PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT K.H. HASYIM
ASY’ARI DALAM KITAB
ADAB AL-ALIM WA-AL
MUTA’ALLIM
SKRIPSI
DiajukanuntukMemperolehGelar
SarjanaPendidikan Islam
Oleh :
ABDUL MAJID
NIM 11111074
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
iii
PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT K.H. HASYIM
ASY’ARI DALAM KITAB
ADAB AL-ALIM WA-AL
MUTA’ALLIM
SKRIPSI
DiajukanuntukMemperolehGelar
SarjanaPendidikan Islam
Oleh :
ABDUL MAJID
NIM 11111074
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
vii
MOTTO
تًقْلُخ ْمٍُُىَظْحَة تًوتَمِْٔة َهِْٕىِمْؤُمْلة ُلَمْكَة
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
viii
PERSEMBAHAN
Karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi ini penulis persembahkan kepada :
1. Ayah dan ibu tercinta, serta adik saya Zaidatul Ulya, yang telah memberikan motivasi, mendoakan, dan mengorbankan jiwa, raga maupun material dalam
jenjang pendidikan yang telah saya tempuh.
2. Bapak M. Gufron, M. Ag beserta keluarga selaku orang tua saya di Panti
ix
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah swt Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah yang merajai semesta alam, atas rahmat, taufiq serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam selalu tercurahkan kepada kekasih Allah, Muhammad bin Abdullah, sanak saudara dan para sahabat yang telah menunjukkan jalan yang benar dengan perantaraan Islam. Penulisan skripsi ini dimaksudkan guna memenuhi kewajiban
sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam.
Penulis perlu sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini, serta penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :
3. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
4. Bapak Suwardi, M.Pd selaku Dekan FTIK pada Institut Agama Islam Negeri
Salatiga.
5. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag selaku Kajur PAI pada FTIK Institut Agama Islam Negeri Salatiga
6. Bapak Dr. H. Miftahuddin, M. Ag selaku dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan
dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
7. Guru-guru yang memberikan pengetahuannya kepada saya, semoga Allah membalasnya dengan menempatkan kalian ditempat yang layak dan dibalas
x
8. Teman-teman PAI B yang mengajak untuk sesegera mungkin menyelesaikan program S1 ini.
9. Selvi Alviana Rafida yang selalu memberikan motivasi, mendoakan dan juga mendampingi dalam segala hal.
10. Adik-adik Panti Asuhan Darul Hadlanah NU Salatiga yang selalu memberikan pembelajaran meskipun secara tidak langsung.
Dalam penulisan skripsi ini apabila banyak kekeliruan, kekurangan dan
kesalahan, itu semua karena keterbatasan kemampuan penulis, untuk itu pula kritik dan saran yang konstruktif akan penulis terima dengan senang hati.
Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya kepada diri saya pribadi dan kepada semua pelajar pada umumnya.
Salatiga, 5 Maret 2016 Penulis
xi
ABSTRAK
Abdul Majid, 2016. Pendidikan Karakter Menurut K.H. Hasyim Asy‟ari dalam Kitab Adab al-„Alim wa-al Muta‟allim. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Dr. H. Miftahuddin, M. Ag
Kata Kunci : Pendidikan Karakter, dan Kitab Adab al-„Alim wa-al Muta‟allim Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) bagaimana biografi intelektual K.H. Hasyim Asy‟ari?; (2) bagaimana pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari yang berkaitan dengan pendidikan karakter?; dan (3) bagaimana relevansi pemikiran pendidikan karakter menurut K.H. Hasyim Asy‟ari terhadap dunia pendidikan di Indonesia?
Penelitian ini merupakan penelitian literatur atau naskah dengan mengambil naskah tokoh K.H. Hasyim Asy‟ari, yakni Kitab Adab al-„Alim wa-al Muta‟allim. Metode yang digunakan adalah analisis isi (content analisys), dengan pendekatan historis, hermeneutika, dan fenomenologi.
xii
BAB II : BIOGRAFI INTELEKTUAL K.H. HASYIM ASY‟ARI A. Keluarga K.H. Hasyim Asy‟ari………23
1. Kelahiran K.H. Hasyim Asy‟ari………...23
2. Silsilah Keluarga………...26
3. Masa Kecil K.H. Hasyim Asy‟ari……….28
4. Pengabdian dalam Masyarakat dan Negara………..30
B. Riwayat Pendidikan ……..………..39
C. Karya-karya K.H. Hasyim Asy‟ari………43
xiii
B. Nilai-nilai yang Terkandung dalam Kitab Adab al-„Alim wa-al
Muta‟allim………62
BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB ADAB AL-ALIM WA-AL MUTA‟ALLIM A. Analisis Pendidikan Karakter dalam Kitab Adab al-„Alim wa-al Muta‟allim………70
1. Menghargai Nilai Normatif………..72
2. Koherensi atau Membangun Rasa Percaya Diri………...78
3. Otonomi………….………...81
4. Keteguhan dan Kesetiaan.……….86
B. Relevansi Pemikiran Pendidikan Karakter menurut K.H. Hasyim Asy‟ari dalam Dunia Pendidikan di Indonesia ……… 91
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan………..101
B. Saran………103
C. Penutup………104
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan karakter telah dicanangkan sudah sejak lama sebelum datangnya
kemerdekaan Indonesia, bahkan beberapa tokoh sebelum kemerdekaan telah mengeluarkan pendapatnya mengenai pendidikan karakter. Pendidikan karakter memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk generasi,
karena dengan pendidikan karakter dapat menghasilkan manusia yang berkualitas, kreatif, dan bertanggungjawab. Pendidikan karakter dalam
perspektif Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang sangat menarik, bukan karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan konsep-konsep yang tidak kalah pentingnya dengan pendidikan yang lainnya.
Dalam khasanah pemikiran pendidikan Islam, ditemukan tokoh-tokoh besar dengan ide-idenya yang cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi dan
member kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan karakter di Indonesia.
Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah
posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan
2
Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau melalui jalur dakwah mereka.
Sebelum kemerdekaan Indonesia, pendidikan karakter lebih diajarkan didalam pondok pesantren yang berlangsung cukup lama sampai pada
akhirnya timbul pendidikan karakter yang diajarkan di lembaga pendidikan formal. Akan tetapi lembaga-lembaga formal pada waktu itu tidak bisa secara bebas mengajarkan baik pendidikan formal maupun pendidikan karakter ,
karena adanya peraturan dari Belanda yang waktu itu menjajah Indonesia, sehingga lembaga pendidikan formal pada waktu itu hanya menghasilkan
tenaga kantor tingkat rendah dan juga dengan gaji yang jauh lebih murah. Meskipun pondok pesantren lebih banyak mengajarkan pendidikan karakter, bukan berarti pendidikan karakter di pondok pesantren tidak
mempunyai kekurangan. Kebanyakan pondok pesantren masih juga mengajarkan karakter dengan cara menghafal dan juga pengenalan pada
nilai-nilai pendidikan karakter akan tetapi belum sampai pada tingkat penghayatan nilai-nilai daripada pendidikan karakter tersebut. Jauh daripada harapan para tokoh-tokoh pendidikan karena masih belum bisa mencapai tingkat
penghayatan apalagi sampai pada tingkat menjadikan nilai-nilai pendidikan tersebut sebagai komitmen pribadi dalam kehidupan sehari-hari bersama
masyarakat. Jadi masih banyak kekurangan pada saat pelaksaan pendidikan karakter, sehingga diperlukan kajian lebih mendalam tentang pendidikan karakter dari beberapa literatur klasik maupun modern yang akan
3
K.H. Hasyim Asy‟ari adalah salah satu tokoh pendidikan Islam dan
juga pendiri gerakan Nahdlatul Ulama‟ (NU). K.H. Hasyim Asy‟ari melalui
kitabnya yang berjudul Adab al-„Alim wa-al Muta‟allim telah mengemukakan pendapatnya tentang salah satu metode pendidikan karakter menurut beliau. Dalam kitab karya K.H. Hasyim Asy‟ari tersebut, telah terdapat risalah
pendidikan yang memuat tentang pendidikan karakter khususnya tentang nilai-nilai karakter yang harus dimiliki baik oleh pendidik maupun peserta
didik. Tidak hanya peserta didik yang harus belajar mengenai pendidikan karakter, akan tetapi pendidik pun diharuskan untuk mendalami pendidikan
karakter. Agar terjadi kesinambungan antara pendidik dengan peserta didik, sehingga dalam proses belajar mengajar pun tidak akan terjadi yang namanya kesalahpahaman peserta didik terhadap perilaku pendidik di dalam kelas.
Usaha yang dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy‟ari adalah sebuah upaya
untuk mempersiapkan model pembelajaran bagi pendidik dan juga anak didik
dalam rangka menyiapka generasi penerus yang penuh dengan nilai-nilai pendidikan, sehingga kelak Indonesia akan mempunyai generasi yang dapat meneruskan pembelajaran karakter yang tidak hanya teoritis. Akan tetapi
generasi yang penuh akan nilai-nilai penghayatan dan juga nilai-nilai prakteknya dalam bermasyarakat. Konsep inilah yang menurut penulis
penting untuk kemudian dimunculkan kembali dalam konteks melanjutkan cita-cita perjuangan beliau. Menemukan kembali ruh pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari terkait dengan pendidikan karakter menjadi sebuah keharusan agar
4
K.H. Hasyim asy‟ari adalah seorang tokoh pendiri NU yang brilian
dan berjasa besar tidak hanya bagi kepentingan pendidikan Islam, pesantren,
NU dan pergerakan Islam tetapi juga bagi bangsa dan negara Indonesia. Membaca konsep pendidikan karakter yang yang dilakukan beliau adalah
penting untuk menemukan sebuah alur pemikiran yang sebenarnya telah disiapkan olehnya. Sebagai kader pergerakan tentunya beliau mempunyai kerangka pikir yang jelas sebelum bertindak.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian ilmiah dengan judul Pendidikan Karakter dalam Kitab
Adab al-„Alim wa-al Muta‟allim karya K.H. Hasyim Asy‟ari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka selanjutnya penulis mengemukakan pokok-pokok permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian ini, supaya dapat mempermudah dalam proses penelitian ini. Adapun rumusan masalah penulis paparkan sebagai berikut :
1. Bagaimana biografi intelektual K.H. Hasyim Asy‟ari ?
2. Bagaimana pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari yang berkaitan dengan pendidikan karakter ?
5
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan dalam
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui biografi inteletual K.H. Hasyim Asy‟ari.
2. Menegetahui pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari yang berkaitan dengan pendidikan karakter.
3. Mengetahui relevansi pendidikan karakter menurut K.H. Hasyim Asy‟ari
terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis berupa tambahan dokumentasi bagi khasanah Ilmu Pendidikan Islam, terutama
yang terkait dengan pemikiran tokoh pendidikan Islam mengenai pendidikan karakter.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan rujukan bagi para pengelola lembaga pendidikan Islam terutama para pendidik
untuk mengimplementasikan mutiara-mutiara pendidikan karakter yang terdapat dalam Kitab Adab al-„Alim wa-al Muta‟allim. Harapannya, hasil dari penelitian ini bisa dijadikan sebuah rujukan praktis oleh insan-insan
6
E. Kajian Pustaka
Saat ini buku yang secara khusus membahas tentang pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari masih sedikit apabila dibandingkan dengan pemikir lainnya. Penulis
mengemukakan penelitian yang secara khusus membahas tentang biografi KH. Hasyim Asy‟ari dan pemikirannya tentang pendidikan karakter karya
Samsul Ma‟arif yang berjudul “Mutiara-mutiara Dakwah K.H. Hasyim
Asya‟ri” yang telah diterbitkan oleh Kanza Khasanah Bogor pada tahun 2011.
Diantara isi karya tersebut ada yang mengandung tentang seorang nasionalis-tradisional, sosok pejuang yang brilian, muda progresif dan pemikiran-pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari tentang pemikiran-pemikiran agama, politik,
pergerakan, pengajaran dan pendidikan.
Hasbullah, menulis buku “Dasar-dasar Ilmu Pendidikan”, di dalamnya
Hasbullah mencatat pergulatan K.H. Hasyim Asy‟ari dalam mengiringi dunia pendidikan bahwa beliau berusaha menumbuhkan jiwa pemikiran dan
gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak didik, menanamkan sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak lain, keterampilan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi,
menciptakan sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah kesatuan dan juga menanamkan penghayatan
terhadap nilai-nilai.
Sementara Darmiyati Zuchdi dalam “Pendidikan Karakter”, memfokuskan diri pada pemikiran beberapa tokoh pendidikan dalam
7
membandingkan pemikiran beberapa tokoh pendidikan. Dalam hal ini Darmiyati mengemukakan bahwa karakter adalah sebuah cara berpikir,
bersikap, dan bertindak yang menjadi cirri khas seseorang yang menjadi kebiasaan yang ditampilkan dalam kehidupan bermasyarakat.
F. Metode Penelitian
Proses dalam penelitiani ini, penulis menggunakan pendekatan dan metode
sebagai acuan dalam penulisan karya tulis ini. Secara jelas penulis paparkan sebagai berikut :
1. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah : a. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan yang mengurai fakta-fakta pemikiran yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy‟ari. Pengembangan aspek historis dalam
tulisan ini adalah sebuah analisis diskriptif yang akan membawa pada kesimpulan pada pola pemikiran yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy‟ari. Melalui pendekatan sejarah, peneliti dapat
melakukan periodesasi atau derivasi sebuah fakta, yang melakukan proses genesis: perubahan dan perkembangan. Melalui sejarah dapat
8
b. Pendekatan Hermeneutika
Menurut Suprayogo (2003;73) hermeneutika merupakan metode
bahkan aliran dalam penelitian kualitatif, khususnya dalam memahami makna teks (kitab suci, buku, undang-undang, dan
lain-lain) sebagai sebuah fenomena sosial budaya. Fungsi metode hermeneutika adalah agar tidak terjadi distorsi pesan atau informasi antara teks, penulis teks, dan pembaca teks. Tujuan spesifiknya
adalah mengembangkan pengetahuan yang memberikan pemahaman dan penjelasan yang menyeluruh dan dan mendalam. Arti
hermeneutika disini adalah analisis yang mengarah pada pembacaan teks-teks atas fakta yang terjadi dan relasi dengan konteks kesejarahannya. Pendekatan ini hanya mampu sedikit memotret dari
pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari. Namun kemudian penulis akan berusaha menyajikan dengan data dan analisis yang mendetail agar
mudah dipahami.
c. Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi bisa diartikan sebagai pengalaman subyektif atau
studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Fenomenologi kadang-kadang digunakan sebagai perspektif filosofi
9
mampu menghasilkan sebuah konsep pemikiran yang integral dengan konteks yang terjadi waktu itu.
2. Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini diperoleh dari riset
kepustakaan (library research) yaitu hasil dari penelitian berbagai buku dan karya ilmiah yang ada relevansinya dengan pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari. Dalam penelitian kualitatif menempatkan sumber data sebagai
subjek yang memiliki kedudukan penting. Jenis sumber data dalam penelitian kualitatif dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Penelitian ini menggunakan sumber data primer yakni Kitab Adab
al-„Alim wa-al Muta‟allimkarya K.H. Hasyim Asy‟ari.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitia ini adalah informasi cetak
maupun elektronika, termasuk di dalamnya buku-buku yang digunakan untuk melengkapi dan mendukung data penelitian yang terkait dengan tema pendidikan karakter dan ikhwal K.H. Hasyim Asy‟ari. Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder adalah
buku disertasinya Samsul Ma‟arif yang berjudul Mutiara-mutiara Dakwah K.H. Hasyim Asy‟ari, Kapita Selekta Pendidikan Islam
karya Abuddin Nata dan kitab Ta‟limul Muta‟allim karya az-Zarnuji
Sumber data sekunder lebih dimaksudkan sebagai sejumlah
10
benda yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Banyak peristiwa yang telah lama terjadi bisa di teliti dan dipahami
atas dasar dokumen atau arsip (Suprayogo, Tobroni;162-164).
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian, karena tujuan penelitian adalah mendapatkan data. Dalam penyusunan skripsi ini, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan
menggunakan teknik pengumpulan data :
a. Teknik Pengumpulan Data dengan Dokumen
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang, antara lain bukunya Jamal Ghofir yang berjudul Biografi Singkat Ulama Ahlussunnah Wal Jama‟ah Pendiri dan
Penggerak NU, Ta‟limul Muta‟allim karya az-Zarnuji dan lain
sebagainya.
b. Triangulasi
Dalam hal ini triangulasi sebagai teknik pengecekan kredibilitas data
dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data (Sugiono, 2008:329-330). Trianggulasi digunakan untuk mengecek
validitas data dari suatu dokumen dengan mencocokkan dengan dokumen lain.
-11
al Muta‟allim dengan buku disertasinya Samsul Ma‟arif yang
berjudul Mutiara-mutiara Dakwah K.H. Hasyim Asy‟ari.
4. Analisis Data
Data yang terkumpul selanjutnya akan penulis analiss dengan menggunakan teknik analisa data dengan cara :
a. Reduksi Data
Menurut Miles dan Huberman (1992 : 19), reduksi data diartikan
sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar, yang muncul dari catatan-catatan lapangan.
b. Penyajian Data
Alur penting selanjutnya penyajian data, yang dimaksud penyajian data adalah menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan.
c. Menarik Kesimpulan
Kegiatan analisa yang terakhir adalah menarik kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data, seorang menganalisa kualitatif mulai
12
Dari komponen analisis di atas, prosesnya saling berhubungan dan berlangsung terus-menerus selama penelitian
berlangsung.
G. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan tentang judul skripsi di atas, supaya tidak terjadi kesalahpahaman maka penulis perlu
memberikan batasan-batasan dan penegasan beberapa istilah yang ada di dalamnya, yaitu :
1. Pendidikan
Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar
seorang pelayan. Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diitilahkan
dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual (Muhadjir, 2000: 20-21).
Ki Hajar Dewantara (1977: 20) menyatakan bahwa pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya, pendidikan
13
Banyak pendapat yang berlainan tentang pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti.
Salah satu di antaranya mengatakan bahwa pendidikan adalah hasil peradaban duatu bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup
bangsa yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya; suatu cita-cita atau tujuan yang menjadi motif; cara suatu bangsa berpikir dan berkelakuan, yang dilangsungkan turun temurun dari generasi ke generasi (Meichati,
1975: 5).
Sedangkan menurut Nasrudin (2008-11) pendidikan adalah upaya
mencerdaskan pikiran, menghaluskan budi pekerti, memperluas cakrawala pengetahuan serta memimpin dan membiasakan anak-anak menuju arah kesehatan badan dan kesehatan ruhani bangsanya.
Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan,
pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan berarti proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Sedangkan di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk, untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
14
dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Jadi pendidikan adalah usaha maksimal yang dilakukan untuk
memperluas pengetahuan, mencerdaskan pikiran, memperbaiki moral dan juga budi pekerti, serta meningkatkan potensi yang ada pada diri setiap anak didik.
2. Karakter
Dalam kamus bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.
Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak (Zuchdi, 2013:16).
Alwisol menjelaskan pengertian karakter sebagai penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit. Karakter berbeda dengan kepribadian
karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah laku
15
W.B. Saunders, (1977: 126) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu, sejumlah atribut
yang dapat diamati pada individu. Gulo W, (1982: 29) menjabarkan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau
moral, misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.
Kamisa, (1997: 281) mengungkapkan bahwa karakter adalah
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak,
mempunyai kepribadian.
Jadi karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, tingkah laku, akhlak, dan
kepribadian seseorang dalam menuntun, mengarahkan dan
mengorganisasikan aktifitas individu seseorang.
FW. Foester seorang pedagog dari Jerman yang menekuni dimensi
etis-spiritual dalam pembentukan pribadi mengungkapkan ada empat karakteristik dasar pendidikan karakter. Menurut Foester (dalam www.pndkarakter.wordpress.com,), keempat karakteristik dasar tersebut
meliputi: 1. Otonomi
Adanya otonomi, yaitu peserta didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, peserta didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa
16 2. Menghargai Nilai Normatif
Pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman
terhadap nilai normatif. Peserta didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut.
3. Koherensi atau Membangun Rasa Percaya Diri
Adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian
dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru.
4. Keteguhan atau Kesetiaan
Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan
atas komitmen yang dipilih.
3. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya (Megawangi, 2004 : 95).
Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
17
dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter, 2010).
Jadi pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Oleh karena itu
pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial
seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya.Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi
unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan
seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program
operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk
selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud
antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun.
18
teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu:
a. Religius b. Jujur
c. Toleransi d. Disiplin e. Kerja keras
f. Kreatif g. Mandiri
h. Demokratis i. Rasa Ingin Tahu j. Semangat Kebangsaan
k. Cinta Tanah Air l. Menghargai Prestasi
m. Bersahabat/Komunikatif n. Cinta Damai
o. Gemar Membaca
p. Peduli Lingkungan q. Peduli Sosial
r. Tanggung Jawab
Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan
19
yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu
daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara
berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih,
nyaman, disiplin, sopan dan santun.
4. K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy‟ari lahir dari keluarga elit kyai Jawa pada selasa
kliwon, 24 Dzulqa‟dah 1287 H/14 Februari 1871 M, di pondok pesantren
Gedang, desa Tambakrejo, sekitar 2 km arah utara kota Jombang. Ayahnya, Asy‟ari adalah pendiri pondok pesantren Keras di Jombang,
sementara kakeknya, Kyai Usman merupakan seorang kiai terkenal dan pendiri pondok pesantren Gedang yang didirikan pada abad ke-19. Selain itu moyangnya yang bernama Abdussalam yang biasanya disebut dengan
Mbah Sichah adalah pendiri pondok pesantren Tambakberas Jombang (Ghofir, 2012 : 75).
20
Hasbullah tidak lepas dari pengaruh K.H. Khalil dan juga K.H. As‟ad
Samsul Arifin (Ma‟arif, 2011 : 102).
K.H. Hasyim Asy'ari banyak membuat tulisan dan catatan-catatan. Sekian banyak dari pemikirannya, setidaknya ada empat kitab
karangannya yang mendasar dan menggambarkan pemikirannya. Kitab-kitab tersebut antara lain :
a. Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa
Asyrathis-sa'ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah (Paradigma
Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati,
Tanda-tanda Zaman, dan Penjelasan tentang Sunnah dan Bid'ah). b. Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang
Terang tentang Kecintaan pada Utusan Tuhan, Muhammad SAW).
c. Adab al-alim wal Muta'allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta'allim fi
Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi (Etika Pengajar dan Pelajar
dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar). d. At-Tibyan: fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan
(Penjelasan tentang Larangan Memutus Tali Silaturrahmi, Tali
Persaudaraan dan Tali Persahabatan).
e. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam‟iyyat Nahdlatul Ulama‟.
Dari sudut intelektual K.H. Hasyim Asy‟ari diakui sebagai orang
21
tokoh yang pertama kali menciptakan sistem pendidikan terutama di pesantren dengan menggunakan metode kelas.
5. Kitab Adab al-’Alim wa-al Muta’allim
Kitab ini adalah karya K.H. Hasyim Asy‟ari. Arti kitab ini mempunyai
pengertian sopan santun atau akhlak antara pendidik dengan anak didik yang sampai sekarang masih dipelajari diberbagai lembaga pendidikan. Sebagaimana judulnya, kitab ini membahas penjelasan berbagai akhlak
yang berhubungan dengan pendidik dan anak didik. Kitab ini terdiri dari atas delapan bab pembahasan, dimulai dari pengenalan terhadap
pengarang (ta‟rif al-muallif), kemudian khutbah kitab dilanjutkan dengan bab satu, dua, tiga, sampai delapan. Pada bagian akhir ditulis surat
altaqariz (surat pujian dari ulama terhadap kemunculan kitab ini) dan fahrasat (daftar isi).
Jadi yang penulis maksud dengan judul skripsi di atas adalah
konsep mutiara-mutiara pendidikan karakter yang terdapat dalam Kitab Adab al-„Alim wa-al Muta‟allimkarya K.H. Hasyim Asy‟ari.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi merupakam suatu cara menyusun dan mengolah
22
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode dan pendekatan
penelitian, penegasan istilah, sistematika penulisan skripsi.
Bab II Biografi inteletual K.H. Hasyim Asy‟ari. Pembahasannya
meliputi riwayat hidup K.H. Hasyim Asy‟ari, mulai dari keluarga, kelahiran, silsilah keluarga, pengabdian dalam masyarakat, negara, serta latar belakang pendidikan dan karyanya.
Bab III Berisikan tentang garis besar Kitab Adab al-‟Alim wa-al Muta‟allim karya K.H. Hasyim Asy‟ari dan mutiara-mutiara pendidikan
karakter yang terdapat dalam kitab tersebut.
Bab IV Analisis Pendidikan Karakter di dalam kitab Adab al-„Alim
wa-al Muta‟allim karya K.H. Hasyim Asy‟ari.
23
BAB II
BIOGRAFI INTELEKTUAL K.H. HASYIM ASY’ARI
Uraian biografi intelektual K.H. Hasyim Asy‟ari disusun dengan rangkaian
sebagai berikut: (a) keluarga; (b) riwayat pendidikan; dan (c) karya-karyanya.
A. Keluarga K.H. Hasyim Asy’ari 1. Kelahiran K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy‟ari adalah salah satu tokoh yang penting di Indonesia.
Beliau adalah salah satu tokoh yang mendapatkan gelar Pahlawan dimata pemerintah, beliau adalah pendiri organisasi yang untuk saat ini dianggap
terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (1926).
K.H. Hasyim Asy‟ari lahir dari keluarga elit kyai Jawa pada
selasa kliwon, 24 Dzulqa‟dah 1287 H/14 Februari 1871 M, di pondok
pesantren Gedang, desa Tambakrejo, sekitar 2 km arah utara kota Jombang. Ayahnya, Asy‟ari adalah pendiri pondok pesantren Keras di
Jombang, sementara kakeknya, Kyai Usman merupakan seorang kiai terkenal dan pendiri pondok pesantren Gedang yang didirikan pada abad ke-19. Selain itu moyangnya yang bernama Abdussalam yang biasanya
disebut dengan Mbah Sichah adalah pendiri pondok pesantren Tambakberas Jombang (Ghofir, 2012 : 75).
24
Tingkir. Jaka Tingkir adalah Raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.
Brawijaya V memiliki beberapa putera, diantaranya adalah dikenal dengan sebutan Joko Tingkir atau Mas Karebet. Istilah Joko
Tingkir menunjukkan asal usulnya, yakni seorang pemuda yang berasal dari Tingkir, sebuah perkampungan dekat Salatiga. Sedangkan, istilah Karebet merupakan penanda bahwa ia berasal dari keturunan priati,
pangeran, atau anak bangsawan. Joko Tingkir kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Trenggono, seorang raja ketiga pada Kerajaan Islam
Demak. Kepahlawanan dan jasa Joko Tingkir terhadap Islam antara lain ia mampu mengislamkan rakyat Pasuruan.
Dalam riwayat hidupnya, K.H. Hasyim Asy‟ari pernah menikah
sebanyak empat kali, semuanya istrinya adalah anak kiai. Keempat istrinya tersebut adalah Khadijah putrid Kiai Ya‟kub dari pondok
pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Nafisah putri Kiai Romli dari Kemuning Kediri, Nafiqah putri Kiai Ilyas daei Sewulan Madiun, Masrurah putrid saudara Kiai Ilyas pemimpin pondok pesantren
Kapurejo Kediri. Pertama, pernikahannya dengan Khadijah mempunyai seorang putra laki-laki bernama Abdullah, namun ia meninggal ketika masih bayi. Kedua, pernikahan dengan Nafiqah, K.H. Hasyim Asy‟ari
mempunyai 10 orang putera, yaitu Hannah, Khairiyah (Ummu Abd Djabbar), A‟isyah (Ummu Muhammad), Ummu Abdul Haq, A. Wahid
25
dan Yusuf Hasyim. Ketiga, pernikahannya dengan Masrurah mempunyai putera, yaitu A. Kadir Hasyim, Fatimah Khadijah, dan Ya‟kub (Ghofir,
2012 : 76-77).
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, K.H. Hasyim Asy‟ari dengan K.H. Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu
saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya
adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini
populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak
menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian.
Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan
sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap
menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung,
Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian
hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami
akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru
kepada Tuan” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai
Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling
mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan
26
menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan antara anak didik dan pendidik
sekarang. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat masyhur pada zamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU
generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
2. Silsilah Keluarga
K.H. Hasyim Asy‟ari merupakan salah seorang dari sebelas keturunan K.
Asy‟ari dengan Nyai Halimah. K.H. Hasyim Asy‟ari yang kelak menjadi
ulama termasyhur dan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia. Silsilah dari jalur ibunda K.H. Hasyim Asy‟ari bersambung Jaka Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal
27
Silsilah K.H. Hasyim Asy’ari (KPG Tempo, 2011 : 35, Bakar, 2011, Zuhri,
2010 : 181)
K.H. Hasbullah K.H. Abdul Wahab
Siti Khotijah K.H. Bisri Samsuri
28
3. Masa Kecil K.H. Hasyim Asy’ari
Bakat kepemimpinan K.H. Hasyim Asy‟ari sudah tampak sejak
masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar
aturan permainan, ia akan menegurnya. Ia membuat temannya senang bermain karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada tahun 1293 H/1876 M, tepatnya ketika berusia 6 tahun,
Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke desa Keras, sekitar 8 km arah selatan kota Jombang. Kepindahan mereka adalah membina masyarakat di sana. Di desa Keras, Kiai Asy‟ari diberi tanah oleh kepala
desa yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh
orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri karena ia hidup menyatu
bersama para santri. Ia menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di
kemudian hari. Selain ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah bisa membantu ayahnya
mengajar santri-santri yang lebih besar darinya (Ghofir, 2012 : 77-78). Di samping cerdas, Hasyim juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek telah mendorongnya untuk
29
orang lain. Itu sebabnya, ia selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya
kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu. Dipercayai bahwa tanda kecerdasan dan juga ketenarannya adalah
lantaran lamanya ia dalam kandungan ibunya. Masyarakat pesantren percaya ada makna yang penting ketika ibu K.H. Hasyim Asy‟ari
mengandung kemudian bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke
dalam kandungannya. Mimpi ini ditafsirkan sebagai tanda bahwa anak yang dikandung akan mendapat kecerdasan dan barakah dari Allah. Ramalan ini tepat bagi K.H. Hasyim Asy‟ari yang sedang belajar di
bawah bimbingan orang tuanya sampai usia 13 tahun.
Pada usia 15 tahun, K.H. Hasyim Asy‟ari memutuskan untuk
belajar ke beberapa pesantren di Jawa dan Madura, yaitu pesantren Wonokoyo Probolinggo, pesantren Langitan Tuban, pesantren Trenggilis,
pesantren Kademangan Bangkalan Madura, dan pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Bagi para santri, mengikuti pelajaran diberbagai pesantren yang mempunyai spesialisasi di dalam pengajaran ilmu agama memang sudah
menjadi kebiasaan. Santri menerima pengajaran dari berbagai ahli agama dengan berkelana ke pesantren-pesantren yang berbeda untuk mencari ilmu. Tradisi ini member kesempatan kepada K.H. Hasyim Asy‟ari untuk
belajar berbagai agama, seperti tata bahasa dan sastra Arab, fikih, dan tasawuf dari K.H. Khalil Bangkalan selama 3 tahun sebelum ia
30
bimbingan Kiai Ya‟qub dari pesantren Siwalan Panji Sidoarjo (Ghofir,
2012 : 79).
4. Pengabdian dalam Masyarakat dan Negara. a. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing (terutama pabrik gula). Bila dilihat
dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut memang menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja. Akan
tetapi secara psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum siap menghadapi industrialisasi. Mereka belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik. Upah yang mereka terima biasanya
digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif-hedonis. Budaya
judi dan minum minuman keras pun menjadi tradisi
(http://tebuireng.org/sejarah).
Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya
hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat yang amat jauh dari nilai-nilai agama.
Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26
31
M.), Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu (Jawa: tratak), berukuran 6 X 8 meter.
Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya,
Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang (http://tebuireng.org/sejarah).
Dusun Tebuireng sempat dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan K.H. Hasyim Asy‟ari dan santri-santrinya,
secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut berubah semakin baik dan perilaku negatif masyarakat di Tebuireng pun terkikis habis. Awal mula kegiatan dakwah K.H. Hasyim Asy‟ari
dipusatkan di sebuah bangunan yang terdiri dari dua buah ruangan
kecil dari anyam-anyaman bambu, bekas sebuah warung yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang dibelinya dari seorang dalang. Satu ruang digunakan untuk kegiatan pengajian, sementara
yang lain sebagai tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Khodijah.
Seiring dengan perjalanan waktu, santri yang berdatangan
menimba ilmu semakin banyak dan beragam. Kenyataan tersebut telah
mendorong Pondok Pesantren Tebuireng beberapa kali telah melakukan
perubahan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagaimana
pesantren-pesantren pada zaman pendiriannya, sistem pengajaran awal
32
bandongan atau halqah. Semua bentuk pengajaran tersebut tidak
dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan
dengan bergantinya kitab yang khatam (selesai) dikaji dan diikuti santri.
Materi pelajarannya pun khusus berkisar tentang pengetahuan agama
Islam, ilmu syari‟at dan bahasa Arab.
Perubahan sistem pendidikan di pesantren ini pertama kali
diadakan K.H. Hasyim Asy‟ari pada tahun 1919, yaitu dengan penerapan
sistem madrasi (klasikal) dengan mendirikan Madrasah Salafiyah
Syafi‟iyah. Sistem pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua
tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani.
Tahun 1929, kembali dilakukan pembaharuan, yaitu dengan
dimasukkannya pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran.
Hal tersebut adalah suatu tindakan yang belum pernah ditempuh oleh
pesantren lain pada waktu itu. Sempat muncul reaksi dari para wali santri,
bahkan para ulama dari pesantren lain. Hal demikian dapat dimaklumi
mengingat pelajaran umum saat itu dianggap sebagai kemungkaran,
budaya Belanda dan semacamnya. Hingga terdapat wali santri yang sampai
memindahkan putranya ke pondok lain. Namun, madrasah ini berjalan
terus karena Pondok Pesantren Tebuireng beranggapan bahwa ilmu umum
akan sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren.
b. Mendirikan Nahdlatul Ulama
Sejarah kelahiran NU diawali dengan didirikannya Nahdlatul
Wathan (kebangkitan jiwa kebangsaan) oleh K.H. Wahab Hasbullah
pada tahun 1916 di Surabaya (Ghofir, 2012 :13). K.H. Wahab
33
pemikiran) bersama dengan K.H. Dahlan Ahyat. Kemudian pada tahun 1918 K.H. Wahab Hasbullah juga mempelopori berdirinya
Nahdlatul Tujjar (kebangkitan ekonomi) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan
usaha bersama.
Kemudian pada tanggal 26 januari 1926, rapat komite ini melahirkan organisasi baru bernama Nahdlatul Ulama (NU), dengan menunjuk Hadratusy Syaikh Hasyim Asy‟ari sebagai Rais Akbar
(pemimpin besar) dan sebagai penggerak dan pendiri NU adalah
Abdul Wahab Hasbullah (Ghofir, 2012 :14).
Nahdlatul Ulama menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber hukum Islam bagi Nahdlatul Ulama tidak hanya
al-Qur'an dan sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu
Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi / Tauhid / ketuhanan. Kemudian dalam bidang fikih lebih cenderung mengikuti mazhab:
34
bidang tasawuf, mengembangkan metode Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Menurut Endang Turmudi (2004), tujuan didirikannya NU adalah untuk mengembangkan dan memelihara ortodoksi Islam yang
dipegang oleh kebanyakan ulama Indonesia, yakni ortodoksi Ahlussunnah wal jama‟ah.
Adapun sikap kemsyarakatan NU yang menjadi pijakan dalam menjalin ikatan mu‟amalah adalah :
1) Tawasut dan I„tidal yaitu sikap moderat yang berpijak pada
prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat ekstrim.
2) Tasamuh adalah sikap toleransi yang berintikan penghargaan
terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat.
3) Tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmah demi terciptanya keserasian hubungan antara sesame umat manusia dan antara manusia dengan Allah swt.
4) Amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu selalu memiliki kepekaan umtuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat
bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai
kehidupan (Ghofir, 2012 : 46).
35
c. Pengabdian Kepada Negara
Perjalanan panjang sejarah perjuangan K.H. Hasyim Asy‟ari tidak
bisa diragukan lagi. Semangat nasionalismenya telah terbangun sejak lama dan diasah ketika masa belajar di Makkah. Bersama para
sahabatnya, ia sering melakukan diskusi-diskusi terkait kondisi negara masing-masing yang dijajah oleh imperalis Barat, hingga sampai pada kebulatan tekad beragam di depan Ka‟bah guna
melakukan perlawanan.
Pergulatan melawan penjajahan di Indonesia terus dikobarkan oleh K.H. Hasyim Asy‟ari, sebagaimana perlawanannya
terhadap penjajahan Belanda. Fatwa-fatwa perjuangan terus dikumandangkan untuk membakar gelora rakyat Indonesia guna
terus melakukan perlawanan terhadap penjajahan. K.H. Hasyim Asy‟ari pernah berfatwa mengharamkan kaum muslimin melakukan
kerjasama dengan pihak colonial Belanda menerima bantuan dalam bentuk apapun dari Belanda. Fatwa-fatwa K.H. Hasyim Asy‟ari selalu menjadi pegangan setiap pejuang di masa perjuangan. Salah
satu fatwanya yang paling terkenal adalah fatwa yang menyatakan bahwa perang untuk membela bangsa dan tanah air merupakan
bagian dari jihad fi sabilillah. Fatwa ini kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.
36
berjalan dengan baik dan erat. Sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) jenderal Sudirman dan apara pejuang,
diantaranya Bung Tomo, yang memiliki hubungan erat K.H. Hasyim Asy‟ari. Mereka senantiasa meminta nasihat dan sumbangan
pemikiran K.H. Hasyim Asy‟ari terkait dengan gerakan dan
perjuangan melawan kolonialis.
Semangat perjuangan dan fatwa Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy‟ari telah merasuk dalam ssnubari para pejuang. Mereka dengan
ikhlas berlomba-lomba turut serta dalam barisan perjuangan
melawan penjajahan. Dalam pertempuran tersebut, ribuan pemuda gugur sebagai syuhada dalam mengemban amanah suci perjuangan membela tanah air dan membela martabat bangsa. Peristiwa resolusi
tersebut telah membuktikan bahwa kaum santri memiliki peran dan jasa yang sangat besar pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Diantara perang yang diikuti oleh K.H. HAsyim Asy.ari adalah :
1) Perjuangan Melawan Belanda
K.H. Hasyim Asy‟ari dikenal memiliki sikap yang tegas dan
tanpa kompromi. Sikap tegas itu juga ditunjukkan ketika Belanda mengalami kesulitan di Perang Dunia II. Pada waktu
itu, Belanda ingin mengambil simpati dengan mengajak rakyat Indonesia mempertahankan negara dari penjajahan Jepang. Belanda meminta agar rakyat Indonesia mau masuk ke dalam
37
perlawanan terhadap Jepang. Melihat kondisi ddan kondisi ini, K.H. Hasyim Asy‟ari dengan lantang dan tegas mengeluarkan
fatwa yang sangat terkenal, yaitu umat Islam diharamkan masuk menjadi tentara Belanda atau bekerjasama dengan Belanda
dalam bentuk apapun.
2) Perjuangan Melawan Jepang
Penolakan K.H. Hasyim Asy‟ari terhadap tradisi seikeirai,
menjadi awal perjuangan K.H. Hasyim Asy‟ari terhadap Jepang. Setelah penolakan tradisi seikeirai¸ mengakibatkan K.H. Hasyim Asy‟ari ditangkap oleh tentara Jepang dan dipenjara
selama 4 bulan. Selama didalam penjara, tentara Jepang tidak hentinya menyiksa K.H. Hasyim Asy‟ari. Kabar dipenjaranya K.H. Hasyim Asy‟ari tersebar cepat diberbagai pesantren dan
membuat para Konsul NU mengadakan pertemuan di Jakarta
untuk membela orang-orang NU yang ditahan Jepang. Karena banyaknya protes yang dilakukan ulama yang dipimpin oleh K.H. A. Wahab Hasbullah dan K.H. Abdul Wahid Hasyim
terhadap Jepang, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1942 K.H. Hasyim Asy‟ari dibebaskan oleh tentara Jepang.
3) Perjuangan Melawan Belanda dan Sekutu
Meskipun proklamasi kemerdekaan Indonesia telah
diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17
38
dalam kondisi perang dunia II. Sehingga penggunaan hukum internasional hanya untuk memenuhi kepentingan negara-negara
pemenang pertempuran. Oleh karena itu, hukum tersebut digunakan untuk memaksakan diri pada kedaulatan hukum
nasional dengan tidak adanya pengakuan kedaulatan sebuah bangsa. Hal inilah yang digunakan oleh Belanda dan sekutunya untuk masuk ke Indonesia lagi.
Melihat kondisi dan situasi yang membahayakan kedaulatan tanah air, PBNU langsung merapatkan barisan. K.H. Hasyim Asy‟ari memanggil K.H. A. Wahab Hasbullah, K.H.
Bisri Syamsuri, serta para Kiai lainnya guna mengumpulkan para Kiai se-Jawa dan Madura untuk berkumpul di Surabaya,
dikantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO). Jln. Bubutan VI/2.
Setelah rapat darurat yang dilakukan oleh PBNU yang dipimpin oleh K.H. Wahab Hasbullah menemukan titik temu, akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1945 K.H. Hasyim Asy‟ari
atas nama HB (hoofbestuur, pengurus besar) organisasi NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang kemudian
39
B. Riwayat Pendidikan
Dalam bidan pendidikan, K.H. Hasyim Asy‟ari dikenal memiliki semangat
dan keinginan yang kuat untuk memperoleh ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Karakter keras dan keinginan yang kuat di dalam mendapatkan
pengetahuan ini menjadi titik balik perjuangan para generasinya. Ia tidak mudah puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan senantiasa berpindah guru guna memperdalam keilmuannya. Semangat dan kegigihannya mencari
ilmu tersebut menurun kepada anak dan cucunya, yaitu K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pendidikan K.H. Hasyim Asy‟ari sama dengan yang dialami oleh
kebanyakan santri lain yang seusianya. Pada masa kecil hingga lima tahun, ia hidup di pondok pesantren Gedang, di bawah asuhan dan didikan kakeknya. Tahun 1876 ayahnya, Kiai Asy‟ari, mendapat izin Kiai Usman
untuk mendirikan pesantren sendiri. Kemudian Kiai Asy‟ari mendirikan
pesantren di desa Keras, dan sejak saat itu K.H. Hasyim Asy‟ari pindah bersama ayahnya ke pondok pesantren Keras. Di pesantren Keras K.H. Hasyim Asy‟ari mendapatkan didikan langsung dari ayahnya. Sejak mulai
belajar ia sudah menampakkan kemauan yang besar untuk mengejar cita-citanya. Segala pelajaran yang diterima dapat ditangkap dengan mudah.
Dalam beberapa tahun saja ia dapat menguasai berbagai kitab yang pernah diajarkan kepadanya. Ia sering membaca buku-buku agama yang bukan menjadi buku teks pelajarannya. Karena itu, di usia 13 tahun ia sudah
40
Pada usia 15 tahun, K.H. Hasyim Asy‟ari memutuskan untuk belajar
ke beberapa pesantren di Jawa dan Madura, yaitu pesantren Wonokoyo
Probolinggo, pesantren Langitan Tuban, pesantren Trenggilis, pesantren Kademangan Bangkalan Madura, dan pesantren Siwalan Panji Sidoarjo.
Bagi para santri, mengikuti pelajaran diberbagai pesantren yang mempunyai spesialisasi di dalam pengajaran ilmu agama memang sudah menjadi kebiasaan. Santri menerima pengajaran dari berbagai ahli agama dengan
berkelana ke pesantren-pesantren yang berbeda untuk mencari ilmu. Tradisi ini member kesempatan kepada K.H. Hasyim Asy‟ari untuk belajar berbagai
agama, seperti tata bahasa dan sastra Arab, fikih, dan tasawuf dari K.H. Khalil Bangkalan selama 3 tahun sebelum ia memfokuskan diri dalam bidang fikih selama dua tahun di bawah bimbingan Kyai Ya‟qub dari
pesantren Siwalan Panji Sidoarjo (Ghofir, 2012 : 79).
Dari beberapa pondok pesantren yang pernah menjadi tempat
belajarnya, pondok pesantren Siwalan Panji Sidoarjo merupakan pesantren yang paling lama menjadi tempat nyantri K.H. Hasyim Asy‟ari, yaitu lima
tahun. Tanpa disadarinya selama nyantri di pondok pesantren Siwalan,
gerak gerik K.H. Hasyim Asy‟ari senantiasa diperhatikan oleh Kiai Ya‟qub, pengasuh pondok pesantren ini kagum dengan perilaku dan kecerdasan pemuda yang bernama Hasyim Asy‟ari sehingga ada keinginan untuk
menjadikan K.H. Hasyim Asy‟ari sebagai menantunya. Dalam nuku “K.H.
Hasyim Asy‟ari Bapak Umat Islam Indonesia”, disebutkan bahwa pada
41
sangat dihormatinya karena saat itu K.H. Hasyim Asy‟ari masih memiliki
keinginan yang kuat untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Melihat kondisi psikologis yang dialami oleh K.H. Hasyim Asy‟ari, Kiai Ya‟qub
menasihatinya dengan penuh kesabaran dan kearifan. Ia menjelaskan kepada K.H. Hasyim Asy‟ari :
“Hasyim anakku. Benar apa kata Imam Mawardi di dalam kitabnya minhajul Yaqin bahwa orang yang memperdalam ilmu pengetahuan agama itu laksana orang yang sedang berada di lautan luas, kian jauh ke tengah bukan bertambah sempit, sebaliknya semakin luas dan dalam. Maka tidaklah beralasan bagi seseorang untuk menganggap bahwa perkawinan itu suatu sebab terhentinya orang mencari ilmu pengetahuan” (Ghofir, 2012 : 80).
Setelah mendapat nasihat tersebut, akhirnya K.H. Hasyim Asy‟ari
pun menerima keinginan Kyai Ya‟qub untuk meminangnya sebagai menantu. Setelah itu, menikahlah K.H. Hasyim Asy‟ari dengan Khadijah,
seorang gadis yang pertama kali ditemukan di pondok pesantren Siwalan Panji Sidoarjo.
K.H. Hasyim Asy‟ari telah menjadi pribadi yang memiliki
pengetahuan luas di usia muda. Meskipun begitu, ia masih merasa puas dengan keilmuan yang dimilikinya sehingga ia melanjutkan perjalanan
pencarian ilmunya ke Makkah. Di kota suci ini ia menghabiskan waktu selama beberapa tahun untuk berguru kepada ulama-ulama Makkah, salah satunya ialah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi yang di Makkah dikenal
dengan seorang ulama ahli hadis.
Ketika masa belajar di Makkah, K.H. Hasyim Asy‟ari sempat
42
sekaligus menemani K.H. Hasyim Asy‟ari. Akan tetapi, tujuh bulan
kemudian istri yang disayanginya meninggal dunia setelah melahirkan anak
pertamanya yang bernama Abdullah. Tidak lama kemudian, anak sulungnya tersebut turut mengikuti ibunya meninggalkan K.H. Hasyim Asy‟ari di kota
suci Makkah. K.H. Hasyim Asy‟ai mengalami kesedihan yang mendalam
karena ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat dicintainya. Badai yang menimpanya hampir tidak dapat ditahan. Ia meredam kesedihannya dengan menjalankan ibadah mengelilingi Ka‟bah dan menyibukkan diri dengan
mempelajari kitab-kitab agama. Musibah ini tidak mematahkan
semangatnya dalam belajar. Akhirynya, sementara waktu ia kembali ke tanah air (Ghofir, 2012 : 80-81).
Tidak lama tinggal di tanah air, K.H. Hasyim Asy‟ari kembali ke
Makkah dan bermukim di sana selama tujuh tahun (1893-1890). Selama berada di Makkah ia belajar kepada para ulama yang terkenal di Makkah,
diantaranya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi dan Syaikh Mahfudz at-Tarmisy dari Tremas Pacitan. Syaikh Mahfudz at-at-Tarmisy dikenal sebagai ulama ahli hadis sekaligus perawi hadis Bukhari yang memiliki silsilah
keilmuan dalam bidang ini dari guru-gurunya yang bermuara pada Imam Muhammad al-Bukhari (Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn
Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardzibah al-Bukhari). Syaikh Mahfudz at-Tarmisy dalam silsilah sanad termasuk generasi ke-23.
Di Makkah K.H. Hasyim Asy‟ari belajar ilmu hadis Shahih Bukhari
43
sebagai ahli hadis sekaligus menjadi mata rantai hadis al-Bukhari ke-24 dari Syaikh Mahfudz. K.H. Hasyim Asy‟ari sangat tertarik belajar Shahih
Bukhari sehingga ketika kembali ke Indonesia ia dikenal dengan pengajaran hadisnya. Di bawah bimbingan Syaikh Mahfudz, K.H. Hasyim Asy‟ari juga
belajar tarekat qadariyah dan naqsabandiyah. Ilmu yang diterima oleh Syaikh Mahfudz dari Syaikh Nawawi. Selain itu, K.H. Hasyim Asy‟ari juga belajar fikih mazhab Syafi‟I, ilmu falak, ilmu hisab, aljabar, dan tafsir di
bawah bimbingan Syaikh Nawawi dari Banten, Syaikh Ahmad Amin al-attar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad Zawawy, Syaikh Ibrahim
Arab, Syaikh Said Yamani, Sayyid Huseini al-Habsyi, Sayyid Bakar Syatha, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alawy bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliky, Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Shaleh Befadal, dan Syaikh
Sylthan Hasyim Daghastani.
C. Karya-karya K.H. Hasyim Asy’ari
a. Adab al-„Alim wa-al Muta‟allim
Menjelaskan tentang akhlak anak didik dalam menuntut ilmu dan
pendidik dalam menyampaikan ilmu. Kitab ini selesai ditulis pada hari ahad, tangga; 22 jumadil tsani tahun 1342/1924 M.
b. An-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin
Kitab ini membahas mengenai keimanan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam pembahasannya K.H. Hasyim Asy‟ari tidak hanya
44
menggambarkan secara komprehensif mengenai sekitar kehidupan Nabi seperti akhlak Nabi, istri, keluarga, pembantu, orang-orang yang pernah
menyakiti Nabi Muhammad SAW dan lain sebagainya. K.H. Hasyim Asy‟ari juga memberikan pembelaan terhadap praktek-praktek ziarah,
tawasul, serta syafaat. Kitab ini beliau selesaikan pada tanggal 25 Sya‟ban 1346/1927 M.
c. Hasyiyah „ala Fath ar-Rahman
Kitab ini isinya berupa syarah (penjelasan) dari Risalah al-Wali Ruslan karya Syaikh Zakariya al-Anshari.
d. Ziyadah at-Ta‟liqat
Kitab ini merupakan respon atas pendapat-pendapat Syaikh „Abd Allah Yasin Pasuruan yang menganggap bahwa Nahdlatul Ulama hanyalah
organisasi politik
e. At-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna‟ al-Munkarat
Kitab ini merupakan respon beliau atas praktek mauled Nabi yang dianggap melanggar syara‟ terutama yang terjadi di Madiun.
f. Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam‟iyah Nahdlatul Ulama dan al -Mawa‟izh al-Arba‟in.
g. Dua risalah ini adalah tulisan yang dibuat sebagai pedoman untuk
kalangan Nahdlatul Ulama.
45
Kitab ini selesai ditulis pada Senin, 20 Syawal 1260 H dan diterbitkan oleh Muktabah al-Turats al-Islami, Pesantren Tebuireng. Berisikan
pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan serta bahaya memutus tali persaudaraan.
i. Risalah fi Ta‟kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A‟immah al-Arba‟ah.
Mengikuti manhaj para imam empat yakni Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal tentunya memiliki
makna khusus. j. Mawaidz.
Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di masyarakat. Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah diterbitkan secara massal. Demikian juga Prof Buya Hamka
harus menterjemah kitab ini untuk diterbitkan di majalah Panji Masyarakat edisi 15 Agustus 1959.
k. Risalah Ahl Sunnah wa Jamaah fi Hadits Mauta wa Syuruth al-Sa‟ah wa Bayani Mafhum al-Sunnah wa al-Bid‟ah.
Kitab ini seakan menemukan relevansinya khususnya pada
perkembangan mutaakhir lantaran mampu memberikan penegasan
antara sunnah dan bid‟ah
46
l. Arba‟in Hadithan Tata‟allaq bi Mabadi‟ Jam‟iyat Nahdat al-„Ulama.
Risalah ini merupakan kondifikasi 40 hadis Nabi yang menjadi basis
legitimasi dan dasar-dasar pembentukan organisasi Nahdlatul Ulama.
m. Dhaw‟ al-Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah.
Kitab ini mengulas tentang prosedur pernikahan secara syar‟I, yang
47
BAB III
GARIS BESAR KITAB ADAB AL-‘ALIM WA-AL MUTA’ALLIM DAN
NILAI KARAKTER YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA A.Garis Besar Isi Kitab Adab al-‘Alim wa-al Muta’allim
Kitab ini membahas tentang akhlak atau sopan santun antara pendidik dengan anak didik. Karena dalam pembelajaran seorang pendidik harus memahami anak didiknya, dan sebaliknya anak didik juga harus mempunyai rasa hormat
kepada pendidik. Melihat betapa pentingnya hal tersebut, maka K.H. Hasyim Asy‟ari menyusun sebuah risalah yang berisi tentang akhlak-akhlak yang harus
diketahui oleh setiap pendidik dan anak didik. Karena akhlak dalam mencari sebuah ilmu menurut beliau sangat menentukan derajatnya didalam memahami sebuah ilmu yang sedang dipelajari. Dalam risalah ini beliau sajikan
runtutan-runtutan akhlak yang harus ditempuh oleh setiap pendidik dan anak didik. Walaupun sulit untuk menerapkan kesemuanya, akan tetapi beliau
berharap dapat menjadi suatu bahan renungan dan ingatan, betapa pentingnya sebuah akhlak dalam pencapaian sebuah ilmu yang bermanfaat.
Dalam kitab ini terbagi menjadi delapan bab, antara lain :
1. Bab Pertama. Pada bab ini beliau menjelaskan tentang keutamaan pendidikan. terdiri dari tiga pasal, meliputi pasal tentang keutamaan ilmu