• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB IV"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

KEHIDUPAN KOMUNITAS PENGUSAHA

INDUSTRI KECIL BISNIS KELUARGA BORDIR

DI KABUPATEN KUDUS

Kudus sebagai Kota Industri

Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah bagian utara, di lereng gunung Muria, sekitar 50 km dari Kota Semarang, ibukota Jawa Tengah. Letak wilayah Kabupaten Kudus di antara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Pati, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110o 36dan 110o 90‟

Bujur Timur dan antara 6o 51‟ dan 7o16‟ Lintang Selatan, jarak terjauh

dari barat ke timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 32 km. Berada pada ketinggian rata-rata ± 55 meter di atas permukaan air laut. Secara umum Kabupaten Kudus yang berada di sebelah selatan Gunung Muria dipengaruhi iklim tropis, dan bertemperatur sedang, berkisar antara 18,30(C ) - 29,60 (C ). Kabupaten Kudus bercurah hujan relatif

rendah, yaitu rata-rata di bawah 2.000mm/tahun, dan berhari hujan rata-rata 103 hari/tahun.

(2)

persen), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kota seluas 1.047 Ha (2,46 persen) dari luas Kabupaten Kudus.

Sumber: Kudus dalam Angka, 2013

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Kudus

(3)

paling tinggi persentase jumlah penduduknya adalah Kecamatan Jati yakni sebesar 12,90 persen dari jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Kudus, kemudian berturut-turut Kecamatan Jekulo 12,76 persen dan Kecamatan Dawe 12,28 persen. Dari jumlah itu, tenaga kerja terampil yang merupakan gambaran sumber daya manusia di Kudus sebesar 125.401 orang terdiri dari jumlah tenaga kerja perempuan sebesar 88.610 orang (70,66 persen), sedangkan laki-laki sebanyak 36.791 orang (29,34 persen) yang tersebar pada 1.178 perusahaan.

Berdasarkan jumlah penduduk Kabupaten Kudus (Laporan Kudus dalam Angka 2012/2013) yang memeluk agama Islam sebanyak 772.473 orang, Kristen Protestan sebanyak 12.657 orang, Kristen Katolik sebanyak 5.159 orang, Hindu sebanyak 24 orang, Budha sebanyak 1.114 orang dan lain-lain (aliran kepercayaan) sebanyak 464 orang dan memiliki tempat peribadatan yang beragam, yaitu masjid 657 unit, Mushola/Langgar 1.931 unit, Gereja Kristen 22 unit, Gereja Katholik sebanyak 2 unit, Vihara Budha 11 unit, Klenteng sebanyak 3 unit. Ini menunjukan suasana kerukunan hidup beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat didambakan masyarakat, juga menunjukan betapa hidupnya pluralisme masyarakat Kudus.

(4)

Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014

Gambar 4.2 Masjid dan Menara Kudus

Sejarah keberadaan Kota Kudus tidak lepas dari sosok wali yang dikenal dengan Kanjeng Sunan Kudus dan Sunan Muria, namun Sunan Kudus pengaruhnya lebih menonjol dibanding Sunan Muria dalam kiprah dakwahnya di Kudus. Nama Kudus menurut cerita masyarakat, tidak lepas dari jasa Sunan Kudus atau Ja‟far Shodiq, salah seorang Walisongo yang menjadi senopati di Demak, yang diperintahkan oleh penguasa Demak untuk menyiarkan agama Islam di Kudus (Salam, 1977). Namun menurut Graaf dan Pigeaud (1985), perpindahan Ja‟far Shodiq dari Demak ke Kudus diakibatkan oleh perselisihan tentang awal bulan Ramadhan dengan raja Demak1 dan terjadi persaingan antara Ja‟far Shodiq dengan Sunan Kalijaga yang berasal dari Cirebon datang mengabdi di Kerajaan Demak, maka untuk menghindari

persaingan yang tidak baik Ja‟far Shodiq meminta Sultan Demak agar

hijrah ke Kudus. Sebelum kedatangan Ja‟far Shodiq di Kudus terlebih

dahulu telah datang seorang dari Yunan bernama The Ling Sing yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Telingsing.

Bersama-sama dengan Ja‟far Shodiq, Kyai Telingsing membangun daerah kecil ini menjadi besar dan berkembang. The Ling Sing2 seorang seniman pemahat berasal Yunan-Cina dan seorang

pedagang yang kemudian menyerahkan kekuasaan Kota Kudus kepada

(5)

kampung Sunggingan-Kudus. Pada waktu Ja‟far Shodiq menunaikan ibadah Haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab telah terjadi wabah penyakit yang membahayakan masyarakat Arab pada waktu itu.

Kemudian atas bantuan Ja‟far Shodiq wabah penyakit tersebut bisa

reda. Oleh karena itu Ja‟far Shodiq mendapat hadiah dari salah seorang

amir, namun Ja‟far Shodiq menolak hadiah yang diberikan amir

tersebut, ia hanya meminta batu sebagai kenang-kenangan. Batu3

tersebut menurut sang amir berasal dari kota Baitul Makdis atau Jeruzalem (Al Quds) yang kemudian batu tersebut dipasang di atas

Mihrab Masjid Kudus sebagai peringatan dimana Ja‟far Shodiq sebagai

penguasa Kudus yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Kudus,

kata “Kudus” berasal dari bahasa arab “Al Quds4” yang berari“suci”. Geertz (1977) dalam bukunya ”Penjaja dan Raja” meng -ungkapkan bahwa tenaga pendorong dalam perkembangan kota secara tetap dan pasti bukanlah perdagangan setempat dan bukan pihak pembikinan barang setempat, melainkan perdagangan jarak jauh, bahkan akhirnya perdagangan internasional. Perdagangan jarak jauh itu telah menyatukan berbagai daerah di Jawa menjadi satu jaringan perdagangan dan juga menghubungkan Pulau Jawa sebagai keseluruhan dengan jalan lalu lintas yang vital untuk ekonomi perdagangan yang meliputi seluruh dunia. Menurut Wikantari (1995), kehidupan ekonomi dan budaya masyarakat pada awalnya ketika Sunan Kudus mulai membuka kota, mata pencaharian di antara masyarakat telah berkembang mengingat jarak yang tidak terlalu jauh dari Demak maupun Jepara sebagai bandar perdagangan yang cukup ramai5 pada saat itu. Pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram, daerah

sekitar Kudus berkembang menjadi daerah pemasok beras utama Kerajaan Mataram. Perdagangan palawija maupun perdagangan lainnya meningkat pesat yang memberikan banyak keuntungan bagi para pedagang Kudus khususnya di Kudus Kulon.

Menurut Castles (1982), selama masa penjajahan Belanda kondisi masyarakat Kota Kudus terbagi menjadi beberapa strata, yaitu

(6)

kota baru seperti guru, dokter dan pejabat pemda dan sejenisnya;

kedua, golongan pedagang dengan berbagai produk industri rumahan atau pabrikan yang mengambil sikap bersebrangan dengan Pemerintah Belanda; ketiga, golongan wong cilik, yakni buruh, para penganggur dan petani yang tinggal di daerah-daerah pertanian seputar kota. Menjelang akhir abad 19, kemakmuran masyarakat kembali meningkat karena melimpahnya hasil pertanian. Hasil panen menjadi barang perdagangan bagi pedagang-pedagang Kudus. Castles (1982) mengungkapkan, daerah jelajah pedagang-pedagang Kudus juga semakin luas walaupun masih terbatas di dalam Pulau Jawa.

Sejak tahun 1906 Industri di Kudus terutama industri rokok berkembang sangat pesat, semula industri rokok merupakan kerajinan rumah tangga namun kemudian berkembang menjadi industri besar sejak kehadiran perusahaan-perusahaan rokok yang didirikan oleh Nitesemito6. Perkembangan ini menarik kalangan masyarakat Cina

mulai ikut terjun dalam industri rokok. Persaingan ini memicu pertentangan antar etnis yang puncaknya terjadi pada tahun 1918 dengan pecahnya “geger pecinan”. Setelah peristiwa tersebut mulailah perkembangan rokok kretek milik pribumi mengalami kemunduran dan banyak yang kemudian bangkrut dan tutup, industri rokok ini kemudian banyak dipegang oleh etnis Cina yang mengembangkan menjadi industri raksasa. Bahkan The Kian Wee (1994) menyimpulkan bahwa tidak mengherankan jika industri milik pribumi di Indonesia sampai tahun 1930-an belum banyak berarti7.

(7)

mendalam, pola yang dikembangkan Sunan Kudus ini bersumber dari kearifan pemahamanya tentang prinsip ekonomi Islam yang menyatakan bahwa Allah SWT adalah pemilik sumber daya dan pemberi rejeki bagi semua mahkluk. Karena sumber daya yang dimiliki oleh Allah SWT di bumi sangat berlimpah dan sangat mencukupi untuk sekedar memenuhi kebutuhan manusia dan untuk memenuhi keinginan semua mahluk di atas bumi ini. Oleh karena itu, bila terjadi di kehidupan dapat diketahui banyak orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga ada orang miskin dan kaya, dimana orang kaya semakin kaya maupun orang miskin semakin miskin, sebenarnya bukan karena persoalan supply melainkan karena distribusi yang tidak adil yang disebabkan adanya ketimpangan sosial yaitu keserakahan (tidak memenuhi kehidupan sesuai kebutuhan).

Menurut Bapak Deny Nur Hakim, Humas YM3SK9 waktu

ditanya peneliti mengenai sukses bisnis itu karena kodrat mengungkapkan demikian:

”Setiap orang dalam menjalankan bisnis memiliki

kesempatan yang sama dan orang harus kerja keras dan menjalankan ibadah sholat atau dekat dengan Tuhan. Jadi orang-orang yang melarat itu terutama karena orang itu malas, bodoh atau berjudi atau bersenang-senang saja. Sebaliknya orang-orang yang kaya karena mereka bekerja keras, pandai dan tidak lupa dengan Tuhannya dan bukan adanya kodrat Illahi, melainkan arena ikhtiar sekuat tenaga serta wajib bersyukur kepada Allah atas nasib baik yang

didapatnya”.

Sampai sekarang masyarakat Kudus banyak dikenal sukses sebagai pedagang antar-kota maupun antar-pulau, dimana mereka sudah bisa memasarkan barang-barang dagangannya, seperti kain, konfeksi, batik, bordir berhari-hari bahkan berminggu-minggu ke kota-kota lain, khususnya kota –kota di Jawa Tengah dan Jawa Timut. H.Moch Anshori10, seorang pengusaha bordir menceritakan kepada

peneliti sebagai berikut:

(8)

berbulan-bulan, akhirnya telah membentuk komunitas perkampungan orang-orang Kudus di luar kota Kudus, seperti di kota Malang Jawa Timur ada daerah yang dikenal dengan daerah Kudusan, dan jalan yang melintas di tempat itu dikenal dengan Jalan Kudusan. Konon daerah itu tempat komunitas orang-orang Kudus yang merantau melakukan aktivitas bisnis dan bertempat tinggal. Demikian pula sebaliknya pasar Kliwon Kudus yang merupakan pusat perdagangan

masyarakat Kudus, sekarang ini sebagai tujuan “kulakan” bagi

para pedagang daerah lain seperti para pedagang dari kota Semarang, Pekalongan, Jawa Timur bahkan dari

Kalimantan”.

Kehandalan jiwa dagang masyarakat Kudus dapat ditemui dari penelitian Clifford Geertz11 dan Lace Castles12 yang intinya

menya-takan bahwa masyarakat Kudus telah ”terbiasa” melakukan perdagangan dari satu kota ke kota lainnya di Jawa. Temuan Castles dalam penelitiannya, umumnya orang Kudus yang merantau ke Jawa Timur, mereka hidup mengelompok pada suatu wilayah tertentu yang oleh mereka telah dijadikan pemukiman para pendahulunya dengan memberikan nama kampung atau jalan “Kudus” dan umumnya beraktivitas di sektor industri atau perdagangan pakaian dan bordir, bahkan terdapat beberapa orang Kudus telah bermukim dan memiliki toko di Mojokuto dengan sebutan Toko Kudus13 karena orang muda

sebagai pendatang baru yang membuka toko adalah keturunan seorang pedagang terkemuka dari Kabupaten Kudus-Jawa Tengah.

(9)

Kudus, walaupun secara geografis Kabupaten Kudus merupakan kabupaten dengan wilayah terkecil, namun dari sisi industri memiliki potensi dan peluang pasar yang dapat diandalkan, lihat Tabel 4.1.

Tabel 4.1

Nilai dan Pertumbuhan Sektor dalam PDRB Tahun 2011-2014 Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Kabupaten Kudus

Lapangan Usaha 2011 Sumber:BPS Kabupaten Kudus Tahun 2013.

(10)

antara lain industri rokok, garmen, kertas, elektronik, furniture, kerajinan kuningan, bordir, hiasan dinding (handycraft) maupun tekstil serta industri pusat kuliner (soto kudus, lentog tanjung, dan jenang kudus). Melihat kondisi perkembangan industri di Kabupaten Kudus sangat menggembirakan karena dapat menyediakan lapangan kerja yang kompetitif, akan tetapi bila dilihat dari sisi lain, kondisi itu sangat mengkuatirkan karena industri yang mendominasi ternyata industri berskala besar yang sangat tergantung dengan situasi dan kondisi dunia internasional, misalnya bahan baku, daerah pasaran internasional maupun gejolak ekonomi internasional yang sangat sulit dikendalikan sehingga sangat rawan terjadi goncangan dan ketidak-mandiriannya terhadap kekuatan internasional.

Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.2 di bawah, yaitu jumlah Perusahaan Besar sejumlah 80 perusahaan dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 94.822 orang, sedangkan Perusahaan Menengah 89 perusahaan dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 3.922 orang.

Tabel 4.2

Jumlah Perusahaan Besar, Menengah serta Daya Serap Tenaga Kerja di Kabupaten Kudus Tahun 2012

Sumber: Dinas Perindag & UKM, 2014

(11)

pertokoan (ruko) yaitu Ruko Agus Salim, Ruko Jember, pasar swalayan (Ramayana, Hypermart dan Matahari) serta pasar tradisional (Pasar Kliwon, pusat kulakan para pedagang), Pasar Bitingan, Pasar Ploso serta pasar tradisional di setiap kecamatan maupun industri pendukung yaitu hotel berbintang, 24 unit dan hotel melati sebanyak 18 unit, dan obyek wisata (Menara Kudus, Colo, Tugu Identitas, Kolam Renang Pemda dan Notosari, Museum Kretek, air terjun Montel serta Hutan Wisata Kajar). Ini menunjukkan bahwa industrialisasi, perdagangan, dan aktivitas bisnis lain di Kudus lebih maju bila dibandingkan dengan daerah lainnya di eks Karisidenan Pati.

Kudus sebagai Kota Santri

Berbicara tentang lahirnya Kota Kudus tidak lepas dari spirit

perilaku dari 2 (dua) Sunan yang menyebarkan agama Islam di Jawa yaitu Sunan Kudus yang hidup dan tinggal di pusat Kota Kudus dan Sunan Muria yang hidup dan tinggal di Gunung Muria, dan ini dapat dibuktikan dari peninggalan berupa artefak yang memiliki nilai sejarah yang tinggi berupa makam. Sunan Kudus dimakamkan di kompleks Masjid Menara, sedangkan makam Sunan Muria yang berada di lereng Gunung Muria. Keberadaan 2 (dua) sunan atau wali di antara sembilan

“Walisanga” di Jawa menunjukkan akar dakwah14 dan pendidikan

agama Islam sudah mulai dikembangkan sejak lama, sehingga mampu mengajarkan masyarakat Kudus mengamalkan ajaran Islam (santri).

(12)

Menara dan Masjid Kudus yang dijiwai semangat multicultural, mengubah cerita-cerita yang bersifat ketaukhidan maupun perdagangan. Dampaknya perkembangan agama Islam di Kudus maju dengan pesat.

Berdasarkan laporan Kudus dalam Angka 2012/2013, di Kabupaten Kudus terdapat 134 unit pondok pesantren, jumlah Kyai sebanyak 217 orang, Ustadz sebanyak 1.285 orang, dan jumlah santri sebanyak 12.372 orang, dengan tempat ibadah masjid sebanyak 657 unit, Mushola/Langgar sebanyak 1931 unit, sedangkan pendidikan MI sebanyak 138 unit. MTs sebanyak 63 unit dan MA sebanyak 29 unit.

Predikat sebagai “waliyyul ilmy” bagi Sunan Kudus merupakan tanda simbolik untuk merepresentasikan citra yang melekat pada diri yang dibangun Sunan Kudus secara internal, yaitu sosok wali yang benar-benar memiliki pengetahuan ilmu agama yang tinggi, terutama dalam Ilmu agama Tauhid, Sunah, Hadits, Sastra Mantiq dan lebih-lebih di dalam Ilmu Fiqih yang sangat dikenal. Pada kenyatannya predikat tersebut hanya berlaku pada daerah kota lama atau Kudus Kulon, sementara daerah-daerah lain lebih merupakan daerah sekuler (Bonnef, 1983). Pada mulanya Sunan Kudus tinggal dan berdakwah dilakukan di sekitar Masjid Menara di Kudus Kulon, dalam perkembangannya karena murid (santri) Sunan Kudus sangat banyak serta mobilitas murid-murid cukup tinggi dan menyebar di luar Masjid Menara Kudus, melakukan kegiatan sosial ekonomi seperti berdagang, telah mampu menyebarkan ajaran Sunan Kudus keluar dari Kudus Kulon sehingga Kudus berkembang menjadi pusat pengetahuan dan pembangunan agama Islam yang terkenal di Jawa, bahkan sampai Nusantara.

(13)

mereka dikenal dan percaya memiliki hubungan kekerabatan dengan pendiri masjid ini, yang dimakamkan di samping masjid Menara. Masyarakat Kudus Kulon dikenal sebagai masyarakat muslim yang fanatik dan tertutup.

Mereka berusaha menjalankan semua perintah agamanya dan menjauhi larangan-larangan agama. Dalam melaksanakan agamanya, masyarakat Kudus Kulon banyak menjalankan ajaran Sunan Kudus. Ajaran Sunan Kudus relatif lebih puritan dengan mengharamkan kegiatan berbau mistik dan sirik, di kalangan masyarakat Kudus Kulon tidak pernah sama sekali menyelenggarakan kegiatan pagelaran wayang kulit yang dianggap banyak memasukkan unsur Hindu serta aliran Kepercayaan15. Wayang kulit dalam ajaran Sunan Kalijaga yang

berkembang di Demak serta daerah pedalaman yang banyak ajaran Hindu maupun kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut Sardjono (1996), wayang kulit merupakan alat ampuh bagi Sunan Kalijaga untuk menyebarkan ajaran Islam. Sehingga sampai saat ini dalam hal agama, masyarakat Kudus Kulon merasa sebagai penganut Islam fanatik sementara penganut Islam yang lain disebut sebagai Islam abangan.

(14)

Sanghika Marga atau delapan jalan utama kehidupan manusia; Membangun menara Kudus yang mirip dengan bangunan Candi Jago atau bangunan Pura di Bali sebagai akulturasi budaya lokal Hindhu-Budha.

Sikap tolerensi yang diwariskan Sunan Kudus telah terinternalisasikan pada diri masyarakat Kudus dan dipratikkan dalam kehidupan sehari-hari di Kudus, secara empiris dapat diketahui dekat Menara dan Masjid Kudus yang jaraknya sekitar seratus meter terdapat

bangunan Klenteng “Hok Ling Bio”, di Desa Langgar Dalem,

Kecamatan Kota Kudus merupakan bangunan sejarah yang memiliki nilai sejarah tinggi. Tempat ibadah umat Tri Dharma diyakini sebagai klenteng tertua dan bukti toleransi umat beragama yang ada di Kabupaten Kudus sehingga jamaahnya yang mayoritas kaum Tionghoa tetap bisa menjalankan ritual keyakinannya tanpa merasa terganggu sedikitpun. Demikian juga bukti toleransi mayarakat Kudus yang demikian tinggi diungkapkan dalam prasasti yang dipampangkan di batu marmer hitam di depan Kantor Bupati Kudus sebelum masuk pendopo, terukir kata-kata indah yang penuh makna keluhuran jiwa

masyarakat Kudus dengan tulisan:”Lamun siro banter aja nglancangi,

Lamun sira landep aja natoni, Lamun siro mandi, aja mateni” yang artinya kurang lebih adalah “Apabila anda memiliki kecepatan jangan mendahului, Apabila anda memiliki ketajaman janganlah untuk menyakiti, apabila anda memiliki kesaktian, jangan untuk membunuh”.

Dalam memposisikan Sunan Kudus sebagai tanda, pada hubungan simbolik akan mampu membuka peluang untuk melakukan imajinasi simbolik sehingga makna atas Sunan Kudus dengan predikat

“waliyyul ilmy” bisa jadi akan mengalami perkembangan sesuai dinamika masyarakat yang menafikannya16 dan ini akan melahirkan

anggapan salah satu ciri masyarakat Kudus sebagai masyarakat santri. Salah satu paradigma yang berkembang di masyarakat Kudus, menurut Bapak Denny Nur Hakim,17 Pengurus Yayasan Masjid Menara dan

(15)

”untuk bisa disebut wong Kudus, harus bercirikan sebagai santri atau muslim yang taat sekaligus pandai berdagang dan menunaikan ibadah haji, bahkan kalau mampu menjadi pemuka agama (kyai atau ustad) serta mendirikan pesantren setelah kembali dari tanah suci sesuatu yang sangat diidam-idamkan. Gelar haji adalah gelar terhormat yang menjadi idaman bagi setiap muslim masyarakat Kudus, apalagi menjadi Kyai Haji. Haji menjadi puncak perwujudan pelaksanaan rukun Islam terakhir, sedangkan Kyai melambangkan tingginya ilmu agama Islam yang dimiliki

manusia untuk diamalkan pada sesamanya”.

Sedangkan Islam borjuis yang berkembang di Kudus juga tidak

lepas dari kesadaran dan menerima dari tanda ”santri saudagar” yang

memiliki spirit kapitalisme meskipun kapitalisme yang dibangun dengan berbasis nilai-nilai religius (agama Islam). Hal ini tidak lepas dari spirit Sunan Kudus yang diposisikan sebagai ”wali saudagar” yang dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu berdagang semata-mata dengan tujuan berdakwah agama Islam, sehingga Sunan Kudus bila mendapatkan kelimpahan keuntungan dengan berdagang, maka keuntungannya akan dipergunakan untuk mempercantik dan memperindah Menara dan Masjid Kudus.

Perubahan perilaku masyarakat Kudus setelah menerima, meresapi dan melaksanakan ajaran Sunan Kudus, khususnya mereka yang beragama Islam bukan suatu proses yang cepat tetapi dalam jangka panjang. Geertz (1977) menjelaskan:

“perubahan-perubahan masyarakat akan berjalan setahap demi setahap dalam jangka waktu yang lama, yang dimulai dari perubahan-perubahan di dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat, dan karakteristik fungsi lembaga masyarakat, yang kemudian merembes melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, organisasi-organisasi ekonomi dan politik, untuk akhirnya muncul sebagai perubahan-perubahan sosial budaya yang besar di masyarakat, perubahan-perubahan inilah yang berada di belakang perubahan-perubahan variabel-variabel ekonomi18”

(16)

dan ekonomis, sehingga kadang-kadang masyarakat Kudus dikenal dengan sebutan “uthil” atau “pelit”. Mereka selalu memperhitungkan dengan cermat apa yang akan dilakukan, tekun dan bersaing untuk memperoleh keuntungan yang banyak dari orang lain. Waktu siang hari digunakan untuk bekerja dan baru beristirahat pada maham hari, sehingga membawa pengaruh terhadap kegiatan sosial keagamaan yang diselenggarakan pada malam hari seperti pengajian, sunatan, perkawinan maupun pertemuan RT/RW.

Rumah sebagai Pusat Kegiatan Ekonomi

Secara umum, rumah dapat diartikan sebagai tempat tinggal untuk melakukan kegiatan disamping sebagai tempat berlindung dari pengaruh kondisi alam (hujan, panas, angin maupun debu) serta merupakan tempat beristirahat dari kepenatan bekerja sehari-hari. Menurut Sarwono (dalam Budihardjo, 1998), dalam bukunya ”Kota yang Berkelanjutan” menyatakan, rumah merupakan sebuah bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya. Disamping itu rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seseorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku bagi warganya. Tempat sosialisasi bagi manusia membutuhkan suatu ruang yang disebut ruang sosial yaitu ruang yang tidak dapat dilepaskan dari ilmu arsitektur maupun kehidupan manusia19. Pada hakekatnya manusia sebagai mahkluk sosial

yang menghuni rumah tidak hanya sebagai perlindungan dari pengaruh alam tetapi juga sebagai ruang aktivitas seperti makan, beribadat, beristirahat bahkan aktivitas ekonomi.

(17)

Rumah tradisional masyarakat Kudus tidak merupakan bangunan tunggal tetapi kesatuan beberapa bangunan yang berfungsi untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah. Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama yaitu: Dalem atau rumah induk berbentuk bujur sangkar atau segi empat digunakan untuk tidur serta kegiatan yang bersifat privat, di dalamnya dibagi dua bagian yakni jogan serta sentong. Jogan digunakan untuk kegiatan aktif di dalam rumah yang bersifat pribadi, Sentong terdiri dari 3 ruangan yakni sentong kiwo (kiri) dan tengen (kanan) yang digunakan sebagai ruang tidur pemilik rumah sera sentong tengah (krobongan) yang keseharian dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat. Jogosatru

merupakan ruang untuk menerima tamu, terletak di depan Dalem, karena merupakan ruang yang bisa dipamerkan pada tamu yang datang, oleh karena itu kelengkapan dan ornamentasi pada jogosatru

paling menonjol dibanding dengan ruang-ruang yang lain. Pawon

terletak di samping Dalem yang digunakan untuk kegiatan bersama (ruang keluarga) yang paling sering digunakan dalam kehidupan keseharian serta tempat memasak pada bagian belakang. Bagian tengah tapak atau di depan bangunan utama terdapat halaman terbuka (plataran), sedangkan di seberangnya terdapat kamar mandi dan sumur (pekiwan). Sumur terbuka tanpa atap dibatasi dinding yang membagi dua sumur digunakan untuk mandi, mencuci serta berwudhu. Sisir

terletak di sebelah kamar mandi, berbentuk los merupakan tempat kerja atau tempat menyimpan (gudang) atau ruang serba guna. Kadang-kadang dipakai sebagai dapur umum ketika ada hajatan atau sebagai kamar tidur tambahan.

Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan perumahan yang lain, tergantung pada daerah atau pun keadaan masyarakat setempat. Sedangkan Tjahyono (2000) mengatakan bahwa, dalam tradisi Jawa rumah merupakan suatu konsep orang Jawa dalam mengaktualisasikan diri baik secara pribadi maupun sosial sehingga mencerminkan konsep budaya berpenghuni.20 Menurut Bourdieu

(18)

berbagai gaya hidup yang berbeda. Pertarungan simbolik atas persepsi dunia sosial dapat mengambil dua bentuk yang berbeda pada sisi obyektif dan sisi subyektif. Sisi obyektif, orang dapat bertindak melalui perepresentasian baik yang bersifat individual maupun sosial agar dapat mengendalikan berbagai pandangan tertentu yang realitas. Jadi dengan bahasa lain, sikap, kecenderungan persepsi, berperasaan, bertindak, dan berpikir seseorang merupakan hasil yang diinternalisasikan berkat kondisi objektif orang tersebut.21 Sedangkan sisi subyektif, orang dapat

bertindak dengan cara menggunakan strategi presentasi diri atau dengan mengubah kategori persepsi dan apresiasi tentang dunia sosial22.

Bourdieu menganalisis praktik budaya didasarkan pada penetrasi timbal balik antara struktur obyektif dan subyektif dalam suatu dialektika aktif. Inti prosesnya adalah ”internalisasi eksternalitas dan ekternalisasi internalitas” dan praktik individu atau kelompok sosial harus dianalisis sebagai hasil interaksi yaitu habitus23 dan ranah24.

Dalam kehidupan sehari-hari, bagi para pengusaha bordir di Kudus dan khususnya di Desa Padurenan Kecamatan Gebog, rumah tempat tinggal merupakan pusat kegiatan sehari-hari. Rumah tempat tinggal pengusaha bordir bukanlah sekedar tempat berlindung atau beristirahat dari kesibukkan bekerja dan memproduksi sehari-hari seperti membordir, mendisain rencana bordir dan kegiatan potong- memotong sesuai ukuran. Karena itu, rumah pengusaha bordir akan selalu dipenuhi mesin jahit, mesin bodir komputer, barang-barang dagangan hasil produksi sendiri, bahkan kebutuhan bordir (kain, benang dll,) atau produksi orang lain. Rumah mereka selalu ramai keluar masuk dengan aktivitas para pekerja maupun calon pembeli yang datang dari desa-desa sekitar Kudus maupun dari luar Kudus.

(19)

barang dagangan seperti konfeksi dan bordir. Hampir seluruh waktu dihabiskan untuk bekerja di rumah kecuali malam hari untuk kegiatan keagamaan dan sosial. Setelah kegiatan di rumah sebagai tempat usaha, pasar mempunyai fungsi yang sangat penting, karena di pasar itulah pengusaha bordir akan memenuhi kebutuhan bahan baku maupun menjual produksi bordir, dan ini sangat menentukan nasib usaha dan hidupnya lebih lanjut. Masjid sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah yaitu sholat, mengaji atau kegiatan keagaman yang lain.

Hal itu dituturkan oleh para informan yang menerangkan kepada peneliti alasannya membuka usaha bordir di rumah, sebagai berikut:

Ibu Hj.Sri Murni‟ah25 mengatakan alasan rumah sebagai tempat

usaha bordir dan tempat tinggal yaitu:

“langkung praktis” injih meniko saget momong lare-lare, lan masakaken bapakipun, amargi bapakipun ngasto perangkat

kelurahan Padurenan lan kawulo tetep saget usaha bordir” . Artinya:

lebih praktis yaitu bisa menjaga anak-anak dan memasak untuk suami karena suami bekerja sebagai perangkat Kelurahan Padurenan dan masih dapat tetap bisa kegiatan bisnis bordir.

Ibu Nurul Hikmah26, mengatakan rumah sebagai tempat usaha

bordir dan tempat tinggal yaitu:

“yah gimana lagi, sebetulnya ingin sekali punya rumah tempat usaha sendiri dan tidak menjadi satu tempat tinggal, namun karena tidak ada modal maka rumah disamping untuk tempat tinggal juga untuk usaha bordir dan juga untuk usaha suami membuka usaha perbaikan alat-alat rumah tangga, seperti kulkas, mesin cuci, kipas angin maupun televisi ”.

Ibu Mirah27, seorang pengusaha bordir berusia sekitar 53 tahun

(20)

peneliti alasannya menggunakan rumah tempat tinggalnya sebagai tempat usaha karena:

“menawi usahanipun dateng griyo sanes injih langkung sae, namun betahaken modal langkung katah lan kaping kalihipun amargi Bapak gerah stroke sampun dangu, usaha bordir injih dateng griyo kemawon, saget merawat Bapak kaliyan ngawasi lare-lare tetep saget usaha,usaha bordir meniko sampun tahun 1980 lan usaha meniko warisan tiyang sepuh lan rumiyen bapak wedal tasih sehat usahanipun konveksi, saksampun ipun gerah injih dateng griyo

kemawon”.

Artinya:

Kalau usahanya di rumah lain ya lebih baik namun membutuhkan modal lebih banyak dan yang kedua disebabkan bapak sakit stroke sudah lama, usaha bordir ya di rumah saja, karena dapat merawat bapak dan ngawasi anak-anak dan tetap masih bisa usaha bordir, usaha bordir dimulai tahun 1980 dan usaha ini merupakan warisan orang tua dan dahulu waktu bapak masih sehat usahanya konveksi, namun setelah sakit stroke hanya di rumah saja.

Bapak H.Hasan28 Pengusaha bordir berusia 31 tahun, lulusan

SMA, memiliki 2 (dua) orang anak dan bertempat tinggal di Kelurahan Padurenan RT 05/RW 01 Gebog Kudus, membuka usaha bordir dirintisnya sejak tahun 2006 dengan menggunakan mesin manual dan tahun 2011 menggunakan mesin komputer untuk memproduksi bordir. Pengelolaan usaha bordir di rumah dan dibantu oleh keluarga sendiri yaitu isteri. Mengungkapkan alasannya melakukan usaha di rumah sebagai berikut:

“Kalau tempat usaha jauh dari rumah, ya siapa yang akan menunggu, repot “wira-wiri” nambah ongkos transport beli

bensin dan tidak bisa mengawasi anak-anak”.

Bapak.H. Moch Anshori29 Pengusaha bordir berusia berusia 51

(21)

”langkung praktis, lan gampil pengawasanipun, menawi tempat usaha wonten griyo sanes kedhah kagungan modal langkung katah lan meniko saget dipun agem ngembangaken usaha usaha ingkang langkung penting lan ingkang utami amargi dusun Padurenen sampun dipun kenal usaha bordir,

konsumen sampun dateng kiambak dateng mriki”

Artinya:

Lebih praktis dan mudah pengawasan, disamping itu kalau di tempat lain memerlukan modal besar dan itu bisa dipakai untuk pengembangan usaha lebih lanjut dan yang lebih penting Desa Padurenan sudah dikenal konsumen usaha bordir, konsumen sudah datang sendiri ke sini.

Ibu Mufarrikhah30 seorang pengusaha bordir berusia 32 tahun,

pendidikan S1 dan beralamat di Kelurahan Padurenan RT 3 RW 6 Kecamatan Gebog, memulai usaha sejak tahun 2005, merintis produksi bordir dengan alasan bordir memiliki keunikan dan klasik sehingga akan terus dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, lebih banyak memproduksi bordir Icik seperti kebaya, kain, baju, jilbab, kerung dan lain-lain sesuai pesanan konsumen. Usaha bordir dimulai dari warisan leluhur ibunya yang juga seorang pengusaha bordir, kemudian usaha dikembangkan sendiri dengan bantuan suami dan anak-anaknya dan masyarakat sudah mengenal Padurenan sebagai pusat bordir di Kudus sehingga konsumen yang akan datang ke sini. Alasan rumah tinggalnya menjadi tempat usaha diungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:

”Sebetulnya menginginkan punya bengkel dan showroom usaha bordir terpisah dengan rumah tempat tinggal, karena lebih bersih, kehidupan keluarga tidak terganggu dan lebih berkonsentrasi dalam berusaha, namun karena anak-anak masih kecil-kecil perlu pengawasan dan modal belum

terkumpul untuk membuka bengkel tersendiri”.

Sedangkan Ibu Islahiyah31, mengungkapkan kepada peneliti

sebagai berikut:

“Saya memiliki 2 (dua) tempat usaha yaitu di Desa

Padurenan-Kecamatan Gebog dan di Desa Krandon, Kecamatan kota Kudus. Alasan memiliki 2 tempat usaha

adalah “di sini (desa Krandon) tempat tinggal asli suaminya

(22)

dan mendekati konsumen, kalau di Desa Padurenan Kecamatan Gebog tempat asli saya, tetap saya pakai untuk usaha, namun keseharian kegiatan usaha bordir Ibu Islahiyah ada di Desa Krandon. Usahanya itu dilakukan sepenuhnya di rumah, baik untuk produksi dan showroomproduk bordir”.

Alasannya melakukan usaha di rumah adalah:

“Rumah di Desa Krandon ini cukup besar disamping mudah di cari konsumen/pelanggan, karyawan bordir rata-rata tinggal di Desa Krandon mudah pengawasan dalam proses membordir oleh para karyawan, karyawan masih bisa

„nyambi‟ menjaga dan merawat anak-anak, tidak

menge-luarkan ongkos dan pemasarannya dengan “getuk tular” dan sering ikut pameran dan bazar di berbagai kota (Semarang, Jepara, Salatiga, Kudus maupun Demak) yang dikoordinir oleh KSU Padurenan Jaya yang bekerja sama dengan Bank Jateng atau Bank Indonesia, karena saya sebagai anggota aktif

KSU Padurenanan Jaya”.

(23)

Profil Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga

Bordir di Kudus

Kehidupan masyarakat Kudus mempunyai karakteristik perilaku yang berbeda bila dibandingkan dengan perilaku daerah lain (Jepara, Demak maupun Semarang), dimana perilaku hemat sangat menonjol, hal ini disebabkan masyarakat Kudus menempatkan masalah

ekonomi atau kekayaan yang dimiliki mempunyai “arti” yang sangat

tinggi. Perilaku ulet dalam berusaha, rajin dan berlaku hemat merupakan manifestasi dari tata nilai yang hidup di kalangan masyarakat Kudus. Segala macam tindakan ekonomi dalam sistem nilai seperti ini akan dipertimbangkan dengan prinsip-prinsip ekonomi. Hanya dalam keadaan tertentu dan dengan alasan (agama), mereka baru melakukan suatu tindakan ekonomi untuk kepentingan sosial misalnya sedekah, zakat, pembangunan Masjid.

Di bawah ini, ungkapan beberapa informan pengusaha bordir yang diwawancarai peneliti sebagai berikut:

Ibu Hj. Sri Murni‟ah32, pengusaha bordir Fadillah Embroider

berusia 50 tahun, memiliki 3 orang anak (2 orang perempuan dan 1 orang laki-laki), beragama Islam dengan suami bernama Bapak H.Maskan usia 54 tahun yang bekerja sebagai perangkat Kelurahan Padurenan yang tinggal di Jl.K.Hasyim Padurenan RT 01/RW 01- Gebog yang mulai usaha sejak tahun 1980 dengan modal awal pemberian orang tua. Dalam menjalankan usahanya Ibu Hj Sri

(24)

domestik tetapi tetap melaksanakan ibadah. Pada pagi hari, mulai jam 4.30 sudah bangun dan melaksanakan sholat subuh sebagai umat Muslim yang taat. Kemudian mempersiapan sarapan pagi untuk suami dan anak-anak yang mau berangkat sekolah, sedangkan untuk bersih-bersih kamar dan halaman rumah, mencuci akan dikerjakan sambil mengerjakan yang lain setelah jam 09.00 WIB karena tidak memiliki

pembantu rumah tangga. Mulai jam 7.00 WIB Ibu Hj.Sri Murni‟ah

sudah menerima para pengrajin yang menyerahkan hasil pekerjaan bordir yang dikerjakan kemarin dan memberikan pekerjaan pesanan bordir baru untuk dikerjakan di rumah para pekerja atau para pekerja langsung ke bengkel bordir di belakang rumah. Ada yang membawa pulang bahan baku untuk dikerjakan di rumah dan menjadi bahan jadi Ibu Nurul Hikmah33, seorang pengusaha bordir berusia 36

(25)

jahit dengan menggunakan tenaga dinamo listrik. Meskipun setiap hari sibuk mengurusi usahanya, tidak pernah meninggalkan sholat, pengajian, zakat atau sedekah.

Ibu Islahiyah34, seorang pengusaha bordir yang bertempat

tinggal di Padurenan RT 1 RW 1 Kecamatan Gebog dan juga memiliki tempat usaha bordir di Krandon RT 05/RW 1 Kota Kudus. Ibu Islahiyah mulai usaha sejak tahun 1980 dan merupakan pengusaha bordir yang mulai belajar usaha bordir dari orang tuanya, kemudian

mengembangkan usaha bordir sendiri dengan nama “La Risma” yaitu

mengerjakan bordir untuk memenuhi pesanan dari para pelanggan berupa kain bordir, bordir kebaya, jilbab, baju, mukenah, slayer, gamis dan akesoris dan menyediakan stok hasil produksi bordir untuk konsumen. Dalam melakukan usaha Ibu Islahiyah dibantu oleh suami yang bekerja sebagai pengusaha membuat tas, sandal dan sepatu yang kadang-kadang asesorinya dikombinasikan dengan bordir.

Di dalam memproduksi bordir mengunakan mesin yuki untuk membuat bordir yang rumit-rumit, halus dengan kualitas yang baik seperti bordir Icik, dan mesin komputer untuk membuat bordir yang cepat jadi. Tenaga kerja sebanyak 9 orang yang terdiri dari tenaga membordir 7 orang yang mengerjakan di rumahnya masing-masing dan 2 orang mengerjakan di rumah pengusaha atau bengkel dan bila pesanan banyak maka tenaga kerja bisa mencapai 20 orang, yang dibayar dengan sistem borongan dan harian. Tenaga kerja berasal dari tetangga di sekitar rumah atau tetangga kampung/desa lain, tenaga kerja terdiri dari tenaga aktif, yang bekerja dari jam 07.00 s/d jam 16.00 bekerja di rumah pengusaha rata-rata tenaga kerja sambilan, yang

mengerjakan “batil” yaitu membersihkan benang-benang bordir yang tidak terpakai atau melubangi bordir dengan alat listrik solder yang membutuhkan tenaga kerja yang sabar, teliti, penuh konsentrasi sebab kalau tidak begitu bisa rusak.

Ibu Mufarrikhah35, pengusaha bordir berusia 32 tahun,

(26)

mulai merintis produksi bordir dengan alasan, bordir memiliki keunikan dan klasik sehingga akan terus dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, lebih banyak memproduksi bordir Icik seperti kebaya, kain, baju, jilbab, kerung dan lain-lain sesuai pesanan konsumen. Usaha bordir dimulai dari warisan leluhur ibunya yang juga seorang pengusaha bordir, kemudian usaha dikembangkan sendiri dengan bantuan suami dan anak-anaknya, dan masyarakat sudah mengenal Padurenan sebagai pusat bordir di Kudus sehingga konsumen yang akan datang ke sini.

Pada umumnya, pengusaha bordir memiliki hubungan sosial dengan karyawan yang lebih longgar dari hubungan formal majikan-buruh, kekeluargaan dan harmonis, serta pengusaha rata-rata memberikan banyak kebebasan kepada karyawannya untuk bekerja sesuai dengan caranya masing-masing, asal pekerjaannya selesai sesuai dengan yang diharapkan para majikan, dan rata-rata karyawan sudah bekerja lebih dari 2 tahun.

Dr.Abdul Jalil.M.Ei.36, staf pengajar STAIN Kudus dan wakil

sekretaris Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyyah (YAPIQ) Menara Kudus, mengungkapkan kepada peneliti bahwa:

“Karakteristik hemat dan ulet masyarakat Kudus diyakini berkaitan dengan pengaruh spirit dari Sunan Kudus. Dalam tradisi tersebut digambarkan bahwa selain sebagai seorang penyebar agama Islam yang faqih. Sunan Kudus digambarkan sebagai seorang pedagang yang ulet. Kesuksesan ini, kata Jalil, salah satu faktor pentingnya adalah soal spiritualitas. Spiritualitas seseorang, yang berbasis pada keimanan, dapat diwujudkan dengan sepuluh karakter untuk mengem-bangkan usaha. Sepuluh karakter ini adalah amanah, orientasi jangka panjang, kontrol diri, komparatif, sinergis, emphaty, kreatif, taktis, mandiri, dan belajar dari kegagalan.

“Sepuluh karakter ini ditemukan dalam profil pengusaha

Kudus yang membuat usahanya terus berkembang dan

sukses”

(27)

rajinnya masyarakat Kudus dalam bidang ekonomi menurut Benjamin White (1976), disebut sebagai occupational multiplicit37, perilaku

tersebut merupakan perilaku dalam bidang ekonomi dari masyarakat Kudus, sehingga hal yang wajar bila masyarakat Kudus menjadi masyarakat santri muslim yang taat beragama sekaligus sebagai pengusaha yang ulung baik kaum laki-laki maupun kaum perempuannya.

Dalam memilih pekerjaan masyarakat Kudus lebih dominan memilih pekerjaan di sektor perdagangan dan industri, ini menumbuhkan cara hidup rasional dan ekonomis dalam masyarakat Kudus. Mereka selalu memperhitungkan dengan teliti dan cermat setiap apa yang dilakukan, tekun dan berusaha memperoleh keuntungan yang lebih banyak daripada dengan orang lain. Setiap siang hari dilakukan untuk bekerja dan malam hari baru beristirakat atau digunakan kegiatan sosial keagamaan seperti hajat sunatan, perkawinan, syukuran dan pengajian maupun pertemuan RT/RW diselenggarakan malam hari. Pada umumnya keuntungan yang diperoleh tidak khusus digunakan untuk investasi usaha lebih lanjut tetapi digunakan untuk kegiatan lain seperti naik haji, sedekah, zakat, disimpan dalam bentuk membeli emas, memperbaiki rumah, maupun untuk kegiatan sosial keagamaan lain.

Produk Bordir Kudus

(28)

Bordir sebagai produk sosial-kultural menjadi simbol dan memberi makna, serta mendiskripsikan kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Produk bordir memiliki nilai-nilai filosofi, simbol dan makna dari bentuk disain, kombinasi warna benang dan warna kain, proses pembuatannya, perannya dalam kehidupan sosial, dan sebagai simbol status bagi pemakainya dan cara penggunaannya seperti busana. Menurut sejarah, sejak jaman dahulu hiasan bordir memiliki proses perjalanan panjang dan seni hiasan bordir atau sulam dapat ditemukan di berbagai daerah di seluruh dunia, namun tiap-tiap daerah memiliki ciri khas tersendiri. Pada waktu pertama muncul barang bordir merupakan suatu hiasan barang mewah karena hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu (orang-orang kaya atau raja-raja). Hal ini terjadi pada tahun 330 Sebelum Masehi sampai abad ke-15 di Byzantium telah ditemukan hiasan bordir yang dipadukan dengan ornamen dari emas. Kemudian pada zaman Mesir kuno hiasan bordir sudah ada, ini dibuktikan pada makam raja-raja telah ditemukan lukisan yang berindikasi mengenai keberadaan bordir yang digambarkan dalam hiasan bordir pada pakaian raja-raja, pelapis tempat duduk, gantungan baju bahkan tenda. Demikian pula pada bangsa Yunani kuno sekitar abad ke 7 dan ke 6 Sebelum Masehi sudah mengenal hiasan bordir yang dibuktikan pada lukisan yang terdapat di vas bunga.

(29)

tersebar di seluruh wilayah Indonesia seperti di Tasikmalaya, Padang, Palembang, Jawa Timur, Madura, Bali dan Jawa Tengah termasuk Kudus.

Dari uraian tersebut di atas, menimbulkan pertanyaan kapan bordir mulai dikenal di Kudus. Guna mengetahui perkembangan hiasan bordir di Kudus tidak lepas dari era perdagangan yang dikembangkan masa Sunan Kudus, seperti telah diungkapkan pada bab-bab sebelumnya, karakter Sunan Kudus disamping dikenal sebagai “wali saudagar”. Posisi Sunan Kudus sebagai ”wali saudagar” menandai bahwa Sunan Kudus memiliki kepekaan keahlian berdagang serta memiliki etos kerja yang tinggi, ini dibuktikan dari kekayaan melimpah namun dipergunakan untuk kepentingan jalan dakwah, dibuktikan dengan adanya berbagai ornamen dan ragam hias yang terpasang di menara Kudus berupa piring dan mangkok keramik yang berasal dari berbagai negara (Tiongkok, Vietnam, India, Arab, maupun Eropa) disamping itu tentunya yang diperdagangkan bermacam-macam barang, baik hasil bumi pertanian maupun kain sutera dengan berbagai motif antara lain bordir. Kekayaan berupa barang-barang keramik dari berbagai negara termasuk dari Tiongkok tersebut dipasang dan ditempelkan pada bagian tubuh menara Kudus juga sebagai petanda bukti persahabatan antara Sunan Kudus dengan mubalig Tiongkok bernama The Liang Sing yang berasal dari Sun Ging An38, seorang

penyebar agama Islam yang mengajar seni ukir dan lukis pada penduduk sekitarnya.

(30)

Ada 4 (empat) jenis teknik bordir yaitu (1) Bordir tangan yaitu bordir yang proses pembuatannya dikerjakan dengan tangan. Pada bordir tangan menggunakan jenis tusuk yang dipakai sangat bervariasi yaitu tusuk balik/tusuk tilam, tusuk batang/tangkai, tusuk rumani (untuk membuat daun dan bunga-bunga), tusuk veston (buat bunga, lubang kancing, memperkuat dan menghias tepi kain), tusuk bunga, tusuk rantai (membuat garis pembatas, dahan dan ranting), tusuk datar (membuat bentuk bunga, daun, dan mengisi bidang), tusuk flane

(membuat hiasan tepi dan garis pembatas), tusuk daun (membuat berbagai bentuk daun), tusuk bullion (membuat bunga kecil dan hiasan bulir-buliran), tusuk lurus (membuat bunga dan rumput), tusuk satin (membuat helai daun dan bentuk bebas), dan tusuk jelujur (membuat garis dan menjelujur sambungan dan lipatan kain. (2) Bordir mesin manual, yaitu bordir yang proses pembuatannya dikerjakan dengan mesin jahit biasa (manual), yang jika akan dipakai untuk membordir maka mesin ini harus dilepas “sepatu” dan “gigi” mesinnya.

Jenis tusuk bordir mesin pada dasarnya ada 2 (dua) yaitu

(31)

khusus untuk mesin bordir komputer, dan yang paling umum dipakai adalah Software Wilcom, mesin bordir komputer banyak dipakai oleh para pengusaha di Kudus yang berasal dari China, Korea Selatan, dan Jepang. Gambar 4.3, berbagai jenis mesin border:

Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014

Gambar 4.3

Mesin Bordir Listrik Merk Juki dan Mesin Bordir Komputer

Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014. Gambar 4.4 Mesin Jahit Bordir Manual

(32)

perkembangan dalam dunia mode, serta didukung oleh sarana dan prasarana yang lebih baik dengan daya kreatifitas yang tinggi tidak hanya untuk hiasan busana, tetapi juga untuk perlengkapan seperti taplak, sarung bantal, seprei, saputangan, dasi, tutup TV, tutup almari es, alas perangkat minum, maupun diterapkan dalam hiasan interior dan eksterior rumah.

Pada umumnya para informan yang diwawancarai peneliti mengungkapkan, dalam memproduksi bordir, ternyata bordir mesin

manual atau bordir “Icik” yang memiliki keunikan, khas Kudus yang

patut dilestarikan, yaitu membordir dengan menggunakan mesin manual tenaga manusia yang mengayuh dan menimbulkan bunyi “ icik-icik” sehingga membutuhkan proses yang lama, butuh kejelian dan keterampilan dalam membuatnya, namun sekarang ini banyak generasi muda yang enggan untuk memproduksi bordir icik karena generasi muda tidak banyak yang memiliki jiwa telaten dan sabar.

Seperti kata informan Ibu Sa‟adah39 bahwa membutuhkan

waktu setahun untuk belajar bordir icik dengan hasil bordir yang halus. Menurut Ibu Sa‟adah dalam pembuatan satu baju bordir icik, berdasarkan pengalaman memerlukan waktu satu minggu sampai 10 hari, tergantung jenis motif dan hasilnya lebih baik dengan harga yang cukup mahal. Harga bordir sendiri sebenarnya ditentukan oleh beberapa hal yaitu: (1) jumlah bahan yang akan dibordir, (2) lama waktu yang diberikan untuk membuat, (3) jumlah stick pada kain, (4) tingkat kerumitan dari disain gambar maupun tulisan, dan (5) jumlah warna yang digunakan.

Selanjutnya informan Ibu Sa‟adah pemilik usaha bordir Dalia

mengungkapkan pada peneliti bahwa:

(33)

harinya mencoba mnerima pesanan bordir icik sebagai tambahan penghasilan, kemudian bordir icik mulai menyebar ke pelosok desa-desa di Kecamatan Kota Kudus,

Gebog, Kaliwungu, dan Bae”.

Sedangkan informan yang lain yaitu Bapak H.Moch Anshori40

mengungkapkan:

“Pada awalnya kejayaan bordir termasuk bordir icik di Desa Janggalan, Langgar Dalam, Kajeksan dan Purwasari, Kecamatan Kota Kudus dan dahulunya warga Padurenan Kecamatan Gebog dan desa-desa sekitar yang lain adalah pekerja bordir di desa-desa tersebut, sambil belajar dan bekerja bordir di desa-desa Kecamatan kota tersebut, dan kemudian setelah pintar tentang teknik bordir mengem-bangkan dan membuka usaha bordir sendiri di Desa Padurenan tempat tinggal mereka, karena keuletan, telaten dan sabar lama-kelamaan usaha maju dan berkembang, sementara di desa Janggalan, Kajeksan, Langgar Dalam dan Purwasari sebagai central bordir di Kecamatan Kota justru mengalami kemunduran dan bahkan banyak yang usaha bordir bangkrut (gulung tikar) sebab banyak ditinggalkan karyawannya yang mayoritas dari luar Kecamatan Kota, sedangkan bagi Desa Padurenan Kecamatan Gebog usaha

bordir berkembang sampai sekarang”.

Khusus bordir Kudus memiliki keunikan yang berbeda dengan daerah lain (Tasikmalaya, Padang, Palembang, maupun Pekalongan) dan merupakan karya asli nenek moyang Kudus yang mempunyai nilai seni yang sesuai dengan nilai Gus-ji-gang dan memiliki nilai komersial

yang tinggi yaitu “bordir icik” yang menurut informan Ibu Islahiyah41

maupun informan lain menyampaikan kepada peneliti bahwa ciri-ciri bordir icik yang proses pengerjaanya menggunakan mesin jahit biasa, dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dan hasilnya mempunyai nilai seni yang tinggi dan eksklusif.

Sehingga dapat disimpulkan antara lain bahwa bordir icik

(34)

kerendahan hati) kecil-kecil atau titik-titik yang mengelilingi bentuk bordir yang besar, sebagai “tanda” atau simbol nilai “gus”dan “ji” yang menggambarkan simbol hubungan manusia yang baik (harmoni, rukun, tulus dan rendah hati) antara mikro kosmos dan makro kosmos.

Ketiga, bordirnya halus, kecil-kecil, tebal dan kuat, sehingga bila dicuci tidak rusak, bahkan saat kainnya sudah rusak tetapi hiasan bordir masih tetap baik. Hal ini dapat dilihat dari contoh berbagai jenis bordir

icik pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5

Berbagai Corak Bordir “Icik” Kudus.

Secara garis besar, tahapan proses produksi dan membuat bordir dengan menggunakan mesin jahit manual dapat digambarkan sebagai berikut:

(35)

2. Mempersiapkan mesin jahit yang akan dipakai untuk membordir maka mesin ini harus dilepas “sepatu” dan “gigi” mesinnya dan diganti dengan plat bordir.

3. Kemudian pengrajin bordir akan membuat bordir sesuai dengan disain yang telah dibuat.

4. Proses selanjutnya melubangi dan membersihkan benang-benang yang tidak rapi dengan solder atau gunting kecil.

Sedangkan bordir dengan menggunakan mesin bordir komputer dengan softwareWilcom ada 7 (tujuh) langkah yaitu:

1. Aktifkan software Wilson yang telah ter-install pada komputer dan panggil file gambar penuntun yang akan digunakan dan kemudian menentukan batasan area bordir dengan mengikuti gambar yang diinginkan, maka hasil bordir nanti akan sama dengan gambar yang diinginkan.

2. Pilih gambar yang diinginkan tersebut karena banyak bagian-bagian yang sama sehingga area bordir tertentu sudah dibuat dapat diduplikasi ke tempat lain yang gambarnya sama dengan mengatur putaran dan kemiringannya sesuai gambar.

3. Menentukan batasan area bordir tetapi pada lokasi beda dengan bentuk yang berbeda pula. Setelah ditentukan batasan-batasan area bordirnya, karena kebetulan di lokasi juga ada bentuk-bentuk yang sama, maka tinggal diduplikasikan saja.

4. Menduplikasikan area bordir yang telah dibuat pada langkah tiga, pada lokasi tertentu yang memiliki bentuk sama. Dalam duplikasi dapat dilakukan putaran dan pemiringan gambar sesuai dengan gambar yang sedang dibuat.

(36)

benang yang putus tersebut dan bila selamat tidak terjadi putus benang, hasil bordiran akan terdapat loncatan benang yang harus dirapikan (dipotong manual).

6. Mengatur alur perjalanan benang dalam proses bordir otomatis yang akan dilakukan oleh mesin bordir komputer, sehingga dapat ditekan sampai seminimal mungkin terjadinya langkah loncatan benang jarak jauh yang dapat beresiko putus benang.

7. Melubangi hasil bordir dilakukan dengan menggunakan solder atau gunting kecil. Finishing-Setelah proses pelubangan selesai, pola dilepaskan dari hasil bordir dan hasil bordir dirapikan dengan menggunting sisa-sisa benang.

Hasil berbagai produksi bordir dapat dilihat pada Gambar 4.6 di bawah.

Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014 Gambar 4.6

Berbagai Corak Hasil Produksi Border

(37)

Mesin jahit menual dengan digerakan dengan tenaga kaki manusia untuk menjahit bordir icik (halus, kecil-kecil dan tebal), sedangkan mesin jahit merk Juki digunakan untuk bordir sering disebut bordir

Juki. Dalam survei yang dilakukan, hanya ditemukan satu pengusaha yang telah memiliki 2 unit mesin Komputer untuk membordir yaitu Bapak H. Moch Anshori dengan alamat Kelurahan Padurenan RT 1 RW 1 dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Padurenan Jaya memiliki 3 unit mesin bordir komputer dengan 12 “kepala”.

Informan Ketua KSP Padurenan Jaya yaitu Bapak Arif Chuzaimahtum42 mengatakan:

“Keuntungan dari membordir dengan menggunakan mesin

bordir Komputer adalah waktu yang dibutuhkan lebih singkat dan sekali produksi bisa banyak dengan motif yang sejenis dapat diperoleh dengan hasil yang sama dan pola bordir di buat oleh mesin jahit komputer dengan

menggunakan program komputer “Wilcom”. Sedangkan

membordir dengan menggunakan mesin manual, pola bordir yang merupakan desain motif yang akan dibordir dibuat di kertas untuk ditempelkan ke kain yang akan dibordir. Atau gambar design bordir langsung digambar di kain yang akan dibordir sesuai dengan kombinasi warna yang diharapkan”

Ciri-ciri bordir yang baik, berkualitas dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi menurut informan Ibu Islahiyah, Bapak H.Much Anshori, Ibu Hj.Sri Murni‟ah dan beberapa informan lainnya kalau disimpulkanoleh peneliti yaitu: Kunci membuat bordir yang memiliki kualitas itu ada 3 yaitu: Pertama, membuat desain bordir. Kedua,

mengkombinasikan warna benang dengan dasar warna kain. Ketiga,

(38)

CATATAN-CATATAN KAKI

1 H.J.de Graaf dan Th.G.Th, Pigeaud, “Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa”, Seri

terjemahan Javanologi, (Jakarta: Grafiti Press, 1985). hlm.113.

2 Kapan persisnya orang Cina mulai masuk ke Kudus masih perlu penelusuran lebih

lanjut. Namun Kiai The Ling Sing berasal dari Hunan,Tiongkok Selatan. Ia datang bersama teman-teman sekampungnya yaitu Kiai Ageng Wajah, Kiai Ageng Kedangeyan dan Nyi Ageng Klati, karena itu tak mengherankan jika terdapat ukiran burung Hong dan Nagara pada ukiran-ukiran rumah di Kudus. Kudus Kulon masih terdapat perkampungan Cina yang terletak di daerah sekitar pasar bubar, tidak jauh dari kompleks Masjid Menara, terdapat sebuah Klenteng yang dianggap tertua di Kota Kudus. Syafwandi, ”Menara Masjid Kudus dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur”. (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm 73.

3 Batu prasasti/inskripsi tersebut memberikan landasan dari tabir sejarah kota dan

masjid Kudus yang memuat beberapa pokok–pokok mengenai: tahun pendirian masjid, nama tokoh yang mendirikan, nama kota Kudus, nama Masjid Kudus, dan Nama Menara Kudus. Baca, Solichin Salam, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam “,(Kudus:Menara Kudus,1977), hal 45. Selanjutnya untuk dibaca juga, Nur Said.”Jejak

Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa”, (Bandung, Brillian

Media Utama, 2010) hlm.110-113.

4 Al Quds yaitu harapan besar agar Kudus benar-benar suci (bersih)- sebagai makna

al-Quds, baik dari kemusyikan maupun dari nilai-nilai yang bertentangan dengan sistem Islam. Selanjutnya untuk dibaca Syafwandi, “Menara Masjid Kudus dalam Tinjauan

Sejarah dan Artitektur” (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1995),hlm.41.

5 Wikantari,Ria R. Safe Guarding A Lifing Heritage A Model for The Architectureal

Conservation of an Historic Islamic District of Kudus Indonesia,” Thesis University of Tasmania, Tasmania.Yogyakarta:UGM,1995

6 Nitisemito cikal bakal pengusaha rokok yang dilahirkan awal tahun 1863 sebagai

putra bungsu dari dua bersaudara keluarga Haji Soelaeman,seorang Lurah (Kepala Desa) Janggalan, Kecamatan Kota, pada tahun 1906 mulai menjual rokok buatan sendiri yang bahannya dari rajangan tembakau,cengkeh, dan pembungkus daun jagung sehingga disebut rokok kretek karena kalau disulut api berbunyi kretek-kretek dan banyak dinikmati oleh masyarakat luas. Alex Soemadji Nitisemito, “Radja Kretek

Nitisemito”.(Kudus,1980).

7 Pada tahun 1939, derajat keswasembadaan produk rokok dan cerutu menempati

posisi nomor 4 dan 5 di Indonesia. The Kian Wee, “Industrialisasi di Indonesia: Beberapa Kajian” (Jakarta:LP3ES,1994),hlm.16.

8 Wawancara dengan Ketua yayasan Masjid,Menara,dan Makam sunan Kudus

(YM3SK), Bapak Kyai Haji Najib Hassan, 15 Nopember 2014.

9 Wawancara, 9 Mei 2014 di Kantor Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus

(39)

10 Wawancara dengan Bapak.H.Moch Anshori tanggal 14 Juni 2014.

11 Clifford Geertz, ”Wawancara, 14 Juni 2014.”Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan

Modernisasi Ekonomi di Dua Kota”.Cetakan pertama (Jakarta:PT Gamedia,1977).

12 Lance Castles.”Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa:Industri Rokok

Kudus‟. Jakarta:Sinar Harapan,1982),hlm.81

13 Ibid., hlm.56

14 Dakwah Walisanga melalui jalan damai dengan strategi rekonsiliasi dengan nilai,

kebiasaan dan budaya lokal. “Memahami Metode Dakwah Walisanga” (2009). Online di http://satriopinandito.wordpress.com/2009/01/07memahamimetode-dakwah-walisanga/ diakses 4 Nopember 2014)

15 Wawancara dengan Staf Dokumentasi dan Sejarah Yayasan Masjid, Menara, dan

Makam Sunan Kudus (YM3SK) Bapak Denny Nur Hakim, Selasa 4 Nopember 2014

16 Nur Said. ”Tradisi Pendidikan Karakter Dalam Keluarga, Tafsir Rumah Adat Kudus”

(Brillian Media Utama,2012),hlm.21.

17 Wawancara tanggal 4 Nopember 2014 di Kantor Pusat YM3SK-Kota Kudus.

18 Clifford Geertz. ”Penjaja dan Raja:Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di

Dua Kota”. (Jakarta:PT.Gramedia, 1977).hlm.xx

19 Muhammad Rifqi, Anratiksa, Noviani. Ruang Sosial Rumah Tradisional Baanjungan

di Banjarnegara” arsitektur e-Journal Volume 7 Nomor 1 Juni 2014

http://www.academia.edu/7651426/ Ruang_SosialRumah_Tradisional_Baanjungan_di _Banjarmasin, diakses Selasa,11 Nopember 2014.

20 Gunawan Tjahyono. “Kata Pengantar”, dalam Revianto Budi Santoso,Omah:

Membaca Makna Rumah Jawa, (Yogyakarta: Benteng Budaya,2000) hlm.vii.

21 Arizal Mutahir, “Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu”,Yogyakarta: Kreasi Wacana

Offset, 2011) hlm.63.

22 Richard Harker,Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed). Pengantar Paling Komprehensif

Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (ed), (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hlm.7-8.

23 Habitus adalah sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah dan berfungsi

sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur. Dengan kata lain habitus, adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dengan realitas social. Lihat. Richard Harker, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed). ”Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu”, (Yogyakarta:Jalasutra,2004).hlm 9.

24 Ranah adalah sistem relasi obyektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi sosial

yang berkorespondensi dengan sistem relasi obyektif yang terdapat dalam titik simbolik. Pierre Bourdieu, ”Outline of a Theory of Practise”, (Cambridge: Cambridge University Press,1977),hlm.72.

(40)

26 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal12 Oktober 2014. 27 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal13 Oktober 2014.

28 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 8 Juli, dan 14 Oktober 2014 29 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 14 Juni,13 Oktober 2014 30 Wawancara dengan Ibu Mufarrikhoh tanggal 10 Oktober 2014.

31 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 14 Oktober 2014 32 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni „ah tanggal 13 Oktober 2014. 33 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 13 Oktober 2014. 34 Wawancara dengan Ibu Islahhiyah tanggal 14 Oktober 2014. 35 Wawancara dengan Ibu Mufarrikhah tanggal 10 Oktober 2014.

36 Wawancara dengan Dr.Abdul Jalil.M.Ei tanggal 7 Pebruari 2015, di rumah jl.Kudus

Pati Km 5 Kavling Boto No.9 Golantepus Mejobo Kudus.

37 Proses „ke dalam‟ yaitu proses invilusi yang terjadi pada masyarakat petani, guna

menanggulangi kebutuhan ekonomi yang meningkat dengan cara memanfaatkan semaksimal mungkin yang ada untuk berproduksi, dan ini menjadi tanggung jawab kaum laki-laki dan perempuan. Selanjutnya untuk dibaca Benyamin White.1978 “Population, Involution, and Employmen Rural Java”,Development and Change, No7.

38 Pamuji Suptandar.”Menara Masjid al Manar di Kudus”, Harian Kompas,8 September

2002.

39Wawancara, Ibu Sa‟adah 16 Oktober 2015 di rumah Desa Karang Malang Rt 04 RW

II Kecamatan Gebog-Kudus.

40 Wawancara dengan Bapak.H.Noch Anshori tanggal 14 Oktober 2014. 41 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 15 Nopember 2014.

Gambar

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Kudus
Gambar 4.2 Masjid dan Menara Kudus
Tabel 4.1 Nilai dan Pertumbuhan Sektor dalam PDRB Tahun 2011-2014
Tabel 4.2 Jumlah Perusahaan Besar, Menengah serta Daya Serap Tenaga Kerja
+4

Referensi

Dokumen terkait

undang Dasar Sementara Republik Indonesia telah menetapkan "Undang-undang Darurat tentang memperpanjang waktu masih terbukanya dinas tahun-anggaran 1950" (Undang-undang

Mahasiswa bisa melakukan estimasi parameter atas beda mean dua populasi, estimasi proporsi populasi, dan estimasi beda proporsi..

Bangka Tengah, Komplek Perkantoran dan Permukiman Terpadu Pemerintah Kabupaten Bangka i Tengah, Jl Raya By Pass No.. 1

[r]

Penelitian ini didasarkan pada permasalahan terkait dengan adanya ketimpangan struktur penguasaan tanah dan rendahnya kesejahteraan petani di Kabupaten Subang dan

” Analisis Nilai-Nilai Pendidikan pada Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”.. e-Journal Jurusan Pendidikan Bahasa

Penelitian ini berjudul Persepsi Mahasiswa Mengenai Go-Jek (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Persepsi Mengenail Layanan GO-Jek di Kalangan Mahasiswa Universitas Sumatera

Jika enzim xilanase yang digunakan dalam proses kraft tidak memiliki stabilitas yang tinggi terhadap pH dan suhu tinggi, maka penggunaan enzim xilanase di industri kertas tidak