• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINTESIS DAN KARAKTERISASI PENYERAP GAS CO2 BERBASIS BENTONIT BERSINERGI DENGAN LARUTAN BASA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SINTESIS DAN KARAKTERISASI PENYERAP GAS CO2 BERBASIS BENTONIT BERSINERGI DENGAN LARUTAN BASA."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS DAN KARAKTERISASI PENYERAP GAS CO2 BERBASIS BENTONIT

BERSINERGI DENGAN LARUTAN BASA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Jurusan Pandidikan Kimia

Oleh

SYAMSUL RIZAL MUHARAM 0807633

PROGRAM STUDI KIMIA JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

(2)

SINTESIS DAN KARAKTERISASI PENYERAP

GAS CO

2

BERBASIS BENTONIT

BERSINERGI DENGAN LARUTAN BASA

Oleh

Syamsul Rizal Muharam

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Syamsul Rizal Muharam 2013

Universitas Pendidikan Indonesia

Februari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

SINTESIS DAN KARAKTERISASI PENYERAP GAS CO2 BERBASIS BENTONIT

BERSINERGI DENGAN LARUTAN BASA

Diajukan oleh : Syamsul Rizal Muharam

0807633

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING : Pembimbing I

Drs. Ali Kusrijadi, M.Si. NIP. 196706291992031001

Pembimbing II

Dr. Anggoro Tri Mursito, M.Sc. NIP. 197702222000121001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI

(4)

SINTESIS DAN KARAKTERISASI PENYERAP GAS CO

2

BERBASIS

BENTONIT BERSINERGI DENGAN LARUTAN BASA

ABSTRAK

Fenomena efek gas rumah kaca (GRK) yang disebabkan oleh gas CO2 akhir-akhir ini menjadi

masalah penting dalam pengaruh perubahan iklim dan cuaca yang menjadi lebih ekstrim di

dunia. Penyerapan gas CO2 merupakan teknik pengendalian efek gas rumah kaca yang paling

murah, mudah, dan efektif. Bentonit merupakan bahan berbasis mineral silika yang banyak digunakan dalam proses adsorbsi. Dalam penelitian ini digunakan tiga macam bentonit yaitu Ca-Bentonit putih (CaBK), Ca-Bentonit merah muda (CaMM), dan Na-Bentonit Merah

(NaBK) yang diberi penambahan NaOH, KOH, dan Ca(OH)2 dengan kondisi suhu 5 dan

60oC. Hasil penyerapan gas CO2 dengan penambahan beberapa senyawa basa menunjukan

bahwa penyerapan gas CO2 lebih baik dibandingkan dengan tanpa penambahan senyawa

basa. Penyerapan gas CO2 yang paling tinggi ditunjukkan pada penambahana basa Ca(OH)2.

Proses karbonasi dengan suhu yang lebih tinggi meningkatkan penyerapan gas CO2 dalam

sampel hal ini ditunjukkan pada penggunaan suhu 5 °C. CaBK, CaMM, dan NaBK dengan

penambahan berbagai basa dapat menyerap masing-masing sebanyak ± 1,4 – 9,87%; ± 1,1 –

8,3%; dan ± 0,7 – 9,87% gas CO2 dari berat batuan. Pada Hasil FTIR senyawa karbonat

terlihat pada serapan rentang bilangan gelombang 1300-1500 dan 850-890 cm-1. Kristal

karbonat yang terbentuk juga muncul pada hasil analisis menggunakan SEM. Dan pada hasil XRD didapat bahwa mineral-mineral bentonit yang telah diberi perlakuan menghasilkan senyawa karbonat. Mineral karbonat yang terbentuk pada proses karbonasi adalah mineral

kalsit (CaCO3).

(5)

SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION OF ABSORBING CO

2

GAS

BASED BENTONITE SYNERGY WITH BASE SOLUTIONS

ABSTRACT

The phenomenon of greenhouse gas (GHG) emissions caused by CO2 gas lately become an

important issue in the climate change and the weather is becoming more extreme in the

world. CO2 absorption technique is controlling greenhouse gases the most inexpensive, easy,

and effective. Bentonite is a mineral silica-based materials are widely used in the adsorption process. This study used three kinds, namely Bentonite bentonite white (CaBK), Ca-Bentonite pink (CAMM), and Na-Ca-Bentonite Red (Nabk) given the addition of NaOH, KOH,

and Ca(OH)2 with the conditions of a temperature of 5 and 60°C. The absorption of CO2 by

the addition of some basic compounds showed that the absorption of CO2 gas is better than

without the addition of a basic compound. CO2 absorption is shown in the high alkaline

penambahana Ca(OH)2. Carbonation with higher temperature increases the absorption of CO2

in this case the sample is shown in the use of a temperature of 5 °C. CaBK, CAMM, and Nabk with the addition of various bases to absorb each one as much as ± 1.4 - 9.87%, ± 1.1 -

8.3% and ± 0.7 - 9.87% by weight of CO2 gas rocks. In the FTIR results of carbonate

compounds seen in absorption wavenumber range 1300-1500 and 850-890 cm-1. Carbonate crystals that form also appear in the results of the analysis using SEM. And the XRD results obtained that bentonite minerals that had been treated produce carbonate compounds.

Carbonate minerals formed in the process of mineral carbonation is calcite (CaCO3).

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Rumusan Masalah Penelitian ... 4

1.3. Batasan Masalah ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Mineral Silika Di Indonesia ... 6

2.1.1 Kelompok Mineral Silikat ... 7

2.1.2 Kelompok Bukan Mineral Silikat ... 10

2.2 Bentonit ... 11

(7)

2. 5 Karbonasi Dalam Larutan ... 20

2.6 Karbonasi Dalam Mineral... 22

2.7 Penelitian-Penelitian Penyerapan Gas CO2 ... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Sistematika Penelitian ... 27

3.2 Alat dan Bahan ... 30

3.2.1 Alat ... 30

3.2.2 Bahan ... 31

3.3 Prosedur Penelitian ... 31

3.3.1 Preparasi Sampel ... 31

3.3.2 Pengaliran Gas CO2 ... 32

3.3.3 Penambahan Senyawa Basa ... 33

3.3.4 Pengukuran Sampel Setelah Dialiri Gas ... 34

3.4.4.1 Padatan ... 34

3.4.4.2 Cairan ... 34

3.4 Karakterisasi Sampel ... 36

3.5 Waktu dan tempat Penelitian ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 38

4.1 Analisis Kandungan Unsur Dalam Bentonit... 38

4.2 Proses Karbonasi Mineral ... 38

(8)

4.2.2 Karbonasi Dengan Penambahan Basa ... 42

4.3 Reaksi Karbonasi Dalam Air ... 46

4.4 Reaksi Karbonasi Dalam Padatan ... 48

4.5 Analisis Sampel Hasil Karbonasi Mineral ... 50

4.5.1 Analisis Hasil Karbonasi Mineral Menggunakan FTIR ... 50

4.5.2 Analisis Hasil Karbonasi Mineral Menggunakan X-Ray Flourescence ... 53

4.5.3 Analisis Hasil Karbonasi Mineral Menggunakan X-Ray Diffraction ... 55

4.5.4 Analisis Hasil Karbonasi Mineral Menggunakan SEM ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

5.1. Kesimpulan ... 61

5.2. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Data Unsur Mayor Na-Bentonit ... 14

Tabel 2.2 Data Unsur Mayor Ca-Bentonit dan Ca-Bentonit MM ... 16

Tabel 2.3 Kemampuan Beberapa Mineral Dalam Menyerap CO2 ... 20

Tabel 4.1 Hasil Analisis XRF Raw Bentonit ... 38

Tabel 4.2 Data Kadar gas CO2 dalam Sampel Padatan Sebelum perlakuan... 39

Tabel 4.3 Data Hasil Laju Optimalisasi Aliran Gas CO2 ……… 39

Tabel 4.4 Hasil Analisis pH dan EC campuran Bentonit Sebelum dan Setelah Pemberian Aliran Gas CO2 ... 40

Tabel 4.5 Data Hasil Pengukuran Gas CO2 pada Padatan Menggunakan Orsat ... 42

Tabel 4.6 Data hasil aliran gas dengan penambahan senyawa NaOH, KOH, dan Ca(OH)2 dan pengukuran gas CO2 pada suhu 60 °C ... 43

Tabel 4.7 Data hasil aliran gas dengan penambahan senyawa NaOH, KOH, dan Ca(OH)2 dan pengukuran gas CO2 pada suhu 5 °C. ... 44

Tabel 4.8 Data Persentase (%) Daya Penyerapan Gas CO2 Dalam Bentonit Dengan Menggunakan Senyawa Basa ... 44

Tabel 4.9 Hasil Titrasi Asiditas dan Alkalinitas Sampel yang Sudah Dialirkan Gas (dalam satuan ppm) ... 45

(10)
(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Pengelompokan Mineral Silikat ... 9

Gambar 2.2 Struktur Na-Bentonit ... 13

Gambar 2.3 Bongkahan Na-Bentonit ... 13

Gambar 2.4 Struktur Ca-Bentonit ... 15

Gambar 2.5 Bongkahan Ca-Bentonit Putih ... 15

Gambar 2.6 Bongkahan Ca-bentonit Merah muda ... 17

Gambar 2.7 Reaksi CO2 Dalam Air... 21

Gambar 2.8 Hubungan Konsentrasi CO2 Dalam Air Berdasarkan Gambar 2.8 Perubahan pH... 21

Gambar 3.1 Skema Penelitian ... 26

Gambar 3.2 Preparasi Sampel ... 27

Gambar 3.3 Proses Karbonisasi Sampel ... 28

Gambar 3.4 Proses Karbonisasi Dengan Penambahan Senyawa Basa... 29

Gambar 3.5 Analisis Gas CO2 Padatan Hasil Aliran ... 30

Gambar 3.6 Titrasi Filtrat Hasil Aliran Gas CO2 ... 30

Gambar 4.1 Grafik Optimalisasi Laju Alir Gas CO2 ... 40

Gambar 4.2 Grafik Penyerapan gas CO2 dengan berbagai sampel dan kondisi dalam Ton/Ton ... 44

(12)

Gambar 4.4 Hasil Analisis FTIR sampel CaBK raw, KOH, NaOH,

Ca(OH)2 ... 51

Gambar 4.5 Hasil Analisis FTIR sampel CaBK raw, KOH, NaOH, Ca(OH)2 ... 51

Gambar 4.6 Difraktogram XRD CaBK ... 55

Gambar 4.7 Difraktogram XRD CaMM ... 56

Gambar 4.8 Difraktogram XRD NaBK ... 56

Gambar 4.9 Hasil Analisis SEM (a) NaBK Raw, (b) NaBK + Ca(OH)2, (c) NaBK + NaOH, (d) NaBK + KOH ... 58

Gambar 4.10 Hasil Analisis SEM (a) CaBK Raw, (b) CaBK + Ca(OH)2, (c) CaBK + NaOH, (d) CaBK + KOH ... 59

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A : Perhitungan Penyerapan Gas CO2 Dalam Sampel ... 70

LAMPIRAN B : Tabel Penyerapan Gas CO2 oleh Ca(OH)2 ... 76

LAMPIRAN C : Tabel Data XRF Ketiga Sampel Dalam Satuan ppm ... 76

LAMPIRAN D : Grafik FTIR Sampel CaBK ... 77

LAMPIRAN E : Grafik FTIR Sampel CaMM ... 78

LAMPIRAN F : Grafik FTIR Sampel NaBK ... 80

LAMPIRAN G: Grafik XRD Sampel CaBK ... 81

LAMPIRAN H: Grafik XRD Sampel CaMM ... 82

LAMPIRAN I : Grafik XRD Sampel NaBK ... 83

LAMPIRAN J: Gambar SEM Permukaan Sampel CaBK ... 85

LAMPIRAN K:Gambar SEM Permukaan Sampel CaMM ...86

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Emisi CO2 dari waktu ke waktu terus meningkat baik pada tingkat global,

regional, nasional pada suatu negara maupun lokal untuk suatu kawasan. Hal ini

terjadi karena semakin besarnya penggunaan energi dari bahan organik (fosil),

perubahan tataguna lahan dan kebakaran hutan, serta peningkatan kegiatan

antropogenik (Slamet S., 2008). Antropogenik adalah istilah yang umum dipakai

untuk menyatakan segala sesuatu yang terjadi di alam karena campur tangan

manusia (efek, proses, obyek dan material), kejadian tersebut sebagai lawan kata

dari kejadian alami (Hairiah, 2007). Konsentrasi gas karbon dioksida (CO2),

metana (CH4), Nitrogen oksida (N2O), dan aerosol mulai meningkat sejak tahun

1750, ketika dimulainya revolusi industri terutama dinegara-negara Eropa.

Peningkatan gas CO2 terutama disebabkan karena pembakaran energi fosil dan

perubahan tataguna lahan. Penyebab utama peningkatan konsentrasi gas metana

dan Nitrogen oksida ialah dampak dari pembangunan pertanian (Buddemeier et.

al., 2004; Salim, 2007).

Berdasarkan data National Oceanic and Atmospheric Administration

(NOAA) pada saat mulai terjadi revolusi industri konsentrasi CO2 di atmosfer

adalah 282,32 ppm (parts per million), tahun 2005 konsentrasinya 380 ppm

(Salim, 2007), tahun 2009 konsentrasinya 387,35 ppm, tahun 2010 konsentrasinya

388,38 ppm dan pada Juni 2011 konsentrasi CO2 mencapai 450 ppm (Purba,

2011). Peningkatan gas metana terjadi dari 715 ppb (parts per billions) menjadi

1732 ppb pada tahun 1990an dan 1774 ppb pada tahun 2005. Peningkatan gas

Nitrogen oksida terjadi dari 270 ppb menjadi 319 ppb pada tahun 2005, terutama

disebabkan oleh aktifitas pertanian. Pengaruh pemanasan global sebagai dampak

dari peningkatan konsentrasi terutama oleh gas CO2, metana, dan Nitrogen Oksida

(15)

radiasi yang ditimbulkan terkait dengan meningkatnya karbon dioksida, metana

(16)

2

mengalami peningkatan sekitar 20% antara tahun 1995 sampai 2005, paling tinggi

dalam 200 tahun terkahir (Muhammad dkk, 2009).

Emisi GHG (greenhouse gases) di Indonesia telah mencapai tingkat yang

mengkhawatirkan. Indonesia menempati posisi ketiga, setelah USA dan China,

sebagai negara dengan emisi GHG terbesar di dunia. Jika negara-negara

Uni-Eropa dimasukkan, maka Indonesia menempati posisi keempat (Kusumawardani,

2009). Sejak tahun 1995-2009, dunia internasional melakukan pertemuan rutin

setiap tahun untuk membahas berbagai hal yang berkaitan dengan perubahan

iklim, termasuk solusi yang harus dilakukan. Indonesia mengambil sikap dengan

memberikan solusi pada pertemuan G20 di Pittsburgh, USA. Dalam pidatonya,

Presiden Indonesia menyatakan bahwa Indonesia berusaha mengurangi emisi gas

rumah kaca sebanyak 26% dan jika ditambah dengan dukungan dari dunia

internasional sebanyak 15% maka Indonesia dan dunia dapat menekan angka

pertumbuhan emisi gas rumah kaca sebanyak 41% hingga 2020 sebagai mana

dikemukakannya dalam pidato tersebut: “… We are devising an energy mix policy

including LULUCF (Land Use, Land Use Change, and Forestry) that will reduce

our emissions by 26 percent by 2020 from BAU (Business As Usual). With

international support, we are confident that we can reduce emissions by as much

as 41 percent. This target is entirely achievable because most of our emissions come from forest related issues, such as forest fires and deforestation.” (Yudhoyono, 2009).

Untuk itu diperlukan suatu cara agar gas CO2 yang akan dilepaskan ke

udara dapat ditangkap/disaring, Adsorpsi adalah salah satu cara atau metode yang

efektif untuk menangkap/menyaring gas CO2. Adsorpsi adalah fenomena fisik

yang terjadi antara molekul-molekul gas atau cair dikontakkan dengan suatu

permukaan padatan. Proses ini sangat dipengaruhi oleh pasangan adsorben dan

adsorbatnya. Karakteristik adsorpsi merupakan salah satu parameter yang

menentukan kemampuan adsorben menyerap adsorbat (Arnas, 2008). Selain

proses adsorpsi, proses yang banyak digunakan untuk menyerap gas CO2 adalah

(17)

3

terhadap gas CO2 yang diberikan sehingga akan menghasilkan suatu senyawa

yang disebut dengan karbonat (IPCC, 2007).

Penelitian tentang rekayasa penyerapan gas CO2 sebenarnya sudah banyak

dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan menggunakan mikroalga

(Purba, 2011; Santoso, 2011), karbon aktif (Arnas, 2008), Fly ash (Hernandez et.

al., 2009), air laut (Morse et. al., 1997; Fang et. al., 2010), batu bara (Mursito et.

al., 2011), limbah semen (Bocheňczyk et. al, 2011), mineral Serpentine

(Alexander et. al, 2008), mineral Olivine (O’Conor et. al, 2001), mineral

Wollastonite (Huijgen et. al, 2006), mineral Magnesium Silikat (Zevenhoven et.

al, 2001). Penelitian tentang penyerapan gas CO2 dengan menggunakan mineral

montmorillonit sebenarnya sudah ada, proses yang digunakan menggunakan

larutan asam asetat sebagai senyawa aktivasi (Ptáček et. al, 2012). Penyerapan gas

CO2 dengan menggunakan senyawa basa seperti NaOH (Kumoro, 2000;

Mahmoudkhani et. al., 2009) dan Ca(OH)2 juga sudah pernah dilakukan dengan

kajian yang diteliti mengacu pada laju kinetik dan termodinamiknya (Hernandez

et. al., 2012).

Indonesia memiliki cadangan mineral industri berbasis silika alam seperti

Bentonit, Perlit, Zeolit, dan Kaolin yang sangat besar, dan tersebar di seluruh

pelosok nusantara salah satunya di Karangnunggal Tasikmalaya. Penggunaan

bahan mineral industri tersebut selalu digunakan dalam proses yang tidak kontinu,

sehingga selalu menghasilkan limbah-limbah mineral yang tidak digunakan

kembali (Lubis, 2008). Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya guna dalam

pemanfaatan bahan industri yang sudah tidak terpakai maka dilakukan reuse

kembali bahan-bahan dasar industri tersebut dengan memanfaatan mineral industri

sebagai bahan alternatif untuk penyerapan gas CO2 sehingga bahan-bahan industri

tersebut akan memiliki nilai guna yang lebih sebagai bahan yang sangat berguna

dalam mengurangi emisi GHG di tingkat nasional maupun internasional.

Namun, penelitian dengan menggunakan mineral Bentonit dengan

penambahan senyawa basa belum banyak yang melakukan. Oleh karena itu dalam

penelitian ini dilakukan proses penyerapan gas CO2 dengan menggunakan

(18)

4

berwarna merah muda, dan Na-Bentonit berwarna merah yang diberi penambahan

senyawa basa seperti NaOH, KOH, dan Ca(OH)2 sebagai senyawa pengaktivasi

untuk meningkatkan proses penyerapan gas CO2 dalam mineral.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, didapat beberapa

rumusan masalah penelitian, sebagai berikut:

1. Apakah pengaruh penambahan senyawa NaOH, KOH, dan Ca(OH)2 pada

mineral Ca-Bentonit, Ca-bentonit merah muda, dan Na-Bentonit dapat

meningkatkan daya penyerapan gas CO2?

2. Seberapa besar kemampuan gas CO2 yang terserap pada mineral

Ca-Bentonit, Ca-bentonit merah muda, dan Na-Bentonit yang terakivasi oleh

penambahan senyawa basa?

3. Bagaimana karakteristik mineral Ca-Bentonit, Ca-Bentonit merah muda,

dan Na-Bentonit sebelum dan sesudah teraktivasi oleh penambahan

senyawa basa pada penyerapan gas CO2?

1.3 Batasan Masalah Penelitian

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah Bentonit putih,

Ca-bentonit merah muda, dan Na-Bentonit yang digunakan berbahan baku lokal yaitu

berasal dari karangnunggal, Tasikmalaya. Suhu yang digunakan dalam penelitian

ini adalah 5 °C dan 60 °C. Uji karakterisasi yang dilakukan menggunakan uji

FTIR, XRD, XRF, SEM, dan Unsur Mayor.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan senyawa

basa terhadap peningkatan daya serap gas CO2 pada bentonit, kemudian penelitian

ini pun bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari mineral Bentonit,

Ca-Bentonit merah muda, dan Na-Ca-Bentonit sebelum dan sesudah diberi tambahan

(19)

5

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan menjadi sumber acuan dalam

pengembangan alat yang digunakan untuk penyerapan gas CO2, sehingga mineral

yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai tambah dalam fungsinya

selain untuk bahan baku dalam industri. Selain itu juga dapat menjadikan langkah

alternatif dalam menurunkan gas emisi CO2 di udara sehingga pemanasan global

(20)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Sistematika Penelitian

Penelitian yang dilakukan berdasarkan skema penelitian berikut ini:

Gambar 3.1 Skema Penelitian

Sampel Ca-Bentonit, Ca-Bentonit Merah muda, dan Na-Bentonit

Sampel Ca-Bentonit, Ca-Bentonit Merah muda, dan Na-Bentonit ukuran 200 mesh

Sampel Ca-Bentonit, Ca-Bentonit Merah muda, dan Na-Bentonit Hasil Perlakuan

Sampel Ca-Bentonit, Ca-Bentonit Merah muda, dan Na-Bentonit Hasil Analisis Kadar CO2

Analisis

FTIR SEM Difraksi Sinar X

(21)

27

(22)

28

(23)
(24)

30

Gambar 3.5 Analisis Gas CO2 Padatan Hasil Aliran

Gambar 3.6 Analisis Gas CO2 Cairan Hasil Aliran

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan adalah jaw crusher, ball mill, screening

(ukuran 200 mesh), corong, oven, agat, kaca arloji, gelas kimia (ukuran 50,

100, 250, 500, 1000, 2000 mL), batang pengaduk, spatula, Neraca Sauter,

pipet tetes, pipet seukuran (ukuran 20 mL), ball filler, kaca masir, vaccum,

(25)

31

klem dan statif, gas wash bottle, pH meter (ADWA, AD1000), EC meter

(ADWA, AD3000), krustang, cawan porselen, dan desikator, waterbath

(Memmert), Coolbath (Heto lab equipment, CB-2513), ORSAT, XRF

(NITON, XL3t), FTIR (Shimadzu, FTIR-8400), SEM (JEOL, JSM-6360LA),

XRD.

indikator methyl orange (Merck®), indikator phenolphthalein (Merck®),

H2SO4 (Merck®, 96%), Gas CO2, Bahan sampel batuan yang digunakan

Na-Bentonit, Ca-Bentonit putih, dan Ca-Bentonit MM.

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Preparasi Sampel

Preparasi sampel batuan yang lain dari bentuk bongkahan hingga

berbentuk serbuk halus, proses yang dilakukan adalah sampel batuan tersebut

dihaluskan hingga menjadi berbentuk serbuk yang berukuran 200 mesh.

Sampel batuan Na-Bentonit, Ca-Bentonit, dan Ca-Bentonit Merah Muda yang

selanjutnya diberi kode NaBK, CaBK, dan CaMM dihaluskan menggunakan

(26)

32

alat selama 2 jam sehingga diperoleh sampel dalam bentuk kerikil. Kemudian

sampel dimasukkan ke dalam oven selama 4 jam pada suhu 110 °C, setelah

itu masing-masing sampel NaBK, CaBK, dan CaMM dimasukkan ke dalam

alat ball mill selama 6 jam hingga sampel berbentuk serbuk. Setelah itu,

sampel dimasukkan ke dalam screening dengan ukuran 200 mesh dengan

kecepatan 300 rpm selama 20 menit, setelah itu semua sampel kembali

dimasukkan ke dalam oven selama 1 hari dengan suhu 80 °C.

3.3.2 Pengaliran Gas CO2

Pengaliran gas CO2 terhadap sampel dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara CaBK, CaMM, dan NaBK di timbang sebanyak 5 g dengan

penambahan air sebanyak 95 g kemudian masing-masing campuran diukur

pH dan EC (Electro Conductivity) nya, setelah itu masing-masing campuran

dimasukkan ke dalam tabung gas wash bottle. Campuran yang sudah berada

di dalam gas wash bottle dimasukan ke dalam waterbath yang sudah diset

dengan suhu 60 °C. Kemudian diberi aliran gas CO2 sebesar 4 L/min selama

1 jam. Setelah diberi aliran, masing-masing sampel diukur kembali pH dan

ECnya. Setelah itu disaring dengan menggunakan kaca masir yang dibantu

dengan vacuum. setelah itu didapat 2 hasil penyaringan yang berupa filtrat

(cairan) dan residu (padatan). Residu yang berupa padatan dikeringkan ke

dalam oven dengan suhu 90 °C selama 2 jam, sedangkan filtrat hasil saringan

(27)

33

3.3.3 Penambahan Senyawa Basa

Selain bahan dasar yang diberi aliran gas CO2, dilakukan juga

percobaan dengan penambahan senyawa-senyawa basa, diantaranya dengan

penambahan Ca(OH)2, NaOH, dan KOH, proses yang dilakukan pun sama

dengan prosedur sebelumnya, masing-masing sampel CaBK, CaMM, dan

NaBK ditimbang sebanyak 5 g kemudian diberi Ca(OH)2 sebanyak 1 g,

setelah itu baru diberi tambahan air sebanyak 94 g sehingga total berat

campuran tetap 100 g. setelah ditimbang, campuran tersebut diukur pH dan

EC nya. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam gas wash bottle.

Campuran yang sudah berada di dalam gas wash bottle dimasukan ke dalam

waterbath yang sudah diset dengan suhu 60 °C. Kemudian diberi aliran gas

CO2 sebesar 4 L/min selama 1 jam. Setelah pengaliran dengan gas CO2

campuran tersebut diukur kembali pH dan EC nya, lalu disaring dengan

menggunakan kaca masir dan dibantu dengan menggunakan vacuum, setelah

itu didapat 2 hasil penyaringan yang berupa filtrat (cairan) dan residu

(padatan). Residu yang berupa padatan dikeringkan ke dalam oven dengan

suhu 90 °C selama 2 jam, sedangkan filtrat hasil saringan yang berupa cairan

dimasukkan ke dalam botol penyimpanan. Prosedur selanjutnya dilakukan

sama dengan sebelumnya hanya saja dilakukan dengan penambahan

masing-masing senyawa basa yang lain yaitu NaOH, dan KOH. Proses penambahan

semua senyawa-senyawa basa ini juga dilakukan pada suhu 5 °C dengan

(28)

34

3.3.4 Pengukuran Sampel Setelah Dialiri Gas 3.3.4.1 Padatan

Setelah proses pengaliran dan pengeringan selesai

dilakukan, langkah selanjutnya adalah masing-masing sampel

ditimbang sebanyak 0.4 g, kemudian sampel tersebut

dimasukkan ke dalam tabung kimia yang besar, setelah itu

tabung kimia tersebut dipasang dalam alat ORSAT dan

dilanjutkan dengan pemberian tetesan HCl 8 N dengan

menggunakan buret hingga sampel larut semua atau hingga

sampel tidak menghasilkan gas. gas akan keluar dari batu

gamping dan gas akan terukur di dalam ORSAT.

3.3.4.2 Cairan

Sampel cairan hasil saringan disimpan dibotol

penyimpanan, metode pengukuran kadar CO2 didalam cairan

menggunakan cara titrasi asiditas dan alkalinitas. Langkah

yang pertama kali dilakukan adalah mempipet sampel

sebanyak 25 ml. dengan menggunakan pipet seukuran 25 ml.

kemudian sampel dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer,

setelah itu sampel diberi 4 tetes larutan indikator

phenolphthalein kemudian sampel diamati. Ketika sampel

(29)

35

terjadi perubahan warna maka dilakukan proses titrasi

asiditas. Pada proses titrasi alkalinitas, sampel yang berwarna

merah muda dititrasi dengan menggunakan larutan HCl 0.1 N

hingga warna muda pada sampel hilang menjadi sampel yang

tidak berwarna. Catat pemakaian larutan HCl yang

digunakan. Setelah sampel menjadi larutan tak berwarna

sampel diberi tambahan 2 tetes larutan indikator Methyl

Orange, sampel akan berubah warna menjadi larutan

berwarna orange/jingga pekat. Setelah sampel berubah

warna, sampel kembal dititrasi dengan larutan HCl 0.1 N

hingga sampel berubah warna kembali dari warna

orange/jingga pekat menjadi berwarna kuning dan terakhr

berubah menjadi warna jingga pucat. Setelah selesai titrasi

catat pemakaian larutan HCl yang digunakan.

Proses Asiditas diawali dengan sampel yang sudah diberi

4 tetes larutan indikator phenolphthalein namun sampel tidak

berubah warna. Sampel yang tak berwarna ini selanjutnya

dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0.1 N hingga

larutan berubah warna dari sebelumnya merupakan larutan

tak berwarna menjadi larutan berwarna merah muda. Catat

pemakaian larutan NaOH yang digunakan. Setelah sampel

sudah berubah warna menjadi merah muda, selanjutnya

(30)

36

sehingga sampel akan berubah warna menjadi larutan

berwarna orange/jingga pekat. Setelah berubah warna sampel

selanjutnya dititrasi kembali dengan menggunakan larutan

HCl 0.1 N hingga sampel berubah warna dari warna jingga

pekat kemudian kuning lalu terakhir berwarna jingga pudar.

Catat penggunaan larutan HCl yang telah digunakan.

3.4 Karakterisasi Sampel

Sampel yang sudah kering dilakukan karakterisasi dengan menggunakan

beberapa alat diantaranya FTIR, SEM, XRD, dan XRF. Keberhasilan

pembentukan senyawa karbonat dalam mineral ditunjukkan dalam FTIR dan

XRD, sedangkan perubahan senyawa-senyawa kandungan sampel dapat dilihat

dari uji XRF. Sedangkan SEM digunakan untuk melihat bentuk dari kristal

hasil sebelum dan sesudah perlakuan sampel terhadap pemberian aliran gas

CO2.

3.5 Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Maret sampai dengan bulan

September 2012 di Ruang Preparasi Batuan Mineral, Laboratorium Analisis

Kimia Mineral, serta Laboratorium Pemanfaatan Bitumen dan Pengolahan

Mineral Gd. 80 Kampus LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

(31)

Ca-37

penelitian dilakukan di empat tempat yaitu di Lab. Instrument Kimia UPI

(FTIR), Laboratorium Kimia Mineral Tekmira (Major Element dan XRD), dan

Laboratorium Pusat Survei Geologi (SEM), Laboratorium Analisis XRF Puslit

(32)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian sinergitas bentonit dengan

penambahan senyawa basa sebagai agen penyerapan gas CO2 dengan proses

karbonasi adalah sebagai berikut:

1. Dengan penambahan senyawa basa NaOH, KOH, dan Ca(OH)2 ketiga

sampel mineral Ca-Bentonit, Ca-Bentonit merah muda, dan Na-Bentonit

merah mampu meningkatkan daya penyerapan gas CO2 dari sebelumnya

semua mineral Bentonit tidak dapat menyerap gas CO2.

2. Besaran kemampuan gas CO2 yang terserap pada mineral Bentonit,

Ca-Bentonit merah muda, dan Na-Ca-Bentonit yang terakivasi oleh penambahan

senyawa basa berbeda-beda, pada penambahan NaOH sampel CaBK,

CaMM, dan NaBK dapat menyerap gas CO2 sebesar 2-2,4% ; 1,1-2,5% ;

dan 2,1-3.8% dari berat sampel. Pada penambahan KOH sampel CaBK,

CaMM, dan NaBK dapat menyerap gas CO2 sebesar 1,5-1,9% ; 1,5-2,3% ;

dan 0,8-1,3% dari berat sampel. Pada penambahan Ca(OH)2 sampel

CaBK, CaMM, dan NaBK dapat menyerap gas CO2 sebesar 8,9-9,9%;

8,1-8,3%; dan 9,7-9,9% dari berat sampel.

3. Karakteristik Hasil analisis mineral Ca-Bentonit, Ca-Bentonit merah

(33)

puncak serapan yang muncul pada bilangan gelombang 1300-1500 cm-1

(34)

62

yang menunjukkan adanya puncak mineral karbonat pada bilangan 2θ 29,

39, 43, 47, dan 48 mineral yang terbentuk adalah mineral karbonat yaitu

mineral kalsit (CaCO3).

5.2 Saran

Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian awal untuk mengkaji dan

mengetahui penyerapan gas CO2 menggunakan mineral tambang industri seperti

batuan bentonit yang berbasiskan penggunaan sumber kekayaan mineral lokal.

Berdasarkan evaluasi terhadap hasil penelitian, perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut untuk menutup kekurangan dari penelitan ini, diantaranya:

1. Kajian secara khusus mengenai adsorpi isotherm antara penyerapan gas

CO2 tanpa menggunakan senyawa basa dengan penyerapan gas CO2

menggunakan basa.

2. Kajian secara khusus mengenai kinetika adsorpsi dari laju gas alir dengan

raw maupun setelah penambahan senyawa basa terhadap penyerapan gas

CO2 pada sampel.

3. Adanya variasi dari beberapa variable yang telah dilakukan seperti

penambahan variasi suhu, waktu, laju alir gas CO2, pemberian senyawa

basa lain, dan penambahan senyawa basa secara bertahap.

4. Pengujian terhadap pori-pori sampel yang telah diberi aliran gas CO2 baik

raw maupun setelah penambahan senyawa basa dengan memperhatikan

aspek kapasitas panyerapan.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2008. Cadangan, Emisi, dan Konservasi Karbon Pada Lahan Gambut. Balai Penelitian Tanah.

Alemdar, A. et. al. 2005. Effects of Poliethylimine Adsorption of Rheology of Bentonit Suspension. Indian Academy of Science. 28, 287-291.

Alexander, G. et. al. 2008. Serpentine and single stage mineral carbonation for the storage of carbon dioxide. Enero. 6, (1), 7-10.

Arihara, K. et. al. 2001. Characterization of the adsorption state of carbonate ions at the Au(111) electrode surface using in situ IRAS. Journal of Electroanalytical Chemistry

510, 128–135.

Arnas. 2008. Kapasitas penyerapan CO2 pada karbon aktif yang berasal dari batu bara

sumatera selatan dengan tekanan maksimum 2,3 bar. [Skripsi]. Universitas Indonesia.

Azlin bin Ishak. 2011. Modul Al-Kimiya Cahpter 8 - Salts. Tersedia:

cikguadura.wordpress.com. [Akses: 20 Desember 2012]

Bocheňczyk, A. U. et. al. 2011. Mineral sequestration of CO2 with the use of cement waste.

Energy Procedia 4. 2855-2860.

ke, H. et. al. 2004. Quantification of CaCO3–CaSO3∙0.5H2O–CaSO4∙2H2O mixtures by

FTIR analysis and its ANN model. Materials Letters 58, 723– 726.

Buddemeier, R. W. et. al. 2004. Coral Reefs and Global Climate Change: Potential Contributions of Climate Change to Stresses on Coral Reef Ecosystems. Prepared for the Pew Center on Global Climate Change.

Carlson, L. 2004. Bentonite Mineralogy. Working report Geological Survey of Finland. Finland.

Dariah, A., Susanti, E., dan Agus, F. 2011. Simpanan Karbon dan Emisi CO2 lahan gambut.

Balai Penelitian Tanah.

Davis, K. J. et. al. 2004. Morphological consequences of differential Mg2+ incorporation at

structurally distinct steps on calcite. American Mineralogist. 89, 714–720.

(36)

65

Fang, Y. et. al., 2010. Characteristics of CO2 Sequestration In Saline Aquifers. Pet. Sci. 7.

83-92.

Gasc, F. et. al. 2009. Methods for synthesizing diethyl carbonate from ethanol and supercritical carbon dioxide by one-pot or two-step reactions in the presence of potassium carbonate. The Journal of Supercritical Fluids. 50, 46-53.

Graf, D. J. 1961. Crystallographic Tables For The Rombhohedral Carbonates. American Mineralogist. 46, 1283-1316.

Günister, E. et. al. 2004. Effect of sodium dodecyl sulfate on flow and electrokinetic properties of Na-activated bentonite dispersions. Bull. Mater. Sci. 27, (3), 317–322.

Hairiah, K. 2007. Perubahan klom Global : Pemicu Terjadinya Peningkatan GRK. Draft Modul 3. Universitas Brawijaya. Malang.

Hernandez, G. M. et. al. 2009. Mineral sequestration of CO2 by aqueous carbonation of coal

combustion fly-ash. Journal of Hazardous Materials 161. 1347–1354.

Hernandez, G. M. et. al. 2012. Gas-solid carbonation of Ca(OH)2 and CaO particles under

non-isothermal and isothermal conditions by using a thermogravimetric analyzer: Implications for CO2 capture. International Journal of Greenhouse Gas Control 11, 3.

172-180.

Ho, Patience C., and Donald A. Palmer, 2008. Electrical Conductivity Measurements of Aqueous Electrolyte Solutions at High Temperatures and High Pressures. Chemical and Analytical Sciences Division Oak Ridge National Laboratory. Tennessee, USA.

Huijgen. W.J.J. et. al. 2006. Mechanism of Aqueous Wollastonite carbonation as a possible CO2 sequestration process. Chemical Engineering Science.

IPPC. 2007. Chapter 7: Mineral carbonation and industrial uses of carbon dioxide. IPCC Special Report on Carbon dioxide Capture and Storage

Jeffery, G. H. et. al. 1989. Vogel’s Textbook of Quantitative Chemical Analysis Fifth Edition.

Longman Scientifics & Technical. New York.

Kern, F., dan Smith, A. 2008. Restructuring energy systems for sustainability? Energy transition policy in the Netherlands. Sussex Energy Group. University of Sussex.

Kleypas, J. A. et. al. 1999. Geochemical consequences of increased atmospheric carbon dioxide on coral reefs. Science 284:118–120.

(37)

66

Kusumawardani, D. 2009. Emisi CO2 dari Penggunaan Energi di Indonesia: Perbandingan

Antar Sektor. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. 8, (3), 176–187.

Labaik, G. 2002, Kajian Terhadap Bentonit di Kabupaten Tasikmalaya dan Kemungkinannya Dijadikan Bahan Pembersih Minyak Sawit (CPO). Kolokium Direktorat Investasi Sumber Daya Mineral.

Lackner, K. S. et. al. 1995. Carbon dioxide disposal in carbonate minerals. Energy, 20. 1153-1170.

LAPI ITB. 1992. Buku Panduan Analisis Laboratorium, Studi Peningkatan Kwalitas Air Bersih: Air Harapan, Baloi, dan Nongsa Pulau Batam. ITB.

Lower, S. K. 1999. Carbonate equilibria in natural waters. Environments Chemistry. Simon Fraser University.

Lubis, G. 2008. Bentonit Sebagai Bahan Baku Industri di Sumatera Utara. Media Litbang Sumatera Utara. Inovasi 5. (3).

Madjid, A. 2009. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Fakultas Pertanian

Universitas Sriwijaya. [Online] tersedia

http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/2009/05/mineral-tanah.html.[Akses: 21 Desember 2012].

Mahmoudkhani, M. dan Keith, D. W. 2009, Low-energy sodium hydroxide recovery for CO2

capture from atmospheric air—Thermodynamic analysis. International Journal of Greenhouse Gas Control 156. (9).

Marion, G. M. 2000. Carbonate mineral solubility at low temperatures in the Na-K-Mg-Ca-H-Cl-SO4-OH-HCO3-CO3-CO2-H2O system. Geochimica et Cosmochimica Acta 65.

Morse, J.W., et. al. 1997. Influence of Temperature and Mg:Ca ratio on CaCO3 precipatates from seawater. Geology 25, 85-87.

Muhammad, S. et. al. 2009. Adaptasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Kelautan Terhadap Dampak Perubahan Iklim Global. Makalah Seminar Nasional Pemanasan Global: Strategi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Malang.

(38)

67

Noor, D. 2009. Mineral Dan Batuan. Pengantar Geologi. Universitas Sriwijaya.

O’Connor, W. K. et. al. 2001. Aqueous Mineral Carbonation Studies Using Olivine and Serpentine. Albany Research Center Office of Fossil Energy. Pittsburg.

O’Connor, W. K. et. al. 2000. Carbon Dioxide Sequestation By Direct Mineral Carbonation With Carbonic Acid. Proceedings of the 25th International Technical Conf. On Coal Utilization & Fuel Systems, Coal Technology Assoc., Clear Water, FL.

O’Connor, W. K. et. al. 2001. Carbon Dioxide Sequestration by Direct Mineral Carbonation: Results from Recent Studies and Current Status. Albany Research Center Office of Fossil Energy. Oregeon.

Othman, M.R., Martunus, R. Zakaria, W.J.N. Fernando. 2009. Strategic planning on carbon

capture from coal fired plants in Malaysia and Indonesia: A review. Energy Policy. 37.

1718-1735.

Ӧztϋrk, N. et. al. 2007. Newly synthesized bentonite–histidine (Bent–His) micro-composite

affinity sorbents for IgG adsorption. Colloids and Surfaces A: Physicochem. Eng.

Aspects 301, 490–497.

Parningotan, M.R., 2002. Inventarisasi dan Evaluasi Mineral Non Logam di Kab. Ciamis dan Kab. Tasik, Prov. Jawa Barat, DIM, Bandung. Kolokium Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral.

Pavličević, J. et. al. 2010. The Influence of Montmorillonitand Bentonite Addition on Thermal Properties of Polyurethanes Based on Aliphatic Polycarbon Diols. Thermochimica Acta. 509. 73-80

Priambodo, A. dan Kumar S. 2001. Energy Use and Carbon Dioxide emission of Indonesian Small and Medium Scale Industry. Energy Conversion and Management. 42. 1335-1348.

Ptáček, P. et. al. 2012. Activation of Bentonite and Talc by Acetic Acid as a Carbonation Feedstock for Mineral Storage of CO2. Atomic Absorption Spectroscopy. 221-258.

Purba, E. 2011. Perbandingan Profil Volume Dan Periode Penggantian Mikroalga Dalam

Penyerapan Gas CO2 Dalam Udara Menggunakan Tetraselmis chuii Dan

Nannochloropsis oculata. Prosiding Seminar Nasional Sains Dan Teknologi – IV.

Puslitbang Tekmira. 2005. Bentonit. [Online] tersedia:

http://tekmira.esdm.go.id/data/bentonit/ulasan.asp?xdr=Bentonit%commId=88&com=B entonit. [Akses: 15 September 2012].

(39)

68

Robie, R. A., Hemingway, B. S., Fischer, J. R. 1978: Thermodynamic Properties of minerals and related substances at 298.15 K and 1 bar (105 Pascal) pressure and at higher temperatures, US Geological Bulletin 1452, Washington DC.

Rojac, T. et. al. 2012. Using Infrared Spectroscopy to Identify New Amorphous Phases - A Case Study of Carbonato Complex Formed by Mechanochemical Processing. Infrared Spectroscopy - Materials Science, Engineering and Technology. InTech.

Salim, E. 2007. Perubahan Iklim dalam Seminar Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global. 15 Nopember 2007. LAPAN. Bandung.

Santoso, A. D. et. al. 2011. Mikro Alga Untuk Penyerapan Emisi CO2 dan Pengolahan

Limbah Cair Di Lokal Industri. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 3, (2), Hal. 62-70.

Seifritz, W.. 1990. CO2 disposal by means of silicates. Nature 345, 486

Skinner, A. J. et. al. 1994. Structure and bonding of calcite: A theoretical study. American Mineralogist. 79, 205-214.

Slamet S., L. 2008. Skenario Emisi CO2 di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional

Pemanasan Global dan Perubahan Global - Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN.

Stolaroff, J. K. et. al. 2008. Carbon Dioxide Capture from Atmospheric Air Using Sodium Hydroxide Spray. Environ. Sci. Technol. 42. 2728–2735

Xu, T. et. al. 2004. Numerical simulation of CO2 disposal by mineral trapping in deep

aquifers. Applied Geochemistry 19. 917–936.

Yudhoyono, S. B. 2009. Speech on Climate Change at the G-20 Leaders Summit. Pittsburg.

Yusuf, A.F., 2004. Pemetaan Endapan Fosfat di Daerah Taraju dan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya. Kolokium Direktorat Investasi Sumber Daya Mineral.

Zainith, A. et. al. 2002. Hasil Kegiatan Inventarisasi dan Evaluasi Sub Tolok Ukur Mineral Non Logam Tahun Anggaran 2002. Kolokium Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral.

Zevenhoven, R. et. al. 2001. CO2 Sequestration by Magnesium Silicate Mineral Carbonation

Gambar

Tabel 4.11
Gambar 4.6 Difraktogram XRD CaBK .........................................................
Gambar 3.1 Skema Penelitian
Gambar 3.2 Preparasi Sampel
+4

Referensi

Dokumen terkait

Bentonit dipilarisasi dengan polikation aluminium Al1~jenis Keggin [AI,~O 4(OH)24(H20) 12]7+ menghasilkan bahan berpilar yang mempunyai ruang basal Garak antara lembaran),

lunak merupakan suatu sifat bahan yang tidak permanen, dimana bahan akan.. berubah menjadi magnet apabila ada arus yang diberikan dan

Pembakar (burner) adalah alat yang digunakan untuk mereaksikan secara baik antara bahan bakar dengan oksidator sehingga dapat terjadi proses pembakaran.. Pembakar

Tidak jarang dari proses pembuatan karagenan ini akan menghasilkan limbah berupa sisa hasil pengolahan, padahal limbah tersebut masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku

Sarana dan prasarana produksi Sumber Daya Alam •Mineral •Hayati Cadangan Bahan: Mineral Hayati Bahan baku industri Produksi Proses Limbah.. Industri dan Aneka produk yang

Lubis (1994), Prospek Industri dengan Bahan Baku Limbah Padat Kelapa Sawit di Indonesia.. Jurnal Penelitian Kelapa

I) Bentonil yang berasa1 dari Kabupaten Benar Meriah digunakan sebagai bahan pengisi dan bahan penguat yang berfungsi untuk meningkatkan karakteristik mekanik

Upaya untuk memanfaatkan magnetite dalam pasir besi sebagai bahan baku toner dimotivasi dari penemuan sebelumnya dalam penelitian tentang karakteristik mineral