• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENDIDIKAN NILAI MORAL MELALUI PROGRAM LIVING VALUES ACTIVITIES DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN PENDIDIKAN NILAI MORAL MELALUI PROGRAM LIVING VALUES ACTIVITIES DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENDIDIKAN NILAI MORAL MELALUI PROGRAM LIVING

VALUES ACTIVITIES DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA

(Studi Deskriptif Analisis di SMA Plus Muthahhari Bandung)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pada Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

OLEH :

AULIYA AENUL HAYATI, S.Pd. 1201280

JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

KAJIAN PENDIDIKAN NILAI MORAL MELALUI PROGRAM LIVING

VALUES ACTIVITIES DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA

(Studi Deskriptif Analisis di SMA Plus Muthahhari Bandung)

Oleh

Auliya Aenul Hayati

S.Pd UPI Bandung, 2015

Tesis yang diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah

Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

© Auliya Aenul Hayati 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2015

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

AULIYA AENUL HAYATI, S.Pd. 1201280

KAJIAN PENDIDIKAN NILAI MORAL MELALUI PROGRAM LIVING

VALUES ACTIVITIES DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA

(Studi Deskriptif Analisis di SMA Plus Muthahhari Bandung)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :

PEMBIMBING I

Prof. Dr. H. ENDANG SUMANTRI, M.Ed NIP. 19410715 196703 1 001

PEMBIMBING II

Dr. ELLY MALIHAH, M.Si NIP. 19660425 199203 2 002

Mengetahui dan Menyutujui,

Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

(4)

ABSTRACT

THE STUDY OF MORAL VALUES EDUATION THROUGH THE LIVING

VALUES ACTIVITIES PROGRAM ABOUT STUDENTS CHARACTER

DEVELOPMENT IN SMA PLUS MUTHAHHARI BANDUNG

SMA Plus Muthahhari come with the Living Values Activities program which is full of living values. The results showed: (1).The moral values education contents through LVA program consists of Personal Development Program,X-Day,Dirasah Islamiyyah; (2).The moral values education method through LVA program consists of using the general method, special method, integrated model; (3).The moral values education process through LVA program covering by the phase of Value Identification, Activity, Learning Aids, Interactions Unit, Segment and Evaluation; (4).The problem of Values Education through LVA Program is a complex moral value measurements, the rules of moral values is not Perfectly executed, the less time; (5).The follow-up moral values education problem through the LVA program: bring students on real life conditions that are different from their daily life, held a sustainable menu system, Improving communication between the parties, and optimizing moral values education quality.

Keyword : Moral Values Education, Living Values Activities, Student Character.

ABSTRAK

KAJIAN PENDIDIKAN NILAI MORAL MELALUI PROGRAM LIVING

VALUES ACTIVITIES (LVA) DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER

SISWA DI SMA PLUS MUTHAHHARI BANDUNG

SMA Plus Muthahhari melalui program Living Values Activities menghadirkan pendidikan yang sarat akan nilai-nilai kehidupan. Hasil penelitian menunjukkan : (1). Isi pendidikan nilai moral melalui program LVA terdiri dari Program Pengembangan Diri, X-Day; dan Dirasah Islamiyyah; (2) Metode pendidikan nilai moral melalui program LVA terdiri dari metode umum (program pembinaan) dan metode khusus (Life Skill) dan model terintegrasi mata pelajaran; (3). Proses pendidikan nilai moral melalui program LVA meliputi tahap Value Identification, Activity, Learning Aids, Unit Interaction, dan Evaluation Segment; (4). Hal-hal yang menjadi kendala dalam pendidikan nilai moral melalui program LVA adalah rumitnya pengukuran keberhasilan penanaman nilai moral siswa, penerapan aturan nilai moral yang tidak sempurna dilaksanakan, dan pengalokasian waktu yang kurang memadai; (5). Tindak lanjut dalam menangani kendala pendidikan nilai moral melalui program LVA yaitu dengan membawa siswa pada kondisi nyata yang berbeda dengan kesehariannya, mengadakan evaluasi berkelanjutan, memperbaiki komunikasi antar pihak, dan mengoptimalkan kualitas pendidikan nilai moral.

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN PENULIS ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Kegunaan Penelitian ... 17

E. Definisi Operasional... 18

F. Asumsi Penelitian ... 24

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 25

A. Pendidikan Nilai Moral ... 25

1. Pendidikan ... 25

2. Nilai ... 32

3. Moral ... 53

4. Pendidikan Nilai Moral ... 56

B. Program Living Values Activities (LVA) ... 65

C. Karakter Siswa ... 69

D. Keterkaitan Penelitian dengan Pendidikan Kewarganegaraan ... 73

E. Hasil Penelitian Terdahulu ... 78

BAB III METODE PENELITIAN ... 84

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 84

1. Pendekatan Penelitian ... 84

2. Metode Penelitian ... 85

B. Prosedur Penelitian ... 85

C. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 86

1. Lokasi Penelitian ... 86

2. Subjek Penelitian ... 86

D. Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ... 87

E. Teknik Pengolahan Data ... 89

F. Teknik Analisis Data ... 90

G. Uji Validitas Data ... 91

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 93

(6)

1. Sejarah SMA Plus Muthahhari ... 93

2. Visi dan Misi SMA Plus Muthahhari ... 95

3. Tujuan SMA Plus Muthahhari ... 96

4. Sarana dan Prasarana SMA Plus Muthahhari ... 99

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 99

1. Deskripsi Hasil Wawancara ... 100

a. Isi Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari Bandung ... 100

b. Metode Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari Bandung ... 106

c. Proses Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari Bandung ... 112

d. Hal-Hal yang Menjadi Kendala dalam Pendidikan Nilai Moral Melalui Progarm Living Values Activities (LVA) dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari... 119

e. Tindak Lanjut dalam Menangani Kendala Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari ... 123

2. Deskripsi Hasil Studi Dokumentasi ... 127

a. Program Pengembangan Diri ... 129

b. Program Pendidikan Kecakapan Hidup ... 143

c. Program Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal Khas SMA Plus Muthahhari Bandung (Dirasah Islamiyyah) ... 144

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 158

1. Isi Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari Bandung ... 158

2. Metode Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari Bandung ... 169

3. Proses Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari Bandung ... 193

4. Hal-Hal yang Menjadi Kendala dalam Pendidikan Nilai Moral Melalui Progarm Living Values Activities (LVA) dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari ... 207

5. Tindak Lanjut dalam Menangani Kendala Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) dalam Pengembangan Karakter Siswa SMA Plus Muthahhari ... 212

D. Temuan Penelitian ... 216

(7)

A. Simpulan ... 219 B. Saran ... 220

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(8)

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 2.1 Cakupan Pendidikan Karakter Menurut Lickona ... 72

Bagan 4.1 Struktur Team X-Day SMA Plus Muthahhari ... 137

Bagan 4.2 Mekanisme X-Day ... 139

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Hubungan Drive, Motif, Sikap, dan Nilai ... 51

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Nilai Instrumental Dan Nilai Terminal ... 42

Tabel 4.1 Tujuan Sekaligus Langkah Strategis dalam Mewujudkan Visi Misi SMA Plus Muthahhari ... 97

Tabel 4.2 Daftar Ruangan SMA Plus Muthahhari ... 99

Tabel 4.3 Tanggapan Responden, Isi Pendidikan Nilai Moral melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Mengembangkan Karakter Siswa SMUTH ... 100

Tabel 4.4 Tanggapan Responden, Metode Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Pengembangan Karakter Siswa SMUTH ... 106

Tabel 4.5 Tanggapan Responden, Proses Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Pengembangan Karakter Siswa SMUTH ... 112

Tabel 4.6 Tanggapan Responden, Hal-Hal yang Menjadi Kendala Dalam Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) Dalam Pengembangan Karakter Siswa SMUTH ... 119

Tabel 4.7 Tanggapan Responden, Tindak Lanjut dalam Menangani Kendala Pendidikan Nilai Moral Melalui Program Living Values Activities (LVA) dalam Pengembangan Karakter SMUTH ... 123

Tabel 4.8 Skema Kegiatan Bidang Keagamaan ... 146

Tabel 4.9 Materi Ulumul Qur’an ... 149

Tabel 4.10 Materi Ulumul Hadits ... 150

(9)

Tabel 4.12 Materi Pelajaran Fiqh Muqaran ... 153 Tabel 4.13 Materi Pelajaran tarikh Nabi ... 154 Tabel 4.14 Kriteria jenis Pelanggaran dan Sanksi ... 186 Tabel 4.15 Pengntegrasian Perilaku Minimal Dalam Program Kegiatan

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Indonesia, negara dengan beragam tata kehidupan sosial, budaya dan nilai-nilai sebagai pemberi warna kepribadian bangsa. Terlepas dari pesona eksotisme

ragam aspek nilai dan sistem yang ada tersebut, kenyataannya bangsa Indonesia masih selalu dihadapkan pada permasalahan diferensitas yang terlampau tinggi.

Permasalahan tersebut dapat digambarkan sebagai sebuah kebebasan tafsir nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat majemuk dan semakin membesar pengaruhnya pada pemaknaan nilai, pembentukan, dan pengembangan watak atau kepribadian manusia.

Seperti halnya kebutuhan akan aktualisasi diri pada remaja. Remaja memiliki tanggung jawab untuk “berperan” dalam kehidupan sosial moral dengan senantiasa berjuang dan mengisi masa remajanya dengan hal-hal positif yang dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.

Namun demikian, aktualisasi diri dan peranan sosial – moral remaja tidaklah selalu berjalan tanpa hambatan. Aktualisasi tersebut seringkali berjalan tidak sempurna yang timbul sebagai ekses dari demoralisasi dan penafsiran nilai yang beragam yang berpotensi memunculkan berbagai penyimpangan tanpa batas akibat lepasnya ikatan moral dengan logika manusia.

Di samping berbagai prestasi yang telah berhasil diukir oleh anak-anak bangsa, berbagai kenyataan pahit atas perbuatan dan perilaku sebagian remaja lainnya tidak kalah menjadikan ibu pertiwi bersedih hati. Gejala-gejala

kemorosotan moral yang mereka tunjukkan sangatlah beragam.

Berbagai perilaku yang kurang baik sampai dengan tindak kejahatan

(11)

barang-barang kecil, menfitnah, mencoba membunuh sesama, merampok, bunuh diri, dan sebagainya.

Sebagaimana dipaparkan oleh Lickona, T. (2008:15-22), tren-tren remaja yang mengganggu yang menjadi indikator kegagalan pembangunan moral kaum muda sebagai berikut.

1. Kekerasan dan vandalisme, 2. Mencuri,

3. Curang,

4. Tidak menghormati figur otoritas, 5. Kekejaman teman sebaya,

6. Kefanatikan, 7. Bahasa yang kasar,

8. Pelecehan dan perkembangan seksual yang terlalu cepat,

9. Meningkatnya sifat mementingkan diri sendiri dan menurunnya tanggung jawab sebagai warga negara, dan

10.Perilaku merusak diri.

Indikator kegagalan pembangunan moral yang disampaikan oleh Lickona tersebut di atas terjadi dan menyebar hampir pada seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dapat diterangkan data di lapangan dalam hal kekerasan. Remaja sebagai pelaku kekerasan seringkali melakukan tindakan seperti pembunuhan, penyerangan, pemerkosaan, perkelahian dengan kekerasan, penyerangan antar gang, dan melukai orang lain.

Ada kekejian yang semakin meningkat dalam indikator kekerasan dan

vandalisme remaja. Di mana remaja kini tidak hanya membegal orang kemudian melarikan, melainkan juga memukul dan menghilangkan nyawa korbannya.

(12)

Rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com). Begitu juga di Semarang, pada tanggal 27 November 2005 terjadi tawuran antara pelajar yang melibatkan SMK 5, SMK 4, dan SMK Cinde (liputan6.com). Dan kasus terbaru pembunuhan siswi SMP dan SMA dengan latar hubungan asmara di Jakarta.

Sebuah penelitian lain yang dilakukan oleh Families and Work Institute

and The Colorado Trust memunculkan data mengenai penyebab remaja

melakukan tindakan kekerasan. Windiani, I.G.A.T., dan Soetjiningsih (2010:249) menyatakan bahwa “sebagian besar dari mereka mengaku mengalami kekerasan emosional dan fisik. 57% remaja merasakan dirinya diejek, diolok-olok atau dibicarakan hal-hal yang negatif oleh orang lain”.

Pengalaman ini sering dialami mereka di lingkungan sekolahnya sehingga hampir sekitar 90 % kekerasan terjadi di sekolah, sedangkan sekitar 46 % remaja pernah dipukul atau dilukai. Hanya masing-masing 8 % yang pernah diserang dengan senjata dan mengalami perkosaan seksual.

Ternyata 35 % remaja yang mengalami kekerasan dengan senjata atau serangan lainnya, juga akan melakukan tindak kekerasan juga terhadap orang lain. Remaja yang mempunyai hubungan yang baik antar orang tua, guru dan teman-temannya lebih kecil kemungkinannya melakukan tindakan kekerasan dan juga sebagai korban kekerasan.

Rusmil, K. (2010:255) menjelaskan rekapitulasi korban anak korban kekerasan di wilayah Jawa Barat tahun 2002 oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) menunjukkan bahwa sebagian besar anak korban kekerasan di Jawa Barat adalah remaja. Dari 450 anak korban kekerasan dan penganiayaan jumlah

remaja sebanyak 65 %. Jumlah ini sama dengan hasil penelitian di Jawa Timur pada tahun 1994-1997, dimana ditemukan 103 kasus kekerasan yang 65 % nya

adalah remaja. Kasus yan paling sering terjadi adalah perkosaan.

(13)

Barat adalah perkosaan yaitu sekitar 42 %, disusul dengan pencabulan 14,2 %, pembunuhan, dan lain-lain. dilaporkan pula anak perempuan lebih sering mendapat perlakuan keras yaitu sekitar 64,5 %. Pekerja anak (di sektor berbahaya) dan fenomena anak jalanan, child traficking atau perdagangan dan “penculikan” termasuk juga kekerasan pada remaja.

Data yang berhasil dikumpulkan oleh LPA Jabar dari berbagai sumber,

sampai periode Juli 2003 didapatkan 1.218 pekerja anak dan 15.208 anak jalanan di Jawa Barat. Kemudian, di Jawa Timur hasil pendataan dari harian Jawa pos, perdagangan anak menempati posisi ketiga setelah kasus perkosaan dan pembunuhan.

Ketika anak-anak berani melakukan tindak kekerasan pada manusia lain, maka tidak mengherankan apabila mereka juga dapat melakukan hal yang sama pada properti orang lain (Lickona, 2013:16), seperti menghancurkan meja, lemari sekolah, dan fasilitas umum. Secara nasional, biaya tahunan yang harus dikeluarkan akibat vandalisme sangatlah besar.

Dalam hal mencuri. Sebuah data penelitian yang dilakukan oleh Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan yang dituliskan oleh Siti Sapariyah Santoso, CH. M. Kristanti e-jurnal Departemen Kesehatan (2000) menyuguhkan data kenakalan remaja di Provinsi Jawa Barat dan Bali, yaitu bentuk kenakalan remaja ke arah kriminalitas meliputi pemerasan dan pencurian. Remaja yang penah melakukan pemerasan hanya sekitar 2,2 %. Tampaknya di rural agak meningkat, yaitu 5,0 %. Sementara di Provinsi Bali-urban sekitar 7,2 %. Keadaan ini hampir sama dengan di rural yaitu 5,8 %.

Tindak pencurian yang dilakukan oleh remaja juga dikemukakan oleh Siti

Sapariyah Santoso, dan CH. M. Kristianti bahwa 6,3 % remaja di Jawa Barat-urban pernah melakukannya. Sedangkan di rural sedikit meningkat 8,2 %. Lain

halnya di Bali, di urban 8,9 % lebih rendah daripada di rural 17,7 %.

(14)

dilakukan dengan cara seorang peserta mengenakan gelang yang bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. sedangkan kecurangan di Jakarta menggunakan pensil yang memiliki bluetooth.

Dalam hal menghormati figur otoritas. Kenyataan di lapangan menunjukkan kemerosotan akhlak baik yang sangat mengakhawatirkan, sebagian besar dari siswa kurang menghormati guru dan seakan-akan tidak mengenal guru

apabila guru tersebut tidak mengajar di kelas mereka.

Dalam hal kekejaman teman sebaya. Kekejaman teman sebaya sebagai bentuk demoralisasi dapat diidentifikasikan melalui berbagai tindakan yang tidak hanya tidak menghormati figur guru. Lebih dari itu, mereka menunjukkan perilaku kekejaman terhadap teman-temannya, seperti menghina, melukai hati, memperolok anggota kelompok yang paling lemah, mengintimidasi, menekan, dan menyelesaikan masalah dengan kekerasan fisik. “Jadi jika bukan secara fisik, maka kekerasan yang dilakukan adalah secara verbal” (Lickona, 2013:18).

Salah satu contoh kasus yang terjadi, yaitu pembunuhan sadis terhadap seorang pelajar kelas 2 SMK Negeri yang terjadi di Prabumulih Sumsel pada 27 Agustus 2013. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh 3 orang temannya sendiri (tribunsumsel.com). Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang remaja terhadap teman sekelasnya lantaran tersangka sakit hati terhadap korban yang terjadi pada 30 agustus 2013 di Bogor Jabar (tempo.com).

Dalam hal kefanatikan. Lickona (2013:19) menyatakan, “Kebangkitan kembali prasangka rasial dikalangan kaum muda mengindikasikan betapa serius dan mengkhawatirkannya persoalan ini”, di saat toleransi yang lebih besarlah yang sebetulnya sangat diperlukan. Anak-anak dan remaja yang tumbuh saat ini,

nantinya harus berfungsi dalam sebuah masyarakat yang semakin multikultural. Dalam hal penggunaan bahasa yang kasar. Para siswa tampaknya sudah

(15)

kebanyakan kekerasan fisik di sekolah dimulai dari bahasa yang kasar. Bahasa seperti ini ditujukan pada orang dewasa maupun sesama teman.

Dalam hal pelecehan dan perkembangan seksual yang terlalu cepat. Permasalahan yang terjadi adalah kegagalan penyesuaian antara pertumbuhan seksualitas secara biologis dengan pertumbuhan kemampuan berpikir atau kognitif. Kasus pelecehan seksual (pencabulan dan perkosaan) yang semakin

marak dan meningkat banyak dialami oleh anak-anak usia remaja. Peningkatan kasus pelecehan seksual sekitar 10 % per tahun. Bahkan pelecehan seksual yang dialami remaja, bukan hanya antar remaja, melainkan remaja perempuan oleh laki-laki dewasa.

Perilaku merusak diri ini berkaitan dengan integrasi kepribadian, sistem nilai remaja sering dipengaruhi atau bergantung pada nilai-nilai orang lain. Adijanti Marheni dalam Soetjiningsing (2010:52), menjelaskan penyebabnya adalah “Pada awal masa remaja, remaja biasanya merasakan adanya tekanan agar mereka menyesuaikan dengan norma-norma dan harapan kelompoknya”.

Bila dikaji lebih mendalam, maka dapat dikatakan bahwa demoralisasi yang melanda beserta hilangnya pedoman nilai mereka hadir sebagai akibat dari pemikiran - pemikiran doktrin spesifik (doctrime of specificity). Dijelaskan oleh Lickona, T. (2008 : 8) pemikiran doktrin ini beranggapan bahwa “Perilaku jujur atau tidak jujur seseorang sangat bergantung pada dan ditentukan oleh situasi spesifik, bukan oleh keadaan batin yang konsisten yang lazim disebut sebagai „karakter‟”.

Di samping itu, kemunduran pendidikan moral juga diakibatkan oleh gencaran aliran positifisme logis yang menanamkan keagungan paradigma bahwa

fakta sebagai sesuatu yang objektif dan nilai sebagai sesuatu yang subjektif. Lickona, T. (2008 : 9) menyatakan bahwa “Aliran ini membedakan betul antara

(16)

Darmadi, H. (2009:5) menilai permasalahan - permasalahan nilai moralitas kemanusiaan ini sebagai gejala yang menunjukkan pudarnya sense of decency yang justru bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan. Ia menjelaskan bahwa :

Kepekaan terhadap kepatuhan (sense of decency) nilai-nilai kemanusiaan telah pudar. Sehingga seringkali nilai-nilai kemanusiaan disalah artikan yang akhirnya memunculkan sikap arogansi yang keliru seperti “menghukum” orang yang belum tentu „bersalah‟. ... “memerkosa, “memeras”, hak-hak orang lain dirampas dan sebagainya. Ironisnya hal ini terjadi justru pada saat tingginya tuntutan untuk menjunjung tinggi dan menghargai nilai-nilai kehidupan manusia sebagai manifestasi dan pernyataan hak asasi manusia (declaration of human right).

Sebaliknya, tidak jarang pula orang menuntut hak dan kebebasan pribadinya yang terlampau tinggi. Sehingga mengganggu hak asasi orang lain, kebebasan orang lain, sehingga terjadi konflik yang tidak jarang mendatangkan “mala petaka”.

Dari penjelasan tersebut di atas, beberapa hal yang terindikasikan sebagai pemicu permasalahan nilai moral ini adalah 1) Kekeliruan pola asuh; 2) Tingkat kondusifitas yang rendah; 3) Rendahnya pertimbangan moral; 4) Bayang-bayang materialisme dan keserakahan yang kian membentuk nilai-nilai dan tujuan hidup remaja; dan 5) Rendahnya pengetahuan moral yang menyebabkan ethical illiteracy atau buta etika.

Sebagai sebuah institusi pendidikan, setiap sekolah baik itu swasta ataupun negeri, formal maupun nonformal, sejatinya memikul tugas untuk menyebarkan rasa kesadaran, kemajuan dan kemanusian. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Agus Suwigyo (Saripudin, D. & Ahmad, A.R., 2008:32) yang menyatakan bahwa: “Pendidikan memenuhi hasrat misi nasional dan aspirasi negara dalam melahirkan warganegara yang produktif dan dinamik. Pendidikan mendidik generasi muda agar sadar asal usul, tanggung jawab dan mempunyai jatidiri yang mapan”.

Di lain sisi, kenyataan menunjukkan bahwa guru dan sekolah belum

(17)

sebagai pembentuk kepribadian telah mengalami degradasi nilai atau sikap di dalam praktek pendidikan”. Taksonomi untuk mencapai tujuan pendidikan sebagai bingkai wilayah kepribadian manusia yakni membentuk sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain) serta melatihkan

keterampilan (psychomotor domain), tampaknya belum menjadi domain yang utuh dalam tataran outcomes pendidikan.

Domain kognitif masih lebih dipentingkan daripada domain yang lain. Seolah kepribadian manusia hanya berhubungan dengan kecerdasan intelektualnya semata-mata. Padahal, seseorang dengan IQ tinggi tidak menjamin mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, kecuali ia juga memiliki piranti kecerdasan, yaitu kecerdasan emosional dan spiritual, ataupun bentuk kecerdasan jamak lainnya yang tinggi.

Kemerosotan moral remaja juga dapat diakibatkan oleh suatu gejala cognitive shut down yang disadari atau tidak disadari dilakukan oleh pendidik di

sekolah, yang kemudian hal ini akan berlanjut pada tidak terarahnya pengalihan-pengalihan tindakan remaja.

Pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tujuan pendidikan nasional adalah agar berkembang potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Ini berarti bahwa

kemampuan-kemampuan yang dikembangkan melalui pendidikan bukan hanya kemampuan-kemampuan yang terkait kecerdasan intelektual (kognitif) semata-mata, tetapi juga kecerdasan

(18)

Sekolah seyogyanya mampu memenuhi tuntutan moralitas dan karakter ideal, bukan berhenti pada tataran transfer pengetahuan atau knowledge tanpa kemampuan karakter lain. Hal ini dijelaskan oleh Bastain dalam Winataputra, U.S. & Budimansyah, D. (2012:12) di mana ia berpendapat bahwa sekolah harus mampu untuk “... to apply knowledge, to solve problems, to make choices, and participate in setting priorities”. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh

Coles dalam Budimansyah, D. & Suryadi, K. (2008:83) mengenai karakter yaitu :

Character is ultimately who we are expressed in action, in how we live, in what we do – and so the children arounds us know, they absorb and take stock of what they observe, namely us – we adults living and doing things in a certain spirit, getting on with one another in our various ways.

Semua idealitas, tuntutan, dan permasalahan tersebut menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan akan pendidikan nilai moral yang bermakna. Lickona, T.

(2008:25-28) menegaskan “Tidak membekali generasi muda dengan pemahaman moral adalah sebuah kegagalan etis serius dari masyarakat”. Lebih lanjut ia menjabarkan sepuluh alasan baik mengapa sekolah harus membuat komitmen dengan pikiran jernih dan sepenuh hati untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan membangun karakter yang baik sebagai berikut.

1. Ada kebutuhan yang jelas dan mendesak;

2. Menyampaikan nilai-nilai adalah dan selalu menjadi tugas peradaban; 3. Peran sekolah sebagai pendidik moral menjadi semakin vital pada saat

ketika jutaan anak hanya mendapatkan sedikit ajaran moral dari orang tua mereka dan ketika pengaruh dari tempat-tempat yang menjadi pusat nilai seperti rumah ibadah juga tidak hadir dalam hidup mereka; 4. Landasan etis umum tetap ada, bahkan dalam masyarakat dengan

konflik nilai seperti kita;

5. Demokrasi punya kebutuhan khusus terhadap pendidikan moral, karena demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat;

6. Pendidikan bebas nilai itu tidak ada;

(19)

8. Ada dukungan secara luas yang semakin kuat untuk memberikan pendidikan nilai di sekolah;

9. Komitmen yang tak malu-malu terhadap pendidikan moral jika kita ingin menarik dan mempertahankan guru-guru yang baik; dan

10.Pendidikan nilai adalah sebuah pekerjaan yang bisa dilakukan.

Dalam kaitannya dengan urgensitas pendidikan nilai yang termaktub dalam setiap sendi aktivitas kehidupan sekolah – yaitu melalui program Living Value Activity (LVA), kesemuanya terkait dengan nilai, motif, dan tindakan

individu. Sejauhmana sekolah mampu mempengaruhi kebijakan nilai dan karakter siswa, sepenuhnya tidak bergantung pada sistem yang ada melainkan juga terpengaruh oleh apa yang dinamakan dengan orientasi. Orientasi ini yang kemudian menyuguhkan beberapa fakta unik mengenai sifat, sikap, dan karakter setiap manusia. Saripudin, D. & Ahmad, A.R. (2008:10) membagi orientasi menjadi dua yaitu : 1) Orientasi motif; dan 2) Orientasi nilai.

Orientasi motif bersifat pribadi seperti inginkan kejayaan, inginkan keadilan, inginakn perubahan, inginkan kemajuan, inginkan kesenangan, inginkan kepuasan, dan seibu satu macam kehendak orang lain.

Orientasi nilai, bersifat sosial yaitu tindakan individu terbatas menurut peraturan nilai dan norma-norma yang diterima oelh masayaraktnya, pegangan agama dan adat resam yang dirasakan.

Dapat disimpulkan bahwa nilai yang tengah diangkat oleh Saripudin, D. & Ahmad, A.R. di atas berusaha menekankan pola pikir bahwa disamping adanya motif orientasi bawaan yang menyatu pada setiap diri individu juga yang menentukan karakter atau kepribadian seseorang itu adalah motif sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Di sinilah pentingnya nilai moral menjadi nafas pada setiap sendi aktivitas kehidupan sekolah yang oleh John Mahoney (Darmadi, H., 2009 : 6) ditafsirkan

sebagai upaya pembentukan pribadi peserta didik. Lebih detail, ia menjelaskan bahwa :

(20)

Menjadi jelas di sini bahwa begitu kentalnya hubungan antara pendidikan nilai- nilai moral dengan sebuah setting masyarakat, sehingga rumusannya sangat kontekstual dengan unsur sosial dan budaya komunitas.

Esensi pendidikan nilai (budi pekerti ataupun moral) bertujuan untuk membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang cerdas secara spiritual, cerdas secara emosional dan sosial, cerdas secara intelektual, cerdas secara

kinestetis, baik dan bermoral, menjadi warga negara dan warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Lickona, T. (2008:77) menjelaskan :

Nilai moral seperti menghormati kehidupan dan kemerdekaan, bertanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, sopan santun, disiplin diri, integritas, belas kasih, kedermawanan, dan keberanian adalah faktor penentu dalam membentuk pribadi baik. Jika disatukan, seluruh faktor ini akan menjadi warisan moral yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melek etis menuntut adanya pengetahuan terhadap semua nilai ini.

Dari pendapat Lickona, T. tersebut di atas, maka dapat dipahami berkaitan pula dengan program Living Values Activities, pendidikan nilai yang paling tepat memang berada pada tataran praktis peserta didik yang diterjunkan langsung pada suatu realita - kondisi sosial dan komunitas masyarakat. Dengan begitu, nilai & moral, yang digada-gada dan agung - agungkan untuk dimiliki oleh generasi muda akan dengan mudahnya terinternalisasi ketika mereka memiliki kemampuan untuk mengetahui, merasakan, hidup, dan berempati atas berbagai realitas hidup yang penuh dengan logika berpikir kebajikan nilai-nilai moral.

Hasil penelitian Mahfud, A. (2007:636) memperlihatkan bahwa tedapat beberapa aspek nilai yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran nilai pada pendidikan kewarganegaraan antara lain : “1) Nilai kedisiplinan; 2) Nilai loyalitas; 3) Nilai etos kerja; 4) Hak dan kewajiban; 5) Nilai hubungan sosial; 6) Nilai kepemimpinan, dan 7) Nilai bersyukur”.

(21)

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang universal, berdasarkan prinsip keadilan dan persamaan serta saling menerima”.

Tujuan pendidikan nilai moral di sekolah adalah mengefektifkan peningkatan dan pengembangan pertimbangan moral peserta didik. Agar tujuan tersebut tercapai maka pendidikan nilai moral sebaiknya dilaksanakan dengan mengembangkan suasana kehidupan konkret yang memungkinkan setiap orang

memiliki sikap respek yang mendalam kepada sesamanya.

Sebagaimana dijelaskan oleh Borba, M. (2008:7), kecerdasan moral terbangun dari tujuh kebajikan utama yaitu “empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan yang membantu anak menghadapai tantangan dan tekanan etika yang tidak dihindarkan dalam kehidupannya kelak”.

Lickona meyakini kebebasan pemilihan nilai hanya akan membuat pendidikan nilai moral tidak lebih dari sekedar program yang tertulis dalam kurikulum. Lickona (2008 : 10) menjelaskan bahwa :

... ketika sekolah berpendapat bahwa sekolah tidak boleh “memaksakan” suatu nilai tertentu, maka pendidikan nilai, jika tidak dikendurkan secara aktif, paling jauh hanya akan menjadi sesuatu yang tidak terencana dan tidak reflektif, bagian kurikulum yang tidak dikaji. Pendidikan nilai hanya diserahkan pada kebijakan guru, tidak pernah didiskusikan sehingga tidak pernah ada diskusi mengenai nilai-nilai manakah yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya.

Penelitian lain mengenai LVA dilakukan oleh Sutarjo (2011:131) yang lebih menekankan diri pada fokus kajian religiusitas, yaitu ia mengetengahkan hasil penelitian bahwa tujuan dilakukannya program Living Values adalah untuk membentuk manusia-manusia yang shaleh-shaleha dan berkarakter mulia melalui penanaman nilai-nilai islami dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

(22)

kegiatan pengembangan diri seperti humaniora yang beresensikan nilai kehidupan; kemudian nantinya akan berkaitan penuh pada proses pengembangan karakter anak. Hal ini berarti 12 nilai kunci pribadi dan sosial, diantaranya adalah Kedamaian, Penghargaan, Cinta, Tanggung jawab, Kebahagiaan, Kerja sama,

Kejujuran, Kerendahan hati, Toleransi, Kesederhanaan, Kebebasan dan

Persatuan terbagi dalam ketiga kegitan tersebut di atas dan menunjukkan aktivitas

nilai di dalamnya.

Penelitian lain dilakukan oleh Nadhifah, I.N & Kartika, I. (2012:9) di mana mereka lebih memusatkan diri pada kajian budi pekerti yang terdapat dalam LVEP terhadap pembelajaran sains. Diketahui bahwa proses kegiatan pembelajaran dengan LVEP telah mampu membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan pribadi, sosial dan emosional. Dalam pembelajaran melalui LVEP ini peserta didik diajak untuk berefleksi, berimajinasi, berdialog, berkomunikasi, berkreasi, membuat tulisan, dan bermain-main lewat nilai-nilai yang diajarkan. Aktivitas-aktivitas berdasarkan nilai tersebut dirancang untuk memotivasi siswa dan mengajarkan mereka untuk memikirkan diri sendiri, orang lain, dunia, dan nilai-nilai dalam cara yang berkaitan.

Berdasarkan pada pertimbangan urgensitas pokok permasalahan / kajian penelitian peneliti dan juga pada pertimbangan kajian studi terdahuku, maka letak penelitian peneliti dapat diasumsikan berada pada titik aktualisasi pendidikan nilai moral pada pola-pola program LVA yang untuk selanjutnya disandingkan dengan bagaimana implikasinya terhadap pengembangan karakter siswa.

Urgensitas penelitian pendidikan nilai moral melalui program LVA ini kembali terlihat pada pelaksanaannya, dimana pelepasan peserta didik dalam

memilih posisi diri pada suatu nilai moral memang tetap memerlukan bantuan keluarga, guru, dan masyarakat secara luas. Pendidikan nilai moral dan kehidupan

(23)

dibutuhkan peran guru sebagai pendidik dalam berbagai aktivitas program nilai kehidupan atau lebih dikenal dengan istilah Living Values Activity (LVA).

Lebih jauh mengenai LVA atau nilai-nilai dasar kehidupan adalah berbagai kebiasaan yang secara umum (universal) mendasari relasi yang baik dan harmonis antara kita dengan orang lain di sekitar. Inilah kebiasaan-kebiasaan yang sulit untuk dapat ditemukan pada masa-masa sekarang dan akan datang. Terhimpit

oleh sikap dan sifat manusia modern yang individualistis, hedonistis dan materialistis; lupa bahwa manusia adalah makhluk sosial, berbudi dan berakhlak.

Pentingnya LVA tersirat terlebih untuk remaja yang berada pada tingkat perkembangan konvensional. Mereka sangat perlu untuk disuguhkan dan dimasukkan ke dalam suatu pengalaman atau kasus dilema moral.

Hal ini sebagaimana analisis Adisusilo, J.R.S. (2013 : 126-127) yang menyatakan bahwa dari banyak penelitian menunjukkan bahwa khususnya pada remaja, perkembangan moral akan terjadi bila mereka diberi cukup kesempatan untuk “memainkan peranan”, dengan melihat kejadian, peristiwa, permasalahan dari perspektif yang berbeda, memasukkan diri dalam situasi orang lain. Ini akan membantu memperluas pengalaman mereka dan refleksi internalisasi nilai-nilai moral.

Apabila dikaji lebih dalam, maka nilai moral melalui program LVA ini sejatinya memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi dengan tujuan pendidikan kewarganegaraan. Menteri Pendidikan RI melalui Peraturan No. 22 Tahun 2006 menjelaskan, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut .

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan;

2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi;

(24)

4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Tuntutan pendidikan nilai kehidupan (LVA) yang dibelajarkan pada anak didik adalah guna mengembangkan karakter individu dan sosial yang baik dimana Zuriah (2008:120) menjelaskan :

… dengan memperkaya dimensi nilai moral, dan norma pada aktivitas pendidikan di sekolah, akan memberikan pegangan hidup yang kokoh bagi anak-anak dalam menghadapi perubahan sosial. Kematangan secara moral (morally mature) akan menjadikan seorang anak mampu memperjelas dan menentukan sikap terhadap substansi nilai dan norma baru yang muncul dalam proses perubahan atau transformasi sosial yang sangat cepat ini.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas pula lah, maka SMA Plus Muthahhari Bandung menyadari tugas dan tujuan pendidikan dengan menghidupkan nilai-nilai moral dalam sebuah keterpaduan program yang memasukkan unsur-unsur nilai kehidupan, yaitu sebagai motor pembentukan karakter warganegara yang tak hanya seputar menjadi “pintar” namun lebih dari itu adalah untuk membentuk karakter “baik” – to be smart and good citizenship.

SMA Plus Muthahhari Bandung dengan konsep sekolah religius dan pendidikan nilai moralnya menjadi sekolah yang sesuai dalam penelitian LVA ini. Terlebih dengan penelitian terdahulu, yaitu yang dilaksanakan oleh psychology Today (Lickona, 2008:15) yang menemukan bahwa semakin religius seseorang,

maka semakin kecil kemungkinan mereka terlibat tindakan – tindakan yang patut dipersoalkan secara moral; dan semakin muda usia mereka, maka semakin besar kemungkinan mereka terlibat dalam perilaku semacam itu.

Ditinjau dari sudut pandang teori fungsionalisme, maka dapat dipahami sebuah alasan logis penerapan program LVA di SMA Plus Muthahhari Bandung

sebagai pembentuk karakter siswa. Sekolah bergerak dalam fungsinya sebagai sebuah institusi yang melaksanakan tugas tertentu dan secara terus menerus.

(25)

... terdapat hubungan fungsional yang sangat erat antara pendidikan sebagai subsistem kehidupan dengan subsistem kehidupan yang lain, bahkan dengan kehidupan masyarakat sebagai sistem yang menaunginya. Pendidikan berupaya mengembangkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan dan segala unsur masyarakat dan budaya dapat pula memperkaya dunia pendidikan.

Pendidikan nilai di Indonesia tentu saja tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang bersumber pada budaya Indonesia sebagaimana terangkum dalam Pancasila

dan UUD 1945 (Adisusilo, J.R.S., 2013:132).

Menjadi jelas sudah, bagaimana nilai-nilai moral menjadi keutamaan dalam program LVA dalam membentuk karakter siswa dengan pegangan hidup dan fondasi menuju kematangan moral.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pertimbangan kajian permasalahan pada latar belakang penelitian yang peneliti sajikan sebelumnya, fokus penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana isi pendidikan nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) dalam pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari

Bandung?

2. Bagaimana metode pendidikan nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) dalam pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari

Bandung?

3. Bagaimana proses pendidikan nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) dalam pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari

Bandung?

4. Hal-hal apa yang menjadi kendala dalam pendidikan nilai moral melalui

(26)

5. Bagaimana tindak lanjut dalam menangani kendala pendidikan nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) dalam pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari Bandung?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dipahami sebagai sebuah usaha untuk :

1. Mengkaji isi pendidikan nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) dalam pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari Bandung. 2. Mengkaji metode pendidikan nilai moral melalui program Living Values

Activities (LVA) pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari

Bandung.

3. Mengkaji proses pendidikan nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari

Bandung.

4. Mendeskripsikan dan mengkaji kendala yang dihadapi dalam pendidikan nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) dalam pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari Bandung.

5. Mengkaji tindak lanjut dalam menangani kendala pendidikan nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) dalam pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari Bandung.

D. Kegunaan Penelitian

(27)

1. Secara Teoretis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu untuk :

a. Memunculkan teori dan keterkajian kontemporer dimensi pendidikan nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) dalam pengembangan karakter siswa.

b. Sebagai bahan informasi yang diperlukan dalam rangka perbaikan

implementasi pendidikan nilai moral sebagai pengembangan karakter siswa. c. Sebagai bahan kajian para pendidik dalam mengintegrasikan pendidikan nilai

ke dalam program nilai-nilai kehidupan.

2. Secara Praktis

Secara praktis, penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut.

a. Terdeskripsikannya isi pendidikan nilai-nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) pengembangan karakter siswa SMA Plus Muthahhari

Bandung.

b. Terdeskripsikannya metode pendidikan nilai-nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) pengembangan karakter siswa SMA Plus

Muthahhari Bandung.

c. Terdeskripsikannya proses pendidikan nilai-nilai moral melalui program Living Values Activities (LVA) dalam mengembangkan karakter siswa SMA

Plus Muthahhari Bandung.

d. Sebagai bahan evaluasi atas kendala dan tindak lanjut internal dan eksternal bagi kebijakan implementasi pendidikan nilai moral sebagai pengembang karakter siswa.

E. Definisi Operasional

(28)

1. Pendidikan Nilai-Nilai Moral

a. Pendidikan

Ali, M. (2009:130) meyakini bahwa pendidikan itu lebih dari sekedar pengajaran. Pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan oleh suatu bangsa atau negara dalam membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu. Dengan kesadaran tersebut, suatu bangsa atau negara dapat

mewariskan kekayaan budaya atau pemikiran kepada generasi berikutnya, sehingga menjadi inspirasi bagi mereka dalam setiap aspek kehidupan.

Pendidikan benar-benar merupakan latihan fisik, mental, moral, dan spiritual agar peserta didik menjadi manusia yang berbudaya dan mampu melaksanakan tugasnya sebagai manusia dan menjadi warga negara yang berarti bagi suatu negara. Inilah yang menjadi esensi dari pandangan para ahli pendidikan terkemuka seperti John Dewey, yang menyatakan, bahwa pendidikan adalah proses pembentukkan kecakapan fundamental, secara intelektual dan emosional, ke arah alam sesama manusia.

Lawrence A. Cremin dalam Saripudin, D. & Ahmad, A.R., (2008:31) mendefinisikan nilai sebagai usaha pendidikan manusia yang teliti, sistematis, berkesinambungan dan memindahkan pengetahuan, nilai dan keterampilan. Melalui pendidikan wujudnya kegiatan belajar, penerapan nilai, pemindahan pengetahuan, pembentukan pengalaman, dan rangsangan perasaan.

Saripudin, D. & Ahmad, A.R. (2008:35) mengartikan pendidikan secara lebih lanjut, yaitu proses sosialisasi untuk menanamkan rasa tanggung,jawab dan membentuk kecakapan yang diperlukan dalam melaksanakan peranan sosial dimana melalui pendidikan pelajar diajar kemahiran teknikal dan kecakapan

sosial.

Sadilloh, U. (2012:55), mengatakan pendidikan dalam arti luas merupakan

usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang berlangsung sepanjang hayat.

(29)

Nilai menurut Frankel dalam Matitaputty, J.K. (2010:34) adalah standar tingkah laku keinadhan, keadilan, kebenaran, dan efisiensi yang mengikat manusia dan sepatutnya dijalankan dan dipertahankan.

Darmadi, H. (2009:27-28) memberikan penjabaran pengertian nilai sebagai “Sesuatu yang berharga baik menurut standar logika (benar - salah), stetika (bagus - buruk), etika (adil/ layak - tidak adil), agama (dosa dan haram -

halal) serta menjadi acuan dan atas sistem keyakinan diri maupun kehidupan”.

c. Moral

Piaget dan R.F. Atkinson dalam Darmadi, H. (2009:30) menjelaskan moral sebagai berikut.

Views about good and bad, right and wrong, what ought or ought not to do ...

A set of belief current in society about character or conduct and what people should try to be or try to do ...

A art of belief about people and their actions ...

A system of conduct assesment which is objectives in that and it reflect the condition of social existence ...

Rule of conduct actually accepted in society

Sementara itu, Here dalam Darmadi, H. (2009:30) menyatakan bahwa moral pada dasarnya bersifat prescriptive, directive, imperative and commanding (derived from some rule or principle of action) serta obligue.

d. Pendidikan Nilai-Nilai Moral

Lickona, T. (2008:36) menjelaskan komponen pendidikan nilai :

1) Pembelajaran kooperatif;

2) Penggunaan literatur anak-anak untuk membangun empati dan pemahaman terhadap orang lain;

3) Memperkenalkan siswa pada contoh-contoh perbuatan pro sosial; 4) Mengajarkan siswa cara membangun hubungan dengan melibatkan

mereka dalam latihan praktek (misalnya tutor dan sahabat lintas usia); dan

(30)

Lebih lanjut, Lickona, T. (2008:55) menjelaskan, nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan mengandung kewajiban. Kita merasa diwajibkan untuk memenuhi janji, membayar tagihan, mengurus anak-anak, dan adil dalam berurusan dengan orang lain. Nilai moral mengatakan kepada kita apa yang harus kita lakukan, kita harus sejalan cengan nilai-nilai tersebut meskipun saat kita tidak menginginkannya.

Nilai-nilai moral (bersifat wajib) dapat dibagi ke dalam dua kategori : universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal – seperi memperlakukan orang dengan adil dan menghormati kehidupan, kebebasan, dan kesetaraan orang lain – sifatnya mengikat semua orang dimana saja mereka berada karena nilai-nilai ini menegaskan kemanusiaan dan harga diri fundamental manusia.

Howard Kirschenbaum (Sucipto, B, 2012) menguraikan 100 cara untuk bisa meningkatkan nilai dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah yang dikelompokkan ke dalam lima metode, yaitu sebagai berikut:

1) Inculcating values and morality (penanaman nilai-nilai dan moralitas); 2) Modeling values and morality (pemodelan nilai-nilai dan moralitas); 3) Facilitating values and morality (memfasilitasi nilai-nilai dan

moralitas);

4) Kills for value development and moral literacy (keterampilan untuk pengembangan nilai dan literasi moral; dan

5) Developing a values education program (mengembangkan program

pendidikan nilai).

2. Living Values Activities (LVA)

Tillman, D. (2004:xiii) menjelaskan bahwa Living Values Activities (LVA) merupakan bagian dari Living Values : An Educational Program (LVEP) yaitu suatu program pendidikan nilai-nilai yang dirancang untuk memotivasi murid dan

mengajak mereka untuk memikirkan diri sendiri, orang lain, dunia, dan nilai-nilai dalam cara yang saling berkaitan.

(31)

berkembang keterampilan pribadi, sosial, dan emosional, sejalan dengan keterampilan sosial yang damai dan penuh kerja sama dengan orang lain.

Program ini menyajikan berbagai macam aktivitas pengalaman dan metodologi praktis bagi para guru dan fasilitator untuk membantu anak-anak dan para remaja mengeksplorasi dan mengembangkan nilai - nilai kunci pribadi dan sosial : Kedamaian, Penghargaan, Cinta, Tanggung jawab, Kebahagiaan,

Kerjasama, Kejujuran, Kerendahan hati, Toleransi, Kesederhanaan, dan Persatuan. Latihan-latihan yang ada termasuk membangun keterampilan menghargai diri sendiri, keterampilan komuniasi sosial yang positif, keterampilan berpikir kritis, dan menyatakan diri lewat seni dan drama.

Sebagai jawaban dari kebutuhan akan nilai-nilai dimana semakin banyak anak di dunia yang menjadi korban kekerasan, masalah-masalah sosial yang semakin meningkat dan kurangnya sikap saling menghargai antarmanusia dan terhadap lingkungan sekitar, LVA memiliki tiga asumsi dasar sebagai berikut : a. Nilai-nilai universal mengajarkan penghargaan dan kehormatan tiap-tiap

manusia.

b. Setiap murid benar-benar memperhatikan nilai-nilai dan mampu menciptakan dan belajar dengan positif bila diberikan kesempatan.

c. Murid-murid berjuang dalam suasana berdasarkan nilai dalam lingkungan yang positif, aman dengan sikap saling menghargai dan kasih sayang dimana para murid dianggap mampu belajar menentukan pilihan-pilihan yang sadar lingkungan.

Tujuannya adalah untuk :

a. Menjadikan murid mampu untuk merasakan pengalaman di dalam diri sendiri

untuk membangun sumber daya diri,

b. Memperkuat dan memancing potensi, kreativitas, dan bakat-bakat tiap murid,

(32)

d. Memperdalam pemahaman, motivasi dan tanggungjawab saat menentukan pilihan-pilihan pribadi dan sosial yang positif,

e. Menginspirasi individu memilih nilai-nilai pribadi, sosial, moral dan spiritual dan menyadari metode-metode praktis daam mengembangkan nilai-nilai tersebut, dan

f. Mendorong para pengajar dan pengasuh memandang pendidikan sebagai

sarana memberikan filsafat-filsafat hidup kepada murid.

Analisis keberhasilannya dalam meningkatkan mutu Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia yaitu, pendidikan pola nilai ini akan berhasil menopang tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang mana adalah untuk membentuk manusia-manusia/ warga negara yang baik dan pintar (to be good and smart citizenship).

Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai macam aktivitas-aktivitas nilai yang terdapat di dalamnya seperti mendengar, mempelajari, mengalami, merasakan dan memikirkan nilai-nilai serta kemampuan keterampilan sosial, dimana anak-anak harus bisa melihat efek-efek perilaku dan pilihan-pilihan mereka dan mampu mengembangkan keterampilan pengambilan keputusan yang sadar lingkungan. Sehingga nilai-nilai tersebut akan dibawa dalam kehidupan pribadi mereka dan masyarakat yang lebih luas.

Guru disarankan menggabungkan kegiatan menjelajahi nilai ke dalam kurikulum yang sudah ada. Pelajaran sejarah, ilmu sosial dan sastra memberikan banyak kesempatan untuk kegiatan mengajarkan nilai. mintalah murid untuk menyebutkan dan mendiskusikan aplikasi nilai tertentu atau apa yang akan terjadi bila nilai tersebut tidak ada.

(33)

Lickona, T. (2008 : 72) menawarkan sebuah cara memandang karakter yang sesuai dengan pendidikan nilai, yaitu, karakter terdiri atas nilai-nilai operatif, nilai-nilai yang berfungsi dalam praktek. Karakter mengalami pertumbuhan yang membuat suatu nilai menjadi budi pekerti, sebuah waktak batin yang dapat diandalkan dan digunakan untuk merespons berbagai situasi dengan cara yang bermoral.

Dengan demikian, karakter terbetuk dari tiga macam bagian yang saling berkaitan : pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. karakter yang baik terdiri atas mengetahui kebaikan-kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan – kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, kebiasaan perbuatan. Ketiganya penting untuk kematangan moral.

Karakter dapat disama artikan dengan watak. S.M. Dumadi (Adisusilo,S.J.R., 2012:76-77) menjelaskan, watak itu sebuah stempel atau cap, sifat-sifat yang melekat pada seseorang.

Winataputra, U.S. (2012 : 34) menyebutkan bahwa : 1) karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa; 2) karakter berperan sebagai “kemudi” dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing; 3) karakter tidak datang dengan sendirinya tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat.

Selanjutnya, ditegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa harus difokuskan pada tiga tataran besar, yaitu 1) untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa; 2) untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia

dan bangsa yang bermartabat.

Watak sebagai sifat seseorang dapat dibentuk, artinya watak seseorang

(34)

F. Asumsi

Asumsi penelitian ini adalah “Pendidikan nilai moral dalam program Living Values Activities (LVA) telah membentuk karakter siswa”.

G. Sistematika Penulisan

Secara beruntut, tesis ini secara garis besar memiliki sistematika penulisan meliputi Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Pustaka, Bab III Metode Penelitian,

Bab VI Hasil Penelitian dan Pembahasan, dan Bab V Penutup.

Bab I Pendahuluan memuat bagian-bagian awal pengantar pemikiran penulisan tesis, diantaranya adalah latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penjelasan istilah, asumsi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Pustaka memuat pengkajian aspek-aspek penelitian yang mendalam, dalam kaitannya dengan pendidikan nilai moral, living values

activities, karakter siswa, keterkaitan penelitian dengan Pendidikan

Kewarganegaran, dan hasil penelitian terdahulu.

Bab III Metode Penelitian berisikan penjabaran pendekatan dan metode penelitian, prosedur penelitian, lokasi dan subjek penelitian, instrume penelitia dan teknik pengumpulan data, teknk pengolahan data, teknik analisis data, dan uji validitas.

Bab VI Hasil Penelitian dan Pembahasan memuat kajian penelitian muai dari deskripsi umum lokasi penelitian, deskripsi hasil penelitian, pembahasan hasil penelitian, dan temuan penelitian.

Bab V Simpulan dan Saran sebagai bab terakhir berisi dua sub bab utama yaitu simpulan, dan saran. Simpulan berperan sebagai jawaban final rumusan

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif, yaitu

suatu pendekatan penelitian yang lebih menekankan pada aspek keterkajian permasalahan secara interpretatif dibandingkan dengan perhitungan-perhitungan statistik pada kuantitatif melalui kajian teoritis untuk menjelaskan pendidikan nilai moral dalam program LVA untuk pengembangan karakter siswa.

Sebagaimana ditegaskan oleh Creswell (1998:15) bahwa :

Qualitative research is inquiry process of understanding based on distinct methodologycal tradition of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analysis words, reports detailes views of informations, and conducts the study in a natural setting.

Jadi, dapat dipahami bahwa penelitian kualitatif adalah suatu proses pendekatan pemahahaman yang berdasarkan pada tradisi metodologi nyata dari pendekatan yang mengeksplor permasalahan sosial atau pun manusia. Peneliti membangun ke-kompleks-an, gambaran menyeluruh, penganalisisan kata, dan laporan kajian mendetail atas informasi dan melaksanakan penelitian dalam seting

yang natural.

Pendekatan ini diyakini dapat memberikan deskripsi secara luas dan mendalam serta memuat penjelasan tentang proses atau aktivitas yang terjadi dalam kesehariannya. Moleong (2008:9) menjelaskan bahwa:

(36)

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Moleong tersebut di atas, maka jelaslah, posisi peneliti dalam penelitian ini adalah bertindak sebagai instrumen utama yang bertindak di lapangan dalam pelaksanaan penelitian.

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis berorientasi pemecahan masalah. Sugiyono (2003:75) menyatakan bahwa “Studi deskriptif analisis berorientasikan pemecahan masalah untuk mengungkapkan dan mamahami kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya, secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif”.

Deskriptif analisis menjadi pilihan metode dengan pertimbangan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini merupakan permasalahan yang ada pada masa sekarang.

Dengan metode ini, penelitian diarahkan untuk mengkaji secara kritis pendidikan nilai moral dalam program LVA mulai dari isi, metode, dan proses yang hadir di dalamnya sampai kepada permasalahan yang dihadapi beserta upaya-upaya penanggulangannya.

B. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan tahapan-tahapan yang harus ditempuh peneliti. Secara garis besar tahapan-tahapan penelitian tersebut terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu sebagai berikut.

1. Tahap Pesiapan

Tahap persiapan meliputi penyusunan konsep dan model penlitian yang akan dituangkan ke dalam rancanga penelitian. Kegiatan-kgiatan konsep dan model penelitian tersebut meliputi :

a. Identifikasi permasalahan beserta latar belakang masalah, b. Studi kepustakaan dan review riset terdahulu,

(37)

d. Menentukan batasan masalah, e. Menyusun pertanyaan penelitian,

f. Mengembangkan model desain penelitian, g. Metodologi penelitian,

h. Menyusun instrumen pengumpulan data, i. Menguji coba instrumen, dan

j. Melakukan perbaikan alat pengumpul data. 2. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan penelitian meliputi kegiatan-kegiatan : a. Mengidentifikasi responden, dan

b. Melakukan pengumpulan data dan informasi. 3. Tahap Penyelesaian

Tahap analisis dan pelaporan, mencakup kegiatan-kegiatan :

a. Melakukan editing dan memilah data dan informasi yang telah terkumpul, b. Melakukan analisis data dan informasi,

c. Membuat dan mendiskusikan kesimpulan, dan

d. Merumuskan alternatif kebijakan dan menyusun laporan penelitian secara lengkap.

C. Lokasi dan Subjek Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian tentang pendidikan nilai moral melalui program living values activities (LVA) dalam pembinaan karakter siswa ini berlokasi di SMA Plus

Muthahhari Bandung yang beralamat di Jalan Kampus II nomor 13-17 Kelurahan Babakan Sari,Kecamatan Kiaracondong, Bandung Timur.

SMA Plus Muthahhari dipilih menjadi lokasi penelitian dengan alasan keunggulan karakteristik pembinaan karakter dengan penanaman nilai-nilai moralnya yang salah satunya adalah dalam keterkajian LVA.

(38)

Subjek penelitian dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan teknik sampel bertujuan atau lebih dikenal dengan istilah purposive sampling. Moleong (1995:165) menjelaskan bahwa sampling dalam penelitian kualitatif dimaksudkan untuk merinci kekhususan yang ada ke dalam rumusan konteks yang unik dan juga untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul.

Dari perincian tersebut di atas, maka peneliti menentukan siapa saja yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini berdasarkan pada kriteria informatif, komunikatif, dan representatif - diantaranya adalah Komite Yayasan, Kepala Sekolah, Koordinator Program Living Value Activity, Guru, Orang Tua Siswa dan Siswa SMA Plus Muthahhari Bandung.

D. Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Hakikatnya peneliti pada penelitian kualitatif adalah sebagai instrument utama dalam pengumpulan data. Karena peneliti memiliki peranan yang fleksibel dan adaptif, maka peniliti dapat menggunakan seluruh alat indera yang dimilikinya untuk memahami fenomena sesuaai dengan fokus penelitian.

Berikut secara umum akan dijelaskan beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti :

1. Observasi

Observasi dilakukan dengan melalukan pencatatan informasi yang disaksikan peneliti selama penelitian. Pencatatan terhadap peristiwa-peristiwa itu bisa dengan melihat, mendengar, dan merasakan yang kemudian dicatat seobjektif mungkin. Hammersly dan Atkinson dalam Creswell (1997:125) menjelaskan kegiatan observasi adalah sesuatu kemampuan khusus dari peneliti dalam

menangkap isu yang dikemukakan oleh responden, seperti pesan dan kesan menipu, dan sesuatu yang terlewatkan peneliti dari lapangan seperti apayang

(39)

Beberapa manfaat observasi atau pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dikemukakan oleh M.Q. Patton (1998:124–126) sebagai berikut.

a. Dengan berada di lapangan peneliti lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi, jadi ia dapat memperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh,

b. Pengalaman langsung memungkinkan peneiti menggunakan pendekatan

induktf, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep-konsep.

Dalam penelitian ini kegiatan observasi yang dilakukan adalah observasi lapangan (field observation) yaitu suatu teknik dimana peneliti sebagai saksi mata dan mencatat apa saja yang terjadi pada siswa SMA Plus Muthahhari Bandung yang berkaitan dengan pendidikan nilai moral dalam program LVA dilihat dari pola sikap dan perilaku yang muncul, metode yang dipakai, isi kegiatan, dan kegiatan-kegiatan atau proses yang dilakukan.

Melalui teknik ini, peneliti mengamati semua unsur dan aktivitas-aktivitas sekolah terkait dengan keberlangsungan pendidikan nilai moral yang terdapat pada program LVA di SMA Plus Muthahhari Bandung dalam pengembangan karakter siswa.

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Tujuan dari wawancara dijelaskan oleh Lincoln dan Guba dalam Moleong

(2005:186) antara lain “Ia mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain kebulatan”.

(40)

dilakukan untuk tujuan menggali konsepsi, persepsi, ide / gagasan, perasaan, motivasi, tuntutan, harapan, dan kepedulian para subjek penelitian.

Jenis wawancara yang digunakan adalah pertama, wawancara informal. Dilakukan secara spontan pada responden tanpa memberitahu responden atas proses wawancara. Kedua, wawancara umum dengan pendekatan terarah, ialah jenis wawancara yang menggariskan sejumlah isu yang harus digali dari setiap

responden sebelum wawancara dimulai. Ketiga, wawancara terbuka yang baik meliputi seperangkat pertanyaan yang secara seksama disusun dengan maksud untuk menjaring informasi menganai isu-isu yang sesuai dengan urutan dan kata-kata yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada Wakasek Kesiswaan, Pembina Life Skill, Guru X-Day, siswa-siswi SMA Plus Muthahhari, dan wali siswa dengan pertimbangan informasi serta kompetensinya yang diperlukan dalam penelitian.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang berkaitan dengan upaya mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku-buku, surat kabar, majalah, prasasti, dan sebagainya.

Teknik ini dilakukan dengan pertimbangan analisis program yang terdapat dalam catatan-catatan khusus sekolah, dokumentasi gambar dan laporan kegiatan nilai, dan arsip lainnya yang mendukung.

Peneliti memanfaatkan sumber-sumber berupa catatan dan dokumen (non human resources) untuk pengembangan analisis kajian dan membantu

ketercapaian tujuan penelitian dan dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari

kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Teknik pengumpulan data observasi difokuskan pada aspek materi dan

(41)

jurnal, profil sekolah, tata tertib sekolah, dan dokumen-dokumen lain yang relevan dengan penelitian nilai.

E. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan suatu teknik dalam penelitian kualitatif yang

dilakukan setelah data lapangan terkumpul. Data terbagi menjadi dua, yaitu data

lapangan (data mentah) dan data jadi. Moleong (2010:18) memberikan batasan data

sebagai bahan penelitian yaitu bahan jadi (lawan dari bahan mentah) yang ada karena

pemilihan aneka macam tuturan (bahan mentah).

Data lapangan atau data mentah merupakan data yang diperoleh saat

pengumpulan data. Data mentah pada penelitian ini adalah berupa data lisan (berupa

tuturan), data tertulis serta foto. Data lisan dan tertulis tersebut diperoleh melalui

wawancara terhadap narasumber atau subjek penelitian. Data yang berupa foto

merupakan data yang berfungsi mendeskripsikan suatu hal, benda, maupun kejadian

saat observasi maupun saat pengumpulan data. Data lisan didokumentasikan ke dalam

bentuk rekaman suara, sedangkan data tertulis didokumentasikan ke dalam bentuk

tulisan atau catatan penelitian. Data yang ke dua adalah data jadi. Data jadi

merupakan suatu data mentah (data lapangan) yang telah mengalami proses

penyeleksian data. Penyeleksian data mengacu pada permasalahan yang ingin

dipecahkan, yaitu objek penelitian.

Pengolahan data dapat dilakukan dengan cara: (a) persiapan, (b) penyeleksian.

Persiapan dilakukan dengan menyiapkan seluruh data lapangan, baik yang berupa

rekaman, catatan lapangan, maupun foto. Data yang berupa rekaman suara ditranskrip

atau disalin dalam bentuk tulisan, sedangkan data yang berupa foto dideskripsikan

sesuai gambar. Setelah semua terkumpul, peneliti memulai menyeleksi data sesuai

dengan objek penelitian. Data lapangan berupa aktivitas-aktivitas nilai kehidupan

dijadikan fokus kajian, peneliti menyebut data tersebut dengan istilah data jadi. Data

lapangan yang tidak termasuk dalam kategori tersebut tidak digunakan.

(42)

Proses penganalisisan data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak pengumpulan data dan dilakukan secara mendalam, baik selama di lapangan maupun setelah dari lapangan. Adapun teknik yang akan digunakan untuk menganalisis data yang telah diperoleh adalah teknik analisis data kualitatif model Miles dan Huberman (1992:20), yaitu “Reduksi data (data reductioan), penyajian data (display data), dan penarikan kesimpulan (conclusion, drawing,

verification)”. Berikut penjelasan langkah-langkah tersebut. 1. Reduksi data

Reduksi data merupakan proses pemilihan dan penyederhanaan data mentah yang diperoleh dalam catatan-catatan lapangan secara tertulis. Sugiyono (2012:247) menjelaskan bahwa:

Reduksi data dalam analisis data perlu untuk dilakukan mengingat data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit, sehingga perlu dilakukan reduksi data.

Dalam penelitian ini, reduksi data dilakukan dengan mengelompokkan data hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi yang diperoleh dari setiap responden.

2. Penyajian Data

Langkah selanjutnya setelah mereduksi data adalah penyajian data. Penyajian data merupakan penyajian sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penelitian ini, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. “Manfaat melakukan penyajian data dalam analisis data kualitatif adalah akan mempermudah untuk memahami apa yang akan terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami” (Sugiyono, 2012:249).

(43)

Tahap akhir dari analisis data adalah verifikasi dan penarikan kesimpulan yang dimaknai sebagai penarikan arti data yang telah ditampilkan. Dengan demikian proses verifikasi merupakan upaya mencari makna dari data yang telah dikumpulkan dengan mencari pola, tema, hubungan persamaan, perbedaan-perbedaan, hal-hal yang sering muncul, dan lain-lain.

G. Uji Validitas Data

Validitas data merupakan tingkat keabsahan atau ketepatan data yang akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan suatu penelitian. Data yang tepat atau valid dalam penelitian akan berpengaruh positif bagi tingkat kepercayaan terhadap penelitian, pun sebaliknya ketika data yang diperoleh dalam penelitian diragukan keabsahannya maka kepercayaan terhadap suatu penelitian akan sangat rendah atau bahkan tidak ada. Dengan kata lain, validitas data yang tinggi akan berkorelasi positif dengan tingkat kepercayaan suatu penelitian.

Dalam penelitian ini, upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk meningkatkan keabsahan atau kevalidan data adalah dengan melakukan pengujian terhadap data yang diperoleh dengan teknik triangulasi, ya

Referensi

Dokumen terkait

kelas VIII SMP Negeri 1 Ungaran pada pokok bahasan Lingkaran dengan menggunakan Model Eliciting Activities (MEA) sudah mencapai KKM? 3) Apakah terdapat perbedaan rata-rata

Penerapan atap rumah tradisional Makassar pada atap Masjid Al-Markaz juga merupakan salah satu bentuk untuk mempertahankan nilai dan warisan budaya masyarakat

Performansi QoS VoIP over WLAN diuji pada NS-2.34 untuk setiap mekanisme penjadwalan PQ dan CSFQ pada 802.11e EDCA dengan jumlah pengguna VoIP sampai 20 titik dan beban trafik

Dalam hal konflik batas wilayah, ketidaksepahaman yang terjadi disebabkan karena adanya suatu kebijakan politik misalnya dalam bentuk perjanjian antar negara atau

Yang dimaksud pertunjukan musik terbatas adalah pertunjukan kelompok musik seriosa dalam bentuk duet alat musik, trio, kuartet, atau kuintet alat musik sampai dengan

Hasil penelitian menunjukkan kadar vitamin C tertinggi pada infused water buah lemon terdapat pada penyimpanan suhu ruangan dengan lama penyimpanan selama 6 jam yaitu

Perubahan yang mungkin dari earliness atau tardiness dalam pelaksanaan proses terkait dengan jadwal waktu akan menyebabkan konsekuensi pada waktu dan biaya pengiriman.. Hal ini juga

b) Sasaran akhir rancangan pembelajaran berupa target behavior tertentu yang akan selalu dievaluasi selama proses kegiatan belajar mengajar (Formulir yang dipakai