• Tidak ada hasil yang ditemukan

Public Social Partnership untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Public Social Partnership untuk"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Public Social Partnership

untuk

Penanggulangan Kemiskinan

p. 03

Menakar Daya Saing Utama

Indonesia di Mitra Dagang

Utama ASEAN Setahun Pasca

Penerapan Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA)

p. 08

Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685

(2)

Dewan Redaksi

Penanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.

Pemimpin Redaksi

Rastri Paramita, S.E., M.M.

Redaktur

Jesly Yuriaty Panjaitan, S.E., M.M.

Ratna Christianingrum, S.Si., M.Si. Marihot Nasution, S.E., M.Si

Adhi Prasetyo S. W., S.M.

Editor

Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM.

Ade Nurul Aida, S.E.

Daftar Isi

Update APBN...p.02 Public Social Partnership untuk Penanggulangan Kemiskinan...p.03 Menakar Daya Saing Utama Indonesia di Mitra Dagang Utama ASEAN

Setahun Pasca Penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN...p.08

(3)

P

ada bulan Mei 2017 terjadi

inflasi sebesar 0,39 persen dibanding Bulan Mei tahun lalu yang terjadi inflasi sebesar 0,24 persen. Sementara tingkat inflasi (yoy) terhadap periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,33 persen.

Update

APBN

Inflasi, Nilai Tukar, ICP

U

ntuk nilai tukar rupiah, nilai kurs

tengah selama bulan Mei 2017 sebesar Rp13.321/USD mengalami penguatan dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp13.615/USD.

S

ementara untuk harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP)

pada bulan Juni 2017 naik menjadi

USD49,90/barel dari USD44,68/barel pada bulan Mei 2016.

(4)

Public Social Partnership

untuk

Penanggulangan Kemiskinan

oleh

Dewi Meisari Haryanti *)

*)Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia. e-mail : [email protected]

D

iantara banyaknya langkah strategis yang sudah diambil oleh Pemerintah Kabinet Kerja, keberanian untuk mengurangi subsidi BBM untuk menambah anggaran pembangunan

infrastruktur dan implementasi

kebijakan Dana Desa adalah terobosan

yang patut diapresiasi. Alokasi APBN untuk infrastruktur terus meningkat signifikan. Dari hanya sekitar Rp180 triliun pada 2014, meningkat menjadi Rp290 triliun pada 2015, Rp317 triliun di 2016, dan Rp378 triliun pada tahun 2017 ini. Rasio anggaran infrastruktur terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) ini sudah sekitar 3,3 persen, meningkat lebih dari dua kali lipat dari rasio rata-rata 10 tahun terakhir, yaitu hanya 1,6 persen. Sementara untuk Dana Desa, sejak 2015 telah dialokasikan sebesar Rp20,6 triliun untuk sekitar 74.000 Desa, meningkat menjadi Rp47 triliun untuk 74.754 Desa pada 2016, dan pada tahun ini meningkat lagi menjadi Rp60 triliun untuk 74.954 Desa.

Kedua langkah pemerintah ini jelas merupakan langkah positif yang harus didukung agar berhasil mencapai target yang dicita-citakan. Namun demikian, bukan berarti pula langkah ini tidak mengandung risiko. Kebut pembangunan infrastruktur juga sudah lebih dulu terjadi di India dan China, bahkan dengan tingkat

yang lebih agresif, dan peningkatan ketimpangan terjadi di kedua negara tersebut. Terutama di China yang koefisien gini-nya melonjak dari 0,412 (2000) ke 0,61 (2012). Laporan Universitas Peking (2014)

menambahkan bahwa 1 persen

penduduk terkaya menguasai sepertiga total kekayaan di China, sementara 25 persen penduduk termiskin hanya menguasai 1 persen. Di Indonesia sendiri, koefisien gini telah mengalami peningkatan pula pada 10 tahun terakhir hingga menembus 0,413 pada 2015; walau pada 2016 sudah agak menurun ke level 0,40.

Pembangunan infrastruktur

memang dapat memicu peningkatan ketimpangan jika tidak disertai dengan pemerataan peningkatan kapasitas modal manusia, agar setiap anggota masyarakat memiliki tingkat kecakapan yang cukup untuk ikut berlomba dalam menangkap berbagai peluang dan kesempatan baru

yang muncul setelah infrastruktur terbangun dengan baik di wilayah mereka. Jika tidak ada langkah

khusus untuk memeratakan kapasitas

modal manusia ini, pembangunan infrastruktur jelas mengandung risiko sosial berupa peningkatan ketimpangan karena hanya kalangan yang sudah sejahtera dan cakap saja

(5)

yang akan menangkap berbagai peluang, sehingga membuat mereka semakin sejahtera, sedangkan yang miskin tetap miskin (semoga tidak semakin miskin). Jurang ketimpangan

hanya akan bisa menurun jika

peluang baru akibat infastruktur bisa meningkatkan kesejahteraan kalangan miskin.

Fenomena adanya risiko sosial

dari kebijakan infrastruktur ini

sudah terlihat dari perkembangan tingkat kemiskinan perdesaan pasca implementasi Dana Desa yang justru mengalami peningkatan, padahal pada periode sebelumnya, tingkat

kemiskinan perdesaan menunjukkan penurunan secara konsisten. Pada

tahun 2014 tingkat kemiskinan perdesaan sebesar 13,76 persen, sementara pada 2016 meningkat menjadi 13,96 persen. Angka

ini sudah sedikit menurun dari

posisi di tahun 2015 yang sempat menembus 14 persen. Sayangnya

website BPS belum mempublikasikan

tingkat ketimpangan yang dipecah

berdasarkan konteks perdesaan dan perkotaan. Jika ada, fenomena ini

mungkin bisa dipelajari dengan lebih

baik.

Pemetaan Masalah Sosial

Sebagai bangsa yang besar, kenyataan bahwa sistem pendataan Indonesia masih belum terintegrasi, terkini, dan

aktual adalah suatu ironi tersendiri.

Demi mengundang investasi swasta untuk mendukung agenda percepatan pembangunan infrastruktur, berbagai data kebutuhan pembangunan

infrastruktur telah dipetakan ke dalam sebuah dokumen Public Private Partnership (PPP) yang disusun oleh Bappenas. Calon investor dapat melihat dengan jelas dimana-mana

saja lokasi rencana proyek-proyek infrastruktur itu akan dibangun, berapa skala proyeknya, baik dari segi nilai uangnya, dan spesifikasi teknis seperti panjang dan lebar jalan, jalan tol, rel kereta, atau kapasitas daya tampung

untuk konteks proyek pelabuhan atau bandara , dan berapa lama proyeksi periode proyeknya. Pemerintah

berharap ada investasi swasta yang tertarik untuk membangun berbagai infrastruktur tersebut dengan imbalan

potensi pendapatan bisnis dari hak

pengelolaan infrastruktur tersebut. Namun, dalam rangka memitigasi resiko sosial yang bisa diakibatkan dari pembangunan infrastruktur tersebut, sepertinya Pemerintah

belum melakukan pemetaan

menyeluruh mengenai berbagai permasalahan sosial yang ada di Indonesia. Saat ini memang sudah ada data tingkat kemiskinan per provinsi, tapi apakah sudah ada pemetaan menyeluruh mengenai kantung-kantung kemiskinan di Indonesia berupa titik-titik lokasi yang rinci? Jika kita ingin mempercepat penanggulangan kemiskinan – layaknya kita ingin mempercepat pembangunan infrastruktur – sudah adakah pemetaan detail mengenai desa, kelurahan, atau

kecamatan mana perlu dijadikan sentra

program penanggulangan kemiskinan? Program apa saja yang dibutuhkan? Apakah cukup pendampingan pemasaran untuk peningkatan

pendapatan saja karena mayoritas

penduduk miskin di titik-titik tersebut

sudah memiliki bakat membuat

produk-produk yang memiliki daya

jual tertentu? Apakah harus sampai

program pendampingan psikologi sosial karena di lokasi tersebut juga banyak terjadi kasus narkoba di kalangan anak mudanya dan kekerasan rumah tangga

(6)

meningkatkan dampak sosial dari berbagai program yang telah mereka kembangkan, agar bisa direplikasi di tempat-tempat lain di Indonesia dan menolong lebih banyak orang. Mereka juga kewalahan dalam mengajak

pemerintah untuk bekerjasama. Selain

tidak tahu harus menjajaki kerjasama tersebut kepada siapa, juga tak jarang harus putus asa ketika orang (pegawai pemerintah) yang berhasil ditemui tidak memiliki tingkat semangat yang sama dan tidak merespon baik dalam menjajaki berbagai potensi kerjasama yang ada. Indonesia memiliki banyak patriot yang berkarya nyata di tengah

masyarakat kita, namun pemerintah

tidak tahu siapa mereka, di mana, dan penanganan masalah sosial apa yang

menjadi keahlian mereka. Di sisi lain,

mereka juga merasa ditinggalkan oleh pemerintah, walau ada sebagian pula yang tidak peduli dengan dukungan

Pemerintah karena keputusan mereka

untuk bertindak nyata merupakan

bentuk kekecewaan kepada

pemerintah yang dipandang abai dan lalai dalam merawat rakyatnya yang marginal dan mewujudkan keadilan

sosial.

Oleh karena itu sudah saatnya

Indonesia juga mengembangkan skema kerjasama untuk mengatasi

permasalahan sosial melalui skema

Public Social Partnership (PSP), yaitu ragam skema kerjasama antara sektor publik (pemerintah) dengan sektor sosial untuk menangani

masalah-masalah sosial tertentu. Adapun elemen dari sektor sosial adalah kelompok masyarakat maupun

lembaga-lembaga formal tertentu yang tidak mengakui kepemilikan privat secara eksklusif dan tidak didorong oleh motivasi mengejar profit. Dengan demikian, sektor sosial di kalangan perempuannya? Atau

juga perlu disertai dengan program pendampingan perbaikan nutrisi

anak?

Pemerintah bisa memetakan

kebutuhan infrastruktur secara rinci,

mengapa tidak bisa memetakan

masalah sosial secara rinci pula? Secara implisit, keberadaan dokumen

pemetaan seperti ini adalah wujud

dari besar kecilnya keseriusan kita

sebagai sebuah bangsa dalam menangani berbagai permasalahan sosial yang ada.

Public Social Partnership (PSP)

Layaknya keterbatasan kekuatan

anggaran pemerintah untuk mengejar ketertinggalan fasilitas dan infrastruktur publik, negara kita juga memiliki keterbatasan

sumber daya untuk mempercepat

penanggulangan kemiskinan. Tidak hanya masalah tersebut, prevalensi pemakaian narkoba juga terus

meningkat, pemeliharaan menyeluruh anak-anak dan lansia terlantar

yang tak kunjung terlaksana walau sudah dimandatkan oleh konstitusi,

penyediaan akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan dasar,

sampai pengelolaan sampah dan berbagai masalah lingkungan lainnya juga masih sangat banyak yang tidak tertangani. Indonesia sudah lebih

dari 70 tahun merdeka, dan lihatlah

betapa tertinggalnya kita dari Korea Selatan yang pada 70 tahun lalu juga baru merdeka dan miskin seperti Indonesia.

Pemerintah bisa jadi kewalahan

dalam menangani kekayaan masalah sosial ekonomi yang kita miliki. Di sisi lain, tidak sedikit masyarakat sipil yang sangat patriotis juga merasa kebingungan soal bagaimana

(7)

dapat berupa komunitas masyarakat, asosiasi, Perkumpulan Badan Hukum,

Yayasan, Koperasi, atau Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum yang dimiliki oleh negara namun berhak mengelola pendapatan sendiri diluar

dari alokasi dana APBN.

Berkaitan dengan perkembangan terkini, saat ini tengah berkembang

pula fenomena kewirausahaan sosial

(social entrepreneurship) di mana pengembangan suatu kegiatan usaha yang etis (ethical business) secara

khusus dimulai untuk menawarkan

solusi atau mendukung pemecahan masalah-masalah sosial tertentu.

Jalur kewirausahaan sosial ini

ditempuh untuk mengurangi ketergantungan organisasi

terhadap donasi atau hibah untuk

mendanai kegiatan-kegiatan misi sosialnya. Beberapa organisasi yang menjalankan prinsip-prinsip social enterprise ini ada juga yang memilih

bentuk badan hukum Perseroan

Terbatas (PT) yang mengakui kepemilikan privat secara eksklusif. PT semacam ini dapat pula menjadi target peserta program PSP.

Berbeda dengan PPP yang

menawarkan imbal hasil bisnis

dari investasi infrastruktur (return of investment), maka dalam PSP

pemerintah perlu menawarkan imbal hasil berupa potensi dampak sosial, karena dampak sosial itulah

yang menjadi “panggilan” bagi

para patriot sektor sosial untuk

berpikir inovatif dalam merancang program atau solusi yang sesuai. Adapun potensi dampak sosial yang dimaksud dapat diestimasi melalui jumlah masyarakat yang berpotensi terdampak seperti jumlah Rumah Tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan, jumlah anak yang putus

sekolah, jumlah anak yang kurang

nutrisi, jumlah mantan narapidana

yang belum bisa kembali produktif di masyarakat, dan lain sebagainya.

Dari hal tersebut dapat diturunkan

indikator-indikator dampak sosial yang bisa dijadikan sebagai target program. Untuk konteks kemiskinan misalnya,

dapat diturunkan menjadi indikator

jumlah Rumah Tangga yang mengalami peningkatan pendapatan hingga di atas garis kemiskinan, rata-rata peningkatan pendapatan, jumlah rumah tangga yang berhasil mulai membangun aset (menjadi punya tabungan), rata-rata

nilai kepemilikan aset, dan dalam

jangka panjang bisa saja ditambahkan indikator jumlah rumah tangga peserta program yang menjadi pembayar

pajak.

Namun demikian perlu diketahui bahwa para patriot di sektor sosial

tersebut memiliki kekuatan finansial yang berbeda-beda. Sebagian ada yang sudah menemukan model bisnis yang berhasil berjalan dan menghasilkan sumber pendanaan tetap dan besar untuk mendukung misi sosialnya, sehingga hanya

membutuhkan kerjasama pemerintah untuk mendapatkan data, informasi,

dukungan pemerintah lokal (misalnya

berupa penyediaan tempat untuk

kegiatan-kegiatan tertentu atau untuk sekretariat program, penyelenggaraan acara rembug dengan tema khusus yang mengundang berbagai

stakeholders terkait di daerah, dsb). Sebagian lagi ada yang hanya memiliki

rekam jejak keahlian, ketulusan

semangat, dan jaringan relawan. Untuk itulah akan diperlukan beberapa skema PSP, setidaknya ke dalam dua kelompok: tanpa dukungan APBN dan dengan dukungan APBN dan/atau

(8)

Ada satu hal strategis dan penting untuk peningkatan kualitas kebijakan publik yang akan bisa didapatkan

jika pemerintah melakukan PSP ini, yaitu basis data kinerja dampak

program yang bisa digunakan untuk analisis efisiensi anggaran. Misalnya,

di Desa A mitra sektor sosial diberi

amanah untuk mengelola dana Rp1

miliar, dan dalam satu tahun berhasil

meningkatkan pendapatan 100 orang miskin setempat dengan rata-rata Rp500 ribu sehingga berhasil melewati garis kemiskinan. Artinya, dibutuhkan dana sekitar Rp10 juta/ orang untuk mengangkat seseorang

keluar dari kemiskinan. Sementara

di Desa B mitra sektor sosial juga diberi amanah mengelola dana Rp1 miliar tetapi bisa meningkatkan pendapatan 200 orang miskin

setempat dengan rata-rata Rp50 ribu. Artinya dibutuhkan dana sekitar Rp5 juta/orang saja untuk mengangkat seseorang keluar dari kemiskinan di

sana.

Perbedaan di atas bisa dianalisis

lebih jauh mengenai faktor-faktor yang membuat Desa B bisa lebih efisien dalam menghasilkan dampak sosial dibandingkan Desa A. Bisa

saja misalnya di Desa B ada basis

relawan yang banyak, sementara di Desa A tidak ada, atau Desa B kondisi awal masyarakatnya tidak separah di

Desa A. Semua proses pembelajaran

ini akan sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas kita dalam mengelola dana pajak titipan rakyat (APBN) dan untuk mendorong inovasi kebijakan hingga semakin

hari bisa semakin tepat sasaran dan berdampak nyata. Sudah saatnya pemerintah mulai membiasakan

pelaksanaan monitoring dan evaluasi dampak program, agar

kinerja pemakaian anggaran tidak

hanya dinilai berdasarkan indikator

serapannya dan output langsungnya saja. Betapa banyak bangunan yang didirikan pemerintah dan berakhir kosong tanpa kegiatan dan

akhirnya berlumut dan rusak. Betapa

banyak pula pelatihan yang telah diselenggarakan namun tidak ada yang tahu perkembangan yang terjadi pada

pesertanya.

Catatan

Apakah kita serius menjalankan

amanah konstitusi untuk

memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar? Saya pikir tidak. Hal

ini karena pendataan dan pemetaan

detail masalah sosial saja kita tidak punya. Kalau kita serius, pasti kita akan bersinergi untuk susun hal tersebut agar kita bisa segera kembangkan berbagai skema Public Social Partnership untuk percepatan

penanggulangan kemiskinan serta berbagai masalah sosial lainnya untuk mewujudkan Indonesia Raya yang sejati.

Daftar Pustaka

Ready for Business (RFB). Public Social Partnership - A Guide for Public Sector Procurement Agencies.

Haryanti, Dewi Meisari , dkk. 2016. Berani Jadi Wirausaha Sosial?. PT Bank DBS Indonesia

(9)

Menakar Daya Saing Indonesia di Mitra

Dagang Utama ASEAN Pasca Setahun

Penerapan Masyarakat Ekonomi

ASEAN(MEA)

Robby Alexander Sirait*)

Abstrak

Mitra dagang Indonesia di kawasan ASEAN adalah Singapura dan Malaysia, dengan komoditas utamanya masih didominasi oleh komoditas minyak dan gas

(migas), dengan penguasaan pasar relatif sangat besar. Mengingat migas adalah komoditas yang bersifat terbatas dan tidak dapat diperbaharui, ekspor non migas seperti produksi manufaktur (barang eletronik, bahan kimia, plastik, kertas dan olahan makanan) serta produksi protein hewani dan nabati perlu difokuskan dan diperkuat.

*)Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail:[email protected]

Sejak tanggal 1 Januari 2015, kawasan

ASEAN resmi memberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA). Diberlakukannya MEA tersebut, menandakan hilangnya

pembatasan atau barriers terhadap

arus barang/jasa antar negara-negara ASEAN, selain arus modal, investasi dan tenaga kerja terlatih. Artinya, masyarakat ASEAN telah memasuki sebuah era persaingan berbagai barang/jasa yang lebih ketat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tidak terkecuali

Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana posisi Indonesia pasca penerapan

MEA tersebut, khususnya pada pasar

mitra dagang utama di kawasan ASEAN. Tulisan ini akan sedikit mengupas posisi Indonesia setelah setahun MEA diberlakukan, yang

berfokus pada posisi komoditas

utama Indonesia di negara mitra dagang utama ASEAN.

Singapura Dan Malaysia Patner

Dagang Utama

Dikawasan ASEAN, patner dagang utama Indonesia adalah Singapura

dan Malaysia. Kurun waktu tahun 2012 – 2016, rata-rata sebesar 39,15 persen ekspor komoditas Indonesia di pasar ASEAN diekspor ke Singapura dan 24,38 persen ke Malaysia. Dalam kurun

waktu tersebut, besaran share ekspor

Indonesia ke Singapura dan Malaysia mengalami penurunan (gambar 1).

Gambar 1. Share Ekspor Indonesia Menurut Negara di Kawasan ASEAN

(Persen)

(10)

Yang menarik adalah perkembangan

share ekspor ke Filipina. Dalam

kurun waktu tersebut, share

ekspor Indonesia mengalami trend meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 2016 (setahun pasca penerapan MEA), share ekspor

Indonesia ke Filipina meningkat cukup tajam yakni menjadi 15,87 persen dari 11,68 persen di tahun 2015. Data dan fakta ini mengindikasikan bahwa Filipina akan menjadi mitra dagang utama Indonesia kedepannya menggantikan Thailand, bahkan mungkin Malaysia.

Ekspor Utama ke Singapura : Minyak Dan Gas Petroleum Serta Barang Elektronik

Komoditas ekspor Indonesia ke Singapura terbesar adalah kelompok

komoditas minyak bumi dan batubara

(Kode HS-27) yakni sebesar 34,26

persen dari total seluruh komoditas

yang diekspor ke Singapura.

Dari komoditas minyak bumi dan

batubara tersebut, gas petroleum (Kode HS – 2711) merupakan komoditas terbesar yang diekspor dengan penguasaan pasar yang dominan yakni sebesar 69,33 persen (gambar 2). Meskipun

dominan, kinerja komoditas ini perlu

diperhatikan karena pengusaan pasar sepanjang tahun 2012 – 2016 terus mengalami penurunan. Pesaing yang perlu mendapat perhatian

adalah Australia, Malaysia dan

Qatar. Penguasaan pasar ketiga negara ini cukup besar. Dari sisi daya saing, merupakan komoditas yang memiliki daya saing. Hal ini terlihat dari angka indeks Revealed

Comparative Advantage (RCA)1 diatas

1. Akan tetapi, indeks daya saingnya mengalami penurunan di tahun 2016 dibanding 2015.

Komoditas utama (terbesar) lainnya

dari kelompok minyak bumi dan batubara adalah minyak petroleum

(Kode HS – 2709). Akan tetapi dari sisi penguasaan pasar, komoditas ini hanya mampu menguasai pasar sebesar 2,81 persen. Penguasaan pasar yang relatif kecil ini

menunjukkan bahwa komoditas ini

tidak berdaya saing di pasar Singapura (indeks RCA dibawah 1). Pasar minyak petroleum di Singapura dikuasai oleh beberapa negara-negara timur tengah, yakni Saudi Arabia dengan penguasan pasar sebesar 28,53 persen, United Arab Emirates sebesar 26,69 persen, Qatar sebesar 16,13 persen dan

Gambar 2. Sepertiga Ekspor Ke Singapura Adalah Kelompok Minyak Bumi dan Batubara

Sumber: Comtrade (2017), Diolah

1)Revealed Comparative Advantage (RCA) yang dipopulerkan oleh Ballasa (1965) adalah indeks yang menghitung pangsa

nilai ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu negara dibandingkan dengan pangsa nilai produk tersebut dalam perdagangan dunia atau pasar tertentu. Jika nilai RCA suatu produk atau komoditas diatas 1, maka produk atau komoditas tersebut memiliki keunggulan di pasar tertentu.

(11)

Kuwait sebesar 12,11 persen. Sedangkan dari ASEAN , saingannya adalah Malaysia dengan penguasaan pasar 3,30 persen.

Selain kelompok minyak bumi dan batubara, komoditas ekspor utama

ke Singapura adalah kelompok komoditas barang elektronik, yakni sebesar 13,51 persen dari total ekspor Indonesia ke Singapura.

Dari kelompok komoditas ini,

transformator elektrik, konverter statis dan induktor (Kode HS - 8504) dan sel primer baterai primer (Kode HS – 8506) adalah jenis barang yang paling banyak di ekspor. Kedua jenis barang ini memiliki penguasaan pasar yang relatif besar (gambar 3).

Akan tetapi, untuk transformator

elektrik, konverter statis dan induktor penguasaan pasarnya mengalami

tren penurunan dalam kurun waktu

2012 – 2016. Dari sisi daya saing,

kedua komoditas ini memiliki daya

saing di pasar Singapura. Hal ini terlihat dari angka indeks RCA diatas satu. Akan tetapi yang perlu menjadi catatan adalah indeks daya saing transformator elektrik, konverter statis dan induktor yang mengalami

penurunan setahun diterapkannya MEA.

Ke depan agar indeks daya saing transformator elektrik, konverter statis dan induktor tidak terus

Gambar 3. Komoditas ekspor terbesar kedua ke Singapura adalah Barang Elektronik

tergerus, memperhatikan kinerja dan penetrasi negara pesaing perlu diperhatikan. Pesaing terbesar komoditas ini adalah China dengan penguasaan pasar 36,88 persen, USA sebesar 6,45 persen dan Jepang sebesar 4,72 persen. Sedangkan dari zona ASEAN, pesaing Indonesia adalah Malaysia dengan penguasaan pasar sebesar 12,24 persen.

Untuk komoditas sel primer dan

baterai primer, kondisinya sedikit

berbeda. Penguasaan pasar komoditas ini dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir relatif besar dan stabil. Meskipun demikian, mengantisipasi penetrasi negara-negara pesaing tetap perlu dilakukan. Di pasar Singapura, pesaing komoditas ini adalah Jepang dengan penguasaan pasar sebesar 15,58 persen, China sebesar 14,34 persen, USA sebesar 13,39 persen

dan Jerman sebesar 7,11 persen.

Sedangkan dari kawasan ASEAN, pesaing utama komoditas ini adalah Malaysia dengan penguasaan pasar sebesar 7,35 persen.

Ekspor Utama ke Malaysia : Batubara, Minyak Kelapa Sawit Dan Kopra Komoditas ekspor Indonesia ke

Malaysia terbesar adalah kelompok komoditas minyak bumi dan batubara

(Kode HS-27) yakni sebesar 35,58

persen dari total seluruh komoditas

(12)

yang diekspor ke Malaysia. Dari

komoditas minyak bumi dan batubara

tersebut, komoditas terbesar yang

diekspor adalah kokas petroleum, bitumen petroleum dan residu

lainnya dari minyak petroleum (Kode HS – 2713) dengan penguasaan pasar hanya sebesar 5,51 persen. Penguasaan pasar Indonesia masih tertinggal dengan Saudi Arabia yang mampu menguasai 27,48 persen pasar, Rusia sebesar 16,52 persen dan United Arab Emirates sebesar 13,14 persen. Bahkan penguasaan pasar Indonesia masih kalah dengan Vietnam yang mampu menguasai pasar sebesar 7,31 persen. Meskipun

demikian, komoditas ini masih

memiliki daya saing di pasar Malaysia.

Hal ini terlihat dari nilai indeks RCA diatas 1. Akan tetapi, indeks daya

saingnya pada tahun 2016 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Ke depan, penetrasi penguasan pasar perlu dilakukan, mengingat penerapan MEA yang

sudah berjalan setahun.

Selain kokas petroleum, bitumen petroleum dan residu lainnya dari minyak petroleum, komoditas terbesar dari kelompok minyak bumi

dan batu bara yang diekspor ke

Malaysia adalah batu bara dan bahan

bakar padat dari batu bara (Kode HS – 2701). Komoditas ini mampu menguasai 59,75 persen pasar

Malaysia (gambar 4).

Penguasaan pasar yang relatif sangat

dominan ini menunjukkan bahwa

komoditas ini berdaya saing di pasar Malaysia dan tahun 2016 indeks daya saingnya meningkat. Meskipun dominan, memperhatikan negara-negara pesaing tetap perlu dilakukan. Untuk komoditas ini, pesaing

Indonesia adalah Australia dengan penguasaan pasar 21,95 persen dan Rusia sebesar 10 persen. Sedangkan untuk kawasan ASEAN, tidak ada pesaing yang berarti.

Komoditas ekspor utama terbesar

lainnya ke Malaysia adalah komoditas

yang berasal dari kelompok minyak

dan lemak. Share ekspor kelompok komoditas minyak dan lemak sebesar

10,76 persen dari total ekspor

Indonesia ke Malaysia. Dari kelompok komoditas ini, jenis barang yang paling banyak di ekspor adalah minyak kelapa sawit dan fraksinya (Kode HS – 1511). Minyak kelapa sawit Indonesia mampu menguasai 90,36 persen pasar Malaysia (gambar 5). Penguasaan yang sangat besar ini menandakan tidak ada pesaing komoditas ini, baik dari kawasan ASEAN maupun tidak. Selain kelapa sawit, barang ekspor

utama dari kelompok minyak dan lemak ke Malaysia adalah minyak

kelapa (kopra), kernel kelapa sawit atau babassu dan fraksinya (Kode HS

Gambar 4. Sepertiga Ekspor ke Malaysia adalah Kelompok Minyak Bumi dan Batubara

(13)

– 1513), dengan penguasaan pasar sebesar 70,88 persen. Penguasaan pasarnya sangat dominan. Akan tetapi, penguasaan pasar komoditas ini mengalami tren menurun

sejak tahun 2013. Oleh karena itu, pasokan komoditas dari Thailand perlu diperhatikan. Hal ini penting, mengingat pasokan dari Thailand

cukup besar ke Malaysia, yakni sebesar 18,07 persen.

Penguasaan pasar kedua jenis barang tersebut (kelapa sawit dan minyak kelapa) menunjukkan keduanya berdaya saing di pasar Malaysia. Hal ini juga terlihat dari indeks RCA kedua jenis barang diatas nilai 1.

Akan tetapi, setahun penerapan MEA

indeksnya mengalami penurunan. Potensi Filipina Sebagai Mitra

Dagang Utama ke Depan

Dengan menggunakan data perdagangan tahun 2012 – 2016,

share ekspor ke Filipina terhadap total ekspor Indonesia ke negara-negara kawasan ASEAN terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, bahkan sudah mendekati

share ekspor ke Thailand sebagai mitra dagang terbesar ketiga di kawasan ASEAN. Tahun 2016,

share ekspor Indonesia ke Filipina sudah mencapai 15,87 persen. Angka ini meningkat tajam pasca penerapan MEA, naik hampir 5

persen. Disisi lain, share ekspor ke

Gambar 5. Komoditas ekspor terbesar kedua ke Malaysia adalah Minyak dan Lemak

Sumber: Comtrade (2017),Diolah

mitra dagang utama (Singapura dan Malaysia) mengalami tren penurunan setiap tahunnya. Data dan fakta ini mengindikasikan bahwa Filipina punya potensi besar menjadi mitra dagang utama Indonesia kedepannya. Peluang ini harus dimaksimalkan, apalagi sudah tidak ada lagi tarif barrier pasca penerapan MEA.

Berkaca pada potensi pasar Filipina sebagai mitra dagang utama Indonesia

ke depan, memetakan kebutuhan

impor pasar Filipina menjadi sangat penting. Peta kebutuhan pasar ini penting agar Indonesia mampu

memasarkan dan menyuplai komoditas

sesuai dengan kebutuhan pasar Filipina. Berdasarkan data impor tahun 2016, komoditas terbesar impor Filipina adalah kelompok komoditas barang elektronik (Kode HS - 85) sebesar 27,32 persen. Komoditas

ekspor terbesar lainnya adalah

batubara dan minyak bumi (Kode HS – 27) sebesar 11,84 persen, Mesin (Kode HS – 84) sebesar 11,39 persen dan Mobil (Kode HS – 87) sebesar 6,92

persen.

Disisi lain, tiga kelompok komoditas ekspor utama Indonesia juga sama dengan komoditas utama yang di impor oleh Filipina, yakni kelompok minyak bumi dan batubara, barang elektronik dan kelompok mobil/ kendaraan bermotor. Kesamaan ini

(14)

memaksimalkan potensi pasar Filipina sebagai mitra dagang utama ke depan. Artinya, ketiga kelompok komoditas inilah yang dapat diutamakan untuk melakukan penetrasi ke pasar Filipina Dari kelompok barang elektronik, komoditas yang berpeluang menyasar pasar Filipina adalah kabel, kawat

diisolasi, dan konduktor listrik diisolasi lainnya, monitor dan proyektor

serta sel primer dan baterai primer.

Pertimbangan memilih ketiga jenis barang ini adalah kebutuhan impor barang ini relatif besar dan barang ini merupakan barang utama ekspor Indonesia dari kelompok barang

elektronik.

Untuk kelompok barang minyak bumi dan batubara, komoditas yang disasar di pasar Filipina adalah gas petroleum dan gas hidrokarbon lainnya. Pertimbangannya adalah

kebutuhan komoditas ini cukup

besar dan Indonesia sama sekali tidak mengekspor komoditas ini ke Filipina. Padahal, komoditas ini

merupakan salah satu komoditas

ekspor Indonesia terbesar. Komoditas

lainnya adalah minyak petroleum

dan minyak yang diperoleh dari

mineral mengandung bitumen. Pertimbangannya adalah hanya ada 3 importir yang memasok komoditas ini ke Filipina yakni Malaysia, Rusia dan Indonesia, dimana Indonesia paling rendah. Padahal komoditas

ini merupakan salah satu komoditas

unggulan Indonesia dari kelompok

minyak bumi dan batubara.

Sedangkan dari kelompok mobil atau kendaraan bermotor, komoditas yang dapat disasar adalah bagian dan

aksesori sepeda motor, sepeda roda dua, sepeda lainnya dan kendaraan

untuk orang cacat. Kebutuhan akan jenis barang ini relatif cukup besar di pasar Filipina dan total ekspor Indonesia atas jenis barang ini ke

seluruh dunia melebihi kebutuhan

impor Filipina. Daftar Pustaka

Siggel, Eckhard. (2007). “The Many Dimensions of Competitiveness”. CESifo Venice Summer Institute. Shohibul, Ana. (2013). Revealed Comparative Advantage Measure: ASEAN-China. Journal of Economics and Sustainable Development. Vol.4, No.7, 2013. hlm.136-145.

(15)

Rekomendasi

Berkaca dari kinerja ekspor Indonesia ke Singapura dan Malaysia sebagai mitra dagang utama di kawasan ASEAN dan Filipina yang berpotensi menjadi mitra dagang utama ke depannya, ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian.

Pertama, penguasaan pasar gas petroleum di Singapura yang mengalami penurunan setiap tahunnya harus menjadi perhatian. Hal ini penting, mengingat kebutuhan gas petroleum relatif cukup besar di pasar Singapura. Kedua, mendorong kinerja ekspor transformator elektrik, konverter statis dan induktor ke Singapura perlu menjadi fokus, mengingat penguasaan pasar komoditas ini mengalami penurunan tahun ke tahun sejak tahun 2012. Padahal, kebutuhan komoditas ini relatif besar di pasar Singapura.

Ketiga, komoditas utama ke Singapura dan Malaysia sebagai mitra dagang utama di kawasan ASEAN serta Filipina masih sangat didominasi oleh komoditas-komoditas yang bersumber dari perut bumi (migas). Di sisi lain, kapasitas produksi komoditas-komoditas tersebut akan semakin habis dan terbatas ke depannya. Oleh karena itu, proses pengalihan orientasi ekspor ke komoditas-komoditas non migas, seperti plastik, optik, komponen barang elektronik dan hasil industri bahan kimia untuk pasar Singapura dan Malaysia. Sedangkan untuk pasar Filipina adalah komoditas protein hewani (daging dan susu), hasil industri olahan makanan, hasil industri bahan kimia, serealia dan

kertas.

Terakhir, Filipina sangat berpotensi menjadi mitra dagang utama Indonesia

kedepannya di kawasan ASEAN. Oleh karena itu, melakukan penetrasi pasar

perlu dilakukan, dengan mempertimbangkan kesesuain kebutuhan impor Filipina dengan komoditas ekspor unggulan Indonesia.

(16)

Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id Telp. 021-5715635, Fax. 021-5715635

Gambar

Gambar 1. Share Ekspor Indonesia  Menurut Negara di Kawasan ASEAN
Gambar 2. Sepertiga Ekspor Ke Singapura Adalah Kelompok Minyak Bumi dan  Batubara
Gambar 3. Komoditas ekspor terbesar kedua ke Singapura adalah Barang Elektronik

Referensi

Dokumen terkait

Melalui hasil penelitian dengan menggunakan Gravity Model terhadap empat komoditas pertanian utama Indonesia (teh, kelapa sawit, kelapa, gula dan turunannya) dan

Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan unggulan dan utama Indonesia, salah satu industri kelapa sawit yang ada diindonesia yaitu PTPN VIII yang merupakan salah satu

Minyak sawit menjadi salah satu komoditas ekspor terbesar dengan nilai 18,5 miliar dollar AS, atau 14,1 persen dari ekspor industri pengolahan, naik 2,8 miliar dollar AS dibanding

Identifikasi dari analisis biplot pada data ekspor komoditi utama pada subsektor hasil industri ke negara tujuan utama menunjukkan bahwa komoditi minyak kelapa sawit dan pakaian

HASIL SAMPING INDUSTRI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil

Identifikasi dari analisis biplot pada data ekspor komoditi utama pada subsektor hasil industri ke negara tujuan utama menunjukkan bahwa komoditi minyak kelapa sawit dan pakaian

Berkembangnya dominasi ekspor rninyak kelapa sawit dibandingkan dengan kedelai dimungkinkan karena tiga ha1 yaitu (1) harga minyak kelapa sawit lebih

Pemerintah Indonesia tidak secara langsung mengambil kebijakan larangan ekspor untuk komoditas limbah cangkang kelapa sawit, namun pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan