• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Adversity Quotient dan Cinderella Complex Pada Wanita Karier yang Menikah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan Antara Adversity Quotient dan Cinderella Complex Pada Wanita Karier yang Menikah"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

i

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Eka Dian Perwithasari

039114088

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Pemenang yang paling mulia (Dhammapada 103)

Don’t worry about what people say about you.

No matter what you do, people will and always have things to say about it.

Just keep doing good things.

(Lanny Anggawati)

Life is not a problem to be solved,

But a reality to experience

(Penulis)

Skripsi ini dipersembahkan untuk :

Tuhan Yang Maha Kuasa

My Mom & Dad

Endri Yonatan

(5)
(6)

Eka Dian Perwithasari

Kata Kunci : Adversity Quotient, Cinderella Complex, wanita karier yang menikah

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara Adversity Quotient dan Cinderella Complex pada wanita karier yang menikah. Subjek penelitian adalah 68 orang karyawan PT. Mondrian, Klaten. Kriteria subjek penelitian adalah wanita karier yang bekerja sebagai karyawati di PT. Mondrian, berusia 23-40 tahun, dan berstatus menikah. Alat ukur dalam penelitian ini adalah SkalaAdversity Quotientdan Skala Cinderella Complex. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan SPSS for Windows versi 14.00. Skala Adversity Quotient memiliki nilai reliabilitas (α) sebesar 0,870 dan Skala Cinderella Complex memiliki nilai reliabititas (α) sebesar 0,889. Hal ini menunjukkan bahwa reliabilitas kedua alat ukur ini tinggi. Pengujian hipotesis untuk melihat hubungan kedua variabel adalah Product-Moment Pearson. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara Adversity Quotient dan Cinderella Complex. Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi rxx= -0,640 dengan koefisien signifikansi p = 0,00, p < 0,05. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antaraAdversity Quotientdan Cinderella Complex.

ABSTRAK

(7)

Eka Dian Perwithasari

he aim of this research is to look out at the correlation between Adversity Quotient and Cinderella Complex in married business women. The research subject is 68 workers in PT. Mondrian, Klaten. The subject criterion is business women who work at PT. Mondrian, whose age between 23-40 years old, and who have already married. The measure tools in this research are Adversity Quotient scale and Cinderella Complex scale. The data analysis used in this research is SPSS for Windows version 14.00. The reliability value for the Adversity Quotient scale (α) is 0,870 and the reliability value for the Cinderella Complex scale (α) is 0,889. This shows that the reliabilities of these two measurement tools are high. The hypothesis testing to see the correlation between these two variables is Product-Moment Pearson. The result shows that there is a significant negative correlation between Adversity Quotient and Cinderella Complex. This result is shown by correlation rxx = -0,640 with p significant coefficient = 0,00, p < 0,05. Based on the

explanation above, we can conclude that there is a significant negative correlation between Adversity Quotient and Cinderella Complex.

Ke

vii

ABSTRACT

T

(8)
(9)

Sylvia CMYM, S.Psi, M.Si, selaku dosen Pembimbing Skripsi. Ter

, you are the best lecture for meall your experience ‘teach’ me how to

ix

Titik Kristiyani, S.Psi, M.Psi selaku Kaprodi Universitas Sanata Dhar

mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu

Agnes Indar Etikawati, S.Psi, Psi., M.Si selaku dosen Pembimbing Akade

rsitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Ibu

pembentukan karakter serta penyertaan sehingga skripsi ini selesai dengan baik.

berikan saran dan masukan sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

be brave in facing life. 4. Dr

umpai. Pada kesempatan yang istimewa ini, dengan kerendahan hati penulis hendak

. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku dosen penguji. Terimakasih untuk sara

Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Unive

n dan masukan yang membuat proses kelulusan ini lebih bermakna. 5. Ibu

ma Yogyakarta. 3. Ibu

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan yang senantiasa

Terimakasih juga untuk semua sharing selama proses pengerjaan skripsi

imakasih banyak atas kesabaran Ibu dalam membimbing dan mem

selesaikan dengan bantuan moral maupun material dari setiap pribadi yang penulis j

(10)

penelitian, bantuan, dan berbagai kemudahan yang diberikan kepada saya selama proses penelitian.

bosannya tiap semester Ibu memberikan ‘peringatan’ kepada kami setiap

Mas Doni, terimakasih atas bantuan dan pelayanan selama proses studi Terimakasih banyak Pak, Bu, untuk dedikasi dan semangat yang luar biasa

9. Bapak Hendro, Bapak Joko, dan Mbak Etty selaku staff HRD PT. anak bimbingan akademik Ibu yang belum lulus untuk segera

6. Seluruh Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

x

7. Seluruh karyawan di Fakultas Psikologi USD. Mas Gandung dan Mbak

ilmu di Fakultas Psikologi. Pak Gie (yang selalu tersenyum), terimakasih Nanik, terimakasih atas bantuan dan pelayanan dalam segala hal yang menyelesaikan skripsi. Terimakasih untuk saran dan masukan untuk skripsi saya yang membuat proses kelulusan menjadi lebih bermakna.

8. PT. Mondrian Garment Manufacture, Klaten. Terimakasih atas ijin saya di Fakultas Psikologi.

untuk setiap senyum dan sukacita yang Pak Gie berikan. Mas Muji dan berkaitan dengan administrasi kuliah serta skripsi selama saya menimba

Mondrian, terimakasih atas bantuan dan kemudahan yang diberikan untuk membagikan ilmu kepada mahasiswa dalam berbagai kesempatan.

(11)

mbentukan karakter dalam diri muridmu yang rodho ndableg i

ver.

14.

herever you are, guys…terimakasih atas waktu, kebersamaan, dan pe

Seluruh teman angkatan 2003 Fakultas Psikologi Sanata Dharma baik y

as three, terimakasih banyak atas semua ‘pembelajaran’ yang engkau be

dalam hati. Especially for my Dad, I feel so blessed to have you in my

untuk segala hal yang kalian telah berikan kepadaku, baik waktu, biaya,

ang udah lulus maupun yang masih berjuang meraih gelar S.Psi,

w

11.My Mom and Dad, Arijanti Sambodo & Junus Sambodo. Terimakasih

xi

enemaniku dalam proses pengerjaan skripsi. Terimakasih untuk telinga y

rikan dalam hidupku. Terimakasih telah ikut ambil bagian dalam proses pe

ang selalu mendengarkan semua isi hatiku.You mean everything for me.

13.

rsahabatan yang menyenangkan selama studi di Fakultas Psikologi.

lifethank’s for all ‘lesson’ you give to me, thank’s for always teaching

tenaga, pikiran, pembelajaran hidup, semangat, dan kesabaran. Berjuta

My Great Teacher, Lanny Anggawati. We’ve known each other since I w

me to be strong like a rock.Proud of you Dad!!!

12.

terimakasih tidak akan cukup untuk mengungkapkan terimakasih yang ada

ni…hahaha…I will always remember your ‘advice’ that nobody can help, but yourself.You always inspiring me, and for me you are a great teacher e

(12)

awaits you.

19. Adik-adikku terkasih. Dima Wuenta Caesaria, Verty Sari Pusparini, Shirleen Yohana, Nana Vania, Widya Kusumawardhani, Winda

lupakan. Terimakasih telah mengajariku banyak hal mengenai makna

(yang sekarang statusnya udah ga single lagi…hehehe…), Erika Octavia,

xii

mencereweti aku supaya aku cepet nyelesein skripsi.

berikan di saat aku down, terimakasih tak bosan-bosannya kalian

berusaha sekuat tenaga dalam meraih apa yang kita inginkan.

20. Ni Putu Okky Martha, Nora Anggun Prasetyo, Silva Stevani Sitompul ujian?’

16. Adhy Kurniawan. Terimakasih untuk kepeduliannya, yang sering

meng-Ellenawati, Daniel Kurniawan. Terimakasih atas dukungan kalian selama Gede-Yoga. Terimakasih atas kesempatan untuk mengenal kalian sekeluarga. Especially for Toa, tiada yang mustahil ketika kita mau SMS aku hanya untuk nanyain ‘Sampe mana skripsinya?’ atau ‘Kapan

proses pengerjaan skripsi. Persahabatan dan waktu-waktu yang 17. Martua Pahalaning Wandalibrata, Bapak Agus Surono & Ibu,

Wulan-sebuah persahabatan dan persaudaraan.

(13)

untuk skripsi saya. Terimakasih untuk fotokopi yang sangat rapi dengan Marie, Herdian Wahyuni, Devi Paramita, Mira Astriani, Martua

melaksanakan proses pengambilan data.

Pahalaning, Benny Kuswara, Syamsul Arifin, Kristianto Agus Wibowo,

home, Cilik & Ndut’Z. Terimakasih untuk kebersamaan, keceriaan, waktu di tengah-tengah kesibukan Mbak bekerja untuk menemaniku 22. Pak Eddy ‘Fotokopi ALAM’. Terimakasih banyak Pak atas bantuannya

sukacita, kasih sayang, dan kesetiaan seumur hidup yang kalian berikan untuk bantuin aku bikin abstrak bahasa Inggris.

25.Last but not least, thank you so much for my two little ‘guardian angels’ at

kepadaku. Kasih sayang kalian untukku, kesediaan kalian untuk selalu

kalian terkadang jadi ‘pelampiasan’ aku…hehehe…Love you so much!!!

Gilang Arthyo, Ronald, Martinus. Ayo berjuang mati-matian!!!!

kualitas nomor satu. Maaf kalo pelanggan bapak yang satu ini banyak

berada di sisiku merupakan obat yang paling mujarab untuk meredakan 23. Mbak Diah Trisnawati. Terimakasih banyak, Mbak udah meluangkan

menyelesaikan pesanan fotokopi dari saya.

24. Ervina Yudha Kusuma. Terimakasih banyak Cie, udah meluangkan waktu

xiii

berbagai macam ‘kondisi tidak nyaman’ yang aku rasakan. Maaf kalau 21. Teman-teman ‘seperjuangan’ angkatan 2003 : Agatha Dewan Ayu, Devita

(14)

proses hidup dan pembentukan karakter yang saya jalani.

Yogyakarta, Desember 2010

(

xiv

(15)

MAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... v ABST

xv

RAK………. vi

ABSTRA

MAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN.……… iv

HALA

Complex Pada Wanita Karier yang Menikah………. 9 1. Pengertian C

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………... viii KATA PE

Belakang Masalah……… 1

(16)

akter Individu Berdasarkan Tinggi-Rendahnya

Advers

faktor yang MempengaruhiAdversity Quotient…... 28

5. Teori-t

Variabel………... 41

C. Definisi Oper

a Complex Pada Wanita Karier yang Menikah………….... 34 D. Hipotesis

an Sampel……….. 45

engertianAdversity Quotient………... 21 2. Kar

araAdversity Quotientdan Cinderell

Penelitian………. 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... 41 A. Jenis Pene

asional………... 42

D. Teknik Pengambil

ity Quotient………... 23

3.

Aspek-Wanita Karier dan Pernikahan………. 16 a

ada Wanita Karier yang Menikah………... 14 4.

litian………... 41

B. Identifikasi

eori PendukungAdversity Quotient……….... 30

6. Memperbai

Pernikahan……….. 18

B

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cinderella Complex P

3.

. Pengertian Karier………... 16 b.

aspekAdversity Quotient……….... 25

4.

Faktor-. Adversity Quotient……….... 21

1. P

xvi

(17)

aksanaan Penelitian……….. 64 D. Hasil

. Pertanggungjawaban Mutu Alat Ukur……….... 50 1.

osedur Pengambilan Data………. 58 I. Ana V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 62 A. Per

ata Penelitian……….. 65 2. Uji Asumsi………

(18)

Tabel 1.BlueprintSkala Cinderella Complex………. 47 T

l 6. Data Statistik Cinderella Complex danAdversity Quotient……… 66 bel 4. Distribusi Item SkalaAdversity QuotientSetelah Seleksi Item…. 56 Tabe

abel 2.BlueprintSkalaAdversity Quotient………... 48 Ta

xviii

l 5. Data Teoritik Cinderella Complex danAdversity Quotient……… 65 Tabe

(19)

Gambar 1. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian………... 40

(20)

LAMPIRAN F. Surat Ijin Penelitian & Surat Keterangan Penelitian……... 144 LAMPIRAN E. Hasil Olah Data………... 138 LAMPIRAN C. Hasil Seleksi Item & Reliabilitas……… 113

xx

LAMPIRAN A. Skala Penelitian……… 83 LAMPIRAN B. Tabulasi Data & Reliabilitas Skala Sebelum Seleksi Item 94

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat masih mempunyai pandangan bahwa perempuan dan ketergantungan merupakan dua pengertian yang sangat erat menyatu. Lebih-lebih apabila dua pengertian tersebut dikaitkan dengan kedudukan dan peran perempuan dalam keluarga. Dalam masyarakat masih berlaku pandangan bahwa kedudukan istri tergantung pada suami, kedudukan anak perempuan tergantung pada ayah atau saudara laki-laki (Murniati, 1992). Peran-peran tersebut ditentukan oleh keluarga dan lingkungan budaya. (Wolfman dalam Arinta & Azwar, 1993).

Bukan hal yang asing lagi melihat wanita telah merambah dunia kerja dan mampu menempati posisi-posisi kunci dalam suatu lembaga atau instansi. Terlepas dari peran itu, di beberapa belahan dunia, khususnya di Indonesia, masih menganut berlakunya ideal budaya (culture ideal) dimana tugas utama wanita terletak dalam keluarga dan rumah tinggal (Hamid, 2005). Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Murniati (1992). Murniati (1992) mengungkapkan bahwa faham ibuisme mendudukkan perempuan untuk bertugas dan bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga. Laki-laki diberi tugas di luar rumah untuk mencari penghasilan. Terjadilah pembagian tugas ‘di dalam’ keluarga

(22)

(domestic) dan ‘di luar’ keluarga (public). Perempuan mendapatkan peran domestik dan laki-laki mendapatkan peran publik.

(23)

Menurut Dowling (1989), wanita pada masa kanak-kanak cenderung dimanjakan, dilindungi, dan diperhatikan. Orangtua selalu ada setiap saat mereka dibutuhkan. Hal tersebut berkaitan dengan ketergantungan, yaitu kebutuhan untuk kembali ke masa bayi, untuk diasuh dan dirawat serta dilindungi dari mara bahaya. Kebutuhan untuk diasuh, dirawat, serta dilindungi dari mara bahaya ini tetap berada dalam diri wanita hingga dewasa dan menuntut untuk dipenuhi seiring dengan kebutuhan akan kemandirian. Sampai batas tertentu, kebutuhan akan ketergantungan itu normal baik untuk pria maupun wanita. Akan tetapi, sejak masa kecil wanita selalu didorong untuk bersikap tergantung sampai pada derajat yang tidak sehat (Dowling, 1989).

(24)

Keadaan ini seolah-olah membenarkan anggapan bahwa perempuan mempunyai sifat lemah dan bodoh (Murniati, 1992).

Setiap wanita yang meneliti dirinya sendiri akan menyadari bahwa dirinya tidak pernah dilatih untuk menyukai gagasan keharusan menolong diri sendiri, melindungi, dan mempertahankan pendapat sendiri. Seringkali, dari luar wanita tersebut tampak mandiri (independen), sementara dalam diri wanita tersebut mencemburui anak laki-laki (dan kemudian kaum pria) karena kelihatan mandiri dengan begitu wajar. Gejala wanita yang cenderung memperlihatkan untuk tampak mengandalkan diri sendiri serta mengendalikan perasaan, dimana para wanita tersebut menyiarkan keras-keras pernyataan ‘Saya tidak membutuhkan siapapun, saya dapat menolong diri saya sendiri’ menurut Symonds (1974) dalam Dowling (1989), selangkah demi selangkah akan membentuk suatu kontrafobia. Hal yang paling mencolok dalam kepribadian kontrafobia adalah suatu pertahanan diri yang efektif.

(25)

Bukan alam yang memberikan kemandirian pada pria, tetapi disebabkan karena latihan. Pria dididik untuk mandiri sejak dilahirkan, dengan cara yang sistematis. Pada masyarakat patriarkhat misalnya, pria tidak dikehendaki untuk bersikap emosional. Pria dituntut untuk tidak bergantung pada orang lain, tetapi harus bergantung pada kompetensinya sendiri. Dalam kesulitan, sikap ini harus dipertahankan. Pria harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi ataupun tidak mengeluh dalam kesulitan, seperti layaknya wanita. Tindakan meminta bantuan adalah tindakan yang memalukan. Mereka harus kuat dan tabah dalam menghadapi cobaan (Sebatu, 1994).

(26)

Para wanita yang sudah menikah cenderung merasa lebih aman jika bekerja di bawah bayang-bayang suami. Para wanita tersebut merasa dapat berkreasi lebih bebas jika menggunakan nama suami karena wanita tersebut merasa jika suami berhasil walaupun dengan bantuannya, maka suami akan semakin lebih kuat dan secara otomatis tempat bergantung semakin kuat sehingga diri wanita tersebut merasa aman. Menurut Symonds (1974) dalam Dowling (1989), walaupun para wanita tersebut tampak takut akan dikendalikan orang lain, para wanita ini sesungguhnya takut mengendalikan hidup mereka sendiri. Yang menjadi masalah adalah para wanita karier yang menikah cenderung meninggalkan kariernya jika suami mereka meminta mereka berhenti berkarier dengan alasan klise

demi keluarga. Padahal, tak jarang karier dan kedudukan mereka dalam pekerjaan sudah cukup tinggi dan kuat. Masalah lain, para wanita tersebut selalu merasa takut dan tidak percaya pada kemampuan diri sendiri dan hal tersebut yang membuat diri wanita menjadi tergantung (Dowling, 1989).

Pada era globalisasi di Indonesia, semakin banyak wanita yang bekerja dan bahkan berhasil dalam pekerjaan. Seringkali mereka disebut dengan wanita karier, dimana wanita tersebut menduduki suatu jabatan tertentu dengan kemungkinan jenjang kenaikan setelah bekerja untuk jangka waktu tertentu dalam suatu perusahaan, lembaga atau instansi, dan bekerja secarafull time.

(27)

(1989) bahwa wanita karier yang menikah dan Cinderella Complex biasanya menggunakan ‘topeng’ yang merupakan sebuah ‘benteng’ dimana di balik ‘benteng’ tersebut seseorang akan bisa menyembunyikan rasa tidak aman, ketakutan, dan ketidakberdayaannya. Biasanya mereka jarang menduduki puncak suatu jabatan karena mereka merasa terbebani karenanya. Kadang-kadang bahkan merasa tersiksa karena jauh di dasar hati mereka percaya bahwa wanita tidak seharusnya mencari kehidupan sendiri (Bardwick dalam Muljani, 2000) dan akhirnya memilih untuk meninggalkan kariernya.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas, terlihat bahwa Adversity Quotient berkaitan dengan bagaimana seorang individu merespon kesulitan dan ketidakberdayaan akibat Cinderella Complex. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengkaji mengenai hubungan antara Adversity Quotient dan Cinderella Complex pada wanita karier yang menikah.

B. Rumusan Masalah

(28)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara Adversity Quotient dan Cinderella Complex pada wanita karier yang menikah.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

a. Untuk membantu proses pengembangan ilmu Psikologi di bidang Klinis, khususnya yang berkaitan dengan masalah Cinderella Complex dan Adversity Quotient pada wanita karier yang menikah.

b. Untuk memberikan informasi tentang ada tidaknya hubungan antara Adversity Quotient dengan kecenderungan Cinderella Complex pada wanita karier yang menikah.

2. Manfaat Praktis

(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Cinderella Complex Pada Wanita Karier yang Menikah

1. Pengertian Cinderella Complex

Kartono (2006) mengatakan bahwa dunia wanita mempunyai skema dasar dan struktur dasar tertentu dari tingkah laku wanita. Dunia wanita itu khas menampilkan diri sebagai ‘yang memelihara’, sebagai

besogend welt; sedangkan dunia laki-laki lebih banyak dicirikan dengan : dunia kerja, penaklukan, ekspansi, dan agresivitas. Masih menurut Kartono, bahwa seorang wanita itu selalu mempunyai posisi bersama-sama dengan subjek lain; ia selalu ada berbersama-sama sebab itu kemunculannya sebagai subjek atau person karena ia ada di dalam. Jadi, subjek wanita akan betul-betul berarti dalam hidupnya kalau ia ada dalam kesatuannya dengan subjek lain. Maka perumpamaan pribadi (antar pribadi dengan pribadi yang lain) itu mutlak perlu bagi proses pemanusiaan manusia, dan bagi perkembangan kepribadian manusia.

Seorang psikolog Amerika (Giligan dalam Dowling, 1989) mengadakan riset dan menunjukkan bahwa wanita lebih memperhatikan tanggung jawab terhadap hubungan antar manusia, sedangkan pria memperhatikan hak individu. Urut-urutan perkembangan anak perempuan menjadi orang dewasa yang secara berlebihan membutuhkan dukungan dari orang lain menurut Hoffman (dalam Dowling, 1989) adalah karena :

(30)

1) Lebih sedikit dorongan menuju kemandirian. 2) Lebih banyak perlindungan dari orang tua.

3) Lebih sedikit tekanan kognitif dan sosial untuk membangun identitas yang terpisah dari ibu.

4) Lebih sedikit konflik ibu-anak yang menandai perpisahan itu sehingga dapat melakukan eksplorasi lingkungannya dengan cara yang kurang mandiri.

Hal-hal seperti di ataslah yang menyebabkan wanita menjadi takut untuk berhasil dan mandiri. Menurut Horner (dalam Dowling, 1989), gagasan tentang keberhasilan mempunyai arti yang berbeda bagi wanita. Wanita tidak tampak mengejar keberhasilannya dengan cara yang sama dengan pria, mereka membatasi diri. Wanita merasa cemas ketika segala sesuatu berjalan mulus, juga merasa cemas terhadap kegagalan atau keberhasilan.

(31)

dalam Brannon (1996) menjelaskan bahwa wanita mendapatkan konsekuensi negatif yang mengiringi kesuksesannya. Hal tersebut senada dengan yang Horner jelaskan (dalam Dowling, 1989) bahwa wanita takut akan keberhasilan karena akan diterimanya konsekuensi negatif dari masyarakat. Horner (1969) dalam Brannon (1996) juga mengungkapkan bahwa wanita mengasosiasikan kesuksesan dengan hilangnya kefemininan (loss of feminity) dalam diri mereka dan mereka merasa cemas dengan kesuksesan itu sendiri, terutama jika mereka harus berkompetisi dengan para pria. Horner (1972) dalam Byrne & Kelley (1981) mengemukakan bahwa wanita mengindikasikan ketakutan akan keberhasilan daripada pria, terutama jika mereka sendiri yang menginginkan kesuksesan tersebut. Oleh karena itu, Symonds (1974) dalam Dowling (1989) menyatakan terbentuklah suatu kontrafobia dimana para wanita ini memakai topeng kemandirian sehingga menutupi kecemasannya, dan secara tidak disadari menekan rasa ketakutan dan ketergantungannya.

(32)

Dowling (1989) mendefinisikan bahwa Cinderella Complex adalah suatu jaringan sikap dan rasa takut yang sebagian besarnya tertekan sehingga wanita tidak bisa dan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya otak dan kreativitasnya. Sebagaimana halnya Cinderella yang terbaring di peti kaca menanti sang pangeran untuk membangkitkannya, demikianlah wanita masa kini masih menanti sesuatu yang berasal dari luar, untuk mengubah hidup mereka.

Ketakutan akan kemampuan otak dan kreativitas selalu membelenggu dan sebenarnya melumpuhkan usaha-usaha untuk membebaskan diri. Keinginan untuk diselamatkan dianggap sebagai masalah yang penting yang merupakan kebutuhan psikologis pada wanita saat ini. Wanita dibesarkan untuk menggantungkan diri pada seorang laki-laki dan tanpa seorang laki-laki-laki-laki lalu merasa telanjang dan ketakutan. Wanita juga diajarkan bahwa sebagai wanita tidak dapat berdiri sendiri, terlalu rapuh, dan membutuhkan perlindungan; sehingga di masa yang telah jauh berubah ini, ketika otak menyuruh untuk mandiri, maka berbagai masalah emosional yang tidak terpecahkan menyeret kita jatuh. Pada waktu ingin bebas dan terlepas dari belenggu, secara bersamaan mendambakan untuk dilindungi serta dirawat (Dowling, 1989).

(33)

besarnya tertekan membuat wanita tidak bisa dan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya otak dan kreativitasnya yang kemudian banyak mempengaruhi cara wanita berpikir, berbicara, dan bertindak.

2. Aspek-aspek Cinderella Complex pada Wanita Karier yang Menikah

Aspek-aspek yang mengindikasikan Cinderella Complex antara lain sebagai berikut :

a. Ketakutan kehilangan feminitas, seperti sifat suka mengalah dan penuh perasaan.

b. Mengandalkan laki-laki, seperti meminta tolong bila menghadapi kesulitan.

c. Menghindari tantangan dan kompetisi, misalnya : wanita kurang semangat, merasa tidak enak dengan orang lain, malas menghadapi persaingan.

d. Rendahnya kepercayaan diri, misalnya : wanita lebih suka menekan ide-ide kreatifnya, tidak mau berpendapat.

e. Kontrol diri eksternal, seperti percaya pada ramalan bintang dan keberuntungan.

(34)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cinderella Complex pada Wanita

Karier yang Menikah

Anggryani (2003) mengungkapkan bahwa Cinderella Complex dapat terjadi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. Pola asuh orang tua

Stein & Bailey (1973) dalam Byrne & Kelley (1981) mengungkapkan bahwa berbagai perbedaan dalam mendefinisikan bagaimana pria dan wanita harus bersikap telah dihadirkan dalam masyarakat kita dan hal tersebut dilakukan secara konsisten sebagaimana orang tua membesarkan anak-anak mereka. Wanita yang dibesarkan dengan sikap orang tua yang berorientasi pada prestasi (achievement) dan menganut pola asuh ‘non-tradisional’, orang tua tersebut akan menguatkan dan memberikan dukungan pada prestasi mereka.

b. Media komunikasi massa

(35)

bahwa wanita yang berprestasi akan ‘dijauhi’ dan kebahagiaan tersedia untuk istri dan ibu yang hanya tinggal di rumah.

Selain media televisi, Brannon (1996) menjelaskan stereotip gender dalam buku anak-anak dan berbagai textbook menjadi perhatian dalam berbagai penelitian. Dalam buku-buku tersebut, perempuan dalam banyak cerita banyak ‘dikondisikan’ sebagai penilai yang pasif (passive observers). Sadker & Steindam dalam Brannon (1996) menjelaskan pembaca anak-anak lebih banyak disuguhi cerita yang berfokus pada anak laki-laki daripada anak perempuan, lebih banyak karakter laki-laki dewasa daripada wanita dewasa, dan bahkan banyak cerita mengenai hewan jantan daripada hewan betina.

c. Pekerjaan atau tugas yang menuntut pribadi.

(36)

d. Agama.

Menurut Wolfman dalam Barnhouse (1988), dalam masyarakat masih ada yang percaya bahwa wanita harus tunduk pada pria sesuai dengan tafsiran harafiah kisah dalam Alkitab yang mengharuskan Hawa tunduk pada Adam. Amanat ini bersama contoh-contoh lain dari Alkitab digunakan untuk menjelaskan bahwa wanita harus merendahkan diri terhadap pria.

4. Wanita Karier dan Pernikahan

a. Pengertian Karier

Untuk menjelaskan pengertian dari wanita karier, maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian karier itu sendiri.

Karier tidak identik dengan bekerja. Menurut Gibson, Ivancevich, dan Donnelly dalam Stefani, Pudjibudojo, dan Prihanto (2000), orang yang berkarier diartikan sebagai orang yang bergerak maju dan meningkat dalam pekerjaan yang dipilihnya. Bergerak maju di sini berarti bergerak maju dalam hal-hal seperti kebutuhan, tuntutan gaji yang lebih besar, tanggung jawab lebih banyak, mendapatkan status, dan kekuasaan yang lebih banyak. Sementara itu, Moekijat (1984) membuat batasan tentang karier sebagai berikut :

(37)

b. Karier adalah kemajuan seseorang dalam suatu bidang pekerjaan selama bertahun-tahun bekerja.

c. Karier adalah riwayat pekerjaan.

d. Karier adalah perkembangan kemajuan seseorang dalam suatu lapangan pekerjaan selama masa aktif dalam hidupnya.

Batasan-batasan yang dikemukakan di atas tidak terlepas dari apa yang disebut oleh Moekijat (1984) sebagai sistem karier. Sistem karier adalah sistem mempekerjakan orang-orang muda pada jabatan-jabatan yang mengandung tanggung jawab yang lebih besar dan pembayaran yang lebih tinggi sampai kepada pemberhentian mereka. Moekijat juga mengutip penjelasan umum UU No. 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian. Sistem karier adalah suatu sistem kepegawaian, dimana untuk pengangkatan pertama didasarkan atas kecakapan yang bersangkutan; sedang dalam pengembangannya lebih lanjut, masa kerja, kesetiaan, pengabdian, dan syarat-syarat objektif lainnya juga menentukan.

(38)

b. Pernikahan

Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa ahli Psikologi Perkembangan, pernikahan merupakan salah satu tugas perkembangan dalam rangkaian hidup seseorang yang dipenuhi pada tahap usia tertentu. Pada umumnya ahli-ahli tersebut tidak mempunyai kesepakatan tentang usia yang tepat untuk melakukan suatu pernikahan, namun pada umumnya mereka sepakat bahwa pernikahan merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal disamping tugas-tugas perkembangan lainnya yang harus dijalani.

Walgito (2000) mengatakan bahwa usia yang ideal untuk melangsungkan suatu pernikahan bagi wanita sekitar 23-24 tahun, sedangkan bagi pria sekitar 26-27 tahun karena adanya anggapan bahwa pada rentang usia tersebut telah dicapai kematangan fisik dan kematangan psikologis. Rogers (1972) dalam Walgito (2000) menyatakan bahwa pada wanita, usia 30 adalah suatu pertanda penting. Sebagian besar wanita di bawah usia 30 tahun sudah menikah, sementara yang berusia lebih dari 30 tahunpun mungkin juga dilakukan.

(39)

merupakan kegiatan-kegiatan pokok yang bersangkutan dengan hidup berkeluarga. Tugas perkembangan yang dimaksud adalah memilih teman bergaul sebagai calon suami atau istri, belajar hidup bersama dengan suami atau istri, mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga, belajar mengasuh anak-anak, dan mengelola rumah tangga.

Hurlock (1995), selain mengungkapkan tentang tugas-tugas perkembangan, juga mengungkapkan tentang ciri-ciri masa dewasa muda. Masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru; seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini.

(40)

seorang pria dan wanita untuk tujuan mencapai kebahagiaan yang timbal balik.

(41)

B. Adversity Quotient

1. PengertianAdversity Quotient

Kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan, sehinggaAdversity Quotientdapat diartikan kemampuan atau kecerdasan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan, kegagalan, kesengsaraan, dan mampu mengatasinya (Stoltz, 2003).

Adversity Quotient (AQ) merupakan istilah yang dikenalkan oleh Stoltz untuk melengkapi dan mengatasi kekurangan dariintellectual quotientdan

emotional quotientdalam menentukan kesuksesan seseorang.

Menurut Stoltz (2003), Adversity Quotient (AQ) adalah pengetahuan tentang ketahanan individu. Individu yang secara maksimal menggunakan kecerdasan ini akan menghasilkan kesuksesan dalam menghadapi tantangan besar dan kecil, dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Kenyataannya, seseorang tidak hanya belajar dari tantangan, tetapi mereka juga meresponnya secara lebih baik dan lebih cepat.

Stoltz dalam Lasmono (2001) menawarkan Adversity Quotient

dengan beberapa konsep. Konsep baru ini menawarkan manfaat yang dapat diperoleh, diantaranya adalah :

a. AQ menyatakan seberapa tegar seseorang menghadapi kemalangan. b. AQ memperkirakan siapa yang mampu mengatasi kemalangan tersebut dan siapa yang akan terlibas atau gagal.

(42)

d. AQ memperkirakan siapa yang putus asa atau siapa yang akan bertahan. Dengan keyakinan itu, AQ dapat dipakai untuk meningkatkan efektivitas kinerja, seperti misalnya sebuah tim, hubungan kekeluargaan, organisasi, kemasyarakatan, budaya, maupun perhimpunan (Lasmono, 2001) dan AQ mewujudkan dua komponen esensial yang amat praktis, yaitu teori ilmiah dan aplikasi nyata karena AQ terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :

a. Kerangka konseptual baru untuk memahami dan meningkatkan semua aspek keberhasilan.

b. Merupakan ukuran bagaimana seseorang merespon kemalangan.

c. Merupakan perangkat alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kemalangan.

Melalui konsep tersebut, Stoltz dalam Lasmono (2001) memperkenalkan tiga tingkatan AQ, yaitu :

a. Social Adversity, yaitu ketidakjelasan tentang masa depan, kecemasan tentang keamanan ekonomi, meningkatnya kriminalitas, kerusakan lingkungan, bencana alam, krisis moral, hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga-lembaganya.

(43)

c. Individual Adversity, yaitu individu menanggung beban akumulatif dari ketiga tingkat, namun individu dapat memulai perubahan dan pengendalian.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, secara umumAdversity Quotient dapat diartikan sebagai kemampuan atau kecerdasan seseorang dalam mengatasi kesulitan yang menimbulkan ketidakberdayaan. Kemampuan ini merupakan pola-pola kebiasaan yang mendasari bagaimana seseorang mempersepsi, menilai, dan merespon peristiwa yang menimbulkan kesulitan dalam hidupnya.

2. Karakter Individu Berdasarkan Tinggi-RendahnyaAdversity Quotient

Menurut Stoltz (2003), karakter individu berdasarkan tinggi-rendahnya AQ dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :

a. Mereka yang berhenti (Quitters)

Orang-orang dengan tipe Quitters merasa cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau fisiologis saja dan cenderung pasif, memilih untuk keluar menghindari tantangan, selanjutnya mundur dan berhenti. Para Quitters menolak menerima tawaran keberhasilan yang disertai dengan tantangan dan rintangan. Orang seperti ini akan banyak kehilangan kesempatan berharga dalam kehidupan. Tipe Quitters

(44)

b. Mereka yang berkemah (Campers)

Campers atau satis-ficer (dari kata satisfied = puas dan suffice = mencukupi) adalah orang-orang yang berkemah.Campersmerasa puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri. Tipe

Campers merupakan golongan yang sedikit lebih banyak, yaitu mengusahakan terpenuhinya kebutuhan keamanan dan rasa aman pada hirarki kebutuhan Maslow. Kelompok Campers memiliki kapasitas yang tidak terlalu tinggi untuk perubahan karena terdorong oleh ketakutan dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan. Berbeda dengan para Quitters yang memilih untuk menghindari tantangan,

Campers setidaknya telah melangkah dan menanggapi tantangan. Akan tetapi setelah mencapai tahap tertentu, Campers memilih untuk berhenti sekalipun masih ada kesempatan untuk berkembang.

c. Mereka yang mendaki (Climbers)

(45)

kesulitan hidup. Dengan kata lain, orang-orang dengan tipe Climbers

akan selalu siap menghadapi berbagai rintangan dan menyukai tantangan yang diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan.

3. Aspek-aspekAdversity Quotient

Menurut Stoltz (2003), ada empat buah aspek yang akan menghasilkan

Adversity Quotientyang tinggi, yaitu : a. Control(C)

Control berkaitan dengan seberapa besar seseorang merasa mampu mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dimiliki, semakin besar kemungkinan seseorang dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari penyelesaian. Demikian sebaliknya jika semakin rendah kendali, maka semakin besar kemungkinan-kemungkinan buruk berada di luar kendali, akibatnya seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.

b. Origin & Ownership(O2)

(46)

dengan tetap berpikir positif dan akan tetap semangat sehingga ketika mereka merasa tidak mampu mengendalikan keadaan, mereka memiliki penyesalan yang sewajarnya dan mampu belajar dari kesalahan tersebut. Individu yang skor Origin-nya rendah akan cenderung berpikir bahwa semua kesulitan datang karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya dan membuat perasaan dan pikiran negatif merusak semangat, menimbulkan konsep diri yang rendah, tekanan-tekanan terhadap hubungan-hubungan yang sudah terjalin, serta merasa tidak berkuasa. Individu dengan skor Ownership

tinggi akan berorientasi pada tindakan ketika menghadapi kesulitan. Mereka akan mencari strategi pemecahan masalah, meningkatkan kendali, dan bersikap bertanggungjawab. Individu dengan skor

Ownershipyang rendah mencerminkan tindakan lari dari kesulitan dan mencari kambing hitam di luar dirinya ketika masalah muncul. Mereka cepat menyerah, menuduh orang lainlah yang berbuat salah, kinerja berkurang, kurang mampu mengidentifikasi masalah, serta tidak mau mengakui bahwa bisa saja kesulitan tersebut terjadi karena dirinya sendiri.

c. Reach(R)

(47)

seseorang, maka semakin besar kemungkinannya dalam merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif seseorang dalam menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau kurang mampu akan berkurang. Individu dengan AQ tinggi akan mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang ada, sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang tidak harus mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya.

d. Endurance(E)

(48)

4. Faktor-faktor yang MempengaruhiAdversity Quotient

a. Kinerja

Ketekunan merupakan kemampuan untuk terus-menerus berusaha, bahkan manakala dihadapkan pada kesulitan atau kegagalan-kegagalan. Seligman (dalam Stoltz, 2003) membuktikan bahwa individu yang memiliki ketekunan menunjukkan kinerja yang baik sehingga ia akan merespon kesulitan dengan baik dan akan mampu terus bertahan ketika menghadapi kesulitan. Kinerja merupakan bagian yang paling mudah terlihat karena faktor ini sangatlah menonjol dan yang paling sering dievaluasi atau dinilai oleh orang lain. Semakin tinggi kinerja seseorang, maka orang tersebut akan dipandang mampu mengendalikan kesulitan yang dihadapi. Sebaliknya, semakin rendah kinerja seseorang maka orang tersebut akan dipandang kurang mampu dalam mengolah atau mengendalikan kesulitan yang dihadapi (Stoltz, 2003).

b. Bakat dan Kemauan

(49)

semangat yang menyala. Dengan adanya bakat dan kemauan (hasrat), maka kesuksesan dapat dicapai.

c. Kecerdasan, Kesehatan, dan Karakter

Kecerdasan yang dimiliki seseorang akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir dan bertindak. Gardner (dalam Stoltz, 2003) mengungkapkan ada tujuh macam kecerdasan, yaitu : kecerdasan linguistik, kinestetik, spasial, logika-matematis, musik, interpersonal, dan intrapersonal. Di antara ketujuh macam kecerdasan di atas, ada kecerdasan yang dominan dalam diri tiap individu. Kecerdasan yang dominanlah yang kemudian akan mempengaruhi kesuksesan seseorang.

Selain kecerdasan, faktor kesehatan (kesehatan fisik dan emosi) serta karakter juga akan mempengaruhi bagaimana seseorang mampu mencapai puncak kesuksesan. Apabila kesehatan baik, didukung dengan karakter seperti kejujuran, keadilan, kelurusan hati, kebijaksanaan, serta kebaikan; seseorang akan mampu berjuang untuk mencapai puncak kesuksesan.

d. Genetika, Keyakinan, dan Pendidikan

(50)

kesuksesan. Peck (dalam Stoltz, 2003) menganggap faktor keyakinan adalah sebagai hal yang sangat penting dalam kelangsungan hidup masyarakat dan apapun jenis keyakinannya, sebagian besar orang yang sangat sukses memiliki faktor ini.

Faktor yang terakhir adalah pendidikan. Pendidikan yang dimiliki seseorang akan mampu mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan. Pendidikan juga merupakan proses pembelajaran bagi seseorang karena pendidikan mampu meningkatkan kualitas hidup seseorang.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi AQ terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal diantaranya adalah kinerja, bakat dan kemauan, kecerdasan, kesehatan, karakter, genetika, dan keyakinan; sedangkan yang termasuk dalam faktor eksternal adalah faktor pendidikan.

5. Teori-teori PendukungAdversity Quotient

Adapun teori-teori pendukung dari teori Adversity Quotient adalah Psikologi Kognitif, Neurofisiologi, dan Psikoneuroimunologi.

a. Psikologi Kognitif

(51)

dapat kita pakai untuk merespon atau menyelesaikan masalah, berpikir, dan berbahasa. Orang yang merespon atau mengangga kemalangan itu abadi, bercakupan luas, internal, dan di luar jangkauan kendali mereka akan menderita, sedangkan yang menganggap kemalangan itu mudah berlalu, terbatas cakupannya, eksternal, dan dapat mereka kendalikan akan tumbuh-kembang dan maju dengan pesat (Stoltz, 2003).

b. Neurofisiologi

Ilmu ini menyumbang pengetahuan bahwa otak secara ideal dilengkapi sarana membentuk kebiasaan-kebiasaan, yang dapat segera diinterupsi dan diubah. Dengan demikian, kebiasaan seseorang berespon terhadap kemalangan dapat diinterupsi dan segera diubah sehingga kebiasaan lama akan melemah dan kebiasaan yang baru akan bertumbuh dan berkembang dengan baik (Stoltz, 2003).

c. Psikoneuroimunologi

(52)

penyakit-penyakit yang mengancam hidup. Pola respon yang lemah akan menimbulkan depresi (Stoltz, 2003).

6. MemperbaikiAdversity Quotient: Rangkaian LEAD

Para peneliti di UCLA yang mengamati Positron Emissions Technology (PET) ketika merawat penderita gangguan obsesif-kompulsif (OCD = Obsessive Compulsive Disorder) mendapatkan bahwa terapi kognitif betul-betul membantu mengubah fungsi otak dengan mengurangi aktivitas dan struktur OCD (Stoltz, 2003).

Salah satu terapi kognitif adalah teknik mempertanyakan yang membuat kita menjadi sangat sadar dan mampu menangani reaksi-reaksi yang tadinya tidak disadari. Melatih mempertanyakan dan kemudian mengubah reaksi dengan mengganti pola sikap terhadap peristiwa yang dihadapi dapat menghasilkan perubahan. Strategi psikologis yang murni akan menghasilkan perubahan kimiawi dan fisikal pada otak secara signifikan. Stoltz (2003) menjelaskan pola pemikiran individu pada akhirnya akan mengubah fisiologi otak dan rangkaian LEAD akan membantu membiasakan otak untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan. 1. Listen(L)

(53)

langkah yang penting dalam mengubah Adversity Quotient dari suatu pola yang sudah terbentuk selama hidup hingga kini.

2. Explore(E)

Penjelasan dalam tahap Explore ini mengacu pada aspek Origin & Ownership, yaitu sikap bersedia memikul tanggungjawab untuk porsi kesulitan yang individu timbulkan dan individu mau belajar dari kesalahan tersebut. Komponen Explore mencakup lima buah pertanyaan, yaitu :

 Apa saja kemungkinan asal-usul dari munculnya kesulitan ini?

 Dengan asal-muasal ini, berapa besar porsi kesalahan saya?

 Apa yang dapat saya kerjakan untuk memperbaikinya?

 Aspek-aspek mana dari hasil yang terjadi yang menjadi tanggungjawab saya?

 Aspek mana yang tidak harus menjadi tanggungjawab saya? 3. Analyze(A)

Komponen Analyze menganalisa bukti mencakup proses mengajukan pertanyaan yang sederhana untuk memeriksa, mempertanyakan, dan akhirnya mengalihkan aspek destruktif dari respon individu, yaitu :

 Apa bukti bahwa saya tidak memiliki kendali?

 Apa bukti bahwa kesulitan harus menjangkau aspek lain dari kehidupan saya?

(54)

4. Do(D)

Banyak program atau pelatihan perbaikan diri dimulai dengan meminta peserta melakukan tindakan dan bertindak merupakan sesuatu yang dinamis dan dahsyat. Agar siap untuk bertindak maka pertanyaan yang harus diajukan adalah sebagai berikut :

 Tambahan informasi apa yang saya perlukan?

 Apa yang bisa saya lakukan untuk mendapatkan sedikit kendali atas kesulitan ini?

 Apa yang bisa saya lakukan untuk membatasi jangkauan kesulitan ini?

 Apa yang bisa saya lakukan untuk membatasi lama berlangsungnya kesulitan?

C. Hubungan Antara Adversity Quotient dan Cinderella Complex pada

Wanita Karier yang Menikah

(55)

diri kepada seorang laki-laki dan diajarkan untuk mempercayai bahwa wanita tidak dapat berdiri sendiri, terlalu rapuh, terlalu halus, dan membutuhkan perlindungan. Seiring dengan berkembangnya zaman yang kemudian menuntut kemandirian seseorang, maka berbagai masalah emosional muncul dalam diri wanita dan menyeretnya jatuh. Saat wanita ingin bebas dan terlepas dari belenggu, pada saat yang sama ia juga mendambakan untuk dirawat serta dilindungi.

(56)

melakukan hal-hal yang sebaliknya. Jika terlalu memaksakan diri untuk menutupi rasa takut itu, maka hasilnya akan kurang baik.

Dengan berkembangnya zaman, lambat laun wanita menyadari akan kelemahan dirinya dan timbul keinginan untuk maju serta ada dorongan dalam dirinya untuk menutupi kelemahan itu dengan bertindak sebaliknya. Stoltz (2003) menyebutnya sebagai Adversity Quotient, yaitu suatu respon individu ketika mengalami kesulitan, kelemahan, dan ketidakberdayaan. Symonds (1976) dalam Dowling (1989) yang meneliti tentang ketakutan pada wanita mengungkapkan bahwa selangkah demi selangkah, tahun demi tahun, suatu ‘topeng’ akan terbentuk. Ciri-cirinya mungkin akan berubah dari orang ke orang, namun keseluruhan gambaran karakterologisnya tetap sama, yaitu bersikap dominan, keras, merasa super, dan tampak percaya diri.

(57)

mengungkapkan bahwa motivasi wanita yang telah menikah dalam berkarier antara lain untuk aktualisasi diri, untuk mendukung penghasilan suami, dan untuk memenuhi aktualisasi diri sekaligus memenuhi kebutuhan materi.

Dari penjelasan yang diungkapkan oleh Brahmasari (1996) dalam Stefani, Pudjibudojo, dan Prihanto (2000) di atas, tampak bahwa salah satu motivasi wanita yang telah menikah dalam berkarier adalah untuk aktualisasi diri. Menurut Maslow dalam Goble (1987), salah satu ciri pribadi yang mengaktualisasikan dirinya adalah kadar konflik diri yang rendah. Ia tidak berperang melawan dirinya sendiri dan memiliki lebih banyak energi untuk tujuan-tujuan yang produktif. Selain itu, pribadi yang mengaktualisasikan dirinya menggantungkan diri sepenuhnya pada kapasitas-kapasitas mereka sendiri. Hal inilah yang membedakan antara wanita karier yang menikah memilih berkarier untuk mencapai sebuah aktualisasi diri atau karena sebuah topeng kontrafobia belaka dan konsep di atas juga senada dengan individu tipe Climbers yang menyambut baik tantangan-tantangan untuk mencapai tujuan-tujuan yang produktif demi tercapainya aktualisasi diri.

(58)

kemandirian’ yang lambat laun berkembang menjadi suatu dorongan dalam diri untuk menutupi rasa takut, ketergantungan, dan kelemahan dengan bertindak sebaliknya. Symonds (1976) dalam Dowling (1989) berpendapat, jika wanita tidak dapat mengendalikan dirinya yang berada di balik ‘topeng kemandirian’, hal itu akan berakibat tidak baik; seperti terjadinya penurunan kinerja dan prestasi kerja. Hal-hal tersebut kemudian mengakibatkan wanita menjadi semakin merasa takut dan tergantung.

Secara konkret, ada kaitan antara kecenderungan Cinderella Complex dengan Adversity Quotient pada wanita karier yang menikah. Di era globalisasi ini, sangat banyak wanita yang bekerja, mengejar karier, dan bahkan menduduki jabatan yang tinggi. Dengan pesatnya gerakan kemandirian pada wanita, maka banyak wanita karier yang menggunakan ‘topeng kemandirian’. Jika wanita kuat menyandang ‘topeng kemandirian’ dalam dirinya, maka akan muncul suatu dorongan dalam diri wanita karier untuk berusaha menekan atau menutupi rasa takut dan kelemahannya dengan bertindak sebaliknya. Dengan munculnya dorongan tersebut, diharapkan kariernya akan meningkat. Hal ini mengindikasikan rendahnya Cinderella Complex dalam diri wanita.

(59)

melepaskan kariernya jika suami mereka meminta mereka berhenti berkarier dengan alasan klise demi keluarga dan hal ini menunjukkan tingginya Cinderella Complex pada diri wanita.

Wanita pada umumnya (juga wanita karier) memiliki kecenderungan Cinderella Complex. Keberhasilan yang dicapai oleh wanita karier diasumsikan karena tingginya Adversity Quotient dalam diri mereka dan rendahnya kadar Cinderella Complex sehingga para wanita karier tersebut dapat menduduki suatu puncak jabatan.

D. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan negatif antara Adversity Quotient dengan Cinderella Complex pada wanita karier yang menikah.

(60)

Gambar 1. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian

AspekAdversity Quotient:

Control

Origin & Ownership

Reach

Endurance

Wanita karier yang memiliki

Adversity Quotienttinggi

Wanita karier yang memiliki

Adversity Quotientrendah

 Memiliki kendali atas kesulitan yang muncul

 Mengakui dan bertanggung jawab terhadap kesulitan yang muncul

 Membatasi jangkauan dari kesulitan yang muncul

 Menganggap kesulitan akan terjadi dalam waktu yang singkat dan dapat segera diatasi

 Tidak memiliki kendali atas kesulitan yang muncul

 Tidak mau mengakui dan bertanggung jawab terhadap kesulitan yang muncul

 Kesulitan akan menjangkau dan mempengaruhi bagian lain dari kehidupan

 Menganggap kesulitan terjadi secara permanen dan sulit diatasi

Mampu mengatasi setiap kesulitan yang muncul

Tidak mampu mengatasi setiap kesulitan yang muncul

(61)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional. Azwar (2004) menyatakan bahwa tujuan dari penelitian korelasional adalah untuk menyelidiki sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi.

Sebagaimana definisi di atas, dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui hubungan antara Adversity Quotient dengan Cinderella Complex pada wanita karier yang menikah.

B. Identifikasi Variabel

Variabel adalah konsep mengenai atribut atau sifat yang terdapat pada subjek penelitian yang dapat bervariasi secara kuantitatif ataupun secara kualitatif (Azwar, 2004).

Dalam penelitian ini ada dua buah variabel, yaitu :

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah suatu variabel yang variasinya mempengaruhi variabel lain (Azwar, 2004).

Berdasarkan pengertian di atas, variabel bebas dalam penelitian ini adalahAdversity Quotient.

(62)

2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung adalah variabel penelitian yang diukur untuk mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel lain (Azwar, 2004).

Berdasarkan pengertian di atas, variabel tergantung dalam penelitian ini adalah Cinderella Complex.

C. Definisi Operasional

Batasan operasional dalam penelitian ini adalah :

1. Cinderella Complex

Cinderella Complex adalah suatu jaringan sikap dan rasa takut yang sebagian besar tertekan sehingga wanita tidak bisa dan tidak berani memanfaatkan sepenuhnya kemampuan otak dan kreativitasnya. Adapun aspek-aspek Cinderella Complex yang dipakai dalam penelitian ini mengacu pada aspek-aspek Cinderella Complex yang ada pada penelitian Anggryani (2003), yaitu : a. Aspek ketakutan kehilangan feminitas, yaitu sikap dimana wanita melakukan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan kodratnya sebagai wanita, bersikap mengalah, ‘tunduk’ kepada suami sebagai kepala keluarga, dan keluarga menjadi prioritas utama.

(63)

itu wanita juga merasa lebih ‘aman’ jika meminta pendapat suami sebelum membuat suatu keputusan.

c. Aspek menghindari tantangan dan kompetisi, yaitu sikap dimana wanita merasa kurang semangat, merasa ‘tidak enak’ dengan orang lain, dan malas menghadapi segala bentuk persaingan, apalagi persaingan dengan lawan jenis.

d. Aspek rendahnya kepercayaan diri, yaitu sikap dimana wanita merasa tidak mampu, lebih suka menekan ide-ide kreatifnya, dan tidak mau mengungkapkan pendapat.

e. Aspek kontrol diri eksternal, yaitu sikap dimana wanita menjadikan orang lain di luar dirinya sendiri sebagai patokan dalam menentukan sikap dan tindakan.

Dalam penelitian ini, penentuan tinggi-rendahnya skor Cinderella Complex dapat dilihat dari tinggi-rendahnya skor total yang diperoleh subjek berdasarkan skor skala Cinderella Complex dengan metode skala Likert. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, maka semakin tinggi pula Cinderella Complex dalam diri subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh subjek maka semakin rendah pula Cinderella Complex dalam diri subjek. 2. Adversity Quotient

(64)

Adversity Quotient dalam penelitian ini merupakan aspek-aspek

Adversity Quotientberdasarkan teori Stoltz (2003), yaitu :

a. Aspek Control, menjelaskan bagaimana seseorang memiliki kendali dalam suatu masalah yang muncul; apakah seseorang memandang bahwa dirinya tidak berdaya dengan adanya masalah tersebut atau ia dapat memegang kendali dari akibat masalah tersebut.

b. Aspek Origin & Ownership, menjelaskan siapa atau apa yang menjadi asal-muasal kesulitan dan sampai sejauh mana seseorang mengakui dan bertanggungjawab atas kesulitan-kesulitan tersebut.

c. Aspek Reach, menjelaskan sejauh manakah kesulitan-kesulitan yang ada akan menjangkau atau mempengaruhi bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang.

d. Aspek Endurance, menjelaskan tentang bagaimana seseorang memandang jangka waktu berlangsungnya kesulitan yang muncul; apakah seseorang cenderung memandang masalah tersebut akan terjadi secara permanen dan berkelanjutan atau hanya akan terjadi dalam waktu yang singkat saja.

(65)

maka semakin tinggi pula Adversity Quotient dalam diri subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh subjek maka semakin rendah pulaAdversity Quotient dalam diri subjek.

D. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakanPurposive Sampling, dimana pemilihan subjek penelitian didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2000).

E. Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah para wanita karier yang bekerja sebagai karyawati PT. Mondrian, Klaten. Populasi ini dipilih karena cukup banyak wanita yang bekerja di PT. Mondrian dan cukup terbukanya kesempatan bagi mereka untuk memperoleh kenaikan jabatan.

Subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Wanita karier yang bekerja sebagai karyawati di PT. Mondrian,

Klaten

(66)

2. Subjek berada pada periode usia dewasa awal, yaitu 23-40 tahun

dan berstatus menikah

Pemilihan periode usia dewasa awal didasarkan atas pertimbangan bahwa usia tersebut merupakan usia produktif bagi individu untuk memasuki dunia kerja dan berkarier. Selain itu, usia dewasa awal merupakan pemenuhan terhadap salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal, yaitu hidup berumah tangga dengan pasangan (menikah).

F. Alat Pengambilan Data

Alat pengambilan data dalam penelitian ini adalah Skala Likert yang dibuat oleh peneliti.

1. Judul Instrumen

Terdapat dua instrumen dalam penelitian ini, yaitu : a. Skala Cinderella Complex

(67)
(68)

b. SkalaAdversity Quotient

Skala Adversity Quotient adalah skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori Stoltz (2003).BlueprintSkalaAdversity Quotient

adalah sebagai berikut :

Tabel 2.BlueprintSkalaAdversity Quotient

Pernyataan

(69)

Setuju, TS untuk Tidak Setuju, dan STS untuk Sangat Tidak Setuju.

Peneliti menghilangkan kategori jawaban Ragu-Ragu yang memiliki nilai skala di tengah berdasarkan pendapat Hadi (2004) sebagai berikut :

a. Kategori jawaban Ragu-Ragu (undecided) mempunyai arti ganda. Dapat diartikan belum dapat memutuskan atau memberi jawaban, bisa juga diartikan netral, setuju tidak, tidak setujupun tidak, atau bahkan ragu-ragu. Kategori jawaban yang memiliki arti ganda (multiple-interpretable) ini tentu saja tidak diharapkan dalam suatu instrumen.

b. Tersedianya jawaban di tengah menimbulkan kecenderungan menjawab ke tengah (central tendency effect), terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas arah kecenderungan jawaban, ke arah setuju atau ke arah tidak setuju.

(70)

3. Pemberian Skor

Pemberian skor dibedakan sebagai berikut : a. PernyataanFavorable

Penilaian jawaban untuk pernyataan yang favorable yaitu : SS

memiliki nilai skala 4, S memiliki nilai skala 3, TS memiliki nilai skala 2, danSTSmemiliki nilai skala 1.

b. PernyataanUnfavorable

Penilaian jawaban untuk pernyataan yang unfavorable yaitu :

SS memiliki nilai skala 1, S memiliki nilai skala 2, TS

memiliki nilai skala 3, danSTSmemiliki nilai skala 4.

4. Rentang Skor

Rentang skor dalam instrumen ini adalah 4 sampai 1, mulai dari SS sampai STS untuk pernyataan favorable; sedangkan untuk pernyataan yang unfavorable rentang skornya adalah 1 sampai 4, mulai dari SS sampai STS.

G. Pertanggung-jawaban Mutu Alat Ukur

1. Validitas

(71)

sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2004).

Validitas instrumen dalam penelitian ini memakai validitas isi dan validitas logik (Azwar, 2004). Dalam penelitian ini, instrumen disusun dengan tujuan untuk mengungkapkan suatu sifat tanpa hendak melakukan prediksi terhadap sifat tersebut. Sebagaimana namanya, validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atauprofessional judgement. Suatu instrumen akan dikatakan valid jika isi instrumen tersebut komprehensif serta hanya memuat isi yang relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur. Pengukuran validitas ini tergantung pada penilaian subjektif karena tidak melibatkan perhitungan statistik sehingga ada kemungkinan setiap orang akan memiliki pendapat yang berbeda mengenai validitas suatu tes (Azwar, 2004). Professional judgement yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penilaian yang berasal dari seorang yang telah berkompeten dalam hal ini, yaitu dosen Pembimbing Skripsi.

(72)

keseluruhan. Suatu objek ukur yang hendak diungkap oleh instrumen harus dibatasi lebih dahulu kawasan perilakunya secara seksama (Azwar, 2004).

2. Seleksi Item

Seleksi item pertama dilakukan berdasarkan evaluasi kualitatif. Evaluasi ini dilakukan dengan melihat apakah item telah disusun berdasarkan blueprint yang berisi aspek-aspek yang hendak diteliti.

Seleksi berikutnya adalah seleksi secara empiris berdasarkan data uji coba pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik yang sama dengan subjek penelitian. Kualitas suatu item dilihat melalui analisis butir dengan menggunakan parameter indeks daya beda item. Indeks daya beda item yang berupa koefisien korelasi item-total memperlihatkan adanya kesesuaian fungsi item dengan fungsi skala dalam mengungkapkan perbedaan individual sehingga koefisien korelasi item-total menjadi dasar seleksi item.

(73)

item-total minimal 0,30 dianggap layak menjadi sebuah item. Jika dengan batasan tersebut jumlah item yang diperlukan tidak tercukupi, maka data dipertimbangkan untuk menurunkan batas kriteria menjadi 0,25 sehingga jumlah item yang diperlukan terpenuhi (Azwar, 2004). Perhitungan untuk seleksi item dalam penelitian ini menggunakanSPSS for Windowsversi 14.00.

Penting untuk diketahui bahwa korelasi item-total yang tinggi berperan dalam meningkatkan tingginya reliabilitas, namun tidak serta merta meningkatkan validitas skala, bahkan kadangkala dapat menurunkan validitas isi skala. Karena alasan tersebut, parameter indeks daya diskriminasi item janganlah dijadikan satu-satunya patokan dalam menyeleksi item. Pertimbangan lain yang dapat digunakan adalah tujuan pembuatan skala dan komposisi aspek-aspek seperti yang terdapat dalamblueprint(Azwar, 2004).

(74)

karena dalampractice effectakan terjadi kenaikan skor dan dengan kenaikan skor ini, koefisien validitas menjadi tidak murni lagi (Hadi, 2004).

Hasil seleksi item dan reliabilitas pada 50 item skala Cinderella Complex menunjukkan rentang daya beda seluruh item adalah -0,255 sampai 0,453. Adapun batasan kriteria daya beda yang digunakan adalah 0,25 sehingga item-item yang gugur adalah item-item dengan daya beda lebih kecil daripada 0,25. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat 2 item yang terbuang, yaitu item nomor 42 dan item nomor 45. Item nomor 42 berasal dari aspek mengandalkan laki-laki, sedangkan item 45 berasal dari aspek kontrol diri eksternal. Dengan demikian, terdapat 48 item valid pada Skala Cinderella Complex dan distribusi item Skala Cinderella Complex setelah seleksi item dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Item Skala Cinderella Complex Setelah

Seleksi Item

Pernyataan

No

Aspek yang

Hendak Diukur Favorable Unfavorable

(75)

laki-laki 17, 22

Jumlah Keseluruhan 25 23 48 100%

(76)

Tabel 4. Distribusi Item SkalaAdversity QuotientSetelah

Seleksi Item

Pernyataan

No

Aspek yang

Hendak Diukur Favorable Unfavorable

Jumlah

Jumlah Keseluruhan 18 20 38 100%

3. Reliabilitas

(77)

Untuk mengetahui reliabilias instrumen, koefisien korelasi yang digunakan adalah koefisien korelasi Alpha dengan pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan konsistensi internal. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat konsistensi antar item atau antar bagian dalam instrumen itu sendiri. Hanya diperlukan satu kali uji coba alat ukur pada sekelompok subjek sehingga dapat terhindar dari efek latihan dan dari kesulitan membuat tes paralel (Azwar, 2004).

Azwar (2004) menyatakan bahwa sebuah skala dinyatakan memiliki reliabilitas yang memuaskan jika skala tersebut memiliki koefisien Alpha lebih besar dari 0,90. Koefisien Alpha lebih besar dari 0,90 mengandung arti bahwa perbedaan (variasi) yang tampak pada skor tes tersebut mampu mencerminkan 90% dari variasi yang terjadi pada skor murni subjek yang bersangkutan sehingga hanya 10% dari perbedaan skor yang tampak disebabkan oleh variasi error pengukuran. Pada penelitian ini, uji reliabilitas skala menggunakan teknik Alpha dari program SPSS for Windows versi 14.00.

(78)

dikatakan Skala Cinderella Complex memiliki reliabilitas yang cukup baik karena memiliki koefisien Alpha mendekati 0,9.

Skala Adversity Quotientmemiliki koefisien Alpha sebesar 0,870. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa Skala

Adversity Quotient memiliki tingkat kepercayaan sebesar 87% dengan variasi error sebesar 13%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Skala Adversity Quotient memiliki reliabilitas yang cukup baik karena memiliki koefisien Alpha mendekati 0,9.

H. Prosedur Pengambilan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan uji coba terpakai sehingga peneliti hanya melakukan sekali saja proses pengambilan data. Pengambilan data dilakukan di PT. Mondrian, Klaten. Adapun subjek yang digunakan adalah staff dan karyawati pada perusahaan tersebut. Peneliti menitipkan skala sebanyak 75 buah kepada Kepala HRD yang kemudian membantu peneliti menyebarkan skala tersebut kepadastaffdan karyawati yang memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian. Dari 75 skala yang disebar, hanya 68 skala yang kembali ke tangan peneliti, dengan demikian jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 68 orang.

(79)

berdasarkan aspek-aspek Cinderella Complex yang ada pada penelitian Anggryani (2003), sedangkan SkalaAdversity Quotient adalah skala yang disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek Adversity Quotient dari teori Stoltz (2003). Skala Cinderella Complex terdiri atas 50 item pernyataan dan SkalaAdversity Quotientterdiri atas 40 item pernyataan yang direspon subjek penelitian dengan memilih satu dari 4 macam pilihan jawaban, yaitu : SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju).

Setelah data diperoleh, peneliti melakukan seleksi item yang bertujuan untuk menggugurkan item-item yang memiliki daya beda kurang baik (indeks daya beda kurang dari 0,25). Proses seleksi item yang dilakukan menggugurkan dua buah item pada masing-masing skala, baik Skala Cinderella Complex maupun Skala Adversity Quotient. Dengan demikian, ada 48 item valid pada Skala Cinderella Complex dan ada 38 item valid pada SkalaAdversity Quotient. Peneliti melakukan analisis yang berupa uji asumsi dan uji hipotesis berdasarkan data dari 48 item valid Skala Cinderella Complex dan 38 item valid Skala Adversity Quotient

yang telah lulus seleksi item.

I. Analisis Data

(80)

melakukan uji asumsi terlebih dahulu. Analisis data dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut :

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test. Hasil uji normalitas digunakan untuk melihat distribusi variabel terhadap suatu sampel.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas dalam penelitian ini menggunakan Anova. Hasil perhitungan Anova digunakan untuk melihat apakah hubungan antar variabel-variabel penelitian mengikuti fungsi linear atau tidak.

c. Uji Hipotesis

Hasil penelitian akan diuji dengan Korelasi Product Moment-Pearson. Dalam penelitian ini, apabila r yang didapat positif maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan positif antar variabel yang diukur. Hal ini berarti kenaikan nilai pada satu variabel diikuti dengan naiknya nilai pada variabel lain. Demikian juga sebaliknya, jika nilai r yang didapat negatif maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan negatif diantara variabel yang diukur. Hal ini berarti kenaikan nilai pada satu variabel diikuti dengan turunnya nilai pada variabel lain.

(81)
(82)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian yang peneliti lakukan dalam pengambilan data adalah sebagai berikut :

1. Mempersiapkan skala untuk mengukur Cinderella Complex dan

Adversity Quotient pada subjek penelitian dan melakukan

professional judgementkepada dosen Pembimbing Skripsi.

2. Mengurus perijinan kepada PT. Mondrian, Klaten. Dalam mengurus perijinan, peneliti mendapat surat keterangan penelitian dari Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dengan No. : 34a./D/KP/Psi/USD/IV/2010 tertanggal 12 April 2010. Surat keterangan tersebut peneliti serahkan kepada kepala HRD PT. Mondrian beserta skala yang digunakan peneliti untuk melakukan penelitian kepada staff dan karyawati PT. Mondrian.

3. Melakukan penelitian dengan skala yang telah disusun.

B. Orientasi Kancah

PT. Mondrian adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur dan industri garmen. Nama ‘Mondrian’ sebagai nama perusahaan diambil dari nama seorang pelukis besar Eropa yang bernama

(83)

Piet Mondrian. Sebagai seorang pelukis besar dengan pilihan warna dan komposisi yang sangat berkarakter dalam setiap karyanya, Piet Mondrian mempunyai banyak pengagum yang tersebar di seluruh dunia. Spirit inilah yang menginspirasi PT. Mondrian untuk selalu menghadirkan karya produk terbaik dan diterima oleh masyarakat konsumen secara luas.

PT. Mondrian berlokasi di Jln. KH. Hasyim Ashari no. 171, By Pass, Klaten, Jawa Tengah. Setelah lebih dari enam belas tahun berproses dan berkembang, PT. Mondrian berkomitmen untuk terus mengakomodasi kebutuhan sandang masyarakat utamanya yang berbahan kaos (cotton). Untuk mendukung komitmen tersebut, PT. Mondrian saat ini telah memiliki dua merk utama, yaitu Dadung dan Seikido yang mempunyai karakter produk sesuai dengan pasar sasaran masing-masing.

(84)

1. PT. Tiga Serangkai 2. PT. PLN Persero

3. PT. Pos Indonesia, Klaten 4. Ou Tea

5. Sucofindo 6. NPWP 7. Harian Jogja 8. Mister Baso 9. Citra Web 10. KPU 11. Asia Baru 12. Solo Pos

13. Universitas Muria Kudus

C. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 23 April sampai dengan 5 Mei 2010 dan subjek dalam penelitian ini adalah staff dan karyawan PT. Mondrian, Klaten.

Pengambilan data peneliti lakukan dengan menitipkan sejumlah skala kepada divisi HRD PT. Mondrian (yang diterima oleh Kepala HRD). Divisi HRD inilah yang memiliki data karyawan yang bekerja di PT. Mondrian dan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti,

Gambar

Gambar 1. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian
Tabel 1. Blueprint Skala Cinderella Complex
Tabel 2. Blueprint Skala Adversity Quotient
Tabel 3. Distribusi Item Skala Cinderella Complex Setelah
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dinamika fluida terdiri dari tiga dasar yaitu konservasi massa, momentum dan energi. Pembahasan tentang hokum konservasi ketiga hal di atas merupakan dasar persamaan

Studi literatur yang dilakukan menunjukan bahwa gaya kepemimpinan seperti kepemimpinan transformasional, transaksional, kharismatik, otoritas, dan kepemimpinan

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan yang sangat berarti dari berbagai pihak, khususnya Ibu Luna Haningsih, SE, ME, selaku

-2003-2005: Deputi Kepala Bagian Direktorat Riset Ekonomi &amp; Kebijakan -2003-2006: South East Asian Central Bank (SEACEN) Senior Economist -2005-2006: Deputi Kepala Bagian

Halaman nilai matriks ini dapat digunakan untuk melihat secara rinci peringkat alternatif gudang yang sesuai dalam bentuk tabel dan disajikan secara eksplisit dengan

Dalam penelitian ini, akan dikembangkan program aplikasi untuk pembelajaran bahasa isyarat dengan menggunakan sensor Kinect untuk mendeteksi gerakan tangan dan kemudian membandingkan

Sedangkan Lipperman-Kreda &amp; Grube (Chotdijah. 2012) menemukan bahwa perilaku merokok pada remaja sebagian besar merupakan hasil dari proses kognitif bahwa mereka

Menurut Zimmerer (dalam Suryana, 2001), mengemukakan beberapa faktor- faktor yang menyebabkan wirausaha gagal dalam menjalankan usaha barunya yaitu : 1) tidak kompeten dalam