• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pangan Halal

Pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-Undang No.7/1996).

Makanan didefinisikan sebagai semua jenis makanan dan minuman yang beredar/dijual kepada masyarakat, termasuk bahan tambahan makanan dan bahan penolong sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI (Keputusan Bersama Menkes dan Menag No. 427/men.kes/ksb/VIII/1985 dan No 68 tahun 1985 pasal 1). Dalam peraturan Menkes No. 280/Men.Kes/Per/XI/76 pasal 1, makanan adalah tiap bahan yang diedarkan sebagai makanan manusia, termasuk bahan-bahan yang digunakan sebagai tambahan dalam makanan.

Pangan halal menyatakan bahwa makanan adalah barang yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum oleh manusia serta bahan yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman (LP POM MUI, 2008).

Dalam khasanah ilmu (tsaqafah) Islam, hukum asal segala sesuatu (benda) yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satu pun yang haram, kecuali ada keterangan yang sah dan tegas tentang keharaman bahan tersebut. Hal ini berbeda dengan kaidah perbuatan yang menuntut setiap apapun yang dilakukan manusia dalam hal ini seorang muslim harus terikat dengan hukum syara' (wajib, sunah, mubah/boleh, makruh, haram). sebagaimana kaidah fiqh yang menyatakan "Hukum asal bagi setiap benda/barang adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya" untuk benda dan "Hukum asal bagi perbuatan manusia/muslim adalah terikat dengan hukum syara'/Islam" untuk perbuatan (An-nabani, 2001).

Halal berarti boleh, sedangkan haram berarti tidak boleh (Qardhawi, 2000). Selain masalah halal dalam perilaku yang menjadi standar minimal perilaku seorang muslim, Allah SWT juga mengatur halal dalam masalah

(2)

makanan maupun minuman. Di dalam Qur'an Surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman bahwa : “Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang (mati) karena dimakan oleh binatang buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala".

Makanan halal adalah makanan yang dibolehkan memakannya menurut Syariat Islam. Minuman halal adalah minuman yang dibolehkan meminumnya menurut Syariat Islam. Begitu sebaliknya untuk makanan dan minuman haram. Syariat Islam adalah tata aturan agama Islam yang berdasarkan Al Quran dan Al Hadist yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan sesamanya. Disamping Al Quran dan Al Hadist, sumber syariat Islam yang lainnya adalah Ijma' Sahabat dan Qiyas. Termasuk makanan dan minuman halal adalah (1) bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh syariat Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut syariat Islam, (2) tidak mengandung sesuatu yang dihukumi sebagai najis menurut syariat Islam, (3) tidak mengandung bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan menurut syariat Islam, (4) dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana di atas atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut syariat Islam (Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 2001).

Menurut Girindra (2002) yang dimaksud produk halal adalah produk yang memenuhi persyaratan halal sesuai dengan syariat Islam yaitu: (1) tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi, (2) tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti: bahan-bahan-bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan sebagainya, (3) semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam, (4) semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi, jika digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tatacara

(3)

yang diatur sesuai syariat Islam, (5) semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

Dalam PP No. 69 tahun 1999 pasal 1, pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik menyangkut bahan baku pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan irradiasi pangan dan pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. Makanan yang halal adalah semua jenis makanan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang/haram dan atau diolah/diproses menurut agama Islam (Keputusan bersama Menkes dan Menag No.427/menkes/VIII/1985 dan No. 68 tahun 1985 pasal 1).

Perkembangan peraturan perundang-undangan terkait pangan halal di Indonesia adalah sebagai berikut :

1) Peraturan Menteri Kesehatan Rl No. 280/Menkes/Per/XI/1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung Bahan berasal dari Babi.

Pasal 2 :

i) Pada wadah atau bungkus makanan yang diproduksi di dalam negeri maupun yang berasal dari impor yang mengandung bahan yang berasal dari babi harus dicantumkan tanda peringatan.

ii) Tanda peringatan tersebut yang dimaksud pada ayat (1) harus berupa gambar babi dan tulisan yang berbunyi : "MENGANDUNG BABI" dan harus ditulis dengan huruf besar berwama merah dengan ukuran sekurang-kurangnya Universe Medium Corps 12, di dalam garis kotak persegi yang juga berwama merah.

2) Permenkes RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang label dan Periklanan Makanan, pasal 2 menyatakan bahwa : Kalimat, kata-kata, tanda lambang, logo, gambar dan sebagainya yang terdapat pada label atau iklan harus sesuai dengan asal, sifat, komposisi, mutu dan kegunaan makanan.

3) Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No. 427/Menkes/SKB/VIIl/1985 dan No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan "Halal" pada Label Makanan.

(4)

Pasal 1 : Tulisan "halal" adalah tulisan yang dicantumkan pada label/penandaan yang memberikan jaminan tentang halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam.

Pasal 2 : Produsen yang mencantumkan tulisan "halal" pada label atau penandaan makanan produknya bertanggungjawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam.

Pasal 4 : Pengawasan preventif terhadap ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama ini dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Departemen Kesehatan RI, cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

(a) Dalam tim penilaian pendaftaran makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, diikutsertakan unsur Departemen Agama RI.

(b) Pengawasan di lapangan terhadap pelaksanaan ketentuan pasal 2 Keputusan Bersama ini dilakukan oleh aparat Departemen Kesehatan RI.

4) UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 214 ayat (2) penjelasan butir (d) : Ketentuan lainnya misalnya pencantuman kata atau tanda halal yang menjamin makanan dan minuman yang dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan.

5) UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. pasal (34) ayat (1) :

Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggungjawab atas kebenaran peryataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.

Penjelasan pasal 34 ayat (1) :

Dalam ketentuan ini benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dari segi bahan baku pangan, bahan tambahan atau bahan bantu lainnya yang digunakan dalam memproduksi tetapi mencakup pula proses pembuatannya.

6) Keputusan Menkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan dan perubahannya berupa Keputusan

(5)

Menteri Kesehatan RI No.924/Menkes/SK/VII/1996, beserta peraturan pelaksanaannya berupa Keputusan Dirjen POM No. HK. 00.06.3.00568 tentang Tata Cara Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, antara lain menjelaskan :

a. Persetujuan pencantuman tulisan "Halal" pada label makanan diberikan oleh Dirjen POM.

b. Produk makanan harus terdaftar pada Departemen Kesehatan RI c. Persetujuan Pencantuman label "Halal" diberikan setelah dilakukan

pemeriksaan dan penilaian oleh Tim yang terdiri dari Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan MUI

d. Hasil Penilaian Tim Penilai disampaikan kepada Komisi Fatwa MUI untuk dikeluarkan fatwanya, dan akhimya diberikan Sertifikat Halal

e. Persetujuan Pencantuman "Halal" diberikan oleh Dirjen POM berdasarkan sertifikat Halal yang berdasarkan MUI

f. Persetujuan berlaku selama 2 tahun sesuai dengan sertifikatnya 7) UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu : Pasal 7 butir (b) :

Pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Pasal 8 ayat 1 butir (h) :

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal. Sebagaimana pernyataan "Halal" yang dicantumkan dalam label.

8) PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan a. Pasal 10

i) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut “Halal” bagi umat manusia, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.

ii) Pernyataan tentang "Halal" sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label.

(6)

b. Pasal 11

i) Untuk mendukung kebenaran pernyataan "Halal" sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

ii) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan Tata Cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama, dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

c. Pasal 59

Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan tentang label dan iklan dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan

d. Pasal 60

i) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, Menteri Kesehatan menunjuk pejabat untuk diserahi tugas pemeriksaan.

ii) Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih dan ditunjuk oleh Menteri Kesehatan berdasarkan keahlian tertentu yang dimiliki.

iii) Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kesehatan.

9) Penjelasan PP No. 69 tahun 1999 pasal 11 ayat 1 menyatakan Pencantuman tulisan halal pada dasamya bersifat sukarela.

Menurut Sampurno (2001), sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pencantuman label dapat dikenakan :

1. Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 360.000.000,-

untuk pelanggaran terhadap UU No, 7 tahun 1996 pasal 34 ayat (1).

2. Tindak pidana penjara sampai 5 (lima) tahun atau denda sampai dua milyar rupiah untuk

(7)

pelanggaran terhadap UU No. 8 tahun 1999 pasal 8 ayat (1) butir h.

3. Tindakan administratif terhadap pelanggaran PP No. 69 tahun 1999 yang meliputi :

• Peringatan secara tertulis

• Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran.

B. Perisa

Perisa termasuk bahan tambahan makanan yaitu bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi. Perisa pada pangan dikreasikan dari bahan kimia aromatik yang disintesis dari proses metabolisme normal pada tumbuhan dan hewan dan dapat memungkinkan untuk dimodifikasi melalui pemasakan serta proses lebih lanjut untuk memperoleh rasa dan aroma yang dikehendaki (Reineccius, 1981) . Menurut RSNI-2-200 definisi perisa adalah bahan tambahan pangan berupa preparat konsentrate, dengan atau tanpa ajudan perisa yang digunakan untuk memberi perisa, dengan pengecualian rasa asin, manis, dan asam, tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan tidak diperlukan sebagai bahan pangan.

Definisi perisa menurut SNI-01-7152-2006 tentang Bahan Tambahan Pangan - Persyaratan perisa dan penggunaan dalam produk pangan adalah bahan tambahan pangan berupa preparat konsentrat, dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan untuk memberi flavour, dengan pengecualian rasa asin, manis dan asam, tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan tidak diperlakukan sebagai bahan pangan. Definisi tersebut diambil dari definisi perisa yang dilansir oleh International Organization of Flavour Industry (IOFI) yaitu Concentrated preparation, with or without flavour adjunct, used to impart flavour, with exception of only salt, sweet or acid tastes. It is not intended to be used as such.

Berdasarkan SNI-01-7152-2006, perisa dibedakan menjadi tujuh jenis yaitu senyawa perisa alami, bahan baku aromatik alami, preparat perisa, perisa asap, senyawa perisa identik alami, senyawa perisa artifisial, dan perisa hasil

(8)

proses panas. Perisa terdiri atas dua komponen utama, yakni bagian perisa dan bukan perisa. Bagian perisa dapat berupa senyawa perisa alami, bahan baku aromatik alami, preparat perisa, perisa asap, senyawa perisa identik alami, senyawa perisa artifisial, dan perisa hasil proses panas. Sedangkan bagian bukan perisa dikenal sebagai ajudan perisa (flavouring adjunct).

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 722/Menkes/Per/IX/ 88 merupakan salah satu perangkat regulasi penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang dimiliki Indonesia. Permenkes tersebut menggolongkan BTP ke dalam 13 kelompok berdasarkan fungsinya, salah satunya adalah penyedap rasa dan aroma (perisa). Peraturan tersebut mengatur jenis dan penggunaan perisa dalam produk pangan sebanyak 75 jenis.

Perkembangan mutakhir dari kajian yang telah dilakukan JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) tercatat hingga tahun 2009 sebanyak 1879 senyawa perisa yang dimasukkan ke dalam positive list yaitu senyawa yang dinilai aman (GRAS = Generally Recognized as Safe) digunakan dalam produk pangan. Dengan demikian, peraturan yang ada tersebut dipandang perlu untuk dikaji kembali seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pangan.

Badan POM bersama pakar terkait telah melakukan pengkajian dan menyusun SNI-01-7152-2006 tentang Bahan tambahan pangan-Persyaratan perisa dan penggunaan dalam produk pangan. Untuk selanjutnya SNI-01-7152-2006 tersebut akan dimandatorikan melalui penyusunan Peraturan Kepala BPOM tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Perisa dalam Pangan. Sampai saat ini, rancangan peraturan tersebut masih dalam tahap pembahasan bersama Tim Pakar.

Sebelum diberlakukannya SNI 01-7152-2006, Indonesia menganut sistem positive list dalam pengaturan penggunaan perisa. Hal tersebut dapat dicermati dari 75 jenis senyawa perisa yang diijinkan tanpa merinci penggunaannya dalam produk pangan dan batas maksimum penggunaan untuk semua senyawa perisa adalah secukupnya. Positive list merupakan pengaturan penggunaan perisa yang telah dinilai aman oleh institusi terpercaya seperti JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives).

(9)

SNI-01-7152-2006 tentang Bahan tambahan pangan-Persyaratan perisa dan penggunaan dalam produk pangan menganut sistem campuran (gabungan antara positive list dan negative list). Positive list yang dimaksud adalah perisa yang diizinkan digunakan dalam produk pangan sedangkan negative list adalah senyawa bioaktif dalam perisa yang dibatasi penggunaannya serta bahan dan atau senyawa yang dilarang terdapat dalam perisa yang digunakan dalam produk pangan. Secara ringkas SNI tersebut memuat aturan tentang perisa yang diijinkan digunakan dalam produk pangan, senyawa bioaktif dalam perisa yang dibatasi penggunaannya, bahan dan atau senyawa yang dilarang terdapat dalam perisa yang digunakan dalam produk pangan, serta ajudan perisa (flavouring adjunct).

Perisa yang diizinkan digunakan dalam produk pangan terdiri dari 1879 senyawa perisa berdasarkan hasil kajian JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) yang dinyatakan aman. Senyawa bioaktif dalam perisa yang dibatasi penggunaannya dalam produk pangan terdiri dari aloin, asam agarat, asam sianida, beta asaron, berberin, estragol, hiperisin, kafein, kuasin, komarin, kuinin, minyak rue, safrol, iso-safrol, alfa santonin, spartein, dan tujon (BSN, 2006).

Hampir semua pangan pada saat sekarang ini tidak dapat terlepas dari unsur perisa. Perisa memberikan sensasi dari dapat memperbaiki rasa dan aroma dari suatu produk makanan dan minuman (Apriyantono, 2004). Perisa adalah sesuatu yang ditambahkan pada produk pangan dengan tujuan untuk memberikan sensasi aroma, rasa, dan kesan tertentu dari suatu produk pangan. Misalnya, dengan menambahkan suatu perisa stroberi yang dapat memberikan kesan manis dikombinasikan dengan asam buah stroberi, kemudian seperti merasakan daging buah stroberi yang ada bijinya ataupun bagian kulit buah stroberi yang agak sepat dan sedikit pahit. Ataupun penggunaan perisa pepermin yang selain memberikan sensasi hangat juga dapat memberikan sensasi dingin yang lama di mulut.

Menurut Apriyantono, 2004, perisa terbagi menjadi dua bagian yaitu : 1) Bagian Perisa :

a) Bahan Baku Kimia Perisa

b) Persiapan Perisa, misalnya jus buah dan konsentrat buah; oleoresin; herbal, bumbu-bumbuan, dan minyak atsiri; dan produk bioteknologi.

(10)

c) Proses Perisa d) Perisa Asap 2) Bagian Bukan Perisa :

a) Pelarut untuk ektraksi b) Bahan pengisi dan pelarut

c) Pengemulsi, penstabil, dan enzim d) Modifikasi perisa

e) Antioksidan, pengawet, dan pewarna f) Food ingredient

Berdasarkan pada asal bahan baku aromatik yang digunakan terdapat tiga jenis senyawa perisa yaitu :

1. Senyawa Perisa Alami

Senyawa perisa alami adalah senyawaan yang diperoleh melalui proses-proses fisik, mikrobiologis, atau enzimatis dari bahan pangan yang berasal dari sayuran atau hewani dan sesuai bagi konsumsi manusia serta digunakan untuk mendapatkan citarasa khas dan tidak untuk dikonsumsi langsung (Salzer & Jones, 2008). Untuk memperoleh senyawa perisa alami ini dapat melalui proses fisik (misalnya pengepresan, penulis), ataupun melalui proses bioteknologi (misalnya fermentasi, penulis) (Apriyantono, 2004). Pelarut yang biasa digunakan adalah propylene glycol (PG), triacetine, medium chain triglycerides (minyak MCT), minyak sawit, etanol, ataupun iso-propyl alcohol.

2. Senyawa Perisa Identik Alami

Senyawa perisa identik alami adalah senyawa perisa yang diperoleh melalui proses sintesis atau diisolasi melalui proses kimiawi dari bahan baku aromatik alami dan secara kimia identik dengan senyawaan yang terdapat di dalam produk alami untuk konsumsi manusia (Salzer & Jones, 2008).

3. Senyawa Perisa Buatan

Senyawa perisa buatan adalah senyawa perisa yang belum teridentifikasi di dalam produk alami dan diperuntukkan bagi konsumsi manusia, baik dalam bentuk terolah maupun tidak (Salzer & Jones, 2008).

(11)

Bila dilihat dari aplikasi penggunaannya hampir tidak ada pangan yang tanpa menggunakan perisa ini. Mulai dari produk susu, produk margarine dan butter, produk minuman, seperti minuman yang tidak berkarbonasi, sirup, minuman berkarbonasi, sampai minuman yang beralkohol sekalipun memakai perisa ini. Menurut Apriyantono (2004), berdasarkan bentuknya, perisa terbagi menjadi :

1) Perisa Cair, yaitu campuran perisa cair dan perisa emulsi

2) Perisa Semi Padat, yaitu minyak kental (viscous oil) dan perisa pasta.

3) Perisa Bubuk, yaitu produk perisa hasil proses itu sendiri, platting atau dispersi perisa, dan enkapsulasi perisa.

Produsen perisa di Indonesia masih didominasi oleh 10 besar dunia (Leffingwell, 2011) yaitu : Givaudan, Firmenich, IFF, Symrise, Takasago, Sensient Flavors, Mane SA, T. Hasegawa, Robertet SA, dan Frutarom.

Berdasarkan fakta dilapangan, pada saat ini banyak produsen perisa multi nasional (Multy National Company/MNC) yang hanya mempunyai representasi penjualan di Indonesia ataupun menunjuk agen penjualan di Indonesia tetapi produknya masih didatangkan dari luar negeri. Ada juga beberapa produsen perisa lokal yang sifatnya hanya mencampur beberapa perisa yang sudah jadi ataupun hanya melarutkan perisa konsentrat yang mereka beli dari MNC perisa yang terkenal.

C. Sistem Jaminan Halal

Secara umum Sistem Jaminan Halal didefinisikan sebagai sebuah sistem manajemen jaminan proses produksi halal produk-produk bersetifikat halal. Sedangkan secara spesifik bagi perusahaan, Sistem Jaminan Halal adalah sebuah sistem yang disusun dan dilaksanakan prusahaan pemegang sertifikat halal dengan tujuan untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sehingga produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya (LP POM MUI, 2008).

Pengembangan sistem jaminan halal didasarkan pada konsep Total Quality Management (TQM) yang terdiri atas empat unsur utama yaitu komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan tanpa penambahan biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu tanpa rework, tanpa reject, dan tanpa inspection. Karena itu

(12)

dalam prakteknya, penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan untuk menghasilkan suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit, zero defect dan zero risk (three zero concept). Artinya material haram tidak boleh ada pada level apapun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada resiko merugikan yang diambil bila mengimplementasikan sistem ini (zero risk). Total Quality Management (TQM) didefisikan sebagai sebuah sistem dimana setiap orang didalam setiap posisi dalam organisasi harus mempraktekkan dan berpartisipasi dalam manajemen halal dan aktivitas peningkatan produktivitas. Manajemen halal bermula dan berakhir dengan pendidikan yang kontinyu (Apriyantono, 2004).

Menurut Direktur Eksekutif LP POM MUI, Lukmanul Hakim, di Jakarta pada tanggal 25 Nopember 2010 (Hardianto, D. 2010), kesadaran produsen sudah meningkat. Animo perusahaan juga sudah mulai kelihatan. Buktinya, jumlah sertifikat halal dalam periode sampai Juli 2010, sudah 13.000 produk. Jumlah tersebut meningkat signifikan. Pada 2009, dalam setahun hanya 10.000 produk yang disertifikasi halal.

Namun kendala yang dihadapi oleh perusahaan produsen makanan dan juga perusahaan perisa di Indonesia adalah masalah prasyarat dalam pengajuan sertifikasi halal. Bagi perusahaan perisa multi nasional yang sudah mempunyai pabrik di Indonesia akan mudah mensertifikasi halal produk mereka dengan dukungan bahan baku yang lengkap serta dokumentasi pendukung serta fasilitas yang memadai. Tetapi tidaklah demikian halnya dengan perusahaan perisa domestik atau lokal. Kebanyakan masih terkendala dengan dokumentasi bahan baku dan permasalahan sistem manajemen halalnya, karena menurut ketentuan LP POM MUI, sebagai prasyarat pengajuan produk perisa terlebih dahulu perusahaan harus mempunyai Sistem Jaminan Halal (LP POM MUI, 2008).

Dalam penelitian ini akan dirancang sistem jaminan halal di PT GIA sebagai salah satu perusahaan perisa lokal sehingga dapat mengurangi pandangan beberapa perusahaan perisa lokal lainnya terhadap persepsi sulitnya mensertifikasi produk perisa mereka dan membuat serta mengimplementasikan sistem jaminan halal.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dilakukan koreksi tinggi alat adalah agar pembacaan gravitasi di setiap titik pengukuran mempunyai posisi ketinggian yang sama dengan titik pengukuran

1. Analisis Daya Saing CPO Indonesia Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Daya saing kelapa sawit Indonesia terlihat dari hasil

Sri Setyani, M.Hum Tulus Yuniasih, S.IP., M.Soc.Sc Dra.. Sri Setyani,

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Deskriptif Kualitatif dengan metode studi kasus yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam dan lengkap

pemangku kepentingan kehutanan di Indonesia, terutama para anggota Kelompok Kerja, terkait dengan inisiatif dalam rangka mendorong perbaikan tata kelola kehutanan yang baik melalui

Peningkatan ini juga membuktikan bahwa ingatan siswa tentang konsep-konsep ataupun pengetahuannya yang sudah pernah didapat tetap ada dalam ingatannya (tidak mudah

Di tengah kesibukan Bapak/ Ibu/ Saudara/i, perkenankanlah saya meminta kesediaan Bapak/ Ibu/ Saudara/i untuk meluangkan waktu sejenak guna mengisi kuesioner

Penggunaan kondisi udara vakum (dibawah tekanan 1 atm) bertujuan untuk menurunkan titik didih dari uap air, sehingga proses pengeringan dapat dilakukan pada suhu