• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan pembelajaran fisika dengan metode problem solving untuk membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah dan mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke 2008/2009 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penerapan pembelajaran fisika dengan metode problem solving untuk membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah dan mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke 2008/2009 - USD Repository"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

MENGEMBANGKAN SIKAP ILMIAH DAN

MENGKONSTRUKSI PENGETAHUAN TENTANG

ELASTISITAS BAHAN DAN HUKUM HOOKE

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelas Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Fisika

Disusun oleh:

Salvinus Baco

(041424009)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

When I am down and, oh my soul, so weary;

When troubles come and my heart burdened be;

Then, I am still and wait here in the silence,

Until you come and sit awhile with me.

You raise me up, so I can stand on mountains;

You raise me up, to walk on stormy seas;

I am strong, when I am on your shoulders;

You raise me up... To more than I can be.

There is no life - no life without its hungar;

each restless heart beats so imperfectly;

but when you come and i am filled with wonder;

sometimes i think i glimpe eternity

You raise me up, so I can stand on mountains;

You raise me up, to walk on stormy seas;

I am strong, when I am on your shoulders;

You raise me up... To more than I can be.

Motto :

Tetap Percaya Meskipun Tidak Ada Tanda-tanda Datang Padaku Tetap Berdoa Meskipun Segala Sesuatu Tampak Tidak Mungkin Tetap Berharap Sampai Keajaiban Tiba

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Bp. Karel, Ibu Regina, Kakak Leo & Yuli

Adik Kordi, Damas, Lukas, Anton, Sisi, Rius

Keluarga besar Dangka Rawuk

(5)
(6)
(7)

Problem Solving Untuk Membantu Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan Mengembangkan Sikap Ilmiah Dan Mengkonstruksi Pengetahuan Tentang Elastisitas Bahan Dan Hukum Hooke. Program Studi Pendidikan Fisika. Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui (1) Kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke melalui pembelajaran dengan metode problem solving; (2) Perbandingan kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke antara siswa yang diajar dengan metode problem solving dengan siswa yang diajar dengan metode ceramah; dan (3) Apakah pembelajaran fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke dengan metode problem solving dapat membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah.

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri I Kalasan selama bulan Oktober - November 2008. Subyek penelitian siswa-siswi kelas XI IPA 1 yang berjumlah 38 siswa dan kelas XI IPA 3 yang berjumlah 36 siswa. Kelas XI IPA 1 dipilih sebagai kelas kontrol (kelas dengan menggunakan metode ceramah) dan kelas XI IPA 3 dipilih sebagai kelas eksperimen ( kelas dengan menggunakan metode problem solving).

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis yang terdiri dari pretest dan posttest, dan kuesioner. Pretest digunakan untuk mengetahui kemampuan/prestasi siswa sebelum melaksanakan pembelajaran. Posttest digunakan untuk mengetahui kemampauan siswa mengkonstruksi pengetahuan setelah melaksanakan pembalajaran. Kuesioner diberikan untuk mengetahui apakah pembelajaran fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke menggunakan metode

problem solving dapat membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah.

Kemampun siswa mengembangkan pengetahuan ditujukan oleh peningkatan prestasi belajar sebelum dan setelah melaksanakan pembelajaran.

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Pembelajaran fisika dengan metode

problem solving dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuan fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke. (2) Kemampuan mengembangkan pengetahuan fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke pada siswa yang diajar dengan metode problem solving lebih tinggi dari siswa yang diajar dengan metode ceramah. (3) Pembelajaran fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke dengan metode

problem solving dapat membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah.

(8)

Students Developing Scientific Attitudes and Constructing Knowledge About Elasticity and Hooke’s Law in Physics. Physics Education Study Program. Department of Mathematics and Science Education. Faculty of Teachers Training and Education. Sanata Dharma University, Yogyakarta.

The aim of the research was to know (1) students’ ability to construct physics knowledge about elasticity and Hooke’s law using problem solving method; (2) comparison of student’s ability to construct physics knowledge about elasticity and Hooke’s law between students who were taught with problem solving method and students who were taught with lecture method; (3) whether physics instruction using

problem solving method helps students to develop scientific attitudes.

This research was held in SMA Negeri I Kalasan, Sleman, from October to November 2008. The subjects of the research were students of class XI IPA that consisted of 74 students.

The instruments which were used in this research were written test that contained of pretest and posttest, and questionnaire. The pretest explored students’ ability before instruction. The posttest explored students’ ability to construct knowledge after instruction. The questionnaire explored whether problem solving

method helped student to develop scientific attitude in physics instruction

This research indicated that: (1) Problem solving method can help students to develop physics knowledge about elasticity and Hooke’s law. (2) Students’ who were taught with problem solving method get higher ability to construct knowledge than students who were taught with lectural method. (3) Problem solving method can help students to develop scientific attitude.

(9)

semesta karena atas segala cinta dan bimbingan-Nya sehingga skripsi yang berjudul

PENERAPAN PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN METODE PROBLEM

SOLVING UNTUK MEMBANTU SISWA MENGEMBANGKAN SIKAP ILMIAH

DAN MENGKONSTRUKSI PENGETAHUAN TENTANG ELASTISITAS

BAHAN DAN HUKUM HOOKE

ini dapat terselesaikan.

Adapun maksud dari penyusunan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana pendidikan di FPMIPA Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan, dukungan, saran

dan gagasan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Romo Dr. Paulus Suparno, S.J., M.S.T. selaku dosen pembimbing

yang telah banyak menyediakan waktu untuk membimbing dengan

penuh kesabaran.

2. Bp. Drs. Fr. Y. Kartika budi., M.Pd. selaku dosen pembimbing

akademik, Bp. Domi S, M.Si. selaku Kaprodi Pendidikan Fisika, Ibu

Maslichah Asy,ari, M.Pd, Bp. A. Atmadi, M.Si., Bp. T. Sarkim, Ph.D.

dan Bp. R. Rohandi, M.Ed. selaku dosen pendidikan Fisika USD yang

telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama

melaksanakan pendidikan di Universitas Sanata Dharma ini.

3. Bapak Edy Sumarna., S.Pd. selaku guru mata pelajaran fisika kelas XI

IPA dan siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 SMA Negeri I Kalasan,

Sleman, terimakasih untuk semua bantuan dan kerjasamanya.

(10)

pendidikan.

5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, terimakasih atas

ketersediaan buku referensi dan internet gratis. Be Always Provide

Information To Produce Knowledge. “Perpus USD“ Numero Uno!!

6. Ema Karolus, Ende Regina, Kraengtua Leonardus, dan Kak Yuli,

terimakasih untuk segala kasih sayang, doa, pengorbanan,

kepercayaan, kesabaran dan motivasinya sehingga saya dapat

menyelesaikan studi ini dan menjadi seperti sekarang ini.

7. Adik Kordianus, Damasus, Lukas, Antonius, Sisilia, dan Marius,

terimakasih atas kepercayaan, pengertian dan kesempatan yang telah

diberikan kepada saya.

8. Keluarga Besar Dangka-Rawuk di Kolong, Rewas, Lumut, dan Siri

Mese, yang telah mendukung saya dalam doa.

9. Kakek Thomas Ringet (alm), Nenek Chaterine Tuet, Om Marsel, Tante

Adel, Mama Sophia, Mama Yohana, dan Keluarga Besar Gonggong,

atas doa dan motivasinya.

10.Carles TI.05, atas kebaikan dan persahabatan yang telah kita bangun

selama ini. The Lord Trust You to Live Your Life.

11.Pa Ery, Sanchez, Pa Iyon, Uwil, Ita, Ucok, Fredy, Fitri, Wi2, Siska,

Heru, Budi, Pet2, Yoseph dan semua teman P. Fis 04 USD atas cinta

dan kebencian, kebaikan dan kejahatan, persatuan dan perpecahan, dan

suka dan duka yang telah kita alami bersama selama ini.

(11)
(12)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Batasan Penelitian... 4

E. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran... 6

1. Hakikat Belajar ... 6

(13)

C. Metode Pembelajaran Problem Solving... 12

1. Pengertian ... 12

2. Metode Pembelajaran... 13

D. Sikap Ilmiah ... 18

E. Ringkasan Materi Elstisitas Bahan dan Hukum Hooke ... 21

F. Kaitan Antara Dasar Teori dengan Penelitian ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 31

B. Waktu dan Tempat penelitian ... 31

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 31

D. Rancangan Penelitian ... 32

E. Treatment ... 33

F. Instrumen Penelitian ... 35

1. Pretest / posttest ... 35

2. Kuesioner Sikap Ilmiah ... .39

G. Validitas ... 40

H. Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Penelitian ... 48

B. Hasil dan Analisis Data ... 50

C. Pembahasan... 63

D. Kesimpulan Secara umum ... 66

E. Keterbatasan Penelitian ... 68

(14)

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

LAMPIRAN ... 73

(15)

Table 1: Kisi-kisi pretest dan posttest... 36

Table 2: Contoh kuesioioner sikap ilmiah siswa ... 39

Table 3: Kriteria sikap ilmiah siswa ... 45

Tabel 4: klasifikasi sikap ilmiah versus persentase pada kelas problem solving.. 46

Tabel 5: Tabel Skor Pretest kelas XI IPA 1, XI IPA 2, dan kelas XI IPA 3 ... 51

Tabel 6: Tabel skor pretest dan posttest kelas kontrol... 54

Tabel 7: Tabel Skor Pretest Dan Posttest Kelas Eksperimen... 56

Tabel 8: Tabel Skor Posttest kelas Kontrol dan Eksperimen ... 58

Tabel 9: Tabel Rangkuman Analisis Skor Kuesioner Sikap Ilmiah Siswa... 61

Tabel 10: Tabel Jumlah Dan Persentase Siswa Berdasarkan Klasifikasi Sikap ... 62

(16)

Halaman

Lampiran 1: Surat penelitian dari JP MIPA USD untuk SMA Negeri I Kalasan... 74

Lampiran 2: Surat izin penelitian dari kepala BAPPEDA Kab. Sleman ... 75

Lampiran 3: Surat Keterangan dari Kepala sekolah SMA Negeri I Kalasan ... 76

Lampiran 4: Pretest / posttest... 77

Lampiran 5: Lembar Soal dan Jawaban... 78

Lampiran 6: Format Penyelesaian soal menggunakan metode problem solving... 81

Lampiran 7: Kunci Jawaban Soal Pretest dan Posttest ... 83

Lampiran 8: Data Kasar Pretest dan posttest kelas XI IPA 1, XI IPA 2, XI IPA 3 . 86 Lampiran 9: Kuesioner ... 92

Lampiran 10: Data Kasar Skor Sikap Ilmiah... 95

Lampiran 11: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran... 98

Lampiran 12: Langkah-langkah pengolahan data dengan SPSS ...108

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup

dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat

daripada solusi dari masalah tersebut. Ketidakpastian dan ambiguitas dari

perubahan dunia dapat dihadapi secara terbuka. Dalam dunia ini para individu

harus memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara

berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang

secara terus menerus berubah (Gasong dalam http://www.gerejatoraja.com).

Kegiatan belajar di kelas pada hakikatnya lebih dari sekedar menghafal

pengetahuan. Siswa yang ingin memahami dan menerapkan pengetahuan,

harus berusaha untuk menemukan sesuatu, memecahkan masalah-masalah,

dan bertarung dengan gagasan-gagasan yang ada dalam pengetahuan yang

ingin mereka pahami dan terapkan tersebut. Salah satu prinsip paling penting

dalam psikologi pengajaran, yaitu para pendidik tidak boleh sama sekali

mentransfer pengetahuan mereka kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi

pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Guru hanya boleh memfasilitasi

dan memediasi proses pengkonstruksian ini dengan mengajarkan cara

mengolah informasi-informasi agar berguna dan relevan bagi siswa, dengan

memberi siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan

(18)

menuntun siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dan siswa sendirilah yang

harus mendaki tangga-tangga tersebut (Slavin, 2003: 527).

Menurut filsafat konstruktivisme, pengetahuan adalah bentukan dari

siswa yang sedang belajar. Maka siswa tidak akan mampu membangun

pengetahuannya bila mereka sendiri tidak aktif dalam mengkonstruksi

pengetahuan itu selama mereka belajar. Merekalah yang harus aktif belajar,

menekuni, mencerna bahan, menggeluti serta merumuskan bahan itu

(Suparno, 2000: 13). Dalam konteks pembelajaran konstruktivistik, peran guru

bukan sebagai pentransfer pengetahuan yang memindahkan pengetahuan

mereka kepada siswa, tetapi lebih sebagai fasilatator dan moderator agar

pengkonstruksian itu berjalan lancar dan cepat (Suparno, 1997: 65).

Menurut hakikat fisika (Kartika Budi, 2001: 46), tujuan pembelajaran

fisika di sekolah menengah memiliki tiga aspek, yaitu membangun

pengetahuan, proses, dan sikap. Kegiatan pembelajaran fisika harus memberi

peluang kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan melakukan proses

sains dan sikap sains. Pengetahuannya yang berupa konsep-konsep atau

hukum-hukum, harus diperoleh atau dibangun melalui serangkaian proses

sains tersebut. Kemampuan dan keterampilan melakukan proses dan sikap

hanya dapat dibangun melalui pengalaman melakukan serangkaian proses

yang berkesinambungan.

Dari uraian di atas, tampak bahwa peran guru dalam proses

pembelajaran fisika dibatasi hanya sebagai fasilitator dan mediator. Guru

(19)

dan media yang membantu siswa mengembangkan sikap ilmiah dalam proses

mengkonstruksi pengetahuan. Di lain pihak siswa tidak dapat dikatakan

telah berhasil mempelajari fisika tanpa mempunyai kemampuan mengolah

informasi-informasi yang ada untuk meng-konstruksi pengetahuan dan

memecahkan masalah-masalah fisika. Siswa sendirilah yang menjadikan

dirinya sebagai pelajar yang mandiri, sebagai problem solver bahkan sebagai

problem finder.

Untuk itu pemilihan metode pembelajaran fisika yang cocok perlu

diperhatikan oleh para pendidik agar sasaran dan tujuan yang ingin dicapai

dapat terealisasi. Maka dalam penelitian ini, pembelajaran fisika dengan

metode problem solving dipilih sebagai pendekatan untuk menjadikan siswa

pelajar yang konstruktivis dalam memahami fisika.

Metode problem solving melatih dan menuntun siswa untuk mendesain

suatu penemuan, berpikir dan bertindak kreatif, memecahkan masalah yang

dihadapi secara realistis, mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan,

menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di

atas, masalah-masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah

1. Apakah pembelajaran fisika dengan metode problem solving dapat

membantu siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan mengkonstruksi

(20)

2. Bagaimanakah perbandingan mengkonstruksi pengetahuan siswa kelas XI

IPA SMA Negeri I Kalasan antara siswa yang diajar dengan metode

problem solving dengan siswa yang diajar dengan metode ceramah pada

pokok bahasan elastisitas dan hukum Hooke ?

3. Apakah pembelajaran fisika dengan metode problem solving dapat

membantu siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan mengembangkan

sikap ilmiah?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah pembelajaran fisika dengan metode problem

solving dapat membantu siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan

mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas dan hukum Hooke.

2. Untuk mengetahui perbandingan kemampuan mengkonstruksi

pengetahuan siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan antara yang diajar

dengan metode problem solving dan siswa yang diajar dengan metode

ceramah pada pokok bahasan elastisitas bahan dan hukum Hooke.

3. Untuk mengetahui apakah pembelajaran fisika dengan metode problem

solving dapat membantu siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Kalasan

mengembangkan sikap ilmiah.

D. Batasan Penelitian

Metode problem solving mencakup metode pemecahan masalah secara

(21)

memiliki langkah-langkah penuntun dan melibatkan persamaan matematis dan

angka-angka dari besaran tertentu untuk memecahkan sebuah persoalan.

Sedangkan metode pemecahan masalah secara kualitatif dapat juga memiliki

langkah-langkah penuntun dan persamaan matematis tetapi tidak dengan

angka-angka. Metode pemecahan secara kualitatif lebih menekankan pada

pencarian makna, penalaran, dan definisi dari persoalan yang akan

dipecahkan. Pada penelitian ini metode problem solving yang digunakan

adalah yang kuantitatif.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat antara lain:

1. Bagi guru dan calon guru fisika

Memperoleh gambaran tentang pembelajaran fisika dengan metode

problem solving, yang diharapkan dapat menjadi metode alternatif

dalam mengefektifkan dan tujuan pembelajaran fisika.

2. Bagi siswa

Dengan mengikuti Pembelajaran dengan metode problem solving para

siswa mendapatkan pengalaman baru dalam proses belajar mengajar di

kelas sehingga diharapkan siswa lebih mudah dalam memahami

konsep yang dipelajari.

3. Bagi penelitian selanjutnya

Hasil Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk

(22)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran

1. Hakikat Belajar

Belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari

luar. Apa yang sedang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar,

tidak dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu.

Bahkan, hasil belajar orang itu tidak langsung kelihatan, tanpa orang itu

melakukan sesuatu yang menampakan kemampuan yang telah diperoleh

melalui belajar. Maka, berdasarkan perilaku yang disaksikan, dapat ditarik

kesimpulan bahwa seseorang telah belajar suatu pemahaman,

keterampilan, dan nilai-sikap. Belajar terjadi dalam interaksi dengan

lingkungan, dalam bergaul dengan dengan orang lain, dalam memegang

benda dan dalam menghadapi peristiwa manusia belajar. Namun, tidak

sembarang berada ditengah-tengah lingkungan, menjamin adanya proses

belajar. Orangnya harus aktif sendiri, melibatkan diri dengan segala

pemikiran, kemauan dan perasaannya (Winkel, 2004: 58-59).

Secara singkat, Winkel mendefinisikan pengertian belajar sebagai

“suatu kegiatan mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

dengan orang lain dan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah

perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap.

(23)

Menurut Gage dalam Dahar (1988: 11), belajar didefinsikan sebagai

suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat

dari pengalaman. Dari definisi ini, bukti bahwa seseorang atau siswa telah

belajar ialah adanya perubahan tingkah laku pada orang atau siswa

tersebut, misalnya dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak

terampil menjadi terampil.

Menurut kaum konstruktivis (Suparno, 1997: 61), belajar merupakan

proses aktif pelajar mengkonstruksi arti, mengasimilasi dan

menghubungkan pengalam-an atau bahan yang dipelajari dengan

pengertian yang dipunyai seseorang sehingga pengertiannya

dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut.

¾ Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari

apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami.

¾ Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali

berhadapan dengan fenomen atau persoalan baru, diadakan

rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.

¾ Belajar bukan merupakan kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan

lebih suatu perkembangan pemikiran dengan membuat pengertian

yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan

perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996).

¾ Proses belajar sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam

(24)

ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk

memacu belajar.

¾ Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik

dan lingkungannya (Bettencourt, 1989).

¾ Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si

pelajar: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi

interaksi dengan bahan yang dipelajari.

Belajar lebih diarahkan pada experiental learning yaitu merupakan

adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium,

diskusi dengan teman sejawat, yang dikontemplasikan dan dijadikan ide

dan pengembangan kon-sep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan

mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.

Belajar seperti ini selain berkenaan dengan hasilnya (outcome) juga

memperhatikan prosesnya dalam konteks tertentu. Penge-tahuan yang

ditransformasikan diciptakan dan dirumuskan kembali (created and

recreated), bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Bentuknya bisa objektif

maupun subjektif, berorientasi pada penggunaan fungsi konvergen dan

divergen otak manusia (Wilantara dalam

http://www.damandiri.or.id/file/iputuekaikipsingbab2.pdf).

2. Hakikat Pembelajaran

Pembelajaran menekankan pada kegiatan atau atau keaktifan siswa,

bukan kegiatan guru. Ukuran dari kualitas pembelajaran tidak terletak

(25)

siswa, dalam arti seberapa banyak dan seberapa sering siswa terlibat secara

aktif. Peran guru yang pokok dalam pembelajaran adalah menciptakan

situasi, menyediakan kemudahan, merancang kegiatan, dan membimbing

siswa agar mereka terlibat dalam proses belajar secara berkesinambungan

(Brooks dalam Kartika Budi, 2001: 47).

Pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme (Wilantara dalam

http://www.damandiri.or.id/file/iputuekaikipsingbab2.pdf), merupakan

sebuah kegiatan yang menekankan pada kualitas dan keakifan siswa dalam

mempresentasikan dan membangun pengetahuannya. Setiap organisme

menyusun pengalamannya dengan jalan menciptakan struktur mental dan

menerapkannya dalam pembelajaran. Suatu proses aktif dalam mana suatu

organisme atau individu berinterkasi dengan lingkungannya dan

mentransformasinya ke dalam pikirannya dengan bantuan struktur kognitif

yang telah ada dalam pikirannya (Cobb, 1994: 15). Ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan berkaitan dengan kegiatan pembelajaran menurut kaum

konstuktivis, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata

dalam konteks yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan

pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, (4) pembelajaran

dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Honebein, 1965: 5).

B. Pembentukan Pengetahuan

Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam

(26)

peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang

disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus

tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di

laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing,

monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor

hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk

bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon

tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia

baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua

struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian,

menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi

antara stimulus dan respon (Zainurie dalam

http://zainurie.wordpress.com/2007/10/26).

Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13)

mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini

mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu

apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu

akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin

sering suatu pengetahuan –yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi

antara stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan

semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang

terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka

(27)

yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia

mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat

(Zainurie dalam http://zainurie.wordpress.com).

Menurut Von Glaserfeld, pengetahuan itu dibentuk oleh struktur

konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya.

Lingkungan dapat berarti dua macam. Pertama, bila kita berbicara tentang diri

kita sendiri, lingkung-an menunjuk pada keseluruhan objek dan semua

relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman. Kedua, bila kita

memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk pada

sekeliling hal itu yang telah kita isolasikan. Dalam hal ini, baik hal itu maupun

sekililingnya merupakan lingkungan pengalaman kita sendiri, bukan dunia

objektif yang lepas dari pengamat (Suparno, 1997:19). Struktur konsepsi

tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam

menghadapai pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menghadapi

persoalan-persoalan mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut (von

Glaserfeld dalam Matthews dalam Suparno,1997:19). Bila konsep ataupun

abstraksi seseorang dapat menjelaskan macam-macam persoalan yang

berkaitan, maka konsep tersebut membentuk pengetahuan seseorang akan hal

itu (Suparno, 1997:19).

Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan

untuk proses pembentukan pengetahuan, seperti (1) kemampuan mengingat

dan meng-ungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan

(28)

mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan

untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain.

Kemam-puan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat

penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan

pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk

dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman

khusus lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat

klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih

menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai

dari pengetahuan yang kita konstruksikan (Suparno dalam

http://www.kompas.com/9611/19/OPINI/kons.htm).

C. Metode Pembelajaran Problem Solving

1. Pengertian

Problem solving adalah model pembelajaran dengan pemecahan

persoalan. Biasanya guru memberi persoalan yang sesuai dengan topik yang

mau diajarkan dan siswa diminta untuk memecahkan persoalan itu. Ini dapat

dilakukan baik dalam kelompok maupun pribadi. Guru sebaiknya minta

bagaimana siswa memecahkan persoalan bukan hanya melihat hasil akhirnya

(Suparno, 2007: 98).

Metode problem solving merupakan suatu cara mengajar yang

merangsang seseorang untuk menganalisa dan melakukan sintesa dalam

(29)

Metode ini digunakan untuk membimbing siswa, agar mereka trampil dalam

melihat sebuah akibat, mengobservasi problem, mencari hubungan antara

beberapa data yang terkumpul kemudian menarik kesimpulan yang merupakan

hasil pemecahan masalah (Djaja Disastra, 1982:19).

2. Metode Pembelajaran

Huffman membagi metode pembelajaran dengan metode problem

solving menjadi dua jenis, yaitu “ Textbook Problem Solving Strategy” dan

Explicit Problem solving Strategy”. Gambaran dari kedua metode ini

akan dijelaskan berikut ini

1. Textbook Problem solving strategy

Textbook problem solving secara umum memiliki 5 tahap dalam

pemecahan suatu masalah, yaitu a). Menggambar sketsa/bagan; b).

Menetapkan variabel yang diketahui dan yang tidak diketehui; c).

Memilih rumus/persamaan; d). Menyelesaikan persamaan; dan e).

Memeriksa kembali jawaban.

Menurut metode problem solving textbook ini, langkah pertama

dalam memecahkan masalah fisika adalah menggambarkan sketsa

situasi permasalahan. Sketsa ini biasanya meliputi lukisan sederhana

dari semua objek yang terkait dan interaksi antar objek-objek tersebut.

Langkah kedua adalah menetapkan variabel-variabel yang diketahui

dan yang tidak diketahui dalam masalah tersebut. Langkah ketiga

(30)

rumit biasanya terdiri dari sub-sub persamaan. Gabungan dari sub-sub

persamaan ini merupakan persamaan akhir untuk menentukan

kuantitas dari variabel sasaran. Langkah keempat adalah

menyelesaikan persamaan/rumus dengan mensubstitusi-kan nilai-nilai

yang ketahui dalam masalah tersebut kedalam hubungan matematis

dan menyelesaikan untuk besaran yang tidak diketahui. Langkah yang

terakhir adalah memeriksa jawaban; ini biasanya dilakukan dengan

mensubstitusikan hasil kedalam rumus/persamaan yang tidak sama

tetapi masih berkaitan untuk mem-buktikan ketepatan jawaban tersebut

( Huffman, 1997: 555).

2. Explicit Problem Solving strategy

Dalam explicit problem solving strategy siswa diajar bagaimana

memecahkan masalah-masalah fisika menggunakan metode

pemecahan masalah secara jelas, tegas dan eksplisit (Heller dkk dalam

Huffman, 1997: 555). Secara umum langkah-langkah pemecahan

masalah dalam explicit problem solving adalah sebagai berikut

a). Fokus pada masalah. Ini dilakukan dengan menerjemahkan

kata-kata yang tertulis kedalam sebuah lukisan visual dari situasi yang

terdapat masalah tersebut. Gambaran tersebut meliputi sketsa

situasi permasalahan, informasi yang diketahui, pertanyaan

sederhana tentang apa yang ingin dicari, dan pendekatan umum

(31)

b). Mendeskribsikan fisika. Pada langkah ini, sketsa dari langkah

pertama diterjemahkan kedalam lukisan fisis yang sederhana.

Langkah ini memiliki tiga bagian, yaitu: (1)sebuah diagram fisis,

(2) penetapan variabel-variabel termasuk variabel sasaran yang

ingin dicari, dan (3) pemilihan hubungan kuantitatif atau hubungan

matematis atau prinsip-prinsip fisika yang dapat digunakan dalam

pemecahan masalah tersebut.

c). Merencanakan sebuah cara pemecahan masalah. Pada langkah ini,

gambaran fisis diterjemahkan kedalam rumus matematis tertentu

yang digunakan untuk memecahkan masalah. Langkah ini

memiliki tiga bagian, yaitu: (1) mengkonstruksi rumus yang

khusus. Pengkonstruksian rumus yang khusus ini dimulai dengan

sebuah rumus yang berisi variabel sasaran, dan meliputi gabungan

deretan rumus-rumus dimana variabel-variabel yang tidak

diketahui dihubungkan dengan variabel-variabel yang diketahui,

(2) memeriksa kelayakan. Pemeriksaan kelayakan meliputi

perbandingan sejumlah rumus dengan sejumlah variabel yang tidak

diketahui; dan (3) mensketsa cara pemecahan matematis. Cara

pemecahan matematis diuraikan untuk menye-diakan jembatan

menuju pelaksanaan yang benar-benar matematis.

d). Melakukan apa yang telah direncanakan. Pada langkah ini,

rumus-rumus digabungkan secara aljabar menurut perencanaan, untuk

(32)

tidak diketahui. Satuan-satuan dari setiap besaran dalam dalam

rumus ini diperiksa untuk meyakinkan kebenarannya, dan diubah

bila diperlukan. Yang terakhir, kuantitas yang diketahui dimasukan

kedalam rumus untuk menghitung nilai dari variabel sasaran.

e). Mengevaluasi/menguji jawaban. Pada langkah ini, jawaban

diperiksa untuk meyakinkan bahwa pernyataannya cocok,

beralasan dan sempurna.

Walaupun metode eksplisit tampak agak sama dengan metode

textbook, akan tetapi metode eksplisit meyediakan banyak rangkaian

pembelajaran yang lebih detail bagi siswa untuk berpartisipasi,

termasuk langkah-langkah penghu-bung yang membantu siswa

bergerak dari satu langkah ke langkah berikutnya (Huffman, 1997:

555).

Sedangkan menurut Polya (1973: 5), empat fase penting yang harus

ditempuh dalam menyelesaikan masalah adalah

a). Memahami masalah. Maksudnya kita harus memahami dan mampu

mengidentifikasi data yang telah ada, hal apa saja yang ditanyakan,

dicari ataupun dibuktikan.

b). Memilih pendekatan atau metode pendekatan; Maksudnya mampu

memilih konsep yang relevan untuk membentuk model atau

(33)

c). Menyelesaikan model; Maksudnya melakukan operasi hitung

secara benar dalam menerapkan metode, untuk mendapatkan

solusi dari masalah.

d). Menafsirkan solusi; Maksudnya memperkirakan dan memeriksa

kebenaran jawaban, apakah jawaban sudah masuk akal dan

memberikan pemecahan terhadap masalah semula.

Problem atau masalah yang dihadapkan kepada siswa hendaknya

mengandung kesulitan baik itu yang bersifat psikis maupun yang bersifat

fisis. Maksudnya persolan itu memerlukan otak atau otot untuk dapat

memecahkanya.

Masalah yang baik yang mau dihadapkan kepada siswa hendaknya:

1). Jelas dan mudah dipahami maksud soal

2). Sesuai dengan kemampuan anak, dalam arti permasalahan yang ada

tidak terlalu sukar buat siswa, tetapi membutuhkan pemikiran yang

dalam.

3). Menarik minat siswa

4). Sesuai dengan pelajaran anak diwaktu lalu, sekarang (kontekstual)

maupun dimasa yang akan datang.

5). Praktis, dalam arti mungkin dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan utama digunakan metode ini adalah, untuk memberi

kemampuan dan kecakapan praktis kepada siswa sehingga tidak takut

(34)

optimisme yang tinggi. Setiap metode pembelajaran pasti mempunyai

kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Kelebihan dari metode problem solving adalah:

1. melatih siswa berpikir secara sistematis, mencari sebab akibat.

2. melatih siswa agar trampil dalam mencari jalan keluar dari

permasalahan yang dihadapi.

3. melatih siswa agar terampil dalam menganalisa suatu masalah dari

berbagai aspek.

4. mendidik siswa untuk bertanggung jawab terhadap yang telah

ditetapkan dalam memecahkan masalah.

5. mendidik siswa untuk besikap terbuka terhadap pendapat orang lain

dan membuat pertimbangan untuk memilih suatu perimbangan.

Sedangkan kelemahan metode problem solving adalah:

1. memerlukan waktu yang cukup banyak, jika diharapkan suatu hasil

keputusan yang tepat.

2. Tidak dapat digunakan pada kelas-kelas rendah, karena memerlukan

kecakapan bersoal jawab dan memikirkan sebab akibat.

3. menyebabkan pelajaran tertinggal, sebab satu dua masalah yang

(35)

D. Sikap Ilmiah

Semua tulisan tentang sikap ilmiah berikut diambil dari tulisan Bahrul Ulum di

dalam http://blogbahrul.wordpress.com/2007/11/28/sikap-ilmiah/

Baharudin (1984: 34) mengemukakan bahwa sikap ilmiah pada dasarnya

adalah sikap yang diperlihatkan oleh para ilmuwan saat mereka melakukan

kegitan sebagai ilmuwan. Dengan perkataan lain sikap ilmiah adalah

kecendrungan individu untuk bertindak atau berperilaku dalam memecahkan

suatu masalah secara sistematis melalui langkah-langkah ilmiah

Beberapa langkah ilmiah yang biasa dilakukan oleh para ahli dalam

menyelesaikan masalah berdasarkan metode ilmiah menurut Brotowidjoyo

(1985: 31-34), antara lain:

a. Sikap ingin tahu: apabila menghadapi suatu masalah yang baru

dikenalnya, maka ia berusaha mengetahuinya; senang mengajukan

pertanyaan tentang obyek dan peristiwa; kebiasaan menggunakan alat

indra sebanyak mungkin untuk menyelidiki suatu masalah.

b. Sikap kritis: tidak langsung begitu saja menerima kesimpulan tanpa ada

bukti yang kuat, kebiasaan menggunakan bukti-bukti pada waktu menarik

kesimpulan; bersedia berubah pendapatnya berdasarkan bukti-bukti yang

kuat.

c. Sikap obyektif: melihat sesuatu sebagaimana adanya obyek itu,

menjauhkan bias pribadi dan tidak dikuasi oleh pikirannya sendiri. Dengan

kata lain mereka dapat mengatakan secara jujur dan menjauhkan

(36)

d. Sikap ingin menemukan: selalu memberikan saran-saran untuk

mene-mukan eksperimen baru, kebiasaan menggunakan eksperimen-eksperimen

dengan cara yang baik dan konstruktif, selalu memberikan konsultasi yang

baru dari pengamatan yang dilakukannya.

e. Sikap menghargai karya orang lain: tidak akan mengakui dan memandang

karya orang lain sebagai karyanya, menerima kebenaran ilmiah walaupun

ditemuakn oleh orang atau bangsa lain.

f. Sikap tekun: tidak bosan mengadakan penyelidikan, bersedia mengulangi

elsperimen yang hasilnya meragukan, tidak akan berhenti melakukan

kegiatan-kegiatan apabila belum selesai, berusaha bekerja dengan teliti

terhadap hal yang ingin diketahuinya.

g. Sikap terbuka: bersedia mendengarkan argumen orang lain sekalipun

berbeda dengan apa yang diketahuinya, terbuka menerima kritikan dan

respon negatif terhadap pendapatnya.

h. Sikap mau bekerja sama dengan orang lain dalam memecahkan masalah.

Lebih rinci Diederich mengidentifikasikan 20 komponen sikap ilmiah

sebagai berikut: selalu meragukan sesuatu, percaya akan kemungkinan

penyelesaian masalah, selalu menginginkan adanya verifikasi eksperimental,

tekun, suka pada sesuatu yang baru, mudah mengubah pendapat atau opini,

loyal terhadap kebenaran, objektif, enggan mempercayai tahyul, menyukai

penjelasan ilmiah, selalu berusaha melengkapi pengetahuan yang dimilikinya,

tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, dapat membedakan antar hipotesis

(37)

menghargai struktur teoritis, menghargai kuatifikasi, dapat menerima

pengertian keboleh-jadian, dan dapat menerima pengertian generalisasi.

F. Ringkasan Materi Elastisitas Bahan dan Hukum Hooke

Semua tulisan tentang materi Elastisitas bahan dan hukum Hooke berikut diambil

dari buku Fisika SMA Kekas XI (KTSP 2006) karangan Marten Kanginan.

1. Elastisitas Bahan

a. Tegangan, Regangan, dan Modulus Elastisitas

1) Tegangan

Bila seutas kawat dengan luas penampang A mengalami suatu

gaya tarik F pada ujung-ujungnya, mengakibatkan kawat mengalami

tegangan tarik σ. Tegangan tarik σ didefinisikan sebagai hasil bagi antara gaya tarik F yang dialami kawat dengan luas penampangnya

(A). Secara matematis dapat ditulis sebagai berkut

A

Gaya tarik yang dikerjakan pada batang berusaha meregangkan

kawat hingga panjang kawat semula L bertambah sebesar ΔL. Regangan (tarik) е didefinisikan sebagai hasil bagi antara pertambahan panjang ΔL dengan panjang awal L. Secara matematis

dapat ditulis sebagai berikut

(38)

3) Modulus Elastis

Modulus elastis (juga disebut modulus Young) suatu bahan

didefinisikan sebagai perbandingan antara tegangan dan regangan

yang dialami bahan. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut

e E atau regangan tegangan elastis

Modulus = =σ

b. Tetapan gaya benda elastis

Jika substitusikan tegangan σ = F/A dan regangan е = ΔL/L

kedalam persamaan modulus elastisitas, diperoleh hubungan antara gaya

tarik F dan modulus elastis E.

Jadi:

dengan k adalah tetapan gaya sebagai pengganti dari

. Dengan demikian adalah tetapan gaya untuk benda elastis.

2. Hukum Hooke

Jika gaya tarik tidak melampaui batas elastis pegas, maka pertambahan panjang pegas sebanding dengan gaya tariknya.

Pernyataan ini pertama kali dikemukakan oleh Robert Hooke. Oleh karena

itu pernyataan diatas dikenal sebagai hukum Hooke. Secara matematis

hukum Hooke tersebut dapat ditulis sebagai berikut

F = kΔx

dengan

(39)

a. Hukum Hooke untuk susunan pegas

Beberapa buah pegas dapat disusun secara seri, secara paralel, atau

gabungan keduanya. Susunan masing-masing pegas ini dapat diganti

dengan sebuah pegas pengganti.

1) Susunan Seri Pegas

Gambar. 1 Pegas yang disusun Seri

Prinsip susunan seri beberapa buah pegas adalah sebagai berikut

1) Gaya tarik yang dialami tiap pegas sama besar dan gaya tarik ini

sama dengan gaya tarik yang dialami pegas pengganti.

Misalkan gaya tarik yang dialami tiap pegas adalah F1 dan F2, maka

gaya tarik pada pegas pengganti adalah F.

... ...(1)

2) Pertambahan panjang pegas pengganti seri Δx, sama dengan total

pertambahan panjang tiap-tiap pegas

...(2)

Dengan menggunakan hukum Hooke dan kedua prinsip susunan

seri, dapat ditentukan hubungan antara tetapan pegas pengganti seri ks Δx = Δx1 + Δx2

(40)

dengan tetapan tiap-tiap pegas (k1 dan k2). Langkahnya adalah sebagai

Dapatlah dinyatakan bahwa kebalikan tetapan pegas pengganti seri

sama dengan total dari kebalikan tiap-tiap tetapan pegas.

....

Untuk n buah pegas identik dengan tiap pegas memiliki tetapan k,

tetapan pegas pengganti seri ks dapat dihitung dengan rumus

n k

ks= ...(4)

2) Susunan Paralel Pegas

(41)

Prinsip susunan paralel beberapa buah pegas adalah sebagai

berikut

1) Gaya tarik pada pegas pengganti F sama dengan total gaya

tarik pada tiap pegas (F1 dan F2)

F = F1 + F2 ……….(5)

2) Pertambahan panjang tiap pegas sama besar, dan

pertambahan panjang ini sama dengan pertambahan

panjang pegas pengganti.

Δx1 = Δx2 = Δx ...(6)

Dengan menggunakan hukum Hooke dan kedua prinsip susunan

paralel, dapat ditentukan hubungan antara tetapan pegas

pengganti paralel kp dengan tetapan tiap-tiap pegas (k1 dan k2).

Langkahnya adalah sebagai berikut

x

persamaan (5) diperoleh

)

Dapatlah dinyatakan bahwa tetapan pegas pengganti paralel sama

dengan total dari tetapan tiap-tiap pegas yang disusun paralel.

(42)

Untuk n buah pegas identik yang disusun paralel, dengan tiap

pegas memiliki tetapan gaya k, tetapan gaya pegas pengganti

paralel kp dapat dihitung dengan rumus kp = nk

3)Susunan Seri Paralel Pegas

Untuk mencari tetapan pegas pengganti dari beberapa buah

pegas yang disusun secara seri paralel, prinsipnya sama dengan

prinsip-prinsip pada poin a dan poin b diatas.

Gambar 3 Pegas-pegas yang disusun secara seri paralel dan pegas penggantinya.

Dari gambar diatas pegas yang disusun secara paralel yaitu

pegas yang memiliki konstanta k1 dan k2 terlebih dahulu dicari

konstanta pegas pengganti paralel kp, kp = k1 + k2. Sekarang

pegas dengan konstanta kp dan k3 tersusun secara seri, maka

langkah selanjutnya mencari konstanta pegas pengganti seri ks,

Jadi pegas yang tersusun seperti gambar 3 diatas dapat

(43)

b. Usaha oleh Gaya Pegas

Untuk simpangan x diukur dari posisi keseimbangan (posisi x =

0), gaya pegas dapat dinyatakan sebagai Fp = kx. Usaha yang

dilakukan oleh gaya pegas, Fp, ketika pegas berpindah dari posisi (1)

dengan simpangan x1 ke posisi (2) dengan simpangan x2 adalah W1,2 =

-FpΔx = -kx Δx. Tanda minus menunjukan gaya Fp berlawanan dengan arah perpindahan.

Dengan menggunakan integral,maka

W1,2 =

Usaha oleh gaya pegas Wpegas = -

c. Energi potensial elastis pegas

Dari persamaan usaha oleh gaya pegas diatas diperoleh bahwa

usaha yang dilakukan oleh gaya pegas untuk benda yang berpindah

dari posisi x1 ke posisi x2 adalah: W1,2 = - . Gaya pegas

termasuk gaya konservatif sehingga usaha yang dilakukan memenuhi

persamaan Wkons = -ΔEP = - (EP2 – EP1). Jika kedua pesamaan usaha itu disamakan, diperoleh:

(44)

(EP2 – EP1)

EP2 dan EP1 sehingga secara

umum EP =

F. Kaitan Antara Teori dan Penelitian.

Untuk membantu siswa membentuk atau mengkonstruksi pengetahuan,

maka perlu digali cara pembelajaran yang dapat membuat siswa terlibat secara

aktif dalam kegiatan belajar. Belajar berarti proses aktif siswa membentuk

makna, mengembangkan pengetahuan, dan berinteraksi dengan lingkungan

yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan, pemahaman,

keterampilan dan nilai-sikap. Sementara itu, pembelajaran menekankan pada

kegiatan atau atau keaktifan siswa, bukan kegiatan guru. Ukuran dari kualitas

pembelajaran tidak terletak pada baiknya guru menerangkan, tetapi pada

kualitas dan kuantitas belajar siswa, dalam arti seberapa banyak dan seberapa

sering siswa terlibat secara aktif. Berdasarkan uraian dan deskripsi teoritis di

atas , penelitian ini akan menampilkan model pembelajaran dengan metode

problem solving untuk membantu siswa membentuk pengetahuan dan sikap

ilmiah pada pokok bahasan elastisitas bahan dan hukum Hooke. Dalam

penelitian ini siswa dikatakan berhasil mengkonstruksi atau mengembangkan

pengetahuan bila ada peningkatan dalam prestasi belajar, yaitu bila ada

(45)

Kemampuan yang diukur dalam pretest dan posttset pada penelitian ini

hanya ditinjau dari aspek kognitif. Aspek kognitif menurut taksonomi Bloom

meliputi dimensi ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Kalau dikaitkan dengan kemampuan berpikir, maka dimensi ingatan

digolongkan dalam kemampuan berpikir rendah. Dimensi pemahaman,

aplikasi, dan analisis digolongkan dalam kemampuan berpikir sedang dan

dimensi sintesis dan eveluasi digolongkan dalam kemampuan berpikir tinggi.

Sehingga pada penelitian ini aspek kognitif yang dilibatkan dalam penyusunan

pretest dan posttest hanya dimensi pemahaman, aplikasi, dan analisis. Hal ini

dipilih karena peneliti menganggap bahwa kemampuan berpikir siswa kelas

XIIPA SMA berada dalam kategori sedang.

Pada pembelajaran dengan metode problem solving siswa diberi

kesempatan untuk terlibat aktif memecahkan soal-soal. Siswa sepenuhnya

diberi kepercayaan untuk menyelesaikan masalah-masalah. Agar siswa terarah

dalam memecahkan masalah-masalah, maka disediakan langkah-langkah atau

format penyelesaian masalah atau soal (format penyelesaian soal dapat

dilihat lampiran 6). Pada pembelajaran dengan metode problem solving peran

guru hanya sebagai fasilitator dan mediator. Peran guru sebagai fasilitator,

yaitu menyediakan masalah-masalah dan menyediakan langkah-langkah

pemecahan atas masalah tersebut dan peran guru sebagai mediator yaitu

menciptakan kondisi lingkungan belajar, menjembatani bila siswa menemukan

(46)

Melalui pembelajaran dengan metode problem solving siswa dilatih untuk

menjadikan diri mereka sebagai problem solver, sehingga bila menghadapi

soal-soal mereka dapat memecahkannya. Bukan hanya itu metode ini juga

melatih siswa untuk menjadikan diri mereka sebagai pribadi yang jujur, teliti,

tekun, suka bekerja sama, tidak cepat marah, menerima gagasan orang lain,

sabar, bertanya bila tidak mengerti, dan memiliki semangat untuk mencari

(47)

31 BAB III

METODOLOGI PENELITTIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian model kuantitatif. Penelitian kuantitatif

adalah penelitian yang menggunakan data-data berupa skor atau angka,

kemudian data-data tersebut dianalisis menggunakan statistik (Suparno, 2007:

135). Jenis penelitiannya adalah jenis komparatif. Penelitian jenis komparatif

adalah penelitian yang membandingkan antar dua kelompok untuk melihat

mana yang lebih mempuyai dampak ( Suparno, 2007: 7). Pada penelitian ini

dua kelompok yang dibandingkan adalah kelompok siswa yang diajar dengan

metode problem solving dan kelompok siswa yang diajar dengan metode

ceramah.

B. Waktu Dan Tempat Penelitian

Waktu: 13 Oktober 2008 – 10 November 2008

Tempat: SMA Negeri I Kalasan Sleman

C. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh siswa kelas XI IPA SMA

(48)

2. Sampel Penelitian

Dari semua siswa kelas XI IPA diambil dua kelas sebagai sampel yang

terdiri dari 80 siswa. Satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas

sebagai kelas kontrol.

D. Rancangan Penelitian

1. Peneliti memberi pretest kepada seluruh siswa kelas XI IPA yang terdiri

dari 3 kelompok kelas. Dari 3 kelompok kelas ini dipilih 2 kelas untuk

dijadikan sampel penelitian. Pemilihan ini didasarkan pada nilai rata-rata

pretest masing-masing kelas. Dua kelas yang dipilih adalah kelas yang

nilai rata-ratanya tidak berbeda secara signifikan.

2. Peneliti mengajar di dua kelas. Kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas

eksperimen belajar elastisitas bahan dan hukum Hooke dengan metode

problem solving dan kelas kontrol belajar elastisitas bahan dan hukum

Hooke dengan metode ceramah.

3. Pada kelas eksperimen peneliti mengajar dengan metode problem solving.

Model pembelajarannya seperti dijelaskan pada treatment.

4. Pada kelas kontrol peneliti mengajar dengan metode ceramah. Modelnya

adalah peneliti menjelaskan materi elastisitas bahan dan hukum Hooke

kemudian latihan soal.

5. Setelah materi elastisitas bahan dan hukum Hooke selesai diajarkan

(49)

kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan mereka tentang materi

tersebut dan memberikan kuesioner untuk mengetahui sejauh mana siswa

mengembangkan sikap ilmiah dalam mengikuti proses pembelajaran yang

telah dilakukan. Kuesioner sikap ilmiah hanya ditujukan untuk kelas

eksperimen.

6. Peneliti membandingkan apakah kelas yang belajar elastisitas bahan dan

hukum Hooke dengan metode problem solving, lebih baik dalam

mengkonstruksi pengetahuan daripada kelas yang belajar elastisitas bahan

dan hukum Hooke dengan metode ceramah.

E. Treatment

Treatment adalah perlakuan khusus peneliti kepada subyek yang mau

diteliti agar nantinya mendapatkan data yang diinginkan. Treatment dapat

berwujud metode pengajaran tertentu kepada siswa, untuk melihat apa

dampaknya metode itu dibandingkan metode pengajaran biasa (Suparno,

2007: 51-52).

Pada Penelitian ini perlakuan khususnya adalah melaksanakan

pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke dengan metode

problem solving. Treament yang diberikan kepada siswa disusun dengan

urutan sebagai berikut:

1. Peneliti membagikan lembar petunjuk yang berisi metode-metode

pemecahan soal-soal fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke

(50)

2. Peneliti menjelaskan kepada siswa metode-metode pemecahan soal-soal

fisika tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke.

3. Peneliti mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil yang

terdiri dari 3 – 4 siswa. Pemilihan anggota kelompok diserahkan pada siswa

sendiri.

4. Soal-soal latihan dibagikan ke masing-masing kelompok.

5. Dalam masing-masing kelompok siswa memecahkan soal-soal yang

diberikan. Siswa boleh memecahkan persoalan yang diberikan dengan

berdiskusi, bertanya pada teman, mencari informasi-informasi terkait dari

buku pelajaran. Selama proses memecahkan soal-soal ini siswa sedang

berusaha untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka.

6. Perwakilan dari masing kelompok mempresentasikan atau mengerjakan

penyelesaian soal di papan tulis

7. Kelompok lain dipersilahkan untuk menaggapi hasil pemecahan kelompok

yang sedang mempresentasikan hasil pemecahannya

8. Peneliti menjelaskan cara penyelesaian yang benar apabila penyelesaian

siswa salah atau ada bagian yang dirasa tidak jelas menurut siswa.

Sedangkan pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke

dengan metode ceramah secara umum disusun dengan langkah-langkah

sebagai berikut

1. Peneliti menjelaskan materi yang telah dipersiapkan untuk satu kali

(51)

2. Peneliti meminta siswa untuk mengajukan pertanyaan jika ada materi yang

belum dimengerti. Bila ada yang bertanya peneliti menjelaskannya.

3. Peneliti memberi/menjelaskan 2 atau 3 contoh soal. kemudian disusul

dengan latihan-latihan soal.

F. Instrument Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini

adalah test (pretest dan posttest) dan kuesioner.

1. Pretest dan posttest

Instrumen ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa

mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke.

Kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas bahan

dan hukum Hooke ditunjukan oleh peningkatan prestasi belajar siswa

setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode

problem solving maupun metode ceramah. Prestasi belajar dibatasi pada

peningkatan antara pretest dengan posttest. Pretest dalam penelitian ini

berguna untuk mengukur kemampuan awal masing-masing kelas

penelitian dan posttest berguna untuk mengukur kembali kemampuan

siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Pretest dan posttest dalam

penelitian ini terdiri dari 6 butir test dan berbentuk uraian dengan skor

maksimum 120 dan minimum 0. Kemampuan yang diukur dalam pretest

dan posttest adalah kemampuan kognitif yang meliputi dimensi

(52)

Pada table 1 digambarkan kisi dimensi kognitif yang diukur dan

kisi-kisi test berdasarkan indikator yang kompetensi yang diharapkan.

Tabel 1. KISI-KISI PRETEST DAN POSTTEST

Diharapkan siswa mampu:

1)Menentukan tegangan

sebuah batang baja

2)Menghitung gaya tarik

yang dilakukan pada

(53)

Elastisi-

3)Menentukan tetapan

pegas pengganti dua

buah pegas yang disusun

secara seri

4)Menganalisa

masalah-masalah dalam

kehidupan sehari-hari

yang berkaitan dengan

pegas

√ 1

1

3.Dua buah pegas

dengan tetapan

masing – masing

k1 dan k2

siswa tersebut m

(54)

Elastisit-as bahan

dan

hukum

Hooke

5)Menentukan energi

potensial sebuah pegas

6)Menghitung usaha yang

dilakukan oleh pegas

tetapan gaya k

Hitunglah usaha

yang dilakukan

pegas pada balok

ketika balok

Berikut diberikan contoh soal pretest dan posttest yang digunakan

sebagai instrumen penelitian. Test lengkap dapat dilihat di lampiran 4.

Diatas meja licin sebuah balok m diikatkan pada ujung sebuah pegas

(55)

bolak-balik disekitar titik keseimbangan. Hitunglah usaha yang dilakukan

pegas pada balok ketika balok bergerak dari posisi (x = 0 cm) ke posisi x

= 5 cm!

2. Kuesioner sikap

Kuesioner sikap dibatasi pada pernyataan sikap ilmiah siswa selama

proses pembelajaran berlangsung. Sikap ilmiah yang diukur adalah

pernyataan-pernyataan sungguh-sungguh, jujur, tekun, teliti, menghargai

pendapat orang lain, rela bila pendapatnya ditantang/dicela, tidak cepat

putus asa, bekerja sama, dan bertanya untuk memperjelas pemahaman

selama proses pembelajaran berlangsung.

Kuesioner ini terdiri dari 10 item dan pada masing-masing item

berisi pernyataan sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju

terhadap setiap aspek yang ingin diungkap selama pembelajaran

berlangsung.

Tabel.2 Contoh kuesioner sikap ilmiah siswa

NO PERTANYAAN SS S TS STS

1 Selama pembelajaran berlangsung, saya

mengerjakan semua soal yang diberikan

dengan sungguh-sungguh.

2 Selama pembelajaran berlangsung, saya

menye-lesaikan soal di papan tulis dari hasil

pekerjaan saya sendiri atau dari kelompok

saya sendiri.

(56)

G. Validitas

1. Untuk test

Validitas pretest dan posttest dalam penelitian ini adalah validitas isi.

Validitas isi adalah validitas yang mengukur apakah isi dari instrumen

yang digunakan sungguh mengukur isi dari domain yang akan diukur. Isi

test sesuai dengan bahan yang diberikan pada waktu pelajaran. Validitas

isi dalam penelitian ini dilakukan dengan menyusun kisi-kisi soal seperti

ditunjukan pada bagian instrument.

2. Untuk kuesioner

Untuk kuesioner validitas yang dilakukan ialah validitas konstruk.

Validitas konstruk berhubungan dengan pertanyaan: seberapa jauh

instrumen yang disusun mampu menghasilkan butir-butir pertanyaan yang

telah dilandasi oleh konsep teoritik tertentu. Validitas konstruk disusun

dengan mendasarkan diri pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan

konseptual yang didukung oleh teori yang sudah mapan (Seepo dalam

http://seepojhur.blogspot.com). Dalam penelitian ini kuesioner disusun

(57)

H. Analisis Data

1. Menentukan kemampuan siswa pada kelas kontrol dan kelas

eksperimen sebelum pembelajaran berlangsung, apakah tidak

berbeda secara signifikan

Untuk mengetahui bagaimana perbandingan prestasi/kemampuan

siswa sebelum pembelajaran dengan metode problem solving maupun

ceramah dilaksanakan, diukur melalui tes, yaitu pretest. Penskoran

terhadap hasil pekerjaan siswa dilakukan dengan membuat skala skor.

a. Soal No.1 dan No.2 (bobot soal 15)

1) Jika pekerjaan siswa sesuai maka skor 15

2) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis rumus

maka diberi skor 10

3) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis

besaran yang diketahui dan ditanyakan maka skor 7

4) Jika pekerjaan siswa tidak sesuai maka diberi skor 2

5) Jika siswa tidak mengerjakan maka skor 0

b. Soal No.3 dan No.5 (bobot soal 20)

1) Jika pekerjaan siswa sesuai maka skor 20

2) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis

besaran yang diketahui dan ditanyakan maka skor 10

3) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis rumus

maka diberi skor 15

(58)

5) Jika siswa tidak mengerjakan maka skor 0

c. Soal No. 4 dan No.6 (bobot soal 25)

1) Jika pekerjaan siswa sesuai maka skor 25

2) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis

besaran yang diketahui dan ditanyakan maka skor 12

3) Jika pekerjaan siswa hanya sesuai sampai pada menulis rumus

maka diberi skor 19

4) Jika pekerjaan siswa tidak sesuai maka diberi skor 5

5) Jika siswa tidak mengerjakan maka skor 0

Setelah dilakukan penyekoran terhadap hasil kerja siswa, kemudian

skor pretest dianalisis dengan uji t. Uji statistik yang digunakan adalah

t-test dua group yang independent (Suparno, 2002: 59). Proses perhitungan

menggunakan program SPSS. Langkah-langkah pengolahan data dengan

SPSS dapat dilihat di lampiran 12.

Menggunakan Tabel Two Tailed untuk test untuk memperoleh nilai

kritikal dari t distribusi berdasarkan level significan 0,05. Jika

⏐tobs⏐>⏐tcrit⏐maka significant, artinya ada perbedaan antara kemampuan

prestasi kelas kontrol dan kelas eksperimen sebelum pembelajaran

dilaksanakan dan jika ⏐tobs⏐<⏐tcrit⏐ maka tidak significant, artinya tidak

ada perbedaan antara kemampuan prestasi kelas kontrol dan kelas

(59)

2. Kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan yang ditunjukan

oleh prestasi belajar siswa baik pada kelas kontrol maupun pada

kelas eksperimen

Untuk mengetahui sejauh mana peningkatan prestasi belajar siswa

dalam pembelajaran fisika pada pokok bahasan elastisitas bahan dan

hukum Hooke dengan metode problem solving maupun ceramah diukur

melalui tes, yaitu pretest dan posttest. Penskoran terhadap hasil pekerjaan

siswa dilakukan dengan membuat skala skor. Skala skor sama dengan

pada point 1 di atas.

Setelah dilakukan penyekoran terhadap hasil kerja siswa, kemudian

skor pretest dan posttest dianalisis dengan uji t. T-test digunakan untuk

mengetes dua kelompok yang dependen, atau satu kelompok yang dites

dua kali, yaitu pretest dan posttest (Suparno, 2002: 59). T-test dihitung

menggunakan program SSPS.

Menggunakan tabel Two Tailed Test untuk memperoleh nilai

kritikal dari t distribusi berdasarkan level signifikan 0,05. Jika

⏐tobs⏐>⏐tcrit⏐maka significant, artinya ada perbedaan antara pretest dan

posttest atau ada peningkatan prestasi belajar yang significant dan jika

⏐tobs⏐<⏐tcrit⏐ maka tidak significant, artinya tidak ada perbedaan yang

significan antara pretest dan postest atau tidak ada peningkatan prestasi

(60)

3. Perbandingan kemampuan siswa mengkonstruksi pengetahuan

antara siswa yang diajar dengan metode problem solving dan ceramah Untuk mengetahui bagaimana perbedaan peningkatan kemampuan

siswa mengkonstruksi pengetahuan tentang elastisitas bahan dan hukum

Hooke antara siswa yang diajar dengan metode problem solving dengan

metode ceramah dilakukan dengan cara menguji skor posttest dari kedua

metode tersebut dengan uji statistik. Uji statistik yang digunakan adalah

t-test dua group yang independen (Suparno, 2002:56). T-t-test dihitung

menggunakan bantuan SPSS. Menggunakan tabel Two Tailed Test untuk

memperoleh nilai kritikal dari t distribusi berdasarkan level significan

0,05. Jika ⏐tobs⏐>⏐tcrit⏐maka significant, artinya ada perbedaan antara

yang signifikan anatara kemampuan prestasi kelas kontrol dan kelas

eksperimen setelah pembelajaran dilaksanakan dan jika ⏐tobs⏐<⏐tcrit⏐

maka tidak significant, artinya idak ada perbedaan yang signifikan antara

kemampuan prestasi kelas kontrol dan kelas eksperimen setelah

pembelajaran dilaksanakan.

4. Skoring sikap ilmiah

Untuk data kuesioner sikap ilmiah siswa dilakukan penskoran

jawaban untuk memudahkan pengelompokan jawaban. Skor maksimal 30

dan minimal 0. Adapun penskoran dilakukan sebagai berikut:

a. SS (Sangat Setuju) diberi skor 3

(61)

c. TS (Tidak Setuju) diberi skor 1

d. STS (Sangat Tidak Setuju) diberi skor 0

Selanjutnya peneliti membedakan menjadi 4 kriteria yaitu: sangat

bersikap ilmiah (untuk sangat setuju ), bersikap ilmiah (untuk setuju),

tidak bersikap ilmiah (untuk tidak setuju), dan sangat tidak bersikap

ilmiah (untuk sangat tidak setuju). Prosentase sikap ilmiah untuk setiap

siswa digunakan rumus:

%

Selanjutnya untuk mengklasifikasi sikap ilmiah siswa diklasifikasikan

berdasar interval (%) sebagai berikut:

Tabel.3. Tabel Kriteria Klasifikasi Sikap Ilmiah Siswa

INTERVAL % KLASIFIKASI

81 – 100 Sangat bersikap ilmiah

61 – 80 bersikap ilmiah

41 – 60 Tidak bersikap ilmiah

0 – 40 Sangat tidak bersikap ilmiah

Kesimpulan diambil dengan mengelompokan data, sehingga dapat

diperoleh berapa jumlah siswa yang sangat bersikap ilmiah, berapa jumlah

siswa yang bersikap ilmiah, berapa jumlah siswa yang tidak bersikap

ilmiah, dan berapa jumlah siswa yang sangat tidak bersikap ilmiah selama

pembelajaran berlangsung, kemudian dicari prosentasenya agar terlihat

(62)

Untuk menghitung prosentase(%) siswa yang sangat bersikap ilmiah

selama pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke

(%)

Untuk menghitung prosentase(%) siswa yang bersikap ilmiah

selamapembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke

(%)

Untuk menghitung prosentase(%) siswa yang tidak bersikap ilmiah selama

pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke

(%)

Untuk menghitung prosentase(%) siswa yang sangat tidak bersikap

ilmiah selama pembelajaran tentang elastisitas bahan dan hukum Hooke

(%)

Selanjutnya klasifikasi sikap ilmiah dan prosentase jumlah siswa

dimasukan dalam tabel seperti berikut ini

Tabel 4. Tabel klasifikasi sikap ilmiah versus prosentase (%)

No Klasifikasi sikap Prosentase (%)

1 Sangat bersikap ilmiah

2 Bersikap ilmiah

3 Tidak bersikap ilmiah

(63)

Bila penjumlahan prosentase siswa yang sangat bersikap ilmiah dan

bersikap ilmiah lebih besar atau sama dengan 55 persen, maka kelas

tersebut secara umum dideskribsikan memiliki sikap ilmiah. Sebaliknya

bila penjumlahan prosentase siswa yang tidak bersikap ilmiah dan sangat

tidak bersikap ilmiah lebih besar atau sama dengan 55 persen, maka kelas

tersebut secara umum dideskribsikan tidak memiliki sikap ilmiah

Keterangan:

SBI = jumlah siswa yang sangat bersikap ilmiah selama pembelajaran

berlangsung

BI = jumlah siswa yang bersikap ilmiah selama pembelajaran

berlangsung

TBI = jumlah siswa yang bersikap ilmiah selama pembelajaran

berlangsung

STBI = jumlah siswa yang sangat tidak bersikap ilmiah selama

Gambar

Gambar. 1 Pegas yang disusun Seri
Gambar. 2 Pegas yang disusun paralel
Tabel 1. KISI-KISI  PRETEST DAN POSTTEST
Tabel 4. Tabel klasifikasi sikap ilmiah versus prosentase (%)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat dimaklumi karena mengingat peninggalan baik berupa tulisan-tulisan sejarah, bangunan (keraton), dan peninggalan bersifat kebendaan yang ada selama ini hanya

Adanya gula yang terikat pada flavonoida (bentuk yang umum ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoida lebih mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut diatas

Menurut Amin Widjaja Tunggal (2001: 1), metode Economic Value Added (EVA) di Indonesia dikenal dengan metode Nilai Tambah Ekonomi (NITAMI) merupakan suatu sistem manajemen

Selain dilihat dari bidang pendidikan perubahan sosial ekonomi desa A Widodo dilihat dari jenis pekerjaan masyarakat yang semakin beragam, yang pada mulanya hanya bermata

ada pengukuran menggunakan alat ukur yang telah dibuat terjadi selisih dengan spektrometer, selisih terbesar terdapat konsentrasi amonia 5 ml yaitu 12,5% serta selisih terendah

Suatu bilangan X terdiri dari dari 6 angka, jika angka pertama dipindahkan dari ujung paling kiri ke ujung paling kanan tanpa mengubah susunan angka-angka lainnya, bilangan

c. terjadi reaksi disosiasi dalam elektrolit, e. proses difusi pada permukaan elektroda, f. reaksi elektrokimia pada permukaan sensor. Arus reduksi akan terjadi pada

Daerah Irigasi Mohiolo merupakan bagian irigasi yang berpotensi dan dapat dikembangkan, sehingga perlu dilakukan perencanaan Peningkatan Jaringan Irigasi mengingat kapasitas