• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membedah Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 35/PUU-X/2012 Mia Siscawati, Ph.D. Sajogyo Institute

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membedah Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 35/PUU-X/2012 Mia Siscawati, Ph.D. Sajogyo Institute"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Membedah

Putusan Mahkamah Konstitusi

atas perkara No. 35/PUU-X/2012

Mia Siscawati, Ph.D.

Sajogyo Institute

Pelatihan awal REDD+, Tindak Lanjut MK 35, MRV dan Pemanfaatan CLASLite untuk Analisis Deforestasi

(2)

Outline Presentasi

• Sejarah Penguasaan Hutan Indonesia: Warisan Kolonial

• Perlawanan Akademik terhadap Konsep Penguasaan Negara di Masa Kolonial

• Penguasaan Hutan Indonesia Paska Kolonial

• Perlawanan Masyarakat Sipil dan Akademisi terhadap Konsep Hutan Politik pada Masa Orde Baru

• Gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas UU Kehutanan No. 41 tahun 1999

• Putusan MK

• Respon terhadap Putusan MK

• Masyarakat Adat

• Presiden Republik Indonesia

• Kementrian Kehutanan

• UKP4

(3)

Sejarah Penguasaan Hutan: Warisan Kolonial

Kawasan hutan sebagai sebuah bentuk penguasaan

tanah-wilayah hutan pertama kali diciptakan pada

masa kolonial Belanda ketika sejumlah besar wilayah

di Pulau Jawa dan Madura serta sejumlah kecil

wilayah di selatan pulau Sumatra ditetapkan sebagai

hutan negara.

Untuk mengatur hutan pemerintah kolonial

mengadopsi suatu sistem hukum yang menjadi

landasan bagi suatu pendekatan administrasi hutan

negara dan menempatkan penguasaan eksklusif

(4)

• Kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial sebagai hutan disebut oleh Peluso dan Vandergeest (2001) sebagai "hutan

politik“

• Jawatan kehutanan kolonial Belanda (Boschwezen) menetapkan wilayah “hutan politik” melalui undang-undang kehutanan

kolonial dengan membuat batasan antara lahan pertanian dan hutan, dan mengklaim semua lahan hutan sebagai domain negara (Peluso dan Vandergeest, 2001, Peluso, 1992).

• Konsep “hutan politik’ tersebut memainkan peran penting dalam pembentukan teritorialisasi dan kerangka hukum tentang hutan pada masa kolonial.

• Institusionalisasi "hutan politik" selama era kolonial (Peluso dan Vandergeest, 2001) memberikan kontribusi terhadap perumusan penguasaan hutan dan tata kelola hutan di Indonesia pada masa paska kolonial.

(5)

• “Momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10

September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865.”

“Reglemen Hutan 1865 tersebut merupakan awal adanya instrumen hukum tertulis yang secara juridis formal telah meniadakan hak dan kekuasaan

masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya. (Sumber: Sejarah Pengelolaan Hutan http://www.kph.dephut.go.id/)

(6)

Perlawanan Akademik terhadap Konsep

Penguasaan Negara di Masa Kolonial

• Di dalam buku berjudul De Indonesiër en Zijn Grond (Orang Indonesia dan Tanahnya), seorang ahli hukum Belanda

bernama Van Vollenhoven menguraikan

ketidakadilan/pelanggaran hak (onrecht) (disebutnya sebagai “seabad ketidakadilan”) yang ditimpakan pada masyarakat pribumi melalui pelaksanaan hukum agraria yang membatasi secara sistematis hak-hak penguasaan rakyat atas wilayah adatnya.

• Menurut van Vollenhoven, perampasan tanah yang terjadi dimana-mana dan secara besar-besaran itu mendapatkan pembenaran melalui penggunaan/penyalahgunaan secara sistematis oleh administratur kolonial mengenai Domein Verklaring dan hak penguasaan atas wilayah adat

(7)

Penguasaan Hutan Indonesia Paska Kolonial

• Sejak rejim orde baru memegang tampuk kekuasaan,

dengan berlandaskan pada Undang-Undang Kehutanan No. 5 tahun 1967, pemerintah menetapkan berbagai wilayah yang sebetulnya merupakan ruang hidup berbagai

komunitas menjadi “kawasan hutan.”

• “Kawasan hutan” pertama kali digunakan sebagai

terminologi hukum pada UU Kehutanan Tahun 1967 dan menjadi satu satuan pembatas yurisdiksi Departemen Kehutanan seperti tertuang pada UU Kehutanan Tahun 1999.

• Terminologi “kawasan hutan” tidak ada hubungannya dengan kondisi tutupan hutan aktual

(8)

Perlawanan Masyarakat Sipil dan Akademisi terhadap

Konsep Hutan Politik pada Masa Orde Baru

• Pada periode akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an, organisasi

masyarakat sipil gencar menyarakan perlunya perubahan Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967

• Pada akhir masa Orde Baru (1997-1998), organisasi masyarakat sipil dan

sejumlah akademisi kehutanan merumuskan naskah akademik untuk perubahan UU Pokok Kehutaan No. 5 tahun 1967.

• Ketika rejim Orde Baru tumbang, naskah akademik tsb dikembangkan menjadi naskah akademik usulan rancangan undang-undang kehutanan dan diajukan secara resmi kepada pihak eksekutif dan legislatif.

• Naskah akademik rancangan undang-undangan kehutanan tersebut tersebut berisi tuntutan kepada negara untuk mengakui hak-hak masyarakat adat dalam mengelola sumber daya hutan dalam wilayah mereka sekaligus mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. Naskah tersebut menyarankan tiga kategori status hutan: 1) hutan negara: 2) hutan adat dan 3) hutan milik (milik perorangan , kelompok atau pihak swasta).

• UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 tidak mengadopsi usulan tersebut di atas.

(9)

Gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas

UU Kehutanan No. 41 tahun 1999

• Menyadari sepenuhnya bahwa UU Kehutanan No 41 tahun 1999 menjadi rujukan untuk melegalkan klaim atas tanah dan wilayah adat sebagai kawasan hutan negara, AMAN mengajukan

permohonan judicial review atas undang-undang tersebut. Pada tanggal 19 Maret 2012, permohonan tersebut diserahkan oleh AMAN bersama dengan dua masyarakat adat anggotanya yaitu masyarakat adat Kasepuhan Cisitu dari Banten dan masyarakat adat Kenegerian Kuntu dari Riau.

• Dengan mengajukan judicial review atas sejumlah pasal UU

Kehutanan No. 41/1999 untuk menguji konstitusionalitas status hutan adat, dan beberapa pasal lain, AMAN menantang suatu “categorical inequality” (ketidakadilan kategoris) dalam sistem penguasaan tanah-tanah kehutanan Indonesia.

(10)

Putusan MK atas Perkara No. 35/PUU-X/2012:

Masyarakat Hukum Adat adalah

Bukan Penyandang Hak,

dan Bukan Subjek Hukum atas Wilayah Adatnya

• Pada 16 May 2013 Mahkamah Konstitusi mengumumkan Putusan atas perkara No. 35/PUU-X/2012.

• Bahwa hutan adat tidak lagi bagian dari hutan negara, melainkan bagian dari hutan hak.

• Hal ini berarti bahwa masyarakat hukum adat diakui sebagai “penyandang hak”, dan subjek hukum atas wilayah adatnya.

(11)

Apa yang berubah

Asli

Revisi

Pasal 1.6

Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah

masyarakat hukum adat

Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah

masyarakat hukum adat. Pasal

4.3

Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:

a. hutan negara, dan b. hutan hak.

Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat

Pasal 5.2

Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

(12)

Putusan MK tersebut mengakui

masyarakat adat sebagai “penyandang

hak” (

rights-bearer

), dan subjek hukum

atas wilayah adatnya.

Putusan MK perlu dimaknai sebagai

pemulihan kewarganegaraan

masyarakat adat

(13)

Setelah Putusan MK atas perkara No

35/PUU-X/2012 itu, tantangan terbesar

saat ini adalah mewujudkan ralat

konsep pembangunan dan ralat

kebijakan secara menyeluruh

Putusan MK perlu dijadikan rujukan

bagi perubahan mendasar dalam

pengelolaan kekayaan alam dan

sumber-sumber agraria lainnya

(14)
(15)
(16)
(17)

Pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono

Presiden Republik Indonesia

“(R)ecently the Indonesian Constitutional Court has decided that customary forest, or hutan adat, is not part of the state forest zone. This decision marks an important step towards a full

recognition of land and resources rights of adat community and forest-dependent communities. This will also enable Indonesia’s shift toward sustainable growth with equity in its forests and peatlands sector. 
I am personally committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of adat territories in Indonesia. This is a critical first step in the

implementation process of the Constitutional Court’s decision.

(Pidato pada saat pembukaan the International Workshop on Tropical Forest, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2013)

(18)

Zulkifli Hasan, Menteri

Kehutanan Republik Indonesia

negara mengakui keberadaan

hutan adat yang merupakan hak

adat dan ulayat, namun terlebih

dahulu harus ada peraturan daerah

(Perda) yang mengaturnya

kementeriannya berposisi

menunggu, sebaliknya pemerintah

kabupatan atau kota yang harus

aktif mengajukan Perda tersebut

mengingat yang mengetahui

kawasan hutan adat adalah

pemerintah daerah

(“

Perda harus tetapkan hutan adat

(19)

Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE-1/Menhut-III/2013

(20)

Inisiatif Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan

Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) dan

Kementerian Kordinator untuk Kesejahteraan Rakyat

Menyelenggarakan serangkaian pertemuan antar

Kementerian dan Lembaga. Pada pertemuan tanggal 09 Oktober merumuskan suatu usulan berisi 5 (lima) program aksi, sebagai berikut:

• Pembentukan Satgas Implementasi Putusan MK 35 yang siap beroperasi

• Pembentukan rencana Aksi Masa Transisi

• Konsolidasi isu-isu utama dalam pengaturan terkait MHA

• Pemetaan MHA dan wilayahnya serta penyelesaian konflik

(21)

Inisiatif Kementrian Dalam Negeri, Direktorat

Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

(Ditjen PMD-Kemendagri)

Menyelenggarakan serangkaian pertemuan antar

Kementerian dan Lembaga, dengan tema “Pemetaan

Masyarakat Hukum Adat“, pada 30 September 2013,

yang menyusulkan Menteri Dalam Negeri untuk

mengusulkan Presiden untuk membuat Instruksi

Presiden khusus yang membentuk Satuan Tugas

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas

Perkara no 35/PUU-X/2012, beserta tugas-tugasnya.

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan dengan adanya SIM Aset di Fakultas Teknik Universitas X ini dapat mengoptimalkan pengelolaan dan penggunaan aset yang dimiliki, melalui fasilitas yang

tersebut digunakan sebagai kerangka untuk menganalisa dukungan dan hambatan dalam upaya penerapan produksi bersih dalam konteks sistem manajemen lingkungan

Dari biaya pembangunan terminal penerima LNG yang berkapasitas 3 MTPA adalah sebesar 436 juta US$ dimana seluruh instalasi unit dan peralatan berupa fasilitas utama maupun

Hal ini berbeda dengan asumsi awal pada penelitian yang menyatakan bahwa ada perbedaan sikap terhadap euthanasia ditinjau dari jenjang pendidikan pada mahasiswa kedokteran..

Namun, untuk memenuhi asas konservatif dalam pencatatan sesuai dengan ketentuan prinsip akuntansi yang berlaku umum, pada tanggal 30 September 2009, Perusahaan

4.2 Menyajikan hasil analisis tentang interaksi manusia dengan lingkungan dan pengaruhnya terhadap pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Indonesia. 3.3 Menganalisis

Peluang ini juga didukung oleh produk suku cadang kendaraan bermotor Indonesia yang mampu bersaing dengan produk dari negara berkembang lainnya serta daya beli pasar

Instruksi tersebut dikeluarkan oleh Kepala Daerah D.I Yogyakarta tertanggal 5 Maret 1975, yang pada intinya berisi sebagai berikut: Apabila ada seorang Warganegara