• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENATA KEMBALI ARAH PENDIDIKAN ARSITEKTUR DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENATA KEMBALI ARAH PENDIDIKAN ARSITEKTUR DI INDONESIA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MENATA KEMBALI ARAH PENDIDIKAN ARSITEKTUR DI INDONESIA Tri Harso Karyono

Pengajar Jurusan Arsitektur, Universitas Tarumanagara E-mail: t_karyono@yahoo.com

Majalah Alumni Universitas Tarumanagara, Jakarta, Oktober 2007

Ringkasan

Bentuk arsitektur di suatu tempat atau negara erat hubungannya dengan kondisi pendidikan arsitektur di negara tersebut. Pendidikan Arsitektur di sejumlah negara berkembang seperti Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara maju, atau tepatnya negara barat. Pendekatan-pendekatan estetika cenderung mengikuti apa yang ditemukan di negara barat. Tidak jarang arsitek dan pengajar sekolah arsitektur di Indonesia latah mengikuti bentuk dan tampilan karya arsitektur Negara barat. Alhasil, banyak bangunan tidak nyaman karena salah orientasi, salah memilih material, salah menempatkan bidang kaca yang tidak sesuai dengan iklim local. Untuk mengatasi hal-hal semacam itu berkembang lebih jauh, diperlukan suatu pemikiran untuk menata kembali arah pendidikan arsitektur di Indonesia, Permasalahan lokal seperti iklim, budaya, kebutuhan kenyamanan, ketersediaan teknologi dan material, ketersediaan sumber energy, sumber daya alam lain, serta permasalahan terkait dengan pelestarian lingkungan, penurunan emisi karbondioksida dan lainnya,perlu segera dipertimbangkan dalam pendidikan arsitektur. Dengan demikian, diharapkan dalam waktu dekat akan lahir karya-karya arsitektur di Indonesia yang hemat energy, tanggap terhadap ligkungan, minim emisi karbondioksida, serta mampu menyediakan wadah yang aman, nyaman serta sehat bagi khidupan manusia.

Kata kunci: Arsitektur, emisi karbon dioksida,, hemat energy, Indonesia, pendidikan, ramah ingkungan

1. Pengantar

Seorang rekan mahasiswa Inggris yang menempuh program master Ilmu Politik mengernyitkan dahinya ketika saya perlihatkan foto kota Jakarta. Lama dia menatap gambar itu dan tampaknya masih berusaha menahan diri untuk berkomentar. Kernyit di dahi semakin dalam, ketika tiba-tiba dia bersuara: “Emm…., selama ini saya pikir Indonesia berada di daerah tropis lembab, ternyata saya keliru ya? Saya katakan dia tidak keliru, Indonesia memang beriklim tropis lembab. Wajahnya semakin terperangah. “Kenapa kotanya memiliki bangunan-bangunan semacam ini, yang seharusnya tidak dibangun di iklim tropis?”, Pertanyaan awam yang memerlukan jawaban tidak awam. Diperlukan pemaparan ilmiah untuk menjelaskan bahwa bangunan-bangunan itu memang dirancang keliru. Dirancang tanpa mengoptimalkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat sesuai dengan kebutuhan iklim setempat.

Arsitektur adalah cermin budaya, dan juga cermin iklim di mana dia dibangun. Siapapun semestinya dapat membaca kondisi iklim setempat ketika melihat gambar bangunan di tempat tersebut. Meskipun awam dalam bidang arsitektur sang mahasiswa tidak awam terhadap logika

(2)

ilmu pengetahuan dan teknologi. Seharusnya arsitektur dirancang dengan teknologi yang tepat untuk menjawab permasalahan setempat di mana dia dibangun termasuk permasalahan „iklim‟.

Terlalu banyak kritik dari banyak pihak terhadap arsitektur modern di Indonesia yang berdiri di kota-kota besar. Seakan arsitek tidak cukup kreatif menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi guna menjawab permasalahan lokal arsitektur. Bahwa arsitektur sebagai produk desain untuk manusia harus dirancang sesuai dengan keperluan dan kondisi setempat.

Keperluan dan tuntutan desain di wilayah tropis akan sangat berbeda dengan wilayah beriklim sub-tropis atau tempat lain. Diperlukan rancangan bangunan yang berbeda untuk wilayah dengan fluktuasi suhu udara antara +23 hingga +33 oC, seperti Jakarta, dengan wilayah bersuhu anatara -10 hingga +30oC, seperti kota-kota di Eropa. Pada kasus pertama, bangunan tanpa dinding masih mampu melindungi manusia berpakaian normal tidak mati kedinginan atau kepanasan. Pada kasus kedua, manusia dengan pakaian normal tidak akan mampu bertahan hidup ketika berada di dalam bangunan tanpa dinding atau dengan dinding tipis pada suhu -10oC. Ilmu pengetahuan dan Teknologi mampu menjawab semua itu secara proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Arsitektur harus mampu menjawab permasalahan setempat termasuk iklim, dengan menggunakan teknologi yang tepat sesuai dengan kondisi dan iklim setempat pula.

2. Arsitektur Bukan Sekadar Indah

Menggambarkan arsitektur sekadar ekspresi estetika hanya dilihat dari aspek bentuk, komposisi massa, proporsi, ritme dan aspek keindahan lain, kiranya perlu segera dilupakan. Sejumlah karya arsitektur klasik serta beberapa karya arsitektur modern kiranya memang dapat dijelaskan melalui penalaran kaidah-kaidah estetika: keseimbangan, kesatuan, proporsi, aksentuasi, ritme, dan sebagainya. Karya dekonstruksi Zaha Hadid, Frank Gehry, Bernard Tschumi, dapat dianalisis melalui penalaran ini, meskipun harus dengan cara lain.

Munculnya bentuk-bentuk arsitektur baru seperti Arsitektur Hijau, Arsitektur Berkelanjutan, Arsitektur Hemat Energi, yang sarat keilmuan (scientific) merupakan suatu gerakan untuk meletakkan kembali posisi arsitektur sebagai karya fisik yang tidak merusak alam. Gerakan ini menyadarkan kita akan adanya suatu pergeseran titik tolak dan tujuan perancangan arsitektur beberapa dekade terakhir ini.

Apa yang dapat kita bicarakan terhadap karya-karya arsitek semacam Nicholas Grimshaw, Ton Albert, Richard Rogers, Norman Foster, Santiago Calatrava? Pendekatan estetika saja sudah tidak memadai untuk menjelaskan karya-karya tersebut. Karya mereka harus dikupas melalui sudut pandang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya tersebut merupakan

(3)

wujud „penyimpulan‟ dari suatu analisis dan kerja ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan arsitektur. Karya Nicholas Grimshaw - British Pavilion (Expo Seville, 1992) - sulit kiranya dijelaskan hanya dari sudut estetika, seperti halnya ketika kita menjelaskan karya Aldo Rossi, Zaha Hadid, Gehry dan lainnya. Karya Grimshaw hanya dapat dijelaskan melalui analisis sains bangunan, teknologi sel surya, dan teknologi hemat energi, tanpa harus mengesampingkan telaah estetika tentunya.

3. Pemanasan Bumi dan Saham Arsitek

Gerakan arsitektur berbasis lingkungan dimotivasi oleh fenomena pemanasan bumi. Pembakaran minyak secara kontinyu dalam jumlah yang sangat besar di satu sisi menyebabkan penipisan cadangan sumber daya energi yang tidak terbarukan, sementara di sisi lain menghasilkan polutan CO2 yang diduga keras sebagai penyebab terjadinya pemanasan bumi (global warming).

Konsekuensi dari pemanasan bumi adalah perubahan cuaca yang tidak beraturan dan sulit diprediksi. Badai panas melanda daratan Eropa merenggut puluhan jiwa. Banjir melanda Inggris saat musim panas. Hujan lebat turun tidak pada waktunya menyebabkan banjir di beberapa tempat di Sulawesi belakangan ini. Anomali iklim dan cuaca muncul di berbagai tempat di dunia. Banyak dijumpai kejadian-kejadian janggal dalam pola iklim di berbagai tempat di seluruh bagian dunia.

Karbon dioksida bukan saja diemisi dari pembakaran bahan bakar industri dan transportasi, namun juga pembakaran bahan bakar untuk pembangkit listrik yang digunakan bangunan untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan fisik manusia di dalamnya.

Arsitek merubah kawasan hutan, pertanian, rawa dan ruang hijau lain menjadi perumahan dan kota. Dari tangan arsitek ditentukan apakah kota dan bangunan yang dirancang akan hemat enegi atau sebaliknya, konsumtif terhadap pemakaian BBM dan mengemisi banyak CO2 serta

menyebabkan pemanasan bumi?. Dari tangan arsitek, seringkali kota dirancang minim jalur pedestrian. Kota disterilkan dari pejalan kaki dan hanya memberi ruang maksimal bagi kendaraan bermotor, berkonsekuensi terhadap melonjaknya konsumsi bahan bakar minyak. Dari tangan arsitek pula, sejumlah kota menjadi miskin vegetasi. Kota dipenuhi oleh hamparan aspal dan beton, menaikkan suhu udara kota. Karena tangan arsiteklah kota menjadi panas. Udara kota yang panas memaksa arsitek mulai merancang bangunan dengan AC. Konsumsi listrik melonjak, pembakaran minyak melonjak. Emisi CO2 tidak terbendung lagi. Dan sekali lagi, memanaskan

bumi.

Sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap pengukiran kulit bumi, dan bertanggung jawab terhadap penyediaan lingkungan buatan yang nyaman, arsitek harus mampu

(4)

mangantisipasi kenaikan suhu udara luar rata-rata dan menyediakan tempat tinggal yang layak serta nyaman bagi manusia. Bagaimana kenaikan suhu lingkungan dapat diantisipasi dan dimodifikasi melalui rancangan bangunan yang tepat sehingga manghasilkan suhu di dalam bangunan yang nyaman – sesuai dengan kebutuhan manusia - tanpa harus menguras sumber energi dan mengemisi CO2. Bagaimana rancangan kota mampu mengantisipasi kenaikan suhu

kota sehingga masih tetap berada dalam batas-batas yang dapat ditolerir oleh kemampuan fisik manusia. Suatu gerakan yang tidak dapat dihindari dan dielakan oleh arsitek di manapun jika tidak ingin dituduh sebagai aktor utama penghancur dunia.

4. Arsitektur Berbasis Lingkungan

Dalam rangka mengantisipasi penghematan energi dan pemanasan bumi, muncul berbagai gerakan arsitektur: Arsitektur Hemat Energi, Arsitektur Hijau, Arsitektur Berkelanjutan, dan sebagainya, yang sangat sarat keilmuan (scientific) dan memiliki tujuan sama: menyelamatkan bumi, menyelamatkan tempat manusia berpijak guna melangsungkan kehidupannya.

Diakui atau tidak, gerakan ini muncul dan menyadarkan kita akan adanya pergeseran titik tolak dan tujuan manusia dalam ber-arsitektur. Bahwa arsitektur telah merubah kulit bumi dan mengakibatkan perubahan iklim.

5. Arsitektur Hemat Energi

Arsitek mulai menyadari bahwa bangunan mengkonsumsi energi yang sangat besar ketika muncul laporan penelitian yang memperlihatkan konsumsi energi bangunan-bangunan tinggi di Amerika Serikat lebih besar dari total energi yang digunakan seluruh negara-negara miskin di Dunia Ketiga (Architectural Science Review, June 1987).. Embargo minyak negara Arab terhadap Blok Barat (Amerika dan sekutunya di Eropa Barat) tahun 1973 memperingatkan semua pihak bahwa bangunan tidak dapat beroperasi tanpa energi.

Penghematan energi di bangunan hanya dimungkinkan jika arsitek mau dan tahu bagaimana memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangunan bukan lagi hanya indah, kokoh dan fungsional secara spasial untuk mewadahi aktifitas manusia, bangunan harus hemat energi tanpa mengorbankan kenyamanan. Bagaimana parameter kenyamanan fisik bangunan (temperatur, kelembaban, kecepatan udara, radiasi matahari, penerangan, tata suara dan sebagainya) dimanipulasi sedemikian rupa agar kenyamanan fisik pengguna bangunan, dicapai tanpa banyak mengkonsumsi energi. Diperlukan kreatifitas arsitek untuk merancang bangunan hemat energi.

(5)

6. Arsitektur Berkelanjutan dan Arsitektur Hijau

Ketika komisi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan menelorkan suatu deklarasi yang populer dengan Brundtland report, di mana di dalamnya diformulasikan definisi Pembangunan Berkelanjutan (Our Common Future, Oxford University Press, 1987), para arsitek mulai aktif mengantisipasi deklarasi tersebut.

Deklarasi ini sangat terkait dengan kepentingan arsitek. Bagaimana arsitek mampu merancang karya arsitektur yang minim menggunakan sumber daya alam, menekan semaksimal mungkin dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan di mana manusia tinggal.

Di negara maju, gerakan arsitektur berkelanjutan sudah mengarah kepada perundangan. Pada saatnya hanya arsitek yang merancang dengan konsep keberlanjutan yang diberikan ijin bekerja sebagai perancang. Ikatan Arsitek Skotlandia – The Royal Incorporation of Architects in Scotland (RIAS) mempelopori suatu sistem akreditasi kepada arsitek yang dinilai mampu memenuhi kriteria sebagai „arsitek berkelanjutan‟ (sustainable architects).

Akreditasi ini diberikan kepada sejumlah arsitek melalui penilaian karya-karyanya, bukan berdasar atas training atau pendidikan formal-informal yang pernah mereka tempuh tentang arsitektur berkelanjutan. Dengan kata lain akreditasi ini diberikan kepada arsitek dengan menilai apakah karya yang mereka hasilkan memenuhi kriteria keberlanjutan, bukan menilai pengetahuan arsitek tentang arsitektur berkelanjutan (Halliday, 2005).

Akreditasi ini masih mengarah kepada pemberian label terhadap arsitek. Arsitek yang terakreditasi „berhak‟ menggunakan label (secara individu atau institusi/perusahaan) sebagai „arsitek berkelanjutan‟ (sustainable architect). Ada beberapa tingkatan (kelas) label yang diberikan. Arsitek yang belum atau tidak terakreditasi melalui sistem ini dilarang mengklaim dirinya sebagai „arsitek berkelanjutan‟. Akan diusulkan bahwa pelanggaran terhadap sistem ini nantinya akan diberikan sanksi hukum. Pada masa mendatang hanya arsitek yang terakreditasi melalui sistem ini yang berhak praktek sebagai arsitek. Menurut Sandy Halliday - salah seorang pemrakarsa akreditasi, bahwa sistem ini segera disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia agar asosiasi-asosiasi arsitek di seluruh dunia mengikutinya.

7. Arsitektur di Indonesia dan Arah Pendidikan Arsitektur Kita

Dengan melihat isu di atas, munculnya arah dan tatanan baru arsitektur, bangkitnya gerakan baru arsitektur yang dipicu oleh berbagai faktor guna menyelamatkan bumi, maka pendidikan arsitektur perlu menyikapinya. Pendidkan arsitektur masa depan adalah pendidikan arsitektur yang tanggap terhadap tuntutan baru dunia dan manusianya: perkembangan teknologi dan perubahan kebutuhan manusia yang konsumtif terhadap energi, menipisnya sumber daya alam,

(6)

menipisnya cadangan minyak bumi, meningkatnya pencemaran lingkungan, pemanasan bumi, dan masalah keberlanjutan generasi mendatang untuk dapat hidup setara atau lebih baik dari generasi saat ini.

Pendidikan arsitektur tidak dapat berdiam diri mempertahankan tradisi berasitekturnya dan mengabaikan tuntutan-tuntutan kehidupan manusia yang sudah berubah, mengabaikan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi yang mungkin dapat menjawab sebagian permasalahan di atas. Perlunya perubahan untuk menyesuaikan arah pendidikan arsitektur. Diperlukan penyesuaian substansi perkuliahan serta pengajaran yang mengarah kepada pelestarian alam dan bumi tempat kita berpijak. Pendidikan arsitekturlah yang membentuk tangan arsitek untuk menjadi perusak atau pelestari alam.

Daftar Pustaka

Karyono, Tri Harso (1996), Arsitektur, Ilmu Pengetahuan dan Energi, Majalah Konstruksi, Mei 1996

Karyono, Tri Harso (1997), Kritik terhadap pendidikan arsitektur, Majalah Konstruksi, Juni, Jakarta, hal. 77-78

Karyono, Tri Harso (1999), Arsitektur: Kemapanan, Pendidikan, Kenyamanan dan Penghematan Energi, Catur Libra Optima, Jakarta

Karyono, Tri Harso (2000), Lahirnya Suatu Corak Arsitektur, Majalah Konstruksi, no 290, Maret-April, Jakarta.

Karyono, Tri Harso (2002), Sustainability of the Built Environment in the Humid Tropics of Indonesia, An Overview, paper dalam proceedings seminar Internasional Building Research and the Sustainability of the Built Environment, Universitas Tarumanagara, Jakarta, 14-16 Oktober 2002

Karyono, Tri Harso (2004), Bangunan Hemat Energi: Rancangan Pasif dan Aktif, Harian

Kompas, 31 Oktober

Karyono, Tri Harso (2004), Pembelajaran Mata Kuliah Studio Perancangan Arsitektur: Masalah dan Strategi Penanganan, Jurnal PARTISI, Volume 1, No 2, Nopember, Universitas Bina Nusantara

Karyono, Tri Harso dan Bahri, Gunawan (2005), Energy Efficient Strategies for JSX Building in Jakarta, Indonesia, Proceedings of International Conference on Passive Cooling and Energy Savings in Building, Santorini, Greece, 19-21th May

Karyono, Tri Harso (2005), Antisipasi Pendidikan Arsitektur terhadap Pergeseran Tatanan Arsitektur, Prosidings Seminar Pendidikan Arsitektur, Departemen Arsitektur UI, Depok 9-10 Desember.

Lawson, Bryan (1990), How Designers Think: The Design Process Demystified (2nd edition), Butterworth Architecture, Oxford, UK

Wotten, Henry, Sir (1624), The Elements of Architecture, quoted from LM Roth (1994),

Understanding Architecture: Its Elements, History and Meaning, Herbert Press Ltd., London.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut adalah faktor psikologis, antara lain yaitu: motivasi, perhatian, pengamatan, tanggapan dan lain sebagainya; (b)

Dalam pelaksanaannya setiap data calon nasabah yang sudah di tandatangani akan di input ke dalam sebuah system intranet dalam bank mandiri yang sudah terintegrasi dengan

Penelitian ini menganalisis peran faktor sosial yang ditunjukkan dengan keberadaan modal sosial (ikatan sosial yang muncul dari kohesivitas yang tinggi dan adanya kepercayaan)

Immunologic al and Psychologica l Benefits of Aromatherap y Massage Hiroko K.et all.2005 12 Variabel Independen: Aromatherapy massage Variable Dependen: Psychological and

Arah kebijakan pembangunan Provinsi Jawa Barat tahun 2014, yakni; 1). Peningkatan daya saing masyarakat, pelayanan kesehatan, kemandirian dan pengokohan ketahanan keluarga,

Potensi dan Permasalahan Pengembangan Tanaman Obat di Indonesia Seiring dengan meningkatnya jumlah industri obat tradisional di Indonesia dan tingginya penggunaan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti lakukan mengenai pengelolaan area bermain outdoor pada anak usia 4-5 tahun di TK LKIA Pontianak, maka

Saya lebih memilih olahraga berat yang melelahkan daripada olahraga ringan untuk menurunkan kadar gula Saya merasakontrol gula darah baik dilakukan secara rutin Pemeriksaan