Menurut PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, rokok adalah salah satu Produk Tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan. Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain.
2.1.2 Jenis Rokok
Perbedaan ini didasarkan atas bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok, proses pembuatan rokok, dan penggunaan filter pada rokok (Aditama 2006).
b. Berdasarkan bahan baku atau isi maka rokok terdiri dari rokok putih yaitu rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberikan saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu, rokok kretek yaitu rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu, rokok klembak yaitu rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberikan saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
c. Berdasarkan proses pembuatannya rokok terdiri dari sigaret kretek tangan (SKT) yaitu rokok yang proses pembuatannya dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan atau alat bantu sederhana, sigaret kretek mesin (SKM) yaitu rokok yang proses pembuatannya menggunakan mesin. Sederhananya, material rokok dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok dan yang dihasilkan mesin pembuat rokok adalah berupa rokok batangan. Saat ini mesin pembuat rokok telah mampu menghasilkan keluaran sekitar enam ribu sampai delapan ribu batang rokok per menit. Mesin pembuat rokok, biasanya dihubungkan dengan mesin pembungkus rokok sehingga keluaran yang dihasilkan bukan lagi berupa rokok batangan namun dalam bentuk pak. Adapula mesin pembungkus rokok yang mampu menghasilkan keluaran berupa rokok dalam pres, satu pres berisi 10 pak. d. Berdasarkan penggunaan filter, maka rokok terdiri dari rokok filter (RF) yaitu
2.1.3 Kandungan Rokok
Di dalam sebatang rokok terdapat gabungan dari bahan-bahan kimia. Satu batang rokok yang dibakar akan mengeluarkan 4000 bahan kimia. Kadar kandungan zat kimia yang terkadung di dalam rokok memiliki kadar yang berbeda. Bahkan untuk merk dan jenis antara satu rokok dengan rokok lainnya pun memiliki kandungan yang berbeda-beda. Asap rokok yang dihirup seorang perokok mengandung komponen gas dan partikel. Komponen gas terdiri dari karbon monoksida, asam hidrogen sianida (HCN), amoniak, Nitrogen Oksida, formaldehid dan senyawa hidrokarbon. Adapun komponen partikel terdiri dari tar, nikotin, benzopiren, fenol, dan Kadmium.
Kandungan yang paling dominan di dalam rokok adalah nikotin dan tar. Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan pada perokok. Nikotin berbentuk cairan, tidak berwarna, merupakan basa yang mudah menguap. Nikotin berubah warna menjadi coklat dan berbau mirip tembakau setelah bersentuhan dengan udara, kadar nikotin dalam tembakau sebesar 12%. Kadar nikotin 4-6 mg yang dihisap oleh orang dewasa setiap hari dapat membuat seseorang ketagihan.
paru-paru perokok menjadi coklat, begitu juga halnya pada gigi dan kuku. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24-45 mg. Tar yang ada di dalam asap rokok menyebabkan paralise silia yang ada di dalam saluran pernafasan dan menyebabkan penyakit paru lainnya (Aditama, 2006)
2.1.4 Dampak Rokok pada Kesehatan
Telah banyak terbukti bahwa dengan mengkonsumsi tembakau berdampak terhadap status kesehatan. Penyakit seperti kanker paru-paru, oseophagus, laring, mulut, dan tenggorokan, radang pada tenggorokan, dan penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi rokok/ tembakau. Namun demikian, tidak hanya pada perokok aktif saja yang mendapatkan penyakit tersebut, tetapi masyarakat banyak yang terpapar oleh asap rokok yang kita kenal dengan sebutan passive smokers. Telah terbukti bahwa passive smokers beresiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler, kanker paru, asma dan penyakit paru lainnya (Gondodiputro, 2007).
Menurut Gondodiputro (2007), ada beberapa penyakit yang disebabkan rokok yaitu :
1. Efek tembakau terhadap susunan saraf pusat
Sedangkan efek lain menimbulkan rangsangan senang sekaligus mencari tembakau lagi. Efek dari tembakau memberi stimulasi depresi ringan, gangguan daya tangkap, alam perasaan, alam pikiran, tingkah laku dan fungsi psikomotor.
2. Penyakit Kardiovaskuler
Karena asap tembakau akan merusak dinding pembuluh darah. Nikotin yang terkandung dalam asap tembakau akan merangsang hormon adrenalin yang akan menyebabkan perangsangan kerja jantung dan menyempitkan pembuluh darah. Seseorang yang stress yang kemudian mengambil pelarian dengan jalan merokok sebenarnya sama saja dengan menambah risiko terkena jantung koroner, proses penyempitan arteri koroner yang mendarahi otot jantung menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan suplai menimbulkan kekurangan darah (ischemia). Sehingga apabila melakukan aktifitas fisik atau stress, kekurangan aliran meningkat sehingga menimbulkan sakit dada.
merupakan penyebab utama dari kematian di negara-negara industri dan berkembang, yaitu sekitar 30% dari semua panyakit jantung berkaitan dengan memakai tembakau.
3. Arteriosklerosis
Arteriosklerosis merupakan menebal dan mengerasnya pembuluh darah, sehingga menyebabkan pembuluh darah kehilangan elastisitas serta pembuluh darah menyempit. Arteriosklerosis dapat berakhir dengan penyumbatan yang disebabkan oleh gumpalan darah yang menyumbat pembuluh darah. Sekitar 10% dari pasien yang menderita gangguan sirkulasi pada tungkai (arteriosklerosis obliteran) Sembilan puluh Sembilan diantaranya adalah perokok. Ada empat tingkat gangguan arteriosklerosis obliteran yaitu tingkat I tanpa gejala, tingkat II kaki sakit saat latihan misalnya berjalan lebih dari 200 meter dan kurang 200 meter, keluhan hilang bila istirahat, tingkat III keluhan yang timbul saat istirahat umumnya saat malam hari dan bila tungkai ditinggikan sedangkan tingkat IV adalah jaringan mati. Dalam stadium ini tindakan yang dilakukan adalah amputasi, jika penyumbatan terjadi di percabangan aorta daerah perut akan menimbulkan sakit di daerah pinggang termasuk pula timbulnya gangguan ereksi.
4. Tukak Lambung dan Tukak Usus Dua Belas Jari
5. Efek Terhadap Bayi
Ibu hamil merokok mengakibatkan kemungkinan melahirkan premature. Jika kedua orang tuanya perokok mengakibatkan daya tahan bayi menurun pada tahun pertama, sehingga akan menderita radang paru-paru maupun bronchitis dua kali lipat dibandingkan yang tidak merokok, sedangkan terhadap infeksi lain meningkat 30%. Terdapat bukti bahwa anak yang orangtuanya merokok menunjukkan perkembangan mentalnya terbelakang.
6. Efek Terhadap Otak dan Daya Ingat
Akibat proses arteriosklerosis yaitu penyempitan dan penyumbatan aliran darah ke otak yang dapat merusak jaringan otak karena kekurangan oksigen. Studi tentang hubungan tembakau dan daya ingat juga dilakukan baru-baru ini. Dari hasil analisis otak, peneliti dari Neuropsychiatric Institute university
of California menemukan bahwa jumlah dan tingkat kepadatan sel yang digunakan untuk berpikir pada orang yang merokok jauh lebih rendah daripada orang yang tidak merokok.
7. Impotensi
Pada laki-laki berusia 30-40 tahun merokok dapat meningkatkan disfungsi ereksi sekitar 50%. Ereksi tidak dapat terjadi bila darah tidak mengalir bebas ke penis. Oleh karena itu pembuluh darah, nikotin menyempit arteri yang menuju penis, mengurangi aliran darah dan tekanan darah menuju penis. Efek ini meningkat bersama dengan waktu. Masalah ereksi ini merupakan peringatan awal bahwa tembakau telah merusak area lain dari tubuh.
Asap tembakau menyebabkan lebih dari 85% kanker paru-paru dan berhubungan dengan kenker mulut, faring, laring, esofagus, lambung, pankreas, mulut, saluran kencing, ginjal, ureter, kandung kemih, dan usus. Tipe kanker yang umumnya terjadi pada pemakai tembakau adalah kanker kandung kemih, kanker esofagus, kanker pada ginjal, kanker pada pankreas, kanker serviks, kanker payudara dan lain-lain. Mekanisme kanker yang disebabkan tembakau yaitu merokok menyebabkan kanker pada berbagai organ, tetapi organ yang terpengaruh langsung oleh karsinogen adalah saluran nafas.
9. Chronic Obstructive Pulnomary Diaseases (COPD)
Kebiasaan merokok mengubah bentuk jaringan saluran dan fungsi pembersihan menghilang, saluran bengkak dan menyempit. Seseorang yang menunjukkan gejala batuk berat selama paling kurang tiga bulan pada setiap tahun berjalan selama dua tahun, dinyatakan mengindap bronchitis kronik. Hal ini sering terjadi pada separuh perokok diatas umur 40 tahun.
10.Interaksi dengan Obat-obatan
Perokok metabolisme berbagai jenis obat lebih cepat dari pada non perokok yang disebabkan enzim-enzim di mukosa, usus, atau hati oleh komponen dalam asap tembakau. Dengan demikian efek obat-obat tersebut berkurang, sehingga perokok membutuhkan obat dengan dosis lebih tinggi daripada non perokok misalnya analgetik.
Perokok pasif dapat terkena penyakit kanker paru-paru dari jantung koroner. Menghisap asap tembakau orang lain dapat memperburuk kondisi mengidap penyakit angina, asam, alergi, gangguan pada wanita hamil.
2.2Kebijakan
2.2.1 Pengertian Kebijakan
Nogi (2003) mengutip pendapat Thomas Dye yang menyebutkan kebijakan
sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan Easton
menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai kekuasaan mengalokasi nilai-nilai untuk
masyarakat secara keseluruhan. Sementara Lasswell dan Kaplan yang melihat kebijakan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang
diproyeksikn berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek. Carl Friedrich yang dikutip
oleh Nogi (2003) mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah
adanya tujuan, sasaran atau kehendak.
2.2.2 Ciri-Ciri Umum Kebijakan
Dalam buku Abidin (2004), Anderson mengemukakan beberapa ciri dari
kebijakan, sebagai berikut :
a. Setiap kebijakan harus memiliki tujuan. Artinya, pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekedar asal buat. Bila tidak ada tujuan, tidak perlu ada kebijakan.
b. Suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan beorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan penegakan hukum.
d. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melakukan atau menganjurkan.
e. Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat mematuhinya.
2.3Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
2.3.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/ atau mempromosikan produk tembakau (Kemenkes RI, 2011).
2.3.2 Ruang Lingkup Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Adapun ruang lingkup Kawasan Tanpa Rokok menurut Kemenkes RI (2011), yaitu :
1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/ atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/ atau masyarakat.
2. Tempat Proses Belajar Mengajar
Tempat proses belajar Mengajar adalah gedung yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/ atau pelatihan.
Tempat anak bermain adalah area tertutup maupun terbuka yang digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak.
4. Tempat Ibadah
Tempat ibadah adalah bangunan atau ruang tertutup yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga.
5. Angkutan Umum
Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air, dan udara biasanya dengan kompensasi.
6. Tempat Kerja
Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.
7. Tempat Umum
Tempat umum adalah semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan/ atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat.
8. Tempat Lainnya yang Ditetapkan
Pemimpin atau penanggung jawab tempat-tempat sebagaimana yang telah ditetapkan wajib menetapkan dan menerapkan KTR. Fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah dan angkutan umum merupakan ruang lingkup KTR yang dilarang menyediakan tempat khusus untuk merokok dan merupakan KTR yang bebas dari asap hingga batas terluar. Sedangkan tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok.
2.3.3 Tujuan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Tujuan penetapan kawasan dilarang merokok, adalah :
1. Mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok;
2. Merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat;
3. Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula;
4. Mewujudkan generasi muda yang sehat;
5. Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal;
6. Menurunkan angka kesakitan dan/ atau angka kematian;
7. Melindungi anak-anak dan bukan perokok dari risiko terhadap kesehatan;
8. Mencegah rasa tidak nyaman, bau dan kotoran dari ruang rokok; Pengaturan pelaksanaan KTR bertujuan untuk:
1. Memberikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan KTR;
3. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat
4. Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung (Kemenkes RI, 2011).
2.3.4 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Suatu kebijakan dapat terbentuk dengan adanya dorongan atau dukungan dari pihak yang membutuhkan suatu kebijakan tersebut guna untuk mengatasi masalah yang terjadi di lingkungan sosialnya. Kebijakan merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi suatu masalah yang sedang terjadi. Dengan adanya dukungan yang kuat, berarti pihak tersebut sangat membutuhkan suatu kebijakan itu untuk mengatasi masalah dalam lingkungan sosialnya. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok merupakan cara yang efektif untuk mengendalikan tembakau atau lebih khusus lagi untuk mengurangi kebiasaan merokok.
Pada dasarnya, aturan yang berisi tentang upaya penanggulangan dampak rokok dan pentingnya Kawasan Bebas Asap Rokok sudah ada di Indonesia seperti dinyatakan Kemenkes RI 2011 sebagai berikut:
1. PP No.81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yakni peraturan perundang-undangan untuk membantu upaya pengendalian tembakau. Pasal di dalamnya mengatur iklan rokok, peringatan kesehatan, pembatasan kadar tar dan nikotin, penyampaian kepada masyarakat tentang isi produk tembakau, sanksi dan hukuman, pengaturan otoritas, serta peran masyarakat terhadap kawasan bebas asap rokok.
rokok dan memperpanjang batas waktu bagi industri rokok untuk mengikuti peraturan baru ini menjadi 5-7 tahun setelah dinyatakan berlaku, yang tergantung jenis industrinya.
3. PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan merupakan Peraturan Pemerintah pengganti PP No. 81 Tahun 1999 dan PP No. 38 Tahun 2000, yang mencakup aspek yang berkaitan dengan ukuran dan jenis peringatan kesehatan, pembatasan waktu bagi iklan rokok di media elektronik, serta pengujian kadar tar dan nikotin.
4. PP RI No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang mencakup tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal produksi dan impor; peredaran; perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil; dan Kawasan Tanpa Rokok.
2.4 Implementasi Kebijakan
Sebagian besar analisis kebijakan fokus pada proses pembentukan kebijakan
daripada implementasi kebijakan. Karena itu, Patton dan Savicky yang dikutip Nugroho
menegaskan bahwa implementasi adalah bagian dari proses kebijakan.
Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi menurut Ripley dan Frankin (1986) didasarkan pada tiga aspek, yaitu:
1. Tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang,
2. Adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah; serta
2.5 Kepatuhan
2.5.1 Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan adalah berperilaku atau berperan aktif. Secara umum, kepatuhan berarti sesuai dengan aturan, seperti spesifikasi, kebijakan, standar atau hukum. Kepatuhan terhadap peraturan menjelaskan bahwa lembaga-lembaga publik bercita-cita untuk mencapai tujuan dalam upaya untuk memastikan bahwa sasaran peraturan menyadari dan mengambil langkah-langkah tindakan untuk mematuhi peraturan yang berlaku. Kepatuhan dapat berupa perilaku patuh (Compliance) dan perilaku tidak patuh (non Compliance).
Albery & Munafo (2011) mengatakan bahwa kepatuhan mengacu kepada situasi ketika perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang dianjurkan atau nasehat yang diusulkan oleh praktisi kesehatan ataupun para pembuat kebijakan. Apabila dihubungkan dengan kepatuhan terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok pada mahasiswa, maka kepatuhan mahasiswa adalah segala tindakan mahasiswa yang sesuai atau sepadan dengan aturan atau anjuran dalam penerapan kawasan bebas asap rokok seperti dengan tidak merokok di lingkungan kampus yang menerapkan kawasan bebas asap rokok.
2.5.2 Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan
Menurut Smet (1994) dalam Notoatmodjo (2007) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan, antara lain:
a. Dukungan profesional kesehatan b. Dukungan sosial
d. Pemberian informasi
2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (covert behavior) seperti perhatian, persepsi, pengetahuan serta sikap yang belum dapat dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas, dan perilaku terbuka (overt behavior) atau observable behavior. Kepatuhan merupakan salah satu bentuk perilaku terbuka (overt behavior), karena sudah berupa tindakan yang dapat diamati orang lain dari luar.
Menurut Green (1980), perilaku terhadap suatu objek dipengaruhi oleh tiga faktor (Notoatmodjo, 2007). Faktor-faktor tersebut dapat diketahui sebagai berikut.
1. Faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
2. Faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan.
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap, perilaku dan tindakan atau partisipasi tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas terlebih lagi petugas kesehatan. Di samping itu, undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut.
2.5.3.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga, pengetahuan juga
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
Menurut Rogers yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) sebelum orang
mengadopsi perilaku baru, didalamnya diri orang tersebut terjadi proses
berurutan, yakni :
a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu
b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus
c. Evaluation yaitu menimbang nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya
e. Adoption yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati
tahap-tahap diatas. Apabila penerimaan perilaku baru melalui proses seperti ini didasari
oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng (long lasting).
2.5.3.2Sikap
Menurut Campbell yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) “An individual’s
attitude is syndrome of response consistency with regard to object”. Jadi jelas dikatakan
bahwa sikap itu suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau
objek. Sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan
yang lain.
Menurut Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa
sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum merupakan tindakan
(reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan presdiposisi perilaku (tindakan)
atau reaksi tertutup.
Menurut Allport yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu:
Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).
Dalam menentukan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi
memegang peranan yang penting.
2.5.3.3Praktek atau Tindakan
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan
nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata
atau terbuka (Notoatmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam
bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat
oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga over behavior.
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan
sikap menjadi tindakan nyata diperlukan faktor pendukung antara lain fasilitas. Tindakan
juga memiliki beberapa tingkatan antara lain :
a. Persepsi (Perception)
Persepsi merupakan tindakan mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
b. Respon Terpimpin (Guided Respon)
Indikator dalam tindakan ini adalah dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
c. Mekanisme (Mecanism)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
2.6Kerangka Konsep
Dari uraian diatas sehingga dapat digambarkan kerngka konsep sebbagai berikut :
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
2.7 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka dapat disusun hipotesis sebagai
berikut terdapat pengaruh tingkat kepatuhan guru, pegawai dan siswa terhadap
implementasi kawasan tanpa rokok di SMP RK Serdang Murni Lubuk Pakam Kabupaten
Deli Serdang Tahun 2016.
Kepatuhan dalam implementasi kebijakan KTR di SMP Serdang Murni
Lubuk Pakam Pengetahuan tentang rokok
dan kebijakan KTR
Sikap terhadap rokok dan kebijakan KTR