• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN TEPUNG CANGKANG UDANG YANG DIHIDROLISIS ENZIM KASAR KITINASE DALAM PAKAN BENIH IKAN PATIN (PANGASIONODON HYPOPTHALMUS) FITRISKA HAPSARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN TEPUNG CANGKANG UDANG YANG DIHIDROLISIS ENZIM KASAR KITINASE DALAM PAKAN BENIH IKAN PATIN (PANGASIONODON HYPOPTHALMUS) FITRISKA HAPSARI"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN TEPUNG CANGKANG UDANG YANG

DIHIDROLISIS ENZIM KASAR KITINASE DALAM PAKAN

BENIH IKAN PATIN (PANGASIONODON HYPOPTHALMUS)

FITRISKA HAPSARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Tepung Cangkang Udang Yang Dihidrolisis Enzim Kasar Kitinase dalam Pakan Benih Ikan Patin (Pangasionodon hypopthalmus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Fitriska Hapsari

(4)

RINGKASAN

FITRISKA HAPSARI. Pemanfaatan Tepung Cangkang Udang Yang Dihidrolisis Enzim Kasar Kitinase dalam Pakan Benih Ikan Patin (Pangasionodon hypopthalmus). Dibimbing oleh NUR BAMBANG PRIYO UTOMO DAN ZAFRIL IMRAN AZWAR.

Ikan patin merupakan ikan omnivore yang cenderung karnivora sehingga dalam pakan patin mengandung banyak sumber protein hewani seperti tepung ikan. Sebagian besar tepung ikan yang tersedia masih harus diimpor. Untuk mengatasi tingginya bahan pakan maka perlu bahan alternatif dengan harga murah, tersedia setiap waktu dan kualitasnya baik serta mampu dicerna. Tepung cangkang udang (TCU) memiliki kadar protein cukup tinggi yaitu 30 - 40% dan berpotensi sebagai salah satu sumber protein hewani dalam pakan ikan (Daragmeh

et al. 2011). Meski kadar protein TCU cukup tinggi, namun penggunaan TCU dalam pakan harus dibatasi karena dapat mengakibatkan penurunan nilai kecernaan dan laju pertumbuhan. Penurunan nilai kecernaan ini diduga dikarenakan adanya kandungan kitin pada cangkang udang. Cangkang udang mengandung 20 – 30% senyawa kitin.

Kitin merupakan komponen utama dari kulit udang atau golongan crustaceae, kulit insekta dan bahkan juga terkandung dalam beberapa jenis jamur. Enzim kitinase adalah enzim pencerna yang memecah ikatan glikosida dalam kitin (Somashekar dan Joseph 1996). Khoury et al (1997) menyebutkan bahwa bakteri

Serratia marcescens merupakan salah satu bakteri yang paling efisien dalam memproduksi enzim kitinase. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk melihat potensi pemanfaatan TCU yang telah difermentasikan dengan bakteri

Serratia marcescens sebagai pengganti sumber protein hewani.

Percobaan pemanfaatan TCU dalam pakan benih ikan patin dievaluasi dalam 2 tahap yakni hidrolisis TCU dengan enzim kasar kitinase, serta pengujian kecernaan dan pertumbuhan ikan patin yang diberi TCU yang telah terhidrolisis dengan dosis enzim kasar kitinase yang terbaik. Enzim kasar kitinase yang diproduksi oleh bakteri Serratia marcescens memiliki nilai aktivitas enzimatik sebesar 0,5652 U yang berarti dalam 1 ml enzim kasar kitinase mengandung aktivitas enzim kitinase sebesar 0,5652 U. TCU dengan kandungan kitin yang terendah diperoleh pada dosis enzim kasar sebesar 4U dengan lama inkubasi 12 jam. TCU yang telah dihidrolisis ini kemudian diuji untuk melihat kecernaannya pada ikan patin. Nilai kecernaan TCU yang terhidrolisis meskipun bernilai kecil namun memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan TCU yang tidak dihidrolisis.

Pertumbuhan ikan patin yang tidak diberi TCU terhidrolisis memiliki nilai yang hampir sama dengan pertumbuhan ikan patin dengan pakan yang mengandung subtitusi TCU 45% sebagai pengganti tepung ikan dalam pakan. Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun TCU dapat digunakan untuk menggantikan tepung ikan dalam pakan sebesar 45%.

Kata Kunci: Patin, Pangasianodon hypopthalmus, Serratia marcescens, enzim kasar kitinase, kecernaan, pertumbuhan

(5)

SUMMARY

FITRISKA HAPSARI. Utilization of Hydrolyzed Shrimp Shell by Chitinase Crude Enzyme for Juvenile Catfish (Pangasianodon hypopthalmus) Feed. Under direction of NUR BAMBANG PRIYO UTOMO and ZAFRIL IMRAN AZWAR.

The study was conducted to determine the effect of shrimp shell hydrolyzed by chitinase crude enzyme produced by Serratia marcescens in the formulation of catfish feed. In the first experiment, Serratia marcescens was cultured and the crude enzyme was separated by being centrifuged in 10.000rpm for 15m. The shrimp shell powder was then sprayed with the enzyme in multiple doses (1, 2, 3, 4, and 5 U/100g powder) in two types of time (12 and 24h). The result showed that the 4 U/100g powder in 12h incubation had the lowest result of chitin. This best dose was then applied in the second experiment to find out the digestibility to the shrimp shell powder. In this experiment, the catfish was fed with 3 types of feed (reference feed as control, 70% reference feed and 30% hydrolyzed shrimp shell powder, and 70% reference feed and 30% shrimp shell powder). Results of this experiments showed that experimental feeds with hydrolyzed shrimp shell powder had the highest digestibility among the three.

The third experiment, the hydrolyzed shrimp shell was used in the formulation of catfish feed to substituted fish meal in the formulation. Four different diets was used in this experiments, namely diet A contain 50% fish meal and 50% meat bone meal as animal protein source; diet B the 50% fish meal were substituted with 15% hydrolyzed shrimp shell and 85% fish meal; diet C the 50% fish meal were substituted with 30% hydrolyzed shrimp shell and 70% fish meal and diet D the 50% fish meal were substituted with 45% hydrolyzed shrimp shell and 55% fish meal. Ninety fish in each group was fed upon the experimental diets three times a day, at satiation for 30 days. Initial body weight of fish was 0,82 ± 0,04 gr. Data suggest that artificial diet containing 45% hydrolyzed shrimp shell have similar result in growth compare with diet control.

Keywords: Catfish, Pangasianodon hypopthalmus, Serratia marcescens, chitinase crude enzyme, digestibility, growth

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

PEMANFAATAN TEPUNG CANGKANG UDANG YANG

DIHIDROLISIS ENZIM KASAR KITINASE DALAM PAKAN

BENIH IKAN PATIN (PANGASIONODON HYPOPTHALMUS)

FITRISKA HAPSARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(8)
(9)

Judul Tesis : Pemanfaatan Tepung Cangkang Udang yang Dihidrolisis Enzim Kasar Kitinase dalam Pakan Benih Ikan Patin (Pangasionodon hypopthalmus)

Nama : Fitriska Hapsari

NIM : C151100241

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui Oleh

Dr. Ir. Zafril Imran Azwar, MS Anggota

Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si Ketua

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Enang Harris, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian: 21 Januari 2013 Tanggal Lulus:

(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul “Pemanfaatan tepung Cangkang Udang yang Dihidrolisis Enzim Kasar Kitinase dalam Pakan Benih Ikan Patin (pangasionodon hypopthalmus)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si dan Dr. Ir. Zafril Imran Azwar, MS selaku pembimbing, Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si sebagai dosen penguji luar komisi dan Prof. Dr. Enang Harris, M.S serta Dr. Dinamella Wahjuningrum atas bimbingan dan sarannya selama proses penelitian dan penulisan tesis ini berlangsung. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami ‘Eko Novianto’, anak-anak ‘Aletta Florencia Shofi dan Bimo Khaleev Dariodana’, bapak, ibu dan kakak - kakak tercinta atas doa dan kasih sayangnya. Penulis sampaikan pula terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu secara langsung atau tidak langsung terutama kepada Pak Ranta, Pak Wasjan, Mbak Retno yang telah membantu proses analisis sampel, teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, IPB angkatan 2010 (Pak Tasruddin, Wida, Wahyu, Mbak Rita, Allamanda, Arsal, Mas Agung, Anna, Bu Eny, Mbak Tri, Asis, Mas Ipul, Lita dan teman-teman lainnya) atas kekompakan dan kerjasamanya yang baik.

Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Namun demikian penulis menyadari hasil penelitian dalam karya ilmiah ini bukanlah kebenaran mutlak karena sangat mungkin berubah seiring berkembangnya ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Kebutuhan Nutrien Ikan Patin 3

Tepung Ikan 4

Tepung Cangkang Udang 5

Enzim Kitinase 6

Kecernaan 7

3 METODE 9

Waktu dan Tempat penelitian 9

Tahapan Penelitian 9

Prosedur Penelitian 9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Hasil 16

Pembahasan 19

5 SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 24

LAMPIRAN 29

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kebutuhan asam amino esensial untuk ikan Channel catfish 4 2 Komposisi asam amino esensial tepung ikan Error! Bookmark not defined. 3 Kandungan asam - asam amino tepung udang sebelum dan sesudah

dihidrolisis enzim kitinase ekstraseluler dari bakterium Serratia

marcescens 7

4 Komposisi pakan refrensi dan pakan uji 10

5 Komposisi proximat pakan uji kecernaan 10

6 Komposisi pakan penelitian 12

7 Komposisi proximat pakan uji dan energi 13

8 Rata - rata kandungan kitin TCU setelah dihidrolisis oleh enzim kasar kitinase dalam berbagai dosis dan lama inkubasi yang berbeda 16 9 Hasil proximat dari tepung cangkang udang dan tepung cangkang

udang yang dihidrolisis oleh enzim 16

10 Asam amino yang terkandung dalam TCU dan TCUh 17

11 Kecernaan total, kecernaan protein, kecernaan energi pakan referensi

TCUh dan TCU 17

12 Rata - rata konsumsi pakan, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, dan kelangsungan hidup 18

DAFTAR GAMBAR

1 Pola hubungan antara aktivitas enzim kitinase dengan lama kultur 15

2 Kurvapertumbuhan bakteri Serratia marcescens 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur analisa proximat

2 Prosedur analisa aktivitas enzim 30

3 Prosedur analisa kandungan kitin 31

4 Prosedur analisa asam amino 32

5 Prosedur analisa kecernaan 35

6 Hasil analisa proximat bahan baku pakan 36

7 Komposisi vitamin dan mineral ,ix 36

8 Hasil analisa kandungan kitin 37

9 Hasil kualitas air selama masa pemeliharaan 37

10 Komposisi proximat tubuh benih ikan patin pada awal dan akhir

percobaan 38

11 Perhitungan retensi protein 39

12 Kadar Cr2O3 dan protein dalam feses dan pakan serta nilai kecernaan

total, kecernaan protein dan kecernaan energi pakan perlakuan 40

13 Perhitungan KP, SR, EP, dan PR 40

(13)

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang populer dan diminati dikalangan masyarakat. Untuk itu, budidaya merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar. Pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan pertumbuhan ikan yang dibudidaya. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan ikan. Upaya pemberian pakan buatan juga dapat meningkatkan biaya produksi, karena umumnya sebanyak 70% dari total biaya produksi berasal dari pakan. Harga pakan ditentukan oleh besar kecilnya protein yang terkandung dalam pakan. Hal ini disebabkan oleh berbagai sumber protein sebagai bahan penyusun pakan yang sebagian besar masih harus diimpor, diantaranya tepung ikan yang merupakan faktor penentu kualitas pakan dan sumber protein hewani yang banyak digunakan dalam pembuatan pakan ikan. Ikan patin termasuk ikan omnivora cenderung karnivora sehingga kebutuhan sumber protein hewani dalam pakan lebih tinggi dibanding sumber protein nabati. Dengan demikian semakin tinggi kandungan protein dalam pakan maka harga pakan juga ikut meningkat.

Harga pakan komersial untuk ikan patin mencapai Rp. 10.000 per kg. Untuk mengatasi tingginya harga pakan maka perlu pakan dengan bahan baku alternatif yang berprotein tinggi dengan harga relatif murah, tersedia setiap waktu dan kualitasnya baik. Sumber protein murah yang dapat digunakan diantaranya adalah cangkang udang yang dijadikan tepung. Tepung cangkang udang (TCU) memiliki kadar protein cukup bervariasi yaitu 39, 45, 52, dan 70% (Mahata 2007, Mirzah 1990, Gernat 2001, Fanimo et al 2004, dan Okoye et al 2005). Cangkang udang merupakan sumber protein hewani yang memiliki potensi yang cukup tinggi dan memiliki kandungan asam amino yang serupa dengan tepung ikan (Fanimo et al

2000). Cangkang udang merupakan sisa dari pengolahan udang menjadi udang beku yang terdiri atas: kulit bagian badan, dan ekor udang. Cangkang udang yang dihasilkan dari proses pembekuan, pengalengan, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang (Hertrampf dan Pascual 2000). Cangkang kepala udang itu sendiri mencapai 35 – 45% dari total bobot udang (Fanimo et al 2000).

Data Direktorat Jendral Budidaya Kementrian Kelautan dan Perikanan memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan laju produksi udang. Produksi udang di Indonesia pada tahun 2009 hingga tahun 2011 berturut turut mencapai 348.100 ton, 352.000 ton dan 381.288 ton. Pada tahun 2012, produksi udang ditargetkan naik 10% dari produksi 2011 yakni 420.000 ton. Produksi udang ini berasal dari tambak intensif, tambak tradisional, tambak semi intensif, dan tambak integrasi. Tambak tradisional menyumbang produksi udang terbesar dibanding yang lain. 90% dari produksi udang ini diekspor, sehingga hanya 10% yang dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri. Limbah udang yang dihasilkan oleh pengolahan dari tahun 2009 hingga 2011 diperkirakan sekitar 104.430 – 315.000 ton. Pengolahan cangkang udang sebagai bahan baku alternatif dapat dilakukan dengan berbagai cara, akan tetapi penepungan merupakan cara yang paling efisien dan efektif (Synowiecki dan Al-khateeb 2003 dalam Kandra et al. 2012).

(14)

2

Meski kadar protein TCU tinggi, namun penggunaan TCU dalam pakan harus dibatasi karena dapat mengakibatkan penurunan nilai kecernaan dan laju pertumbuhan. Penurunan nilai kecernaan ini dikarenakan adanya kandungan kitin pada cangkang udang. Cangkang udang mengandung 14 – 30% senyawa kitin (Synowiecki dan Al-Khateeb 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Khempaka et al (2006) menunjukkan bahwa penurunan nilai kecernaan pada ayam broiler yang diberi pakan tepung cangkang udang dikarenakan rendahnya kecernaan kitin pada tepung cangkang udang yakni sebesar 24%.

Kitin merupakan komponen utama dari kulit udang atau golongan crustaceae, kulit insekta dan bahkan juga terkandung dalam beberapa jenis jamur yang menjadi faktor pembatas dalam pemanfaatannya sebagai sumber protein hewani. Enzim kitinase adalah enzim pencerna yang memecah ikatan glikosida dalam kitin (Somashekar dan Joseph 1996), sehingga dapat menurunkan kadar kitin. Mikroorganisme seperti Paenibacillus sp., Penicillium chrysogenum,

Serratia marcescens, Bacillus cereus, Aspergillus carneus dan Aeromonas sp. mampu memproduksi enzim kitinase (Akhir et al. 2009). Khoury et al (1997) menyebutkan bahwa bakteri Serratia marcescens merupakan salah satu bakteri yang paling efisien dalam memproduksi enzim kitinase yang dapat mendegradasi kitin. Dengan demikian maka penelitian ini dilakukan untuk melihat potensi pemanfaatan TCU yang telah difermentasikan dengan bakteri Serratia marcescens

sebagai pengganti sumber protein hewani. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan dosis optimal enzim kasar kitinase yang diproduksi oleh bakteri

Serratia marcescens dalam menurunkan kandungan kitin tepung cangkang udang.

2. Menguji nilai kecernaan tepung cangkang udang serta dosis subtitusi tepung cangkang udang yang sudah terhidrolisis oleh enzim kasar kitinase dalam formulasi pakan terhadap pertumbuhan ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus).

(15)

3

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Kebutuhan Nutrien Ikan Patin

Ikan membutuhkan nutrien untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh dalam proses hidupnya, yang terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Dalam pakan yang diberikan pada ikan, protein harus tersedia dalam jumlah yang cukup karena protein memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan, pemeliharaan serta sangat penting bagi produksi enzim dan pembentukan jaringan tubuh (Steffens 1989). Protein merupakan molekul kompleks yang terdiri dari asam – asam amino, baik esensial maupun non esensial (NRC 1993). Menurut Hepher (1990), hampir sebagian besar tubuh ikan 45 – 75% bobot kering adalah protein. Protein sangat efisien sebagai sumber energi bagi hewan air (NRC 1993). Kebutuhan protein bervariasi dan tergantung pada ukuran ikan. Ikan yang berukuran kecil membutuhkan protein yang lebih besar dibanding ikan yang berukuran besar (Goddard 1996).

Berdasarkan SNI (2009), kebutuhan protein pada pakan komersial untuk ukuran pendederan minimal 30% dan kebutuhan lemak minimal 5%. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian tentang kebutuhan protein pakan yang optimal untuk ikan patin. Kebutuhan protein yang dapat menghasilkan pertumbuhan optimum pada benih ikan patin jambal siam (P. hypopthalmus) berukuran 1,52 gr adalah 35,4%, lemak 4%, dan karbohidrat 43,86% (Subamia et al. 2003). Sedangkan menurut Syamsurnarno (2008), pemberian pakan dengan protein 30%, lemak 7,7% dan karbohidrat 49,79% dengan rasio energi protein 9,0 kkal DE/gr dapat menghasilkan pertumbuhan yang maksimal untuk benih ikan patin (P. hypopthalmus) berukuran 1,84 gr. Untuk ikan patin (P. hypopthalmus) dengan bobot awal 15 – 17 gr membutuhkan protein sebesar 36%, karbohidrat 32,51% dan lemak sebesar 10,89% untuk menghasilkan pertumbuhan yang optimal (Tobuku 2008). Ikan catfish membutuhkan kandungan protein dalam pakan sekitar 25 – 50% tergantung ukuran ikan, suhu perairan, jumlah energi non protein dalam pakan, kualitas protein dan manajemen pakan (Robinson et al 2001).

Dalam penyusunan komposisi pakan ikan, keseimbangan antara protein dan energinya perlu diperhatikan. Nilai kalori pakan yang rendah menyebabkan sebagian protein pakan akan digunakan sebagai sumber energi untuk keperluan metabolisme. Sedangkan pakan yang mengandung kalori tinggi akan menyebabkan jumlah pakan yang dikonsumsi relatif rendah, sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan yang relatif rendah pula. Adapun rasio energi – protein pakan yang telah diteliti nilainya berkisar antara 8 – 10 kkal DE/gram protein dalam pakan ikan pada umumnya (Halver 1988). Rasio energi – protein berbeda pada patin berukuran 1,84 yang paling bagus adalah 9,0 kkal DE/g protein (Syamsunarno 2008). Rasio energy tercerna (DE/P) yang baik untuk ikan jenis catfish menurut Robinson et al. (2001) adalah sekitar 7,4 – 12 kkal/gram. Kandungan DE/P yang terlalu tinggi akan mengakibatkan adanya penimbunan lemak dan bila energi dalam pakan terlalu rendah akan mengakibatkan pertumbuhan yang lambat.

Ikan catfish membutuhkan asam amino esensial seperti arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, methionin, phenilalanin, threonin, triptophan dan valin

(16)

4

dalam pakannya untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan. Bila dalam pakan tersebut tidak mengandung asam amino ini maka pertumbuhan ikan Channel

catfish akan mengalami penurunan. Sedangkan asam amino non esensial seperti alanin, asam aspartat, sistin, asam glutamat, glisin, prolin, serin, and tirosin tidak mempengaruhi pertumbuhan ikan Channel catfish (FAO 1980). Kebutuhan asam amino untuk Channel catfish (Ictalurus punctatus) dapat dilihat pada Tabel 1.

Ikan jenis catfish tidak dapat memanfaatkan asam amino bebas yang ditambahkan kedalam pakan dengan defisiensi protein sehingga penambahan methionin, sistin atau lisine kedalam pakan tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ikan catfish (FAO 1980). Akan tetapi apabila asam amino bebas ini diberikan kedalam pakan dengan kandungan protein yang cukup, energi untuk mensintesa asam amino esensial akan dapat disimpan (Robinson et al 2001).

Tabel 1. Kebutuhan asam amino essensial untuk ikan Channel catfish (NRC 1983

dalam Halver 1988)

Asam Amino %protein

Arginin 4.3 Histidin 1.5 Isoleucin 2.6 Leucin 3.5 Lysin 5.1 Methionin 2.3 Phenilalanin 5.0 Threonin 2.3 Tryptophan 0.5 Valin 3.0

Pakan ikan umumnya mengandung 20% atau lebih protein kasar sebagai sumber protein. Protein yang berasal dari protein hewani mempunyai kualitas yang lebih besar dibanding protein nabati, karena mengandung asam amino yang lebih tinggi. Protein hewani penting keberadaannya dalam pakan benih dan juvenile ikan catfish. Tepung ikan merupakan sumber protein yang lebih baik dibanding sumber protein hewani lainnya (Robinson et al. 2001).

Tepung Ikan

Tepung ikan adalah tepung yang berasal dari sisa olahan atau sisa – sisa dari hasil penangkapan ikan, baik ikan utuh maupun ikan rucah. Kandungan protein tepung ikan yang sebesar 60 – 80% sangat disukai oleh ikan jenis catfish. Tepung ikan merupakan sumber asam amino esensial yang baik (Robinson et al. 2001). Asam amino yang terkandung didalam tepung ikan adalah 10 asam amino esensial yang dibutuhkan oleh ikan, dimana umumnya mengandung lysin yang relatif tingi. Kualitas protein tepung ikan ditentukan oleh jumlah dan kualitas asam amino, sedangkan komposisi asam amino ditentukan oleh jenis ikan yang digunakan (Lovell 1989). Selain itu, tepung ikan juga mengandung energi yang tinggi, mineral serta asam lemak esensial. Tepung ini dapat digunakan hingga 50% untuk benih ikan catfish, hingga 12% untuk ikan catfish ukuran fingerling, dan 0 – 8% pada pakan untuk pembesaran (Robinson et al. 2001). Adapun kelemahan dari tepung ikan adalah harga yang mahal dan ketersediaan untuk

(17)

5

kepentingan akuakultur (Lovell 1989). Komposisi asam amino esensial tepung ikan dari beberapa pustaka dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi asam amino esensial tepung ikan (%protein)

Asam Amino Tuna fish meal1) White meal mech extr 1) Fish meal2)

Asam aspartat - - 9,54 Asam glutamate - - 13,72 Serin 2,52 3,35 4,46 Glisin 4,41 4,84 6,43 Histidin 1,89 1,47 2,05 Arginin 3,69 4,41 6,25 Threonin 2,49 2,82 4,31 Alanin - - 6,21 Prolin - - - Tirosin 1,81 2,00 3,45 Valin 2,98 3,31 5,07 Methionin 1,58 1,84 2,96 Sistin 0,5 0,82 - Isoleusin 2,64 2,98 4,28 Leusin 4,09 4,78 7,61 Phenylalanin 2,32 2,50 4,01 Lisin 4,54 4,96 8,43 Tryptophan 0,62 0,73 -

Keterangan: 1) Halver dan Hardy (2002), 2) Pongmaneerat dan Watanabe (1992)

Tepung Cangkang Udang

Limbah dari industri pengolahan udang umumnya berupa kepala dan cangkang udang yang mencapai 30 hingga 75% dari bobot keseluruhan udang. Menurut Synowiecki dan Al-Khateeb (2000), cangkang udang mengandung kitin yang cukup besar (14 – 30%). Sedangkan kandungan kitin dibagian kepala udang memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan cangkang udang yakni 11% (Mizani et al 2005). Cangkang udang merupakan sumber protein yang berpotensi tinggi dalam pakan ikan karena cangkang udang mengandung kadar protein yang cukup tinggi yaitu 30 - 40% (Daragmeh et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa cangkang udang berpotensi untuk menggantikan tepung ikan dalam pakan. Kandungan nutrisi dalam tepung cangkang udang tergantung pada jumlah cangkang atau eksoskeleton dari udang, yang terdiri dari kitin yang merupakan bagian dari protein kompleks sehingga memiliki nilai kecernaan yang rendah bila diberikan kepada hewan (Fanimo et al 2000). Nwanna dan Daramola (2001) menunjukkan bahwa nilai kecernaan (ADC) ikan nila yang diberi tepung cangkang kepala udang lebih rendah (88,1%) secara signifikan dibanding kontrol (97,1%). Namun setelah difermentasi dalam bentuk silage, nilai kecernaan protein tepung cangkang kepala udang tidak berbeda nyata pada ikan African Catfish (Clarias gariepinus) (Nwanna 2003). Bahkan pada ikan nila, bentuk silage dari tepung cangkang kepala udang memiliki nilai kecernaan yang lebih tinggi dibanding kontrol (Plascencia-Jatomea dan Olvera-Novoa 2002).

Kitin menghambat kinerja enzim untuk mencerna protein dan lemak sehingga mempengaruhi pemanfaatan tepung cangkang udang (Mahata et al.

(18)

6

2008). Oleh karena itu perlu adanya perlakuan untuk menurunkan kadar kitin dalam cangkang udang sehingga dapat meningkatkan pemanfaatannya. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk memecah kitin secara kimiawi dan biologi. Kitin dapat terpecah dengan menggunakan enzim kitinase. Pemanfaatan enzim kitinase untuk mendegradasi kitin yang terdapat pada udang belum banyak dilakukan karena produk enzim kitinase komersial yang telah dipurifikasi berharga sangat mahal. Jika digunakan untuk memperbaiki kualitas gizi udang tidak efisien dan tidak ekonomis, namun hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan enzim kitinase yang diekstrak dari bakteria yang diisolasi dari alam (Mahata, et al. 2006). Banyak mikroorganisme yang telah diteliti untuk memperbaiki kandungan nutrisi cangkang udang, diantaranya Streptococcus mileri (Cobos et al.,2007); Bacillus sp. (Hardini dan Djunaidi 2010); Aeromonas

sp. (Yulianingsih dan Teken 2008); Tricoderma viride (Nugroho et al. 2003); dan

Serratia marcescens (Mahata 2006).

Enzim kitinase

Kitin adalah polisakarida yang dibiosintetis dari N – acetylglucosamine (N – acetyl – D – glucon 2 – amine) dan merupakan komponen utama dari eksoskeleton crustaceae. Kitin tergolong sebagai salah satu serat yang memiliki tingkat kecernaan yang rendah bahkan mungkin tidak tercerna di dalam sistem pencernaan ikan khususnya ikan karnivora (Daragmeh et al 2011). Kitin dapat dikurangi dengan menghidrolisasi kitin terlebih dahulu. Hidrolisasi kitin dapat dilakukan dengan pemberian enzim kitinase. Tepung kepala udang yang difermentasikan dengan bakteri Aeromonas sp. mampu menurunkan serat kasar (29,34 % menjadi 23,34%) (Yulianingsih dan Teken 2008).

Enzim kitinase adalah enzim yang mampu memecah kitin menjadi bentuk oligomer yang kemudian diubah menjadi bentuk monomer. Degradasi kitin secara enzimatis oleh kitinase berlangsung secara bertahap (Daragmeh et al. 2011). Bakteri penghasil enzim kitinase dapat dideteksi dan diisolasi melalui terbentuknya zona bening pada medium selektif agar (Purwani et al. 2002). Enzim kitinase dapat diperoleh dari bakteri, jamur, serangga, serta tumbuhan. Bakteri –bakteri yang mengandung enzim kitinase adalah Serratia, Chromobacterium, Klebsiella, Pseudomonas, Clostridium, Vibrio, Arthrobacter, Beneckea, Aeromonas, dan Streptomyces. Bakteri – bakteri ini mampu mendegredasi kitin (Matsumoto KS 2006).

Hidrolisasi kitin menggunakan ekstraselular kitinase yang berasal dari bakteri Serratia marcescens terbukti dapat menurunkan kandungan kitin sebesar 61.07% dan meningkatkan kandungan protein sebesar 26.09% (Mahata et al.

2006). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mahata et al. 2006 menunjukkan bahwa kandungan asam amino udang yang tidak dihidrolisis dengan bakteri Serratia marcescens dan yang dihidrolisis mengalami peningkatan kecuali leusin dan triptopan. Meningkatnya asam amino limbah udang setelah dihidrolisis enzim kasar kitinase disebabkan oleh karena protein yang terikat dengan kitin dan CaCO3 dapat larut sejalan dengan terdegradasinya kitin.

Turunnya kandungan leusin dan triptopan pada cangkang udang yang dihidrolisasi diakibatkan karena pemanasan yang dilakukan selama proses hidrolisasi untuk menghentikan proses kerja enzim (penghentian proses hidrolisis).

(19)

7

Tabel 3. Kandungan Asam -Asam Amino Udang Sebelum dan Sesudah Dihidrolisis Enzim Kasar Kitinase Ekstraseluler dari Bakterium

Serratia marcescens (Mahata 2006)

Asam Amino Udang Sebelum Dihidrolisis Enzim Kitinase (%protein) Udang Sesudah Dihidrolisis Enzim Kitinase* (%protein) Asam Aspartat 0,840 1,182 Asam Glutamat 2,403 2,617 Serin 0,376 0,593 Glisin 0,519 0,876 Histidin 0,843 0,912 Arginin 0,429 0,597 Treonin 0,438 0,610 Alanin 0,486 0,715 Prolin 0,309 0,485 Tirosin 0,387 0,962 Valin 0,630 0,987 Metionin 0,423 0,508 Sistin 0,405 0,878 Isoleusin 0,489 0,617 Leusin 0,747 0,685 Penilalanin 0,491 0,711 Lisin 0,534 0,690 Triptopan 0,077 0,063

Keterangan: *enzim kitinase berasal dari bakteri Serratia marcescens dengan dosis 4,017

dengan waktu hidrolisis 24 jam

Kecernaan

Nilai nutrien dari pakan tidak hanya berdasarkan komposisi kimia, tetapi juga banyaknya energi yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ikan. Ketersediaan nutrien atau energi dalam pakan ikan dapat diketahui dari kecernaan atau metabolism energi. Kecernaan menggambarkan energi atau nutrien yang terdapat dalam pakan. Baik energi yang diserap maupun energi metabolisme telah digunakan untuk menggambarkan nilai pakan ikan.

Kecernaan dapat diperoleh melalui metoda langsung dan metoda tidak langsung. Metoda langsung menggunakan marker yang tidak tercerna seperti kromium oksida (Cr2O3) yang diberikan dalam pakan dengan konsentrasi 0,5 –

1,0% (NRC 1993). Marker ini harus bersifat tidak beracun, tidak mempengaruhi pakan, kecernaan, dan tidak terserap oleh tubuh. Marker ini harus masuk kedalam tubuh bersamaan dengan pakan dan tidak terpisah dari komponen pakan saat melewati usus (Jobling 2002). Metoda ini digunakan untuk mengetahui koefisien energi, protein kasar, karbohidrat, lemak, dan bahan kering pada beberapa spesies (NRC 1993). Kelebihan dari metoda ini adalah analisa lebih akurat, efektif dan murah (Jobling 2002). Selain kromium oksida, marker lain yang dapat digunakan untuk metoda ini adalah titanium oksida, dan sebagainya. Kromium oksida merupakan marker yang umum digunakan. Akan tetapi marker ini diduga

(20)

8

memiliki beberapa kelemahan seperti dapat menyebabkan gangguan pada fungsi pencernaan, bersifat karsinogenik, dan memiliki kemungkinan untuk terpisah dari nutrien lain dalam pakan selama berada diusus (Jobling 2002).

Sedangkan pada metoda tidak langsung, kecernaan diukur dengan mengukur perbedaan konsentrasi marker difeses dan di pakan serta energi yang terkandung didalamnya. Metoda ini digunakan untuk menentukan koefisien kecernaan energi, protein kasar, karbohidrat, lemak pada beberapa spesies ikan. Metoda ini memiliki kelemahan karena ikan mudah stress selama pengambilan feses sehingga pemanfaatan nutrien yang terjadi hanya sedikit (NRC 1993).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui nilai kecernaan protein dari tepung cangkang udang. Nilai kecernaan protein pakan dengan tepung kepala udang dalam bentuk silage yang diberikan kepada ikan African Catfish mengalami penurunan dibandingkan pakan kontrol (Nwanna et al 2004 dan Nwanna 2003). Proses pengolahan silage tepung kepala udang mempengaruhi nilai kecernaan protein bahan. Pada silage tepung kepala udang yang menggunakan asam formiat dan asam etanoat, nilai kecernaan protein pakan dengan tepung kepala udang yang menggantikan tepung ikan sebesar 30% mengalami penurunan yang berbeda nyata dibandingkan pakan kontrol (Nwanna

et al 2004). Sedangkan silage tepung kepala udang yang menggunakan molase dan bakteri Lactobacillus plantarum, nilai kecernaan protein yang diperoleh antar perlakuan tidak berbeda nyata (Nwanna 2003). Hal ini dikarenakan kandungan serat kasar dan abu dari silage yang menggunakan molase dan bakteri

Lactobacillus plantarum lebih rendah dibandingkan silage yang menggunakan asam formiat dan asam etanoat. Untuk ikan nila, pemberian tepung kepala udang dalam bentuk silage yang menggunakan asam laktat, menghasilkan nilai kecernaan protein yang lebih baik dibandingkan dengan pakan kontrol (Plascencia-Jatomea dan Olvera-Novoa 2002).

(21)

9

3.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Agustus 2012, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Nutrisi Ikan, serta di kolam percobaan Babakan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Tahapan Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu: 1. Penelitian tahap I

Bertujuan untuk menentukan dosis enzim kasar kitinase optimum untuk mereduksi kandungan kitin dari tepung cangkang udang. Tahap penelitian ini terdiri dari beberapa subbab penelitian, yaitu: 1). Kultur bakteri Serratia marcescens, 2). Hidrolisis kitin dengan beberapa dosis enzim dengan waktu inkubasi 12 dan 24 jam. Hasil yang terbaik akan digunakan untuk penelitian tahap II.

2. Penelitian tahap II

Bertujuan untuk mengaplikasikan tepung cangkang udang dengan dosis enzim kasar kitinase terbaik dalam pakan ikan patin dengan melihat nilai kecernaan bahan baku, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein dan retensi lemak ikan patin.

Prosedur Penelitian a. Tahap I

1. Kultur bakteri Serratia marcescens dan produksi enzim kasar kitinase Biakan bakteri diambil sebanyak 1 ose secara aseptis, kemudian digoreskan kedalam cawan petri steril yang telah berisi TSA, lalu diinkubasi dalam alat inkubator dengan suhu 370C selama 18 - 24 jam. Bakteri Serratia marcescens yang diperoleh dikultur dalam media TSA di cawan petri selama 18 – 24 jam kemudian sebanyak 2 lup dimasukkan kedalam 100ml TSB selama 60 jam pada suhu 300C menggunakan tabung erlenmeyer dengan kecepatan shaker 120 rpm. Enzim kasar kitinase dipisahkan dari bakteri dengan dipusingkan (sentrifugasi) pada 10.000 rpm selama 15 menit (Natarajan dan Murty 2010). Supernatant yang mengandung enzim kasar kitinase dipindahkan ke dalam botol kaca dan disimpan dalam kulkas sampai saat digunakan. Sedangkan endapan yang berisi sel – sel bakteri dimusnahkan dengan membuangnya pada air mengalir dan wadah dicuci bersih.

Untuk uji pertumbuhan bakteri dan uji aktivitas enzimatik, bakteri

Serratia marcescens yang telah dikultur dimedia TSA dalam cawan petri diambil sebanyak 2 lup dan dimasukkan kedalam tabung erlenmeyer berisi media TSB untuk dishake selama 72 jam. Bakteri kemudian diambil sebanyak 10ml dengan rentang waktu per 3 jam untuk diuji pertumbuhannya dan 10ml dengan rentang waktu per 24 jam untuk diuji aktivitas enzimatiknya (Lampiran 2).

(22)

10

Parameter yang diamati dalam percobaan ini adalah analisa aktivitas enzim kasar kitinase dengan menggunakan metode Hong et al. (1989) (Lampiran 2), menganalisa pertumbuhan dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600nm untuk menghitung optical density (OD) dari konsentrasi biomassa.

2. Hidrolisis kandungan kitin dalam tepung cangkang udang menggunakan enzim kasar kitinase

Proses hidrolisis tepung cangkang udang dilakukan dengan menginkubasi tepung cangkang udang dengan enzim kasar kitinase dengan lama waktu inkubasi selama 12 dan 24 jam. Penelitian ini dilakukan secara eksperimen dengan perlakuan dosis enzim 2 unit enzim/100gr tepung, 3 unit enzim/100gr tepung, 4 unit enzim/100gr tepung, 5 unit enzim/100gr tepung.

Enzim kasar kitinase diberikan kedalam wadah berisi tepung cangkang udang menggunakan sprayer sambil diaduk sedikit demi sedikit. Setelah lama inkubasi terpenuhi, wadah yang berisi tepung cangkang udang dimasukkan kedalam freezer untuk menghentikan kerja enzim kasar kitinase.

Parameter yang diamati dalam percobaan ini adalah menganalisa kandungan kitin (Lampiran 3), menganalisa kandungan nutrisi TCU (kadar air, kadar protein, serat kasar, kadar lemak, BETN) dengan menggunakan metode proximat (Lampiran 1), serta menganalisa kandungan asam amino dari TCU dengan menggunakan HPLC (Lampiran 4).

b. Tahap II

1. Uji kecernaan bahan baku terhadap ikan patin

Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin (Pangasius

sp.) dengan bobot rata – rata 0,82 ± 0,04 gr. Sedangkan wadah pemeliharaan yang digunakan adalah akuarium berukuran 50 x 50 x 60 cm. Volume air dalam akuarium adalah 90 liter. Pada masing – masing akuarium diberi aerasi dan heater. Air yang digunakan dalam penelitian berasal dari sumur, kemudian ditampung dalam bak penampungan dan diaerasi. Pemberian aerasi dimaksudkan untuk memperkaya kandungan oksigen dalam air.

Pakan perlakuan digunakan untuk uji kecernaan terdiri dari pakan acuan (Noegroho, 2000) dan pakan campuran bahan uji dengan perbandingan 70% pakan acuan dan 30% bahan uji. Pakan diberi kromium trioksida (Cr2O3)

sebagai marker sebesar 0,5% w/w (NRC 1993). Komposisi pakan acuan dan pakan uji ditunjukkan pada Tabel 4. Analisa proximat pada pakan uji dan pakan acuan disajikan pada Tabel 5.

(23)

11

Tabel 4. Komposisi pakan referensi (Noegroho 2000) dan pakan uji (%)

Pakan Referensi Pakan Uji TCU TCUh Tepung Ikan 50,92 35,64 35,64 Tepung Terigu 32,28 22,60 22,60 Minyak Ikan 7,4 5,18 5,18 Vitamin 1,4 0,98 0,98 Mineral 5 3,50 3,50 CMC 2,5 1,75 1,75 Cr2O3 0,5 0,35 0,35 Bahan Uji - 30 30 Total 100 100 100

Tabel 5. Komposisi proximat pakan uji kecernaan (%bobot kering)

Pakan Referensi Pakan Uji

TCUh TCU Kadar air 4,08 5,71 6,64 Protein kasar 32,15 31,66 28,56 Lemak kasar 9,43 11,71 8,66 Kadar abu 20,33 16,41 20,16 Serat kasar 6,73 0,46 6,48 BETN 27,28 34,05 29,5 C/P 8,00 9,18 8,54

Pemberian pakan perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali sehari (pukul 08.00, 12.00 dan 16.00) at satiation. Pengumpulan feses mulai dilakukan satu jam setelah pemberian pakan uji dengan asumsi pakan sudah tercerna oleh ikan dalam waktu 1 jam. Feses diambil satu jam setelah pemberian pakan dengan mengangkat selang aerasi dalam wadah pemeliharaan agar feses tidak teraduk didalam air. Setelah ±10 menit setelah selang aerasi diangkat, feses diambil dengan cara penyiphonan dan ditampung didalam gayung. Pemindahan feses dari wadah penampung ke dalam botol sampel dilakukan secara perlahan agar kromium yang terkandung didalam feses tidak larut ke media air. Setelah itu, feses dipindahkan ke botol sampel dan disimpan dalam freezer.

Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati adalah nilai kecernaan protein dan nilai kecernaan total dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Takeuchi 1988):

(24)

12 Keterangan: a = % Cr2O3 dalam pakan

a’ = % Cr2O3 dalam feses

b = % protein dalam pakan b’ = % protein dalam feses n = mg Cr2O3/g pakan

n’ = mg Cr2O3/g pakan

Analisa Data

Data yang akan diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisa mengunakan program Excel MS Office 2007 dan untuk uji ANOVA dianalisis menggunakan program Minitab 16. Perlakuan yang berbeda akan diuji lanjut menggunakan uji Duncan.

2. Pengaruh pemberian tepung cangkang udang yang dihidrolisis terhadap pertumbuhan ikan patin

Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan patin (Pangasius

sp.) dengan bobot rata – rata 0,82 ± 0,04 gr sebanyak 90 ekor/akuarium. Sedangkan wadah pemeliharaan yang digunakan adalah akuarium berukuran 50 x 50 x 60 cm. Jumlah akuarium yang digunakan adalah 12 unit akuarium untuk 4 perlakuan dan 3 ulangan dengan sistem resirkulasi. Volume air dalam akuarium adalah 90 liter. Pada masing – masing akuarium diberi aerasi dan

heater. Pemberian aerasi dimaksudkan untuk memperkaya kandungan oksigen dalam air. Sedangkan heater digunakan untuk mengatur suhu dalam air. Sebelum perlakuan, ikan diadaptasi ikan selama satu minggu. Setelah masa adaptasi selesai, ikan dipuasakan selama 24 jam untuk menghilangkan sisa pakan didalam saluran pencernaan dan ikan ditimbang bobotnya dan dimasukkan kedalam wadah pemeliharaan.

Pakan uji menggunakan tepung ikan (TI), MBM (meat bone meal) dan tepung cangkang udang yang dihidrolisis (TCUh), tepung kedelai (TK) dan tepung jagung (TJ), minyak kelapa, tepung tapioka sebagai perekat (binder) dan vitamin mineral mix. Sebelum digunakan, bahan – bahan ini diuji kandungan nutrisinya dengan analisa proksimat. Kandungan protein dalam pakan uji adalah 30% dengan energi/protein pakan sebesar 8kkal/gr.

Penelitian ini menggunakan tepung cangkang udang yang dihidrolisis untuk menggantikan keberadaan tepung ikan dalam pakan. Adapun dosis TCUh dalam pakan uji adalah sebagai berikut 0%, 15%, 30% dan 45%.

Pakan uji dibuat dengan mencampurkan seluruh bahan – bahan dan diaduk hingga merata. Pakan lalu dicetak dan dikeringkan. Setelah itu, pakan disimpan ditempat yang kering dan tidak lembab. Pakan yang telah dibuat dianalisa proksimat untuk melihat apakah target protein, energi pakan dan energi protein rasio terlah terpenuhi atau tidak. Formulasi pakan pada setiap

(25)

13

perlakuan ditunjukkan pada Tabel 6 dengan analisa proximat masing – masing perlakuan pada Tabel 7. Pemberian pakan perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali sehari (pukul 08.00, 12.00 dan 16.00) at satiation. Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan pengecekan kualitas air setiap minggu pada masa pemeliharaan.

Tabel 6. Komposisi pakan penelitian

Perlakuan A (100% TI) B (15% TCUh:85% TI) C (30% TCUh:70% TI) D (45% TCUh:55% TI) Tepung Ikan 17,40 14,79 12,18 9,57 TCUh1) 0,00 2,61 5,22 7,83 MBM2) 17,40 17,40 17,40 17,40 Tepung Jagung 26,78 26,78 26,78 26,78 Tepung Kedelai 26,78 26,78 26,78 26,78 Minyak Sawit 3,76 3,76 3,76 3,76 Premix3) 1,88 1,88 1,88 1,88 Tapioka 6,00 6,00 6,00 6,00

Keterangan:1) TCUh: Tepung Cangkang Udang Terhidrolisis Enzim Kasar Kitinase

2)

MBM: Meat Bone Meal

3) Komposisi premix (vitamin mineral mix dapat dilihat pada Lampiran 2)

Tabel 7. Komposisi proximat pakan uji (%bobot kering) dan energi

Perlakuan A (100% TI) B (15% TCUh:85% TI) C (30% TCUh:70% TI) D (45% TCUh:55% TI) Kadar air 7,76 8,89 9,81 6,74 Protein kasar 32,94 31,82 32,63 31,39 Lemak kasar 6,13 5,43 6,21 5,09 Kadar abu 11,97 12,06 11,91 12,09 Serat kasar 4,82 1,92 2,08 2,55 BETN1) 36,38 39,88 37,36 42,14 DE (kkal/g)2) 7,77 8,02 7,90 8,17

Keterangan:1) BETN: Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

2) DE: Digestible Energy

1 gram protein = 3,5 kkal DE, 1 gram lemak = 8,1 kkal DE, 1 gram karbohidrat/BETN = 2,5 kkal DE (NRC, 1993)

(26)

14

Parameter Pengamatan

Peubah yang akan diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Laju Pertumbuhan Harian

Laju pertumbuhan harian dihitung dengan menggunakan rumus (Huisman et al 1991):

Keterangan:

Wt = bobot rata – rata individu pada waktu t (g) Wo = bobot rata – rata individu pada waktu awal (g) α = laju pertumbuhan harian individu (%)

t = waktu pemeliharaan (hari) b. Jumlah Konsumsi pakan

Jumlah pakan yang diberikan setiap hari selama masa pemeliharaan dikurangi jumlah pakan yang tersisa pada akhir masa pemeliharaan. c. Efisiensi pakan

Efisiensi pakan dapat diperoleh menggunakan rumus sebagai berikut (NRC 1993):

Keterangan:

EP = Efisiensi Pakan

Wt = Bobot ikan pada waktu akhir pemeliharaan (g)

W0 = Bobot ikan pada waktu awal pemeliharaan (g)

Wa = Bobot ikan yang mati selama pemeliharaan (g)

F = Bobot pakan yang dikonsumsi selama penelitian (g) d. Retensi protein

Retensi protein dapat diketahui dengan melakukan analisa proksimat protein tubuh ikan pada awal dan akhir pemeliharaan. Rumus retensi protein adalah sebagai berikut (Takeuchi 1988):

Keterangan:

Fp = Jumlah protein tubuh ikan pada waktu awal pemeliharaan (g) Lp = Jumlah protein tubuh pada waktu akhir pemeliharaan (g) P = Jumlah protein tubuh yang dikonsumsi selama pemeliharaan e. Retensi lemak

Retensi lemak dapat diketahui dengan melakukan analisa proksimat lemak tubuh ikan pada awal dan akhir pemeliharaan. Rumus retensi lemak adalah sebagai berikut (Takeuchi 1988):

(27)

15

Keterangan:

Fl = Jumlah lemak tubuh ikan pada waktu awal pemeliharaan (g) ll = Jumlah lemak tubuh pada waktu akhir pemeliharaan (g) L = Jumlah lemak tubuh yang dikonsumsi selama pemeliharaan f. Derajat Kelangsungan Hidup

Derajat kelangsungan hidup (SR) dihitung berdasarkan Zonneveld

et al. 1991:

Keterangan:

SR = kelangsungan hidup ikan (%)

Nt = jumlah ikan uji pada awal percobaan (ekor) No = jumlah ikan uji pada akhir pemeliharaan (ekor)

Analisa Kimia

Analisa yang dilakukan dalam uji ini adalah analisa proximat bahan pakan (Tepung ikan, meat bone meal, Tepung Cangkang Udang, Tepung Cangkang udang yang dihidrolisis, Tepung Kedelai, Tepung Jagung, dan Tepung tapioka), pakan uji, dan ikan uji; Analisa kecernaan dengan mengukur kromium trioksida (Cr2O3) serta analisa energi dengan

menggunakan bom kalorimeter pada feses dan pakan kecernaan.

Analisa proximat meliputi pengukuran kadar air, protein kasar, lemak kasar, kadar abu, serat kasar. Analisa proximat ini dilakukan dengan metode AOAC (1984) dalam Takeuchi (1988) (Lampiran 1). Parameter kualitas air diukur meliputi suhu, kadar oksigen terlarut, pH, nitrit dan amoniak. Hasil analisa kualitas air selama masa pemeliharaan masih dalam kisaran optimum untuk pemeliharaan ikan patin (Lampiran 9).

Analisa Statistik

Rancangan penelitian yang digunakan dalam uji pertumbuhan ikan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Data yang akan diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisa mengunakan program Excel MS Office 2007 dan untuk uji ANOVA dianalisis menggunakan program Minitab 16. Perlakuan yang berbeda akan diuji lanjut menggunakan uji Duncan

(28)

16

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hubungan antara aktivitas enzim kasar kitinase dengan waktu disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa aktivitas enzim kasar kitinase terbaik dari bakteri Serratia marcescens adalah setelah kultur selama 60 jam. Setelah kultur bakteri selama 60 jam di media TSB, diperoleh nilai aktivitas sebesar 0,5652 U/mg protein yang memiliki arti dalam 1 ml enzim kasar kitinase, mengandung aktivitas enzim kitinase sebesar 0,5652 U. Setelah 60 jam, aktivitas enzim ini kemudian mengalami penurunan dan pada jam ke 72 nilai aktivitas mencapai 0,0436 U.

Gambar 1. Pola hubungan antara aktivitas enzim kitinase dengan lama kultur Kurva pertumbuhan bakteri Serratia marcescens disajikan pada Gambar 2. Terlihat bahwa fase lag dari pertumbuhan bakteri terjadi hingga 10 jam kultur, fase log pada waktu kultur 10 - 30 jam dan fase statis terjadi pada kultur selama 30 - 55 jam.

Gambar 2. Kurva pertumbuhan bakteri Serratia marcescens

Hasil pengamatan terhadap kandungan kitin dari tepung cangkang udang diperlihatkan pada Tabel 8. Kandungan kitin ditepung cangkang udang pada waktu inkubasi 12 jam lebih kecil dibandingkan kandungan kitin yang terkandung pada waktu inkubasi 24 jam. Sedangkan untuk dosis enzim kasar kitinase yang menghasilkan kandungan kitin yang terendah diperoleh pada dosis 4 U/100gr tepung yakni sebesar 15,29%.

0 0,2 0,4 0,6 0 10 20 30 40 50 60 70 80 A kti vi tas spe si fi k (u n it/ m g p ro te in ) waktu (jam) 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 n ilai OD p ad a 600nm waktu (jam)

(29)

17

Tabel 8. Rata – rata kandungan kitin TCU setelah dihidrolisis oleh enzim kasar kitinase dalam berbagai dosis dan lama inkubasi yang berbeda

Dosis (U/100gr tepung) Lama inkubasi (jam) Kandungan Kitin (%) 2 12 17,69 24 20,71 3 12 16,48 24 19,12 4 12 15,29 24 18,59 5 12 18,62 24 19,12

Keterangan: Kandungan kitin Tepung Cangkang Udang (TCU) dan tepung Cangkang Udang yang dihidrolisis (TCUh) dianalisis pada Laboratorium biokimia dan mikrobiologi PAU IPB

Hasil proximat dari TCU dan TCUh disajikan dalam Tabel 9. Terlihat bahwa kandungan protein TCUh lebih tinggi (32,05%) dibanding kandungan protein TCU (30,86%). Sedangkan untuk kadar abu dan serat kasar yang dimiliki TCUh (23,57% dan 16,55%) lebih rendah dibanding yang dimiliki TCU (25,06% dan 20,74%).

Tabel 9. Hasil proximat dari tepung cangkang udang (TCU) dan tepung cangkang udang yang terhidrolisis oleh enzim (TCUh)

Proximat TCU TCUh Δ

Kadar Air (%) 11,78 16,37 4,59 Protein kasar (%) 30,86 32,05 1,19 Lemak (%) 3,78 3,97 0,19 Kadar Abu (%) 25,06 23,57 -1,49 Serat Kasar (%) 20,74 16,55 -4,19 BETN (%) 7,78 7,49 -0,29

Keterangan: Kandungan nutrisi TCU dan TCUh dianalisis pada Laboratorium Nutrisi Ikan FPIK IPB

Asam amino yang terkandung didalam TCUh memiliki peningkatan dibandingkan asam amino yang terkandung didalam TCU. Hal ini terlihat dari Tabel 10, dimana semua asam amino TCUh memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan asam amino pada TCU, kecuali asam glutamat yang pada TCU memiliki nilai 2,183% dan di TCUh 2,232%.

(30)

18

Tabel 10. Asam Amino yang terkandung dalam TCU dan TCUh (%protein)

Asam Amino TCU TCUh Δ

Asam Amino Esensial

Methionin 0,184 0,224 0,040 Prolin 0,836 0,968 0,132 Tirosin 0,596 0,828 0,232 Arginin 0,727 0,853 0,126 Histidin 0,271 0,367 0,096 Valin 0,782 0,791 0,009 Isoleusin 0,545 0,560 0,015 Leusin 0,758 0,791 0,033 Phenilalanin 0,650 0,893 0,243 Lisin 0,640 0,661 0,021

Asam Amino non esensial

Asam aspartat 1,303 1,333 0,030 Asam glutamat 2,232 2,183 -0,049 Serin 0,551 0,674 0,123 Glisin 0,871 0,980 0,109 Threonin 0,617 0,759 0,142 Alanin 0,797 0,945 0,148

Keterangan: Asam Amino tepung cangkang udang dianalisis pada Laboratorium Penguji The First Indonesian Molecular Biotechnology Company, Saraswati Indo Genetech, Bogor

Tepung cangkang udang yang dihidrolisis (TCUh) memiliki nilai kecernaan total yang lebih tinggi dibanding TCU yaitu sebesar 32,03%. Hal ini disajikan dalam Tabel 11. Demikian juga dengan kecernaan protein dan kecernaan energi pada TCUh paling tinggi dibanding TCU (Lampiran 12).

Tabel 11. Kecernaan total, kecernaan protein, kecernaan energi pakan referensi, TCUh dan TCU

Pakan Parameter

Kecernaan Total Kecernaan protein Kecernaan Energi

Pakan referensi 31,71 27,96 32,99

Pakan dengan TCUh 32,03 36,21 35,04

Pakan dengan TCU 27,15 20,00 31,04

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh hasil konsumsi pakan, laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, retensi protein, retensi lemak, dan kelangsungan hidup ikan selama masa pemeliharaan disajikan pada Tabel 12 dibawah ini. Data di Tabel 12 menunjukkan bahwa konsumsi pakan menurun sejalan dengan bertambahnya prosentase subtitusi tepung cangkang udang yang dihidrolisis terhadap tepung ikan (Lampiran 13 dan 14).

(31)

19

Tabel 12. Rata – rata konsumsi pakan (KP), Laju Pertumbuhan Harian (LPH), Efisiensi pakan (EP), Retensi Protein (RP), Retensi lemak (RL), dan Kelangsungan hidup (KL) Parameter A (100% TI) B (15% TCUh:85% TI) C (30% TCUh:70% TI) D (45% TCUh:55% TI) KP (g) 254,73±4,79a 258,33±18,33a 244,90±7,84a 243,01±8,86a LPH (%) 5,10±0,26a 4,66±0,13b 4,63±0,13b 4,54±0,24b EP (%) 93,92±2,34ab 83,04±4,17b 86,47±3,15ab 92,10±4,78a RP (%) 37,97±1,65a 35,22±1,88ab 31,48±1,86b 37,85±3,79a RL (%) 91,05±2,52a 73,75±4,69b 62,26±3,36c 75,17±7,13b KL (%) 98,89±99,63a 100,00±0,00a 98,89±99,63a 100,00±0,00a

Keterangan: 1) data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10, 11 dan 12

2) angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (p>0,05) pada uji Duncan

Konsumsi pakan dan laju pertumbuhan harian menurun dengan bertambahnya dosis tepung cangkang udang yang digunakan untuk mensubtitusi tepung ikan. Berdasarkan Tabel 12, retensi protein tertinggi diperoleh pada pakan yang tidak mengandung tepung cangkang udang yang dihidrolisis (pakan kontrol), begitu pula dengan retensi lemak. Adanya subtitusi tepung cangkang udang yang dihidrolisis tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ikan patin.

Pembahasan

Bakteri Serratia marcescens merupakan bakteri yang bersifat non pathogen pada organisme akuatik saprofitik. Selain itu, bakteri ini merupakan bakteri yang mampu memproduksi berbagai produk enzim ekstraseluler seperti kitinase, protease, nuclease dan lipase (Hejazi dan Falkiner 1997). Terdapat dua jenis tipe bakteri dalam memproduksi enzim, yakni tipe A (reaksi enzim dan substrat berjalan seiring dengan pertumbuhan) dan tipe B (reaksi enzim dan substrat tidak berjalan seiring dengan pertumbuhan) (Hinshelwood 1944).

Produksi kitinase dari bakteri Serratia marcescens berkaitan erat dengan pertumbuhan (Natarajan dan Murty 2010). Hal ini terlihat dari kurva pertumbuhan pada Gambar 2 dan kurva aktivitas enzim kitinase pada Gambar 1, dimana pertumbuhan bakteri mulai melambat pada jam ke 36 dan aktivitas enzimatik yang tertinggi ada di jam ke 60 yakni sebesar 0,5652 U/mg protein. Karakteristik aktivitas enzim kitinase dari bakteri yang setelah mencapai titik optimumnya akan menurun sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu. Narayana dan Vijayalakshmi (2009) menyatakan bahwa aktivitas kitinase dari Streptomyces maksimum terjadi pada 60 jam kultur dan kemudian menurun. Nawani et al

(2002) melaporkan bahwa aktivitas kitinase dari Microbispora sp tertinggi terjadi setelah 48 jam kultur. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joo (2005), aktivitas kitinase dari Streptomyces halstedii tertinggi pada 72 jam inkubasi dan kemudian menurun. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, yakni pH, konsentrasi substrat dan enzim, suhu, adanya aktivator atau inhibitor (Lehniger 1998).

Kitin merupakan polimer yang paling banyak terdapat dialam selain selulosa. Enzim kitinase yang diproduksi oleh bakteri Serratia marcescens

memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah mampu mengubah biomassa yang mengandung kitin menjadi komponen depolimer yang berguna (Brurberget al.

(32)

20

2000). Kitin merupakan jenis polisakarida kedua yang paling banyak terdapat di alam dan umumnya terkandung didalam eksoskeleton dari krustasea, serangga, ulat, jamur, dan kapang. Tepung cangkang udang terdiri dari protein (40%), mineral (35%), dan kitin (14 – 30%) dan sangat kaya akan pigmen karotenoid terutama astaxantin (Kandra et al.,2012). Menurut Synowiecki dan Al-khateeb (2003) dalam Kandra et al. (2012), tepung cangkang udang mengandung sekitar 14 – 30% kitin (bobot kering). Terdapat beberapa metode yang telah digunakan untuk meningkatkan kualitas TCU, yakni pemasakan, pengeringan dengan matahari, pembuatan silage. Akan tetapi proses – proses ini memiliki kelemahan – kelemahan. Pemasakan membutuhkan kayu bakar atau bahan bakar lain yang sangat banyak selain itu metode ini dapat mendegradasi lemak, vitamin dan pigmen – pigmen yang terkandung dalam bahan. Dikeringkan dengan matahari dapat mengakibatkan kondisi yang tidak higienis sehingga bahan menjadi banyak mikroba – mikroba yang tidak diinginkan. Dengan menggunakan asam formiat mampu meningkatkan kualitas nutrisi TCU akan tetapi harga asam formiat yang tinggi serta silage yang dihasilkan harus dinetralkan terlebih dahulu membuat metode ini tidak efisien (Nwanna 2003).

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 5, terlihat bahwa lama aktivitas enzim yang paling optimal dalam mendegradasi kitin TCU adalah 12 jam. Hal ini terlihat dari hasil kandungan kitin yang terkandung didalam tepung cangkang udang pada lama inkubasi 12 jam lebih sedikit dibandingkan kandungan kitin pada lama inkubasi 24 jam. Enzim kitinase mengubah bentuk polimer dari kitim menjadi bentuk oligomer yang lebih sederhana dan mudah untuk dicerna. Pada proses hidrolisis, ikatan hidrogen dari bentuk polimer kitin akan terlepas. Ikatan ini tidak stabil sehingga apabila dibiarkan lebih lama, ikatan interaksi antar hidrogen akan saling mengikat lagi untuk meningkatkan energi interaksi antar ikatan (Aronson et al 2003). Enzim kitinase yang digunakan dalam pelitian ini tidak melalui proses purifikasi sehingga enzim kitinase yang diperoleh dalam penelitian ini berupa enzim kasar (Crude enzyme). Dosis enzim yang optimal terdapat pada dosis 4 U/100gr tepung. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mahata (2006) yang menunjukkan bahwa dosis terbaik untuk melisis kandungan kitin pada tepung cangkang udang adalah 4U/100gr tepung.

TCU mengandung protein yang tinggi dan mengandung asam amino yang serupa dengan kandungan AA pada tepung ikan, akan tetapi pemanfaatan TCU kedalam pakan ikan terbatas karena adanya kandungan kitin dan kadar abu (Nwanna, 2003) yang mengakibatkan TCU sulit untuk dicerna. Berdasarkan hasil, terlihat bahwa asam amino esensial yang terkandung didalam TCUh mengalami peningkatan dibanding asam amino esensial yang terkandung didalam TCU. Hal ini diharapkan menjadi indikasi adanya perbaikan kandungan nutrient dalam tepung serta adanya perbaikan dalam kecernaan tepung cangkang udang.

Berdasarkan hasil analisa proximat, terlihat bahwa protein, lemak dan serat kasar dari TCUh mengalami perubahan. Protein TCU adalah sebesar 30,86% dan setelah diberi enzim kitinase sebesar 4U selama 12 jam, protein yang terkandung didalam tepung meningkat 1,19% menjadi 32,05%. Peningkatan protein kasar limbah udang berkaitan dengan terdegradasinya kitin oleh enzim kasar kitinase. Kitin sebagai salah satu komponen penyusun kulit udang dirombak oleh kitinase menjadi monomernya sehingga protein akan terbebaskan dari senyawa komplek kitin-protein-CaCO3. Lemak juga mengalami peningkatan sebesar 0,19% menjadi

(33)

21

3,97%. Peningkatan lemak ini dapat disebabkan oleh terlarutnya carotenoid yang terdapat pada limbah udang pasca hidrolisis. Terurainya senyawa kitin dan terbebasnya protein dari senyawa komplek kitin-protein-CaCO3 juga meningkatkan carotenoid yang dapat dianalisis, dan di dalam analisis proksimat senyawa carotenoid dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, K) terhitung sebagai lemak. Sedangkan untuk serat TCUh mengalami penurunan sebesar 4,19% dari 20,74% menjadi 16,55%. Penurunan serat kasar ini menunjukkan bahwa pemberian enzim kitinase terbukti menurunkan serat kasar yang terkandung didalam tepung cangkang udang dengan cara memecah polimer kitin yang terkandung didalam tepung.Hal ini serupa dengan hasil yang diperoleh oleh Yulianingsih dan Teken (2008). Dengan menurunnya serat kasar dan kadar abu pada tepung cangkang udang yang diberi enzim, diharapkan mempunyai nilai kecernaan yang lebih besar dibanding tepung cangkang udang yang tidak terhidrolisis. Penelitian yang dilakukan oleh Nwanna (2003) tentang kecernaan tepung udang pada ikan African catfish menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar abu dan serat kasar dalam pakan, akan menghasilkan nilai keceraan protein dan nilai kecernaan energi yang semakin rendah. Hal ini dikarenakan karena apabila nilai kandungan asam amino dalam suatu bahan rendah, maka pemanfaatan dan nilai kecernaan protein juga akan rendah.

Nilai kecernaan menyatakan banyaknya komposisi nutrisi suatu bahan maupun energi yang dapat diserap dan digunakan oleh ikan (NRC 1993). Berdasarkan nilai kecernaan total yang dihasilkan dari uji kecernaan, terlihat bahwa nilai kecernaan tepung cangkang udang yang terhidrolisis lebih besar dibanding tepung cangkang udang yang tidak terhidrolisis yakni sebesar 32,03%. Sedangkan nilai energi kecernaan dari tepung cangkang udang yang terhidrolisis memiliki nilai tertinggi yakni 35,04%. Rendahnya nilai kecernaan tepung cangkang udang yang tidak terhidrolisis dikarenakan masih tingginya kandungan kitin pada tepung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yamin et al (2011) dimana nilai kecernaan tepung udang tanpa fermentasi pada ikan kerapu memiliki nilai yang lebih rendah (38,86%) dibanding nilai kecernaan tepung udang yang difermentasikan (45,77%). Nilai kecernaan yang rendah dari ketiga perlakuan dapat dikarenakan rendahnya kualitas bahan baku pakan yang mengakibatkan rendahnya nilai kecernaan protein dan kecernaan energi pakan. Hal ini terlihat dari rendahnya nilai kecernaan protein dan kecernaan energi pakan kontrol yang tidak mengandung TCU atau TCUh yakni 27,96% dan 32,99%. Selain itu, salah satu faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah umur dan ukuran ikan. Robinson et al (2001) menyatakan bahwa protein hewani yang berasal dari tepung ikan sangat penting keberadaannya dalam pakan ikan catfish

ukuran benih dan fingerling. Tepung ikan ini dapat digantikan dengan protein hewani lainnya seperti tepung MBM atau tepung darah pada ikan berukuran 6 – 7 inci. Hal ini yang diduga mempengaruhi kecilnya nilai kecernaan yang diperoleh. Ikan yang digunakan untuk uji kecernaan ini memiliki bobot rata – rata sebesar 0,82 gram dengan panjang ± 4cm.

Setelah pemeliharaan selama 30 hari, terlihat adanya penambahan biomasa individu pada tiap perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh ikan uji mengalami pertumbuhan selama pemeliharaan. Semakin banyak tepung cangkang udang yang digunakan untuk mensubtitusi tepung ikan dalam pakan, maka semakin menurun pertumbuhan dan efisiensi pakan, laju pertumbuhan pada pakan

(34)

22

kontrol memiliki nilai yang lebih tinggi yakni 5,10% dan laju pertumbuhan yang paling rendah diperoleh pada pakan dengan subtitusi tepung cangkang udang sebesar 45% yakni 4,54%. Hal ini berhubungan dengan nilai kecernaan bahan baku tepung cangkang udang yang dihidrolisis. Kecilnya nilai kecernaan tepung cangkang udang mengakibatkan ikan sulit untuk dapat memanfaatkan kandungan nutrisis yang terkandung didalam bahan baku sehingga nutrient yang diserap oleh tubuh akan sedikit pula. Tepung ikan merupakan bahan yang penting bagi ikan

catfish yang berukuran kurang dari 6 – 7 inchi karena protein hewani memiliki kualitas protein (asam amino) yang lebih baik dibandingkan protein nabati, terutama kandungan asam amino esensial yang terkandung didalamnya (Robinson

et al 2001). Oleh sebab itu, pertumbuhan dengan pakan kontrol memiliki nilai laju pertumbuhan harian yang paling tinggi. Nilai efisiensi pakan antar perlakuan tidak berbeda nyata meskipun pakan tanpa subtitusi tepung cangkang udang mempunyai nilai efisiensi pakan yang lebih tinggi dari pada perlakuan B, C dan D yakni 93,92%. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Nwanna (2003) dimana nilai efisiensi pakan yang diperoleh tidak berbeda nyata antar perlakuan. Konsumsi pakan antar perlakuan tidak berbeda nyata.

Retensi protein merupakan kemampuan ikan untuk menyimpan dan memanfatkan protein dalam pakan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, retensi protein pada perlakuan A mempunyai nilai yang tertinggi (37,97%) dan kemudian seiring dengan bertambahnya dosis tepung cangkang udang yang dihidrolisis retensi protein yang terkandung dalam tubuh ikan mengalami penurunan yakni 35,22%, 31,48%, dan 37,85%. Nilai retensi protein ini memberikan dampak pada pertumbuhan dimana pertumbuhan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan A (kontrol). Ini mengindikasikan bahwa energi dan protein yang terkandung didalam pakan tidak mencukupi kebutuhan ikan patin sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang semakin menurun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hardini dan Djunaidi (2010) mengenai subtitusi tepung udang terhadap kualitas daging ayam broiler juga serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh dimana semakin besar jumlah subtitusi tepung udang yang dihidrolisasi, semakin rendah nilai retensi protein yang terkandung didalam tubuh ayam broiler. Selain itu, nilai retensi lemak yang diperoleh juga mengalami penurunan yakni sebesar 91,05% (kontrol), 73,75% (pakan B), 62,26% (pakan C), dan 75,17% (pakan D). Nilai retensi lemak mengindikasikan kandungan lemak yang disimpan oleh tubuh. Penurunan nilai retensi lemak yang terjadi mungkin berhubungan dengan stress yang diakibatkan karena adanya kandungan kitin yang terkandung didalam pakan. Ikan patin merupakan salah satu ikan yang dapat dijual dalam bentuk filet. Semakin tinggi kandungan lemak yang terkandung didalam daging dapat mengakibatkan daging tersebut mudah untuk teroksidasi. Nilai retensi lemak yang menurun ini juga serupa dengan hasil yang diperoleh oleh Hardini dan Djunaidi (2010). Cangkang udang mengandung banyak kitin, yang merupakan bentuk protein kompleks sehingga sulit untuk dicerna. Rendahnya nilai kecernaan ini membuat enzim – enzim yang mencerna lemak dan protein dari pakan sulit untuk dapat mencerna bahan baku TCUh sehingga mempengaruhi pemanfaatan dari nutrient – nutrient ini dan membuat nilai retensi lemak dan nilai retensi protein pada ikan perlakuan lebih sedikit dibanding ikan kontrol (Fall et al. 2012).

(35)

23

5.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

 Enzim kasar kitinase yang diperoleh dari bakteri Serratia marcescens

memiliki aktivitas tertinggi pada saat 60 jam masa kultur dan mampu menurunkan kitin menjadi 15,29% pada 12 jam masa inkubasi dengan dosis enzim 4U/gr tepung.

 Subtitusi tepung cangkang udang yang dihidrolisis oleh enzim kasar kitinase sebesar 45% dapat menggantikan tepung ikan pada formulasi pakan ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) karena mampu menghasilkan pertumbuhan yang serupa dengan ikan kontrol dan dapat digunakan untuk menggantikan tepung ikan dalam pakan ikan patin.

Saran

Perlu adanya penelitian serupa tetapi dengan menggunakan ikan patin yang berukuran lebih besar (diatas 6 inchi).

Gambar

Tabel 2. Komposisi asam amino esensial tepung ikan (%protein)
Tabel  3.  Kandungan  Asam  -Asam  Amino  Udang  Sebelum  dan  Sesudah  Dihidrolisis  Enzim  Kasar  Kitinase  Ekstraseluler  dari  Bakterium
Tabel 4. Komposisi pakan referensi (Noegroho 2000) dan pakan uji (%)
Tabel 6. Komposisi pakan penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah membuat program aplikasi pembelajaran Bahasa dan Aksara Jawa yang interaktif untuk computer dengan menggunakan Adobe

Adapun judul skripsi ini “Peningkatan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII C SMP Negeri 2 Kembaran dengan Metode Examples Non Examples Pada Mata Pelajaran

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi potensi wisata kuliner ikan bakar sebagai daya tarik wisata di Pantai Blimbingsari. 2) Mengidentifikasi

Banyaknya sedimen yang mengendap di Waduk Sermo diakibatkan oleh tingginya erosi yang terjadi pada Daerah Tangkapan Air Waduk Sermo.. Hasil erosi pada daerah hulu

Dari tabel 4.10 dan 4.11 dapat dilihat bahwa pada engineering contradiction pertama, parameter improving feature Strength (14) dimana ukuran mata sabit dan gagang sabit dibuat

< α maka Ho ditolak dan menerima Ha, dengan Ha adanya pengaruh yang signifikan dari penerapan model pembelajaran VCT tipe analisis nilai dalam meningkatkan nilai

Berdasarkan hal ini peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara faktor-faktor fisik rumah yang terdiri dari ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban, lantai,

Pola pengambilan keputusan dalam rumah tangga juga sangat didominasi oleh pria terutama pada hal-hal yang dianggap penting, sedangkan untuk kegiatan rutin rumah