• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PENALARAN MORAL TERHADAP KONTROL DIRI PADA SISWA KELAS XI SMKN 1 KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PENALARAN MORAL TERHADAP KONTROL DIRI PADA SISWA KELAS XI SMKN 1 KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015."

Copied!
209
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PENALARAN MORAL TERHADAP KONTROL DIRI PADA SISWA KELAS XI SMKN 1

KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nandar Pamungkas Sari NIM 11104241076

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

i

PENGARUH INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PENALARAN MORAL TERHADAP KONTROL DIRI PADA SISWA KELAS XI SMKN 1

KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nandar Pamungkas Sari NIM 11104241076

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

v MOTTO

Biarkanlah Orang Lain Berkata Apa Tentang Saya, Karena Setelah Sedikit Waktu

Berlalu, Mereka Bukan Siapa-Siapa.

(Penulis)

Sebaik-Baik Manusia Adalah Orang Yang Paling Bermanfaat Bagi Manusia. (HR. Thabrani dan Daruquthni)

Sesungguhnya Allah Tidak Akan Mengubah Nasib Suatu Kaum Kecuali Kaum Itu

Sendiri Yang Mengubah Apa-apa Yang Ada Pada Diri Mereka.

(7)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan kepada :

• Ibuku tercinta • Ibuku tersayang

• Ibuku terkasih

• Kedua orangtuaku yang selalu memberikan segalanya yang terbaik bagiku

dalam keadaan apapun

(8)

vii

PENGARUH INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN PENALARAN MORAL TERHADAP KONTROL DIRI PADA SISWA KELAS XI SMKN 1

KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015

Oleh

Nandar Pamungkas Sari NIM. 11104241076

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pengaruh interaksi teman sebaya dan penalaran moral terhadap kontrol diri siswa, (2) pengaruh interaksi teman sebaya terhadap kontrol diri siswa, (3) pengaruh penalaran moral terhadap kontrol diri siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan Bantul Tahun Ajaran 2014/2015.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis regresi. Penelitian dilakukan di SMKN 1 Kasihan Bantul pada bulan Desember 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan Bantul Tahun Ajaran 2014/2015. Sampel diambil menggunakan teknik Quote Random Sampling dengan jumlah 3 kelas. Alat pengumpul data berupa skala interaksi teman sebaya, skala penalaran moral, dan skala kontrol diri. Uji validitas dan reliabilitas instrumen dihitung dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach. Analisis data menggunakan teknik regresi berganda pada uji hipotesis pertama, dan regresi sederhana pada uji hipotesis kedua dan ketiga dengan nilai signifikansi 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat pengaruh positif dan signifikan interaksi teman sebaya dan penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa dengan sumbangan efektif sebesar 45,71%, (2) terdapat pengaruh positif dan signifikan interaksi teman sebaya terhadap kontrol diri siswa dengan sumbangan efektif sebesar 18,16%, dan (3) terdapat pengaruh penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa dengan sumbangan efektif sebesar 27,71%. Kesimpulan penelitian ini adalah interaksi teman sebaya dan penalaran moral, baik secara bersama-sama ataupun masing-masing dapat memprediksi kontrol diri pada siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan Bantul Tahun Ajaran 2014/2015.

(9)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, inayah, dan rizki-Nya, sehingga Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Tugas Akhir Skripsi ini berjudul “Pengaruh Interaksi Teman Sebaya dan Penalaran Moral Terhadap Kontrol Diri Pada Siswa Kelas XI SMKN 1 Kasihan Bantul Tahun Ajaran 2014/2015”.

Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menjalani dan menyelesaikan studi.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan fasilitas akademik sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi. 3. Bapak Sugihartono, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan

meluangkan waktu, membimbing, memberikan ilmu, dan mengarahkan, serta memberi masukan kepada penulis selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi.

4. Seluruh dosen jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UNY atas ilmu yang bermanfaat selama penulis menjalani masa studi.

5. Kepala sekolah SMKN 1 Kasihan dan Ibu Purwanti, S.Pd. atas bantuan dan kerjasama sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dengan lancar.

6. Ibuku tercinta, Ibu Walgirah yang tanpa lelah memberikan doa dan selalu berusaha membantu baik secara moril maupun materi. Semoga Allah SWT senantiasa memberi kesehatan, memberi perlindungan, dan memberi kebahagiaan dunia akhirat. Amiin.

(10)

ix

8. Saudari-saudariku tersayang yang selalu memberikan nasihat dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan lancar. 9. Sahabat-sahabatku tersayang yang tidak dapat penulis sebutkan

satu-persatu. Terimakasih, karena sepanjang pertambahan usiaku, kalian adalah pemberian Tuhan paling indah yang pernah ku terima.

10.Seluruh teman-teman khususnya BK B 2011 yang telah memberikan banyak kenangan, keceriaan, dan kebahagiaan sepanjang penulis menjalankan studi.

11.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa Tugas Akhir Skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, penulis dengan senang hati dan terbuka menerima komentar, kritik, dan saran yang membangun. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat. Amiin.

Yogyakarta, 18 Januari 2016 Penulis,

(11)

x A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

G. Definisi Operasional ... 9

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Tentang Interaksi Teman Sebaya ... 11

1. Interaksi Teman Sebaya ... 11

a.Pengertian Interaksi Sosial ... 11

(12)

xi

c.Pengertian Interaksi Teman Sebaya ... 15

2. Aspek-aspek Interaksi Teman Sebaya ... 17

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Teman Sebaya ... 20

4. Cara Mengukur Interaksi Teman Sebaya ... 22

B. Kajian Tentang Penalaran Moral ... 23

1. Pengertian Penalaran Moral ... 23

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral... 26

3. Tahapan Perkembangan Moral ... 30

4. Cara Mengukur Penalaran Moral ... 35

C. Kajian Tentang Kontrol Diri ... 36

1. Pengertian Kontrol Diri ... 36

2. Aspek-aspek Kontrol Diri ... 39

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri ... 43

4. Fungsi Kontrol Diri ... 46

5. Cara Mengukur Kontrol Diri ... 47

D. Kajian Tentang Remaja Sebagai Siswa SMK ... 48

1. Pengertian Remaja ... 48

2. Pembagian Masa Remaja ... 50

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 52

E. Penelitian Terdahulu ... 54

F. Pengaruh Interaksi Teman Sebaya dan Penalaran Moral Terhadap Kontrol Diri Pada Remaja ... 56

G. Paradigma Penelitian ... 60

H. Hipotesis Penelitian ... 61

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 63

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 63

C. Subjek Penelitian ... 63

1. Populasi ... 63

(13)

xii

D. Variabel Penelitian ... 66

E. Metode Pengumpulan Data ... 66

F. Instrumen Penelitian ... 67

1. Skala Interaksi Teman Sebaya ... 68

2. Skala Penalaran Moral ... 73

3. Skala Kontrol Diri ... 77

G. Uji Coba Instrumen ... 81

1. Uji Validitas ... 81

2. Uji Reliabilitas ... 85

H. Teknik Analisis Data ... 87

1. Uji Prasyarat Analisis ... 87

a. Uji Normalitas ... 87

b. Uji Linearitas ... 88

c. Uji Multikolinearitas ... 88

2. Uji Hipotesis ... 88

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran umum SMKN 1 Kasihan ... 90

B. Deskripsi Data Hasil Penelititan ... 91

1. Deskripsi Data Interaksi Teman Sebaya ... 92

2. Deskripsi Data Penalaran Moral ... 95

3. Deskripsi Data Kontrol Diri ... 97

C. Pengujian Hipotesis ... 100

1. Uji Prasyarat Analisis ... 100

a. Uji Normalitas ... 100

b. Uji Linearitas ... 103

c. Uji Multikolinearitas ... 104

2. Uji Hipotesis ... 105

a. Hasil Uji Hipotesis Mayor ... 106

b. Hasil Uji Hipotesis Minor 1 ... 108

(14)

xiii

3. Sumbangan Efektif dan Relatif ... 111

D. Pembahasan ... 112

E. Keterbatasan Penelitian ... 122

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 128

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Populasi Penelitian ... 64

Tabel 2. Skor Alternatif Jawaban Skala ... 67

Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Interaksi Teman Sebaya ... 72

Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Penalaran Moral ... 76

Tabel 5. Kisi-kisi Instrumen Kontrol Diri ... 80

Tabel 6. Rentang Skor Validitas Masing-masing Instrumen ... 83

Tabel 7. Instrumen Interaksi Teman Sebaya Setelah Uji Coba ... 84

Tabel 8. Instrumen Penalaran Moral Setelah Uji Coba. ... 85

Tabel 9. Instrumen Kontrol Diri Setelah Uji Coba ... 85

Tabel 10. Inteprestasi Koefisien Korelasi ... 86

Tabel 11. Reliabilitas Instrumen ... 87

Tabel 12. Deskripsi Data Interaksi Teman Sebaya ... 93

Tabel 13. Batas Interval Kategorisasi Interaksi Teman Sebaya... 93

Tabel 14. Distribusi Frekuensi Interaksi Teman Sebaya ... 94

Tabel 15. Deskripsi Data Penalaran Moral ... 95

Tabel 16. Batas Interval Kategorisasi Penalaran Moral ... 96

Tabel 17. Distribusi Frekuensi Penalaran Moral ... 96

Tabel 18. Deskripsi Data Kontrol Diri ... 98

Tabel 19. Batas Interval Kategorisasi Kontrol Diri ... 98

Tabel 20. Distribusi Frekuensi Kontrol Diri ... 99

Tabel 21. Hasil Uji Normalitas ... 101

Tabel 22. Hasil Uji Linearitas ... 104

Tabel 23. Hasil Uji Multikolinearitas ... 105

Tabel 24. Hasil Uji Hipotesis Mayor ... 107

Tabel 25. Hasil Uji Hipotesis Minor 1 ... 108

Tabel 26. Hasil Uji Hipotesis Minor 2 ... 110

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1. Paradigma Penelitian ... 61

Gambar 2. Distribusi Frekuensi Interaksi Teman Sebaya... 95

Gambar 3. Distribusi Frekuensi Penalaran Moral ... 97

Gambar 4. Distribusi Frekuensi Kontrol Diri ... 100

Gambar 5. Grafik P-P Plot Normalitas ... 102

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Lembar Uji Expert Judgement ... 132

Lampiran 2. Instrumen Penelitian Sebelum Uji Coba ... 152

Lampiran 3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Interaksi Teman Sebaya ... 158

Lampiran 4. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Penalaran Moral... 159

Lampiran 5. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kontrol Diri ... 160

Lampiran 6. Instrumen Penelitian Setelah Uji Coba... 161

Lampiran 7. Distribusi Skor Data Penelitian ... 166

Lampiran 8. Data Kategorisasi... 178

Lampiran 8. Rumus Penghitungan Kategori ... 180

Lampiran 9. Penghitungan Kelas Interval ... 182

Lampiran 9. Hasil Uji Kategorisasi... 183

Lampiran 10. Hasil Uji Deskriptif ... 184

Lampiran 11. Hasil Uji Normalitas ... 185

Lampiran 12. Hasil Uji Linearitas ... 186

Lampiran 13. Hasil Uji Multikolinearitas ... 187

Lampiran 14. Hasil Uji Hipotesis ... 188

Lampiran 15. Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 189

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa dan merupakan salah satu tahap perkembangan dalam rentang kehidupan manusia. Zakiah Daradjat (1982: 28) menyebut remaja sebagai tingkatan umur dimana individu tidak lagi anak-anak, tetapi belum dapat dipandang sebagai orang dewasa. Dapat dikatakan bahwa masa remaja merupakan jembatan antara masa anak-anak dan masa dewasa. Perubahan banyak terjadi pada individu yang memasuki masa remaja. Perubahan tersebut meliputi semua aspek perkembangan seperti perubahan fisik, perubahan emosi, perubahan sosial, moral, dan juga kepribadian.

Monks, dkk (2002: 262) menjelaskan bahwa masa remaja secara global berlangsung antara usia 12 hingga 21 tahun. Masa remaja ini juga seringkali disebut dengan masa badai dan topan dikarenakan kedudukan remaja yang berada pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa membuat remaja mengalami perubahan struktur sosial. Hal tersebut seringkali menjadikan remaja rawan mengalami krisis identitas. Mereka merasa kebingungan mengenai status sosial yang diberikan kepadanya. Para remaja bertanya-tanya mengenai siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.

(19)

2

waktu remaja setiap harinya dihabiskan di lingkungan sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sendiri memiliki tujuan salah satunya adalah menghasilkan

output pendidikan berupa siswa yang memiliki kualitas baik di bidang akademik maupun non akademik. Harapan dari pihak sekolah dan juga orangtua dari proses pendidikan tersebut yaitu agar siswa dapat mencapai kematangan dalam berbagai aspek perkembangan sesuai dengan tugas perkembangannya.

Sementara melihat fenomena yang ada saat ini, seringkali orangtua dan sekolah dihadapkan pada berbagai masalah yang terjadi pada remaja sebagai siswa. Seperti kasus tawuran yang belum lama ini terjadi di Sleman, Yogyakarta. Polres Sleman mengamankan 2 pihak pelajar setelah terlibat aksi tawuran di kawasan Karanggayam, Sumberejo. Akibat dari tawuran tersebut salah satu siswa pingsan karena terkena lemparan benda keras (jogja.tribunnews.com). Masalah siswa yang masuk dalam kategori kekerasan kini juga tidak hanya terjadi pada siswa putra, bahkan juga melibatkan siswi. Beberapa waktu yang lalu terjadi tindak kekerasan yang terjadi di kalangan siswi sekolah menengah atas dikarenakan masalah tato “Hello Kitty”. Korban disekap dan disiksa oleh

sedikitnya 9 (sembilan) orang dimana 6 (enam) diantaranya adalah pelajar lain (rri.co.id).

(20)

3

tingkah laku, dan juga mengambil keputusan. Kekurangmampuan remaja dalam mengolah stimulus atau informasi dari lingkungan sekitar seringkali menyebabkan remaja cenderung mengambil keputusan secara cepat tanpa mempertimbangkan dampak dari tindakan yang diambil. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika remaja lebih sering melakukan perilaku-perilaku yang oleh orang dewasa disebut dengan perilaku maladaptif.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti bertempat di SMKN 1 Kasihan Bantul, peneliti menjumpai adanya siswa yang berbicara dengan guru menggunakan bahasa jawa “ngoko” yang dianggap kurang pantas

digunakan kepada orang yang lebih tua. Peneliti juga sering melihat beberapa siswa yang mengikuti pelajaran hanya menggunakan kaos dengan alasan gerah setelah pelajaran praktik. Masalah bolos sekolah dan kedisiplinan siswa dalam jam masuk kelas juga masih sering terjadi. Sementara setelah melakukan wawancara dengan guru BK di sekolah tersebut, peneliti mendapat keterangan bahwa beberapa hari sebelum melakukan observasi, ada siswa kelas XI yang kedapatan membawa minuman keras di lingkungan sekolah. Alhasil siswa tersebut terjaring razia polisi dan mendapatkan pembinaan. Masalah-masalah yang terjadi pada beberapa siswa di SMKN 1 Kasihan ini juga merupakan bentuk dari kontrol diri yang kurang baik akibat dari siswa yang kurang mampu dalam menghadapi stimulus yang diterimanya dengan baik yang dalam hal ini bisa berupa peraturan sekolah.

(21)

4

dijelaskan oleh Bimo Walgito (2011: 74) sebagai hubungan antar individu dalam suatu kelompok dalam lingkungan masyarakat dimana anggota-anggotanya berada pada usia yang relatif sama. Berbeda dengan sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan yang lain, SMKN 1 Kasihan merupakan sekolah kejuruan dimana di dalamnya terdapat kompetensi keahlian seperti menari, teater, dan karawitan. Kompetensi keahlian tersebut membutuhkan ketrampilan berinteraksi yang baik karena dalam setiap praktiknya selalu berkelompok. Siswa harus memiliki kemampuan berinteraksi dengan orang lain agar dapat bekerjasama dengan baik.

Guru BK di sekolah tersebut juga memberikan keterangan bahwa siswa yang melakukan penyimpangan biasanya adalah siswa yang dihindari oleh teman-temannya. Sementara kebanyakan siswa yang memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap lingkungannya lebih dapat diterima oleh teman-temannya dan seringkali terhindar dari penyimpangan. Hal tersebut sesuai dengan keterangan yang didapatkan peneliti ketika mewawancarai beberapa siswa di sekolah tersebut. Beberapa siswa tersebut menyatakan bahwa mereka kurang menyukai siswa yang tidak dapat bekerjasama dengan baik ketika dalam satu kelompok. Para siswa ini juga menyatakan bahwa ketika berada dalam satu kelompok praktikum, mereka akan berusaha menjalankan tanggung jawab sebagai anggota kelompok dengan baik sehingga tujuan kelompok dapat tercapai dengan baik.

(22)

5

belajar di sekolah. Siswa-siswa ini juga memahami bahwa melanggar peraturan sekolah hanya akan mendatangkan kerugian bagi diri mereka sendiri dan tidak ada manfaatnya, sehingga mereka berusaha untuk mentaati peraturan tersebut. Dari keterangan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa siswa-siswa tersebut telah memiliki penalaran moral yang cukup baik. Sarwono (Solvia Karina Tarigan dan Ade Rahmawati Siregar, 2013: 80) menjelaskan bahwa penalaran moral berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa suatu hal dapat dianggap baik atau buruk. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pemahaman siswa mengenai peraturan-peraturan sekolah tersebut juga merupakan bagian dari penalaran moral.

Selain itu juga ada beberapa siswa yang diwawancarai memberikan keterangan yang kurang lebih menganggap bahwa peraturan sekolah dibuat hanya untuk formalitas saja. Ada juga siswa yang menganggap peraturan sekolah yang ada hanya membatasi mereka untuk bebas berekspresi. Mereka menganggap peraturan sekolah kurang penting untuk dilaksanakan dan yang terpenting adalah prestasi siswa. Berdasarkan keterangan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa masih ada siswa yang memiliki penalaran moral yang kurang baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya siswa yang memakai seragam sekolah tidak sesuai aturan dan bahkan menggambari seragam sekolah mereka dengan gambar-gambar animasi.

(23)

6

interaksi remaja dengan teman sebayanya yang kurang baik dan menimbulkan penolakan dapat berakibat kurang baik pada psikis remaja. Penjelasan tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Hightower (Santrock, 2003: 220) yang menjelaskan bahwa hubungan dengan teman sebaya yang harmonis pada masa remaja berhubungan dengan kesehatan mental yang positif pada usia pertengahan.

Hasil penelitian yang dilakukan Santi Praptiani (2013) yang mengaitkan variabel kontrol diri dan agresivitas menyimpulkan bahwa kontrol diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas seseorang. Sementara itu ada dugaan bahwa faktor sosial dan ekonomi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kontrol diri seseorang. Berdasarkan hal tersebut dan juga melihat masalah-masalah yang terjadi, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh interaksi dengan teman sebaya dan penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa yang memasuki usia remaja. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan yaitu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel interaksi teman sebaya dan variabel penalaran moral terhadap variabel kontrol diri. Sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang dilakukan yang terkait dengan ketiga variabel tersebut. Oleh karena itu, peneliti akan mengambil judul “Pengaruh Interaksi Teman

Sebaya dan Penalaran Moral Terhadap Kontrol Diri pada Siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan” dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh

(24)

7 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas identifikasi masalah yang ada antara lain:

1. Adanya siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan yang kurang mampu melakukan kontrol diri dengan baik sehingga melakukan penyimpangan atau pelanggaran tata tertib.

2. Kontrol diri yang kurang baik pada beberapa siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan menyebabkan siswa mengambil keputusan dengan cepat tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan.

3. Adanya siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan yang seringkali masih kesulitan dalam berinteraksi sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan kelompok pertemanan.

4. Adanya siswa kelas XI di SMKN 1 Kasihan yang masih kesulitan memahami peraturan sekolah sehingga melanggar peraturan atau tata tertib.

C. Batasan Masalah

(25)

8 D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh interaksi sosial teman sebaya dan penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan?

2. Bagaimana pengaruh interaksi sosial teman sebaya terhadap kontrol diri pada siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan?

3. Bagaimana pengaruh penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan?

E. Tujuan Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya akan menjawab rumusan masalah yang disebutkan di atas. Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh interaksi sosial teman sebaya dan penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa kelas XI SMKN 1 Kasihan.

2. Mengetahui pengaruh interaksi sosial teman terhadap kontrol diri pada siswa kelas XI SMK N 1 Kasihan.

3. Mengetahui pengaruh penalaran moral terhadap kontrol diri pada siswa kelas XI SMK N 1 Kasihan.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

(26)

9

dalam bidang ilmu Bimbingan dan Konseling yang mengkaji tentang pengaruh interaksi sosial teman sebaya dan kontrol diri terhadap penalaran moral pada remaja sebagai siswa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pihak sekolah khususnya guru BK.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat membantu guru BK dalam upaya peningkatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah sehingga bisa menjadi lebih baik lagi.

b. Bagi pihak orangtua.

Diharapkan dengan penelitian ini dapat menambah wawasan serta pengetahuan orangtua dalam usaha peningkatan perhatian dan pengawasan terhadap anak, mengingat anak-anak yang memasuki usia remaja lebih banyak menghabiskan waktu di luar lingkungan keluarga. c. Bagi siswa yang memasuki usia remaja.

Bagi siswa diharapkan setelah membaca penelitian ini dapat menjadikan tulisan ini sebagai pembelajaran dan pengetahuan khususnya ketika bersikap dan bertingkahlaku di lingkungan sekolah. G. Definisi Operasional

1. Interaksi Teman Sebaya

(27)

10 2. Penalaran Moral

Penalaran moral dimaknakan sebagai pemahaman seseorang mengenai jawaban mengapa suatu hal dapat dianggap benar atau salah, baik atau buruk, aturan yang harus dipatuhi dan lain sebagainya, dan berperan sebagai kendali atas tingkah laku agar sesuai dengan norma masyarakat. 3. Kontrol Diri

(28)

11 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Tentang Interaksi Teman Sebaya

Dalam kajian tentang interaksi teman sebaya ini akan dibahas mengenai pengertian interaksi teman sebaya, aspek-aspek interaksi sosial teman sebaya, faktor yang mempengaruhi interaksi teman sebaya, dan cara mengukur interaksi teman sebaya.

1. Interaksi Teman Sebaya

Masa remaja merupakan salah satu tahap dalam perkembangan kehidupan manusia dimana Havighurts (Syamsu Yusuf, 2011: 74) menjelaskan bahwa seseorang yang berada dalam tahap ini memiliki tugas perkembangan salah satunya adalah mencapai kematangan dalam hubungan sosial yang lebih matang dengan teman sebaya. Hubungan remaja dengan teman sebaya ini memiliki fungsi untuk saling berbagi informasi mengenai dunia di luar lingkungan keluarga. Dapatlah dipahami bahwa remaja memerlukan interaksi dengan teman sebaya untuk mencapai pola hubungan sosial yang lebih matang.

a. Pengertian Interaksi Sosial

(29)

12

terjadi perubahan-perubahan diantara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Terdapat unsur bahasa dalam suatu interaksi yang digunakan untuk berkomunikasi oleh orang-orang tersebut.

Bimo Walgito (2003: 65) menjelaskan interaksi sebagai hubungan antara satu orang dengan orang lain dimana satu orang dapat mempengaruhi orang lain atau sebaliknya. Interaksi dapat terjadi antara satu orang dengan orang lain, satu orang dengan kelompok, atau bahkan satu kelompok dengan kelompok lain yang mana dalam interaksi tersebut terdapat hubungan timbal balik. Pengertian yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2010: 87) yang menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Hubungan timbal balik berarti seseorang tidak hanya menerima suatu interaksi dari orang lain tetapi juga memberikan interaksi kepada orang lain. Oleh karena itu, dalam suatu interaksi orang-orang yang terlibat memiliki peranan yang sama. Unsur-unsur interaksi sosial menurut pengertian ini adalah adanya hubungan timbal balik dan peran aktif dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.

(30)

13

Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam suatu interaksi, orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan pengaruh terhadap orang lain. Senada dengan rumusan tersebut, Thibaut dan Kelley (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2010: 87) mendefinisikan interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasi satu sama lain. Pengertian interaksi sosial dari kedua ahli ini memiliki kesamaan unsur yaitu bahwa dalam suatu interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar orang-orang yang terlibat.

Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas mengenai pengertian interaksi sosial, maka dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis antara satu orang dengan orang lain, satu orang dengan kelompok, atau satu kelompok dengan kelompok lain menggunakan komunikasi berupa simbol bahasa baik verbal maupun non-verbal didalamnya dan terjadi hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.

b. Pengertian Teman Sebaya

(31)

14

dilakukannya apakah lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk daripada yang dilakukan remaja lain. Teman sebaya memberikan lingkungan bagi remaja untuk belajar mengenai hal-hal yang tidak dapat remaja pelajari di lingkungan keluarga.

Lebih lanjut, Horrock dan Benimoff (Hurlock, 1996: 214) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kelompok teman sebaya adalah dunia nyata bagi individu dimana ia dapat menguji diri sendiri dan orang lain yang sejajar dan seusia dengan dirinya serta dapat merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Disinilah remaja melakukan sosialisasi dalam situasi dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai dan sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh orang dewasa yang biasanya dihindari oleh remaja. Berdasarkan pengertian ini diketahui bahwa konsep diri remaja juga dipengaruhi oleh lingkungan teman sebaya. Penghindaran remaja pada otoritas orang dewasa membuat dirinya bersama dengan teman sebaya membentuk suatu kelompok dimana di dalamnya terdapat aturan tersendiri.

(32)

15

dianggap menyenangkan. Senada dengan pendapat tersebut Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1995: 186) menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan teman sebaya atau kelompok teman sebaya adalah suatu kelompok yang terdiri dari individu-individu yang bersamaan usianya, seperti kelompok bermain pada masa kanak-kanak, kelompok dengan anggota yang berjenis kelamin sama, atau bahkan kelompok anak dengan perilaku menyimpang. Ciri umum yang dimaksud dengan teman sebaya adalah kesamaan usia.

Berdasarkan uraian-uraian mengenai pengertian teman sebaya di atas, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan teman sebaya adalah individu-individu yang berada pada tingkatan yang kurang lebih sama baik secara usia maupun psikologis dimana individu-individu tersebut memiliki kemampuan untuk berinteraksi serta berkomunikasi. Teman sebaya memberikan kesempatan untuk menguji dan menilai diri individu mengenai apakah yang ia lakukan lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk. Banyak hal yang dilakukan oleh kelompok teman sebaya adalah hal-hal yang bersifat menyenangkan.

c. Pengertian Interaksi Teman Sebaya

(33)

16

keterikatan antar individu-individu yang terlibat. Persamaan tingkat usia pada anggota-anggota kelompok sebaya tersebut menyebabkan remaja merasa berada pada posisi yang sama, sehingga remaja berpikir bahwa teman-teman sebayanya tersebut lebih dapat memahami dirinya dibandingkan orang lain. Interaksi yang terjadi juga menjadi lebih intens ketika memasuki usia remaja karena sebagian besar waktu remaja dihabiskan bersama dengan teman sebaya. Interaksi dalam kelompok sebaya tersebut menimbulkan ikatan yang kuat antar anggota di dalamnya.

Iis Lusiana (2014: 85) menjelaskan bahwa interaksi sosial yang terjadi pada remaja antara lain interaksi dengan teman sebaya, interaksi dengan lingkungan keluarga, dan interaksi dengan orang tua. Interaksi remaja dengan teman sebaya merupakan keingingan untuk diterima dalam kelompok teman sebaya sehingga remaja harus bisa menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya. Penerimaan oleh teman sebaya berkaitan dengan kebahagiaan dimana hal tersebut merupakan kebutuhan batin seorang remaja. Penilaian positif dan pengakuan akan keberadaan remaja oleh teman sebaya tersebut menyebabkan remaja melakukan penyesuaian diri demi kelancaran proses penyatuan dirinya dengan aktivitas kelompok teman sebaya.

(34)

17

memiliki sifat-sifat antara lain saling pengertian, saling membantu, saling percaya, serta saling menghargai dan menerima. Beberapa dari teman sebaya akan menjadi sahabat dimana hubungan tersebut dapat terjalin lebih lama serta memiliki ikatan emosional yang lebih kuat. Keterikatan tersebut terjadi dikarenakan unsur-unsur interaksi teman sebaya yang ada dalam pengertian ini yaitu kerjasama. Bersama dengan teman sebaya, remaja belajar hidup bersama dengan orang lain di luar anggota keluarga.

Berdasarkan pengertian interaksi sosial dan pengertian teman sebaya yang telah dijelaskan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan interaksi teman sebaya adalah hubungan yang dinamis antara satu orang dengan orang lain yang kurang lebih sama secara usia maupun kematangan psikologis dimana di dalamnya terjadi hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Interaksi teman sebaya yang terjadi akan membentuk kelompok pertemanan dengan sifat saling membantu, saling pengertian, saling percaya, dan saling menghargai serta menerima.

2. Aspek-aspek Interaksi Teman Sebaya

Aspek-aspek yang muncul ketika remaja berinteraksi dengan teman sebaya disampaikan oleh Mildred B. Parten (Save Dagun, 2002: 86) yaitu : a. Jumlah waktu remaja berada di luar rumah, remaja mempunyai

(35)

18

b. Keterlibatan remaja bermain dengan temannya, remaja menganggap bahwa teman sebaya lebih dapat memahami keinginannya dan belajar mengambil keputusan sendiri.

c. Kecenderungan remaja bermain sendiri, remaja yang suka bermain sendiri biasanya introvert atau bila menghadapi suatu tekanan hanya berperan sebagai penonton.

d. Kecenderungan remaja bermain peran, remaja berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan dimana remaja aktif bermain dengan teman sebaya. Perkembangan sosial yang meningkat pada remaja tampak terlihat dalam keinginannya untuk mendapatkan berbagai stimulan luar.

e. Bermain asosiatif, remaja lebih suka bermain dengan teman sebayanya dan melepaskan diri dari lingkungan orangtua untuk menemukan jati dirinya.

f. Sikap kerjasama, pada kelompok teman sebaya untuk pertama kalinya remaja menerapkan prinsip hidup bersama, sehingga terbentuk norma-norma, nilai-nilai, dan simbol-simbol tersendiri.

(36)

19

remaja dihabiskan bersama dengan teman sebayanya. Dari aspek-aspek tersebut terdapat satu aspek yang kurang relevan yaitu kecenderungan remaja untuk bermain sendiri.

Sedangkan aspek-aspek interaksi teman sebaya yang disampaikan Hartup (Save Dagun, 2002: 55) sebagai berikut :

a. Perasaan ketergantungan pada teman sebayanya lebih besar daripada terhadap orang dewasa.

b. Perasaan simpati dan perasaan cinta semakin bertambah.

c. Ia ingin mempengaruhi yang lain, ingin menjadi pemimpin atas temannya.

d. Perasaan kompetisi bertambah. e. Suka bertengkar.

f. Aktivitas bernada agresif semakin bertambah.

Aspek-aspek interaksi teman sebaya yang disampaikan oleh Hartup di atas menunjukkan bahwa pada saat berinteraksi dengan teman sebaya, seseorang akan cenderung memiliki keinginan untuk berkompetisi. Hampir sama dengan salah satu aspek yang disampaikan oleh Parten, dalam aspek-aspek ini juga terdapat unsur dimana seseorang memiliki kecenderungan bergantung pada teman sebaya daripada orangtua.

(37)

20

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Teman Sebaya

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi interaksi teman sebaya disampaikan oleh Bonner (W.A. Gerungan, 2004: 62) yaitu antara lain : a. Faktor imitasi, merupakan peniruan terhadap perilaku orang lain dan

kemudian melakukan tingkah laku yang sama dengan perilaku tersebut. Peranan imitasi dalam interaksi sosial biasanya terjadi pada masa awal perkembangan anak.

b. Faktor sugesti, dapat dimaknakan sebagai proses dimana seseorang menerima suatu cara pandang atau pedoman-pedoman tingkah laku baik dari diri sendiri maupun dari orang lain dan berpengaruh secara psikis bagi orang tersebut.

c. Faktor identifikasi, merupakan kecenderungan seseorang untuk menjadi identik dengan orang lain. Interaksi yang terbentuk dari proses identifikasi bersifat lebih mendalam dibandingkan dengan hubungan yang berlangsung dari proses sugesti maupun imitasi.

d. Faktor simpati, dapat dimaknakan sebagai ketertarikan perasaan seseorang terhadap orang lain. Ketertarikan yang timbul bukan karena faktor tertentu tetapi karena keseluruhan cara bertingkah laku orang tersebut.

(38)

pengalaman-21

pengalaman hubungan sosial serta perkembangan afektif dan kognitif orang itu sendiri yang menjadi faktor yang dapat mempengaruhi interaksi sosialnya.

Sementara itu Monks, dkk (2004: 276) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang cenderung mempengaruhi interaksi teman sebaya pada remaja yaitu :

a. Umur, konformitas semakin besar dengan bertambahnya usia, terutama terjadi pada usia 15 tahun atau belasan tahun.

b. Keadaan sekeliling, kepekaan pengaruh dari teman sebaya lebih besar dari pada perempuan.

c. Kepribadian ekstrovet, anak-anak yang tergolong ekstrovet lebih cenderung mempunyai konformitas dari pada anak introvet.

d. Jenis kelamin, kecenderungan laki-laki untuk berinteraksi dengan teman lebih besar dari pada anak perempuan.

e. Besarnya kelompok, pengaruh kelompok menjadi semakin besar bila besarnya kelompok bertambah.

f. Keinginan untuk mempunyai status, adanya suatu dorongan untuk memiliki status, kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya interaksi diantara sebayanya. Individu akan menemukan kekuatan dalam mempertahankan dirinya di dalam perebutan tempat dari dunia orang dewasa.

g. Interaksi orang tua, suasana rumah yang tidak menyenangkan dan adanya tekanan dari orang tua menjadi dorongan individu dalam berinteraksi dengan teman sebayanya.

h. Pendidikan, pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor dalam interaksi teman sebaya karena orang yang berpendidikan tinggi mempunyai wawasan dan pengetahuan luas yang akan mendukung dalam pergaulannya.

(39)

22

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada berbagai faktor yang mempengaruhi interaksi teman sebaya yaitu antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan faktor simpati. Selain itu interaksi teman sebaya juga dapat dipengaruhi oleh faktor umur, keadaan sekeliling, kepribaian ekstrovert, jenis kelamin, besarnya kelompok, keinginan untuk memiliki status, interaksi orangtua, dan juga pendidikan.

4. Cara Mengukur Interaksi Teman Sebaya

Cara pengukuran interaksi remaja dengan teman sebaya menggunakan skala interaksi teman sebaya. Penggunaan skala ini bertujuan untuk mengungkap interaksi teman sebaya pada remaja (siswa) dengan mengukur perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai bagian dari interaksi teman sebaya. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek yang disampaikan oleh Mildred B. Parten (Save Dagun, 2002: 86) mengenai interaksi teman sebaya, antara lain:

a. Jumlah waktu remaja di luar rumah

b. Keterlibatan remaja bermain dengan teman sebaya c. Kecenderungan remaja bermain sendiri

d. Kecenderungan remaja bermain peran e. Kecenderungan remaja bermain asosiatif f. Sikap kerjasama

(40)

23

tersebut dibuat menjadi angket dengan menjabarkan aspek-aspek tersebut dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang digunakan untuk mengukur interaksi remaja dengan teman sebaya.

B. Kajian Tentang Penalaran Moral

Kajian mengenai penalaran moral ini akan membahas mengenai pengertian penalaran moral, faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral, tahapan perkembangan moral, dan cara mengukur penalaran moral.

1. Pengertian Penalaran Moral

Istilah moral berasal dari bahasa latin yaitu “mos” atau “moris” yang

(41)

24

Wahab dan Solehuddin (Rita Eka Izzaty, dkk, 2008: 143) menjelaskan bahwa moral mengacu pada baik buruk dan benar salah yang berlaku dalam masyarakat luas. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah dipahami bahwa moral sendiri merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat. Suatu lingkungan masyarakat memiliki nilai dan aturan yang dijunjung di dalamnya, sehingga untuk dapat hidup berdampingan seseorang harus mengikuti dan mematuhi peraturan yang ada. Sejalan dengan hal tersebut Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 143) dalam bukunya menyimpulkan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk, benar salah, akhlak, aturan yang harus dipatuhi dan sebagainya. Moral dimaknakan sebagai kendali atau kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai kehidupan seperti norma dalam masyarakat dan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan hidup seseorang. Moral juga merupakan salah satu bagian penting yang berhubungan dengan perkembangan sosial dalam membuat penilaian ataupun keputusan dalam berperilaku. Penjelasan ini kurang lebih sama dengan penjelasan-penjelasan sebelumnya yang menitik beratkan moral sebagai ajaran mengenai baik atau buruk serta aturan-aturan yang harus dipatuhi. Penjelasan ini juga menambahkan bahwa moral memiliki peran dalam kontrol diri dimana aturan atau norma sosial membuat seseorang berusaha mematuhi aturan tersebut agar perilakunya tidak menyimpang dari norma sosial yang berlaku.

(42)

25

moral (moral reasoning) dan dimaknakan sebagai keleluasaan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban. Sejalan dengan pengertian tersebut, Setiono (Desmita, 2010: 206) menyebut moralitas pada hakikatnya adalah penyelesaian konflik antara diri dan diri orang lain, antara hak dan kewajiban. Moral berkaitan dengan bagaimana seseorang menjalin hubungan dengan orang lain, dimana dalam menjalin hubungan tersebut seseorang perlu untuk memahami prinsip-prinsip moral demi tercapainya hubungan yang baik dengan orang lain. Unsur-unsur moral yang terdapat dalam pengertian ini antara lain relasi atau hubungan sosial, hak, serta kewajiban.

Sementara itu Sarwono (Solvia Karina Tarigan dan Ade Rahmawati Siregar, 2013: 80) menjelaskan bahwa penalaran moral berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa suatu hal dapat dianggap baik atau buruk. Pengertian dari Sarwono ini memiliki makna yang lebih dalam dibanding pengertian-pengertian yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada pengertian-pengertian sebelumnya moral dikatakan sebagai ajaran mengenai baik atau buruk suatu hal. Sementara pada pengertian ini moral atau penalaran moral dimaknakan sebagai alasan-alasan mengapa suatu hal dapat dikataan baik atau buruk.

(43)

26

benar atau salah, baik atau buruk, aturan yang harus dipatuhi dan lain sebagainya, dan berperan sebagai kendali atas tingkah laku agar sesuai dengan norma masyarakat.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral

Proses individu dalam perkembangan penalaran moral sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya terutama orangtua. Berikut ini beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan kaitannya dengan perkembangan moral anak menurut Syamsu Yusuf (2011: 133) :

a. Konsisten dalam mendidik anak

Orangtua baik ayah dan ibu memiliki peran yang penting dalam menerapkan suatu aturan dalam lingkungan keluarga. Orangtua harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau memperbolehkan suatu tingkah laku tertentu kepada anak secara konsisten.

b. Sikap orangtua dalam keluarga

(44)

27

Orangtua yang memberikan kasih sayang, perhatian, menerapkan sikap keterbukaan, serta konsisten dapat memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan moral anak.

c. Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut

Orangtua dalam lingkungan keluarga seringkali dijadikan anak sebagai panutan (teladan) tidak hanya dalam bersikap tetapi juga menjadi panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim religius di lingkungan keluarga dengan mengajarkan anak tentang nilai-nilai agama akan membuat anak mengalami perkembangan moral yang baik.

d. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma

(45)

28

Faktor-faktor yang diuraikan oleh Syamsu Yusuf ini menekankan pada peran orangtua dalam perkembangan moral anak. Bagaimana sikap orangtua dalam mendidik anak, dan situasi lingkungan keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan moral anak.

Sementara itu Kohlberg (1995: 143-159) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor umum yang menjadi faktor pemberi kontribusi dalam perkembangan moral seseorang yaitu :

a. Kesempatan mengambil peran

Perkembangan penalaran moral individu akan meningkat apabila terlibat dalam situasi yang memungkinkan dirinya dapat mengambil perspektif sosial misalnya dalam keadaan dimana individu tersebut sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan, kebutuhan, hak, kewajiban, nilai, dan standar orang lain.

b. Situasi Moral

(46)

29

norma moral itu yang menjadi pendorong bagi berkembangnya penalaran moral individu.

c. Konflik moral kognitif

Beberapa individu bertentangan dengan orang lain yang mempunyai tingkat penalaran moral yang lebih tinggi ataupun yang lebih rendah. Hal tersebut dapat memicu perkembangan penalaran moral individu. Misalnya saja seorang remaja yang mengalami pertentangan dengan orang lain yang memiliki tingkat penalaran lebih tinggi akan menunjukkan perkembangan penalaran moral yang lebih tinggi daripada remaja yang mengalami pertentangan dengan orang yang memiliki kesamaan tingkat penalaran moral dengan dirinya. Oleh karena itu dapatlah dipahami bahwa konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran moral individu terhadap penalaran moral orang lain.

Kohlberg (Santrock, 2003: 443) juga setuju dengan pendapat Piaget dimana dirinya percaya bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya dianggap sebagai bagian penting dari stimulus sosial yang dapat menantang individu untuk mengubah orientasi moralnya.

(47)

30

tertentu. Peran teman sebaya juga dianggap memiliki kontribusi dalam perkembangan moral seseorang.

Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa faktor yang mempegaruhi perkembangan moral individu adalah peranan dan pengasuhan orangtua terhadap anak, kesempatan pengambilan peran oleh individu, situasi moral itu sendiri, konflik moral kognitif individu dengan orang lain, dan juga interaksi individu dengan teman sebayanya.

3. Tahapan perkembangan penalaran moral

Perkembangan penalaran moral yang disampaikan Piaget (Rita Eka Izzati, dkk, 2008: 144) didasarkan pada perkembangan kognitif. Kemudian Piaget membagi penalaran moral ke dalam beberapa tingkatan dan menitik beratkan pada pengertian dan pemahaman individu sesuai dengan perkembangan kognitifnya.

a. Penalaran moral heteronom.

(48)

31 b. Penalaran moral otonom.

Terjadi pada individu yang berusia 10 tahun keatas. Umumnya individu pada tahap ini telah mengetahui bahwa moral ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Individu mematuhi peraturan yang ada sebagai hasil kesepakatan bersama dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Mereka paham bahwa peraturan dapat diubah berdasarkan kepentingan dan kesepakatan. Berbeda dengan individu yang berada pada tahap penalaran moral heteronom, pada tahap ini individu sadar bahwa benar atau salah suatu perbuatan didasarkan pada niatnya bukan pada akibatnya.

c. Penalaran moral transisi.

Periode ini terjadi pada usia 7 sampai 10 tahun dimana pada tahap ini penalaran moral individu masih berubah-ubah. Pandangan individu mengenai peratura dan perbuatan terkadang masih seperti individu pada tahap penalaran moral heteronom, dan kadang-kadang sudah seperti individu padatahap penalaran moral otonom.

Perkembangan moral yang disampaikan Piaget di atas pada dasarnya hanya terjadi dalam 2 (dua) tingkatan yaitu penalaran moral heteronom dan penalaran moral otonom. Sementara penalaran moral transisi bukan sebagai suatu tingkatan penalaran moral tersendiri tetapi hanya sebagai proses peralihan dari kedua tingkatan penalaran moral yang terjadi.

(49)

32

terjadi sesuai dengan perkembangan usia individu. Perkembangan tersebut meliputi penalaran prakonvensional, konvensional, dan post-konvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi menjadi 2 tahap dalam setiap tingkatannya, yaitu:

a. Penalaran Prakonvensional.

Penalaran prakonvensional (preconventional reasoning)

merupakan tingkatan terendah dalam teori perkembangan moral yang disampaikan oleh Kohlberg. Pada tingkatan ini individu tidak menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai moral dan penalaran dikendalikan oleh hadiah atau reward dan hukuman eksternal.

Tahap 1) orientasi hukuman dan kepatuhan.

Merupakan tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini pemikiran moral didasarkan pada hukuman. Sebagai contoh, anak-anak dan remaja mematuhi orang dewasa karena orang dewasa menyuruh mereka untuk patuh.

Tahap 2) individualisme dan tujuan.

(50)

33 b. Penalaran Konvensional.

Penalaran konvensional adalah tingkatan kedua atau menengah, dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini internalisasi sifatnya menengah. Individu mematuhi beberapa standar tertentu (internal), tetapi standar tersebut merupakan standar orang lain (eksternal), misalnya orangtua atau hukum yang berlaku di masyarakat.

Tahap 3) norma interpersonal.

Tahap ketiga dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini individu menganggap rasa percaya, rasa sayang, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian moral. Anak-anak dan remaja pada tahap ini seringkali mengambil standar moral orang tua mereka, hal ini dilakukan karena mereka ingin orangtua mereka menganggap mereka sebagai anak yang baik.

Tahap 4) moralitas sistem sosial.

(51)

34 c. Penalaran Postkonvensional.

Penalaran postkonvensional adalah tingkatan tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini moralitas diinternalisasi sepenuhnya dan tidak lagi didasarkan pada standar orang lain. Individu mengetahui adanya pilihan moral yang lain sebagai alternatif, memperhatikan pilihan-pilihan tersebut, dan kemudian memutuskan sesuai dengan kode moral pribadinya.

Tahap 5) hak komunitas vs hak individu.

Tahap kelima dari teori perkembangan Kohlberg. Pada tahap ini, seorang memiliki pemahaman bahwa nilai dan hukuman adalah relatif dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda dengan orang lain. Ia menyadari bahwa hukum memang penting bagi suatu masyaarakat, namun hukum sendiri dapat diubah. Ia percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan lebih penting dari hukuman.

Tahap 6) prinsip etis universal.

Tahap keenam dan tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini seseorang sudah membentuk standar moral yang didasarkan pada hak manusia secara universal. Ketika dihadapkan pada suatu konflik antara hukum dan kata hati, ia akan mengikuti kata hatinya, walaupun keputusannya ini dapat memunculkan resiko pada dirinya.

(52)

35

dalam setiap tingkatan tersebut terdapat tahap-tahap penalaran moral. Setiap tahapan moral menunjukkan ciri-ciri tertentu, sehingga perilaku atau tindakan yang diambil oleh seseorang dapat mencerminkan tingkatan penalaran moralnya.

Berdasarkan teori mengenai perkembangan moral yang disampaikan oleh kedua ahli di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perkembangan moral terjadi secara berurutan sesuai dengan usia. Dimulai dari penalaran moral heteronom menurut Piaget dan penalaran moral prakonvensional menurut Kohlberg, lalu bertransisi menjadi penalaran moral yang lebih matang yaitu moral otonom menurut teori Piaget atau yang menurut Kohlberg disebut dengan penalaran moral konvensional, lalu berkembang menjadi lebih matang pada penalaran post-konvensional. Penelitian ini mengacu pada teori Kohlberg, sehingga pengukuran penalaran moral subjek penelitian didasarkan pada tingkatan moral menurut Kohlberg yaitu prakonvensional, konvensional, dan postkonvensional.

4. Cara Mengukur Penalaran Moral

(53)

36 a. Prakonvensional

b. Konvensional c. Postkonvensional

Tahapan dalam perkembangan moral tersebut kemudian dianalisis dan diuraikan ke dalam indikator dan deskriptor. Kemudian dari deskriptor tersebut dikembangkan menjadi alat ukur dengan cara menjabarkan deskriptor ke dalam butir-butir aitem pernyataan.

C. Kajian Mengenai Kontrol Diri

Kajian tentang kontrol diri ini akan membahas mengenai pengertian kontrol diri, aspek-aspek kontrol diri, faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri, fungsi kontrol diri, dan cara mengukur kontrol diri.

1. Pengertian Kontrol Diri

Tangney, dkk (2004: 275) memberikan penjelasan mengenai kontrol diri sebagai berikut :

Selfcontrol is the ability to override or change one’s inner

responses, as well as to interrupt undesired behavioral tendencies and refrain from acting on them.

(54)

37

beberapa unsur kontrol diri diantaranya mengubah respon, menghindari perilaku, dan menahan diri dari perilaku-perilaku menyimpang.

M. Nur Ghufron & Rini Risnawita S. (2014: 21) menjelaskan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi yang positif, serta dapat dikembangkan dan digunakan seseorang dalam proses kehidupan. Kontrol diri dalam pengertian ini dapat dimaknakan sebagai aktivitas yang berkaitan dengan pengaturan diri untuk terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya. Kontrol diri bukan merupakan suatu kemampuan khusus karena kontrol diri dapat dikembangkan melalui proses belajar atau pengalaman-pengalaman hidup.

Gilliom et al. (Singgih D. Gunarsa, 2006: 251) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan individu untuk mengendalikan tingkah laku, bekerja sama dengan orang lain, mematuhi peraturan, dan kemampuan untuk mengungkapkan pemikirannya kepada orang lain. Bagaimana seseorang melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu dengan orang lain, mereka juga perlu melakukan kontrol diri. Sehingga kontrol diri dalam pengertian ini juga diperlukan ketika berinteraksi dengan orang lain.

(55)

38

dengan norma sosial serta dapat diidentikkan sebagai kemampuan individu untuk berperilaku sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial dimana untuk dapat hidup berdampingan mereka perlu untuk mengatur perilakunya sedemikian rupa agar tidak menyimpang dari norma sosial.

Sementara itu Calhoun dan Acocella (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S., 2014: 22) memberikan gagasannya tentang kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk mengatur proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku individu, atau dapat dikatakan sebagai serangkaian proses pembentukan diri. Pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan dan minum juga memerlukan kontrol diri, sehingga seseorang dapat memenuhi kebutuhan tersebut dengan seimbang. Seseorang juga perlu untuk mengendalikan emosi agar tidak mudah terjerumus pada perilaku-perilaku yang dapat merugikan dirinya sendiri.

(56)

39

dimana melalui kontrol diri, remaja dapat mengatur emosi sehingga tidak mudah marah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kontrol diri adalah kemampuan individu dalam menyusun, membimbing, mengarahkan perilakunya, dan mengendalikan dirinya untuk menahan keinginan yang bertentangan dengan norma sosial. Individu yang memiliki kontrol diri dapat mematuhi peraturan dan bekerjasama dengan orang lain serta berperilaku sesuai dengan norma sosial.

2. Aspek-aspek Kontrol Diri

Aspek-aspek kontrol diri yang disampaikan oleh Tangney, dkk (2004: 283) adalah :

a. Disiplin diri

Disiplin diri dapat dimaknakan sebagai kemampuan individu dalam melakukan disiplin diri. Ketrampilan disiplin diri yang dimiliki individu dapat membantu dirinya dari berbagai hal yang dapat mengganggu konsentrasinya.

b. Kehati-hatian

(57)

40 c. Kebiasaan baik

Aspek ini dapat dimaknakan sebagai kemampuan individu dalam mengatur pola perilaku menjadi kebiasaan yang baik. Individu dengan kemampuan ini cenderung akan menolak sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi dirinya meski hal tersebut menyenangkan. Kebiasaan baik ini akan membuat individu tersebut mengutamakan hal-ha yang dapat memberikan dampak positif bagi dirinya meski dampak yang dihasilkan tidak dirasakan secara langsung.

d. Etika kerja

Etika kerja berkaitan dengan penilaian individu terhadap kemampuan mengatur dirinya sendiri dalam layanan etika kerja. Individu dengan etika kerja yang baik mampu menyelesaikan pekerjaanya dengan baik tanpa dipengaruhi hal-hal di luar tugasnya meski hal tersebut bersifat menyenangkan. Oleh karena itu individu yang memiliki etika kerja tinggi memiliki perhatian yang tinggi pada pekerjaan yang sedang dilakukannya.

e. Reliabilitas

(58)

41

Unsur-unsur pokok dalam aspek-aspek kontrol diri di atas antara lain disiplin diri, kehati-hatian, kebiasaan baik, etika kerja, dan reliabilitas. Aspek-aspek tersebut berkaitan dengan bagaimana seseorang mengatur dirinya dalam berbagai aktivitas. Seseorang yang memiliki kontrol diri yang baik akan dapat menjalani aktivitas-aktivitas tersebut dengan baik.

Sementara itu pandangan Averill (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S., 2014: 29) mengenai aspek-aspek dalam kontrol diri yang ia sebut dengan kontrol personal antara lain yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif, dan kontrol pengambilan keputusan.

a. Kontrol perilaku

Kontrol perilaku merupakan kesiapan atau tersedianya respons yang digunakan untuk mengambil tindakan secara konkret guna mengurangi dampak dari situasi yang tidak menyenangkan berupa tekanan-tekanan dalam diri. Kontrol perilaku ini dibagi menjadi dua komponen yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan dan kemampuan memodifikasi stimulus.

(59)

42

dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu tersebut akan menggunakan sumber eksternal.

2) Sementara kemampuan memodifikasi stimulus merupakan ketrampilan untuk memahami bagaimana stimulus tersebut dihadapi. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menghadapi stimulus tersebut adalah mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu diantara stimulus tersebut, menghentikan stimulus, dan membatasi intensitas stimulus tersebut.

b. Kontrol kognitif

Kontrol kognitif adalah ketrampilan individu dalam memproses informasi-informasi yang tidak diinginkan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tekanan-tekanan dengan cara memodifikasi informasi tersebut menggunakan proses dan strategi yang telah dipikirkan oleh individu tersebut. Kontrol kognitif ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu memperoleh informasi dan melakukan penilaian.

(60)

43

2) Sementara melakukan penilaian berarti individu berusaha mengidentifikasi suatu keadaan atau situasi dengan memperhatikan sisi positif secara subjektif.

c. Kontrol pengambilan keputusan

Kontrol pengambilan keputusan merupakan kemampuan individu untuk menentukan hasil atau keputusan untuk bertindak berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol pengambilan keputusan pada individu akan berfungsi dalam menentukan pilihan dalam berbagai kemungkinan tindakan yang akan diambil.

Aspek-aspek yang disampaikan Averill ini terbagi menjadi 3 (tiga) komponen yaitu bagaimana seseorang dapat mengontrol perilaku, mengontrol kognitif, serta bagaimana seseorang mengambil keputusan. Dijelaskan bahwa kontrol diri dalam aspek-aspek ini berasal dari 2 (dua) sumber yaitu sumber internal dan sumber eksternal. Seseorang yang memiliki kontrol diri akan memikirkan dengan berbagai pertimbangan sebelum dirinya mengambil suatu keputusan.

Penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang disampaikan oleh Averill yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif, dan kontrol pengambilan keputusan.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kontrol Diri

(61)

44

a. Faktor internal yang menjadi faktor berpengaruh dalam perkembangan kontrol diri adalah faktor usia. Sama seperti perkembangan moral, kontrol diri berkembang seiring dengan pertambahan usia dimana semakin bertambah usia seseorang, kemampuan kontrol dirinya juga semakin baik.

b. Faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan keluarga dimana lingkungan keluarga terutama orangtua menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Orangtua dengan gaya pengasuhan yang demokratis serta menerapkan sikap disiplin dalam lingkungan keluarga cenderung akan membuat remaja semakin memiliki kemampuan kontrol diri yang baik.

Bertambahnya usia serta melalui pengalaman-pengalaman hidup membuat kontrol diri seseorang juga semakin berkembang menjadi lebih baik. Selain itu faktor hubungan anak dengan orangtua juga dapat menjadi penentu perkembangan kontrol diri pada anak tersebut. Orangtua yang memiliki kontrol diri yang baik akan membuat anak-anak mereka juga memiliki kontrol diri yang baik dikarenakan pada dasarnya seorang anak akan belajar sesuatu dari orangtua mereka melalui proses imitasi.

(62)

45

bisa mati jika tidak mendapatkan stimulus dari lingkungan. Sementara itu Chapple menyatakan bahwa kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor eksternal tersebut antara lain faktor lingkungan seperti lingkungan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan tempat tinggal individu tersebut. Pendapat dari kedua ahli tersebut menunjukkan bahwa faktor internal seperti gen dan faktor lingkungan sama pentingnya dalam pembentukan kontrol diri pada individu.

Gen dianggap sebagai faktor penentu kemampuan kontrol diri pada seseorang dimana apabila gen tersebut diberi stimulan positif maka akan berkembang kontrol diri yang baik. Selain itu faktor sosial seperti kelompok teman sebaya juga memberikan kontribusi dalam perkembangan kontrol diri seseorang.

(63)

46

pengaruh yang diberikan oleh teman sebaya lebih besar dibandingkan faktor eksternal lainnya.

4. Fungsi Kontrol Diri

Messina & Messina (Singgih D. Gunarsa, 2006: 255) berpendapat bahwa fungsi dari kontrol diri adalah sebagai berikut:

a. Membatasi perhatian individu kepada orang lain.

Kontrol diri pada remaja akan membatasi perhatiannya terhadap orang lain mengenai kebutuhan, kepentingan, atau juga keinginan orang lain di lingkungannya. Perhatian remaja yang dilakukan secara berlebihan atas kebutuhan, kepentingan, atau keinginan orang lain tersebut cenderung akan membuat remaja kurang fokus terhadap kebutuhannya sendiri, sehingga kebutuhan pribadinya dapat terabaikan bahkan terlupakan.

b. Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di lingkungannya.

(64)

47

c. Membatasi individu untuk bertingkah laku negatif.

Kontrol diri pada remaja berfungsi untuk menghindarkan individu pada tingkah laku negatif. Tingkah laku negatif yang tidak sesuai dengan norma sosial akan mengakibatkan penolakan sosial. Tingkah laku negatif misalnya saja ketergantungan pada penggunaan obat-obatan terlarang, minum-minuman beralkohol, dan merokok.

d. Membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang.

Individu yang memiliki kontrol diri yang baik akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut dalam takaran yang sesuai dengan kebutuhan hidup yang ingin dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan hidup secara seimbang tersebut misalnya tidak memakan makanan secara berlebihan atau melakukan kegiatan berbelanja secara berlebihan yang melampaui batas kemampuan keuangan.

Berdasarkan fungsi kontrol diri yang telah diuraikan di atas dapatlah disimpulkan bahwa fungsi kontrol diri antara lain membatasi perhatian individu terhadap orang lain, membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain, membatasi individu untuk bertingkah laku negatif, dan membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang.

5. Cara Mengukur Kontrol Diri

(65)

48

Penggunaan skala ini bertujuan untuk mengungkap tingkat kontrol diri pada siswa dengan mengukur baik perilaku-perilaku maupun aktvitas kognitif yang dikategorikan sebagai pengendalian diri. Skala kontrol diri dalam penelitian ini mengacu pada aspek-aspek kontrol diri yang disampaikan oleh Averill (M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S., 2014: 29) yaitu :

a. Kontrol perilaku b. Kontrol kognitif, dan

c. Kontrol pengambilan keputusan.

Aspek-aspek tersebut kemudian dianalisis dan dijabarkan ke dalam pernyataan-pernyataan sesuai dengan indikator yang terdapat dalam aspek tersebut.

D. Kajian Tentang Siswa SMK Sebagai Remaja 1. Pengertian Remaja (Sebagai Siswa SMK)

(66)

49

Andi Mappiare (1982: 27) menyampaikan bahwa masa remaja pada wanita berlangsung antara umur 12 hingga 21 tahun, sementara pada pria berlangsung pada usia 13 hingga 22 tahun. Perbedaan rentang usia masa remaja pada pria dan wanita ini disebabkan karena faktor hormon pada tubuh manusia. Perbedaan hormon antara pria dan wanita ini menyebabkan wanita lebih cepat memasuki usia remaja dibandingkan dengan laki-laki. Masa remaja pada putri juga berakhir lebih cepat dibandingkan dengan remaja putra.

Sementara itu istilah remaja (adolescence) yang disampaikan oleh Hurlock (1980: 206) memiliki arti yang lebih luas mencakup seluruh perkembangan remaja baik itu perkembangan fisik, intelektual, emosi dan sosial. Senada dengan penjelasan tersebut Santrock (2007: 20) mendefinisikan masa remaja (adolescence) sebagai masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa, dimana periode tersebut melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional. Perkembangan masa remaja melibatkan seluruh aspek dalam diri, sehingga tidak jarang seseorang menjadi lebih agresif ketika memasuki usia remaja. Hal tersebut seringkali disebabkan karena perubahan fisik dan berkembangnya hormon dalam tubuh.

(67)

50

dikatakan sebagai anak-anak. Para remaja tidak lagi bergantung pada orangtua, sehingga remaja berusaha untuk mencapai kemandirian. Seringkali pada masa remaja, seseorang dihadapkan pada berbagai masalah yang dapat menyebabkan dirinya rentan terpengaruh hal-hal yang dapat merugikan dirinya.

Berdasarkan perjelasan serta uraian mengenai pengertian remaja di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan remaja merupakan individu yang berusia antara 12 hingga 22 tahun dan berada pada masa transisi dari usia anak-anak menuju usia dewasa dimana ia mengalami perubahan dalam aspek biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Pada penelitian ini yang dimaksud dengan remaja adalah mereka yang berada pada usia 15 hingga 18 tahun yang umumnya berada pada tingkat sekolah menengah atas atau kejuruan jika ditinjau dari tingkat pendidikan.

2. Pembagian Masa Remaja

Pembagian masa remaja yang disampaikan oleh Monks, dkk (2002: 262) yang secara global berlangsung antara usia 12 hingga 21 tahun. Rentang usia remaja tersebut kemudian digunakan untuk membagi masa remaja ke dalam tiga fase yaitu usia 12 hingga 15 tahun merupakan masa remaja awal, usia 15 hingga 18 tahun sebagai fase remaja pertengahan, dan usia 18 hingga 21 tahun diklasifikasikan sebagai masa remaja akhir.

Gambar

Gambar 1. Paradigma Penelitian
Tabel 1. Populasi Penelitian
Tabel 2. Skor Alternatif Jawaban Skala
Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Penalaran Moral.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan interaksi teman sebaya dengan kepercayaan diri remaja awal. Populasi dalam

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan interaksi teman sebaya dengan kepercayaan diri remaja awal.. Populasi dalam penelitian ini

Implikasi dari penelitian ini bahwa guru dapat meminimalkan stres belajar siswa dengan mengoptimalkan harga diri dan interaksi teman sebaya, yaitu dengan mengembangkan

INTERAKSI SOSIAL DENGAN TEMAN SEBAYA PADA ANAK HOMESCHOOLING DAN ANAK

Berdasarkan pelaksanaan penelitian tentang peningkatan interaksi sosial dengan teman sebaya melalui permainan scrabble pada siswa kelas IV SD Negeri Tlogorejo

Berdasarkan hasil analisis data, secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara interaksi sosial teman sebaya dengan perilaku sosial

Tujuan penelitian mengetahui:1) Mengetahui hubungan antara interaksi teman sebaya dan konsep diri dengan kedisiplinan siswa; 2) Mengetahui sumbangan efektif interaksi teman

KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anti sosial melalui interaksi teman sebaya pada siswa di SMAN 1 Krueng Barona Jaya hasil