• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Maret 1999

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Maret 1999"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

MENGEVALUASI PELAKSANAAN EBTANAS

DI SEKOLAH NEGERI DAN SWASTA

Oleh : Ki Supriyoko

Pada awal s/d pertengahan Mei nanti pemerintah yang dalam hal ini departemen pendidikan akan kembali menggelar aktivitas rutin ta-hunan di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, yang berupa kegiatan evaluasi belajar tahap akhir tingkat nasional, atau yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan Ebtanas. Dari sisi historis Ebtanas yang diadakan setiap tahun sudah dilaksanakan sejak tahun 1984; dengan demikian dalam sejarahnya sudah 15 kali sekolah-seko-lah di Indonesia melaksanakan rutinitas akademik tersebut.

Di dalam mengarungi perjalanan yang lima belas tahun tersebut ternyata banyak sekali pengalaman-pengalaman berkaitan dengan pe-laksanaan Ebtanas, baik pengalaman yang manis maupun yang pahit. Terjadinya peningkatan motivasi belajar anak didik di banyak sekolah, terjadinya kompetisi yang sehat antarsiswa dalam berprestasi, adanya rasa syukur di kalangan orang tua karena lebih mudah mencarikan ke-lanjutan studi bagi anaknya, merupakan bagian dari pengalaman manis yang berkait dengan pelaksanaan Ebtanas.

Bagaimana dengan pengalaman pahit? Sudah barang tentu banyak pula! Prestasi belajar anak didik yang mengecewakan, peraihan Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang pada umumnya rendah untuk kebanyakan bidang studi di semua satuan pendidikan, terjadinya manipulasi NEM di beberapa tempat, kebocoran soal yang terjadi pada banyak sekolah dan pengobyekan kegiatan akademis pada oknum-oknum guru adalah contoh dari pengalaman pahit tersebut.

Memang harus diakui bahwa setiap sistem atau metode di dalam dunia pendidikan, termasuk sistem atau metode evaluasi belajar seperti halnya Ebtanas, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Memiliki nilai plus dan minus. Dengan demikian wajarlah pengalaman manis dan pahit senantiasa mengiringi perjalanannya.

(2)

Ebtanas banyak diakui mempunyai nilai plus. Konsepsi idealnya adalah dengan materi soal yang sama, waktu pengujian yang sama dan kriteria evaluasi yang sama untuk sekolah-sekolah yang sederajat dan sejenis maka hasil yang dicapai siswa di mana saja akan memiliki bo-bot yang sama pula.

Dengan mengaplikasi sistem Ebtanas maka bobot lulusan SD di Bali sama dengan lulusan SD di Jakarta, juga sama dengan lulusan SD di Aceh, dan bahkan SD di Sekolah Republik Indonesia Tokyo Jepang sepanjang pencapaian NEM-nya sama. Dengan Ebtanas pula maka bobot lulusan SLTP di Irian Jaya sama dengan lulusan SLTP di Riau, juga sama dengan lulusan SLTP di NTB, dan bahkan dengan SLTP di Sekolah Republik Indonesia Denhaag Belanda sepanjang pencapaian NEM-nya sama. Hal ini juga berlaku bagi satuan SMU dan SMK baik negeri maupun swasta. Inilah konsep ideal Ebtanas.

Ketika tiba waktunya musim penerimaan siswa baru di sekolah maka para orang tua pun banyak yang gembira karena merasa dimudahkan oleh sistem. Dengan mengetahui berapakah pencapaian NEM sang anak maka ia dapat menaksir sepantasnya di sekolah mana sang anak harus melanjutkan studi. Apabila pencapaian NEM SD anaknya tinggi maka ia lebih berhak menyekolahkan anaknya di SLTP yang mutunya tinggi pula, demikian pula apabila pencapaian NEM SLTP anaknya rendah maka tidak perlulah mencari SMU yang "top" untuk kelanjutan studi sang anak.

Bukan orang tua saja yang gembira, kepala sekolah pun banyak yang senang. Mengapa? Mereka tidak lagi dipusingkan dengan urusan katabeletje, nota dinas, memo, titipan kilat atau apapun namanya dari para pejabat dan kolega selama proses penerimaan siswa baru berlangsung. Hal yang biasanya membuat pusing kepala itu ternyata bisa dianulasi oleh sistem Ebtanas.

Dengan berlangsungnya Ebtanas maka kompetisi antarsiswa baik intersekolah maupun antarsekolah menjadi lebih fair, transparan, dan produktif. Siswa tak bisa lagi bercuriga pada (oknum) guru yang biasa menerapkan "like and dislike" dalam memberi nilai kepada siswa.

Di samping nilai plus ternyata nilai minus juga melekat pada sis-tem Ebtanas.Idealisme dalam konsep ternyata menjadi luntur ketika di lapangan terjadi berbagai penyimpangan; misalnya dengan munculnya kasus pemalsuan atau penipuan NEM di beberapa daerah. Di Bandung misalnya, NEM siswa yang selama ini diyakini masyarakat sebagai nilai "murni" ternyata dapat dimanipulasi sesuai keinginan orang yang berkepentingan. Dengan demikian, wajarlah kalau kemudian muncul sinisme mengenai NEM yang konon bukan lagi kependekan dari Nilai Ebtanas Murni akan tetapi Nilai Ebtanas Manipulasi.

Idealisme Ebtanas juga menjadi luntur ketika ternyata materi soal antardaerah sering tidak sama. Materi soal Ebtanas SD di Jawa Barat berbeda dengan materi soal SD di Jambi; materi soal Ebtanas SLTP di Jawa Tengah berbeda dengan materi soal SLTP di Bengkulu; materi soal Ebtanas SMU di Jawa Timur berbeda dengan materi soal SMU di NTT; demikian juga materi soal SMK di Sumatera Barat tak lagi sama

(3)

dengan materi soal SMK di Sulawesi Selatan. Dengan kondisi seperti ini masyarakat pun berhak curiga jangan-jangan bobot kelulusan siswa antardaerah menjadi tidak sama sekalipun pencapaian NEM-nya sama.

Terjadinya permainan dalam sistem koreksi silang juga menjadi bagian lain dari nilai minus Ebtanas yang berkembang. Apabila sistem koreksinya sudah "diakali" maka kita pun dapat maklum apabila hasil pencapaian NEM-nya juga tidak lagi "murni".

Usulan Dihentikan

Di dalam beberapa tahun terakhir ini nilai minus Ebtanas menjadi lebih tinggi lagi manakala ditemui adanya sinyalemen mengenai peng-objekan pelaksanaan Ebtanas di lapangan. Banyak pengelola sekolah swasta yang mengeluh tentang tingginya pungutan beaya Ebtanas dari siswa. Para siswa sekolah swasta harus mau membayar mahal hanya untuk dapat mengikuti Ebtanas; sementara siswa sekolah negeri tidak dikenakan beban yang sama.

Lebih daripada itu bahkan muncul pendapat di kalangan tertentu bahwa siswa sekolah swasta ikut mendanai siswa sekolah negeri untuk berpacu dalam Ebtanas. Keadaan tersebut kiranya mendapat perhatian Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) sehingga, meski bukan menjadi satu-satu-nya argumentasi, badan ini mengusulkan kepada pemerintah supaya pelaksanaan Ebtanas dihentikan terhitung tahun ajaran 1999/2000 atau tahun depan. Sebagai dasar untuk membuat usulan antara lain jawaban Ebtanas tidak pernah dikembalikan kepada siswa, terjadinya manipulasi nilai di lapangan, serta memberatkan siswa dan orang tua siswa sekolah swasta karena beayanya tinggi.

Secara materiil usulan tersebut cukup argumentatif karena dida-sarkan kepada apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Akan tetapi sayang, usulan yang cukup argumentatif itu kurang didukung dengan argumentasi akademis yang memadai. Di dalam hal ini BMPS terlalu menonjolkan alasan-alasan praktis seperti terjadinya manipulasi nilai, beaya yang memberatkan, dsb.

Banyak orang menyatakan bahwa BMPS tidak sempat mengopti-malkan pakar-pakar pendidikan yang ada didalamnya hingga lontaran "manuver" yang sesungguhnya sangat strategis ini kurang terdukung oleh argumentasi akademis yang memadai.

Oleh karena argumentasi yang diajukan untuk mendukung usulan tersebut lebih menonjolkan sisi praktisnya maka kesan emosionalitas pada usulan tersebut menjadi tidak terelakkan. Dengan demikian Pak Juwono Sudarsono selaku menteri pendidikan menjadi terlalu mudah untuk menanggapinya, Ebtanas tetap saja akan dilaksanakan; kalau di lapangan ada kekurangan di sana-sini hendaknya dapat dibenahi ber-sama-sama sehingga pelaksanaannya pada masa-masa mendatang akan lebih baik dan lebih sempurna. Nah, selesai bukan?

(4)

Kalau kita meneropongnya dari sisi akademis, bukan hanya dari sisi praktisnya saja, maka persoalan Ebtanas memang perlu mendapat klarifikasi dengan segera. Konsepsi akademis Ebtanas perlu ditengok kembali untuk menentukan kelayakan Ebtanas di masa mendatang. A-pakah Ebtanas memang masih layak dipertahankan secara apa adanya, atau dipertahankan dengan perbaikan-perbaikan, ataukah sama sekali tidak layak dipertahankan sehingga harus segera diakhiri pelaksanaan-nya di sekolah-sekolah.

Inter-Rater Validity

Secara formal pelaksanaan Ebtanas di SD, SLTP, SMU dan SMK baik negeri maupun swasta dilakukan untuk menjalankan amanat Pa-sal 44 UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara eksplisit menyebutkan bahwa pemerintah dapat menyelenggarakan penilaian hasil belajar suatu jenis dan/atau jenjang pendidikan secara nasional.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut disebut bahwa tujuan penilaian yang dimaksud ialah untuk mengetahui hasil belajar peserta didik suatu jenis dan jenjang pendidikan tertentu dengan menggunakan ukuran yang ditetapkan secara nasional pada masa akhir pendidikan-nya. Penilaian harus didasarkan pada kurikulum nasional. Hal ini juga dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan (yang benar) mengenai mutu hasil pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan secara nasional.

Mengacu pada ketentuan tersebut maka sebenarnya Ebtanas harus dilaksanakan dengan materi yang bersifat nasional dan mengacu pada kurikulum nasional. Pengertian nasional disini ialah sama bobot untuk sekolah-sekolah yang sama jenis dan jenjangnya; misalnya saja materi Ebtanas SD di Jawa Barat sama bobotnya dengan SD di Jambi, SLTP di Jawa Tengah sama bobotnya dengan SLTP di Bengkulu, SMU di Jawa Timur sama bobotnya dengan SMU NTT, SMK di Sumatera Ba-rat dengan SMK di Sulawesi Selatan, dan sebagainya.

Kiranya bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini soal-soal Ebtanas antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain tidak sama. Persoalannya sekarang ialah bagaimana dapat meyakinkan masyarakat bahwa mutu materi Ebtanas SD di Jawa Barat Jakarta sama bobotnya dengan SD di Jambi.

Secara metodologis hal tersebut bisa ditempuh dengan melakukan uji "inter-rater validity" terhadap materi Ebtanas antarwilayah. Jadi kalau kita mempunyai 27 jenis materi Ebtanas, dengan asumsi setiap propinsi membuat materi Ebtanas SD-nya sendiri-sendiri, maka harus dilakukan 27 kali uji validitas terhadap materi Ebtanas yang dianggap standard.

Pengujian validitas tersebut sebenarnya tak sulit dilakukan tetapi Depdikbud sebagai penanggung jawab pelaksanaan Ebtanas tidak per-nah melakukannya secara transparan sehingga wajarlah kalau kualitas dan kesamaan bobot materi Ebtanas

(5)

diragukan oleh masyarakat.

Seorang kepala SMU di Yogyakarta pernah mengeluh mengenai keberagaman mutu inputnya. Pasalnya sebagai SMU "nasional" maka harus menerima input dari segala penjuru tanah air sepanjang capaian Nilai Ebtanas Murni (NEM)-nya memenuhi syarat. Ketika pelajaran berlangsung sekitar satu catur wulan baru diketahui oleh para guru di SMU tersebut bahwa siswa yang SLTP asalnya dari luar Jawa, sekalipun NEM-nya lebih tinggi, pada umumnya berkemampuan akademis lebih rendah dibanding siswa yang SLTP asalnya dari Jawa. Keluhan seperti ini ternyata juga dialami oleh kepala-kepala sekolah, SMU dan juga SLTP, di beberapa tempat lainnya.

Kasus tersebut sebenarnya dapat menunjukkan pada kita tentang terdapatnya indikator ketidaksamaan bobot NEM antarsekolah antar-wilayah, juga ketidaksamaan bobot materi antarsekolah antarwilayah. Indikator ini semestinya segera dilacak oleh Depdikbud untuk mengetahui sejauh mana tingkat kebenaran indikator tersebut pada khasanah yang lebih umum (general).

Apabila kemudian diketahui bahwa ternyata bobot materi Ebtanas antarsekolah antarwilayah tidak sama, baik melalui studi kasus mau-pun studi formulatif, maka gugurlah asumsi bahwa soal-soal Ebtanas di masing-masing wilayah bersifat nasional. Apabila asumsi ini telah gugur maka secara akademis pelaksanaan Ebtanas tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai pengukur hasil belajar secara nasional. Di dalam posisi seperti ini maka pelaksanaan Ebtanas kita menjadi tidak efektif, tidak efisien dan antiproduktif.

Indeks Kesukaran

Bagaimana dengan keluhan siswa tentang terlalu sukarnya materi Ebtanas itu sendiri sehingga menyulitkan peraihan NEM yang tinggi? Dalam realitasnya di lapangan memang sering ditemui keluhan siswa tentang sukarnya materi Ebtanas. Untuk mengetahui tingkat kesukaran materi Ebtanas tersebut bisa ditempuh dengan mengadakan analisis statistik untuk menentukan nilai 'indeks kesukaran', yang di dalam ilmu statistik diberi simbol "p", pada setiap butir soal. Dengan cara ini akan diketahui butir-butir soal mana yang terlalu sukar, normal atau terlalu mudah untuk kemampuan rata-rata siswa. Adapun kriteria yang digunakan didasarkan pada sifat dari Ebtanas itu sendiri yang dalam hal ini lebih bersifat sebagai instrumen untuk mengukur kompetensi siswa (competence testing), bukan instrumen untuk mengukur ketuntasan penguasaan pengetahuan siswa (mastery testing).

Secara teoretik-akademis pada mastery testing maka dituntut nilai p tercapai secara maksimal, yaitu p=1, artinya semua butir soal harus dapat dikerjakan dengan benar oleh semua peserta tes atau Ebtanas. Sedangkan untuk competence testing oleh para pakar pendidikan telah disepakati nilainya kurang dari satu, sekitar 0,60 s/d 0,80, tergantung pada bentuk soal dan tujuannya.

(6)

Karena Ebtanas lebih cenderung kepada competence testing maka acuan tersebut di atas kiranya dapat dipakai, yaitu menetapkan nilai p antara 0,60 s/d 0,80, artinya masing-masing butir soal dapat dijawab dengan benar oleh sebanyak 60 s/d 80 persen peserta Ebtanas.

Apabila terbukti soal-soal Ebtanas mempunyai nilai p yang lebih rendah dari angka tersebut, hal ini berarti bahwa soal-soal Ebtanas memang memiliki tingkat kesukaran yang tinggi. Formula matematis-nya adalah semakin rendah indeks kesukaran (p) justru semakin tinggi tingkat kesukaran soal Ebtanas; karena nilai p dihasilkan dari jumlah soal Ebtanas dijawab benar oleh peserta Ebtanas dibagi jumlah seluruh peserta yang menjawab soal yang bersangkutan.

Prosesi akademis tersebut semestinya sudah dilaksanakan secara transparan sejak pertama kali Ebtanas dilaksanakan, yaitu tahun 1984 lima belas tahun yang lalu, agar supaya masyarakat kebanyakan pada umumnya dan masyarakat akademis pada khususnya dapat memahami kredibilitas Ebtanas di dalam posisinya sebagai instrumen dan metode untuk memperoleh keterangan tentang mutu hasil pendidikan di setiap jenis dan jenjang pendidikan secara nasional.

Kalau dilihat perkembangan Ebtanas sejak awalnya, tahun 1984, dengan capaian NEM siswa yang rendah untuk mayoritas bidang studi yang diujikan di SD, SLTP, SMU dan SMK hal itu memberi indikasi bahwa nilai p yang dihasilkan adalah rendah; itu berarti indeks kesukaran materi Ebtanas relatif tinggi, atau bahkan sangat tinggi. Hal itu juga berarti bahwa hanya (sangat) sedikit siswa yang mampu menger-jakan soal-soal Ebtanas dengan benar.

Dengan asumsi bahwa materi Ebtanas sudah disusun berdasarkan standard kurikulum nasional, sebagaimana yang diamanatkan undang-undang pendididikan, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas hasil pendidikan kita masih rendah. Lalu apanya yang salah? Apabila kita berasumsi bahwa materi Ebtanasnya sudah benar maka kesalahan itu bisa terjadi pada siswanya (input), gurunya, birokrasinya, sistemnya, dan bisa pula secara simultan terjadi pada banyak faktor yang berpe-ngaruh pada pelaksanaan pendidikan di Indonesia.

Karena Ebtanas sudah berjalan selama belasan tahun dan capaian NEM siswa di semua satuan pendidikan untuk mayoritas bidang studi cenderung tidak memuaskan sebenarnya sudah dapat diambil konklusi tentang rendahnya mutu hasil pendidikan kita. Jadi, apabila dilaksanakannya Ebtanas hanya sekedar untuk memperoleh keterangan tentang mutu hasil pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan secara nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang pendi-dikan kita, kiranya sudah cukup kokoh argumentasi akademis untuk menghentikan palaksanaan Ebtanas di SD, SLTP, SMU dan SMK. Apalagi secara empirik pelaksanaan Ebtanas kita selama ini cenderung membawa efek samping yang negatif, antiproduktif dan antiedukatif.

Setelah diketahui begitu rendahnya hasil pendidikan kita, sebaik-nya pemerintah melalui departemen pendidikan lebih berkonsentrasi meningkatkan kualitas; tidak lagi berpolemik mengenai Ebtanas yang sangat melelahkan dan menghabiskan enerji

(7)

!!!*****

---BIODATA SINGKAT;

*: DR. Ki Supriyoko, M.Pd.

*: Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa; serta Director of Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang

*: Doktor di bidang penelitian dan evaluasi pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi dan kesepakatan dengan kedua UKM (UD. Nyoman Handycrafts dan Urip Handycrafts), maka tujuan program Ipteks bagi produk ekspor Kerajinan Cindramata Alat

Kode Program 4.7 Fungsi Menampilkan Informasi Navigasi Augmented Reality 63 Kode Program 4.8 Fungsi dalam Pembuatan Manual Custom

Gambar 10 Anyaman Rotan Jruna Kembar Besar, Jruno Kembar Kecil, dan Silang Ghedek. Finishing dari rotan dapat modern nilai estetika pula. Pada tahun 1970-an, kursi rotan

Adanya jumlah pengrajin yang meningkat dan telah diberikan bimbingan sebelumnya, maka SDM (tenaga kerja) lebih berkualitas. Oleh sebab itu, pengrajin/tenaga kerja

Departemen Pemasaran dan Kepesertaan Kepala Divisi Regional Melakukan analisa data Menyusun konsep laporan Menyetujui konsep laporan Menerima laporan Setuju Memberikan

Dalam beberapa kasus, ketika Pelanggan bertransaksi langsung dengan pihak ketiga untuk mendapatkan layanan, atau saat Pelanggan menggunakan Situs untuk memesan kamar

Hubungan antara jurnal dan penelitian ini adalah Korelasi yang positif antara kompleksitas organisasi, dalam hal ini public relations sebagai perencana strategi

Hamka, Kampus Pusat UNP Air Tawar Padang, Telp/ Fax... KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS