BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PETANI DAN
PRODUSEN ROKOK KECIL DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PERSAINGAN USAHA
3.1. Pengaturan Terkait Perlindungan Hukum Produsen Kecil dan Petani
Lokal
Bila kita berbicara mengenai segi perlindungan hukum yang diberikan
oleh pemerintah kepada para produsen rokok kecil dan petani lokal, maka
sebenarnya hal tersebut sangat sedikit sekali dijumpai. Hanya beberapa peraturan
hukum saja yang memuat akan hal itu sehingga tidak heran apabila kondisi
persaingan usaha di Indonesia ini makin memperihatinkan dari hari ke hari. Hal
tersebut dibuktikan dengan banyaknya produse rokok kecil yang menutup usaha
dikarenakan ketidaksanggupannya untuk mengimbangi arus persaingan yang
terjadi di tanah air. Yang lebih memperihatinkan lagi bahwa kondisi tersebut
diakibatkan oleh aturan-aturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Berkaitan dengan perlindungan hukum, pemerintah mengaturnya di dalam
beberapa Undang-Undang dan peraturan lain di bawah Undang-Undang itu
sendiri. Aturan-aturan tersebut antara lain, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Sebagai Perubahan Dari Undang-Undang-Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1995 tentang Cukai.
3.1.1. Identifikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Perlu diketahui bersama bahwa bila kita melihat dari lingkup yang luas,
maka diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan suatu
bentuk upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah. Hal tersebut
dapat dibuktikan dari makna yang terdapat pada asas dan tujuan dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 itu sendiri.
Pada asas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 disebutkan sebagai
berikut,
“ Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum.”49
Maka kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha di dalam pasar harus
mencerminkan keadaan perekonomian yang kondusif yang berdasar pada
demokrasi ekonomi. Keadaan yang kondusif tersebut dapat terjadi apabila
terdapat keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan
umum. Sedangkan asas demokrasi ekonomi itu sendiri sebenarnya merupakan
suatu bentuk amanat dari pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa,
49
“ Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.”
Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh
semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang atau seorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan.50 Sedangkan yang menjadi tujuan dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tercantum dalam pasal 3 (tiga) nya yang antara lain
adalah:
1. Guna menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga hal tersebut dapat menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. Dan menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy objectives) yang ideal dalam pengaturan dalam persaingan di negara-negara yang memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest) dan efisiensi ekonomi (economic efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut (pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.51 Dari asas dan tujuan yang dikandung tersebut sangatlah
nyata bahwa Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk
50
Rachmadi Usman, Op.Cit., h. 34.
51
melindungi persaingan yang sehat di dalam suatu mekanisme pasar dan mencegah
terjadinya perbuatan yang merugikan salah satu atau beberapa pihak dikarenakan
perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pihak lainnya.
Selain itu di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dinyatakan sebagai berikut:
“Memperhatikan situasi dan kondisi di atas, menuntun kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh, serta berkembang sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu perlu disusun Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-Undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum. Serta sebagai imlementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945”. Di dalam falsafah yang menjadi latar belakang dilahirkannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut juga memuat dasar pikiran dan urgensi dari
dibentuknya Undang-Undang ini. Tiga hal pokok yang menjadi falsafah
pembentukan tersebut terdapat di dalam konsideran Undang-Undang itu sendiri
yang antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bahwa pembangunan dalam bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia, harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
Bila ditinjau kembali bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 juga telah diatur tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
sebagai bentuk nyata dari perlindungan hukum persaingan usaha di Indonesia
yang juga merupakan pelaksana dari asas dan tujuan dari Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Hal ini diatur di dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tersebut dengan tujuannya untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan
aktivitas atau kegiatan usahanya agar tidak melanggar ketentuan dari
Undang-Undang itu sendiri.
Hal-hal ini sejalan dengan fungsi dari Undang-Undang tersebut sebagai
Tool of Social Control atau alat kontrol sosial dan sebagai Tool of Social Engineering atau alat rekayasa sosial. Sebagai alat kontrol sosial, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di sini berusaha menjaga kepentingan umum dan
mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya,
sebagai alat rekayasa sosial, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 berusaha untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang
kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat dan berusaha
menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.52 Dengan
diterapkannya kedua fungsi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut
52
maka secara tidak langsung hal ini akan menimbulkan suatu bentuk paksaan yang
dirasakan oleh para pelaku usaha untuk lebih berupaya mencapai efisiensi dalam
hal pengelolaan usahanya. Sehingga diharapkan akan dapat menjadi suatu pintu
guna menuju iklim pasar yang sehat dan kondusif dan mencerminkan suatu
bentuk ekonomi kerakyatan.
Bila kita melihat dalam lingkup yang lebih spesifik, maka bentuk
perlindungan hukum yang diberikan pemerintah berkenaan dengan permasalah
tersebut adalah dibuatnya pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Di dalam pasal
tersebut diatur tentang hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 itu sendiri. Yang perlu menjadi perhatian dalam hal ini
adalah ketentuan yang ada pada pasal 50 huruf (h) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut,
“ Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang ini adalah pelaku usaha
yang tergolong dalam usaha kecil.”
Ketentuan pada pasal 50 huruf (h) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut
dengan jelas menyebutkan bahwa pelaku usaha yang tergolong sebagai pelaku
usaha kecil mendapatkan pengecualian dari ketentuan yang ada di dalam
Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 itu sendiri. Pemerintah menyatakan bahwa ini
merupakan suatu upaya untuk menjaga kondisi persaingan usaha yang akan terjadi
di lapangan. Secara filosofis, perlindungan usaha kecil itu melindungi usaha kecil
lebih besar. Tujuannya untuk memenuhi asas kesetaraan level of field .53 definisi
playing field adalah the circumstances under which competition occurs.54 Yang pada intinya asas ini mngedepankan untuk terdapatnya kesetaraan dalam hal
berusaha di antara para pelaku usaha yang terdapat di dalam pasar yang sejenis.
Berkenaan dengan pasal tersebut, maka dalam hal ini Komisi Pengawas
Persaingan Usaha telah membuat suatu pedoman yang memuat pelaksanaan,
penafsiran dan penjabaran dari pasal 50 huruf (h) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 itu sendiri. Yaitu Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 50 huruf (h) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
3.1.2. Identifikasi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Bagi Kesehatan
Seperti halnya pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, ketentuan yang
mengatur tentang bentuk perlindungan hukum juga sangat sulit sekali ditemukan
baik pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 maupun pada Peraturan
Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Malah di
dalam kedua peraturan tersebut tidak ditemukan adanya perlindungan hukum bagi
53
Rachmadi Usman, Op.Cit., h. 167.
54“Definisiplaying field”,
pelaku usaha yakni produsen rokok kecil. Keduanya mengatur masalah
perlindungan bagi petani yang itu pun juga hanya terbatas pada beberapa pasal
saja. Pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, bentuk
perlindungan hukum bagi petani tembakau lokal tersebut ditemukan pada pasal 8
ayat 1 dan pada pasal 9. Sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109
Tahun 2012 perlindungan hukum tersebut ditemukan pada pasal 7 ayat 2 dan
pasal 58 ayat 1.
Sebagian besar peraturan-peraturan hukum tersebut mengatur tentang
upaya pemberdayaan petani tembakau lokal dengan cara diversifikasi tanaman
tembakau. Yang dimaksud dengan diversifikasi adalah Penganekaan usaha untuk
menghindari ketergantungan pada ketunggalan kegiatan, produk, jasa, atau
investasi.55 Hal tersebut di lakukan pemerintah dengan dalih agar para petani
tembakau lokal tersebut tetap dapat melangsungkan kegiatan usahanya dengan
jalan diversifikasi tanaman tembakau tersebut, sehingga perubahan kondisi
persaingan yang ada di pasar tidak mempengaruhi kesejahteraan hidupnya.
3.2. Analisis Yuridis Bentuk Perlindungan Hukum Produsen Rokok Kecil
dan Petani Lokal Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
Seperti yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa bentuk
perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terkait persaingan usaha
bagi para produsen rokok kecil dan petani lokal adalah sangat minim sekali.
Hanya sebagian kecil aturan yang dapat dijumpai, seperti halnya pada pasal-pasal
55
yang telah disebutkan tersebut. Yaitu pada pasal 50 huruf (h) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, pada pasal 8 ayat 1 dan pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2007 tentang Cukai, pasal 7 ayat 2 dan pasal 58 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat
Adiktif Bagi Kesehatan.
Pada pasal 50 huruf (h) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan
bahwa,
“ Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang ini adalah pelaku usaha
yang tergolong dalam usaha kecil.”
Sedangkan menurut penjelasan pasal tersebut dikatakan sebagai berikut,
“ Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil adalah sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.”
Perlu diketahui bersama bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tersebut
telah dinyatakan dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Oleh karena itu, maka
secara otomatis ketentuan pada pasal 50 huruf (h) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 mengikuti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. Sehingga definisi
pelaku usaha kecil sebagai mana yang disebutkan pada pasal tersebut harus
berdasarkan pada ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 itu
sendiri.
Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu definisi dari pelaku usaha itu
“ Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi.’’56
Dari definisi tesebut dapat kita lihat bahwa terdapat beberapa unsur yang melekat
yang antara lain adalah:
1. Setiap orang perorangan atau badan usaha.
2. Melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia.
3. Melakukan perjanjian terkait dengan kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
Sedangkan yang dimaksud dengan usaha kecil adalah,
“ Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil.”57
Kriteria sebagaimana yang dimaksudkan di dalam ketentuan tersebut adalah,
a. “Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,00 (Tiga
Ratus Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.2.500.000.000,00
(Dua Miliar Lima Ratus Juta Rupiah).“58
56
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Ps. 1 angka 5.
57
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Ps. 1 angka 2.
58
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 itu sendiri diatur pula tentang
bentuk usaha lain yakni usaha mikro.
“Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro.”59
Sedangkan kriteria dari usaha mikro yang dimaksud adalah sebagai berikut,
a. “Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (Tiga
Ratus Juta Rupiah).”60
Usaha mikro yang skalanya lebih kecil dari usaha kecil juga diberikan
pengecualian sesuai dengan ketentuan dalam pasal 50 huruf (h) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.61
Berdasarkan pada ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan, maka
pelaku usaha yang dikenai ketentuan pasal 50 huruf (h) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 adalah para pelaku usaha yang memenuhi unsur-unsur tersebut.
Kepadanya diberikan perlakuan yakni pengecualian terhadap ketentuan di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa pelaku usaha tersebut diperbolehkan untuk melakukan perbuatan maupun
perjanjian yang dilarang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 seperti,
Oligopoly, Monopoli, Predatory Price, dan lain sebagainya. Namun perlu dilihat kembali bahwa tidak semua pelaku usaha kecil yang memenuhi unsur-unsur usaha
mikro dan kecil dapat diberikan pengecualian seperti amanat dari pasal 50 huruf
59
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Ps. 1 angka 1.
60
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Ps. 6 ayat 1.
61
(h) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Usaha mikro dan kecil yang dapat
diberikan pengecualian sesuai dengan pasal 50 huruf (h) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 adalah usaha yang berdiri sendiri secara organisasi dan manajemen
sehingga tidak termasuk usaha yang berbentuk sebagai berikut:
1. Cabang sebuah perusahaan menengah dan/atau besar;
2. Anak sebuah perusahaan menengah dan/atau besar;62
Pada dasarnya, di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga diberikan perlindungan lain bagi
produsen mikro dan kecil yaitu melalui pendanaan, pembiayaan, dan
pemberdayaan. Hal ini dilakukan oleh pemerintah sebagai suatu sarana untuk
menumbuhkan iklim usaha mikro dan kecil tersebut.
Namun bila kita lihat kembali bahwa matinya produsen rokok kecil di
berbagai daerah di Indonesia adalah diakibatkan oleh aturan-aturan yang dibuat
oleh pemerintah. Aturan-aturan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun
2012 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tersebut dengan jelas telah
menimbulkan distorsi di tanah air. Memang dalam hal ini pemerintah telah
memberikan kemudahan untuk mengakses fitur pembiayaan, pendanaan dan lain
sebagainya, namun di sisi lain terdapat regulasi-regulasi yang akan mematikan
sektor usaha tersebut di lapangan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun
2012 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 itu sendiri . Hal ini dirasa
bukan merupakan solusi yang tepat. Misalnya saja, pemerintah memberikan
62
bantuan dana terhadap salah satu produsen rokok kecil, dan oleh karenanya pelaku
usaha rokok kecil tersebut dapat membeli bahan baku sehingga angka
produksinya meningkat. Namun dikarenakan terdapat aturan tentang standart
kadar Nikotin dan Tar serta larangan penggunaan bahan tambahan pada produk
tembakau, maka produsen rokok kecil tersebut tetap akan kalah bersaing dengan
produsen rokok besar di pasar. Hal ini menyebabkan para produsen rokok kecil
tersebut harus alih jenis bahan baku agar tetap dapat mengimbangi persaingan.
Dari sini dapat ditarik pemikiran bahwa pemerintah pada dasarnya tidak
memberikan perlindungan terhadap produsen rokok yang tergolong ke dalam
usaha mikro dan kecil terkait jenis bidang usahanya. Pemerintah hanya melakukan
pencegahan agar mereka tetap dapat bertahan dengan mengikuti alur usaha yang
dikehendaki oleh pemerintah. Pemerintah tidak menyadari, bahwa kebijakan yang
diterbitkannya, di satu sisi akan memberikan kemudahan bagi pelaku usaha
tertentu, namun sekaligus di sisi lain justru merugikan kepentingan pelaku usaha
lain. Sehingga prinsip persaingan usaha yang sehat dilanggar dengan cara
meniadakan ataupun memperkecil tingkat persaingan.63
Pada dasarnya dalam segi perlindungan hukum produsen rokok kecil dan
petani tembakau, peran dan kewajiban pemerintah adalah sangat besar sekali. Hal
tersebut sebagai konsekuensi dari kebijakan perekonomian yang dikeluarkannya.
Dalam menjalankan kebijakan di bidang perekonomian, pemerintah
berkepentingan untuk memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat
63
ataupun pelaku usaha dalam rangka melakukan kegiatan ekonomi secara
kompetitif. Pemerintah berperan menciptakan the right tool, serta melakukan kontrol dan menjalankan fungsinya untuk menginformasikan serta
mensosialisasikan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam
menjalankan usahanya secara sehat.64 Pemerintah mempunyai kewajiban untuk
mengatur praktik-praktik bisnis atau usaha yang berpotensi merugikan masyarakat
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Jika intervensi pemerintah dapat
dilakukan secara sistematis akan terjadi persaingan usaha yang sehat dan
memulihkan alokasi sumber daya yang rasional.65 Namun yang terjadi
kenyataannya adalah intervensi pemerintah yang berlebihan malah membuat para
produsen rokok kecil dan petani tembakau lokal terbebani dan menghambat
persaingan usaha yang ada.
Selain itu bentuk pengecualian yang diberikan pemerintah atas ketentuan
di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga sejatinya tidak berpengaruh
terhadap kelangsungan usaha produsen rokok kecil. Hal tersebut dikarenakan
produsen rokok kecil dengan pangsa pasar yang kecil tetap tidak akan
berkembang walaupun pada dasarnya para pelaku usaha tersebut diperbolehkan
untuk melakukan monopoli, predatory pricing dan lain sebagainya selama masih terdapat aturan-aturan yang lebih menguntungkan produsen rokok besar dan
produsen rokok asing di tanah air. Pengusaha kecil bagaimana pun masih
membutuhkan perlindungan agar dapat berkembang dan juga karena alasan sosial
bahwa posisi pengusaha kecil itu lemah sehingga dinilai tidak mungkin
64Ibid,
h. 5.
65 Ibid,
melakukan monopoli.66 Karena dengan kekuatan pasar yang kecil maka pelaku
usaha kecil tidak dapat melakukan upaya monopoli apapun. Hal tersebut dinilai
sebagai sesuatu yang sia-sia.
Berdasarkan Teori Perlindungan Hukum Salmond bahwa hukum bertujuan
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak.67 Sedangkan menurut Prof Subekti, S.H. bahwa hukum
itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.68 Bila kita acukan dasar pemikiran
pada Teori Salmond tersebut, maka yang dimaksud dengan membatasi adalah
mengurangi kebebasan yang harusnya dalam hal ini adalah para produsen rokok
skala besar dan putih yang sangat berpotensi untuk melakukan tindak monopoli
usaha, bukannya para produsen rokok kecil. Selain itu, menurut Lili Rasjidi dan
I.B Wysa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga predektif dan
antisipatif.69 Dalam hal predektif, pemerintah harusnya membuat suatu aturan
dengan berdasar pada prediksi pasar yang akan timbul sebagai akibat dari
ketentuan yang dikeluarkannya itu. Sedangkan dalam hal antisipatif, aturan yang
dibuat pemerintah juga harus memberikan antisipasi dari akibat yang akan timbul
66
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, h. 260.
67
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 53.
68
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1983, h. 39.
69
terkait lahirnya aturan hukum tersebut terhadap persaingan pasar. Sehingga tidak
ada pihak yang dirugikan dengan adanya aturan yang dibuat oleh pemerintah
nantinya.
Berdasarkan pada teori tersebut, maka pemerintah seharusnya
mengeluarkan aturan-aturan yang didasarkan pada prediksi terhadap kondisi
persaingan yang akan terjadi di tanah air. Dan bentuk antisipasinya adalah
perlindungan hukum yang nyata bagi pelaku usaha yang dirugikan yang dalam hal
ini jelas merupakan produsen rokok kecil. Bukannya membuat
peraturan-peraturan yang sangat merugikan kepentingan banyak produsen rokok kecil dan
petani lokal.
Selanjutnya, berkenaan dengan bentuk perlindungan hukum yang
diberikan pemerintah kepada petani tembakau lokal adalah seperti apa yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, serta pada
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Bagi Kesehatan. Kedua aturan hukum tersebut secara
seragam menyebutkan tentang upaya diversifikasi tanaman tembakau yang hal ini
dimaksudkan sebagai suatu upaya perlindungan hukum dari pemerintah.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 dikatakan bahwa,
“ Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan dalam rangka pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi kesehatan.
Produk Tembakau.”70
Selain itu di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 juga disebutkan
bahwa,
“ Menteri, menteri terkait, Kepala Badan, dan Pemerintah Daerah melakukan upaya pengembangan dalam rangka diversifikasi Produk Tembakau yang penggunaannya akan membawa manfaat bagi kesehatan.
Diversifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat sebagai upaya melindungi kelestarian tanaman tembakau.”71
Pada penjelasan pasal 58 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012
tersebut dikatakan bahwa,
“ Diversifikasi dimaksudkan agar penggunaan Produk Tembakau tidak membahayakan bagi kesehatan. Diversifikasi Produk Tembakau dapat dilakukan antara lain dengan mengolah daun tembakau sehingga diperoleh bahan kimia dasar yang dapat digunakan sebagai pestisida, obat bius, produk kosmetik (pengencang kulit), industri farmasi, dan lain-lain. Dengan demikian daun tembakau tidak hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan Rokok tetapi dapat pula digunakan sebagai bahan baku berbagai macam produk hasil diversifikasi.”
Ketentuan sejenis juga ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai yang mengatakan sebagai berikut,
“ Pembebasan cukai dapat diberikan atas barang kena cukai yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai.”72
Ketentuan diatas selanjutnya dilaksanakan dengan Peraturan Direktur Jenderal
Bea dan Cukai Nomor 35/BC/2014 Tentang Tata Cara Tidak Dipungut Cukai. Hal
tersebut kemudian di dukung dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut,
70
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, Ps. 7 ayat 1 dan 2.
71
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembaau Bagi Kesehatan, Ps. 58 ayat 1 dan 2.
72
“ Cukai tidak dipungut atas barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terhadap tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu.”73
Sedangkan di dalam penjelasan pasal 8 ayat 1 dan pasal 9 ayat 1 huruf (a)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tersebut didapat ketentuan sebagai
berikut,
“ Tidak dipungutnya cukai atas barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah untuk memberikan keringanan kepada masyarakat di beberapa daerah yang membuat barang tersebut secara sederhana dan merupakan sumber mata pencaharian. Yang dimaksud dengan "dikemas untuk penjualan eceran" adalah dikemas dalam kemasan dengan isi tertentu dengan menggunakan benda yang dapat melindungi dari kerusakan dan meningkatkan pemasarannya.
Yang dimaksud dengan "pembebasan" adalah fasilitas yang diberikan kepada pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan atau importir untuk tidak membayar cukai yang terutang. Fasilitas pembebasan cukai berdasarkan ketentuan dalam huruf ini dimaksudkan untuk mendukung pertumbuhan atau perkembangan industri yang menggunakan barang kena cukai sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai, baik untuk tujuan ekspor maupun untuk pemasaran dalam negeri, seperti etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan etil asetat, asam asetat, obat-obatan dan sebagainya.”
Dari berbagai macam aturan tersebut dapat ditarik sebuah pemikiran
bahwa, pemerintah melakukan upaya diversifikasi tanaman tembakau dengan
tujuan agar tembakau tersebut dapat diolah menjadi berbagai macam benda lain.
Selain itu secara teori, diversifikasi bertujuan untuk meminimalisir resiko yang
disebabkan oleh dinamika harga dan faktor ekonomi lainnya serta perubahan
73
iklim dan untuk menghindari akibat buruk dari fluktuasi ekonomi.74 Hal ini juga
merupakan bentuk pengendalian pemerintah terhadap jumlah rokok yang beredar
di pasaran. Hal ini didukung oleh peraturan tentang cukai yang menyebutkan
bahwa pemerintah tidak akan memungut besarnya cukai terutang terhadap hasil
olahan tembakau selain rokok. Diversifikasi terhadap tanaman tembakau juga
dapat dilakukan dengan menemukan tanaman lain pengganti tembakau. Hal ini
tentu saja akan berdampak pada kelangsungan petani tembakau karena tidak
semua daerah dan lahan yang akan didiversifikasikan cocok untuk tanaman lain
selain tembakau. Misalnya saja di wilayah Jawa Timur yang memiliki kurang
lebih 110 ribu hectare lahan pertanian tembakau yang akan bermasalah apabila
diganti dengan tanaman lain selain tembakau. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh
faktor iklim dan kadar air yang hanya cocok untuk komoditas tembakau saja.
Dengan melihat makna dari aturan-aturan tersebut, maka pemerintah sejatinya
telah melakukan paksaan kepada para produsen rokok untuk melakukan alih jenis
hasil olahan tembakau. Hal tersebut merupakan suatu hambatan yang serius bagi
produsen rokok kecil dikarenakan dorongan untuk alih jenis hasil olahan
tembakau pasti akan mematikan jenis usahanya. Memang dalam hal ini
pemerintah diwajibkan memberikan dorongan terhadap usaha mikro dan kecil
dalam hal pendanaan, pembiayaan, pemberdayaan dan sebagainya, namun tetap
saja ini bukan merupakan suatu upaya yang efektif. Ketentuan-ketentuan
semacam ini pada akhirnya hanya akan membawa para pelaku usaha ke dalam
suatu persaingan yang tidak sehat. Para podusen rokok besar tetap akan menang
74Anthon Sihombing, “Solusi Diversifikasi Tanaman Tembakau”,
dengan matinya produsen rokok kecil sebagai korbannya.
Sejatinya ketentuan ini juga sangat berimbas pada kesejahteraan para
petani tembakau lokal. Karena dengan matinya para produsen rokok kecil maka
pilihan petani untuk menjual hasil tembakaunya akan semakin berkurang. Pada
akhirnya petani harus menjual tembakaunya kepada para produsen rokok besar
dalam jumlah yang besar dengan harga yang murah. Ditambah lagi keadaan
Indonesia yang sekarang dibanjiri oleh arus impor tembakau asing. Hal ini akan
semakin menjadi penghalang bagi petani untuk dapat mendapatkan kesejahteraan.
Selain itu para petani juga akan kembali direpotkan dengan dorongan untuk alih
jenis tanaman pada ladang tembakaunya. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya
jaminan bahwa petani akan memperoleh keuntungan yang lebih dengan
melakukan alih jenis tanaman non tembakau. Bahkan dengan banyaknya petani
yang melakukan alih jenis tanaman, maka dapat dipastikan bahwa asupan
tembakau dalam negeri akan semakin menurun yang hal tersebut pasti akan
dibarengi dengan semakin lancarnya arus impor tembakau dalam negeri. Dalam
hal ini petanilah yang akan menerima dampaknya dari segi harga jual. Berkaitan
dengan hal tersebut, sebenarnya petani tembakau telah dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 yang memberikan kebebasan kepada para petani
untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. Sehingga
tidaklah relevan apabila para petani yang telah bertahun-tahun menanam
tembakau didorong untuk melakukan alih jenis tanaman lain yang justru petani
tersebut akan dirugikan dengannya.
Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak
Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan disebutkan tentang dukungan terhadap petani
dalam bentuk perlindungan melalui pembatasan impor daun tembakau, pemberian
dorongan upaya alih tanaman (cuaca ekstrim), memperkuat posisi tawar petani,
mendorong penggunaan daun tembakau untuk non-rokok, melalui penelitian guna
mencari kemungkinan pemanfaatan lain daun tembakau dan mendukung industri
rokok untuk mengekspor produknya. Namun hal ini terkesan hanya merupakan
suatu bentuk dukungan dikarenakan aturan seperti pasal 10 dan 12 Peraturan
Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 dan peraturan lain yang menyangkut tentang
diversifikasi tanaman tidak sejalan dengan tujuan yang ada di dalam
Undang-Undang Dasar tahun 1945 yakni kesejahteraan umum. Perlindungan yang pasti
hanyalah tidak dipungutnya cukai bagi para pelaku usaha yang dalam hal ini
sebagian besar adalah petani lokal yang menjual eceran terhadap hasil
pertaniannya berupa tembakau iris. Memang langkah ini mungkin dapat sedikit
meringankan beban petani tembakau lokal. Namun tetap saja, selama kondisi
persaingan di tanah air masih buruk diakibatkan oleh banyaknya peraturan yang
berimbas pada matinya ribuan produsen rokok kecil layaknya pasal 10 dan 12
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 dan lain sebagianya, maka petani