Mewujudkan Perlindungan Perempuan Korban melalui
Pemenuhan Bantuan Hukum:
Mewujudkan Perlindungan Perempuan Korban melalui
Pemenuhan Bantuan Hukum:
Kertas Posisi Terhadap Pembahasan RUU Bantuan Hukum
A. Latar BelakangKertas posisi disusun sebagai usulan terhadap Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum (RUU Bantuan Hukum), yang ditujukan agar pemenuhan hak-hak perempuan korban maupun saksi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang terintegrasi di dalamnya dengan prinsip Hak Asasi Manusia, kesetaraan dan keadilan gender.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 pada bidang hukum dan aparatur menggariskan peningkatan kesadaran dan penegakan hukum dalam rangka tercapainya konsolidasi penegakan supremasi hukum dan penegakan HAM serta kelanjutan penataan sistem hukum nasional melalui perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik. Hal tersebut dilakukan melalui arah kebijakan salah satunya adalah peningkatan perlindungan, pemajuan dan penegakan terhadap HAM. Guna melaksanakan pembangunan hukum perlu ditingkatkan pembaruan materi hukum dengan tetap memperhatikan upaya perlindungan, pengakuan dan penerapan prinsip-prinsip HAM dalam semua bentuk pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemenuhan hak-hak bagi perempuan korban. Komnas Perempuan sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia memiliki mandat untuk memantau dan mengkaji semua perencanaan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan pemenuhan hak perempuan termasuk perempuan korban kekerasan. Hal ini terkait dengan upaya untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Salah satu hal yang penting didorong oleh Komnas Perempuan adalah pemenuhan hak-hak perempuan korban maupun saksi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang tengah diperjuangkan dalam Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum ini.
Lahirnya kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2011 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2012, adalah bentuk political will pemerintah tentang bantuan hukum, dimana strategi akses keadilan dibagi dalam 8 (delapan) bidang1, bisa dilihat dalam salah satunya adalah bidang hukum. Namun sayangnya akses keadilan ini hanya mencakup proses hukum pengadilan atau litigasi. Kondisi ini dalam pandangan Komnas Perempuan bermakna sangat sempit, karena hasil pemantauan Komnas Perempuan menemukan fakta bahwa bantuan hukum diperlukan bagi perempuan yang berstatus sebagai tersangka atau korban yang tidak menyelesaikan persoalan hukumnya melalui pengadilan. Temuan lain yang juga sangat penting adalah terkait pentingnya pengakuan atas peran paralegal yang banyak memberikan dukungan bagi perempuan korban ketika mengalami kekerasan terhadap perempuan. Melihat berbagai fakta yang ditemukan, maka Komnas
1 Di dalam RKP Tahun 2012, ada kurang lebih 9 bidang prioritas, yaitu: a. Bidang Sosbud; b. Bidang Ekonomi; c. Bidang Iptek; d. Bidang Sarpras; e. Bidang Politik; f. Bidang Hankam;
g. Bidang Hukum dan Aparatur; h. Bidang Wilayah dan Tata Ruang; dan i. Bidang SDA dan Lingkungan Hidup.
Perempuan mengusulkan sejumlah masukan terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum guna memastikan terintegrasinya pemenuhan hak-hak perempuan korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Komnas Perempuan selain mendasarkan pada data dan fakta atas kebutuhan perempuan korban yang sedang berhadapan dengan hukum, juga menyelenggarakan serangkaian kegiatan bersama mitra untuk pendalaman substansi, misalnya dialog dan diskusi terfokus baik dengan unsur pemerintah dan non pemerintah, utamanya lembaga-lembaga yang selama ini memberikan dukungan dan pendampingan bagi perempuan korban. Temuan fakta, hasil diskusi dan hasil analisis itulah yang kemudian menjadi usulan untuk disampaikan dalam pembahasan RUU Bantuan Hukum yang dalam Prolegnas 2010-2014 menjadi RUU inisiatif pemerintah.
B. Landasan-Landasan 1. Landasan Filosofis
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dalam sila Kedua dan Kelima disebutkan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Kedua sila tersebut merupakan dasar yang perlu menjadi paradigma dalam Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Pembukaan Undang-Undang-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea Keempat juga menegaskan bahwa “tujuan pembentukan negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Hal ini merupakan penegasan pada kewajiban negara untuk menciptakan peluang dan kondisi yang kondusif bagi pemenuhan, perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan, yang antara lain diwujudkan dalam pemberian bantuan hukum bagi perempuan sebagai korban maupun sebagai saksi dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
2. Landasan Sosiologis
Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tentang Kekerasan terhadap Perempuan setiap tahunnya memberi gambaran bahwa ada peningkatan jumlah angka Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang ditangani oleh lembaga pengada layanan. Pada tahun 2009, jumlah KtP mencapai 143.586 kasus KtP, meningkat lebih dari 2 (dua) kali lipat atau naik 263% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat 54.425 kasus KtP di tahun 2008.2 Tentu perlu dipahami bahwa angka-angka ini hanya didasarkan pada kasus kekerasan terhadap perempuan yang perempuan korbannya memiliki keberanian, kemampuan untuk mengadukan kasus hukumnya, itupun yang melalui proses hokum formal. Artinya secara faktual angka kekerasan terhadap perempuan bisa dipastikan lebih tinggi, dan perempuan korban memilih diam atau menyelesaikannya melalui mekanisme non formal (non pengadilan).
2 Komnas Perempuan, Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang, Catatan KtP Tahun 2009, Catatan Tahunan Komnas Perempuan dilaunching 7 Maret 2010
Pada tahun 2010 Komnas Perempuan melakukan pemantauan terkait Akses Perempuan Pada Keadilan di Provinsi Sumatera Selatan (Kota Palembang, Kabupaten Musi Banyuasin) dan Provinsi Sulawesi Tengah (Kota Palu dan Kabupaten Sigi). Hasil pemantauan ini menggambarkan pengalaman perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan. Bagi yang memilih melalui mekanisme formal, mereka mengadukan kasusnya kepada penegak hukum melalui lembaga layanan untuk memperoleh pendampingan seperti Lembaga Bantuan Hukum, Lembaga Swadaya Masyarakat, Women Crisis Centre dan atau lembaga pemerintah seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Tetapi 60% dari 20 kasus yang dipantau menggambarkan korban menyelesaikan kasusnya dengan menggunakan mekanisme adat dan agama. Hasil pemantauan juga menunjukkan adanya hambatan-hambatan yang dialami perempuan korban kekerasan saat mengakses keadilan melalui mekanisme formal, antara lain: ketidaksigapan lembaga formal pada tingkatan kepolisian dalam merespon pengaduan korban; korban mengalami diskriminasi berlapis karena minimnya pemahaman kekerasan berbasis gender oleh aparat penegak hukum seperti pihak kepolisian tidak melihat apa yang melatarbelakangi terjadinya penganiayaan terhadap korban (perempuan sebagai pelaku) atau pengabaian kasus percobaan perkosaan yang dialami korban; stigmatisasi atas tubuh seseorang karena ia bertubuh besar dan tegap sehingga perspektif yang bias jender mengakibatkan terjadinya reviktimisasi pada korban. Kepolisian kerap kali memfasilitasi mediasi antara korban dan pelaku, khususnya dalam kasus-kasus KDRT, padahal tidak semua delik dalam kasus KDRT dapat diselesaikan melalui forum mediasi (bukan delik aduan tetapi pidana murni), dengan hanya mendasarkan pada pencabutan pelaporan oleh korban.
Melihat fakta di atas keberadaan dan peran lembaga pendamping menjadi sangat penting, bukan hanya sebagai pendamping hukum, tetapi juga memberikan konseling dan rekomendasi rujukan pemulihan korban.3
Berbagai kasus yang terdokumentasi menggambarkan bahwa pendamping berupaya menerjemahkan pengalaman kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan korban ke berbagai isu-isu hak yang harus ditegakkan dalam konteks penanganan kasus. Baik secara langsung maupun tidak langsung, para pendamping dan organisasi perempuan yang memiliki konsern pada perlindungan dan penanganan perempuan korban memberikan penguatan dan pemberdayaan social, ekonomi dan hukum, bukan hanya pada perempuan korban, tetapi juga pada keluarga dan komunitas korban serta negara.
Mengapa keluarga dan komunitas penting, karena peran keluarga yang pertama kali diharapkan dapat menerima kembali dan menguatkan korban. Selanjutnya keluarga berperan untuk membantu mendorong agar korban bersedia, memberikan dukungan untuk melaporkan kasus yang dialaminya ke Kepolisian atau mendesak aparat Kepolisian untuk menindaklanjuti penanganan kasus, atau melaporkan kepada organisasi perempuan dan masyarakat yang memahami isu kekerasan dan keadilan. Keluarga juga memiliki peran penting untuk membantu korban untuk pulih seperti sediakala. Komunitas juga bagian penting yang harus dipulihkan, karena dukungan komunitas untuk mendukung korban dan keluarga dengan cara tidak menolak “kondisi baru” korban dan keluarganya serta bersedia bersama-sama melakukan proses reintegrasi sosial korban sampai korban kembali seperti sediakala sebelum menjadi korban. Negara sebagai pilar penanggung jawab pemenuhan hak asasi korban juga harus didorong untuk selalu membuat kebijakan yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan menegakkannya.
3
Lihat Arimbi Heroepoetri (penyunting), Pengetahuan Hukum Sebagai Penberdayaan Hukum Perempuan: Hasil Pemantauan Akses Perempuan pada Keadilan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2011, hal. 41
Melihat fakta-fakta di atas, peran para pendamping sangat penting dan dibutuhkan. Penting dan dibutuhkan oleh korban, keluarga, komunitas dan Negara. Pendamping juga memiliki peran besar dalam pelaporan kasus kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan korban. Pendamping berperan dalam setiap interaksi kasus antara perempuan korban kekerasan, keluarga, komunitas dalam proses hukum dengan penegak hukum terutama Kepolisian sebagai aparat yang seharusnya menerima pengaduan dan memberikan perlindungan pada korban. Keberadaan para pendamping ini telah memfungsikan dirinya sebagai “paralegal”. Peran keparalegalan ini juga ditunjukkan ketika paralegal hadir di setiap proses hukum yang dijalani korban. Mengapa korban tidak didampingi pengacara dan atau advokat sebagai pendamping hukum? Banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain keberadaan korban di wilayah terpencil yang tidak selalu siap sedia keberadaan advokat dan atau pengacara, maupun jumlah advokat yang sangat terbatas, hanya sekitar 18.000 (delapan belas ribu) orang yang tersebar di berbagai daerah. Ada daerah-daerah yang sulit terjangkau, maka perlu dipertimbangkan adanya peran paralegal yang mempunyai pengetahuan, keahlian hukum dan pengalaman di bidang hukum untuk membantu advokat atau pengacara bantuan hukum berbasis masyarakat dan perguruan tinggi. Berbagai hal tersebut di atas menggambarkan pentingnya peran paralegal dan pentingnya Negara memberikan pengakuan eksistensinya.
Mekanisme pemberian bantuan hukum perlu dilakukan dengan cara yang mudah diakses (tidak berbelit), proaktif dan bisa diakses sampai ke daerah terpencil dan dilakukan secara cuma-cuma. Karakter korban kekerasan sebagai penerima bantuan hukum juga harus dibedakan misalnya anak dan perempuan untuk menjadi kelompok tersendiri, mengingat penanganan terhadap perempuan dan anak memiliki kekhasan yang tidak bisa disamakan satu sama lain. Kriteria penerima bantuan hukum pun harus dipertegas misalnya mereka adalah laki-laki atau perempuan yang membutuhkan karena kerentanannya, miskin, terpencil, anak, perempuan yang rentan akibat diskriminasi gender dan perempuan korban kekerasan, baik terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang (human trafficking), kasus konflik atas nama moral dan agama, konflik sumberdaya alam, kekerasan di ranah komunitas lainya dan kekerasan di ranah Negara. Bangunan mekanisme pemberian bantuan hukum ini juga harus mempertimbangkan teknis penyelenggaraannya. Perlu ada sistem yang mengatur terkait peran koordinasi proses pendistribusian bantuan, tugas dan wewenang sampai sistem pelaporan. Mekanisme ini juga harus mengatur lembaga bantuan hukum masyarakat dan lembaga pendamping yang dapat dikategorikan sebagai tim kerjasama bantuan hukum bagi masyarakat, di antaranya penting bekerjasama dengan lembaga bantuan hukum yang sudah bekerja melakukan pendampingan hukum bagi korban.
Penegasan pentingnya dukungan dan bantuan hukum bagi perempuan korban kekerasan, pentingnya eksistensi peran paralegal dan terwujudnya mekanisme pemberian bantuan hukum yang mudah diakses sampai daerah terpencil (tidak berbelit) dan proaktif, perlu ditegaskan dalam RUU Bantuan Hukum.
3. Landasan Yuridis
Dasar pertimbangan pentingnya penyusunan RUU Bantuan Hukum dalam peraturan perundang-undangan yang telah tersedia adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1):
Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 1 ayat (3):
Indonesia adalah Negara hukum. Pasal 28G ayat (1):
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekausaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancamana ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28I ayat (2):
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh desempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 28D ayat (1):
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28I ayat (1):
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Pasal 28I ayat (2):
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Pasal 28I ayat (4):
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Pasal 28H ayat (2):
Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
b. Peraturan Perundang-undangan
Beberapa peraturan perundang-undangan yang diajukan sebagai landasan perumusan RUU Bantuan Hukum antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women), dalam lampiran: Pasal 2 huruf a,b, dan f:
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap wanita, dan untuk tujuan ini melaksanakan:
a) Mencantumkan asas persamaan antara pria dan wanita dalam undang-undang dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya, jika belum termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat;
b) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan langkah tindak lainnya, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, mela-rang segala bentuk diskriminasi terhadap wanita;
f) Melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminasi terhadap wanita; Pasal 15:
(1) Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum.
(2) Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan, dalam hal-hal sipil, kecakapan hukum yang sama dengan laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapannya tersebut. Secara khusus, mereka harus memberikan perempuan hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrak dan untuk mengelola hak milik dan wajib memberi perlakuan yang sama dalam segala tingkatan prosedur di muka hakim dan peradilan.
2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 17:
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengajuan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Pasal 18 ayat (4):
Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 34:
1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.
4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Korban berhak mendapatkan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan;
5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), dalam lampiran:
Pasal 14 angka 1:
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
Pasal 26:
Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 35:
Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan.
7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (14):
Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.
8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 ayat (1):
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. Mendapat nasihat hukum;
C. Asas-Asas Pembentukan dan Penyusunan Perundang-Undangan di Indonesia
Asas-asas yang diajukan menjadi acuan dalam penyusunan RUU Bantuan Hukum, sebagai wujud tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap warganya -khususnya perempuan- serta sebagai bukti adanya pengimplementasian HAM, adalah sebagai berikut:
a) Penghormatan Hak Asasi Manusia: penghormatan terhadap seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
b) Persamaan dan Non Diskriminasi: Setiap pribadi adalah sama sebagai manusia atas dasar martabat yang melekat padanya. Setiap manusia berhak atas pemenuhan Hak Asasi Manusia tanpa diskriminasi jenis apapun, seperti ras, etnis, jenis kelamin, suku, umur, bahasa, agama, politik atau opini lain, asal usul kebangsaan atau sosial, ketidakmampuan, harta kekayaan, kelahiran atau status lain seperti dijelaskan dalam instrumen Hak Asasi Manusia. (Pasal 1 butir 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia);
c) Keadilan Gender: merupakan suatu kondisi yang adil bagi perempuan dan laki-laki melalui sutau proses kultural dam struktural yang menghentikan hambatan-hambatan aktualisasi bagi pihak-pihak yang oleh karena jenis kelaminnya mengalami hambatan, baik secara kultural maupun secara struktural (Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional);
d) Kesetaraan Gender: kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut (Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional).
D. Usulan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum Usulan substantif terhadap RUU Bantuan Hukum sebagai berikut:
(1) Menimbang huruf a:
Draft RUU Bantuan Hukum bagian Menimbang huruf a adalah sebagai berikut: bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia;
Usulan penambahan redaksi sebagai berikut: bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, kesetaraan, keadilan gender, penegakan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.
(2) Landasan yuridis
Landasan yuridis yang dirujuk pada bagian ”menimbang” draft RUU Bantuan Hukum telah mengacu kepada pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun dalam landasan yuridis ini belum memasukkan Undang-Undang terkait pemenuhan hak bantuan hukum untuk korban seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (UU No. 7 Tahun 1984), dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) (UU No. 12 Tahun 2005). Hal ini ditujukan agar RUU Bantuan Hukum mengandung dasar perlindungan korban khususnya perempuan korban kekerasan berbasis gender.
(3) Asas-asas dalam RUU Bantuan Hukum.
RUU Bantuan hukum belum mengandung asas-asas non-diskriminasi dan kesetaraan gender sebagai asas dalam pemberian bantuan hukum. Tidak adanya asas tersebut akan menyebabkan RUU Bantuan Hukum ini tidak secara eksplisit menegaskan upaya memberikan perlindungan terhadap kelompok kepentingan pencari keadilan khususnya perempuan korban kekerasan berbasis gender.
(4) Bantuan hukum bagi saksi maupun korban.
RUU Bantuan Hukum belum mengatur bantuan hukum untuk korban atau saksi. Artinya, RUU Batuan Hukum tidak ada perbedaan dengan KUHAP yang lebih mengarah pada perlindungan hak tersangka dan terdakwa. Padahal ketentuan ini cenderung mendiskriminasikan perempuan yang lebih banyak menjadi korban atau saksi saat berhadapan dengan hukum.
(5) Bantuan hukum bagi perempuan, anak, kelompok rentan terdiskriminasi, penganut agama leluhur dan penghayat kepercayaan korban kekerasan sebagai penerima bantuan hukum. Umumnya perempuan yang berstatus sebagai korban atau saksi saat berhadapan dengan hukum sangat rentan reviktimisasi. Oleh karena itu sudah selayaknya RUU Bantuan Hukum ini memberikan perhatian pada perempuan korban atau saksi untuk mendapatkan bantuan hukum. Selain itu, warga negara yang perlu mendapatkan bantuan hukum selain orang miskin adalah anak, kelompok minoritas terdiskriminasi, penganut agama leluhur dan penghayat kepercayaan, kekerasan dan pelanggaran HAM di daerah konflik Sumber Daya Alam, korban konflik bersenjata maupun pelanggaran HAM masa lalu.
RUU Bantuan Hukum tidak mengatur dengan jelas tentang mekanisme pemberian bantuan hukum kepada korban atau saksi. RUU Bantuan Hukum hanya menyebutkan bahwa bantuan hukum akan diberikan oleh Komnas Bantuan Hukum, yang dalam proses penanganan kasus atau pendampingan hukumnya Komnas Bantuan Hukum bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum atau organisasi advokat.
Mekanisme yang demikian menyebabkan akses bantuan hukum terhadap penerima bantuan hukum menjadi tidak cepat, tidak langsung diproses atau tidak proaktif karena harus menunggu penunjukan terlebih dahulu. Apabila hal ini terjadi maka akan berdampak terjadinya reviktimisasi kepada perempuan korban atau saksi. Karena ketika korban dan saksi melaporkan kasusnya kepada Komnas Bantuan Hukum korban atau saksi akan menuliskan atau mendapat pertanyaan dari petugas Komnas Bantuan Hukum, yang selanjutnya akan ditanya kembali oleh pengacara yang ditunjuk oleh Komnas Bantuan Hukum dimana korban dan saksi harus mengulang kembali keterangan yang sama tentang kejadian yang dialaminya dan ini sangat melelahkan dan menyakitkan bagi mereka yang mengalami traumatis.
(7) Komnas Bantuan Hukum.
Semestinya peran pokok dari Komnas Bantuan Hukum hanya sebagai fasilitator yang memiliki kewenangan memberikan dukungan pendanaan terhadap layanan bantuan hukum yang telah berjalan di masyarakat, bukan menjalankan fungsi-fungsi bantuan hukum yang selama ini telah dijalankan oleh masyarakat melalui Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi Bantuan Hukum lainnya. Jika Komnas Bantuan Hukum menjalankan peran yang lebih luas, maka hal ini justru akan meminggirkan gerakan bantuan hukum yang telah eksis di masyarakat yang dijalankan oleh Lembaga Bantuan Hukum maupun organisasi bantuan hukum lainnya.
E. Rekomendasi
Berdasarkan beberapa usulan terhadap RUU Bantuan Hukum, maka rekomendasi yang diajukan sebagai berikut:
1. Pada bagian menimbang huruf a: Perlu ditambahkan redaksi sebagai berikut: non diskriminasi, kesetaraan gender, keadilan gender, penegakan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia.
2. Perlu mencantumkan Undang-Undang yang mengandung paradigma perlindungan korban seperti UU PKDRT, UU PTPPO, UU Perlindungan Anak, UU PSK, UU No. 7 Tahun 1984, dan UU No. 12 Tahun 2005.
3. Perlu memuat asas non diskriminasi, keadilan gender, kesetaraan gender yang dimuat dalam Konvensi CEDAW yang bertujuan untuk melindungi perempuan korban kekerasan berbasis gender
4. Perlu mengatur dengan tegas bahwa penerima bantuan hukum termasuk juga saksi dan korban.
5. Perlu mengakomodir kebutuhan dukungan bantuan hukum bagi perempuan yang rentan akibat diskriminasi gender yang dialami, anak, kelompok minoritas rentan terdiskriminasi, penganut agama leluhur dan penghayat kepercayaan yang menjadi korban kekerasan. 6. Perlu kejelasan mekanisme koordinasi dan pengaturan pemberi bantuan hukum kepada
7. Kedudukan Komnas Bantuan Hukum perlu ditempatkan sebagai fasilitator yang memiliki kewenangan memberikan dukungan pendanaan terhadap layanan bantuan hukum yang selama ini telah berjalan di masyarakat, bukan penentu pemberian bantuan hukum.
Daftar Pustaka
Arimbi Heroepoetri (penyunting), Pengetahuan Hukum Sebagai Penberdayaan Hukum Perempuan: Hasil Pemantauan Akses Perempuan pada Keadilan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2011 Komnas Perempuan, Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi
Kekuasaan yang Timpang, Catatan KtP Tahun 2009, Catatan Tahunan Komnas Perempuan dilaunching 7 Maret 2010, Jakarta: Komnas Perempuan, 2010
Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum No. Draft RUU Bantuan Hukum
Baleg DPR RI
Usulan Terhadap RUU Bantuan Hukum Komnas Perempuan
Dasar Pemikiran 1. Mengingat
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945.
Usulan tambahan
• Pasal 1 ayat (3), Pasal 28G
ayat (1), 28I ayat (1), (2),
• UU Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
• UU Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang,
• UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak,
• UU Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan
• UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, • UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Mengenai Hak-Hak Sipil Dan Politik.
• Kasus kekerasan terhadap
perempuan (KtP) yang terjadi baik di ranah negara, privat dan komunitas, banyak dialami oleh
perempuan korban. Baik
sebagai korban KDRT,
perdagangan perempuan, anak, pelanggaran hak sipil dan politik. Oleh karenanya UU
terkait perlindungan
perempuan dan anak sebaiknya
masuk di dalam bagian
mengingat.
• Selain itu, Indonesia telah
meratifikasi beberapa Konvensi
internasional yang sudah
diratifikasi menjadi Undang-Undang Nasional. Oleh karena
itu Undang-Undang terkait
yang dimaksud sebaiknya
terintegrasi di dalam Undang-Undang Bantuan Hukum.
2. Pasal 1 angka 6
Paralegal adalah orang yang memiliki latar belakang
pendidikan hukum atau memiliki pengalaman pekerjaan di bidang hukum yang membantu pemberian bantuan hukum sesuai dengan Undang-Undang ini.
Usulan tambahan
Pasal 1 angka 6
Paralegal adalah orang yang memiliki latar belakang
pemahaman dalam bidang hukum atau memiliki pengalaman melakukan pendampingan di bidang hukum yang membantu dalam pemberian bantuan hukum sesuai dengan Undang-Undang ini.
Keberadaan Pendamping telah disebutkan dalam Pasal 10 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Selain Pendamping, Paralegal adalah pihak yang berperan dalam pendampingan korban. Namun selama ini tidak ada landasan hukum yang menguatkan keberadaan Paralegal. RUU Bantuan Hukum adalah RUU yang tepat untuk menegaskan
keberadaan Paralegal.
3. BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas:
a. keadilan;
b. persamaan di hadapan hukum;
c. keterbukaan;
d. efisiensi dan efektivitas; e. pemberdayaan; dan
Usulan tambahan BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2 Bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas:
1. Non diskriminasi
2. Kesetaraan gender
3. Keadilan gender
Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Pasal 1: bahwa diskriminasi terhadap wanita berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau
f. akuntabilitas. menggunakan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Pasal 3: Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender; c. nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban.
4. PENERIMA BANTUAN HUKUM Pasal 4:
(1) Selain kepada orang miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bantuan Hukum diberikan kepada:
d. orang yang dianggap patut dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Komnas Bankum.
Usulan tambahan:
PENERIMA BANTUAN HUKUM Pasal 4:
a. perempuan, anak, dan penyandang cacat.
b. korban Pelanggaran hak-hak dasar.
c. Kelompok rentan terdiskriminasi dan termarginalisasi
d. orang yang dianggap patut dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Komnas Bankum.
(1) Draft RUU Bantuan Hukum dari
Baleg DPR-RI dalam bab ruang lingkup, terlihat yang diatur
adalah penerima bantuan
hukum. Oleh karena itu
semestinya bab mengenai ruang lingkup lebih tepat diubah menjadi bab tentang penerima bantuan hukum.
(2) Draft RUU Bantuan Hukum dari
Baleg DPR-RI Pasal 4 tidak
mengatur kelompok rentan
terdiskriminasi yaitu
perempuan, anak, penyandang cacat, korban pelanggaran hak-hak dasar, kelompok rentan
terdiskriminasi dan
termarginalisasi sebagai
kelompok khusus penerima
bantuan hukum. Hal ini
menunjukkan bahwa RUU
Bantuan Hukum kurang sensitif dan mengakomodir terhadap perlindungan bagi kelompok
rentan tersebut untuk
memperoleh akses yang sama dengan kelompok yang lain
dalam mencapai keadilan.
Padahal berdasarkan hasil
pemantauan Komnas
Perempuan, menunjukkan
perempuan sebagai korban
sangat membutuhkan
pendampingan hukum.
Berdasarkan data ini semestinya RUU Bantuan Hukum juga
mengakomodir perempuan,
anak dan penyandang
disabilitas, korban pelanggaran hak-hak dasar, kelompok rentan
terdiskriminasi dan
termarginalisasi – termasuk di
dalamnya penganut agama
leluhur dan penghayat
kepercayaan- sebagai penerima bantuan hukum yang berdiri sendiri seperti halnya kelompok lain yang diatur dalam Draft RUU Bantuan Hukum dari DPR-RI.
Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi Konvensi CEDAW melalui UU Nomor 7 Tahun 1984
yang bertujuan untuk
menghapus segala bentuk
diskriminasi terhadap
perempuan. Oleh karena itu,
perempuan harus diberikan
perlakuan khusus (affirmative
action) untuk memperoleh
manfaat, dan hasil akhir yang setara dalam kesempatan, akses dan manfaat serta hasil yang sama dengan kelompok lain untuk memperoleh hak atas bantuan hukum (equality of opportunity, equality of access, equality of result). Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (2) yang menyebutkan bahwa;
”setiap orang mendapat
kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
(2) Penerima bantuan hukum juga
adalah korban kasus-kasus KtP di daerah konflik sumber daya alam dan konflik bersenjata.
5. Pasal 6
Penerima Bantuan Hukum berhak:
a. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang bersangkutan
Pasal 6
Penerima Bantuan Hukum berhak:
a. Didampingi oleh advokat, paralegal yang dibutuhkan. b. mendapatkan Bantuan Hukum
hingga perkaranya selesai dan/atau mempunyai kekuatan hukum tetap;
RUU Bantuan Hukum perlu
melindungi hak korban untuk memperoleh bantuan hukum terutama perempuan dan anak korban KDRT, korban tindak pidana perdagangan orang, dan korban tindak pidana kekerasan seksual untuk didampingi oleh advokat atau paralegal dalam setiap proses pemeriksaan di
peradilan. Hal ini telah
ditegaskan dalam Pasal 10 huruf d UU PKDRT, Pasal 1 ayat 14
tidak mencabut surat kuasa;
b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; dan
c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum.
c. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar
Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; d. mencabut surat kuasa; e. mendapatkan laporan dan
dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum. f. berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. g. Mendapatkan informasi
tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. h. mendapatkan informasi
mengenai putusan pengadilan. i. Mendapatkan pendampingan
bagi perempuan dan anak korban Kekerasan.
j. Mendapatkan bantuan hukum atas hak pemulihan, restitusi, rehabilitasi dan Kompensasi;
UU Perlindungan Anak, dan Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Oleh karena itu hak korban untuk didampingi oleh advokat dan paralegal juga perlu diatur dalam RUU Bantuan Hukum. Selain itu, hak korban atas pemulihan, restitusi, rehabilitasi dan kompensasi juga perlu diatur dalam RUU Bantuan
Hukum. Mengingat betapa
sulitnya korban selama ini memperjuangkan hak tersebut dalam proses peradilan.
Addendum
Tinjauan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
4Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum telah disahkan pada tanggal 4 Oktober 2011 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) dan dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2011. Undang-Undang Bantuan Hukum terdiri dari 11 bab, 25 pasal dan 29 ayat. UU Bantuan Hukum ini hadir sebagai wujud jaminan negara atas hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia. Negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan. Pemberian bantuan hukum bagi orang miskin merupakan penyikapan negara atas sulitnya akses keadilan hukum bagi mereka. Walaupun masih perlu dicermati lagi apakah yang dimaksud sebagai orang miskin dalam UU ini juga mencakup perempuan, anak, penyandang disabilitas, atau kelompok rentan terdiskriminasi. Uraian kategori itu perlu dilihat lebih lanjut dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Bantuan Hukum.
Sebagaimana halnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, UU Bantuan Hukum tidak mencantumkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam pertimbangan yuridisnya. Hal ini merupakan cermin sejauh mana Negara mengimplementasikan komitmennya untuk mensinergikan instrumen HAM internasional ke dalam produk perundang-undangan nasional.
UU Bantuan Hukum memuat rumusan pasal mengenai “paralegal”. Ketentuan ini mengakomodir usulan dari Komnas Perempuan maupun mitra tentang pentingnya peran paralegal di dalam proses penanganan kasus-kasus bagi korban kekerasan khususnya perempuan. Walaupun pengertian paralegal tidak secara eksplisit tercantum pada Pasal 1 seperti yang diusulkan Komnas Perempuan dan mitra, namun pengakuan tentang paralegal telah masuk dalam Pasal 9 dan Pasal 10. Pasal ini mengatur “pemberi bantuan hukum berhak melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum“ Pasal 10 huruf c juga menyebutkan: “menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a.”
Pengaturan paralegal di dalam UU Bantuan Hukum, diharapkan akan mempermudah proses pendampingan para korban kekerasan yang berada di daerah pelosok terpencil, karena terbatasnya jangkauan lembaga bantuan hukum yang terdekat dengan daerahnya. Hal lain yang tidak terpisahkan, yang diatur dalam Pasal 10 huruf c adalah pendidikan dan pelatihan bantuan hukum dengan perspektif HAM dan Gender. Materi ini penting untuk meningkatkan sensitivitas para pihak yang terkait dalam penanganan kasus dan pendampingan korban –termasuk paralegal– terhadap para korban kekerasan khususnya perempuan, yang tidak sedikit mengalami kekerasan berlapis baik di ranah privat, komunitas maupun negara. Sebenarnya usulan Komnas Perempuan mengenai asas-asas perlindungan terhadap hak-hak korban merupakan hal yang sangat signifikan dalam upaya proses bantuan hukum bagi perempuan korban kekerasan, namun sayangnya usulan ini tidak diakomodir oleh DPR RI.
Pemberi Bantuan Hukum dalam Pasal 8 UU Bantuan Hukum disyaratkan sebagai lembaga yang berbadan hukum, terakreditasi, memiliki sekretariat, memiliki pengurus dan memiliki program
bantuan hukum. Oleh karena itu, Negara sebagai fasilitator dalam pelaksanaan UU ini, harus memberikan peningkatan kapasitas bagi pemberi bantuan hukum, melakukan pemantauan dengan melibatkan instansi lain, misalnya Kanwil Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini untuk mendorong Organisasi Bantuan Hukum agar dapat memberikan pelayanan secara maksimal dan berkualitas dan memastikan agar penggunaan dana bantuan hukum digunakan sebagaimana mestinya.
Berikut perbandingan draft usulan masukan Komnas Perempuan dengan UU Bantuan Hukum yang telah disahkan:
No. Draft RUU Bantuan Hukum DPR RI
Usulan Komnas Perempuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum 1. Mengingat
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945.
Usulan tambahan
• Pasal 1 ayat (3), Pasal 28G ayat (1), 28I ayat (1), (2),
• UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, • UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, • UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, • UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dan • UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, • UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil Dan Politik.
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Pasal 1 angka 6
Paralegal adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan hukum atau memiliki pengalaman pekerjaan di bidang hukum yang membantu pemberian bantuan hukum sesuai dengan Undang-Undang ini.
Usulan tambahan Pasal 1 angka 6
Paralegal adalah orang yang memiliki latar belakang pemahaman dalam bidang hukum atau memiliki pengalaman melakukan pendampingan di bidang hukum yang
Pasal 9 Pemberi Bantuan Hukum berhak:
a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum; Pasal 10
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa
membantu dalam
pemberian bantuan hukum sesuai dengan Undang-Undang ini.
fakultas hukum yang direkrut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a;
3. BAB II
ASAS DAN TUJUAN Pasal 2
Bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas:
a. keadilan;
b. persamaan di hadapan hukum;
c. keterbukaan;
d. efisiensi dan efektivitas; e. pemberdayaan; dan f. akuntabilitas.
Usulan tambahan BAB II
ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan asas: - Non diskriminasi - Kesetaraan gender - Keadilan gender Pasal 2
Bantuan Hukum dilaksanakan berdasarkan asas:
a. keadilan;
b. persamaan kedudukan di dalam hukum; c. keterbukaan; d. efisiensi; e. efektivitas; dan f. akuntabilitas. 4. PENERIMA BANTUAN HUKUM Pasal 4:
(2) Selain kepada orang miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bantuan Hukum
diberikan kepada: e. orang yang dianggap
patut dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Komnas Bantuan Hukum. Usulan tambahan: PENERIMA BANTUAN HUKUM Pasal 4:
e. perempuan, anak, dan penyandang cacat. f. korban Pelanggaran hak-hak dasar. g. Kelompok rentan terdiskriminasi dan termarginalisasi h. orang yang dianggap
patut dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Komnas Bantuan Hukum.
Pasal 5
(1) Penerima Bantuan Hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.
4. Pasal 6
Penerima Bantuan Hukum berhak:
d. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang bersangkutan tidak
Pasal 6
Penerima Bantuan Hukum berhak:
k. Didampingi oleh
advokat, paralegal yang dibutuhkan.
l. mendapatkan Bantuan Hukum hingga
perkaranya selesai dan/atau mempunyai kekuatan hukum tetap; m.mendapatkan Bantuan
Pasal 12
Penerima Bantuan Hukum berhak: a. mendapatkan Bantuan Hukum
hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;
b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik
mencabut surat kuasa; e. mendapatkan Bantuan
Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; dan
f. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum.
Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; dan;
n. mencabut surat kuasa; o. mendapatkan laporan
dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum. p. berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. q. Mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. r. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. s. Mendapatkan pendampingan bagi perempuan dan anak korban Kekerasan. t. Mendapatkan bantuan
hukum atas hak pemulihan, restitusi, rehabilitasi dan Kompensasi;
Advokat; dan
c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.