MENGEMBANGKAN SIKAP ILMIAH DAN
MENGKONSTRUKSI PENGETAHUAN TENTANG
ELASTISITAS BAHAN DAN HUKUM HOOKE
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelas Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika
Disusun oleh:
Salvinus Baco
(041424009)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
When I am down and, oh my soul, so weary;
When troubles come and my heart burdened be;
Then, I am still and wait here in the silence,
Until you come and sit awhile with me.
You raise me up, so I can stand on mountains;
You raise me up, to walk on stormy seas;
I am strong, when I am on your shoulders;
You raise me up... To more than I can be.
There is no life - no life without its hungar;
each restless heart beats so imperfectly;
but when you come and i am filled with wonder;
sometimes i think i glimpe eternity
You raise me up, so I can stand on mountains;
You raise me up, to walk on stormy seas;
I am strong, when I am on your shoulders;
You raise me up... To more than I can be.
Motto :
Tetap Percaya Meskipun Tidak Ada Tanda-tanda Datang Padaku Tetap Berdoa Meskipun Segala Sesuatu Tampak Tidak Mungkin Tetap Berharap Sampai Keajaiban Tiba
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
Bp. Karel, Ibu Regina, Kakak Leo & Yuli
Adik Kordi, Damas, Lukas, Anton, Sisi, Rius
Keluarga besar Dangka Rawuk
Problem Solving Untuk Membantu Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan Mengembangkan Sikap Ilmiah Dan Mengkonstruksi Pengetahuan Tentang Elastisitas Bahan Dan Hukum Hooke. Program Studi Pendidikan Fisika. Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui (1) Kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke melalui pembelajaran dengan metode problem solving; (2) Perbandingan kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke antara siswa yang diajar dengan metode problem solving dengan siswa yang diajar dengan metode ceramah; dan (3) Apakah pembelajaran fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke dengan metode problem solving dapat membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri I Kalasan selama bulan Oktober - November 2008. Subyek penelitian siswa-siswi kelas XI IPA 1 yang berjumlah 38 siswa dan kelas XI IPA 3 yang berjumlah 36 siswa. Kelas XI IPA 1 dipilih sebagai kelas kontrol (kelas dengan menggunakan metode ceramah) dan kelas XI IPA 3 dipilih sebagai kelas eksperimen ( kelas dengan menggunakan metode problem solving).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis yang terdiri dari pretest dan posttest, dan kuesioner. Pretest digunakan untuk mengetahui kemampuan/prestasi siswa sebelum melaksanakan pembelajaran. Posttest digunakan untuk mengetahui kemampauan siswa mengkonstruksi pengetahuan setelah melaksanakan pembalajaran. Kuesioner diberikan untuk mengetahui apakah pembelajaran fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke menggunakan metode
problem solving dapat membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah.
Kemampun siswa mengembangkan pengetahuan ditujukan oleh peningkatan prestasi belajar sebelum dan setelah melaksanakan pembelajaran.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Pembelajaran fisika dengan metode
problem solving dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuan fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke. (2) Kemampuan mengembangkan pengetahuan fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke pada siswa yang diajar dengan metode problem solving lebih tinggi dari siswa yang diajar dengan metode ceramah. (3) Pembelajaran fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke dengan metode
problem solving dapat membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah.
Students Developing Scientific Attitudes and Constructing Knowledge About Elasticity and Hooke’s Law in Physics. Physics Education Study Program. Department of Mathematics and Science Education. Faculty of Teachers Training and Education. Sanata Dharma University, Yogyakarta.
The aim of the research was to know (1) students’ ability to construct physics knowledge about elasticity and Hooke’s law using problem solving method; (2) comparison of student’s ability to construct physics knowledge about elasticity and Hooke’s law between students who were taught with problem solving method and students who were taught with lecture method; (3) whether physics instruction using
problem solving method helps students to develop scientific attitudes.
This research was held in SMA Negeri I Kalasan, Sleman, from October to November 2008. The subjects of the research were students of class XI IPA that consisted of 74 students.
The instruments which were used in this research were written test that contained of pretest and posttest, and questionnaire. The pretest explored students’ ability before instruction. The posttest explored students’ ability to construct knowledge after instruction. The questionnaire explored whether problem solving
method helped student to develop scientific attitude in physics instruction
This research indicated that: (1) Problem solving method can help students to develop physics knowledge about elasticity and Hooke’s law. (2) Students’ who were taught with problem solving method get higher ability to construct knowledge than students who were taught with lectural method. (3) Problem solving method can help students to develop scientific attitude.
semesta karena atas segala cinta dan bimbingan-Nya sehingga skripsi yang berjudul
PENERAPAN PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN METODE PROBLEM
SOLVING UNTUK MEMBANTU SISWA MENGEMBANGKAN SIKAP ILMIAH
DAN MENGKONSTRUKSI PENGETAHUAN TENTANG ELASTISITAS
BAHAN DAN HUKUM HOOKE
ini dapat terselesaikan.
Adapun maksud dari penyusunan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana pendidikan di FPMIPA Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, dukungan, saran
dan gagasan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Romo Dr. Paulus Suparno, S.J., M.S.T. selaku dosen pembimbing
yang telah banyak menyediakan waktu untuk membimbing dengan
penuh kesabaran.
2. Bp. Drs. Fr. Y. Kartika budi., M.Pd. selaku dosen pembimbing
akademik, Bp. Domi S, M.Si. selaku Kaprodi Pendidikan Fisika, Ibu
Maslichah Asy,ari, M.Pd, Bp. A. Atmadi, M.Si., Bp. T. Sarkim, Ph.D.
dan Bp. R. Rohandi, M.Ed. selaku dosen pendidikan Fisika USD yang
telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama
melaksanakan pendidikan di Universitas Sanata Dharma ini.
3. Bapak Edy Sumarna., S.Pd. selaku guru mata pelajaran fisika kelas XI
IPA dan siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 SMA Negeri I Kalasan,
Sleman, terimakasih untuk semua bantuan dan kerjasamanya.
pendidikan.
5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, terimakasih atas
ketersediaan buku referensi dan internet gratis. Be Always Provide
Information To Produce Knowledge. “Perpus USD“ Numero Uno!!
6. Ema Karolus, Ende Regina, Kraengtua Leonardus, dan Kak Yuli,
terimakasih untuk segala kasih sayang, doa, pengorbanan,
kepercayaan, kesabaran dan motivasinya sehingga saya dapat
menyelesaikan studi ini dan menjadi seperti sekarang ini.
7. Adik Kordianus, Damasus, Lukas, Antonius, Sisilia, dan Marius,
terimakasih atas kepercayaan, pengertian dan kesempatan yang telah
diberikan kepada saya.
8. Keluarga Besar Dangka-Rawuk di Kolong, Rewas, Lumut, dan Siri
Mese, yang telah mendukung saya dalam doa.
9. Kakek Thomas Ringet (alm), Nenek Chaterine Tuet, Om Marsel, Tante
Adel, Mama Sophia, Mama Yohana, dan Keluarga Besar Gonggong,
atas doa dan motivasinya.
10.Carles TI.05, atas kebaikan dan persahabatan yang telah kita bangun
selama ini. The Lord Trust You to Live Your Life.
11.Pa Ery, Sanchez, Pa Iyon, Uwil, Ita, Ucok, Fredy, Fitri, Wi2, Siska,
Heru, Budi, Pet2, Yoseph dan semua teman P. Fis 04 USD atas cinta
dan kebencian, kebaikan dan kejahatan, persatuan dan perpecahan, dan
suka dan duka yang telah kita alami bersama selama ini.
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Batasan Penelitian... 4
E. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran... 6
1. Hakikat Belajar ... 6
C. Metode Pembelajaran Problem Solving... 12
1. Pengertian ... 12
2. Metode Pembelajaran... 13
D. Sikap Ilmiah ... 18
E. Ringkasan Materi Elstisitas Bahan dan Hukum Hooke ... 21
F. Kaitan Antara Dasar Teori dengan Penelitian ... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 31
B. Waktu dan Tempat penelitian ... 31
C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 31
D. Rancangan Penelitian ... 32
E. Treatment ... 33
F. Instrumen Penelitian ... 35
1. Pretest / posttest ... 35
2. Kuesioner Sikap Ilmiah ... .39
G. Validitas ... 40
H. Analisis Data ... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Penelitian ... 48
B. Hasil dan Analisis Data ... 50
C. Pembahasan... 63
D. Kesimpulan Secara umum ... 66
E. Keterbatasan Penelitian ... 68
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
LAMPIRAN ... 73
Table 1: Kisi-kisi pretest dan posttest... 36
Table 2: Contoh kuesioioner sikap ilmiah siswa ... 39
Table 3: Kriteria sikap ilmiah siswa ... 45
Tabel 4: klasifikasi sikap ilmiah versus persentase pada kelas problem solving.. 46
Tabel 5: Tabel Skor Pretest kelas XI IPA 1, XI IPA 2, dan kelas XI IPA 3 ... 51
Tabel 6: Tabel skor pretest dan posttest kelas kontrol... 54
Tabel 7: Tabel Skor Pretest Dan Posttest Kelas Eksperimen... 56
Tabel 8: Tabel Skor Posttest kelas Kontrol dan Eksperimen ... 58
Tabel 9: Tabel Rangkuman Analisis Skor Kuesioner Sikap Ilmiah Siswa... 61
Tabel 10: Tabel Jumlah Dan Persentase Siswa Berdasarkan Klasifikasi Sikap ... 62
Halaman
Lampiran 1: Surat penelitian dari JP MIPA USD untuk SMA Negeri I Kalasan... 74
Lampiran 2: Surat izin penelitian dari kepala BAPPEDA Kab. Sleman ... 75
Lampiran 3: Surat Keterangan dari Kepala sekolah SMA Negeri I Kalasan ... 76
Lampiran 4: Pretest / posttest... 77
Lampiran 5: Lembar Soal dan Jawaban... 78
Lampiran 6: Format Penyelesaian soal menggunakan metode problem solving... 81
Lampiran 7: Kunci Jawaban Soal Pretest dan Posttest ... 83
Lampiran 8: Data Kasar Pretest dan posttest kelas XI IPA 1, XI IPA 2, XI IPA 3 . 86 Lampiran 9: Kuesioner ... 92
Lampiran 10: Data Kasar Skor Sikap Ilmiah... 95
Lampiran 11: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran... 98
Lampiran 12: Langkah-langkah pengolahan data dengan SPSS ...108
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup
dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat
daripada solusi dari masalah tersebut. Ketidakpastian dan ambiguitas dari
perubahan dunia dapat dihadapi secara terbuka. Dalam dunia ini para individu
harus memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara
berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang
secara terus menerus berubah (Gasong dalam http://www.gerejatoraja.com).
Kegiatan belajar di kelas pada hakikatnya lebih dari sekedar menghafal
pengetahuan. Siswa yang ingin memahami dan menerapkan pengetahuan,
harus berusaha untuk menemukan sesuatu, memecahkan masalah-masalah,
dan bertarung dengan gagasan-gagasan yang ada dalam pengetahuan yang
ingin mereka pahami dan terapkan tersebut. Salah satu prinsip paling penting
dalam psikologi pengajaran, yaitu para pendidik tidak boleh sama sekali
mentransfer pengetahuan mereka kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi
pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Guru hanya boleh memfasilitasi
dan memediasi proses pengkonstruksian ini dengan mengajarkan cara
mengolah informasi-informasi agar berguna dan relevan bagi siswa, dengan
memberi siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan
menuntun siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dan siswa sendirilah yang
harus mendaki tangga-tangga tersebut (Slavin, 2003: 527).
Menurut filsafat konstruktivisme, pengetahuan adalah bentukan dari
siswa yang sedang belajar. Maka siswa tidak akan mampu membangun
pengetahuannya bila mereka sendiri tidak aktif dalam mengkonstruksi
pengetahuan itu selama mereka belajar. Merekalah yang harus aktif belajar,
menekuni, mencerna bahan, menggeluti serta merumuskan bahan itu
(Suparno, 2000: 13). Dalam konteks pembelajaran konstruktivistik, peran guru
bukan sebagai pentransfer pengetahuan yang memindahkan pengetahuan
mereka kepada siswa, tetapi lebih sebagai fasilatator dan moderator agar
pengkonstruksian itu berjalan lancar dan cepat (Suparno, 1997: 65).
Menurut hakikat fisika (Kartika Budi, 2001: 46), tujuan pembelajaran
fisika di sekolah menengah memiliki tiga aspek, yaitu membangun
pengetahuan, proses, dan sikap. Kegiatan pembelajaran fisika harus memberi
peluang kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan melakukan proses
sains dan sikap sains. Pengetahuannya yang berupa konsep-konsep atau
hukum-hukum, harus diperoleh atau dibangun melalui serangkaian proses
sains tersebut. Kemampuan dan keterampilan melakukan proses dan sikap
hanya dapat dibangun melalui pengalaman melakukan serangkaian proses
yang berkesinambungan.
Dari uraian di atas, tampak bahwa peran guru dalam proses
pembelajaran fisika dibatasi hanya sebagai fasilitator dan mediator. Guru
dan media yang membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah dalam proses
mengkonstruksi pengetahuan. Di lain pihak siswa tidak dapat dikatakan
telah berhasil mempelajari fisika tanpa mempunyai kemampuan mengolah
informasi-informasi yang ada untuk meng-konstruksi pengetahuan dan
memecahkan masalah-masalah fisika. Siswa sendirilah yang menjadikan
dirinya sebagai pelajar yang mandiri, sebagai problem solver bahkan sebagai
problem finder.
Untuk itu pemilihan metode pembelajaran fisika yang cocok perlu
diperhatikan oleh para pendidik agar sasaran dan tujuan yang ingin dicapai
dapat terealisasi. Maka dalam penelitian ini, pembelajaran fisika dengan
metode problem solving dipilih sebagai pendekatan untuk menjadikan siswa
pelajar yang konstruktivis dalam memahami fisika.
Metode problem solving melatih dan menuntun siswa untuk mendesain
suatu penemuan, berpikir dan bertindak kreatif, memecahkan masalah yang
dihadapi secara realistis, mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan,
menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di
atas, masalah-masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
1. Apakah pembelajaran fisika dengan metode problem solving dapat
membantu siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan mengkonstruksi
2. Bagaimanakah perbandingan mengkonstruksi pengetahuan siswa kelas XI
IPA SMA Negeri I Kalasan antara siswa yang diajar dengan metode
problem solving dengan siswa yang diajar dengan metode ceramah pada
pokok bahasan elastisitas dan hukum Hooke ?
3. Apakah pembelajaran fisika dengan metode problem solving dapat
membantu siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan mengembangkan
sikap ilmiah?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah pembelajaran fisika dengan metode problem
solving dapat membantu siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan
mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas dan hukum Hooke.
2. Untuk mengetahui perbandingan kemampuan mengkonstruksi
pengetahuan siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan antara yang diajar
dengan metode problem solving dan siswa yang diajar dengan metode
ceramah pada pokok bahasan elastisitas bahan dan hukum Hooke.
3. Untuk mengetahui apakah pembelajaran fisika dengan metode problem
solving dapat membantu siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan
mengembangkan sikap ilmiah.
D. Batasan Penelitian
Metode problem solving mencakup metode pemecahan masalah secara
memiliki langkah-langkah penuntun dan melibatkan persamaan matematis dan
angka-angka dari besaran tertentu untuk memecahkan sebuah persoalan.
Sedangkan metode pemecahan masalah secara kualitatif dapat juga memiliki
langkah-langkah penuntun dan persamaan matematis tetapi tidak dengan
angka-angka. Metode pemecahan secara kualitatif lebih menekankan pada
pencarian makna, penalaran, dan definisi dari persoalan yang akan
dipecahkan. Pada penelitian ini metode problem solving yang digunakan
adalah yang kuantitatif.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat antara lain:
1. Bagi guru dan calon guru fisika
Memperoleh gambaran tentang pembelajaran fisika dengan metode
problem solving, yang diharapkan dapat menjadi metode alternatif
dalam mengefektifkan dan tujuan pembelajaran fisika.
2. Bagi siswa
Dengan mengikuti Pembelajaran dengan metode problem solving para
siswa mendapatkan pengalaman baru dalam proses belajar mengajar di
kelas sehingga diharapkan siswa lebih mudah dalam memahami
konsep yang dipelajari.
3. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran
1. Hakikat Belajar
Belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari
luar. Apa yang sedang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar,
tidak dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu.
Bahkan, hasil belajar orang itu tidak langsung kelihatan, tanpa orang itu
melakukan sesuatu yang menampakan kemampuan yang telah diperoleh
melalui belajar. Maka, berdasarkan perilaku yang disaksikan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa seseorang telah belajar suatu pemahaman,
keterampilan, dan nilai-sikap. Belajar terjadi dalam interaksi dengan
lingkungan, dalam bergaul dengan dengan orang lain, dalam memegang
benda dan dalam menghadapi peristiwa manusia belajar. Namun, tidak
sembarang berada ditengah-tengah lingkungan, menjamin adanya proses
belajar. Orangnya harus aktif sendiri, melibatkan diri dengan segala
pemikiran, kemauan dan perasaannya (Winkel, 2004: 58-59).
Secara singkat, Winkel mendefinisikan pengertian belajar sebagai
“suatu kegiatan mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
dengan orang lain dan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah
perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap.
Menurut Gage dalam Dahar (1988: 11), belajar didefinsikan sebagai
suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat
dari pengalaman. Dari definisi ini, bukti bahwa seseorang atau siswa telah
belajar ialah adanya perubahan tingkah laku pada orang atau siswa
tersebut, misalnya dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak
terampil menjadi terampil.
Menurut kaum konstruktivis (Suparno, 1997: 61), belajar merupakan
proses aktif pelajar mengkonstruksi arti, mengasimilasi dan
menghubungkan pengalam-an atau bahan yang dipelajari dengan
pengertian yang dipunyai seseorang sehingga pengertiannya
dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut.
¾ Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari
apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami.
¾ Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali
berhadapan dengan fenomen atau persoalan baru, diadakan
rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
¾ Belajar bukan merupakan kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan
lebih suatu perkembangan pemikiran dengan membuat pengertian
yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan
perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996).
¾ Proses belajar sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam
ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk
memacu belajar.
¾ Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik
dan lingkungannya (Bettencourt, 1989).
¾ Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si
pelajar: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi
interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Belajar lebih diarahkan pada experiental learning yaitu merupakan
adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium,
diskusi dengan teman sejawat, yang dikontemplasikan dan dijadikan ide
dan pengembangan kon-sep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan
mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Belajar seperti ini selain berkenaan dengan hasilnya (outcome) juga
memperhatikan prosesnya dalam konteks tertentu. Penge-tahuan yang
ditransformasikan diciptakan dan dirumuskan kembali (created and
recreated), bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Bentuknya bisa objektif
maupun subjektif, berorientasi pada penggunaan fungsi konvergen dan
divergen otak manusia (Wilantara dalam
http://www.damandiri.or.id/file/iputuekaikipsingbab2.pdf).
2. Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran menekankan pada kegiatan atau atau keaktifan siswa,
bukan kegiatan guru. Ukuran dari kualitas pembelajaran tidak terletak
siswa, dalam arti seberapa banyak dan seberapa sering siswa terlibat secara
aktif. Peran guru yang pokok dalam pembelajaran adalah menciptakan
situasi, menyediakan kemudahan, merancang kegiatan, dan membimbing
siswa agar mereka terlibat dalam proses belajar secara berkesinambungan
(Brooks dalam Kartika Budi, 2001: 47).
Pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme (Wilantara dalam
http://www.damandiri.or.id/file/iputuekaikipsingbab2.pdf), merupakan
sebuah kegiatan yang menekankan pada kualitas dan keakifan siswa dalam
mempresentasikan dan membangun pengetahuannya. Setiap organisme
menyusun pengalamannya dengan jalan menciptakan struktur mental dan
menerapkannya dalam pembelajaran. Suatu proses aktif dalam mana suatu
organisme atau individu berinterkasi dengan lingkungannya dan
mentransformasinya ke dalam pikirannya dengan bantuan struktur kognitif
yang telah ada dalam pikirannya (Cobb, 1994: 15). Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan berkaitan dengan kegiatan pembelajaran menurut kaum
konstuktivis, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata
dalam konteks yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan
pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, (4) pembelajaran
dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Honebein, 1965: 5).
B. Pembentukan Pengetahuan
Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam
peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang
disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus
tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di
laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing,
monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor
hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk
bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon
tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia
baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua
struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian,
menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi
antara stimulus dan respon (Zainurie dalam
http://zainurie.wordpress.com/2007/10/26).
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13)
mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini
mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu
apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu
akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin
sering suatu pengetahuan –yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi
antara stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan
semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang
terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka
yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia
mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat
(Zainurie dalam http://zainurie.wordpress.com).
Menurut Von Glaserfeld, pengetahuan itu dibentuk oleh struktur
konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya.
Lingkungan dapat berarti dua macam. Pertama, bila kita berbicara tentang diri
kita sendiri, lingkung-an menunjuk pada keseluruhan objek dan semua
relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman. Kedua, bila kita
memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk pada
sekeliling hal itu yang telah kita isolasikan. Dalam hal ini, baik hal itu maupun
sekililingnya merupakan lingkungan pengalaman kita sendiri, bukan dunia
objektif yang lepas dari pengamat (Suparno, 1997:19). Struktur konsepsi
tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam
menghadapai pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menghadapi
persoalan-persoalan mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut (von
Glaserfeld dalam Matthews dalam Suparno,1997:19). Bila konsep ataupun
abstraksi seseorang dapat menjelaskan macam-macam persoalan yang
berkaitan, maka konsep tersebut membentuk pengetahuan seseorang akan hal
itu (Suparno, 1997:19).
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan
untuk proses pembentukan pengetahuan, seperti (1) kemampuan mengingat
dan meng-ungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan
untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain.
Kemam-puan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat
penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan
pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk
dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman
khusus lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat
klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih
menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai
dari pengetahuan yang kita konstruksikan (Suparno dalam
http://www.kompas.com/9611/19/OPINI/kons.htm).
C. Metode Pembelajaran Problem Solving
1. Pengertian
Problem solving adalah model pembelajaran dengan pemecahan
persoalan. Biasanya guru memberi persoalan yang sesuai dengan topik yang
mau diajarkan dan siswa diminta untuk memecahkan persoalan itu. Ini dapat
dilakukan baik dalam kelompok maupun pribadi. Guru sebaiknya minta
bagaimana siswa memecahkan persoalan bukan hanya melihat hasil akhirnya
(Suparno, 2007: 98).
Metode problem solving merupakan suatu cara mengajar yang
merangsang seseorang untuk menganalisa dan melakukan sintesa dalam
Metode ini digunakan untuk membimbing siswa, agar mereka trampil dalam
melihat sebuah akibat, mengobservasi problem, mencari hubungan antara
beberapa data yang terkumpul kemudian menarik kesimpulan yang merupakan
hasil pemecahan masalah (Djaja Disastra, 1982:19).
2. Metode Pembelajaran
Huffman membagi metode pembelajaran dengan metode problem
solving menjadi dua jenis, yaitu “ Textbook Problem Solving Strategy” dan
“ Explicit Problem solving Strategy”. Gambaran dari kedua metode ini
akan dijelaskan berikut ini
1. Textbook Problem solving strategy
Textbook problem solving secara umum memiliki 5 tahap dalam
pemecahan suatu masalah, yaitu a). Menggambar sketsa/bagan; b).
Menetapkan variabel yang diketahui dan yang tidak diketehui; c).
Memilih rumus/persamaan; d). Menyelesaikan persamaan; dan e).
Memeriksa kembali jawaban.
Menurut metode problem solving textbook ini, langkah pertama
dalam memecahkan masalah fisika adalah menggambarkan sketsa
situasi permasalahan. Sketsa ini biasanya meliputi lukisan sederhana
dari semua objek yang terkait dan interaksi antar objek-objek tersebut.
Langkah kedua adalah menetapkan variabel-variabel yang diketahui
dan yang tidak diketahui dalam masalah tersebut. Langkah ketiga
rumit biasanya terdiri dari sub-sub persamaan. Gabungan dari sub-sub
persamaan ini merupakan persamaan akhir untuk menentukan
kuantitas dari variabel sasaran. Langkah keempat adalah
menyelesaikan persamaan/rumus dengan mensubstitusi-kan nilai-nilai
yang ketahui dalam masalah tersebut kedalam hubungan matematis
dan menyelesaikan untuk besaran yang tidak diketahui. Langkah yang
terakhir adalah memeriksa jawaban; ini biasanya dilakukan dengan
mensubstitusikan hasil kedalam rumus/persamaan yang tidak sama
tetapi masih berkaitan untuk mem-buktikan ketepatan jawaban tersebut
( Huffman, 1997: 555).
2. Explicit Problem Solving strategy
Dalam explicit problem solving strategy siswa diajar bagaimana
memecahkan masalah-masalah fisika menggunakan metode
pemecahan masalah secara jelas, tegas dan eksplisit (Heller dkk dalam
Huffman, 1997: 555). Secara umum langkah-langkah pemecahan
masalah dalam explicit problem solving adalah sebagai berikut
a). Fokus pada masalah. Ini dilakukan dengan menerjemahkan
kata-kata yang tertulis kedalam sebuah lukisan visual dari situasi yang
terdapat masalah tersebut. Gambaran tersebut meliputi sketsa
situasi permasalahan, informasi yang diketahui, pertanyaan
sederhana tentang apa yang ingin dicari, dan pendekatan umum
b). Mendeskribsikan fisika. Pada langkah ini, sketsa dari langkah
pertama diterjemahkan kedalam lukisan fisis yang sederhana.
Langkah ini memiliki tiga bagian, yaitu: (1)sebuah diagram fisis,
(2) penetapan variabel-variabel termasuk variabel sasaran yang
ingin dicari, dan (3) pemilihan hubungan kuantitatif atau hubungan
matematis atau prinsip-prinsip fisika yang dapat digunakan dalam
pemecahan masalah tersebut.
c). Merencanakan sebuah cara pemecahan masalah. Pada langkah ini,
gambaran fisis diterjemahkan kedalam rumus matematis tertentu
yang digunakan untuk memecahkan masalah. Langkah ini
memiliki tiga bagian, yaitu: (1) mengkonstruksi rumus yang
khusus. Pengkonstruksian rumus yang khusus ini dimulai dengan
sebuah rumus yang berisi variabel sasaran, dan meliputi gabungan
deretan rumus-rumus dimana variabel-variabel yang tidak
diketahui dihubungkan dengan variabel-variabel yang diketahui,
(2) memeriksa kelayakan. Pemeriksaan kelayakan meliputi
perbandingan sejumlah rumus dengan sejumlah variabel yang tidak
diketahui; dan (3) mensketsa cara pemecahan matematis. Cara
pemecahan matematis diuraikan untuk menye-diakan jembatan
menuju pelaksanaan yang benar-benar matematis.
d). Melakukan apa yang telah direncanakan. Pada langkah ini,
rumus-rumus digabungkan secara aljabar menurut perencanaan, untuk
tidak diketahui. Satuan-satuan dari setiap besaran dalam dalam
rumus ini diperiksa untuk meyakinkan kebenarannya, dan diubah
bila diperlukan. Yang terakhir, kuantitas yang diketahui dimasukan
kedalam rumus untuk menghitung nilai dari variabel sasaran.
e). Mengevaluasi/menguji jawaban. Pada langkah ini, jawaban
diperiksa untuk meyakinkan bahwa pernyataannya cocok,
beralasan dan sempurna.
Walaupun metode eksplisit tampak agak sama dengan metode
textbook, akan tetapi metode eksplisit meyediakan banyak rangkaian
pembelajaran yang lebih detail bagi siswa untuk berpartisipasi,
termasuk langkah-langkah penghu-bung yang membantu siswa
bergerak dari satu langkah ke langkah berikutnya (Huffman, 1997:
555).
Sedangkan menurut Polya (1973: 5), empat fase penting yang harus
ditempuh dalam menyelesaikan masalah adalah
a). Memahami masalah. Maksudnya kita harus memahami dan mampu
mengidentifikasi data yang telah ada, hal apa saja yang ditanyakan,
dicari ataupun dibuktikan.
b). Memilih pendekatan atau metode pendekatan; Maksudnya mampu
memilih konsep yang relevan untuk membentuk model atau
c). Menyelesaikan model; Maksudnya melakukan operasi hitung
secara benar dalam menerapkan metode, untuk mendapatkan
solusi dari masalah.
d). Menafsirkan solusi; Maksudnya memperkirakan dan memeriksa
kebenaran jawaban, apakah jawaban sudah masuk akal dan
memberikan pemecahan terhadap masalah semula.
Problem atau masalah yang dihadapkan kepada siswa hendaknya
mengandung kesulitan baik itu yang bersifat psikis maupun yang bersifat
fisis. Maksudnya persolan itu memerlukan otak atau otot untuk dapat
memecahkanya.
Masalah yang baik yang mau dihadapkan kepada siswa hendaknya:
1). Jelas dan mudah dipahami maksud soal
2). Sesuai dengan kemampuan anak, dalam arti permasalahan yang ada
tidak terlalu sukar buat siswa, tetapi membutuhkan pemikiran yang
dalam.
3). Menarik minat siswa
4). Sesuai dengan pelajaran anak diwaktu lalu, sekarang (kontekstual)
maupun dimasa yang akan datang.
5). Praktis, dalam arti mungkin dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan utama digunakan metode ini adalah, untuk memberi
kemampuan dan kecakapan praktis kepada siswa sehingga tidak takut
optimisme yang tinggi. Setiap metode pembelajaran pasti mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kelebihan dari metode problem solving adalah:
1. melatih siswa berpikir secara sistematis, mencari sebab akibat.
2. melatih siswa agar trampil dalam mencari jalan keluar dari
permasalahan yang dihadapi.
3. melatih siswa agar terampil dalam menganalisa suatu masalah dari
berbagai aspek.
4. mendidik siswa untuk bertanggung jawab terhadap yang telah
ditetapkan dalam memecahkan masalah.
5. mendidik siswa untuk besikap terbuka terhadap pendapat orang lain
dan membuat pertimbangan untuk memilih suatu perimbangan.
Sedangkan kelemahan metode problem solving adalah:
1. memerlukan waktu yang cukup banyak, jika diharapkan suatu hasil
keputusan yang tepat.
2. Tidak dapat digunakan pada kelas-kelas rendah, karena memerlukan
kecakapan bersoal jawab dan memikirkan sebab akibat.
3. menyebabkan pelajaran tertinggal, sebab satu dua masalah yang
D. Sikap Ilmiah
Semua tulisan tentang sikap ilmiah berikut diambil dari tulisan Bahrul Ulum di
dalam http://blogbahrul.wordpress.com/2007/11/28/sikap-ilmiah/
Baharudin (1984: 34) mengemukakan bahwa sikap ilmiah pada dasarnya
adalah sikap yang diperlihatkan oleh para ilmuwan saat mereka melakukan
kegitan sebagai ilmuwan. Dengan perkataan lain sikap ilmiah adalah
kecendrungan individu untuk bertindak atau berperilaku dalam memecahkan
suatu masalah secara sistematis melalui langkah-langkah ilmiah
Beberapa langkah ilmiah yang biasa dilakukan oleh para ahli dalam
menyelesaikan masalah berdasarkan metode ilmiah menurut Brotowidjoyo
(1985: 31-34), antara lain:
a. Sikap ingin tahu: apabila menghadapi suatu masalah yang baru
dikenalnya, maka ia berusaha mengetahuinya; senang mengajukan
pertanyaan tentang obyek dan peristiwa; kebiasaan menggunakan alat
indra sebanyak mungkin untuk menyelidiki suatu masalah.
b. Sikap kritis: tidak langsung begitu saja menerima kesimpulan tanpa ada
bukti yang kuat, kebiasaan menggunakan bukti-bukti pada waktu menarik
kesimpulan; bersedia berubah pendapatnya berdasarkan bukti-bukti yang
kuat.
c. Sikap obyektif: melihat sesuatu sebagaimana adanya obyek itu,
menjauhkan bias pribadi dan tidak dikuasi oleh pikirannya sendiri. Dengan
kata lain mereka dapat mengatakan secara jujur dan menjauhkan
d. Sikap ingin menemukan: selalu memberikan saran-saran untuk
mene-mukan eksperimen baru, kebiasaan menggunakan eksperimen-eksperimen
dengan cara yang baik dan konstruktif, selalu memberikan konsultasi yang
baru dari pengamatan yang dilakukannya.
e. Sikap menghargai karya orang lain: tidak akan mengakui dan memandang
karya orang lain sebagai karyanya, menerima kebenaran ilmiah walaupun
ditemuakn oleh orang atau bangsa lain.
f. Sikap tekun: tidak bosan mengadakan penyelidikan, bersedia mengulangi
elsperimen yang hasilnya meragukan, tidak akan berhenti melakukan
kegiatan-kegiatan apabila belum selesai, berusaha bekerja dengan teliti
terhadap hal yang ingin diketahuinya.
g. Sikap terbuka: bersedia mendengarkan argumen orang lain sekalipun
berbeda dengan apa yang diketahuinya, terbuka menerima kritikan dan
respon negatif terhadap pendapatnya.
h. Sikap mau bekerja sama dengan orang lain dalam memecahkan masalah.
Lebih rinci Diederich mengidentifikasikan 20 komponen sikap ilmiah
sebagai berikut: selalu meragukan sesuatu, percaya akan kemungkinan
penyelesaian masalah, selalu menginginkan adanya verifikasi eksperimental,
tekun, suka pada sesuatu yang baru, mudah mengubah pendapat atau opini,
loyal terhadap kebenaran, objektif, enggan mempercayai tahyul, menyukai
penjelasan ilmiah, selalu berusaha melengkapi pengetahuan yang dimilikinya,
tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, dapat membedakan antar hipotesis
menghargai struktur teoritis, menghargai kuatifikasi, dapat menerima
pengertian keboleh-jadian, dan dapat menerima pengertian generalisasi.
F. Ringkasan Materi Elastisitas Bahan dan Hukum Hooke
Semua tulisan tentang materi Elastisitas bahan dan hukum Hooke berikut diambil
dari buku Fisika SMA Kekas XI (KTSP 2006) karangan Marten Kanginan.
1. Elastisitas Bahan
a. Tegangan, Regangan, dan Modulus Elastisitas
1) Tegangan
Bila seutas kawat dengan luas penampang A mengalami suatu
gaya tarik F pada ujung-ujungnya, mengakibatkan kawat mengalami
tegangan tarik σ. Tegangan tarik σ didefinisikan sebagai hasil bagi antara gaya tarik F yang dialami kawat dengan luas penampangnya
(A). Secara matematis dapat ditulis sebagai berkut
A
Gaya tarik yang dikerjakan pada batang berusaha meregangkan
kawat hingga panjang kawat semula L bertambah sebesar ΔL. Regangan (tarik) е didefinisikan sebagai hasil bagi antara pertambahan panjang ΔL dengan panjang awal L. Secara matematis
dapat ditulis sebagai berikut
3) Modulus Elastis
Modulus elastis (juga disebut modulus Young) suatu bahan
didefinisikan sebagai perbandingan antara tegangan dan regangan
yang dialami bahan. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut
e E atau regangan tegangan elastis
Modulus = =σ
b. Tetapan gaya benda elastis
Jika substitusikan tegangan σ = F/A dan regangan е = ΔL/L
kedalam persamaan modulus elastisitas, diperoleh hubungan antara gaya
tarik F dan modulus elastis E.
Jadi:
dengan k adalah tetapan gaya sebagai pengganti dari
. Dengan demikian adalah tetapan gaya untuk benda elastis.
2. Hukum Hooke
Jika gaya tarik tidak melampaui batas elastis pegas, maka pertambahan panjang pegas sebanding dengan gaya tariknya.
Pernyataan ini pertama kali dikemukakan oleh Robert Hooke. Oleh karena
itu pernyataan diatas dikenal sebagai hukum Hooke. Secara matematis
hukum Hooke tersebut dapat ditulis sebagai berikut
F = kΔx
dengan
a. Hukum Hooke untuk susunan pegas
Beberapa buah pegas dapat disusun secara seri, secara paralel, atau
gabungan keduanya. Susunan masing-masing pegas ini dapat diganti
dengan sebuah pegas pengganti.
1) Susunan Seri Pegas
Gambar. 1 Pegas yang disusun Seri
Prinsip susunan seri beberapa buah pegas adalah sebagai berikut
1) Gaya tarik yang dialami tiap pegas sama besar dan gaya tarik ini
sama dengan gaya tarik yang dialami pegas pengganti.
Misalkan gaya tarik yang dialami tiap pegas adalah F1 dan F2, maka
gaya tarik pada pegas pengganti adalah F.
... ...(1)
2) Pertambahan panjang pegas pengganti seri Δx, sama dengan total
pertambahan panjang tiap-tiap pegas
...(2)
Dengan menggunakan hukum Hooke dan kedua prinsip susunan
seri, dapat ditentukan hubungan antara tetapan pegas pengganti seri ks Δx = Δx1 + Δx2
dengan tetapan tiap-tiap pegas (k1 dan k2). Langkahnya adalah sebagai
Dapatlah dinyatakan bahwa kebalikan tetapan pegas pengganti seri
sama dengan total dari kebalikan tiap-tiap tetapan pegas.
....
Untuk n buah pegas identik dengan tiap pegas memiliki tetapan k,
tetapan pegas pengganti seri ks dapat dihitung dengan rumus
n k
ks= ...(4)
2) Susunan Paralel Pegas
Prinsip susunan paralel beberapa buah pegas adalah sebagai
berikut
1) Gaya tarik pada pegas pengganti F sama dengan total gaya
tarik pada tiap pegas (F1 dan F2)
F = F1 + F2 ……….(5)
2) Pertambahan panjang tiap pegas sama besar, dan
pertambahan panjang ini sama dengan pertambahan
panjang pegas pengganti.
Δx1 = Δx2 = Δx ...(6)
Dengan menggunakan hukum Hooke dan kedua prinsip susunan
paralel, dapat ditentukan hubungan antara tetapan pegas
pengganti paralel kp dengan tetapan tiap-tiap pegas (k1 dan k2).
Langkahnya adalah sebagai berikut
x
persamaan (5) diperoleh
)
Dapatlah dinyatakan bahwa tetapan pegas pengganti paralel sama
dengan total dari tetapan tiap-tiap pegas yang disusun paralel.
Untuk n buah pegas identik yang disusun paralel, dengan tiap
pegas memiliki tetapan gaya k, tetapan gaya pegas pengganti
paralel kp dapat dihitung dengan rumus kp = nk
3)Susunan Seri Paralel Pegas
Untuk mencari tetapan pegas pengganti dari beberapa buah
pegas yang disusun secara seri paralel, prinsipnya sama dengan
prinsip-prinsip pada poin a dan poin b diatas.
Gambar 3 Pegas-pegas yang disusun secara seri paralel dan pegas penggantinya.
Dari gambar diatas pegas yang disusun secara paralel yaitu
pegas yang memiliki konstanta k1 dan k2 terlebih dahulu dicari
konstanta pegas pengganti paralel kp, kp = k1 + k2. Sekarang
pegas dengan konstanta kp dan k3 tersusun secara seri, maka
langkah selanjutnya mencari konstanta pegas pengganti seri ks,
Jadi pegas yang tersusun seperti gambar 3 diatas dapat
b. Usaha oleh Gaya Pegas
Untuk simpangan x diukur dari posisi keseimbangan (posisi x =
0), gaya pegas dapat dinyatakan sebagai Fp = kx. Usaha yang
dilakukan oleh gaya pegas, Fp, ketika pegas berpindah dari posisi (1)
dengan simpangan x1 ke posisi (2) dengan simpangan x2 adalah W1,2 =
-FpΔx = -kx Δx. Tanda minus menunjukan gaya Fp berlawanan dengan arah perpindahan.
Dengan menggunakan integral,maka
W1,2 =
Usaha oleh gaya pegas Wpegas = -
c. Energi potensial elastis pegas
Dari persamaan usaha oleh gaya pegas diatas diperoleh bahwa
usaha yang dilakukan oleh gaya pegas untuk benda yang berpindah
dari posisi x1 ke posisi x2 adalah: W1,2 = - . Gaya pegas
termasuk gaya konservatif sehingga usaha yang dilakukan memenuhi
persamaan Wkons = -ΔEP = - (EP2 – EP1). Jika kedua pesamaan usaha itu disamakan, diperoleh:
(EP2 – EP1)
EP2 dan EP1 sehingga secara
umum EP =
F. Kaitan Antara Teori dan Penelitian.
Untuk membantu siswa membentuk atau mengkonstruksi pengetahuan,
maka perlu digali cara pembelajaran yang dapat membuat siswa terlibat secara
aktif dalam kegiatan belajar. Belajar berarti proses aktif siswa membentuk
makna, mengembangkan pengetahuan, dan berinteraksi dengan lingkungan
yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan, pemahaman,
keterampilan dan nilai-sikap. Sementara itu, pembelajaran menekankan pada
kegiatan atau atau keaktifan siswa, bukan kegiatan guru. Ukuran dari kualitas
pembelajaran tidak terletak pada baiknya guru menerangkan, tetapi pada
kualitas dan kuantitas belajar siswa, dalam arti seberapa banyak dan seberapa
sering siswa terlibat secara aktif. Berdasarkan uraian dan deskripsi teoritis di
atas , penelitian ini akan menampilkan model pembelajaran dengan metode
problem solving untuk membantu siswa membentuk pengetahuan dan sikap
ilmiah pada pokok bahasan elastisitas bahan dan hukum Hooke. Dalam
penelitian ini siswa dikatakan berhasil mengkonstruksi atau mengembangkan
pengetahuan bila ada peningkatan dalam prestasi belajar, yaitu bila ada
Kemampuan yang diukur dalam pretest dan posttset pada penelitian ini
hanya ditinjau dari aspek kognitif. Aspek kognitif menurut taksonomi Bloom
meliputi dimensi ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Kalau dikaitkan dengan kemampuan berpikir, maka dimensi ingatan
digolongkan dalam kemampuan berpikir rendah. Dimensi pemahaman,
aplikasi, dan analisis digolongkan dalam kemampuan berpikir sedang dan
dimensi sintesis dan eveluasi digolongkan dalam kemampuan berpikir tinggi.
Sehingga pada penelitian ini aspek kognitif yang dilibatkan dalam penyusunan
pretest dan posttest hanya dimensi pemahaman, aplikasi, dan analisis. Hal ini
dipilih karena peneliti menganggap bahwa kemampuan berpikir siswa kelas
XIIPA SMA berada dalam kategori sedang.
Pada pembelajaran dengan metode problem solving siswa diberi
kesempatan untuk terlibat aktif memecahkan soal-soal. Siswa sepenuhnya
diberi kepercayaan untuk menyelesaikan masalah-masalah. Agar siswa terarah
dalam memecahkan masalah-masalah, maka disediakan langkah-langkah atau
format penyelesaian masalah atau soal (format penyelesaian soal dapat
dilihat lampiran 6). Pada pembelajaran dengan metode problem solving peran
guru hanya sebagai fasilitator dan mediator. Peran guru sebagai fasilitator,
yaitu menyediakan masalah-masalah dan menyediakan langkah-langkah
pemecahan atas masalah tersebut dan peran guru sebagai mediator yaitu
menciptakan kondisi lingkungan belajar, menjembatani bila siswa menemukan
Melalui pembelajaran dengan metode problem solving siswa dilatih untuk
menjadikan diri mereka sebagai problem solver, sehingga bila menghadapi
soal-soal mereka dapat memecahkannya. Bukan hanya itu metode ini juga
melatih siswa untuk menjadikan diri mereka sebagai pribadi yang jujur, teliti,
tekun, suka bekerja sama, tidak cepat marah, menerima gagasan orang lain,
sabar, bertanya bila tidak mengerti, dan memiliki semangat untuk mencari
31 BAB III
METODOLOGI PENELITTIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian model kuantitatif. Penelitian kuantitatif
adalah penelitian yang menggunakan data-data berupa skor atau angka,
kemudian data-data tersebut dianalisis menggunakan statistik (Suparno, 2007:
135). Jenis penelitiannya adalah jenis komparatif. Penelitian jenis komparatif
adalah penelitian yang membandingkan antar dua kelompok untuk melihat
mana yang lebih mempuyai dampak ( Suparno, 2007: 7). Pada penelitian ini
dua kelompok yang dibandingkan adalah kelompok siswa yang diajar dengan
metode problem solving dan kelompok siswa yang diajar dengan metode
ceramah.
B. Waktu Dan Tempat Penelitian
Waktu: 13 Oktober 2008 – 10 November 2008
Tempat: SMA Negeri I Kalasan Sleman
C. Populasi Dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh siswa kelas XI IPA SMA
2. Sampel Penelitian
Dari semua siswa kelas XI IPA diambil dua kelas sebagai sampel yang
terdiri dari 80 siswa. Satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas
sebagai kelas kontrol.
D. Rancangan Penelitian
1. Peneliti memberi pretest kepada seluruh siswa kelas XI IPA yang terdiri
dari 3 kelompok kelas. Dari 3 kelompok kelas ini dipilih 2 kelas untuk
dijadikan sampel penelitian. Pemilihan ini didasarkan pada nilai rata-rata
pretest masing-masing kelas. Dua kelas yang dipilih adalah kelas yang
nilai rata-ratanya tidak berbeda secara signifikan.
2. Peneliti mengajar di dua kelas. Kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas
eksperimen belajar elastisitas bahan dan hukum Hooke dengan metode
problem solving dan kelas kontrol belajar elastisitas bahan dan hukum
Hooke dengan metode ceramah.
3. Pada kelas eksperimen peneliti mengajar dengan metode problem solving.
Model pembelajarannya seperti dijelaskan pada treatment.
4. Pada kelas kontrol peneliti mengajar dengan metode ceramah. Modelnya
adalah peneliti menjelaskan materi elastisitas bahan dan hukum Hooke
kemudian latihan soal.
5. Setelah materi elastisitas bahan dan hukum Hooke selesai diajarkan
kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan mereka tentang materi
tersebut dan memberikan kuesioner untuk mengetahui sejauh mana siswa
mengembangkan sikap ilmiah dalam mengikuti proses pembelajaran yang
telah dilakukan. Kuesioner sikap ilmiah hanya ditujukan untuk kelas
eksperimen.
6. Peneliti membandingkan apakah kelas yang belajar elastisitas bahan dan
hukum Hooke dengan metode problem solving, lebih baik dalam
mengkonstruksi pengetahuan daripada kelas yang belajar elastisitas bahan
dan hukum Hooke dengan metode ceramah.
E. Treatment
Treatment adalah perlakuan khusus peneliti kepada subyek yang mau
diteliti agar nantinya mendapatkan data yang diinginkan. Treatment dapat
berwujud metode pengajaran tertentu kepada siswa, untuk melihat apa
dampaknya metode itu dibandingkan metode pengajaran biasa (Suparno,
2007: 51-52).
Pada Penelitian ini perlakuan khususnya adalah melaksanakan
pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke dengan metode
problem solving. Treament yang diberikan kepada siswa disusun dengan
urutan sebagai berikut:
1. Peneliti membagikan lembar petunjuk yang berisi metode-metode
pemecahan soal-soal fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke
2. Peneliti menjelaskan kepada siswa metode-metode pemecahan soal-soal
fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke.
3. Peneliti mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari 3 – 4 siswa. Pemilihan anggota kelompok diserahkan pada siswa
sendiri.
4. Soal-soal latihan dibagikan ke masing-masing kelompok.
5. Dalam masing-masing kelompok siswa memecahkan soal-soal yang
diberikan. Siswa boleh memecahkan persoalan yang diberikan dengan
berdiskusi, bertanya pada teman, mencari informasi-informasi terkait dari
buku pelajaran. Selama proses memecahkan soal-soal ini siswa sedang
berusaha untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka.
6. Perwakilan dari masing kelompok mempresentasikan atau mengerjakan
penyelesaian soal di papan tulis
7. Kelompok lain dipersilahkan untuk menaggapi hasil pemecahan kelompok
yang sedang mempresentasikan hasil pemecahannya
8. Peneliti menjelaskan cara penyelesaian yang benar apabila penyelesaian
siswa salah atau ada bagian yang dirasa tidak jelas menurut siswa.
Sedangkan pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke
dengan metode ceramah secara umum disusun dengan langkah-langkah
sebagai berikut
1. Peneliti menjelaskan materi yang telah dipersiapkan untuk satu kali
2. Peneliti meminta siswa untuk mengajukan pertanyaan jika ada materi yang
belum dimengerti. Bila ada yang bertanya peneliti menjelaskannya.
3. Peneliti memberi/menjelaskan 2 atau 3 contoh soal. kemudian disusul
dengan latihan-latihan soal.
F. Instrument Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini
adalah test (pretest dan posttest) dan kuesioner.
1. Pretest dan posttest
Instrumen ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa
mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke.
Kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas bahan
dan hukum Hooke ditunjukan oleh peningkatan prestasi belajar siswa
setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode
problem solving maupun metode ceramah. Prestasi belajar dibatasi pada
peningkatan antara pretest dengan posttest. Pretest dalam penelitian ini
berguna untuk mengukur kemampuan awal masing-masing kelas
penelitian dan posttest berguna untuk mengukur kembali kemampuan
siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Pretest dan posttest dalam
penelitian ini terdiri dari 6 butir test dan berbentuk uraian dengan skor
maksimum 120 dan minimum 0. Kemampuan yang diukur dalam pretest
dan posttest adalah kemampuan kognitif yang meliputi dimensi
Pada table 1 digambarkan kisi dimensi kognitif yang diukur dan
kisi-kisi test berdasarkan indikator yang kompetensi yang diharapkan.
Tabel 1. KISI-KISI PRETEST DAN POSTTEST
Diharapkan siswa mampu:
1)Menentukan tegangan
sebuah batang baja
2)Menghitung gaya tarik
yang dilakukan pada
Elastisi-
3)Menentukan tetapan
pegas pengganti dua
buah pegas yang disusun
secara seri
4)Menganalisa
masalah-masalah dalam
kehidupan sehari-hari
yang berkaitan dengan
pegas
√
√ 1
1
3.Dua buah pegas
dengan tetapan
masing – masing
k1 dan k2
siswa tersebut m
Elastisit-as bahan
dan
hukum
Hooke
5)Menentukan energi
potensial sebuah pegas
6)Menghitung usaha yang
dilakukan oleh pegas
√
tetapan gaya k
Hitunglah usaha
yang dilakukan
pegas pada balok
ketika balok
Berikut diberikan contoh soal pretest dan posttest yang digunakan
sebagai instrumen penelitian. Test lengkap dapat dilihat di lampiran 4.
Diatas meja licin sebuah balok m diikatkan pada ujung sebuah pegas
bolak-balik disekitar titik keseimbangan. Hitunglah usaha yang dilakukan
pegas pada balok ketika balok bergerak dari posisi (x = 0 cm) ke posisi x
= 5 cm!
2. Kuesioner sikap
Kuesioner sikap dibatasi pada pernyataan sikap ilmiah siswa selama
proses pembelajaran berlangsung. Sikap ilmiah yang diukur adalah
pernyataan-pernyataan sungguh-sungguh, jujur, tekun, teliti, menghargai
pendapat orang lain, rela bila pendapatnya ditantang/dicela, tidak cepat
putus asa, bekerja sama, dan bertanya untuk memperjelas pemahaman
selama proses pembelajaran berlangsung.
Kuesioner ini terdiri dari 10 item dan pada masing-masing item
berisi pernyataan sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju
terhadap setiap aspek yang ingin diungkap selama pembelajaran
berlangsung.
Tabel.2 Contoh kuesioner sikap ilmiah siswa
NO PERTANYAAN SS S TS STS
1 Selama pembelajaran berlangsung, saya
mengerjakan semua soal yang diberikan
dengan sungguh-sungguh.
2 Selama pembelajaran berlangsung, saya
menye-lesaikan soal di papan tulis dari hasil
pekerjaan saya sendiri atau dari kelompok
saya sendiri.
G. Validitas
1. Untuk test
Validitas pretest dan posttest dalam penelitian ini adalah validitas isi.
Validitas isi adalah validitas yang mengukur apakah isi dari instrumen
yang digunakan sungguh mengukur isi dari domain yang akan diukur. Isi
test sesuai dengan bahan yang diberikan pada waktu pelajaran. Validitas
isi dalam penelitian ini dilakukan dengan menyusun kisi-kisi soal seperti
ditunjukan pada bagian instrument.
2. Untuk kuesioner
Untuk kuesioner validitas yang dilakukan ialah validitas konstruk.
Validitas konstruk berhubungan dengan pertanyaan: seberapa jauh
instrumen yang disusun mampu menghasilkan butir-butir pertanyaan yang
telah dilandasi oleh konsep teoritik tertentu. Validitas konstruk disusun
dengan mendasarkan diri pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan
konseptual yang didukung oleh teori yang sudah mapan (Seepo dalam
http://seepojhur.blogspot.com). Dalam penelitian ini kuesioner disusun
H. Analisis Data
1. Menentukan kemampuan siswa pada kelas kontrol dan kelas
eksperimen sebelum pembelajaran berlangsung, apakah tidak
berbeda secara signifikan
Untuk mengetahui bagaimana perbandingan prestasi/kemampuan
siswa sebelum pembelajaran dengan metode problem solving maupun
ceramah dilaksanakan, diukur melalui tes, yaitu pretest. Penskoran
terhadap hasil pekerjaan siswa dilakukan dengan membuat skala skor.
a. Soal No.1 dan No.2 (bobot soal 15)
1) Jika pekerjaan siswa sesuai maka skor 15
2) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis rumus
maka diberi skor 10
3) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis
besaran yang diketahui dan ditanyakan maka skor 7
4) Jika pekerjaan siswa tidak sesuai maka diberi skor 2
5) Jika siswa tidak mengerjakan maka skor 0
b. Soal No.3 dan No.5 (bobot soal 20)
1) Jika pekerjaan siswa sesuai maka skor 20
2) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis
besaran yang diketahui dan ditanyakan maka skor 10
3) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis rumus
maka diberi skor 15
5) Jika siswa tidak mengerjakan maka skor 0
c. Soal No. 4 dan No.6 (bobot soal 25)
1) Jika pekerjaan siswa sesuai maka skor 25
2) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis
besaran yang diketahui dan ditanyakan maka skor 12
3) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis rumus
maka diberi skor 19
4) Jika pekerjaan siswa tidak sesuai maka diberi skor 5
5) Jika siswa tidak mengerjakan maka skor 0
Setelah dilakukan penyekoran terhadap hasil kerja siswa, kemudian
skor pretest dianalisis dengan uji t. Uji statistik yang digunakan adalah
t-test dua group yang independent (Suparno, 2002: 59). Proses perhitungan
menggunakan program SPSS. Langkah-langkah pengolahan data dengan
SPSS dapat dilihat di lampiran 12.
Menggunakan Tabel Two Tailed untuk test untuk memperoleh nilai
kritikal dari t distribusi berdasarkan level significan 0,05. Jika
⏐tobs⏐>⏐tcrit⏐maka significant, artinya ada perbedaan antara kemampuan
prestasi kelas kontrol dan kelas eksperimen sebelum pembelajaran
dilaksanakan dan jika ⏐tobs⏐<⏐tcrit⏐ maka tidak significant, artinya tidak
ada perbedaan antara kemampuan prestasi kelas kontrol dan kelas
2. Kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan yang ditunjukan
oleh prestasi belajar siswa baik pada kelas kontrol maupun pada
kelas eksperimen
Untuk mengetahui sejauh mana peningkatan prestasi belajar siswa
dalam pembelajaran fisika pada pokok bahasan elastisitas bahan dan
hukum Hooke dengan metode problem solving maupun ceramah diukur
melalui tes, yaitu pretest dan posttest. Penskoran terhadap hasil pekerjaan
siswa dilakukan dengan membuat skala skor. Skala skor sama dengan
pada point 1 di atas.
Setelah dilakukan penyekoran terhadap hasil kerja siswa, kemudian
skor pretest dan posttest dianalisis dengan uji t. T-test digunakan untuk
mengetes dua kelompok yang dependen, atau satu kelompok yang dites
dua kali, yaitu pretest dan posttest (Suparno, 2002: 59). T-test dihitung
menggunakan program SSPS.
Menggunakan tabel Two Tailed Test untuk memperoleh nilai
kritikal dari t distribusi berdasarkan level signifikan 0,05. Jika
⏐tobs⏐>⏐tcrit⏐maka significant, artinya ada perbedaan antara pretest dan
posttest atau ada peningkatan prestasi belajar yang significant dan jika
⏐tobs⏐<⏐tcrit⏐ maka tidak significant, artinya tidak ada perbedaan yang
significan antara pretest dan postest atau tidak ada peningkatan prestasi
3. Perbandingan kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan
antara siswa yang diajar dengan metode problem solving dan ceramah Untuk mengetahui bagaimana perbedaan peningkatan kemampuan
siswa mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas bahan dan hukum
Hooke antara siswa yang diajar dengan metode problem solving dengan
metode ceramah dilakukan dengan cara menguji skor posttest dari kedua
metode tersebut dengan uji statistik. Uji statistik yang digunakan adalah
t-test dua group yang independen (Suparno, 2002:56). T-t-test dihitung
menggunakan bantuan SPSS. Menggunakan tabel Two Tailed Test untuk
memperoleh nilai kritikal dari t distribusi berdasarkan level significan
0,05. Jika ⏐tobs⏐>⏐tcrit⏐maka significant, artinya ada perbedaan antara
yang signifikan anatara kemampuan prestasi kelas kontrol dan kelas
eksperimen setelah pembelajaran dilaksanakan dan jika ⏐tobs⏐<⏐tcrit⏐
maka tidak significant, artinya idak ada perbedaan yang signifikan antara
kemampuan prestasi kelas kontrol dan kelas eksperimen setelah
pembelajaran dilaksanakan.
4. Skoring sikap ilmiah
Untuk data kuesioner sikap ilmiah siswa dilakukan penskoran
jawaban untuk memudahkan pengelompokan jawaban. Skor maksimal 30
dan minimal 0. Adapun penskoran dilakukan sebagai berikut:
a. SS (Sangat Setuju) diberi skor 3
c. TS (Tidak Setuju) diberi skor 1
d. STS (Sangat Tidak Setuju) diberi skor 0
Selanjutnya peneliti membedakan menjadi 4 kriteria yaitu: sangat
bersikap ilmiah (untuk sangat setuju ), bersikap ilmiah (untuk setuju),
tidak bersikap ilmiah (untuk tidak setuju), dan sangat tidak bersikap
ilmiah (untuk sangat tidak setuju). Prosentase sikap ilmiah untuk setiap
siswa digunakan rumus:
%
Selanjutnya untuk mengklasifikasi sikap ilmiah siswa diklasifikasikan
berdasar interval (%) sebagai berikut:
Tabel.3. Tabel Kriteria Klasifikasi Sikap Ilmiah Siswa
INTERVAL % KLASIFIKASI
81 – 100 Sangat bersikap ilmiah
61 – 80 bersikap ilmiah
41 – 60 Tidak bersikap ilmiah
0 – 40 Sangat tidak bersikap ilmiah
Kesimpulan diambil dengan mengelompokan data, sehingga dapat
diperoleh berapa jumlah siswa yang sangat bersikap ilmiah, berapa jumlah
siswa yang bersikap ilmiah, berapa jumlah siswa yang tidak bersikap
ilmiah, dan berapa jumlah siswa yang sangat tidak bersikap ilmiah selama
pembelajaran berlangsung, kemudian dicari prosentasenya agar terlihat
Untuk menghitung prosentase(%) siswa yang sangat bersikap ilmiah
selama pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke
(%)
Untuk menghitung prosentase(%) siswa yang bersikap ilmiah
selamapembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke
(%)
Untuk menghitung prosentase(%) siswa yang tidak bersikap ilmiah selama
pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke
(%)
Untuk menghitung prosentase(%) siswa yang sangat tidak bersikap
ilmiah selama pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke
(%)
Selanjutnya klasifikasi sikap ilmiah dan prosentase jumlah siswa
dimasukan dalam tabel seperti berikut ini
Tabel 4. Tabel klasifikasi sikap ilmiah versus prosentase (%)
No Klasifikasi sikap Prosentase (%)
1 Sangat bersikap ilmiah
2 Bersikap ilmiah
3 Tidak bersikap ilmiah
Bila penjumlahan prosentase siswa yang sangat bersikap ilmiah dan
bersikap ilmiah lebih besar atau sama dengan 55 persen, maka kelas
tersebut secara umum dideskribsikan memiliki sikap ilmiah. Sebaliknya
bila penjumlahan prosentase siswa yang tidak bersikap ilmiah dan sangat
tidak bersikap ilmiah lebih besar atau sama dengan 55 persen, maka kelas
tersebut secara umum dideskribsikan tidak memiliki sikap ilmiah
Keterangan:
SBI = jumlah siswa yang sangat bersikap ilmiah selama pembelajaran
berlangsung
BI = jumlah siswa yang bersikap ilmiah selama pembelajaran
berlangsung
TBI = jumlah siswa yang bersikap ilmiah selama pembelajaran
berlangsung
STBI = jumlah siswa yang sangat tidak bersikap ilmiah selama