• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Paraplegia adalah kelumpuhan pada kedua anggota gerak bawah tubuh atau kedua belah kaki, yang disebabkan karena cedera parah pada spinal cord level bawah (Taylor, 1995). Cedera tersebut menyebabkan seluruh impuls dari otak tidak dapat diterima oleh jaringan otot dibawahnya, dan sebaliknya impuls dari bawah level yang rusak tidak dapat diterima oleh otak. Akibatnya penderita paraplegia kehilangan fungsi motorik dan sensorik di bawah area yang rusak, kehilangan kekuatan, menjadi lemah dan layu. Penderita juga kehilangan kemampuan mengendalikan buang air kecil dan buang air besar (blader and bowel control). Penderita menjadi sangat tergantung pada orang lain.

Pada perkembangan kasus paraplegia semakin meningkat pesat seiring meningkatnya pula bencana alam (tsunami, gempa) dan terjadinya kecelakaan (kerja, lalu lintas, rumah tangga) di beberapa wilayah Indonesia. Sekitar 300 orang menderita kecacatan seumur hidup karena cedera tulang belakang atau Spinal Cord Injury (SCI). Menurut Sekretaris Daerah Bantul, Suharjo, jumlah penderita lumpuh permanen korban gempa di wilayah DIY sebanyak 408 orang, 399 orang di antaranya adalah warga Bantul. Selain korban yang lumpuh terdapat 400 warga di Kecamatan Jetis, Bambanglipuro, dan Imogiri yang harus menjalani terapi (Eviyanti, 2007). Koentjoro (2007) menambahkan jumlah pasien rehabilitasi di Kabupaten Bantul adalah 1.608 orang dengan rincian sebagai berikut : (1) pasien cedera tulang belakang dengan kelumpuhan sebanyak 229 orang; (2) pasien amputasi sebanyak 28 orang; dan (3) pasien fraktur (patah tulang) sebanyak 1.250 orang.

Seperti yang dijelaskan oleh Desert (2011), penyebab paraplegia pada umumnya dikategorikan dalam 2 sebab, yakni sebab trauma dan sebab medis atau penyakit. Penyebab trauma yang paling umum adalah kecelakaan, baik kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan kerja. Atau oleh sebab lain seperti peradangan selaput yang mengelilingi dan melindungi saraf tulang belakang

(2)

(arachnoiditis), atau fraktur akibat penyakit rematik, sedangkan penyebab medis atau penyakit biasanya disebabkan oleh infeksi atau parasit.

Pada kasus yang menimpa korban gempa tersebut, penyebab paraplegia tentunya karena adanya unsur kecelakaan (trauma). Seperti yang diungkapkan oleh Desert (2011) tersebut, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, dan kelalaian atau kealpaan manusia seringkali menjadi pencetus terjadinya risiko paraplegia. Menurut data rekam medik RS. Ortopedi Prof. DR. R. Soeharso Surakarta pada periode bulan Januari 2011 hingga Juni 2012 terdapat 168 orang pasien menjalani perawatan dan terapi di Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Inap dengan diagnosis cedera tulang belakang yang disebabkan karena trauma dan penyakit infeksi, dan pada periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014 terdapat 194 orang pasien menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap untuk jenis kasus yang sama. Kondisi paraplegia karena cedera tulang belakang menyebabkan perubahan yang sangat dramatis dalam kehidupan seseorang. Perubahan ini menjadi stressor yang sangat berat bagi individu yang bersangkutan, sehingga dengan terpaksa harus bisa melakukan upaya-upaya penerimaan diri dan upaya mencapai penerimaan diri tentunya bukan proses yang ringan dan mudah. Menurut Taylor (1995) terdapat 3 reaksi psikologis individu saat menghadapi diagnosisSpinal Cord Injury(SCI), yakni : pengingkaran, kecemasan dan depresi. Bila reaksi-reaksi tersebut tidak segera ditangani, akan menghambat proses penerimaan diri pada penderita paraplegia. Mengingat bahwa konsekuensi kelumpuhan sebagian tubuhnya merupakan keadaan permanen, maka kemungkinan besar akan berdampak pada aspek-aspek kehidupan dari pasien tersebut baik fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Dengan kata lain, hal tersebut juga akan berdampak pada kepuasan, kebahagiaan, dan kualitas hidup pasien.

Berbagai definisi mengenai kualitas hidup telah mengemuka, baik dalam pendekatan ekonomi, sosial, dan kesehatan. Di antaranya, Lee et al (2009) mengungkapkan kualitas hidup merupakan persepsi individu tentang kesejahteraan fisik dan mental, yang berhubungan dengan keadaan dirinya. Sebagai bagian dari bidang kesehatan, maka dalam kajian ini akan mengacu pada definisi WHO tentang kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap

(3)

keadaannya dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai yang dianut dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar dan kepedulian mereka.

Pencapaian kualitas hidup pasien layak menjadi bagian penting yang harus diperhatikan oleh tenaga kesehatan, karena dapat menjadi acuan keberhasilan dari suatu tindakan/intervensi. Dari hasil atau tingkat pencapaian tersebut, maka data tersebut dapat pula menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan langkah-langkah rehabilitasi atau intervensi lanjut. Sebaliknya bila pencapaian kualitas hidup pasca paraplegia diabaikan, tidak jarang berujung pada kematian akibat kegagalan rehabilitasi. Sebut saja kasus di Kecamatan Trucuk dan Kecamatan Prambanan, DIY yang menyebutkan 2 orang meninggal akibat decubitus dan sejumlah penyandang cacat terlantar (Solopos, 22 Oktober 2009). Bahkan Direktur LSM Interaksi, Pamikatsih (2009) menyebutkan ada 15 penderita paraplegia akibat gempa di Klaten yang meninggal dunia akibat ulcus decubitus dan infeksi lain, karena penderita dan keluarganya tidak mengetahui cara atau prosedur untuk mengakses pelayanan kesehatan. Data yang dimiliki LSM Interaksi tercatat ada 67 klien yang mengalami spinal cord injury paska gempa bumi tahun 2006 silam di wilayah Bantul, Prambanan, Wedi dan Gantiwarno.

Pada sisi lain, tidak menutup realitas bahwa ada beberapa penyandang paraplegia yang terjadi karena sebab trauma, dapat dikatakan berhasil atau mampu keluar dari kesulitan yang dihadapinya, menyadari potensinya kembali, sehingga mampu berkarya kembali dalam bidang yang sama atau yang berbeda serta kembali berperan aktif dalam kehidupan sosial yang lebih luas di masyarakat. Tentu saja itu bukan hal mudah, dan dapat dilepaskan dari peran dukungan sosial, terutama keluarga. Sosok seperti Irwanto (seorang psikolog dari Universitas Atmadjaya Jakarta), Slamet Raharjo (pasca menderita paraplegia berhasil menjadi pengrajin batu permata dari Surakarta), Mulyanto Utomo wartawan senior dari Solopos Surakarta, dan Sri Lestari (aktivis pemberdayaan komunitas paraplegia dari Prambanan,Yogyakarta) bisa menjadi contoh.

Oleh karena itu, perbedaan perjalanan nasib yang menyertai kehidupan para paraplegia itulah yang mendorong peneliti ingin melakukan kajian ilmiah untuk memahami fenomena tersebut, terutama dari perspektif pemberdayaan

(4)

keluarga. Fauziyah (2008) yang meneliti wanita penderita paraplegia survivor gempa Bantul, menemukan bahwa mereka mengangap suami adalah sumber permasalahan psikologis yang mereka alami. Namun permasalahan tersebut dapat menurun seiring dengan peningkatan kesadaran dalam memahami dirinya.

Tidak dipungkiri bahwa keluarga adalah institusi sosial terkecil yang paling dekat dengan kehidupan penderita paraplegia. Keluarga memiliki fungsi keagamaan, fungsi sosial-budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan dan pengembangan lingkungan (Sumber : Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1994). Fitri (2010) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan yang signifikan antara nyeri, regulasi emosi, dan dukungan sosial keluarga secara bersama – sama dengan kualitas hidup penyintas SCI korban gempa bumi Bantul 27 Mei 2006. Tetapi secara parsial, hanya regulasi emosi dan dukungan sosial yang bersumber dari keluarga yang memiliki hubungan positif dengan kualitas hidup, sedangkan hubungan rasa nyeri dengan pencapaian kualitas hidup tidak terbukti dalam penelitian ini. Sebagai fungsi perlindungan, keluarga hendaknya mampu memberikan rasa aman dan kehangatan bagi penderita paraplegia, sedangkan sebagai fungsi sosialisasi dan pendidikan keluarga diharapkan senantiasa menumbuhkan motivasi penderita paraplegia untuk selalu belajar menerima kondisinya dan berperan kembali dalam lingkungan keluarga, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah gambaran kualitas hidup yang dicapai oleh penderita paraplegia?

2. Bagaimanakan proses atau tahapan pencapaian kualitas hidup penderita paraplegia?

3. Bagaimana upaya pemberdayaan keluarga dalam mendukung pencapaian kualitas hidup yang baik pada penderita paraplegia?

(5)

4. Bagaimana penderita paraplegia memaknai peran keluarga dalam mendukung pencapaian kualitas hidupnya?

C. Tujuan Penelitian

Dari kajian penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan penelitian yang meliputi :

1. Identifikasi indikator-indikator kualitas hidup penderita paraplegia. 2. Proses atau tahapan pencapaian kualitas hidup penderita paraplegia.

3. Mengetahui upaya-upaya pemberdayaan keluarga dalam mendukung pencapaian kualitas hidup penderita paraplegia.

4. Menjelaskan cara pandang penderita paraplegia dalam memaknai peran keluarga dalam proses pencapaian kualitas hidup penderita paraplegia.

D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai masukan bagi RS Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta untuk mengembangkan model pelayanan kesehatan dalam kegiatan rehabilitasi medikspinal cord injury.

2. Peneliti lain, dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan referensi dalam penelitian rehabilitasi medik pada penderita paraplegia.

Kemanfaatan secara objektif adalah ada peningkatan pengetahuan keluarga tentang pentingnya peran serta keluarga yang dimaknai oleh penderita paraplegia akan memotivasi anggota keluarga untuk meningkatkan ketrampilannya dalam upaya mendukung mendukung pencapaian kualitas hidup penderita paraplegia.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian mengenai paraplegia yang sudah pernah dilakukan dan hampir sama dengan penelitian ini antara lain :

1. Safran et al (1994) yang berjudul “Social Supports as A Determinant of Community-Based Care Utilization among Rehabilitation Patients”. Hasil

(6)

penelitian menunjukkan anggota keluarga dan teman mempunyai peran utama dalam perawatan harian pasien rehabilitasi dan menentukan pemilihan pelayanan rehabilitasi. Pada sisi lain, dukungan sosial tidak dapat digunakan untuk memprediksi waktu pelayanan rehabilitasi pasien. Persamaan penelitian adalah subjek penelitian keluarga dari pasien yang mendapat rehabilitasi medik. Perbedaan penelitian adalah disain penelitian dengan studi longitudinal, observasional dan analisis data dengan regresi multivariat.

2. Chan (2000) dengan judul“Stress and Coping in Spouses of Persons with Spinal Cord Injuries”. Hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa situasi yang paling menekan bagi pasangan hidup penderita paraplegia adalah masalah kesehatan pasangannya yang mengalami cedera, interaksi dengan keluarga dan interaksi dalam pernikahan, serta kesulitan bagi pasangan hidup paraplegia dalam hal merawat. Analisis kelompok menunjukkan bahwa terdapat kelompok yang mempunyai potensi risiko lebih besar adalah pasangan hidup penderita paraplegia yang bercirikan tinggi pada skorlocus of control eksternal, memiliki strategi koping yang tidak sesuai, dan kurang mendapat dukungan sosial. Kelompok ini mengalami level depresi yang tinggi karena beban perawatan, dan sebaliknya level yang rendah pada masalah kepuasan hidup dan keberhasilan penyesuaian pernikahan. Persamaan penelitian pada subjek penelitian yaitu penderita paraplegia yang mendapat rehabilitasi medik. Perbedaan penelitian adalah metode kuantitatif dengan desaincross-sectional correlation.

3. Prihantini (2001) yang berjudul “Efektivitas Pendidikan Kesehatan pada Penderita Paraplegia dalam Upaya Pencegahan Dekubitus di Wisma Paraplegia Surakarta” menunjukkan beberapa hal yang menjadi kesimpulan, yakni : (1) pendidikan kesehatan pencegahan dekubitus pada penderita paraplegia hanya efektif untuk meningkatkan pengetahuan; (2) pendidikan kesehatan tidak efektif untuk meningkatkan sikap dan tindakan; (3) terdapat perbedaan perubahan peningkatan pengetahuan mengenai pencegahan dekubitus, antara kelompok yang diberi pendidikan kesehatan dengan kelompok yang tidak diberikan pendidikan kesehatan; (4) tidak terdapat perbedaan atau perubahan sikap dan tindakan setelah diberikan pendidikan kesehatan; dan (5) pendidikan kesehatan

(7)

belum terbukti efektif untuk menurunkan kasus dekubitus di Wisma Paraplegia Surakarta, bila kajian penelitian dilakukan dalam jangka pendek. Persamaan penelitian adalah pada subjek penelitian, yaitu penderita paraplegia mendapat rehabilitasi medik. Perbedaan penelitian adalah metode kuantitatif dengan desain quasi experimental.

4. Priambodo dkk (2007) yang berjudul “Kualitas Hidup Pasien yang Menjalani Pemasangan Stoma Usus di Wilayah Kota Bandung (Quality of Life of Patients Undergoing Colostomi in Bandung). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subjek (77,4%) mempersepsikan tingkat kualitas hidupnya dari rentang ‘sangat kurang sampai cukup’ dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor total kualitas hidup subjek berdasarkan kelompok usia, pendidikan, pekerjaan, lamanya menjalani stoma, jenis kelamin, dan masalah kesehatan yang menyertai. Persamaan penelitian adalah fokus pada kualitas hidup pasien. Perbedaan penelitian adalah metode kuantitatif dengan disain cross sectional dengan metode pendekatan descriptive analytical.

5. Patriani (2008) yang berjudul “Pemberdayaan Keluarga dalam Rehabilitasi Medik pada Penderita Penyakit Paru Kronik di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru Yogyakarta”, hasilnya membuktikan bahwa pemberdayaan keluarga melalui pelatihan rehabilitasi medik dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga tentang rehabilitasi medik paru. Persamaan penelitian adalah fokus pada pemberdayaan keluarga sebagai bagian penting dari proses rehabilitasi. Perbedaan penelitian adalah metode kuantitatif dengan desain quasi experiment (pre and post test with control group design) dan subjek penelitian.

6. Fauziyah (2008) yang berjudul “Peran Terapi Suportif Reassurance terhadap Depresi pada Penderita Paraplegia Survivor Gempa Bantul” menunjukkan bahwaterapi suportifreassurance dapat menurunkan tingkat depresi dengan pola penurunan simtom yang bervariasi antara simtom yang satu dengan simtom yang lain, serta mengubah kesadaran partisipan dalam memahami dirinya, selanjutnya mempengaruhi sikapnya dalam menghadapi permasalahan yang dialami, terutama

(8)

masalah yang bersumber dari konflik dengan pasangan hidup (suami). Persamaan penelitian ini adalah fokus pada kualitas hidup penderita paraplegia. Perbedaannya adalah rancangan eksperimensingle subject designdengan model ABAB.

7. Fitri (2010) yang berjudul “Peran Nyeri, Regulasi Emosi, dan Dukungan Sosial Keluarga terhadap Kualitas Hidup Penyintas Spinal Cord Injury (SCI) Korban Gempa Bumi Bantul 27 Mei 2006”. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara nyeri, regulasi emosi, dan dukungan sosial keluarga secara bersama – sama dengan kualitas hidup penyintas SCI. Tetapi secara parsial, hanya regulasi emosi dan dukungan sosial yang bersumber dari keluarga memiliki hubungan positif dengan kualitas hidup, sedangkan hubungan negatif rasa nyeri dengan pencapaian kualitas hidup tidak terbukti dalam penelitian ini. Persamaannya dengan penelitian ini adalah fokus pada kualitas hidup penderita paraplegia, sedangkan perbedaannya pada metode penelitian.

Bila dicermati lebih lanjut, tampak bahwa penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas menggunakan pendekatan kuantitatif, dan belum menyentuh kualitas hidup penderita paraplegia secara mendalam. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut yang mengungkap kualitas hidup penyandang paraplegia, serta peran pemberdayaan keluarga dalam menunjang hal tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) Paraplegia merupakan kasus yang kompleks dan peristiwa SCI merupakan peristiwa mendalam yang sarat dengan makna subjektif bagi penderita yang bersangkutan; (2) Keberagaman keluarga yang melatarbelakangi kehidupan penderita paraplegia merupakan sumber-sumber yang berpotensi memunculkan keberagaman pula dalam mendukung pencapaian kualitas hidup penyandang paraplegia. Oleh karena itu, peneliti akan mengembangkan penelitian dengan pendekatan yang berbeda guna memperkaya kajian mengenai kasus-kasus paraplegia dan upaya-upaya pemberdayaannya. Pendekatan yang dipilih adalah kualitatif fenomenologis agar mampu memahami proses penerimaan diri para penderita paraplegia dan mendukung upaya-upaya pemberdayaan keluarga dalam rangka pencapaian kualitas hidup penderita paraplegia.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Berdasarkan hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa pendidikan formal memiliki pengaruh tinggi terhadap tingkat pengetahuan dalam penggunaan antibiotika pada

Sistem penjaminan mutu Insitusi dan prodi berjalan dengan baik. Penerapan standar dan prosedur mutu melalui tahapan prosedur kerja sesuai dengan standar yang telah ditetapkan

Representasi makna keadilan dari dialog di atas adalah sebagai berikut: terlihat pada percakapan di atas, terlihat nilai moral keadilan pada tokoh Pastor

Hubungan Antara Supervisi Kepala Ruangan Dengan Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.. Tesis Manajemen

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Ketiga tesis di atas secara substantif memang meneliti tentang pemasaran pendidikan di sebuah lembaga, baik pada sekolah tingkat menengah maupun sekolah tinggi. Akan