BAB II
PENGATURAN TENTANG TEMBAKAU YANG
BERTENTANGAN DENGAN KONSEP PERSAINGAN
USAHA YANG SEHAT
2.1. Identifikasi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan
Tembakau adalah salah satu bahan utama yang dibutuhkan bagi industri
rokok baik itu merupakan industri rokok skala besar maupun industri yang
bergerak dalam lingkup yang lebih kecil. Indonesia sendiri memiliki produk hasil
tembakau yang menjadi ciri khas dan kearifan lokal yang disebabkan oleh tradisi
yang dilakukan secara turun-temurun. Produk olahan tembakau tersebut tidak lain
adalah rokok berjenis kretek. Tidak heran bahwa produk-produk olahan yang
berjenis kretek sangat digemari oleh masyarakat Indonesia dikarenakan rasanya
yang kuat dan lebih beraroma bila dibandingkan dengan jenis-jenis rokok yang
lainnya.
Namun belakangan ini Pemerintah mengeluarkan regulasi-regulasi yang
mengancam keberadaan tembakau lokal yang diawali dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan diakhiri dengan
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau
Bagi Kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyatakan sebagai berikut,
‘’ Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Zat adiktif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.’’8
Pasal tersebut dengan sangat jelas memasukkan tembakau ke dalam bahan yang
tergolong sebagai zat adiktif sehingga diperlukan pengamanan terhadapnya.
Ketentuan lebih lanjut diatur di dalam pasal 116 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tersebut sebagai jalan bagi lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 109
Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau
bagi Kesehatan ditemukan beberapa aturan terkait tembakau yang dapat
mengakibatkan tergesernya posisi tembakau lokal yang selama ini telah menjadi
suatu kearifan lokal bangsa dengan tembakau asing melalui jalur impor. Hal
tersebut sangatlah berpotensi guna memunculkan suatu bentuk praktik monopoli
pada segelintir pelaku usaha di dalam pasar yang bersangkutan, terlebih bagi
mereka yaitu para pelaku usaha sejenis yang lebih dominan menggunakan bahan
impor tersebut sebagai bahan baku dalam memproduksi produk tembakaunya.
8
2.1.1. Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan
Pada pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
disebutkan bahwa,
‘’ Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau berupa Rokok harus melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar per batang untuk setiap varian yang diproduksi.”9
Dari bunyi pasal tersebut terdapat pemikiran bahwa setiap orang atau pihak yang
berposisi sebagai pelaku usaha dalam bidang produk tembakau, diwajibkan untuk
melakukan pengujian terhadap kandungan kadar Nikotin dan Tar per batang dari
produk tembakau yang dihasilkannya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
banyak perdebatan di kalangan pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis tembakau
dan produknya di pasar yang tidak lain adalah pengusaha produk tembakau dan
petani tembakau itu sendiri. Di dalam penjelasan ayat (1) Peraturan Pemerintah
tersebut dikatakan bahwa maksud pemerintah mengeluarkan aturan tersebut tidak
lain adalah agar masyarakat mengetahui tentang kandungan bahan Nikotin dan
Tar di dalam produk tembakau yang mereka konsumsi. Pemerintah berdalih
bahwa pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 ini hanya
dimaksudkan sebagai sarana pemberi informasi kepada para pemakai produk
tembakau terkait dengan kandungan bahan berbahaya yang terdapat di dalamnya.
Namun bila kita lihat lebih dalam lagi maka sesungguhnya terdapat suatu maksud
9
lain yang dimiliki oleh pemerintah yang berkaitan dengan dikeluarkannya pasal
10 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tersebut. Yaitu terdapatnya
kesan bahwa pemerintah pada dasarnya bermaksud ingin melancarkan proses
impor tembakau ke dalam negeri dengan bersembunyi di balik naungan
Undang-Undang Kesehatan.
Perlu diketahui bersama bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar
antara tembakau yang dihasilkan di dalam negeri dengan tembakau yang
didatangkan dengan cara impor. Tembakau dalam negeri memiliki kadar Nikotin
dan Tar yang jauh lebih besar daripada tembakau impor asing. Terkait dengan
kadarnya, hal tersebut digolongkan lagi menjadi 3 (tiga) golongan yakni kadar
tinggi, middle dan low. Jenis tembakau dengan kadar Nikotin low, antara lain
Burley, Vike, RAM, Madura (Prancak N1 dan Prancak N2), Virginia (DB, Coker,
NC, T45). Untuk kategori middle, antara lain tembakau Madura (varietas lokal),
Kasturi, Paiton, Lumajang VO. Sedangkan Tembakau Jawa termasuk jenis
tembakau dengan kadar nikotin tinggi (5-7%).10 Kadar Nikotin tembakau lokal
tersebut disebabkan oleh kondisi geografis dari Indonesia itu sendiri yang
kemudian mencetak kualitas tembakau dengan kadar Nikotin dan Tar yang lebih
tinggi. Sehingga dapat diketahui bahwa memang dari asalnyalah tembakau dalam
negeri memiliki rata-rata kandungan kadar Nikotin dan Tar yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tembakau dari luar negeri.
Permasalahannya di sini adalah bahwa tembakau berkualitas dengan kadar
10Tim, ”Nikotin Tembakau”,
Nikotin dan Tar yang tinggi itu merupakan bahan baku utama dalam pembuatan
produk tembakau yang dinamakan rokok kretek, dan hampir sebagian besar
pelaku usaha produk tembakau di Indonesia bergerak pada industri kretek
tersebut. Terlebih bagi pelaku usaha dalam skala kecil. Pasal 10 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tersebut jelas
menjadi suatu penghalang yang nyata bagi pelaku industri rokok dalam negeri
yang memakai jenis tembakau lokal sebagai bahan baku utama pembuatan
produknya. Hal tersebut dikarenakan tembakau lokal pasti akan kalah saing
dengan tembakau luar yang memiliki kadar Nikotin dan Tar yang lebih rendah di
dalam pasar. Salah satu contohnya adalah tembakau Virginia yang merupakan
tembakau impor yang memiliki kadar Nikotin dan Tar yang lebih rendah dari
tembakau lokal. Biasanya tembakau impor dengan kadar Nikotin dan Tar yang
rendah ini merupakan bahan bagi pembuatan rokok putih. Hal tersebut
dikarenakan ciri dari rokok putih yang selalu memiliki kandungan kadar Nikotin
dan Tar yang lebih rendah dari pada rokok berjenis kretek. Sedangkan perlu
diketahui pula bahwa mayoritas produsen yang bergerak di sektor rokok putih ini
adalah para pengusaha asing.
Permasalahan selanjutnya adalah untuk dapat bersaing dengan tembakau
impor layaknya tembakau jenis Virginia yang memiliki kadar Nikotin dan Tar
yang lebih rendah, maka para produsen rokok kretek mau tidak mau harus
menurunkan kadar Nikotin dan Tar dari tembakau lokal yang digunakan sebagai
yang lebih rendah hanya dengan cara laser filter rokok atau dengan cara
mencampurkan tembakau lokal yang tinggi kadar Nikotin dan Tar nya tersebut
dengan tembakau yang memiliki kadar Nikotin dan Tar yang rendah. Untuk cara
pertama yaitu laser filter rokok dimaksudkan untuk dapat mengurangi jumlah
Nikotin dan Tar secara signifikan melalui filter rokok. Pembuatan laser filer rokok
ini membutuhkan biaya yang besar sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa
produsen-produsen rokok dalam negeri yang tergolong ke dalam pelaku usaha
kecil akan sangat kesulitan mengakses cara ini. Berbeda dengan produsen besar
yang mampu menjangkau teknologi laser filter ini dikarenakan memiliki pangsa
pasar yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha kecil tersebut. Cara
yang kedua adalah dengan cara mencampurkan tembakau dengan kadar Nikotin
dan Tar yang tinggi yakni tembakau lokal dengan tembakau dengan kadar Nikotin
dan Tar yang lebih rendah yaitu tembakau impor. Cara kedua ini juga berdampak
buruk terhadap iklim usaha yang terjadi di dalam pasar yang bersangkutan. Hal ini
dikarenakan pelaku usaha kecil dengan dana dan modal serta pangsa pasar yang
kecil akan sangat kesulitan untuk memasok tembakau impor. Dengan keterbatasan
itulah maka tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku usaha kecil akan tetap
mempertahankan tembakau lokal sebagai bahan baku pembuatan produknya yang
diketahui bersama bahwa tembakau lokal dengan kadar Nikotin dan Tar yang
tinggi tidak akan bertahan lama di pasaran diakibatkan oleh adanya regulasi ini.
Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau
celah bagi masuknya tembakau-tembakau asing melalui jalur impor.
Dengan keadaan yang seperti itu, maka akan terjadi ketimpangan di antara
pelaku usaha kecil dan pelaku usaha besar. Walaupun secara nyata aturan ini
menekan kedua belah pihak, yakni pelaku usaha besar maupun pelaku usaha kecil,
namun perlu dikaji kembali bahwasanya dengan pangsa pasar yang besar, maka
keuntungan yang didapat pelaku usaha besar juga akan besar pula. Sehingga
aturan tersebut tidak akan terlalu mengganggu kegiatan usahanya. Namun berbeda
dengan pelaku usaha kecil yang apabila dia tidak bisa menyeimbangkannya
dengan pelaku-pelaku usaha yang lebih besar darinya maka pelaku usaha kecil
tersebut pada akhirnya akan tersingkirkan dan keadaan seperti ini tentu saja
berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan posisi monopoli
yang dimiliki oleh pelaku usaha lain.
2.1.2. Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan
Pasal lain yang rancu untuk menjadi salah satu pemicu matinya usaha
kecil dalam hal ini juga dijumpai di dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor
109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa,
“ Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibutikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan.”11
11
Dari ketentuan pasal tersebut terdapat pemikiran bahwa para pelaku usaha yang
memproduksi produk tembakau dilarang untuk menggunakan bahan tambahan
yang dinilai berbahaya bagi kesehatan. Perlu digaris bawahi bahwa larangan
penggunaan bahan tambahan tersebut masih tidak jelas dan tentu saja hal ini
menjadi penghalang tambahan bagi para produsen rokok kretek. Hal tersebut
dikarenakan hampir seluruh jenis produk tembakau yang beredar di pasaran
terlebih itu adalah jenis rokok kretek adalah produk tembakau yang banyak
menggunakan bahan tambahan dalam proses produksinya. Berbeda dengan
produk tembakau yang berjenis putih atau yang biasa disebut dengan rokok putih.
Di dalam proses pembuatan rokok putih tersebut, para produsen hanya
membutuhkan beberapa bahan baku pembuatan saja yang bahan-bahan tersebut
juga digunakan sebagai bahan pembuatan rokok berjenis kretek. Sebut saja
tembakau, filter rokok dan juga kertas rokok. Namun di sini yang harus jadi
perhatian adalah terdapat perbedaan bahan baku pembuatan antara rokok putih
dan rokok kretek yaitu pada rokok kretek, dibutuhkan bahan lebih untuk dapat
menciptakan sebuah produk tembakau tersebut, yang antara lain adalah cengkih
dan saus rokok. Sedangkan di dalam proses pembuatan rokok putih, bahan berupa
cengkih tidak dibutuhkan meskipun di dalam rokok putih itu sendiri juga terdapat
saus rokok. Sehingga dapat dilihat bahwa kandungan bahan yang dibutuhkan
untuk membuat satu produk rokok kretek adalah lebih banyak dibandingkan
dengan bahan yang dibutuhkan untuk membuat satu produk tembakau berjenis
putih atau rokok putih itu sendiri.
Pada penjelasan pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun
2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan tersebut dikatakan sebagai berikut,
“ Yang dimaksud dengan “bahan tambahan” antara lain penambah rasa, penambah aroma, dan pewarna. Cengkeh, klembak, atau kemenyan tidak termasuk bahan tambahan, melainkan sebagai bahan baku.’’12
Di dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa cengkih memang bukan termasuk
ke dalam bahan tambahan melainkan sebagai bahan baku, namun penambah rasa
penambah aroma dan pewarna masuk dalam kumpulan bahan yang digolongkan
sebagai bahan tambahan menurut Peraturan Pemerintah ini. Penambahan bahan
penambah aroma, saus rokok dan lain sebagainya adalah dilarang apabila
membahayakan kesehatan. Padahal penambahan bahan penguat aroma, saus rokok
dan lain sebagainya itu merupakan bahan yang menjadikan rokok kretek itu
berbeda atau dengan kata lain memberikan kekhasan tersendiri apabila
disandingkan dengan rokok putih yang minim akan bahan tambahan.
Hal tersebut diperparah dengan adanya ketentuan lanjutan yang termuat di
dalam ayat (3) dari pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan yang menyatakan sebagai berikut,
“ Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau yang menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh Menteri berupa penarikan produk atas biaya produsen.”13
12
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Ps. 12 ayat 1.
13
Sebelumnya telah kita ketahui bahwa rokok kretek memiliki perbedaan
bahan baku bila dibandingkan dengan rokok putih. Hal ini dikarenakan memang
cita rasa khas dari rokok kretek tersebut dihasilkan dari banyaknya
rempah-rempah yang dipakai sebagai bahan baku pembuatannya. Dengan adanya
ketentuan pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan tersebut, maka dengan sangat jelas ruang gerak dari
rokok kretek ini menjadi sangat terbatasi. Dengan terbatasinya ruang gerak rokok
kretek ini maka akan sangat berimbas pada produsen yang berada di baliknya,
yang dalam hal ini adalah produsen dalam skala produksi yang kecil.
Ditambah lagi dengan sangat jelas pula pasal tersebut akan memberikan
sanksi bagi produsen-produsen rokok yang menggunakan bahan tambahan yang
disinyalir berbahaya bagi kesehatan. Namun bila kita tinjau ulang dari konsep zat
adiktifnya, maka hal ini sudah sepatutnya untuk dikaji ulang dengan cara menoleh
kembali kebelakang. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan tersebut dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di judul Peraturan
Pemerintah itu sendiri sudah dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan dari
Peraturan Pemerintah Itu adalah untuk mengamankan bahan yang mengandung
zat adiktif berupa produk tembakau. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dikatakan bahwa,
“Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.14
Sedangkan zat adiktif itu sendiri didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan
adiksi atau ketergantungan yang membahayakan kesehatan dengan ditandai
perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk
mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya,
memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain,
meningkatnya toleransi dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat.15
Bila kita mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat ditarik
suatu pemikiran bahwa tembakaunya itu sendiri pada dasarnya sudah
dikategorikan sebagai bahan yang berbahaya atau adiktif sehingga produk yang
dihasilkan dari tembakau itu pun sudah tentu merupakan bahan yang bersifat
berbahaya atau adiktif pula selama itu berbentuk rokok. Sehingga bila rokok yang
dalam hal ini merupakan bahan adiktif, maka segala macam penambahan di dalam
proses pembuatannya akan bersifat adiktif karena hasil akhir dari campuran bahan
tersebut telah dinyatakan sebagai bahan yang adiktif atau berbahaya. Inilah yang
dinilai sebagai salah satu kekaburan yang terdapat di dalam pasal 12 Peraturan
Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan
semacam ini dinilai sia-sia karena bahan apapun yang akan ditambahkan ke dalam
bahan pembuatan rokok dapat dinilai sebagai bahan yang adiktif karena
14
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Ps. 113 ayat 2.
15
membahayakan konsumennya. Hal-hal semacam itu merugikan produsen produk
tembakau yang bergerak di bidang rokok kretek karena mereka membutuhkan
banyak rempah-rempah alam yang nantinya akan digunakan sebagai bahan
tambahan dalam pembuatan produk tembakaunya. Ditambah lagi sanksi
administratif yang harus diterima oleh produsen berupa penarikan produk atas
biaya produsen. Hal ini semakin menjadi beban dan penghalang produsen rokok
kretek untuk bersaing pada pasar terbuka.
Aturan-aturan tersebut menjadi suatu jembatan pemisah nyata yang
mematikan banyak sekali produsen produk tembakau dalam negeri khususnya
yang berada dalam pasar produk kretek dan sebaliknya aturan-aturan tersebut
dapat menjadi suatu jembatan emas bagi produk tembakau putih untuk menjadi
suatu produk yang dominan di pasar menggantikan produk kretek tersebut.
2.1.3. Pasal 14 sampai dengan 18 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun
2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau Bagi Kesehatan
Pada pasal 14 sampai dengan pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 109
Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa
Produk Tembakau bagi Kesehatan diatur tentang kewajiban produsen untuk
memberikan informasi tambahan pada kemasan produk tembakaunya berupa
gambar yang sifatnya malah akan membuat para konsumen untuk enggan
mengkonsumsi produk tembakau tersebut. Aturan-aturan terkait pencantuman
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang
Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan
Produk Tembakau. Hal ini seperti apa yang tertera pada salah satu pasalnya yang
berbunyi sebagai berikut,
“ Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau ke dalam wilayah Indonesia wajib mencantumkan Peringatan Kesehatan pada Kemasan terkecil dan Kemasan lebih besar Produk Tembakau.”16
Pada pasal yang lain dikatakan sebagai berikut,
“ Peringatan Kesehatan terdiri atas 5 (lima) jenis yang berbeda, yang dicantumkan pada setiap 1 (satu) varian Produk Tembakau dengan porsi masing-masing 20% (dua puluh persen) dari jumlah setiap varian Produk Tembakau pada waktu yang bersamaan.”17
Hal ini merupakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menekan
jumlah perokok di Indonesia melalui pemberian informasi kesehatan yang lebih
banyak ketimbang aturan sebelumnya dalam wujud gambar yang mencolok di
kemasan luar produk tembakau. Namun terdapat beberapa permasalahan yang
muncul diakibatkan oleh aturan ini bila kita kaitkan dengan konsumen maupun
produsen yang memproduksi produk tembakau tersebut. Pertama, gambar-gambar
yang merupakan informasi kesehatan tersebut sangatlah mengganggu konsumen
dikarenakan sebagian dari gambar-gambar tersebut merupakan gambar yang
memberikan efek tidak nyaman bagi para konsumen produk tembakau. Misalnya
gambar paru-paru yang membusuk diakibatkan oleh asap rokok dan lain
sebagainya. Hal ini tentu saja akan mengurangi minat pembeli untuk
16
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, Ps. 3.
17
mengkonsumsi produk tembakau yang kini keseluruhan merek yang beredar di
pasaran telah mengenakan informasi kesehatan berupa gambar tersebut. Yang
kedua adalah bagi produsen penghasil produk tembakau, aturan semacam ini tentu
saja mempengaruhi daya jual dan produksinya. Dengan semakin menurunnya
pembeli maka pendapatan para produsen juga akan menurun, ditambah dengan
adanya regulasi yang akan memberikan sanksi kepada para produsen produk
tembakau yang tidak memberikan informasi kesehatan tersebut, seperti pada
ketentuan berikut,
“ Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau tanpa mencantumkan peringatan kesehatan berupa gambar dan tulisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 17 dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”18
Perlu diketahui bersama bahwa pencantuman informasi kesehatan berdampak
pada tingkat produksi para produsen produk tembakau dikarenakan para produsen
tersebut harus mengeluarkan dana yang lebih besar dari pada sebelumnya.
Misalnya saja biaya cetak gambar-gambar peringatan kesehatan yang
membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga pengeluaran yang harus
ditanggung oleh produsen produk tembakau akan melonjak drastis dikarenakan
oleh adanya regulasi ini. Dengan kondisi yang demikian, maka hal tersebut
menjadi salah satu jalan lain yang mengancam industri produk tembakau skala
kecil. Untuk mereka para produsen produk tembakau besar mungkin regulasi
semacam ini juga berdampak pada tingkat pengeluarannya selama masa produksi
namun kembali lagi, dengan pendapatan yang besar dikarenakan pangsa pasarnya
18
yang besar maka hal tersebut tentu tidak akan terlalu berdampak pada
kelangsungan usahanya. Para produsen besar ini tidak akan terancam gulung tikar
dikarenakan regulasi ini. Namun apabila kita lihat pada sisi yang lain yaitu dengan
objeknya adalah para produsen kecil, maka hal tersebut akan berdampak lain.
Bentuk usaha yang kecil dengan pangsa pasar yang kecil akan membuat para
produsen rokok kecil ini kesulitan untuk memenuhi setiap tuntutan dari
regulasi-regulasi yang ada.
Sehingga hal ini menimbukan kesan bahwa regulasi-regulasi semacam ini
bukanlah regulasi yang dapat menjadikan suatu kondisi perekonomian nasional
menjadi sehat. Regulasi semacam ini akan menciptakan ketimpangan sosial di
kedua sisi yaitu antara para produsen besar dan kecil. Kemudian terdapat
penilaian bahwa regulasi-regulasi semacam ini merupakan suatu jalan pendukung
yang dapat menimbulkan posisi monopoli pada pelaku usaha yang kuat dan hal
tersebut sangat berpotensi menciptakan iklim persaingan usaha yang tidak sehat
diakibatkan matinya para produsen produk tembakau kecil.
2.2. Identifikasi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Sebagai Perubahan
dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
Tembakau juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007
dikarenakan sifat dari tembakau itu sendiri yang digolongkan ke dalam golongan
bahan yang mengandung zat adiktif di dalamnya. Di dalam Undang-Undang ini
atau karakteristik sebagai berikut:19
1. Konsumsinya perlu dikendalikan.
2. Peredarannya perlu diawasi.
3. Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau
lingkungan hidup, atau
4. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan Negara demi keadilan dan
keseimbangan.
Dikarenakan sifat dari tembakau itu sendiri yang adiktif maka dengan jelas
tembakau memenuhi unsur dari pasal tersebut, sehingga sudah menjadi alasan
bagi pemerintah untuk menetapkan dan menarik pungutan atas tembakau dan
produk hasil olahan tembakau yang beredar di pasaran. Hal tersebut kemudian
diperjelas dengan ketentuan sebagai berikut,
“ Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri dari hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.’’20
Berkenaan dengan penetapan besaran pungutan yang diberikan kepada
masing-masing produsen produk tembakau, pemerintah kemudian menyisipkannya di
dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai itu sendiri
yang dilaksanakan oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.011/2014
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012
19
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Ps. 2 ayat 1.
20
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Yang menjadi pokok permasalahannya adalah dengan kondisi persaingan
yang semakin timpang sebelah antara produsen rokok besar dan kecil, belum lagi
hambatan dari tembakau impor, para pelaku usaha kecil ini juga harus dihadapkan
pada ketentuan pemerintah berupa cukai pada hasil olahan produk tembakaunya.
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka mau tidak mau para pelaku usaha kecil
di pasar harus memenuhi tanggungannya yaitu membayar pungutan atas barang
produksinya dikarenakan ada sanksi yang melekat bagi pelanggar ketentuan
tersebut di belakangnya. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal berikut ini,
“ Penagihan dilakukan atas:
a. utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya; b. kekurangan cukai; dan/atau
c. sanksi administrasi berupa denda.
Pembayaran utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari nilai utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang tidak dibayar.”21
Persoalan yang muncul pada hakikatnya didasarkan pada besarnya tarif cukai
yang harus dibayarkan oleh para produsen produk tembakau tersebut. Apabila kita
lihat ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.011/2014
maka akan diperoleh data sebagai berikut:
21
No.Urut Golongan pengusaha
pabrik hasil tembakau
Batasan harga
jual eceran per
batang atau gram
Tarif cukai per
batang atau
gram Jenis Golongan
1 SKM I Paling rendah Rp
800,00
Rp 415,00
II Lebih dari Rp
588,00
Rp 305,00
Paling rendah Rp
511,00 sampai
dengan Rp Rp
588,00
Rp 265,00
2 SPM I Paling rendah Rp
820,00
Rp 425,00
II Lebih dari Rp
520,00
Rp 270,00
Paling rendah Rp
425,00 sampai
dengan Rp 520,00
dengan Rp 19
8.000,00
Lebih dari Rp
22.000,00 sampai
dengan Rp
55.000,00
Rp 11.000,00
Lebih dari Rp 5
.500,00 sampai
dengan Rp 2 2
.000,00
Rp1.320,00
Paling rendah Rp
495,00 sampai
dengan Rp 5.500,00
Rp 275,00
9 HPTL Tanpa
Golongan
Paling terendah Rp
303,00
Rp 110,00
Terkait dengan penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau jenis
rokok, maka didasarkan pada ketentuan sebagai berikut,
Urut Jenis Golongan
1 SKM I Lebih dari 2 milyar batang
II Tidak lebih dari 2 milyar batang
2 SPM I Lebih dari 2 milyar batang
II Tidak lebih dari 2 milyar batang
3 SKT atau SPT I Lebih dari 2 milyar batang
II Lebih dari 350 juta batang tetapi
tidak lebih dari 2 milyar batang
IIIA Lebih dari 50 juta batang tetapi tidak
lebih dari 350 juta batang
IIIB Tidak lebih dari 50 juta batang
4 SKTF atau
SPTF
I Lebih dari 2 milyar batang
II Tidak lebih dari 2 milyar batang
5 TIS Tanpa
Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
KLB Golongan
7 CRT Tanpa
Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
8 HPTL Tanpa
Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
Berdasarkan pada data di atas dapat dilihat bahwa rata-rata setiap produsen
rokok terkena kenaikan cukai sebesar 8,75% dari ketentuan sebelumnya. Untuk
kenaikan harga cukai tertinggi terdapat pada pengusaha yang masuk dalam
golongan SKM (Sigaret Kretek Mesin) untuk pabrik golongan I yaitu sebesar
Rp.60 atau sebesar 16,9% dari tarif cukai sebelumnya. Untuk kenaikan tarif cukai
terendah terdapat pada jenis rokok SKT (Sigaret Kretek Tangan) atau jenis SPT
(Sigaret Putih Tangan) yaitu pada kisaran 4,1% sampai dengan 7,7% dari harga
sebelumnya. Dan tidak ada kenaikan tarif cukai untuk rokok golongan SKT
(Sigaret Kretek Tangan) atau SPT (Sigaret Putih Tangan) yang masuk ke dalam
golongan III B. aturan tersebut sudah diberlakukan terhitung sejak tanggal 1
januari 2015.
Dari rata-rata kenaikan tarif cukai untuk masing-masing produk tembakau
berupa rokok tersebut, maka tentu saja ada persaingan yang ditimbulkan sebagai
efek dari ketentuan tersebut. Yaitu persaingan untuk tetap dapat eksis di bidang
dan kecil. Terhadap para pelaku usaha kecil, maka tingkat efisienitas sangat
diperlukan untuk menjaga agar usahanya tetap hidup dan mampu bersaing dengan
pelaku usaha lain. Namun tetap saja aturan yang memuat kenaikan tarif cukai
tersebut lambat laun akan semakin menekan tingkat kelangsungan usaha
tembakau terlebih itu adalah merupakan usaha yang berjalan dalam lingkup yang
kecil.
2.3. Analisis Yuridis Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Teori
Hukum Persaingan Usaha
Setelah meninjau berbagai peraturan perundang-undangan terkait
tembakau yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
dan Undang Nomor 39 Tahun 2007 sebagai Perubahan dari
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, maka terdapat pemikiran yang
mengindikasikan bahwa peraturan-peraturan tersebut memicu terjadinya kondisi
pasar persaingan yang tidak seimbang antara berbagai pelaku usaha di dalam
pasar khususnya adalah produsen rokok besar dan kecil. Sehingga tidak menutup
kemungkinan bahwa peraturan-peraturan tersebut menjadi suatu senjata tersendiri
yang akan digunakan oleh para produsen rokok besar untuk memperoleh posisi
yang nyata di pasar yang bersangkutan atau dengan kata lain adalah posisi
monopoli usaha. Hal tersebut dikarenakan regulasi-regulasi itu memang lebih
menguntungkan beberapa pihak yakni para produsen besar dan juga produsen
Sebelumnya perlu dikaji lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan
monopoli usaha menurut aturan di dalam hukum persaingan usaha itu sendiri.
Bahwa yang dimaksud dengan Monopoli adalah penguasaan praktek produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa. Akan tetapi tidak semua tindakan
penguasaan atas produksi atau pemasaran merupakan pelanggaran. Monopoli
yang terjadi karena keunggulan produk, atau perencanaan dan pengelolaan bisnis
yang baik, atau terjadi melalui perjuangan dalam persaingan jangka panjang
sehingga terdapat suatu perusahaan menjadi kuat dan besar dan menguasai pangsa
pasar yang besar pula, tentu saja tidak merupakan tindakan penguasaan yang
dilarang.22 Monopoli terbentuk jika hanya satu pelaku mempunyai kontrol
eksklusif terhadap pasokan barang dan jasa di suatu pasar, dan dengan demikian
juga terhadap penentuan harganya.23 Adapun jenis-jenis monopoli tersebut
sebagai berikut:24
a. Monopoli yang Terjadi Karena Dikehendaki oleh Undang-Undang (Monopoli by Law)
Pasal 33 UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara untuk menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemberian hak-hak eksklusif atas penemuan baru, baik yang berasal dari hak atas kekayaan intelektual seperti hak cipta (copyright) dan hak atas kekayaan industry (industrial property) seperti paten (patent), merek (trademark), desain produk industry (industrial design), dan rahasia dagang (trade secret) pada dasarnya adalah merupakan bentuk lain monopoli yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang.
b. Monopoli yang Lahir dan Tumbuh Secara Alamiah Karena Didukung oleh Iklim dan Lingkungan Usaha yang Sehat (Monopoli by Nature)
22
L. Budi Kagramanto II, Op.Cit., h. 182.
23
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 5.
24
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia ( Dalam Teori dan
Monopoli ini terjadi bila terdapat perusahaan yang memiliki kemampuan sumber daya manusia yang profesional, kerja keras, dan strategi bisnis yang tepat dalam mempertahankan posisinya yang akan membuat suatu perusahaan memiliki kinerja yang unggul (superior skill) sehingga tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi antara kualitas dengan harga barang dan jasa serta pelayanan sebagaimana dikehendaki oleh konsumen.
c. Monopoli yang Diperoleh Melalui Lisensi dengan Menggunakan Mekanisme Kekuasaan (Monopoly by License)
Monopoli seperti ini dapat terjadi oleh karena adanya kolusi antara para pelaku usaha dengan birokrat pemerintah. Kehadirannya menimbukan distorsi ekonomi karena menganggu bekerjanya mekanisme pasar yang efisien.
d. Monopoli Karena Terbentuknya Struktur Pasar Akibat Perilaku yang Tidak Jujur
Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal yang sangat besar untuk memperoleh posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada.
Selain dari keempat jenis monopoli yang telah disebutkan di atas, terdapat
pula berbagai macam jenis monopoli lain yang pada dasarnya adalah sama dengan
apa yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga berdasarkan pada penjelasan
tersebut maka suatu monopoli bukan merupakan suatu hal yang dilarang namun
yang dilarang adalah praktek monopolinya. Praktek Monopoli itu sendiri di
definisikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang atau
jasa tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat sehingga
dapat merugikan kepentingan umum.25 Dari ketentuan tersebut perlu dilakukan
pengkajian unsur-unsur yang terdapat di dalamnya dengan dikaitkan pada
25
aturan yang dianggap rancu tersebut. Hal ini dikarenakan sifat dari teori Monopoli
itu sendiri yang rule of reason, yang membutuhkan analisis lebih lanjut terkait
kelayakan suatu permasalahan untuk dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
monopoli ataukah tidak. Dapat dikatakan bahwa rule of reason lebih
memfokuskan pada melihat akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan yang
dilakukan.26 Unsur-unsur yang dapat kita temukan dari pengertian praktek
monopoli antara lain sebagai berikut:
1. Terjadinya pemusatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha.
2. Terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa
tertentu.
3. Terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
4. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum.
Kenyataan menunjukkan, bahwa perekonomian Indonesia justru semakin
terpuruk kondisinya gara-gara pemerintah memberikan perlakuan istimewa
terhadap segelintir pelaku usaha yang dekat dengannya. Penguasa kurang
merespon keluhan dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak serta
tidak adanya iklim berusaha dan bersaing secara sehat. Segelintir pelaku usaha
tersebut tidak menyadari, bahwa dengan bersaing secara sehat dan jujur dalam
berusaha pada akhirnya akan melemahkan mereka yang senantiasa dimanja
dengan berbagai regulasi yang menguntungkan dan proteksi yang berlebihan yang
26
diberikan oleh pemerintah.27
Perlu diketahui bersama bahwa pada pasal 10, 12, 14 sampai dengan pasal
18 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tersebut merupakan
aturan-aturan yang sangat berpengaruh terhadap persaingan usaha. Terdapatnya suatu
bentuk kekangan yang besar bagi pelaku usaha kecil untuk dapat mengimbangi
persaingan yang ditawarkan oleh pelaku usaha besar. Seperti contohnya
standarisasi kadar Nikotin dan Tar yang tidak dapat dipenuhi oleh bahan bakunya
yakni tembakau lokal, larangan untuk menambah bahan-bahan tambahan yang
dinilai berbahaya walaupun pada dasarnya setiap produk hasil olahan tembakau
sudah tentu digolongkan ke dalam bahan yang mengandung zat adiktif, serta
kewajiban untuk memberikan informasi tambahan berupa gambar yang akan
membengkakkan biaya produksi perusahaan. Hal tersebut tentu saja mematikan
proses produksi para pelaku usaha kecil tersebut. Dengan matinya usaha-usaha
produk olahan tembakau kecil, maka hal ini akan berimbas juga pada
kelangsungan petani tembakau lokal. Petani yang awalnya menyuplai
tembakau-tembakau lokal berNikotin dan Tar yang tinggi kepada para pelaku usaha kecil
tersebut maka dengan matinya usaha olahan tembakau, para petani tersebut akan
kesulitan untuk menjual hasil tanamannya. Ujungnya mereka harus menjual
tembakau-tembakaunya kepada produsen produk olahan tembakau skala besar
dengan harga yang murah.
Keadaan yang sedemikian harus diperparah lagi dengan
ketentuan-ketentuan yang membebankan pungutan yang terjumlah besar atas hasil
27
produksinya seperti cukai yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2007. Belum lagi pungutan-pungutan lain yang harus juga ditanggung baik oleh
para pelaku usaha kecil dan juga petani tembakau lokal. Dalam hal ini kondisi
tersebut telah terjadi di lapangan. Yaitu dalam 7 tahun terakhir, sekitar 3.000
perusahaan rokok nasional mengalami kebangkrutan. Menurut data Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah tercatat dari 4.000 perusahaan rokok
pada tahun 2007, hanya tinggal 1.000 perusahaan rokok saja yang masih bertahan
di tahun 2014. Menurut Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Jawa Tengah Bidang Pengupahan, Noerwito, menyebutkan bahwa jumlah
perusahaan tembakau khusus di Jawa Tengah pada tahun 2014 hanya tersisa 500
perusahaan saja dari total 1.700 perusahaan.28 Keadaan semacam ini menimbukan
suatu distorsi dalam suatu pasar yang menyebabkan diperolehnya posisi yang
menguntungkan bagi para pelaku usaha besar untuk dapat melakukan suatu
penguasaan dan berujung pada pemusatan ekonomi yang diakibatkan oleh posisi
monopoli yang dimilikinya.
Untuk memahami lebih lanjut terkait dengan masalah yang ada maka pada
dasarnya haruslah dilakukan pengkajian terhadap aturan-aturan yang terdapat di
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu sendiri. Hal tersebut perlu
dilakukan dikarenakan aturan-aturan tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan
oleh para pelaku usaha dalam kegiatannya memperoleh posisi yang dominan di
dalam pasar. Salah satunya adalah aturan di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 yang mengatur tentang pengecualian dari larangan praktik monopoli
28Edie Prayitno Ige, “Perusahaan Rokok di Jawa Tengah Gulung Tikar”,
dan persaingan usaha tidak sehat. Aturan tersebut berbunyi sebagai berikut,
‘’ Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.”29
Yang perlu digaris bawahi dari aturan tersebut adalah ketentuan pada
huruf (a) tentang perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disayangkan Penjelasan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan perjanjian-perjanjian tersebut
lebih lanjut. Padahal pasal pengecualian ini penting, terutama bagi pelaku usaha
yang memanfaatkannya. Di samping ketidakjelasannya, dikhawatirkan juga dapat
29
memungkinkan penyalahgunaan.30 Bahkan ada yang mengkritiknya sebagai suatu
inkonsistensi.31 Berkaitan dengan aturan yang tertera dalam huruf (a) sayangnya
lagi tidak ada penjelasan yang rinci berkenaan dengan pengertian peraturan yang
berlaku di dalam penjelasan Undang-undang itu sendiri. Sehingga hal ini dapat
diartikan dalam lingkup yang luas yakni mencakup segala macam peraturan
termasuk peraturan yang ada di bawah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu
sendiri. Hal ini kemudian dijelaskan di dalam Pedoman Pelaksanaan Ketentuan
Pasal 50 Huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Berkenaan dengan luas cakupan bentuk peraturan perundang-undang yang
dikecualikan, maka hal ini harus dikembalikan kepada pasal 33 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,
“ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.’’
Ketentuan tersebut kemudian harus dikaitkan dengan ketentuan dari
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu daerah sebagai
perwujudan dari ketentuan di bawah Undang-Undang yaitu bahwa daerah diberi
kewenangan ekonomi untuk mengatur dan mengurus perekonomian daerah namun
tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga dapat
30
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 105, dikutip dari Ayudha D Prayoga., et.al.(Ed), 2000, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Elips, Jakarta, h. 85.
31
ditarik sebuah pemikiran yaitu suatu kebijakan daerah tidak boleh bertentangan
dengan kebijakan perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan materi yang dibuat
di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional.32 Dan oleh karenanya,
tidak semua aturan dapat dikategorikan sebagai aturan yang dikecualikan menurut
pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain itu di dalam buku
yang berjudul Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Rachmadi Usman
berpendapat bahwa dengan melihat unsur kata per kata dari ketentuan pasal 50
huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, dikatakan bahwa
perjanjian atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha harus secara tegas
didasarkan atas ketentuan Undang atau ketentuan lain di bawah
Undang-Undang dengan berdasarkan pada delegasi yang tegas dari Undang-Undang-Undang-Undang untuk
dilaksanakan. Dan perlu terdapat pemahaman bahwa pengecualian yang diatur di
dalam pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, hanya berlaku
bagi pelaku usaha yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Artinya,
pengecualian dalam ketentuan pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, tidak dapat diterapkan kepada semua pelaku usaha.33 Oleh karena itu, yang
dapat dikecualikan atas ketentuan pasal ini hanyalah pelaku usaha yang dibentuk
atau ditunjuk secara langsung oleh Pemerintah melalui pendelegasian secara
langsung dari Undang-Undang.
Bila kita kembali lagi pada persoalan awal, maka peraturan-peraturan yang
32
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 110.
33Ibid
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai dan
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan tersebut
dengan nyata memberikan peluang yang besar bagi pelaku usaha besar terlebih
adalah produsen rokok putih untuk dapat berkembang dan menguasai pasar
dengan cara mematikan secara perlahan pelaku usaha kecil dan petani beserta
bahan baku pembuatannya yakni tembakau lokal. Walaupun apabila hal tersebut
kita kaitkan dengan penjelasan pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, maka pelaku usaha besar dan atau pelaku usaha asing tersebut tidak
dapat berdalih bahwa posisi maupun praktek monopoli yang akan terjadi adalah
termasuk dalam hal yang dikecualikan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999. Oleh karena itu tetap akan ada akibat hukum berupa sanksi yang tegas
terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan posisi monopoli yang mereka miliki.
Dengan kata lain apabila terjadi suatu bentuk posisi monopoli yang didapat oleh
para pengusaha besar dan atau pengusaha rokok putih di tanah air, maka mereka
tidak dapat berdalih bahwa posisi tersebut adalah sebagai wujud pelaksanaan
terhadap ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Sehingga terhadap praktek
monopoli yang mereka lakukan bukan termasuk tindakan yang dikecualikan
menurut pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Namun hal tersebut tetaplah merupakan suatu kegagalan pemerintah dalam
hal perekonomian dikarenakan pemerintah secara nyata membuka kran monopoli
bagi para produsen besar dan produsen asing dengan cara impor tembakau melalui
Undang-Undangnya. Hal tersebut merupakan hambatan dalam hukum persaingan usaha
yang nyata. Bahwa pada prinsipnya pasar tetap harus terbuka untuk dapat
menerima suatu persaingan dengan tetap melaksanakan kebijakan perdagangan
yang melindungi pasar domestik dari masuknya barang-barang impor yang
kemudian diatur di dalam kebijakan bea cukai atau kebijakan anti dumping.
Namun hal tersebut berpotensi menjadi suatu ancaman dan hambatan, karena
prinsip pasar terbuka dengan lebih mengedepankan pada instrumen persaingan
ternyata dilanggar.34
Tjuk Sukiadi menggambarkan struktur ekonomi Indonesia dalam bentuk piramida. Bagian bawah piramida terdiri atas usaha kecil (menurut Mubyarto sektor ini termasuk sektor informal yang menjadi basis ekonomi rakyat) dan usaha menengah yang memiliki barrier of entry
yang sangat rendah, keuntungannya sangat tipis, akibatnya akumulasi modalnya menjadi sangat lambat. Sebaliknya, pada bagian atas piramida dengan sejumlah kecil pengusaha strukturnya adalah quasi monopolistis dan oligopolistic sehingga memiliki barrier of entry yang sangat tinggi. Ini disebabkan oleh proteksi yang diberikan oleh pemerintah.35
Hal tersebut dibuktikan dengan data sebelumnya yang menyebutkan
bahwa di Jawa Tengah saja terdapat ratusan produsen rokok kecil yang menutup
usahanya yang juga berimbas terhadap kesejahteraan petani tembakau lokal
dikarenakan peraturan-peraturan tersebut. Posisi ekonomi rakyat menjadi sangat
ironis dan lebih dilematis, apalagi jika dihubungkan dengan proses
berlangsungnya mekanisme pasar. Sementara mekanisme pasar bekerja pada
piramida paling bawah yaitu pada tataran ekonomi rakyat yang relatif lemah dan
harus dilindungi, sedangkan mekanisme intervensi pemerintah yang protektif
34
L. Budi Kagramanto II, Op.Cit., h. 47.
35
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Implikasi
justru bekerja pada piramida yang paling atas dengan strukrur quasi monopolistis
dan oligopolistis.36
Memang dalam hal perekonomian bentuk intervensi pemerintah adalah
dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan agar kondisi persaingan tersebut terjaga dan
tidak menimbulkan distorsi di dalam pasar. Namun intervensi pemerintah di sini
dinilai telah berlebihan sehingga mekanisme pasar menjadi terganggu oleh adanya
regulasi yang dibuatnya. Jika mekanisme pasar terganggu oleh intervensi
pemerintah yang dilakukan secara berlebihan, maka kondisi perekonomian
nasional tidak dapat tumbuh dan berkembang sesuai harapan kita semua.37
Berdasarkan pada ciri-cirinya maka pada kasus tersebut monopoli yang telah
terjadi adalah monopoli artificial yaitu monopoli yang lahir karena
persekongkolan atau kolusi politis dan ekonomi antara pengusaha dan penguasa
demi melindungi kelompok pengusaha tersebut. Monopoli semacam ini bisa lahir
karena pertimbangan rasional maupun irasional.38 Sumber paling pokok dari
monopoli ini adalah bantuan dari pemerintah entah secara langsung atau tidak
langsung, demi melindungi kepentingan bisnis kelompok tertentu dengan
mengorbankan kepentingan bisnis kelompok lain, atau mengorbankan
kepentingan bersama, atau pula dengan mengorbankan rasa keadilan dalam
masyarakat.39
36Ibid.
37
L. Budi Kagramanto II, Op.Cit., h. 43.
38
Galuh Puspaningrum, Hukum Persaingan Usaha (Perjanjian dan Kegiatan yang
Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia), Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, h.
105.
39
Galuh Puspaningrum, Hukum Persaingan Usaha (Perjanjian dan Kegiatan yang
Sedangkan apabila kita lihat dari sisi yang lain, bahwa
ketentuan-ketentuan seperti pada pasal 10, 12 sampai dengan pada pasal 18 Peraturan
Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tersebut didalihkan bertujuan untuk
melindungi konsumen dari sisi kesehatan. Hal ini menjadi alasan yang masuk akal
apalagi bila dilihat pada aturan yang disangkutkan yang dalam hal ini adalah
mengenai uji kadar Nikotin dan Tar per batang dari rokok yang diproduksi,
larangan penggunaan bahan tambahan yang dinilai berbahaya bagi kesehatan dan
pencantuman informasi kesehatan pada tiap kemasan bungkus rokok yang
diproduksi. Perlu diketahui kembali bahwa dari sisi konsumen, pada dasarnya
terdapat hak-hak yang melekat pada konsumen itu sendiri terkait perlindungan
atas produk yang dikonsumsinya. Perlindungan tersebut di muat di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
tersebut, disebutkan hak-hak yang harus didapatkan konsumen yakni:40
a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian
106, dikutip dari Monopoli dan Kebijaksanaan Pemerintah,
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/466/jbptunikompp-gdl-tuttysm-23292-11-pertemua-.pptx
40
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak deskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun secara umum dikenal 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:41
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); 2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3. Hak untuk memilih (the right to choose);
4. Hak untuk didengar (the right to be heard).
Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu bahwa terdapat
batasan-batasan terkait definisi dari konsumen itu sendiri. Dalam hal ini Az. Nasution
menggolongkannya menjadi:42
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersil);
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk
41
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 30.
42
diperdagangkan kembali (nonkomersial).
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen bahwa:
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”43
Dari penjelasan di atas bahwa dengan jelas pelaku usaha yakni produsen
rokok pun juga masuk ke dalam golongan konsumen yakni konsumen antara. Hal
ini dikarenakan para pelaku usaha tersebut merupakan konsumen dari barang
mentah produknya yakni tembakau yang kemudian diolah kembali menjadi
produk jadi berupa rokok. Namun dalam hal ini pelaku usaha yang tergolong ke
dalam konsumen antara tidak mendapat perlindungan yang diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dikarenakan konsumen yang dimaksud
oleh Undang-Undang ini hanyalah konsumen dengan tujuan nonkomersil.
Sehingga 4 (empat) macam hak dasar yang telah disebutkan hanya berlaku bagi
konsumen dengan tujuan nonkomersil saja atau konsumen yang tidak memiliki
maksud untuk memperdagangkan kembali barang yang dikonsumsinya.
Diketahui bersama bahwa keempat hak dasar konsumen ini bersifat
melekat dan tidak dapat dihilangkan dari diri konsumen. Oleh karena itu
kemudian keempat macam hak dasar ini ditempatkan oleh pemerintah sebagai
tanggung jawab produsen atas produknya. Hal inilah yang kemudian menjadi latar
belakang timbulnya aturan-aturan yang membatasi bahkan menjadi standarisasi
dari produk tembakau yang akan diproduksi oleh pelaku usaha rokok di Indonesia.
43
Seperti standarisasi kadar Nikotin dan Tar, larangan penggunaan bahan tambahan
yang dinilai berbahaya, dan kewajiban untuk mencantumkan informasi kesehatan
pada sisi luar kemasan rokok. Berkaitan dengan hak memperoleh keamanan,
bahwa konsumen berhak mendapatkan kamanan dari barang atau jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan
jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun
rohani.44 Untuk hak memperoleh informasi, bahwa setiap produk yang
diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi
ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas
produk barang dan jasa.45 Untuk hak memilih, di sini konsumen berhak untuk
memilih piihannya. Ia tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga
ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli.46 Sedangkan untuk hak
didengar, terkait dengan hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk
mendapatkan tindakan atas pengaduan yang dilakukannya.
Bahwa terkait dengan standarisasi kadar Nikotin dan Tar serta aturan yang
melarang adanya pemakaian bahan tambahan yang dinilai berbahaya bagi
kesehatan sebenarnya merupakan suatu bentuk tindakan protective maupun
preventive yang dilakukan oleh pemerintah guna melindungi hak-hak konsumen dari produk tembakau berupa rokok yang dikeluarkan oleh pelaku usaha. Hal ini
dikarenakan pemerintah telah menilai bahwa baik rokok maupun tembakaunya itu
sendiri adalah zat yang bersifat adiktif atau berbahaya bagi kesehatan sehingga
44
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., h. 33.
45Ibid. 46Ibid
aturan-aturan tersebut dinilai pemerintah sebagai peminimalisir akibat yang akan
timbul bagi konsumen dalam hal kesehatan. Memang apabila dilihat dari sisi
kepentingan konsumen, tindakan pemerintah tersebut tidak dapat disalahkan.
Namun kembali lagi bahwa pada dasarnya aturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah tersebut tidak memberikan solusi yang tepat di kedua belah sisi, yakni
bagi konsumen maupun bagi pelaku usaha itu sendiri. Aturan-aturan yang dinilai
sebagai perwujudan dari bentuk perlindungan konsumen tersebut tentu saja
lambat laun pasti akan mematikan para pelaku usaha rokok di Indonesia yang hal
ini juga pasti akan berdampak pula bagi kesejahteraan petani tembakau lokal yang
ada di belakangnya. Memanglah benar bahwa ada hak konsumen yakni
mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, yang sesuai dengan apa yang
tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun hal ini dirasa sudah teratasi oleh adanya
peraturan yang melarang para perokok untuk merokok di tempat-tempat tertentu.
Yang patut menjadi perhatian adalah dengan adanya regulasi yang menjadi
pengekang pelaku usaha tembakau dan rokok terlebih adalah rokok kretek yang
pada dasarnya hal tersebut juga akan berdampak pada diri konsumen itu sendiri.
Dalam hal ini konsumen akan kekurangan pilihan untuk memilih produk rokok
mana yang akan dibelinya. Hal tersebut dikarenakan aturan-aturan dengan alasan
kesehatan tersebut berdampak mematikan pada produksi dan pemasaran dari
sebagian besar pabrik rokok yang ada, terlebih adalah rokok kretek di Indonesia.
terpenuhi. Hal tersebut dikarenakan hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan
situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk
memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan
konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang
lain.47
Di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke 4 (empat)
disebutkan bahwa:
“ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang meilndungi segenap bangsa Indonesia.”
Yang kemudian diperkuat dengan pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi:
“ Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Dari aturan-aturan tersebut telah jelas bahwa pemerintah sebagai alat pelaksana
Negara harusnya mengakomodasi segala macam kepentingan tiap-tiap rakyatnya
sehingga dapat mencapai kesejahteraan umum seperti apa yang menjadi tujuan
dari Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini kepentingan konsumen memang
merupakan hal yang penting, namun kesejahteraan pelaku usaha juga tidak boleh
diabaikan. Karena pelaku usaha juga merupakan rakyat yang perlu mendapatkan
perlindungan dari pemerintah. Di dalam TAP-MPR 1993 terdapat kalimat yang
patut untuk diperhatikan yakni:
47Ibid
“………..meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen.”
Dalam hubungannya dengan para konsumen, kegiatan usaha pengusaha adalah dalam rangka memproduksi, menawarkan, dan atau mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum yang mereka perlukan adalah agar penghasilan dalam berusaha dapat meningkat, tidak merosot atau bahkan hilang sama sekali baik karena:
a. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien dalam menjalankan manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang pembinaan) atau
b. Adanya praktik-praktik niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan para pengusaha dari pasar, seperti praktik persaingan melawan hukum, penguasaan pasar yang dominan, dan lain-lain (memerlukan ketentuan pengawasan).48
Maka terdapatlah arahan yang jelas di dalam TAP-MPR 1993 ini terhadap
hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang harusnya mendapatkan
perhatian yang lebih dari pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
ketimpangan antara konsumen dengan pelaku usaha maupun hubungan diantara
para pelaku usaha itu sendiri.
48Ibid