan memanfaatkan sesuatu yang diluar data untuk keperluan pengecekan atau

(17)

8 Partisipan

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendeskripsikan mengenai

gambaran kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas primer, sehingga

sumber data dalam penelitian ini adalah individu dengan karakteristik antara lain:

1. Istri yang telah menikah selama 3-5 tahun.Pertimbangan ini berdasarkan

pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock (1980), bahwa selama tahun pertama

dan kedua perkawinan pasangan suami istri biasanya harus melakukan

penyesuaian utama satu sama lain terhadap anggota keluarga masing-masing dan

teman-temannya. Setelah mereka saling menyesuaikan satu sama lain dengan

anggota keluarga dan teman-teman, mereka perlu menyesuaikan dengan

kedudukan mereka sebagai orang tua (tahun ketiga). Selain itu, setelah tahun

kelima kemungkinan kehamilan kurang dari 50% (Manuaba, 2009).

2. Istri yang berusia 20-35 tahun, karena dalam rentang usia tersebut perempuan

memiliki tingkat kesuburan yang tinggi yakni 94 persen (dalam Prawihardjo,

2011). Dalam usia tersebut seorang perempuan juga sudah mencapai

kematangan fisiologis yang berarti memungkinkan terjadinya pembuahan

(dalam Walgito, 2004).

3. Belum memiliki anak(infertilitas primer), yaitujika sebelumnya pasangan suami

istri belum pernah mengalami kehamilan(Prawihardjo, 2011).

Gambaran Umum Partisipan Penelitian

Inisial P1 (Y) P2 (N)

Usia saat menikah 22 tahun 24 tahun

Pendidikan terakhir SMA S1 Akuntansi

(18)

9

Usia pernikahan 3 tahun 9 bulan 3 tahun 4 bulan

Penyebab infertilitas Normal Tidak diketahui

Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan mengorganisasikan data kualitatif dengan

rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Kemudian peneliti membubuhkan kode-kode

pada materi-materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi

dan mensistematisasikan data secara detail sehingga dapat memunculkan gambaran

tentang topik yang dipelajari. Selanjutnya, melakukan pemadatan faktual dan

menemukan tema-tema. Setelah itu, peneliti mencoba memikirkan hubungan tema-tema

tersebut sehingga tersusun kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut disusun

sehingga menampilkan hubungan antarkategori. Terakhir adalah menarasikan

kategori-kategori tersebut (Poerwandari, 2007).

HASIL

Hasil analisis data memunculkan beberapa kategorisasi tema seperti berikut:

Makna anak bagi partisipan, sikap partisipan terhadap keadaaannya yang belum

memiliki anak di awal pernikahan, sikap partisipan terhadap saran-saran yang diberikan

oleh dokter, perasaan dan sikap partisipan setelah mengetahui hasil pemeriksaan,

dukungan yang diperoleh partisipan, dampak yang dirasakan partisipan dengan belum

hadirnya anak dalam rumah tangga, rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil

pemeriksaan, afeksi yang diperoleh partisipan, kemampuan problem-solving partisipan, tidak adanya agresi fisik maupun verbal yang dialami oleh partisipan, respons partisipan

(19)

10

mengelola keuangan, makna hubungan seksual bagi partisipan, sikap partisipan

terhadap pembagian peran dalam rumah tangga, hubungan partisipan dengan anggota

keluarga yang lain, sikap partisipan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar

kondisinya saat ini, pendapat partisipan mengenai kehidupan pernikahan orang tua dan

kehidupan masa kecilnya, gambaran kepuasan pernikahan partisipan.

Makna anak bagi partisipan

Anak menjadi salah satu harapan dari pernikahan bagi kedua partisipan.

Menurut kedua partisipan, salah satu tujuan pernikahan yaitu untuk mendapatkan

keturunan. Keberadaan anak dalam sebuah keluarga dirasa penting oleh kedua

partisipan.

Tabel 1. Makna anak bagi partisipan

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Makna anak bagi partisipan

“Yaa kehadiran anak itu penting ya dalam sebuah keluarga karena tujuan menikah pasti pengen punya keturunan. Jadi ya kehadiran anak ya sangat dinanti dalam perkawinan”.

Makna anak bagi partisipan

“Ya salah satunya sih itu untuk meneruskan keturunan”.

Sikap partisipan terhadap keadaaannya yang belum memiliki anak di awal pernikahan

Kedua partisipan sama-sama memiliki program alami di awal pernikahan.

Namun, setelah beberapa waktu belum mendapatkan hasil akhirnya mereka

memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.

Tabel 2. Awal pemeriksaan dan hasil pemeriksaan

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Awal pemeriksaan

“Dari awal pernikahan juga saya sudah sering periksa, cuma waktu itu kan masih pernikahan di awal-awal jadi saya masih tenang-tenang saja, cuma sekarang kan semakin kesini kan kok makin

Awal pemeriksaan

(20)

11 belum hamil juga kan kenapa jadi saya sering periksa”.

Inisiatif dari suami untuk

memeriksakan diri

“Ya coba dibawa ke dokter kenapa kok belum hamil, siapa tau ada masalah apa”.

Keluhan-keluhan yang disampaikan

“Yaa keluhannya sih sudah menikah 3 tahun kenapa kok belum bisa hamil, terus menstruasi saya kok tidak teratur”.

Hasil pemeriksaan

“Ya itu hormon masih tidak teratur, faktor kegemukan, saya diminta mengurangi berat badan supaya hormonnya teratur”.

Inisiatif untuk memeriksakan diri

“Dua-duanya, dua-duanya”.

Keluhan-keluhan yang disampaikan

“Kalau kita sudah menikah kurang lebih setahun terus kita belum mempunyai anak”.

Hasil pemeriksaan

“Kita kalau memang hasil kita baik berarti kan memang normal,,”.

Perasaan dan sikap partisipan setelah mengetahui hasil pemeriksaan

Setelah mengetahui hasil pemeriksaan, kedua partisipan merasa sedih karena

hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Meskipun hasil partisipan kedua (N) dinyatakan

baik dan sehat-sehat saja, namun N tetap merasa sedih dan bertanya-tanya mengapa ia

belum bisa hamil padahal kondisinya sehat.

Tabel 3. Respons partisipan dan suami setelah mengetahui hasil pemeriksaan

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Perasaan Y setelah mengetahui hasil

pemeriksaan

“Yaa sedih ya, cuma pengennya kan memang juga cepet hamil, cuma kalau kondisinya seperti ini ya mau gimana lagi”.

Respons suami setelah mengetahui hasil

pemeriksaan

“Suami cuma menyuruh saya untuk mengurangi berat badan, supaya saya ngikutin saran dokter”.

Perasaan Y setelah mengetahui hasil

pemeriksaan

“Kita sedihnya kok kenapa ya sehat semua kok belum jadi, maksudnya kok belum ada hasil”.

Respons suami setelah mengetahui hasil

pemeriksaan

(21)

12

Sikap partisipan terhadap saran-saran yang diberikan oleh dokter

Meskipun hasil pemeriksaan kurang baik, namun kedua partisipan berusaha

untuk menjalankan saran-saran dokter agar dapat memperlancar program kehamilan

yang sedang mereka jalani. Hanya saja, partisipan pertama (Y) terkadang lalai untuk

menjalankan saran dokter.

Tabel 4. Sikap partisipan terhadap saran-saran yang diberikan oleh dokter

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Saran-saran dokter yang dijalankan

“Kalau untuk yang diet dokter nyuruhnya itu waktu terakhir saya ke dokter itu sekitar 5 bulan lalu..”.

Saran-saran yang diabaikan

“Ya dokter menyarankan untuk dibantu dengan olahraga cuma saya ngga ada waktu”.

Saran-saran dokter yang dijalankan

“Saya program 2 tahun, dikasih vitamin terus. Beberapa bulan belakangan, 6 bulan lah, 6 bulan kita dikasih propertil, propertil itu obat penyubur, untuk menambah kesuburan atau gimana saya ngga tau, intinya gitu lah. Itu tiap bulan di hari ketiga mensitu kita minum obat sampai selama 5 hari, ya itu aja sih, ngga ada obat lain, cuma vitamin aja. Kalau itu hanya 6 bulan belakangan aja”.

Dukungan yang diperoleh partisipan

Kedua partisipan sama-sama mendapatkan dukungan baik dari suami maupun

anggota keluarga yang lain. Dukungan yang diterima oleh kedua partisipan menjadi

kekuatan tersendiri bagi partisipan untuk tetap tegar dalam menerima kondisi mereka

saat ini. Hal tersebut sesuai dengan pengakuan suami P1 dan ibu P2 yang memberikan

dukungan berupa pemberian semangat dan menghibur partisipan dalam menerima

infertilitas yang dialami serta dukungan untuk menjalankan saran-saran dari dokter.

Tabel 5. Dukungan yang diperoleh partisipan

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Kehadiran suami saat pemeriksaan

“Suami ikut nemenin, cuma belum sempet, belum sampai suami diperiksa kata dokternya sih memang belum perlu”.

Dukungan yang diperoleh partisipan

(22)

13

Dukungan yang diperoleh partisipan

“Sewaktu mertua tanya kenapa belum hamil juga padahal udah lama menikah bagaimana respons suami? Dia (suami) cuma ngomong ngga usah dimasukkin hati omongan orang tua”.

Respons partisipan terhadap dukungan

yang diperoleh

“Saya ya berharap suami bisa mengerti keadaan saya, dan dia ngga menuntut saya untuk cepet-cepet punya anak”.

Respons partisipan terhadap dukungan

yang diperoleh

“Alhamdulillah kita tidak saling menyalahkan”.

Dampak yang dirasakan partisipan dengan belum hadirnya anak dalam rumah tangga

Kedua partisipan sama-sama merasakan dampak dari belum adanya anak dalam

rumah tangga. Ada rasa iri yang muncul saat melihat aktivitas orang tua dan anak.

Selain itu, Y mendapatkan sedikit tekanan karena adik ipar yang baru menikah satu

bulan sudah menunjukkan tanda-tanda kehamilan.

Tabel 6. Dampak yang dirasakan partisipan dengan belum hadirnya anak

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Dampak yang dirasakan

“Hubungan pernikahan ya seperti kayak hambar, monoton, seperti itu itu aja setiap harinya”.

Dampak yang dirasakan

“Kalau lihat anak-anak kecil saya sama suami tu rasanya seneng tapi kadang ya sedih juga karena kita belum punya anak sendiri gitu”.

Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan

Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan membuat kedua

partisipan mengunjungi tiga dokter secara bergantian.

Tabel 7. Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Jumlah dokter yang dikunjungi

“Yang jelas sudah tiga dokter saya datengin dan ini mau ke empat kalinya saya mau ganti dokter lagi yang beda”.

Jumlah dokter yang dikunjungi

(23)

14

Alasan berganti-ganti dokter

“Yaa karena saya ingin mendapatkan jawaban yang berbeda”.

Alasan berganti-ganti dokter

“Sebenernya sih cari opini yang lain... Maksudnya untuk memastikan hasilnya gitu apakah sama atau ngga gitu? Itu salah satunya juga sih”.

Afeksi yang diperoleh partisipan

Meskipun kedua partisipan belum bisa memenuhi harapan suami untuk memiliki

anak, namun para suami tetap menunjukkan rasa sayang dan pengertian mereka

terhadap partisipan.

Tabel 8. Afeksi yang ditunjukkan suami

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Afeksi yang ditunjukkan suami

“Ya kalau tiap malem mau tidur gitu bilang I love you dengan perbuatan misalnya kalau tiap pagi mau berangkat kerja ya pamit cium kening”.

Afeksi yang ditunjukkan suami

“Dia lebih ke tindakan.Misalnya kalau kita pengen apapun gitu kan, dia langsung ngajakin, misal ke mall atau apa ya langsung hari ini, ngga perlu besok ya, seminggu lagi ya gitu”.

Kemampuan problem-solving partisipan

Ketika menghadapi masalah, kedua partisipan memiliki cara tersendiri dalam

menyelesaikan masalah tersebut. Jika N lebih menekankan pada diskusi untuk

mendapatkan solusi, Y justru lebih menekankan pada kesadaran diri untuk mengalah

dan mengerti apa yang diinginkan oleh pasangan.

Tabel 9. Kemampuan problem-solving partisipan

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Problem-solving partisipan

“Ya mengalah, salah satu harus ada yang mengalah.Ya saling mengerti apa kesukaan pasangan”.

Problem-solving partisipan

“Kita selalu berdiskusi gimana enaknya mencari solusi”.

Tidak adanya agresi fisik maupun verbal yang dialami oleh partisipan

Kedua partisipan tidak pernah mengalami kekerasan baik fisik maupun verbal

dari suami. Hal tersebut membuat kedua partisipan merasa nyaman berada di dekat

(24)

15

Tabel 10. Perilaku suami saat marah

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Perilaku suami saat marah

“Ngga sih, orangnya ngga pernah kasar”.

Perilaku suami saat marah

“Alhamdulillah ngga, kalau kata kasar ngga, cuma kadang keras, cuma keras. Menurut saya sih ngga kasar, cuma keras aja. Kalau kekerasan dalam rumah tangga ngga pernah”.

Respons partisipan saat sedang melakukan aktivitas bersama suami

Saat sedang melakukan aktivitas bersama kedua partisipan merasa senang.

Menurut N, banyak hal yang bisa dibicarakan saat bersama suami.

Tabel 11. Respons partisipan saat sedang melakukan aktivitas bersama suami

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Respons partisipan

“Ya seneng ya bisa berdua sama suami”.

Respons partisipan

“Ya seneng, karena bisa bersama kan. Jadi apapun kita ngobrol, apapun diobrolkan, ya bisa ketawa bersama kayak gitu”.

Kemampuan partisipan dalam mengelola keuangan

Untuk mengelola keuangan dalam rumah tangga kedua partisipan membuat

rincian dari setiap pengeluaran yang ada. Bagi N, gaji suami sudah cukup untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, sedangkan bagi Y ada ketidakpuasan finansial

karena Y terkadang merasa gaji suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Tabel 12. Kemampuan partisipan dalam mengelola keuangan

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Cara mengelola keuangan

“Yaa semua penghasilan suami kan udah ada aturannya, udah diatur pengeluaran tiap bulan. Ya sesuai dengan kebutuhan tiap bulan”.

Ketidakpuasan finansial

“Ya pernah, kalau pas tiap bulan pengeluaran membengkak pasti begitu”.

Cara mengelola keuangan

(25)

16 Makna hubungan seksual bagi partisipan

Bagi kedua partisipan, hubungan seksual dipandang sebagai sebuah kewajiban

seorang istri. Meskipun begitu, kedua partisipan sama-sama merasakan kepuasan dalam

hubungan seksual dengan alasan yang berbeda.

Tabel 13. Makna hubungan seksual bagi partisipan

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Makna hubungan seksual

“Makna hubungan suami istri ya itu salah satu juga kewajiban saya sebagai istri melayani suami, terus juga itu juga bisa menambah hubungan lebih intens ya sama suami”.

Pengertian satu sama lain

“Ya kan saya menolak pasti ada alasannya, kalau lagi ngga fit, capek, ya dia mengerti kalau saya lagi ngga ingin”.

Makna hubungan seksual

“Sebenarnya saya membaca hubungan itu baik ya untuk peredaran darah kita, untuk kepuasan kita gitu kan. Kalau suami dia lebih semangat gitu dan untuk kesehatan juga”.

Pengertian satu sama lain

“Kalau pas capek iya, kalau pas capek aja sih.Intinya kan kita ngga boleh menolak suami, cuma kalau pas capek suami juga mengerti sih”.

Sikap partisipan terhadap pembagian peran dalam rumah tangga

Pembagian peran dalam rumah tangga kedua partisipan dilakukan berdasarkan

kesepakatan bersama sehingga tidak ada komplain atau rasa tidak puas terhadap

tanggung jawab masing-masing.

Tabel 14. Sikap partisipan terhadap pembagian peran dalam rumah tangga

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Pembagian peran

“Yaa suami bekerja ya, saya ngurus rumah tangga”.

Perasaan terhadap peran yang didapat

“Yaa menurut saya sih sudah sesuai ya, memang sudah sesuai dan memang sudah kewajiban”.

Pembagian peran

“Kalau peran sendiri kalau untuk rumah, bersih-bersih rumah atau segala macem itu saya sudah menangani sendiri, jadi suami itu cukup bekerja”.

Perasaan terhadap peran yang didapat

(26)

17

Hubungan partisipan dengan anggota keluarga yang lain

Kedua partisipan merasa hubungan mereka dengan anggota keluarga yang lain

baik-baik saja meskipun tidak begitua akrab sehingga tidak ada yang mengganggu.

Tabel 15. Hubungan partisipan dengan anggota keluarga yang lain

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Hubungan dengan kerabat

“Baik-baik aja. Ya, ngga begitu akrab.”

Hubungan dengan kerabat

“Hubungannya baik, ngga ada permasalahan, sama adek-adek, sama keluarga yang lain”.

Sikap partisipan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar kondisinya saat ini

Terdapat perbedaan respons partisipan dalam menghadapi

pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar kondisi mereka yang belum bisa memiliki anak.

Tabel 16. Sikap partisipan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar kondisinya saat ini

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Perasaan saat menghadapi pertanyaan

seputar kondisi yang dialami

“Perasaannya ya sakit ya kayak kecewa ya kok seakan-akan seperti memojokkan saya padahal kan belum tentu juga dengan kondisi itu saya tidak bisa hamil,”

Perubahan respons saat menghadapi

pertanyaan seputar kondisi yang

dialami

“Ya perasaannya sih pertama-pertama sih saya kecewa ya cuma setelah itu ya biasa aja sih”.

Perasaan saat menghadapi pertanyaan

seputar kondisi yang dialami

(27)

18

Pendapat partisipan mengenai kehidupan pernikahan orang tua dan kehidupan masa kecilnya

Kedua partisipan tidak merasakan adanya gangguan atau hal-hal yang membuat

partisipan trauma dari riwayat kehidupan pernikahan orang tua partisipan. Kedua

partisipan juga merasakan kepuasan pada kehidupan masa kecilnya.

Tabel 17. Pendapat partisipan mengenai kehidupan pernikahan orang tua dan kehidupan masa kecilnya

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Pendapat partisipan mengenai

kehidupan pernikahan orang tua

“Biasa saja. Ya kadang berantem soal macem-macem lah. Ngga pengen ikut campur urusan orang tua.”

Pendapat partisipan mengani masa

kecil

“Masa kecilku ya bisa dibilang masa kecilku lebih bahagia sih daripada sekarang. Masa kecilku kan aku anak pertama, otomatis kalau anak pertama kan kalau pasangan yang menikah terus dapet anak pertama kan pasti anak pertama paling dimanja. Naah apa yang aku pengen tuh pasti dituruti sama orang tuaku. Jadi kalau saya bisa balik ke masa kecil ya pengen balik ke masa kecil”.

Pendapat partisipan mengenai

kehidupan pernikahan orang tua

“Kalau pernikahan orang tua saya baik, sangat baik malah ya, jadi saling berbagi peran, mencari nafkah, kerjaan rumah tangga”,

Pendapat partisipan mengnai masa

kecil

“Masa kecil baik-baik saja, bahagia, bermain, belajar, enjoy sih, menikmati”.

Gambaran kepuasan pernikahan partisipan

Kedua partisipan sama-sama merasakan kepuasan dalam pernikahan meskipun

ada pula rasa tidak puas terhadap pernikahan mereka. Akan tetapi, kedua partisipan

mencoba mengambil sisi positif dari apa yang mereka alami sekarang.

Tabel 18. Gambaran kepuasan pernikahan partisipan

Partisipan 1 (Y) Partisipan 2 (N)

Kepuasan pernikahan

“Ya kalau dibilang puas ngga puas ya sebenernya ngga puas ya....Misalnya dari finansial semua

Kepuasan pernikahan

(28)

19 sendiri, terus juga udah ngga bisa seperti waktu masih belum menikah, masih bisa kemana tiap saya mau terserah saya. Sekarang kan ada yang harus saya istilahnya saya harus kalau mau kemana-mana harus ada tanggungan, suami saya, seperti itu”.

Kepuasan terhadap infertilitas yang

dialami

“Yaa sebenarnya sih ada puas juga sih, maksudnya kan umur saya masih muda saya belum dikasih anak kan juga walaupun sudah menikah sebenarnya saya juga ada rasa senengnya juga karena saya belum punya tanggungan yang terlalu besar..

di rumah”.

Kepuasan terhadap infertilitas yang

dialami

“Intinya alhamdulillah bersyukur sih cuma ada keinginan itu yang belum terkabul jadi kadang ada rasa yang sedih, maksudnya sedih karena belum punya anak itu aja sih tapi untuk sampai saat ini kita puas”.

PEMBAHASAN

Kedua partisipan menikah dalam rentang usia 22-25 tahun, dimana menurut

Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) salah satu tugas perkembangan

pada masa dewasa awal yaitu menikah atau membangun suatu keluarga. Alasan mereka

untuk menikah pun berbeda-beda. Y memutuskan untuk menikah karena ia merasa

sudah cocok, suka sama suka dan daripada pacaran terus menerus lebih baik langsung

menikah. Sedangkan N, ia menikah karena merasa sudah waktunya menikah, sesuai

harapannya yang ingin menikah di usia 25 tahun.

Kedua partisipan memiliki kesamaan harapan dalam pernikahannya yaitu dapat

selalu bersama dengan pasangan dan memiliki keturunan. Kedua partisipan sama-sama

memaknai anak sebagai salah satu tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan yang

dikemukakan oleh kedua partisipan sama seperti pendapat Soemiyati (1982) yang

menyatakan bahwa salah satu tujuan pernikahan yaitu memperoleh keturunan yang sah.

Setelah menikah, kedua partisipan sama-sama ingin mencoba cara alami untuk

mendapatkan keturunan. Y merasa tenang-tenang saja dengan cara alami karena masih

di awal-awal pernikahan. Begitu pula dengan N yang ingin mencoba cara alami karena

(29)

20

kemungkinan hamil 60%, lalu meningkat menjadi 75% per 9 bulan dan 90% per 18

bulan. Kemudian menurun seiring dengan meningkatnya usia (Benson & Pernoll, 2008).

Namun, karena belum ada hasil dalam kurun waktu yang cukup lama (kurang lebih satu

tahun), akhirnya kedua partisipan mencoba untuk memeriksakan diri ke dokter karena

takut ada masalah dengan kesehatan mereka. Sesuai dengan pernyataan Prawirohardjo

(2011) yang menyatakan bahwa infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh

pasagan suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan

hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi, tetapi belum

berhasil memperoleh kehamilan. Setelah melakukan pemeriksaan, kedua partisipan

mendapatkan hasil yang berbeda dari pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan

kesehatan Y dinyatakan normal oleh dokter berdasarkan USG yang dilakukannya. Yang

menyebabkan infertilitas pada Y adalah kelebihan berat badan. Hal ini selaras dengan

pendapat Prawirohardjo (2011) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab infertilitas

yaitu faktor kegemukan. Kelebihan berat badan pada Y menyebabkan masalah hormon

yang menyebabkan tidak teraturnya masa menstruasi. Begitu pula dengan kesehatan N

yang dinyatakan normal oleh dokter setelah pemeriksaan mendetail mulai dari USG,

pengecekan sel telur, sel sperma dan terakhir HSG.

Setelah hasil pemeriksaan tersebut, kedua partisipan merasa sedih sekaligus

kecewa karena hasilnya tidak sesuai dengan harapan.Y merasa sedih, keinginannya

untuk bisa segera hamil harus tertunda karena faktor kegemukan. Hal tersebut membuat

Y pasrah akan kondisi yang dialaminya. Sedangkan N merasa sedih karena belum bisa

hamil padahal hasil pemeriksaannya normal dan merasa sedikit lega karena tidak ada

masalah dengan kesehatannya dan kesehatan suami.Setelah mengetahui hasil

(30)

21

memberi semangat pada kedua partisipan dan tidak lantas menyalahkan.Suami Y

memberi dukungan kepadanya untuk diet seperti saran dokter. Namun, suami Y tidak

lantas menekan Y agar sesegera mungkin menurunkan berat badannya. Hal tersebut

ditunjukkan dengan masih diberikannya toleransi kepada Y untuk libur diet pada

hari-hari tertentu. Hal tersebut menjadi sebuah dukungan yang membuat kedua partisipan

dapat menerima kondisinya. Meskipun ada dampak-dampak yang dirasakan oleh kedua

partisipan dengan belum hadirnya anak dalam rumah tangga mereka. Y merasakan

kehidupan rumah tangga yang hambar dan monoton karena aktivitas yang dijalani setiap

harinya sama. Sedangkan N, merasa iri saat melihat aktivitas orang tua dan anak. N dan

suami kemudian saling menguatkan dengan mengatakan bahwa suatu saat mereka pasti

dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tua.

Setelah hasil pemeriksaan yang pertama, kedua partisipan merasa kurang puas

dengan hasil pemeriksaan tersebut dan ingin mencari pendapat lain mengenai kondisi

kedua dari dokter yang lain. Kedua partisipan sama-sama sudah mendatangi tiga dokter

secara bergantian dan mendapatkan hasil yang sama pula. Pada Y kegemukan yang

memengaruhi sikus menstruasinya menjadi tidak teratur sehingga menghambat

pembuahan. Sedangkan pada N,secara keseluruhan dinyatakan normal seperti

pernyataan dokter sebelumnya.Setelah mendapatkan hasil yang sama seperti

pemeriksaan sebelumnya, akhirnya kedua partisipan dapat menerima hasil tersebut dan

menjalankan saran-saran yang diberikan oleh dokter. Y mulai menjalankan diet kalori

untuk menurunkan berat badannya, namun beberapa waktu ini ia sedikit lalai dengan

dietnya dan tidak menjalankan saran dokter yang lain seperti olahraga. Hal tersebut

dipengaruhi oleh tidak adanya desakan dari suami yang menuntutnya untuk segera

(31)

22

adik sekolah di luar kota yang membuat Y tidak memiliki waktu untuk berolahraga.

Sedangkan N, selalu teratur mengikuti saran dokter dengan mengkonsumsi vitamin serta

obat penyubur (propertil). Infertilitas yang dialami oleh kedua partisipan juga tidak

memengaruhi kasih sayang dan pengertian yang diberikan oleh suami. Suami kedua

partisipan tetap menunjukkan kasih sayangnya dengan cara masing-masing.

Permasalahan yang sering muncul dalam pernikahan kedua partisipan

berbeda-beda. Dalam pernikahan Y, masalah yang sering muncul yaitu masalah keuangan dan

perbedaan cara berpikir. Masalah keuangan tersebut seperti baik partisipan maupun

suami sama-sama ingin memiliki sisa uang lebih dari pengeluaran setiap bulannya.

Sedangkan masalah berbeda pemikiran yaitusuami ingin melakukan hal-hal yang dirasa

kurang penting bagi partisipan seperti pergi ke tempat-tempat yang disukai oleh suami,

namun tidak disukai oleh partisipan. Untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut

biasanya salah satu di antara mereka mengalah dan mengerti kondisi yang sedang terjadi

dalam rumah tangga. Masalah keuangan yang biasa timbul yaitu keinginan untuk

mendapatkan uang lebih dari sisa pengeluaran setiap bulannya. Terkadang, pengeluaran

mereka juga membengkak karena hobi berbelanja yang sangat disukai oleh Y.

Sedangkan masalah yang biasa dihadapi oleh N dan suami yaitu masalah-masalah

sepele seperti perbedaan selera makan. Mereka cenderung mencari solusi dengan

berdiskusi agar keduanya tidak ada yang dirugikan seperti memilih tempat makan yang

bisa memenuhi selera keduanya.Menurut Atwater dan Duffy (2005), pasangan yang

memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara bersama-sama cenderung

merasakan kepuasan dalam pernikahannya. Saat sedang berselisih seperti itu, suami

kedua partisipan tidak menunjukkan perilaku yang kasar. Suami kedua partisipan tidak

(32)

23

leluasa untuk berkomunikasi dan merasa nyaman berada di dekat suami.Kekerasan

dalam rumah tangga biasanya dipicu oleh pernikahan yang tidak bahagia sesuai dengan

berbagai behasil penelitian (Ross, Mirowsky, & Goldsteen dalam Prasetya, 2007).

Kedua partisipan selalu meluangkan waktu untuk bersama suami. Meskipun Y

dan suami tidak memiliki kesamaan hobi, namun mereka selalu meluangkan waktu

untuk sekedar makan bersama di sela-sela kesibukan yang mereka jalani.Sedangkan N,

memiliki perencanaan waktu untuk dihabiskan bersama setiap akhir pekan dengan

berolahraga bersama dan berbelanja kebutuhan rumah tangga atau hanya sekedar

jalan-jalan. Bagi N, yang penting bisa selalu berdua sama suami. Kedua partisipan merasakan

kebahagiaan saat bersama suami karena dapat berbagi segala hal dan membuat

hubungan mereka menjadi lebih intim. Dalam kebersamaan tersebut kedua partisipan

merasakan keintiman bersama suami. Hal-hal yang terkandung dalam keintiman yaitu

saling berbagi baik minat, aktivitas, pemikiran, perasaan, serta nilai yang dimiliki

pasangan (Robinson & Blanton, 1993).

Untuk menjalankan kehidupan rumah tangganya, kedua partisipan membagi

peran yang disepakati bersama suami. Para istri bertanggung jawab untuk urusan rumah

termasuk mengelola keuangan, sedangkan para suami bertanggung jawab untuk mencari

nafkah. Namun, tidak jarang juga mereka berbagi tanggung jawab saat partisipan tidak

dapat melaksanakan tanggung jawabnya karena sakit. Dalam pengelolaan keuangan,

kedua partisipan memiliki kesamaan dengan membuat laporan keuangan sesuai rincian

pengeluaran yang dilakukan setiap bulannya. Jika Y dan suami memiliki permasalahan

keuangan saat keduanya sama-sama menginginkan uang lebih. Lain halnya dengan N

yang tidak pernah memiliki permasalahan dalam hal keuangan. Meskipun keduanya

(33)

24

lebih merasakan kepuasan karena merasa semua kebutuhannya sudah tercukupi oleh

suami.

Kedua partisipan juga melakukan kewajiban mereka sebagai istri dengan baik

untuk melayani suami. Kedua partisipan sama-sama memandang hubungan seksual

sebagai sebuah kewajiban seorang istri. Selain sebagai kewajiban, Y memandang

hubungan seksual sebagai alat untuk menambah keintiman dengan suami. Sedangkan, N

memiliki tujuan lain dalam hubungan seksualnya yaitu untuk kesehatan suami dan

membuat suami menjadi lebih bersemangat.Infertilitas yang dialami oleh partisipan

tidak memengaruhi kualitas hubungan seksual mereka. Frekuensi hubungan seksual

mereka justru lebih teratur sesuai saran dokter. Suami kedua partisipan juga mengerti

ketika kedua partisipan tidak dapat melakukan kewajibannya karena capek. Menurut

Duvall dan Miller (1985), pasangan yang dapat merasakan kepuasan dalam

berhubungan seksual di dalam pernikahan akanmemengaruhi kepuasan pernikahan.

Dengan kondisi yang seperti sekarang ini, kedua partisipan sama-sama

menghadapi berbagai pertanyaan tentang kondisi yang dialaminya tersebut dari

orang-orang di sekitarnya termasuk keluarga. Y merasa kecewa dan sakit hati dengan

pertanyaan-pertanyaan yang seolah-olah memojokkan dirinya. Menurut Y, hal itu tidak

sepenuhnya ia yang salah karena belum dilakukan pemeriksaan terhadap suaminya.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu Y mulai terbiasa dengan

pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisinya tersebut dan menanggapinya dengan santai.

Sedangkan N menganggap pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya mengenai

kondisinya itu merupakan hal yang wajar, sehingga ia pun menanggapinya dengan

positif dengan meminta doa agar harapannya untuk memiliki anak dapat segera

(34)

25

keluarga yang lain meskipun hubungan mereka juga tidak tergolong dekat. Pada Y,

pertanyaan mertua mengenai kondisinya juga tidak membuat hubungan dengan

mertuanya menjadi renggang. Hal tersebut ditunjukkan dengan kedatangannya di acara

makan siang bersama keluarga beberapa waktu lalu. Pasangan yang memiliki sedikit

konflik dengan mertua memengaruhi kepuasan pernikahan mereka (Bryant, Conger &

Meehan, 2001).

Kedua partisipan sama-sama memandang kehidupan pernikahan orang tua

baik-baik saja. Adanya permasalahan yang dihadapi orang tua dalam pernikahan dipandang

sebagai sesuatu yang wajar dalam rumah tangga.Mereka sebagai anak sama-sama tidak

ingin ikut campur dalam urusan tersebut. Permasalahan yang biasanya muncul pada

orang tua yaitu masalah keuangan. Meskipun begitu, kedua partisipan menilai masa

kecilnya cenderung bahagia dan menikmati masa kecil tersebut.Terutama Y yang

merasakan bahwa masa kecilnya lebih bahagia daripada masa sekarang. Hal tersebut

dikarenakan masalah finansial yang ia hadapi setelah berumah tangga. Saat kecil, segala

keinginannya dipenuhi oleh orang tua, sedangkan sekarang ia harus berusaha sendiri

untuk memperoleh apa yang diinginkannya terlebih dengan hobi belanja yang ia miliki.

Hal tersebut menimbulkan penyesalan terhadap keputusannya menikah muda yang

membuatnya merasa tidak puas dengan pernikahannya sekarang. Selain itu, aktivitas

yang terbatasi karena adanya tanggung jawab untuk mengurus suami juga menjadi

penyebab ketidakpuasan Y pada pernikahannya. Oleh karena itu, Y bersyukur dengan

infertilitas yang dialaminya sekarang karena dengan begitu tanggung jawabnya tidak

bertambah dan aktivitasnya belum terbatasi sepenuhnya di usianya yang masih muda

(35)

26

kurang dari pernikahannya. Belum hadirnya anak bukan merupakan suatu penentu

kepuasan atau kebahagiaan, hanya keinginan yang belum tercapai.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang dilakukan, maka kesimpulanyang diperolehdari

penelitian ini adalah kedua partisipan merasakan kepuasan pada pernikahan mereka

meskipun mengalami infertilitas primer. Hal tersebut ditunjukkan dari evaluasi positif

yang dirasakan oleh kedua partisipan pada jumlah afeksi yang diberikan oleh suami,

kefektifan dalam menyelesaikan masalah, tidak adanya agresi fisik dan verbal yang

dilakukan oleh suami, cukupnya waktu luang untuk bersama, kepuasan terhadap kondisi

finansial meskipun terkadang partisipan pertama merasa kurang puas ketika

pengeluaran membengkak, kepuasan terhadap frekuensi dan kualitas hubungan seksual,

pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga yang dirasa sudah adil, serta tidak

adanya gangguan hubungan dalam keluarga, meskipun partisipan pertama merasa masa

kecilnya lebih bahagia dari masanya sekarang.

Meskipun kedua partisipan mengalami kesedihan saat mengetahui dirinya

memiliki kendala dalam upaya memiliki keturunan, namun tidak membuat kedua

partisipan merasa tertekan dan masih dapat melakukan aktivitasnya secara normal.

Kehadiran anak dalam rumah tangga memang dianggap penting bagi kedua partisipan,

namun hal itu bukan penentu kebahagiaan mereka karena sekarang tanpa anak pun

mereka dapat merasakan kebahagiaan bersama suami.Alasan kepuasan yang mereka

rasakan pun berbeda-beda. Pada partisipan pertama yaitu Y, meskipun beranggapan

bahwa kehadiran anak sangat penting bagi hubungan rumah tangga, tapi secara

(36)

27

setelah memiliki anak. Hal ini dikarenakan ia memiliki keyakinan bahwa mengurus

anak merupakan sebuah pekerjaan yang merepotkan serta kekuatiran Y jika ia memiliki

anak dalam waktu dekat, maka tidak ada yang membantunya mengurus anak. Selain itu,

meskipun Y belum memiliki anak suaminya tidak pernah mendesak dan puas karena

menjalani hari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki kewajiban untuk

merawat anak. Sedangkan bagi partisipan kedua yaitu N, kepuasan yang dirasakan

olehnya karena ia mendapat dukungan dari orangtua dan suami yang tidak pernah

mendesak untuk segera memiliki anak. Selain itu, hasil pemeriksaan yang menyatakan

bahwa tidak ada masalah dengan kondisi mereka membuat N tidak kuatir dan membuat

N lebih menikmati masa-masa berdua bersama suami. Keduanya sama-sama

menunjukkan respons positif yang diberikan oleh suami yang selalu mendukung dan

tidak pernah menuntut kedua partisipan untuk segera memberikan keturunan maupun

menyalahkan kondisi infertilitas yang dialami oleh partisipan. Infertilitas yang dialami

oleh kedua partisipan juga dirasa menambah keintiman dengan suami karena banyaknya

waktu luang dan aktivitas yang bisa mereka lakukan bersama.

Melalui penelitian ini diharapkan bagi pihak keluarga agar dapat memberikan

dukungan terhadap partisipan/para istri yang mengalami infertilitas karena bukan hanya

istri saja yang dapat mengalami infertilitas tetapi suami juga dapat mengalaminya. Oleh

karena itu, disarankan untuk melakukan pemeriksaan yang mendalam agar tidak terjadi

kesalahpahaman dan saling menyalahkan. Adanya keterbukaan mengenai infertilitas

yang dialami. Selain itu, diharapkan bagi pasangan-pasangan yang akan menikah untuk

mengikuti konseling pra-pernikahan untuk mempersiapkan diri secara psikologis dalam

menghadapi kehidupan pasca pernikahan. Kemudian, untuk penelitian selanjutnya

(37)

28

istri yang mengalami infertilitas primer. Selain itu, diharapkan penelitian selanjutnya

untuk meneliti pengaruh latar belakang suku terhadap munculnya perasaan tertekan

karena kondisi infertilitas yang dialami seseorang. Hal tersebut mengingat di Indonesia

sendiri ada suku yang menganut sistem patriarki dan menganggap kehadiran anak

merupakan suatu kewajiban sebagai penerus keturunan.

Dalam penelitian ini, peneliti mengalami keterbatasan riset seperti kurangnya

partisipan yang mau berpartisipasi karena merasa malu dan tabu untuk membicarakan

hal pribadi (kehidupan pernikahan), sehingga data yang diperoleh kurang

(38)

29

DAFTAR PUSTAKA

Atwater, E., & Duffy, K. G. (2005). Psychology for living: Adjusment, growth and behavior today (8thed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Benson, R.C.,& Pernoll, M.L. (2008). Buku saku obstetric dan ginekologi. Jakarta: EGC.

Bird, G.W..& Melville, K. (1994). Families and intimate relationship. New York: McGraw Hill.

Bryant, C. M., Conger, R. D., & Meehan, J. M. (2001). The influence of in-laws on change in marital success. Journal of Marriage and the Family, 63(3), 614-626. Demartoto, A. (2008). Laporan penelitian: Dampak infertilitas terhadap pernikahan

(Suatu kajian perspektif gender). Surakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universtas Sebelas Maret.

Duvall, E. M., & Miller, J. E. (1985). Marriage and family development (6th ed.). New York: Harper & Row.

Fereday, J., & Muir-Cochrane, E. (2006). Demonstrating rigor using thematic analysis: A hybrid approach of inductive and deductive coding and theme development.

International Journal of Qualitative Methods, 5(1), 1-11. Diakses dari http://ejournals.library.ualberta.ca/index.php/IJQM/article/view/4411

Henderson, C. & Jones, K. (2005). Buku ajar konsep kebidanan. Jakarta: EGC.

Hidayah, N., & Hadjam, N. R. (2006). Perbedaan kepuasan perkawinan antara wanita yang mengalami infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Indonesian Psychological Journal, 3(1), 7-17.

Hidayah, N.(2010). Nilai anak, stres infertilitas dan kepuasan pernikahan pada wa nita yang mengalami infertilitas. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

Hurlock, E.B. (1980). Developmental psychology: A life-span approach. New York: McGraw Hill.

Lee, T.Y., Sun, G.H., & Chao, S.C. (2001). The effect of an infertility diagnosis on the distress, marital and sexual satisfaction between husbands and wives in Taiwan.

Journal of Human Reproduction, 16(8), 1762-1767.

Manuaba, I.B.G. (1998). Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana untuk pendidikan bidan. Jakarta: EGC.

Manuaba, I.A.C., Manuaba, I.B.G.F., & Manuaba, I.B.G. (2009). Memahami kesehatan reproduksi wanita. Jakarta: EGC.

(39)

30

Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (2001). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2007). Adult development and aging (3th ed.). Boston: McGraw Hill.

Parenting Indonesia. (2012, Oct 21). Frekuensi seks agar cepat hamil. Diunduh dari http://www.parenting.co.id/article/hamil/frekuensi.seks.agar.cepat.hamil/001/00 1/141

Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia

(Edisi 3). Depok: LPSP3.

Prasetya, B. E. A. (2007). Usia kronologis dan usia pernikahan sebagai prediktor kepuasan pernikahan pada kaum istri di Metro Manila. Anima, Indonesian Psychological Journal, 22(2), 101-107.

Prawirohardjo, S. (2011). Ilmu kandungan (Ed.3). Jakarta: PT Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Robinson, L. C., & Blanton, P. W. (1993). Marital strengths in enduring marriages. Journal of Family Relations, 42(1), 38-45.

Santrock, J. W. (1999). Life-span development (7th ed.). USA: McGraw-Hill. Santrock , J.W. (2006). Life-span development. New York: McGraw-Hill Education. Snyder, D.K. (1997). Manual for the marital satisfaction inverntory-revised. Los

Angeles, CA: Western Psychological Services.

Soemiyati. (1982). Hukum pernikahan Islam dan Undang-Undang pernikahan. Yogyakarta: Liberty.

Turner, J. S., & Helms, D. B. (1995). Life-span development (5th ed.). USA: Harcourt Agostini Editions.

Gambar

Tabel 1. Makna anak bagi partisipan
Tabel 3. Respons partisipan dan suami setelah mengetahui hasil pemeriksaan
Tabel 5. Dukungan yang diperoleh partisipan
Tabel 7. Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis persenta- se pada tabel 2 diperoleh bahwa peranan Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) SMP Negeri di Kota Semarang tahun 2015 memiliki

Data dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes dan ditemukan bahwa orang yang mengunggah foto dengan tagar #hitskekinian memiliki orientasi gaya hidup fashion yang

Judul : IMPLEMENTASI PROBLEM SOLVING LABORATORY SEBAGAI MODEL KEGIATAN LABORATORIUM FISIKA BERBASIS INQUIRY PADA MATA KULIAH PRAKTIKUM FISIKA DASAR UNTUK MENINGKATKAN

Petunjuk menyelesaikan soal latihan. 1) Statistik pelayanan kesehatan adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menginterpretasikan

Sampel pengrajin gula aren yaitu 90 pengrajin yang ditentukan dengan proporsional random sampling, sampel pedagang 36 pedagang dengan snowball sampling,

Mereka memahami bahwa pola umum di Kota Singaraja adalah pola egaliter yang ditandai oleh penggunaan kode biasa , tetapi ada juga sekelompok penutur tertentu

The Ismailis: Ismailis  mereka mengenal enam imam pertama yang sama dengan Twelvers akan tetapi berbeda dengan yang ke tujuh  yaitu Ismail, oleh karenanya

Sampel dalam penelitian ini diambil secara acak (random sampling). Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen yang berbentuk tes kemampuan berfikir