• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada Orde Baru, banyak karya sastra yang dilarang terbit dan dicekal oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada Orde Baru, banyak karya sastra yang dilarang terbit dan dicekal oleh"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1. 1 Latar Belakang Penelitian

Pada Orde Baru, banyak karya sastra yang dilarang terbit dan dicekal oleh pemerintah. Karya sastra yang dicekal pada umumnya adalah karya yang bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan pada masa itu. Rakyat yang memberikan kritik sosial kepada pemerintah secara langsung dianggap sebagai pemberontak lalu ditangkap. Hal tersebut membuat banyak sastrawan menggunakan sindiran, analogi, atau perumpamaan untuk mengkritik pemerintah secara diam-diam. Walaupun demikian, banyak juga sastrawan yang mengungkapkan kritik melalui karya sastra secara frontal dan bahasa yang lugas. Sastrawan yang menggunakan media sastra sebagai kritik sosial antara lain: Rendra, Wiji Thukul, dan Taufik Ismail.

Penulis memilih objek kajian berupa puisi karya Wiji Thukul karena Wiji Thukul merupakan salah satu aktivis yang menggunakan media puisi sebagai kritik sosial. Dibandingkan Rendra dan Taufik Ismail, Wiji Thukul lebih lugas mengungkapkan gagasan melalui puisi-puisinya. Kelugasan tersebut membuat Wiji Thukul mempunyai kesan sebagai penyair yang tampil apa adanya. Wiji Thukul lebih memilih menggunakan bahasa yang lugas dan mudah dipahami oleh masyarakat daripada menggunakan majas atau gaya bahasa yang dilebih-lebihkan. Bahasa yang formal dan apa adanya itulah yang mendasari penulis membahas

(2)

skripsi ini untuk mencari sarana kepuitisan yang ada dalam puisi karya Wiji Thukul.

Dibandingkan dengan Taufik Ismail atau Rendra, karya-karya Wiji Thukul—khususnya puisi—lebih bersifat polos dan seadanya. Jika dibaca sekilas, puisi Wiji Thukul seakan-akan tidak peduli pada keindahan atau keestetisan majas yang umumnya ada pada sebuah puisi. Wiji Thukul tidak mengincar gaya bahasa yang rumit atau perumpamaan yang bertele-tele. Goenawan Mohamad dalam Zulkifi (2013:155-156) mengatakan bahwa Wiji Thukul adalah seorang yang terbebas dari beban keinginan untuk menampakkan kepiawaian dalam berpuisi. Bentuk kebebasan Thukul tersebut juga diketahui dari puisi-puisi yang ia bacakan. Wiji Thukul tidak dapat mengucapkan bunyi [r] secara baik. Walaupun ketidakmampuan mengucapkan bunyi [r] dapat mengurangi nilai estetis dalam sebuah pertunjukan, Wiji Thukul tetap berusaha serius untuk melafalkan bunyi [r] seolah-olah dirinya tidak cadel. Hal itu dibuktikan dengan teriakan dan semangatnya saat membacakan puisinya sendiri.

Pada tahun 2002, Wiji Thukul mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Award karena tindakan dan karyanya dalam usaha melindungi hak asasi manusia. Selain itu, Wiji Thukul bersama Rendra juga menerima Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di Belanda pada tahun 1991. Apabila Rendra sering diliput oleh media pada setiap pertunjukannya, Wiji Thukul justru jarang diliput oleh media. Oleh karena itu, Wiji Thukul sering disebut sebagai penyair kaum marginal. Nama Wiji Thukul lebih dikenal

(3)

masyarakat termasuk oleh penguasa ketika Thukul menjadi aktivis dan masuk ke dunia politik dalam perjuangannya melawan rezim Orde Baru.

Walaupun dikenal sebagai aktivis organisasi politik (sempat bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik), Wiji Thukul cukup produktif dalam menulis puisi. Wiji Thukul aktif dalam pembacaan puisi sejak tahun 1982. Saat itu, puisi-puisi Wiji Thukul cenderung fokus pada perenungan religius. Kumpulan puisi-puisinya yang diterbitkan antara lain: Puisi Pelo tahun 1985, Mencari Tanah Lapang tahun 1994, dan Aku Ingin Jadi Peluru tahun 2000. Puisi Pelo dicetak menggunakan mesin cetak stensil. Dalam kumpulan Puisi Pelo yang terbit tahun 1985, Wiji Thukul sudah mulai menggunakan bahasa yang lugas dan mengangkat kritik sosial. Adapun kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru diterbitkan setelah Wiji Thukul dinyatakan hilang. Munir, aktivis HAM yang menulis esai pengantar dalam kumpulan puisi tersebut mengatakan bahwa Thukul dianggap berbahaya dan dihilangkan paksa pada rezim Orde Baru (Munir dalam Thukul, 2000:xxi) . Hal tersebut membuat penulis bertanya: Apakah puisi yang ditulis oleh seorang aktivis yang dianggap berbahaya oleh pemerintah mempunyai unsur-unsur pembentuk keestetisan?

Banyak orang yang membahas puisi-puisi Wiji Thukul dengan sudut pandang kritik sosial dan perjuangannya dalam melawan pemerintah. Pada saat ini, usaha untuk menganalisis puisi Wiji Thukul dan hubungannya dengan kritik sosial adalah hal yang umum. Mayoritas masyarakat lebih tertarik membahas tentang hal yang diperbuat dan dipikirkan oleh Wiji Thukul atau mengetahui

(4)

paham-paham yang dianut oleh Wiji Thukul daripada membahas struktur keestetisan dalam puisi-puisi Wiji Thukul.

Masyarakat menganggap bahwa Wiji Thukul lebih cocok disebut aktivis daripada sastrawan. Anggapan tersebut keliru karena—sampai Wiji Thukul dinyatakan hilang—Wiji Thukul telah menulis puluhan puisi. Sebagian besar puisinya bertema kritik sosial; walaupun ada juga puisi yang bertema religius dan percintaan. Hal yang menarik bahwa setiap karya sastra khususnya puisi tidak ditulis dengan sembarangan. Susunan bunyi, pemilihan diksi dan makna yang diperoleh akan membentuk suatu keestetisan yang menarik daripada sekadar jalan cerita yang diungkapkan dalam puisi. Hal yang perlu diingat bahwa Wiji Thukul bukan hanya seorang aktivis, melainkan juga sastrawan. Itulah yang menyebabkan aspek pembahasan Wiji Thukul tidak berhenti pada kasus-kasus sosial saja, tetapi juga menyangkut aspek kebahasaan karya-karyanya. Penelitian ini akan membahas hal yang kurang diperhatikan masyarakat ketika menyebut nama Wiji Thukul, estetisme dalam puisinya.

Puisi yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah puisi yang berjudul “Peringatan”. Puisi “Peringatan” ditulis oleh Wiji Thukul pada tahun 1986. Puisi tersebut dinilai sebagai puisi Wiji Thukul yang paling frontal dalam perjuangan melawan kesewenang-wenangan penguasa pada saat itu. Menurut buku Wiji Thukul: Teka-teki Orang Hilang, puisi “Peringatan” merupakan bacaan wajib para demonstran (Zulkifi, 2013:97). Puisi “Peringatan” sering dibacakan dalam aksi peringatan hari buruh atau aksi yang serupa oleh buruh, aktivis, dan mahasiswa. Puisi “Peringatan” menjadi “wajah” Wiji Thukul. Artinya, sebelum mengetahui

(5)

karya-karya Wiji Thukul tentang kritik sosial, setidaknya orang akan membaca puisi “Peringatan” terlebih dahulu. Pada umumnya, sedikit orang yang mengenal wajah dan suara Wiji Thukul, tetapi banyak orang yang tidak akan melupakan ungkapan maka hanya ada satu kata: lawan! Bahkan ungkapan tersebut lebih terkenal daripada judul puisi atau nama Wiji Thukul sendiri.

Baris terakhir dalam puisi “Peringatan”, maka hanya ada satu kata, lawan! dipengaruhi oleh baris terakhir puisi Pardi yang berjudul “Sumpah Bambu Runcing” (Zulkifli, 2013:98). Kalimat dalam puisi Pardi yang menceritakan perjuangan melawan Belanda tersebut diadaptasi Thukul menjadi perjuangan buruh melawan penguasa dengan bahasa yang lebih tegas dan lugas. Puisi “Peringatan” terakhir dibacakan Thukul dalam deklarasi berdirinya PRD di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta, pada tanggal 22 Juli 1996 (Zulkifli, 2013:117). Seminggu setelah membacakan puisi “Peringatan” tersebut, Wiji Thukul tidak diketahui keberadaannya hingga saat ini. Setelah itu, tidak ada yang berani membacakan puisi “Peringatan” sampai runtuhnya rezim Orde Baru.

Penulis menganalisis puisi “Peringatan” menggunakan teori fenomenologi Roman Ingarden yang dirumuskan Wellek dan Warren karena teori tersebut lebih fokus untuk mendeskripsikan bagian-bagian yang rinci sebagai sarana keestetisan. Sarana keestetisan puisi diperoleh dari susunan bunyi dalam puisi, pilihan kata untuk menentukan makna, dan rangkaian cerita realitas dunia yang ada dalam puisi. Selain itu, karena tujuan utama penulis ingin membuktikan keestetisan

(6)

karya Wiji Thukul, maka teori yang paling cocok digunakan dalam penelitian ini adalah teori fenomenologi Roman Ingarden.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, muncul masalah yang ingin dibahas. Apakah puisi “Peringatan” karya Wiji Thukul mempunyai sarana kepuitisan sesuai dengan teori fenomenologi Roman Ingarden yang dirumuskan Wellek dan Warren?

1. 3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yakni tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini mengetahui sarana kepuitisan dan hubungan antarunsur yang ada dalam puisi "Peringatan" karya Wiji Thukul dengan menggunakan teori fenomenologi Roman Ingarden seperti yang dirumuskan Wellek dan Warren.

Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk menambah apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, khususnya keestetisan dalam puisi dan fungsinya sebagai media perlawanan atau kritik sosial.

1. 4 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian yang membahas tentang Wiji Thukul antara lain sebagai berikut. Skripsi karya Hantisa Oksinata, tahun 2010, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, berjudul “Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi

(7)

Peluru Karya Wiji Thukul: Kajian Resepsi Sastra”. Skripsi tersebut membahas mengenai kritik sosial dan resepsi pembaca dalam kumpulan puisi Wiji Thukul. Hantisa Oksinata menggunakan 11 sampel dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru yang dianggap sebagai puisi yang mewakili kritik sosial karya Wiji Thukul. Skripsi tersebut menunjukkan kesimpulan bahwa Wiji Thukul menulis puisi berdasarkan kejadian yang dialami oleh Wiji Thukul sendiri, yang notabene merupakan penulis dari kalangan rakyat biasa. Wiji Thukul berani menyuarakan apa yang menjadi penderitaannya ke dalam karya sastra karena dia juga merasakan penderitaan seperti dalam puisinya. Skripsi tersebut mempunyai kelemahan karena tidak membahas relasi objek dengan realita sosial secara mendalam. Skripsi tersebut tidak mempunyai inovasi karena pembahasan kritik sosial dalam karya Wiji Thukul sudah menjadi hal yang wajar.

Analisis mengenai kritik sosial dalam puisi Wiji Thukul juga terdapat pada skripsi karya Wahyu Widodo, tahun 2007, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, berjudul: “Realisme Sosialis dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Kajian Strukturalisme Genetik)”. Skripsi karya Wahyu Widodo ini mempunyai analisis yang serupa dengan skripsi karya Hantisa Oksinata di atas. Kedua skripsi tersebut membahas hubungan puisi Wiji Thukul dengan keadaan sosial masyarakat. Skripsi karya Wahyu Widodo tersebut dapat digunakan penulis sebagai acuan tentang pengaruh pemilihan kata dan bahasa yang digunakan Wiji Thukul sebagai masyarakat kelas bawah. Walaupun demikian, skripsi karya Wahyu Widodo lebih memfokuskan pada sosialisme tentang fakta sosial, penderitaan masyarakat kecil, kelas sosial,

(8)

dan propaganda terhadap struktur yang berkuasa. Membahas masyarakat dalam karya Wiji Thukul merupakan hal yang umum. Bahkan ketika penulis mencari tinjauan pustaka skripsi atau makalah tentang Wiji Thukul, pada umumnya para peneliti tersebut membahas tentang realitas sosial, kritik sosial, dan sisi sosiologisnya. Selain tidak inovatif, skripsi yang membahas kumpulan puisi secara umum tidak mempunyai analisis yang fokus dan mendalam.

Selain dua skripsi di atas, skripsi yang membahas puisi “Peringatan” karya Wiji Thukul adalah skripsi karya Ogi Noor Hadiansyah, Jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, tahun 2013, berjudul: “Pemikiran Wiji Thukul tentang Orde Baru pada Puisi ‘Peringatan’ : Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk”. Skripsi tersebut dianggap relevan dengan penelitian ini karena membahas objek yang sama dengan penulis. Dalam skripsi tersebut dibahas mengenai dimensi teks, dimensi kognisi sosial, dan dimensi konteks sosial dalam puisi “Peringatan”. Ogi Noor Hadiansyah membahas puisi tersebut secara umum. Skripsi tersebut lebih memfokuskan pada pandangan dan pemikiran Wiji Thukul terhadap Orde Baru. Walaupun mempunyai objek kajian yang sama dengan penulis, skripsi tersebut tidak membahas bunyi, kata, dan rangkaian frasa dalam puisi tersebut. Jika dibandingkan dengan skripsi tersebut, penulis akan membahas lebih fokus dan mendalam mengenai unsur intrinsik (bunyi, kata, dan objek-objek yang ada dalam teks) dan hubungan antarunsurnya.

Selain tinjauan pustaka yang berupa skripsi, penulis juga menggunakan tinjauan pustaka lain. Banyak artikel yang memuat tentang Wiji Thukul. Pada

(9)

umumnya, artikel tersebut menceritakan penculikan Wiji Thukul dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penculikan. Dalam hal ini, penulis selektif dan membatasi tinjauan pustaka untuk membangun korelasi yang sesuai dengan objek kajian penelitian. Salah satunya adalah buku berjudul Wiji Thukul: Teka-teki Orang Hilang. Buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia yang bekerja sama dengan Majalah Tempo ini menceritakan asal-usul Wiji Thukul, pelariannya, dan sejarah berkesenian dalam pembentukan karakter Wiji Thukul. Latar belakang lingkungan Wiji Thukul dalam dunia kesenian menjadikannya aktivis yang menggunakan media seni sebagai penyampaian ide dan gagasannya. Pada awalnya tulisan tersebut menjadi topik bahasan khusus majalah mingguan Tempo. Karena banyaknya permintaan masyarakat terhadap edisi tersebut, akhirnya tulisan tersebut diterbitkan dalam bentuk buku dengan revisi dan penambahan informasi yang lebih lengkap. Dari buku tersebut, penulis dapat mengetahui bahwa Wiji Thukul tidak dapat melafalkan huruf r dengan sempurna. Hal ini menarik karena dalam menulis puisi, Wiji Thukul terbebas dari pemikiran bahwa dirinya tidak dapat melafalkan huruf r dengan baik, terlepas dari puisi tersebut akan dibacakan di depan umum atau tidak. Pemahaman tersebut dibuktikan dengan banyaknya huruf r yang terdapat dalam puisi “Peringatan”. Selain itu, terdapat juga informasi bahwa puisi “Peringatan” yang akan penulis bahas dalam penelitian ini tidak sepenuhnya ditulis oleh hasil pemikiran Wiji Thukul sendiri. Baris terakhir maka hanya ada satu kata: lawan! terinspirasi dari potongan sajak karya Pardi pada kita masih ada satu kata: lawan! Pembahasan khusus mengenai pengaruh sajak Pardi tersebut akan dibahas pada bab IV.

(10)

Terdapat juga esai karya Linda Christanty yang berjudul “Wiji Thukul dan Orang Hilang”. Esai yang ditulis pada November 2002 tersebut menganalisis perjuangan Wiji Thukul secara kompleks. Bahkan dalam tulisannya, Linda mewawancarai banyak tokoh untuk memberikan keterangan mengenai Wiji Thukul. Linda menyebutkan bahwa Wiji Thukul menentang pemerintah jauh sebelum dia terlibat dalam aktivitas politik partai. Menurut Linda, perlawanan terhadap ketidakadilan adalah naluri bagi Wiji Thukul. Esai tersebut juga menyinggung puisi-puisi karya Wiji Thukul. Kelemahan esai tersebut terletak pada kurangnya analisis Linda mengenai cerita dalam puisi Wiji Thukul. Linda hanya mengutip bagian-bagian tertentu dalam satu puisi untuk memperkuat ceritanya mengenai kritik sosial Wiji Thukul. Beberapa kali Linda juga mengutip puisi Wiji Thukul, tetapi tidak membahas kutipan puisinya itu sama sekali.

Selain esai karya Linda Christanty, terdapat juga esai karya Ahmad Gaus yang berjudul “Wiji Thukul, Penyair Pemberontak”. Esai tersebut lebih fokus membahas puisi-puisi karya Wiji Thukul. Dalam tulisan tersebut, Ahmad Gaus membahas empat puisi Wiji Thukul. Secara umum, Ahmad Gaus ingin menunjukkan bahwa puisi karya Wiji Thukul mempunyai bahasa yang lugas dan menyampaikan pesan kritik sosial dengan jelas. Walaupun demikian, esai tersebut mempunyai kelemahan karena Ahmad Gaus terlalu banyak mengutip dari sumber lain. Secara umum Ahmad Gaus hanya mengutip analisis dari beberapa sumber dan kurang memberikan tanggapan dan analisis pribadinya mengenai puisi Wiji Thukul.

(11)

Dari semua tinjauan pustaka di atas, sama sekali tidak ada yang membahas tentang keestetisan karya Wiji Thukul. Hal tersebut menjadi ironi karena pada umumnya puisi—termasuk puisi Wiji Thukul—mempunyai penekanan pada segi estetik tetapi belum pernah ada yang membahas keestetisan dalam puisi karya Wiji Thukul. Penelitian ini mempunyai inovasi karena membahas sarana kepuitisan dalam puisi Wiji Thukul yang belum pernah dikaji peneliti lain.

1. 5 Landasan Teori

Wellek dan Warren (1989:159) mengemukakan bahwa bahasa yang merupakan bagian dari bentuk mempunyai dua segi. Pertama, kata sebagai tanda bukan penentu estetis. Kedua, cara kata-kata tersebut disusun untuk membentuk unit bunyi dan makna adalah penentu estetis. Estetika atau keindahan bersifat universal, artinya tidak terikat oleh selera perseorangan, waktu dan tempat, selera mode, kedaerahan atau lokal (Hartono, 1991:34). Oleh karena itu, nilai estetis bersifat objektif. Lebih lanjut Hartono mengemukakan bahwa keindahan tersusun dari berbagai keselarasan dan kebalikan dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata. Dalam konteks penelitian puisi, keindahan menurut pengertian tersebut dapat dipahami sebagai keselarasan bunyi, arti, objek, dan dunia yang sesuai dengan strata norma Roman Ingarden.

Lebih lanjut Wellek dan Warren (1989:159) mengelompokkan bahwa unsur yang tidak berfungsi sebagai nilai estetis disebut bahan, sedangkan pengolahan bahan tersebut untuk mencapai efek estetik disebut dengan struktur. Hal itu menunjukkan bahwa unsur-unsur pembentuk keestetisan tersebut harus

(12)

diolah dan dianalisis hubungan antarunsurnya untuk membentuk sebuah struktur. Dalam penelitian ini, unsur-unsur yang dianalisis adalah lapis bunyi, arti, objek, dan dunia yang dinyatakan Roman Ingarden sebagai analisis strata norma atau fenomenologi. Secara umum, pembahasan fenomenologis atau analisis strata norma merupakan salah satu cara untuk mengetahui struktur pembentuk keestetisan suatu karya sastra.

Menurut Pradopo (1994:187), analisis dan interpretasi bertujuan untuk memberikan penilaian kepada karya sastra setepat-tepatnya. Lebih lanjut Pradopo mengemukakan bahwa penilaian tersebut mempergunakan kriteria estetik dan ekstra-estetik secara bersamaan. Kriteria estetik terletak pada struktur estetik yang ada dalam karya sastra. Adapun kriteria ekstra-estetik terletak pada bahan-bahan karya sastra antara lain: bunyi, kata, gagasan, sikap, dan tingkah laku manusia yang dikemukakan. Menurut Wellek via Pradopo (1994:189), karya sastra merupakan objek estetik yang dapat menimbulkan pengalaman estetik. Pengalaman estetik juga diperoleh dari gejala atau fenomena sosial.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori fenomenologi dengan pendekatan sastra atau strata norma yang dicetuskan oleh Roman Ingarden. Menurut Wellek dan Warren (1989:186—187), karya sastra tidak hanya sebagai satu sistem norma, melainkan sebagai suatu sistem yang terdiri atas beberapa strata. Wellek dan Warren menjelaskan bahwa Roman Ingarden menggunakan metode fenomenologi untuk membedakan strata-strata tersebut. Selanjutnya, strata tersebut lebih dikenal sebagai strata norma Roman Ingarden. Strata tersebut

(13)

antara lain: strata bunyi, strata makna, strata objek, strata dunia, dan kualitas metafisik.

Dalam analisis fenomenologis, unsur-unsur yang perlu dianalisis antara lain: eufoni, irama, dan matra; diksi dan gaya bahasa; lapis objek, dunia dan metafisik. Secara khusus, eufoni dimaknai sebagai bunyi yang merdu. Bunyi merupakan salah satu unsur pembentuk keestetisan. Karya sastra adalah urutan bunyi yang menghasilkan makna (Wellek dan Warren, 1989:196). Selanjutnya, Wellek dan Warren mengemukakan bahwa karya sastra yang berupa prosa pada umumnya tidak memperhatikan efek bunyi, kecuali karya prosa yang berbunga-bunga. Urutan bunyi yang menghasilkan bunyi estetis banyak ditemukan dalam karya sastra berbentuk puisi.

Karya sastra khususnya puisi merupakan hasil penciptaan yang ada dari bahasa tertentu. Wellek dan Warren (1989:113) mengemukakan bahwa hubungan sastra dan bahasa bersifat dialektis. Gaya bahasa atau stilistika digunakan penyair dalam mencapai keestetisan karyanya. Stilistika dipakai untuk merekomendasikan gaya tertentu yang menekankan kejelasan, ketepatan, dan mengarah ke disiplin pendidikan tertentu atau mengagungkan bahasa tertentu (Wellek dan Warren, 1989:225). Stilistika cocok digunakan dalam analisis puisi karena stilistika mempunyai hubungan dengan estetisme sebagai aspek yang bersifat dominan dalam puisi. Suwardi Endraswara (2004:72) juga mengemukakan bahwa stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa untuk mempelajari gaya bahasa suatu karya sastra. Stilistika membangun aspek keindahan karya sastra.

(14)

Dalam puisi, bunyi mempunyai sifat estetis dan digunakan untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif (Pradopo, 1987:22). Bunyi digunakan sebagai orkestrasi untuk menimbulkan bunyi musik. Kombinasi vokal dan konsonan yang ditata seperti musik menjadi identitas puisi untuk mendapatkan keestetisan. Variasi dari penggunaan bunyi juga harus sesuai dengan unsur keestetisan yang lain, misalnya penggunaan gaya bahasa dan pemilihan kata.

Pembahasan mengenai lapis bunyi akan dijelaskan di bab II yang meliputi analisis bunyi vokal, konsonan letupan, bunyi getar, bunyi desis, dan konsonan sengau. Menurut Verhaar (1996:34), konsonan letupan merupakan konsonan yang diucapkan dengan menghambat arus udara di tempat artikulasi. Apabila konsonan letupan memberikan kesan kasar dan rusak, bunyi getar [r] memberikan kesan yang merdu karena terdapat getaran arus udara yang keluar dari mulut. Selain itu, bunyi desis [s] memberikan kesan merdu karena menghasilkan bunyi tipis dan halus, serta tidak terdapat hambatan penuh dalam pengucapannya. Bunyi sengau merupakan bunyi yang tanggung dan sering diperdebatkan ke dalam jenis merdu atau tidak merdu. Perdebatan tersebut muncul karena bunyi sengau dihasilkan dengan menutup arus udara keluar melalui rongga mulut, tetapi juga membuka jalan udara melalui rongga hidung (Verhaar, 1996:35). Penulis sepakat dengan Pradopo (1987:27—30) bahwa bunyi liquida, sengau, dan desis termasuk dalam eufoni karena terdapat udara yang keluar dari dalam pita suara walaupun hanya sedikit.

(15)

Dalam menganalisis efek bunyi, terdapat dua prinsip penting, yaitu: pertama, penyajian puisi secara lisan berbeda dengan pola suara puisi; kedua, bunyi harus dianalisis terpisah dari makna (Wellek dan Warren, 1989:196). Dalam penyajian puisi secara lisan, pembaca akan merealisasikan pola dan menambahkan sesuatu yang bersifat individual, tetapi juga dapat mengabaikan pola. Sesuai dengan prinsip pertama, penulis membahas secara objektif struktur puisi dan tidak akan membahas pembacaan puisi yang disajikan secara lisan. Adapun dalam prinsip kedua, walaupun bunyi yang dianalisis terpisah dengan makna, kedua unsur tersebut mempunyai hubungan yang saling berkaitan dalam mencapai nilai estetis. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas lapis bunyi dalam bab II, lapis arti (makna) dalam bab III, lapis dunia dan objek dalam bab IV, dan hubungan antarunsurnya dalam bab V.

Menurut Wellek dan Warren (1989:235), teori puisi mempunyai dua titik temu yang membedakannya dengan wacana ilmiah. Pertama, unsur-unsur estetis yang menghubungkan puisi dengan musik dan lukisan; kedua, perlambangan atau kiasan mengenai wacana tidak langsung yang berbentuk bahasa metonimia dan metafora. Bahasa tersebut membandingkan dua dunia, menyampaikan tema melalui pemindahan dari satu idiom ke idiom yang lain. Dalam penelitian ini, pembahasan bahasa dengan wacana tidak langsung tersebut termasuk dalam analisis lapis arti.

Pembahasan mengenai lapis arti di bab III akan meliputi diksi dan gaya bahasa. Diksi adalah pemilihan kata yang bermakna tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan dengan pokok pembicaraan (KBBI, edisi 1:205). Diksi

(16)

juga memengaruhi keindahan atau keestetisan pilihan kata yang disusun dalam puisi. Gorys Keraf (1994:24) mengungkapkan tiga pengertian utama mengenai diksi. Pertama, diksi mencakup pengertian kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, mengelompokkan kata yang tepat, menggunakan ungkapan-ungkapan, dan gaya yang paling sesuai dalam situasi. Kedua, diksi adalah kemampuan untuk membedakan secara tepat nuansa makna gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, diksi yang tepat hanya dimungkinkan oleh penguasaan dan perbendaharaan kosakata yang banyak.

Dalam bab IV akan dijelaskan mengenai lapis objek dan lapis dunia. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (1987:18—19), lapis objek mendeskripsikan objek-objek yang dikemukakan, tokoh, dan latar. Pendeskripsikan objek-objek tersebut bertujuan untuk mendapatkan susunan cerita yang teratur sehingga mudah dalam analisis lapis berikutnya. Lapis dunia bertujuan untuk mengetahui peristiwa yang dikemukakan secara tersirat. Bahasa yang singkat dalam puisi mengakibatkan tafsir makna yang beragam. Oleh karena itu, pendeskripsikan lapis objek diperlukan untuk menganalisis lapis dunia secara objektif. Selain itu, terdapat lapis metafisik yang memberikan kesan khusus dan kontemplasi kepada pembaca. Lapis metafisik merupakan sesuatu yang sublim, tragis, mengerikan, menakutkan, atau suci. Walaupun demikian, tidak semua karya sastra mempunyai lapis metafisik.

(17)

Pradopo (1987:19) mengemukakan bahwa lapis metafisik menyebabkan pembaca berkontemplasi. Adapun menurut KBBI (edisi 1:458), kontemplasi adalah renungan dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh. Hal yang perlu diingat dalam fenomenologis bahwa setiap manusia mempunyai pengalaman sadar yang berbeda mengenai kontemplasi. Lebih lanjut Pradopo mengemukakan bahwa sifat metafisis membutuhkan pemahaman khusus dan tafsir lanjutan yang mendalam. Dalam penelitian ini, penulis tidak membahas lapis metafisik secara khusus karena penulis menilai puisi “Peringatan” kurang mempunyai ciri-ciri khusus yang mengarah pada sifat metafisis.

Analisis strata norma tersebut dilakukan untuk mengetahui semua unsur atau fenomena yang ada dalam karya sastra (Pradopo, 1987:20). Untuk mendapatkan kesatuan unsur dan rangkaian analisis sastra, dalam bab V akan dibahas mengenai hubungan antarunsurnya. Hubungan antarunsur tersebut berfungsi untuk mengetahui relasi antara lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, dan lapis dunia. Hubungan antarunsur tersebut juga berfungsi untuk mengetahui nilai estetis yang ada dalam puisi “Peringatan”.

Wellek dan Warren (1989:28) mengemukakan bahwa ada kecenderungan untuk membuktikan bahwa manfaat dan keseriusan puisi terletak pada segi pengetahuan yang disampaikannya. Melalui puisi Peringatan, Wiji Thukul ingin menyampaikan pengetahuan tentang kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Penyampaian pengetahuan tersebut dilakukan Wiji Thukul dengan cara merangkai kata agar mempunyai susunan bunyi, makna, dan rangkaian cerita tertentu untuk mendapatkan suasana yang ingin disampaikan.

(18)

1. 6 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, objek dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif berfungsi untuk memberikan gambaran umum tentang data yang diperoleh. Gambaran umum dapat dijadikan acuan untuk melihat karakteristik data yang diperoleh.

Nawawi via Siswantoro (2011:56) menjelaskan bahwa metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta. Fakta didapatkan dari pengamatan yang cermat dengan penguasaan konsep struktur secara baik. Deskriptif merujuk pada tindakan analisis interpretatif untuk melakukan tafsir terhadap temuan data.

Menurut Siswantoro (2011:59—67), hal yang perlu dilakukan dalam menganalisis data menggunakan metode deskriptif secara sistematis antara lain:

1. Berpikir secara deduktif, artinya menempatkan peneliti untuk melakukan penelitian dengan membuat kerangka konseptual atau teoretis terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan membaca atau pengamatan. Dalam tahap ini, peneliti harus merumuskan judul, dan merumuskan hipotesis atau kesimpulan sementara. Judul penelitian ini adalah Sarana Kepuitisan dalam Puisi “Peringatan” karya Wiji Thukul: Analisis Fenomenologis. Hipotesis tentang puisi “Peringatan” antara lain: a. hipotesis I : Puisi “Peringatan” mempunyai unsur-unsur intrinsik yang

padu,

b. hipotesis II: Puisi “Peringatan” mempunyai unsur-unsur intrinsik yang variatif.

(19)

2. Evaluatif, artinya memberi penilaian terhadap karya yang diteliti. Menurut Siswantoro, sisi atau dimensi yang dinilai sebaiknya sejalan dan sesuai dengan fungsi puisi sebagai karya sastra untuk mengkomunikasikan secara signifikan. Pengalaman signifikan dalam puisi “Peringatan” mengalami unsur-unsur sebagai berikut,

a. menghasilkan respons baru dari sidang pembaca, maksudnya kata-kata dalam puisi “Peringatan” diciptakan dengan ungkapan-ungkapan yang baru, tidak mudah ditebak, bukan ungkapan-ungkapan yang sudah sering muncul di puisi pada umumnya,

b. terhindar dari dimensi sentimental yang lebih mengutamakan penelitian menggunakan rasa daripada nalar atau logika.

3. Intrinsik, artinya menganalisis puisi dengan fokus pada unsur-unsur pembangun struktur. Unsur-unsur pembangun struktur dalam penelitian ini berupa unsur intrinsik. Unsur intrinsik yang akan dianalisis meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, dan lapis dunia.

4. Kasuistik, artinya memusatkan penelitian secara intensif pada suatu objek tertentu dan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Dalam hal ini, rumusan masalah adalah kasus yang ingin diteliti lebih lanjut.

5. Sinkronik, artinya proses identifikasi unsur-unsur intrinsik secara fungsional dilanjutkan dengan analisis interpretasi relasinya dengan unsur intrinsik lain.

Siswantoro (2011:81) menyebutkan bahwa ciri utama paparan deskriptif adalah unitisasi. Unitisasi adalah analisis yang dikerjakan berdasarkan tiap topik,

(20)

tema, feature, konsep, atau unsur. Dalam penelitian ini, analisis dilakukan dengan pembagian unsur atau strata norma menurut teori analisis Roman Ingarden sebagai berikut. Bab 2 membahas tentang analisis lapis bunyi. Bab 3 membahas tentang analisis lapis arti yang dibagi menjadi diksi dan gaya bahasa. Bab 4 membahas tentang analisis lapis objek dan lapis dunia. Bab 5 membahas tentang hubungan antarunsur.

1. 7 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terbagi menjadi enam bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, sampel, dan sistematika penyajian.

Bab kedua berisi analisis lapis bunyi yang meliputi analisis bunyi vokal, analisis konsonan letupan, analisis konsonan sengau, analisis bunyi getar, dan analisis bunyi desis.

Bab ketiga berisi analisis lapis arti yang meliputi repetisi, ketaksaan, sinonimi dan hiponimi.

Bab keempat berisi tentang analisis lapis objek dan lapis dunia. Pada pembahasan lapis objek dan lapis dunia, akan dijelaskan objek-objek dan dunia yang ada pada puisi “Peringatan”.

Bab kelima berisi hubungan antarunsur untuk mengetahui nilai estetik dari hubungan strata norma yang ada pada puisi “Peringatan”.

Referensi

Dokumen terkait

Daya ingat sendiri bukanlah faktor tunggal, namun untuk memaksimalkan daya ingat ini penting dalam pelajaran ilmu tajwid, namun perhatian untuk meningkatkan

[r]

 Untuk mengatasi masalah penyimpanan lembar mind mapping, guru mitra meminta peserta didik untuk mengumpulkan mind mapping yang. telah dibuat dan disimpan di

pendekatan efektif mendukung Penerapan Penyuluhan Pertanian Partisipatif Dalam Upaya Pembangunan Pertanian.PT Bumi Aksara.. Ekstensia Majalah

Setelah penulis melakukan analisis ini dengan menggunakan metode regresi linier sederhana ( tunggal ) didapatkan hasil bahwa Penanaman Modal Dalam Negri

Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui media bahasa

Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Demokratik Timor-Leste tentang Pembentukan Komisi Bersama Kerja Sama Bilateral, ditandatangani di Jakarta pada tanggal 2

LAPORAN SEMESTER I REKAP PERSEDIAAN BARANG PAKAI HABIS DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL KABUPATEN LOMBOK BARAT SAMPAI DENGAN 31 JUNI TAHUN 2016.. NO Tgl/bln/Thn